Chapter 53 : The Automaton

 

Saat Miranda menaiki alat transfer lantai di lantai dua puluh lima, dia mengulurkan tangan dan menyeka keringat dari dahinya. Menatap sekelilingnya, dia hanya bisa menghela napas saat melihat situasi mengerikan yang dilihatnya.

 

"Aku tidak pernah menyangka kita akan melalui Pertumbuhan sebagai sebuah kelompok...."

 

Lyle adalah orang pertama yang menunjukkan tanda-tandanya; dia tersungkur karena gelombang kelelahan yang hebat. Dia masih terbungkus selimut dengan erat, dan saat ini tergeletak tak bergerak di lantai.

 

"Aku ingin pulang...."

Lyle mengerang putus asa.

 

"Tinggal sedikit lagi kita sampai, Lyle-sama."

Kata Novem dengan lembut.

 

"Mari kita bertahan bersama-sama."

 

Andai saja semua orang punya pengasuh yang setia.

Pikir Miranda, menatap dua anggota kelompok mereka yang telah ambruk. Mereka secara teknis tidak lebih baik dari Lyle.

 

Profesor Damian terbaring lemas dalam gendongan Sophia, mata profesor itu melebar dan air liur menetes dari bibirnya. Meskipun profesor itu menolak untuk bangun dari tidur lelapnya, cengkeramannya pada Demonic Stone berukuran besar yang telah dia ambil dari kotak laba-laba sebelumnya tidak mengendur sedikit pun. Miranda dapat mengatakan bahwa Sophia hanya dapat melakukan satu hal : menyeret profesor dan boneka-bonekanya—Sophia tampaknya hampir tidak dapat bertahan. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa Sophia sendiri menunjukkan gejela pra-Pertumbuhan.

 

"Sophia."

Novem memanggil gadis lainnya.

 

"Apa kamu baik-baik saja? Kita hampir sampai. Mari kita lalui bagian terakhir ini bersama-sama."

 

"A-Aku mengalami waktu yang cukup sulit, tapi.... aku bisa mengatasinya."

Kata Sophia sebagai balasan.

 

Clara tampaknya menganggap ini sebagai isyarat untuk memberikan salah satu anggota mereka nasihat penyemangat. Dia menoleh ke Aria dan berkata,

"Berikan dorongan terakhir, Aria. Kita akan segera berada di atas."

 

"O... Oke, tapi semuanya terasa sangat menyakitkan..."

 

Mungkin ada beberapa perbedaan dalam kondisi mereka.

Pikir Miranda dalam hatinya.

 

Tapi ini tetap saja cukup aneh. Empat orang memasuki Pertumbuhan pada saat yang sama hampir tidak pernah terdengar.

 

Miranda menoleh ke arah Lyle, hanya untuk mendengarnya mengerang,

"Aku tidak bisa melakukan ini lagi... aku hanya ingin menjadi lantai..."

 

Dia tampaknya adalah tipe orang yang mengalami gejala ekstrem saat memasuki Pertumbuhan. Dan kelemahan yang dialaminya bukan hanya fisik; tapi juga mental, tampaknya.

Renung Miranda, meringis pada rangkaian kata-kata yang tampaknya tak berujung, yang diucapkan dengan putus asa, yang keluar dari mulut Lyle. Beberapa di antaranya hampir tidak dapat dipahami.

 

Miranda berjalan ke arah Lyle dan membungkuk agar sejajar dengannya.

"Kamu tahu, mengalami Pertumbuhan yang ekstrem seperti ini sangat jarang, Lyle."

 

Saat Lyle tidak menanggapi, Miranda mencolek-colek pipi Lyle itu, namun sama sekali tidak mendapat reaksi. Dari apa yang bisa Miranda lihat, Lyle berjuang keras untuk menggerakkan tubuhnya sama sekali—satu-satunya alasan mereka bisa membawa Lyle sampai ke alat transfer lantai adalah karena Miranda dan Novem bergantian menggendongnya. Meski begitu, Lyle tetap berhasil mengarahkan mereka ke arah yang benar, bahkan dengan kondisinya saat ini.

 

"Kita mungkin harus menghubungi Akademi saat kita sampai di permukaan."

Kata Clara sambil menghela napas.

 

"Mereka akan membawa Profesor Damian dari kita. Aku akan pergi ke Guild dan membuat laporan. Di penginapan mana kalian menginap?"

 

Mendengar itu, Miranda mengangkat tangannya.

"Rumahku akan lebih dekat, dan aku punya kamar kosong. Ayo kita bawa mereka ke sana."

 

Novem memulai, wajahnya tampak gelisah.

"Tapi kalau kita melakukan itu..."

 

Miranda balas tersenyum padanya.

"Oh, jangan khawatir. Bahkan, mulai sekarang, kalian bisa tinggal di tempatku saja. Biaya penginapan itu akan terus bertambah, bukan?"

 

Novem menundukkan kepalanya.

"Setelah semua orang tenang, kita bisa membahas masalah ini. Untuk saat ini, kami akan menerima kemurahan hatimu."

 

Miranda berseri-seri.

"Kamu dengar itu, Lyle. Kamu bisa bersantai di tempatku... dan kemudian kamu akan bertanggung jawab, jika itu hal terakhir yang kulakukan."

 

Namun, Lyle tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan Miranda itu. Lyle terkulai lemas di balik selimutnya, tertidur lelap.

 

***

 

Ketika Shannon didorong masuk melalui pintu depan rumahnya, setelah dijemput dari rumah sakit, dia langsung disambut dengan pemandangan yang tidak biasa. Seorang gadis dengan rambut berwarna merah sepinggang mengenakan pakaian kakak tertuanya, bersenandung riang untuk seekor burung pipit kecil yang bertengger di salah satu ambang jendela mereka.

 

"Araa, indah sekali! Membayangkan burung-burung akan mulai berbicara kepadaku."

Kata gadis itu dengan senyum bahagia, mengulurkan tangan kepada burung kecil itu.

 

"Oh, aku tidak percaya aku tidak menyadari bahwa dunia ini begitu indah...."

 

Wajah Shannon menjadi memerah saat melihat bagaimana bahan berlebih dari gaun kakaknya itu melorot di dada gadis itu.

 

Mengapa gadis aneh ini memakai pakaian Onee-sama?

Pikir Shannon dalam dirinya.

 

Dan, belum lagi...

Shannon melirik ke bawah, hanya untuk menemukan seorang gadis kedua tergeletak di sofa mereka. Gadis itu memiliki rambut berwarna hitam panjang dan halus, dan sedang mengunyah setumpuk makanan manis. Berbeda dengan gadis berambut merah sebelumnya, gadis ini hampir tidak berpakaian, hanya mengenakan pakaian dalam dan kemeja. Dan, Shannon tidak bisa tidak memperhatikannya, kemeja itu tampak.... cukup ketat.... di sekitar area dada gadis itu.

 

"Ya, ya, ya."

Kata gadis berambut hitam itu.

 

"Bisakah kau lupakan burung-burung bodoh itu, Aria? Pergilah dan belikan aku beberapa makanan ringan, mengerti?"

 

Dan siapa gadis ini?! Dan mengapa dia tampak membuat dirinya betah di rumahku?!?!

Seolah-olah saat Shannon pergi, rumahnya dipenuhi gadis asing.

 

"O-Onee-sama? Apa yang terjadi di sini?"

 

Miranda menghela napasnya.

"Aku bisa mengerti itu. Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka Aria akan meminta gaun kepadaku, dan Sophia... dia baru saja memakan semua camilan yang selama ini kusimpan tanpa sepatah kata pun."

 

Mengangkat tubuhnya sedikit dari bantal sofa, Sophia mengangguk tanpa malu dan berkata, "Tentu saja! Camilannya enak sekali."

 

"S-Sekarang lihat ini!"

Teriak Shannon. Matanya terpaku pada sekantong camilan manis kosong di lantai.

 

"Kenapa kau melahap camilanku?! Itu adalah camilan kesukaanku!"

 

"Yang benar nih?"

Sophia tertawa terbahak-bahak.

 

"Yah, setelah semua yang kumakan, aku hampir tidak ingat rasa apa itu."

 

"Kau!"

Teriak Shannon, karena lupa berperan sebagai gadis kecil yang lemah.

 

"Jangan bicara lagi!"

Rasa marahnya terhenti ketika Shannon merasakan Miranda meletakkan tangannya di tengah punggungnya, lalu dengan lembut mendesaknya untuk berdiri.

 

"O-Onee-sama?!"

Shannon tergagap, sangat bingung.

 

"Shannon...."

Kata Miranda dengan nada lembut.

 

"Aku agak terkejut kamu bisa tahu bahwa Sophia memakan camilan kesukaanmu."

 

Shannon membeku. Suara kakak perempuannya mungkin ramah, namun auranya jelas tidak. Mana yang berembus di sekitar Miranda bergetar karena marah.

"U-Umm itu, aku hanya... a-ada alasan u-untuk itu, se-seperti bau-bauan dan— Oww! Itu, s-sakit, mouu!"

 

Senyum lembutnya masih terpasang di wajahnya, Miranda dengan kejam menarik kedua pipi Shannon.

"Aku tahu tentang matamu itu sejak awal, Shannon. Sekarang, berdirilah dari kursi roda itu—ini hari terakhirmu untuk menghabiskan waktu di sana. Mulai sekarang, kamu harus melakukan bagianmu. Tidak ada lagi perlakuan khusus. Kamu mengerti?"

 

Pipi Shannon masih merasa sakit, dan matanya berkaca-kaca saat dirinya menjawab,

"O-Oke! A-Aku ti-tidak akan me-melakukannya la-lagi!"

 

Miranda melepaskannya, lalu memeluknya, yang membuat Shannon semakin bingung. Kemudian, kakak perempuannya menjauh dan memberitahunya,

"Rumah ini akan jadi gaduh mulai sekarang. Bagaimana kalau kamu mulai bekerja?"

 

"Heeeh?!"

Kata Shannon, sambil menempelkan tangannya ke pipinya yang sakit. Dia tampak benar-benar tercengang.

 

"Tunggu, gadis-gadis itu.... mereka itu! Jangan bilang kamu berencana membiarkan mereka tinggal di sini?!"

 

"Itu benar."

Miranda membenarkan dengan riang.

 

"Mereka akan tinggal bersama kita, termasuk Lyle dan Novem."

Tatapan Miranda tiba-tiba menyempit.

 

"Tunggu—di mana Lyle dan Novem?"

 

Sophia telah menghilang ke dapur, jadi Miranda mengarahkan pertanyaan itu ke Aria. Gadis itu mulai berputar-putar, menari-nari di sekitar ruangan, dan akhirnya berkata,

"Umm... Oh! Lyle bilang dia akan pergi ke tempat Profesor."

 

Miranda langsung menjadi panik.

"Kamu membiarkannya keluar dalam keadaan seperti itu?!"

 

Putaran Aria berhenti, dan dia berpose gagah.

"Ya! Dia berkata, 'takdir memanggilku', dan langsung berlari keluar! Seperti yang diharapkan dari Lyle-ku! Dia laki-laki yang luar biasa, karena takdir memanggilnya secara pribadi!"

 

Miranda menghela napasnya, berpura-pura tidak mendengar sisa perkataan Aria.

"Ini masalah... kalau begitu, aku harus pergi berbelanja. Shannon, jaga rumah untukku. Jangan biarkan mereka berdua keluar, apapun yang terjadi."

 

Shannon memperhatikan kedua gadis baru itu. Aria masih menari dengan gaya yang aneh, dan Sophia baru saja kembali dari dapur, dengan sepotong roti di tangannya. Gadis rambut berwarna hitam itu langsung menjatuhkan diri di sofa mereka dan mulai makan.

 

Bagaimana aku bisa mengurus orang-orang ini?!

 

Miranda keluar lagi, meninggalkan Shannon dengan tugas barunya yang merepotkan.

 

***

 

"Lyle-sama, bagaimana kalau kita membatalkannya saja? Kamu bisa melakukannya di hari lain, jadi mari kita kembali ke rumah Miranda-san dan beristirahat!"

 

Aku memberi Novem tatapan penuh kasih dari balik bahuku saat aku melangkah menyusuri lorong-lorong Akademi. Gadis kecil yang menggemaskan itu menempel padaku, seolah-olah dia tidak rela melepaskannya.

 

Bukan bearti aku di sini untuk melakukan sesuatu yang melelahkan!

Pikirku sambil mengangkat bahu.

 

Aku di sini hanya untuk menemui Profesor Damian.

 

"Novem sayang, kurasa aku sudah cukup istirahat. Aku sudah menghabiskan dua hari penuh di rumah Miranda!"

Aku mencoba menatap matanya, namun, meskipun gerakannya kecil, Novem mengalihkan pandangan—hampir seperti menyembunyikan sesuatu! Aku tersentak.

 

"Tunggu, jangan bilang.... apa itu karena kamu ingin memonopoliku?! Aku tahu itu!"

 

Setelah hening sejenak, Novem mengangguk dengan keras ke arahku.

"Err, i-itu benar! Jadi, ayo pulang, Lyle-sama! Kita bisa datang ke sini lain kali!"

 

Aku merasa tidak enak, namun sayangnya, aku harus menolaknya.

"Aku sangat berharap bisa mewujudkan keinginan itu, karena itu permintaanmu. Tapi.... hanya ada satu masalah, Novem, sayangku. Begitu aku memutuskan akan melakukan sesuatu, tindakan itu menjadi takdir! Aku tidak bisa menghentikan apa yang sudah dimulai. Maaf, dan kuharap kamu bisa mengerti."

 

Para leluhurku tertawa di dalam Jewel. Keenamnya tertawa terbahak-bahak.

 

"Bagaimana dia bisa begitu optimis?"

Tanya kepala keluarga kedua.

 

Kepala keluarga ketiga mendengus.

"Kuharap Lyle yang normal akan meniru yang ini."

 

Kepala keluarga keempat melepaskan gelombang tawa lagi, suaranya terdengar terengah-engah.

 

"Aduh, perutku... aku.... aku tertawa begitu banyak sampai perutku sakit!"

 

"'Kau ingin memonopoliku?', katanya."  

Kepala keluarga kelima mengutip perkataan Lyle sebelumnya.

 

"Itu mungkin kalimat terbaiknya hari ini."

 

"Oh, tidak, tunggu dulu."

Suara kepala keluarga keenam menggelegar, suaranya serak karena geli.

 

"Mungkin akan ada lebih banyak lagi yang akan datang."

 

"Secara pribadi."

Kata kepala keluarga ketujuh.

 

"Aku suka bagian tentang takdir itu. Tapi yang benar-benar tidak sabar kulihat adalah bagaimana Lyle nanti setelah dia kembali normal."

 

Aku menyeringai dalam hati.

Ketika para leluhurku bahagia, akupun bahagia! Aku juga mendoakan hari yang indah bagi kalian, orang-orang baikku!

 

"Lyle-sama."

Kata Novem dengan putus asa.

 

"Tolong dengarkan aku. Ini tidak ada hubungannya dengan takdir atau hal-hal seperti itu! Kamu harus kembali ke rumah Miranda-san demi dirimu sendiri—berdiam diri selama beberapa hari lagi akan sangat membantumu!"

 

Dia tampak sangat cemas.

Pikirku, sambil menatap Novem, yang masih berpegangan padaku dengan penuh tekad.

 

Yosh, kurasa ini akan membantu.

Aku mencondongkan tubuh ke depan, dengan santai menggendong Novem dan memeluknya seperti gendongan ala tuan putri.

 

Wajah Novem tiba-tiba memerah.

"L-Lyle-sama! I-Ini di depan um—"

 

"Sstttt."

Kataku, memotong pembicaraannya.

 

"Oh, ya, ini laboratorium profesor."

 

Saat aku berdiri di depan pintu besar, Novem mulai menendang-nendangkan kakinya.

"Tunggu. Lyle-sama, aku mohon padamu, tolong tunggu!"

 

Aku menunduk menatapnya dan menyeringai.

"Sungguh tuan putri yang bersemangat di sini! Aku minta padamu, tolong abaikan itu untuk saat ini."

 

Aku mencengkeram Novem dengan erat dan membuka pintu, menghentikan semua keluhan yang mungkin akan dilontarkannya. Kemudian, dengan jalan yang kini terbuka di hadapanku, aku melangkah masuk ke dalam tempat Profesor Damian, yang dipenuhi dengan berbagai perangkat yang sangat bagus. Aku melihat bahwa dia telah meletakkan Demonic Stone-nya yang berharga di dalam kubah transparan.

 

"Permisi."

Panggilku.

 

"Apa kau ada di dalam, Profesor Damian?"

Sekelompok laki-laki dan perempuan berpakaian jas lab menatapku. Beberapa tampak terkejut, sementara yang lain menatapku dengan tatapan penuh rasa iri. Selain itu, sebagian besar dari mereka hanya tampak lelah.

 

Melihat banyaknya orang yang melihat kami, Novem membenamkan wajahnya di tangannya dan memerah sampai ke ujung telinganya. Mendengar suaraku, Profesor Damian mendongak dari apa yang sedang dilakukannya, yang tampaknya sedang menghubungkan semacam alat ke peti mati yang kami... yah, peti mati yang mirip dengan yang kami dapatkan, dan menatap Novem dan aku dengan tatapan bersemangat.

 

"Oh, Lyle!"

Kata professor itu dengan riang, menghentikan permainannya dengan alat aneh itu.

 

"Kau datang di waktu yang pas!"

 

Aku menurunkan Novem ke lantai, karena tampaknya dia akhirnya tenang, dan kemudian berjalan ke arah Profesor Damian. Begitu aku cukup dekat, aku memberinya tos. Sementara itu, semua orang yang mengenakan jas lab itu membuat keributan. Aku mendengar salah satu dari mereka berteriak,

"Profesor baru saja menyebut nama seseorang!"

 

Namun aku tidak tertarik dengan apa yang membuat mereka begitu berisik. Hal itu tidak penting bagiku, jadi aku mengabaikannya, dan lebih fokus pada profesor.

 

"Tolong, profesor, aku ini Lyle Walt, adalah laki-laki yang tidak pernah kehilangan momennya!" Kataku, menyatakan itu.

 

"Hmm, sepertinya kau belum berhasil mengaktifkannya."

 

Damian mengangguk dan mengetukkan buku jarinya ke peti mati.

"Aku baru saja akan mengaktifkannya, kawan."

 

"Kalau begitu, aku juga harus mengeluarkan automatonku."

 

Dengan menjentikkan jariku, aku mengaktifkan Box. Lingkaran sihir muncul, dan aku mengarahkan peti matiku agar melayang keluar, lalu jatuh ke lantai. Konstruksinya cukup mirip dengan yang sedang dikerjakan Profesor Damian, meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam pilihan desain.

 

"Lyle-sama!"

Seru Novem padaku.

 

"Apa harus hari ini? Kamu mungkin menghalangi profesor."

 

Aku menatap Profesor Damian, dan profesor itu menggelengkan kepalanya.

"Kami sudah mengamankan energi yang diperlukan untuk mengaktifkannya, jadi seharusnya tidak menjadi masalah. Faktanya, kami hanya bisa menjalankan perintah aktivasi satu kali, jadi setelah semuanya siap, aku berencana untuk memanggilmu. Lagipula, aku penasaran untuk melihat automaton seperti apa yang kau miliki juga."

 

Memikirkan Profesor Damian menungguku selama ini!

Pikirku, hatiku dipenuhi kehangatan. Aku menyaksikan dengan terpesona saat laki-laki itu mulai memasukkan tali warna-warni ke dalam lubang di peti matiku, seperti dia sudah berlatih melakukannya seratus kali sebelumnya.

 

"Kamu dengan itu."

Kataku kepada Novem.

 

"Jangan khawatir. Jika automaton itu mengamuk dan menyerang, aku akan melindungimu."

 

"Bu-Bukan itu yang aku maksud...."

Novem terdiam, hampir seperti menyerah.

 

Di belakangku, aku bisa merasakan mata orang banyak semakin iri dari detik ke detik. Namun, mereka sama sekali tidak menggangguku—aku mengabaikan mereka sepenuhnya. Sementara itu, persiapan Profesor Damian hampir selesai. Dia menyalakan sakelar, lalu mengangguk pada dirinya sendiri.

 

"Ya, seharusnya sudah selesai."

Tiba-tiba, Demonic Stone milik Profesor Damian memenuhi ruangan dengan cahaya merah yang kuat. Kemudian, perlahan, Demonic Stone itu meleleh, hingga kubah yang menutupinya benar-benar kosong. Begitu cahaya itu padam, tutup kedua peti mati perlahan terbuka, dan aku bisa mendengar suara udara menyembur keluar dari keduanya. Dan kedua peti mati itu pun terungkap...

 

Uwahh, mereka benar-benar tampak seperti putri yang tertidur di tempat tidur mereka!

Automaton Profesor Damian dibuat menyerupai seorang gadis muda, dan berambut hitam panjang. Pakaian birunya dihiasi renda putih di bagian lengan dan kerah, namun yang paling mencolok adalah celemek yang dikenakannya, yang dihiasi dengan embel-embel seperti gaun pesta. Secara kebetulan, tampaknya automatonku mengenakan celemek yang sama persis.

 

"Jadi mereka automaton?"

Tanyaku kepada profesor, sambil mencondongkan tubuh ke depan dengan rasa penasaran.

 

"Mereka hampir tampak seperti hidup."

 

Automatonku berkulit pucat dan berambut keemasan yang sangat panjang sehingga meskipun diikat menjadi kuncir, rambutnya masih mencapai pinggulnya. Ujung ekor rambut ini melengkung ke atas di bagian paling ujung, namun secara keseluruhan, rambutnya lurus dan bervolume. Sama seperti automaton Profesor Damian, automatonku memiliki renda putih di sekitar kerah dan lengan bajunya dan memiliki lipatan di ujung rok panjangnya, namun daripada berwarna biru tua, gaun automatonku berwarna merah terang. Celemek putihnya melilit bahu dan perutnya, menutupi tonjolan indah dadanya, dan berakhir tepat di ujung roknya.

 

"Kenapa dia mengenakan gaun dan celemek?"

Tanyaku sambil berpikir.

 

"Tampaknya, orang-orang kuno menganggap itu sebagai pakaian standar untuk pelayan dan pembantu."

Kata Profesor Damian kepadaku, sambil membolak-balik buku catatan tulisan tangan saat dia menjawab.

 

"Namun, tampaknya ada beberapa variasi dalam polanya."

 

Begitu ya.

Pikirku, sambil mengangguk serius.

 

Jika itu kebiasaan orang-orang kuno, aku harus menerimanya.

 

"Baiklah kalau begitu."

Kataku kepada profesor.

 

"Jadi... bagaimana kita membangunkannya?"

 

Profesor Damian menyerahkan jarum kepadaku.

"Tampaknya, kau harus menawarkan darah sebagai katalisator kontrak. Kau harus memasukkan setetes darah ke dalam mulut mereka, atau kau juga bisa memasukkan jari yang berdarah ke dalamnya."

 

Darah untuk kontrak?

Aku bertanya-tanya dalam hatiku.

 

Itu... bagaimana aku harus bilangnya ya... dalam cerita, orang-orang yang kalian ajak membuat kontrak darah bukanlah orang yang baik. Belum lagi...

 

Aku menatap gadis yang sedang tertidur itu.

"Profesor Damian... itu tidak akan berhasil."

 

"Hah? Kau benar-benar berpikir itu tidak akan berhasil? Aku sudah mendisinfeksi jarum itu dengan benar, kau tahu, tapi kau selalu bisa menggunakan pisaumu sendiri jika kau mau."

 

Tidak, bukan itu maksudku.

Pikirku, merasa sedikit terkejut dengannya.

 

Mengapa dia tidak menyadarinya?

 

"Profesor Damian, metode untuk membangunkan tuan putri yang sedang tidur telah diwariskan selama berabad-abad, bukan? Dan itu adalah ciuman! Memberi darah itu tidak sopan."

 

Profesor itu menatapku dengan ragu.

"Tidak, tidak, kita membuat kontrak di sini! Apa hubungannya ciuman dengan itu?"

 

Mengabaikannya, aku merentangkan tanganku dan berkata,

"Bagiku, Lyle Walt, tidak ada yang mustahil! Karena kau tahu, aku adalah orang yang dipilih oleh takdir itu sendiri! Aku mungkin bukan seorang pangeran, tapi aku lebih baik dari itu! Bahkan, bisa dibilang aku lebih berharga daripada pangeran mana pun, karena kau tidak akan pernah menemukan laki-laki lain sepertiku!"

 

Aku melihat Novem yang menatapku dengan tatapan khawatir sambil tersenyum dan mendekati automatonku.

"Sekarang, tuan putri yang tertidurku...." Kataku.

 

"Saatnya memberimu ciuman selamat pagi."

 

Di dalam Jewel, kepala keluarga ketiga tertawa terbahak-bahak.

"Ini dia! Hahahaha—aku sudah mencapai batasku! Oww, perutku sakit!"

 

Dan, dengan begitu saja, aku mencondongkan tubuh ke depan dan mencium automaton yang sedang tidur itu. Awalnya baik-baik saja, namun kemudian aku merasakan lidahnya memasuki mulutku!

Gadis ini! Dia baru saja mengubah ciuman pertamaku menjadi French kiss! Hahaha, aku tidak akan kalah!

 

Dipenuhi dengan semangat juang, aku juga memasukkan lidahku ke dalam mulut automaton itu. Mata automaton itu perlahan terbuka, dan iris merah yang menatapku dari antara bulu matanya benar-benar indah untuk dilihat. Aku merasa seolah-olah aku akan tersedot langsung ke dalamnya. Automaton itu menarik lidahnya, dan dengan demikian, aku perlahan berpisah darinya.

 

"Sekarang bagaimana perasaanmu, tuan putri?"

Tanyaku dengan sopan.

 

"Namaku Lyle Walt... tapi kamu boleh memanggilku Pangeran Tampan."

 

Profesor Damian tampak sangat gembira dengan tindakanku. Dia memerintahkan asisten di dekatnya untuk segera mulai merekam sambil memujiku.

"Itu luar biasa, bahkan tidak dapat dipercaya! Lyle, aku tidak pernah mengira kau bisa mengaktifkan automaton seperti itu! Ini penemuan yang luar biasa!"

 

Saat Profesor Damian terus mengoceh, automatonku perlahan duduk. Dia melihat sekeliling dan membuka mulutnya, kata-kata mengalir dari bibirnya, hampir seperti mantra.

"Memulai tautan data.... tidak dapat terhubung. Mencoba lagi... Mencoba lagi... Gagal. Sistem beralih ke operasi independen. Jaringan tidak ditemukan... Memulai kontak dengan unit saudara.... tidak ada respons. File sistem penting hilang. Perbaikan tidak mungkin dilakukan. Akses ilegal terdeteksi. Mengonfirmasi gangguan tubuh. Memulai pemeriksaan otomatis...."

 

Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, terpesona. Aku tidak keberatan— automatonku itu mungkin lebih menonjol daripadaku, namun dia tetap automatonku. Pada akhirnya, semuanya sama saja. Beberapa saat berlalu, dan automatonku terus bergumam. Akhirnya, automatonku berdiri dari tempat tertidurnya dan menoleh ke arahku, dia menjepit ujung roknya di antara jari-jarinya dan mengangkatnya sambil menundukkan kepala. Itu adalah gerakan yang elegan, yang telah disempurnakan hingga mencapai kesempurnaan.