"Itu jarang terjadi pada Sophia-san...." Kataku dengan pelan.
Sophia adalah gadis yang bersungguh-sungguh—aku belum pernah melihatnya tertidur sekali pun sebelumnya. Terlebih lagi, kami memberinya waktu untuk tidur sebentar sebelum dia bertugas berjaga, jadi dia sudah sepenuhnya siap. Dia seharusnya cukup istirahat untuk tetap terjaga. Aku menimbang-nimbang apa akan membangunkannya atau tidak, namun Miranda menghentikanku sambil tersenyum.
"Biarkan dia tertidur." Bisik Miranda.
"Dia tampak kelelahan."
Aku menggaruk kepalaku dengan canggung dan menatap wajah Sophia yang damai dan tertidur.
Sophia-sam memang tampak sangat menawan saat tertidur....
Aku menghela napasku.
"Kurasa itu tidak apa-apa."
"Aku kira Aria akan tertidur, tapi tidak dengan Sophia."
Kata kepala keluarga kedua, terdengar bingung.
"Itu aneh. Keseriusannya seperti satu-satunya kelebihannya."
Karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, aku memperhatikan Miranda saat dia memeriksa peralatannya dengan cahaya lentera. Rasanya seperti melihat seorang petualang kawakan bekerja—Miranda dengan cermat memeriksa setiap barang, sesekali melakukan sedikit perawatan.
Saat akhirnya aku memeriksa waktu, ternyata sudah cukup larut malam sehingga lebih baik aku bangun daripada tertidur lagi. Aku melangkah maju dan berdiri, lalu meregangkan tubuh untuk menghilangkan rasa kaku di tubuhku. Di dekatnya, Novem, Aria, Clara, dan Profesor Damian masih tertidur. Dungeon adalah tempat yang berbahaya saat sebagian besar rekan kalian tidak bertugas seperti ini. Aku memeriksa area di sekitar kami untuk mencari musuh, untuk berjaga-jaga, namun tidak ada satu pun di dekat sini.
Sepertinya ada dua kelompok petualang lain bersama kami di lantai dua puluh satu.
Aku melihat itu dengan Art-ku. Kedua kelompok itu tidak bergerak di peta pikiranku, kemungkinan besar karena mereka sedang beristirahat. Merasa lebih tenang, aku pergi dan duduk di dekat Miranda. Saat aku mengamati area itu, Miranda mengeluarkan sup sarapan. Terlebih lagi, makanan itu tampak segar, bukan sisa makanan kemarin yang kuharapkan.
"Kamu baru saja membuatnya?"
Tanyaku padanya.
"Apa yang terjadi dengan makanan yang kita simpan dari kemarin?"
Miranda mengangkat bahunya.
"Kita makan lebih banyak dari yang kukira." Katanya, mengakui itu.
"Itu bukan masalah besar—kita punya persediaan yang cukup. Omong-omong, apa kamu mau?"
Aku mengangguk, dan Miranda menuangkan sebagian sup ke dalam mangkuk. Dia menyerahkannya kepadaku, bersama dengan sepotong roti.
Rasanya sangat berbeda dari jenis sup yang disiapkan Novem.
Pikirku begitu aku mulai memakannya.
Bagaimanapun, rasanya tetap enak.
"Rasanya lumayan."
Kataku pada Miranda, sambil tersenyum padanya.
"Begitu ya."
Kata Miranda dengan lembut.
"Senang mendengarnya."
Setelah itu, kami menghabiskan waktu dalam keheningan. Suasana di antara kami cukup canggung, namun tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mengatasinya. Para leluhurku juga tidak membantu—mereka mengobrol di dalam Jewel, namun tidak ada satu pun percakapan mereka yang berhubungan dengan kesulitanku saat ini.
"Hei, Lyle."
Kata kepala keluarga ketiga, akhirnya memberiku nasihat.
"Mungkin sebaiknya kau mencoret-coret wajah Sophia. Menurutku, itu hukuman yang pantas."
"A-Apa?!"
Teriak kepala keluarga keempat, suaranya bergetar seolah-olah kenangan buruk baru saja muncul.
"Kenapa kau menyarankan untuk melakukan hal seperti itu pada wajah seorang perempuan? Kalau kau melakukannya, maka— Urgh! R-Rasa sakit perutku mulai kambuh...."
Aku tidak pernah tahu bahwa leluhurku bisa merasakan sakit perut.
Pikirku dengan bingung.
Maksudku, mereka itu hanya kenangan... apa yang mungkin dipikirkannya sehingga membuatnya bereaksi seperti itu?
Aku merenungkan pikiran itu sejenak, namun akhirnya hanya menghela napas.
Ah, terserahlah. Sejujurnya, aku tidak peduli.
Tetap saja, suasananya menjadi terlalu sunyi—baik di dalam maupun di luar pikiranku. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba memulai percakapan dengan Miranda.
"Ini agak tiba-tiba." Kataku.
"Tapi aku hanya penasaran saja, apa yang kamu pelajari di Akademi?"
Miranda berkedip karena terkejut, namun menjawab pertanyaanku tanpa ragu.
"Oh, itu.... hanya berbagai hal." Katanya padaku.
"Kebanyakan obat-obatan. Aku ingin mengobati mata Shannon, jadi awalnya, aku mendedikasikan sedikit waktuku untuk mempelajari ilmu sihir, tapi akhirnya aku tidak berbakat di bidang itu. Mempelajari ilmu kedokteran adalah pilihan terbaikku berikutnya, jadi itulah yang akhirnya kupilih." Miranda menghela napasnya.
"Menyembuhkan Shannon masih tidak ada harapan. Tampaknya, fakta bahwa dia terlahir dengan penyakitnya ada hubungannya dengan itu. Beberapa dokter terkenal telah mengatakan kepadaku bahwa lebih baik aku menyerah saja, karena penyakitnya dikatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat disembuhkan oleh seseorang."
"Miranda ini benar-benar mewarisi kebaikan Milleia."
Kata kepala keluarga keenam dengan suara sedih.
"Sedangkan untuk Shannon itu...."
"Hei, jangan menangis."
Kata kepala keluarga kelima dengan suara tidak menyenangkan.
"Kau itu laki-laki jantan, ingat? Tetap saja, jarang menemukan gadis yang baik hati akhir-akhir ini. Mereka juga jarang di eraku."
Pasti maksudnya langka di antara para bangsawan, khususnya.
Pikirku sambil tertawa kecil.
Aku kembali fokus ke Miranda dan bertanya,
"Bagaimana dengan Profesor Damian? Apa dia juga ahli dalam bidang kedokteran?"
Akan masuk akal jika memang begitu, karena itu akan menjelaskan bagaimana Miranda mengenalnya. Namun, sepertinya aku salah, karena Miranda menggelengkan kepalanya padaku sambil tertawa kecil.
"Tidak, dia tidak ahli dalam bidang itu. Memang aku mengambil beberapa kelas darinya, tapi aku mengambil berbagai macam kursus. Aku selalu cukup mahir, kamu tahu. Aku bisa melakukan hampir semua hal, setidaknya sampai tingkat tertentu. Tapi di situlah letaknya. Aku ahli dalam segala hal, tidak menguasai satu pun."
"Itu tidak benar." Bantahku.
"Caramu bertarung hari ini, itu bukan hanya—"
Miranda memotong perkataanku dengan helaan napas yang kuat, menatap ke arah cahaya lentera.
"Jika kamu benar-benar memahami inti masalahnya, kamu akan menyadari bahwa mereka yang memiliki sifat terkuat akan menjadi yang terkuat. Aku tidak memiliki kecepatan seperti Aria, atau kekuatan seperti Sophia. Aku tidak memiliki kemahiran seperti Novem dalam sihir, atau kemampuan untuk menggunakan Art khusus. Aku juga tidak mampu menggunakan banyak Art secara ahli sepertimu, Lyle."
Aku mengusap ujung hidungku dengan malu-malu, hanya untuk mendengar suara ejekan yang tidak jelas dari dalam Jewel.
"Oh, jadi kau memandang kami dengan aneh saat kami memujimu, tapi kau akan percaya saat seorang gadis cantik saat dia mengatakan itu, ya?"
Tanya kepala keluarga ketiga.
"Dan juga, Lyle—jangan lupa kau punya Novem, oke? Aku tahu semua orang sudah tidur, tapi kau harus benar-benar mengurangi rayuanmu."
Ugh. Dia sangat menyebalkan.
Pikirku dalam hati.
Miranda berdiri.
"Omong-omong, sudah waktunya bagi kita semua untuk bangun." Katanya.
"Aku akan membangunkan Sophia."
Miranda menghampiri gadis yang sedang tidur itu, lalu memanggil namanya dengan lembut. Sophia melompat berdiri sambil tersentak.
"Heeh? A-Apa yang sedang kulakukan?"
Tanya Sophia, wajahnya memerah. Saat menyadari apa yang terjadi, dia mulai meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Uwah, dia bahkan sampai berlinang air mata.
Pikirku, terkejut melihat betapa kerasnya Sophia menghadapi ini.
Kurasa memang benar dia membuat kesalahan yang cukup besar. Kelompok kami bisa saja mengalami kerusakan yang luar biasa jika kami diserang saat dia sedang tertidur.
Miranda hanya menanggapi kekesalan Sophia dengan senyuman manis.
"Kalau begitu."
Kata Miranda, mencoba menenangkan kegugupan Sophia.
"Hari ini pasti akan sibuk, bukan?"
Mungkin dia benar.
Pikirku. Kami sekarang berada di lantai dua puluh satu, namun berencana untuk masuk lebih dalam hari ini. Kami kemungkinan besar akan bertemu dengan banyak monster, karena perangkat pemindahan lantai tidak terhubung ke lantai mana pun di atas lantai dua puluh lima, dan hanya sedikit petualang yang menantang level tersebut dengan frekuensi tinggi. Guild juga belum menerima laporan tentang kekalahan boss lantai tiga puluh akhir-akhir ini.
"Aku tidak tahu apa itu."
Kata kepala keluarga kedua.
"Tapi aku punya firasat aneh.... hampir seperti kita berjalan langsung ke dalam perangkap. Aku sama sekali tidak suka ini."
Jika seseorang seperti dia, yang punya naluri tajam, mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu, sebaiknya kami waspada terhadap masalah yang mungkin datang. Pikirku.
***
Ketika kami berangkat hari itu, aku menuntun kelompokku pada rute yang menghindari sebanyak mungkin pertemuan, baik dengan monster maupun petualangan lainnya. Sejauh ini itu berjalan cukup baik bagi kami, namun kami terhenti di lantai dua puluh sembilan. Kami sudah cukup dekat dengan lorong menuju lantai berikutnya, namun pemandangan yang menanti kami di koridor gelap di depan menandakan masalah.
"Ini berita buruk..." Kataku.
Aku menatap ke dalam kegelapan, melihat beberapa monster bergerak maju mundur. Satu-satunya yang bisa kulihat dengan jelas adalah manusia kadal, karena monster itu memegang lentera yang menyala di salah satu tangannya.
Jika kami membuat terlalu banyak suara, kami akan menarik semua perhatian mereka.
Pikirku, merasa waspada.
"Inilah yang kau dapatkan karena mencoba menghindari mereka semua."
Kata kepala keluarga kelima sambil menghela napas.
"Kau seharusnya mencatat di mana semua musuh berada saat kau datang ke lantai ini, dan membuat suara di sekitar pintu masuk agar mereka berkumpul di sana. Meskipun begitu, jika kau tidak membasmi mereka sedikit, kau akan mendapat masalah dalam perjalanan kembali ke permukaan."
Saat aku menghitung musuh di depanku dan menyusun rencana, aku benar-benar menyesali tindakanku.
"Kita bisa melakukannya."
Aku bersumpah dalam hati.
"Aku akan mengatasinya."
Kata-kata itu cukup untuk menggerakkan Novem.
"Lyle-sama."
Kata Novem dengan hati-hati, sambil mencengkeram lenganku.
"Tolong jangan melakukan hal yang gila."
Kurasa rencanaku tidak gila.
Pikirku dalam hati.
Hanya saja lebih nyaman bagiku untuk melakukannya sendiri.
Memang, koridornya luas, namun jika pertempuran menjadi terlalu berantakan, kami akan berakhir dengan tertukarnya kawan dengan lawan. Jika itu terjadi, akan sulit bagi kami untuk menggunakan sihir. Aku bisa melihat bencana itu terjadi di kepalaku.
"Aku akan baik-baik saja."
Kataku, meyakinkannya.
"Semuanya, bersiaplah."
Dengan itu, aku menghunus pedangku dan melesat ke medan pertempuran.
"Water Bullet."
Kataku, mengulurkan tangan kiriku dan mengarahkannya ke manusia kadal itu. Air muncul dari ujung jariku, terkumpul menjadi bola yang melesat ke arah lentera yang dipegang salah satu tangannya.
Ada suara berdesing saat cahaya itu padam. Para monster itu jelas gelisah. Untungnya, aku menggunakan Art kepala keluarga kedua, Semua, jadi bahkan dalam kegelapan aku tahu area di sekitarku seperti punggung tanganku. Aku bergegas menghampiri manusia kadal itu, yang kini tengah bergegas untuk mengambil pedangnya, dan menusukkan salah satu pedangku tepat ke jantungnya. Monster itu terbanting ke tanah, mati, dan suara itu membuat monster-monster buta lainnya mengayunkan senjata mereka ke sana kemari dalam kegelapan.
"Ups." Kataku.
Monster-monster itu mungkin kesulitan melihat, namun itu tidak berarti mereka sepenuhnya buta. Mereka jelas setidaknya memiliki gambaran samar tentang di mana aku berdiri. Aku seharusnya tidak terkejut—makhluk-makhluk ini telah menghabiskan seluruh hidup mereka menjelajahi lorong-lorong gelap dungeon ini. Terdengar suara mendesing, dan tongkat kayu milik orc berayun di atas kepalaku.
Wah, itu terlalu dekat.
Pikirku sambil meringis.
Aku membidik celah di armor logam orc itu dan menusukkan pedangku ke dalamnya, merobek tenggorokan monster itu. Monster itu batuk darah saat jatuh. Manusia kadal lain mengayunkan kapak perangnya ke arahku, namun aku menghindarinya dengan langkah mundur. Setelah tidak mengenai sasarannya, momentum di balik lengan manusia kadal itu terus membawa kapak itu maju, mengirimkannya jauh ke dalam daging orc di dekatnya.
Itulah yang kuinginkan!
Aku bersorak dalam hati.
Mereka saling melukai. Aku tahu aku benar untuk bertarung dalam pertempuran ini sendirian.
Saat manusia kadal itu berjuang untuk mencabut kapaknya dari orc itu, aku menusukkan salah satu pedangku ke tubuhnya. Monster terakhir, yang merupakan orc lain, mencoba melarikan diri, namun aku melompat ke punggungnya dan menusukkan ke tengkuknya yang tidak dijaga.
"Maksudku, aku tidak terlalu peduli dengan hal ini, tapi.... mengapa manusia kadal tidak mengenakan armor di dada atau perut mereka?"
Kataku, bertanya-tanya keras soal itu.
Mereka mengenakan perlengkapan pelindung di lengan, kaki, dan bahu mereka, setidaknya, jadi mengapa tidak di bagian tubuh lainnya? Aku benar-benar bingung dengan itu.
Mungkin karena mengenakan armor lengkap agak merepotkan bagi mereka....
Pikirku dalam hati.
Bagaimanapun, pertempuran telah berakhir. Aku menerangi area itu dengan cahaya sihir, dan anggota kelompokku yang lain berjalan ke arahku untuk bergabung. Clara menunjukkan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia memiliki beberapa pikiran dan perasaan untuk dibagikan kepadaku, namun akhirnya dia memilih untuk memprioritaskan pekerjaannya. Clara berpaling dariku, dan mulai mengumpulkan Demonic Stone milik para monster itu.
Profesor Damian duduk di bahu salah satu bonekanya—dia menatapku dengan heran saat boneka itu berjalan ke arahku.
"Aku tahu aku bukan orang yang tepat untuk berbicara, tapi Lyle, kau itu... tidak, lupakan saja itu."
"Tolonglah, Profesor, selesaikan apa yang akan kau katakan itu."
Kataku kepadanya.
"Sekarang kau membuatku penasaran."
Aku mendengar kepala keluarga keempat menghela napas dari dalam Jewel.
"Lyle, penting bagimu untuk menyadarinya sendiri. Bagaimana kalau kau berpikir sejenak sebelum bertindak lain kali, hmm?"
Apa yang telah kulakukan hingga harus menerima komentar seperti itu?
Aku bertanya-tanya sambil menyeka bilah pedangku dan menyarungkannya.
Novem menatapku dari jarak beberapa kaki.
"Lyle-sama.... apa kamu terluka?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Tidak, aku baik-baik saja."
Kataku, meyakinkannya.
"Kita harus bergegas dan terus maju."
***
Tak lama setelah itu, kami mencapai lantai ketiga puluh, rumah salah satu boss lantai dungeon Kota Akademik Aramthurst. Kami telah mengetahui dalam perjalanan turun bahwa lantai boss dibangun sedikit berbeda dari yang lain; lantai itu tidak dibangun di lorong-lorong panjang seperti labirin, seperti labirin yang telah kami lalui, namun hanya terdiri dari jalur tunggal yang mengarah ke ruangan melingkar besar di tengahnya. Hanya itu saja—dengan sebuah lingkaran dan garis lurus yang memotong bagian tengahnya.
Meski begitu, mengintip ke dalam ruangan boss cukup mudah. Aku menatap ke depan ke arah makhluk yang akan menjadi musuh kami, mataku mengikuti bentuk silindernya saat makhluk itu bergerak naik turun di udara di tengah ruangan boss. Aku tidak begitu yakin makhluk apa itu, meskipun penampilannya cukup sederhana—makhluk itu berbentuk bulat seperti gumpalan yang tingginya kira-kira sama dengan dua orang dewasa yang ditumpuk satu di atas yang lain. Makhluk itu memiliki mata tunggal yang menatap keluar dari bagian atasnya, dan empat bola yang membentuk bagian bawahnya.
"Itu boss lantai tiga puluh."
Clara menjelaskan kepada kami semua.
"Sebuah kelompok yang sebelumnya aku ikuti mengepungnya di semua sisi dengan perisai, dan melancarkan segala macam serangan padanya dari balik tembok pertahanan yang mereka buat. Mata monster itu dapat memancarkan sinar laser yang sangat panas yang melelehkan apapun yang disentuhnya. Serangan fisiknya juga merupakan ancaman—jika serangan itu berhasil mengenaimu, kau akan hancur lebur... kau tidak akan bisa melanjutkan."
Jadi, jika kami menjaga jarak, monster itu akan melelehkan kami, tapi jika kami tetap terlalu dekat, monster itu akan menggunakan ukurannya yang besar untuk menabrak kami. Pertarungan itu terdengar cukup mudah, tapi monster itu akan tetap sulit ditangani. Pikirku.
Clara kemudian mulai menjelaskan kepada kami berbagai cara untuk mengalahkan boss lantai itu.
"Kau dapat memancingnya agar mencoba menabrakmu, lalu mengejutkannya dan mulai melolong padanya." Kata Clara kepada kami.
"Dalam hal itu, penting untuk tidak berdiri di depan matanya. Selain itu, selalu ada pilihan untuk menghancurkan mata itu sendiri. Setelah matanya hancur, makhluk itu tidak akan memiliki cara untuk melakukan serangan yang tepat."
Kedengarannya lebih masuk akal bagi kami untuk mengincar mata itu, daripada mencoba mengepungnya.
Kuputuskan itu setelah mendengarkan semua yang dikatakan Clara.
Kami tidak benar-benar memiliki cukup anggota kelompok untuk membuat strategi pertama itu berhasil.
"Apapun yang kau putuskan, berhati-hatilah."
Clara memperingatkan, membuyarkan pikiranku.
"Kau tidak akan disegel di dalam ruangan boss, tapi begitu kau menarik perhatian monster itu, monster itu akan mengejarmu ke lorong-lorong dungeon jika kau lari. Kau tidak bisa masuk ke sini dengan mentalitas bahwa kau akan bisa lari jika kelihatannya kau akan gagal—itu bisa membuat kita semua musnah."
Itu mengerikan.
Pikirku sambil menggigil.
Jika monster itu mengejar kami di jalan yang lurus, monster itu akan melelehkan kami semua menjadi lembek dari belakang dengan sinar lasernya.
"Oh?"
Tiba-tiba kudengar dari dalam Jewel. Kepala keluarga ketiga tampaknya telah memikirkan sesuatu.
"Mengapa kita tidak memancingnya ke lorong saja? Kedengarannya cukup menyenangkan, bukan?"
"Ah, begitu ya."
Kata kepala keluarga keenam sambil tertawa.
"Akan lebih mudah bertarung di tempat yang begitu kecil, daripada di area yang luas tanpa tempat untuk bersembunyi."
Mereka mulai lagi. Konferensi rencana telah dimulai.
Pikirku dalam hati.
"Jadi maksud kalian itu, kelompok Lyle hanya perlu menyelesaikan masalah di sini, di lorong, lalu...." Renung kepala keluarga kedua.
"Ya."
Kepala keluarga ketiga setuju.
"Boss itu tidak akan bisa lari ke mana-mana di koridor sempit ini—meskipun, perlu diingat, kita juga tidak."
"Itu artinya mereka berdua akan menjadi kuncinya...."
Renung kepala keluarga keempat.
"Selain itu, seseorang perlu bertindak sebagai umpan."
Renung kepala keluarga kelima.
"Kurasa aku ingin sedikit informasi lagi."
Kepala keluarga keenam tertawa terbahak-bahak.
"Lyle seharusnya cocok dengan peran itu. Sebaliknya, aku tidak bisa memikirkan orang lain yang lebih cocok darinya."
"K-Kau menyarankan kita menggunakan Lyle sebagai umpan?"
Protes kepala keluarga ketujuh dengan marah.
"Hmm, aku tahu itu pilihan terbaik, tapi.... aku tidak bisa menerimanya...."
Kedengarannya mereka ingin semacam informasi dikonfirmasi.
Pikirku dalam hati.
Begitu mereka memberitahu apa itu, aku berbalik dan mengonfirmasinya dengan Clara. Merasa lebih aman begitu mereka mendapatkan jawabannya, para leluhurku kemudian memutuskan bahwa kami tidak akan mendapat masalah jika kami mengikuti rencana mereka. Setelah itu, aku menyampaikan rencana kami itu kepada seluruh anggota kelompokku.
***
"Sepertinya sekrup kepala Lyle itu jelas-jelas sudah lepas...."
Kata Aria dengan suara pelan.
(Maksudnya di sini, si Lyle dianggap gak waras/gila)
Saat ini, Aria tergantung di tombaknya, yang telah ditancapkan di titik tinggi di dinding koridor menuju ruangan boss. Sepertinya itu akan menjadi posisi yang agak berbahaya—Aria hanya mencengkeram tombaknya dengan erat di satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk mendekap Sophia di dadanya—namun sekarang tidak seburuk itu karena Sophia telah meringankan mereka berdua menggunakan Art-nya.
Aku seharusnya bisa bertahan di sini dengan nyaman untuk waktu yang cukup lama.
Pikir Aria, memutuskan itu.
Sophia bergerak dalam pelukan Aria, membuatnya melirik ke bawah.
"Aku harus menebus kesalahanku...."
Kata Sophia dengan putus asa.
Dia masih cemas karena akan tertidur selama tugas jaga.
Pikir Aria, menyadari hal itu.
Sepertinya itu benar-benar membebaninya.
"Lupakan tentang itu."
Kata Aria sambil menghela napasnya.
"Dengan cara kami melakukan sesuatu, pengintaian sejujurnya tidak begitu penting."
Bagaimanapun, mereka memiliki Lyle, yang telah menggunakan Art-nya untuk membimbing mereka ke monster-monster di sekitar sehingga mereka dapat mengalahkan mereka semua terlebih dahulu. Keselamatan mereka hampir terjamin saat Lyle menggunakan Art miliknya itu.
Namun hal itu tidak cukup bagi Sophia; dia menggelengkan kepalanya.
"Itu salah." Protes Sophia.
"Semua orang mempercayakan hidup mereka kepadaku, dan aku... menurutku itu aneh."
"Apa maksudmu?" Tanya Aria.
"Aku makan makananku sebelum bertugas jaga, dan kemudian aku tertidur nyenyak."
Kata Sophia, wajahnya serius.
"Aku hampir tidur sampai pagi ketika aku mulai bertugas sebagai pengintai. Jadi, bagaimana mungkin aku tertidur pada jam itu, ketika aku baru saja bangun?"
"Mungkin tubuhmu hanya ingin tidur lebih lama."
Kata Aria dengan mudah. Sejujurnya, dia tidak banyak berpikir tentang masalah itu.
Meskipun, tentu saja cukup aneh bahwa Sophia tertidur di tengah-tengah tugasnya, dengan betapa seriusnya dia biasanya tentang berbagai hal....
Pikir Aria dalam hatinya.
Ah, lagipula, kami punya waktu luang sampai Lyle tiba. Sebaiknya kami lanjutkan pembicaraan ini.
"Apa ada yang.... terasa berbeda dari biasanya?"
Tanya Aria kepada Sophia.
Sophia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak ada yang khusus. Miranda menawariku sebagian sisa roti dan sup dari kemarin, tapi itu—"
Perkataan Sophia itu terputus oleh keributan yang terjadi di pintu masuk koridor. Kedua gadis itu memperhatikan saat Lyle berlari keluar dari ruangan boss, monster berbentuk silinder yang mengambang itu mengejarnya.
Aria segera mengubah arah pembicaraan.
"Mereka di sini."
Kata Aria kepada Sophia.
"Bersiaplah."
Ekspresi khawatir Sophia segera berubah menjadi serius.
"Aku siap kapanpun kau siap." Balasnya kembali.
Monster boss itu mengumpulkan cahaya di matanya saat mengejar Lyle, lalu menembakkannya sebagai laser. Serangan itu menghantam lantai, tempat benturan berubah menjadi merah menyala lalu mencair. Aroma asap dan panas yang membakar memenuhi udara saat Lyle dengan cekatan bermanuver di sekitar serangan monster boss itu, mengarahkannya semakin dekat ke tempat di bawah tempat Aria dan Sophia tergantung menunggu.
Dia melakukan terlalu banyak hal lagi.
Pikir Aria sambil menghela napasnya.
Aria harus mengakui, dia merasa frustrasi karena terlepas dari semua yang dipikirkan Lyle itu, Lyle tidak pernah benar-benar berbagi pikirannya dengan Aria atau anggota kelompoknya yang lain. Lyle itu punya kebiasaan mengambil kesimpulan sendiri, tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain.
Mungkin dia hanya memilih apa yang dia pikir sebagai pilihan terbaik.
Kata Aria pada dirinya sendiri.
Tapi, bagi kami semua, itu seperti dia hanya memikul semua tanggung jawab pada dirinya sendiri. Itu membuatku merasa dia tidak memercayai kami sedikit pun, dan aku yakin aku bukan satu-satunya yang merasa seperti itu. Aku hanya... Aku hanya berharap dia berbicara lebih banyak dengan kami. Aku ingin dia lebih bergantung padaku.
Aria menggertakkan giginya karena frustrasi. Aria tahu itu tidak semudah itu—Aria dan Sophia tidak cukup kuat atau cukup kompeten untuk membuat Lyle melakukan apa yang diinginkan Aria itu.
"Aria!"
Sophia berbisik kasar, menarik Aria dari pikirannya.
"Monster itu di sini!"
Aria menunggu sampai monster boss itu berada tepat di bawahnya, lalu mencabut tombaknya dan menendang dinding dengan Sophia masih terkepal di lengannya. Aria telah memperkirakan jaraknya dengan baik—dia mendarat tepat di atas kepala monster boss. Sophia segera memastikan di mana mata monster itu berada, lalu menambah berat badannya dan Aria. Sambil membuat mereka semakin berat, dia memusatkan kekuatannya sehingga monster itu akan jatuh ke arah di mana matanya terhalang dari lorong lainnya.
"Bagaimana?"
Sophia bertanya pada Aria.
"Kau merasa cukup berat, kan?"
Itu kalimat yang tidak bisa kudengar, sebagai seorang perempuan.
Pikir Aria saat dirinya merasakan monster itu mulai bergoyang semakin keras di bawah kakinya.
Akhirnya, berat gabungan kedua gadis itu mencapai titik yang tidak dapat ditahan monster itu lagi, dan tubuh monster itu yang berbentuk silinder jatuh menyamping ke lantai. Sekarang setelah monster itu jatuh ke tanah, Sophia malah fokus untuk menambah berat tubuh monster itu, menjepit monster itu ke tanah dengan bobot monster itu sendiri.
"Sepertinya alasan monster ini selalu bergoyang-goyang adalah karena monster ini hampir tidak dapat berdiri sendiri."
Kata Aria, menyeka keringat dari dahinya.
Aria melepaskan Sophia dan menendang monster boss itu dengan ringan. Namun kemudian, monster itu melakukan sesuatu yang tidak terduga—monster itu berbicara.
"....sys—! Er.... or..."
Terkejut dan terganggu dengan hal itu, Aria cepat-cepat mundur.
"M-Monster itu baru saja berbicara!" Teriaknya.
Monster itu menyeramkan.
Pikir Aria sambil menggigil.
Rasanya tidak tepat jika ada sesuatu yang bukan tampak seperti manusia berbicara dalam bahasa manusia.
Profesor Damian melompat turun dari tempat duduknya di bahu bonekanya dan melangkah ke arah monster boss yang tak berdaya itu.
"Kami memang menerima laporan di Akademi bahwa makhluk itu berbicara."
Katanya, mengakui hal itu.
"Tapi tidak seorang pun dapat memahami apa yang dikatakannya. Hal itu memang menarik, tapi para peneliti lain semuanya sibuk, jadi tidak ada yang menyelidikinya."
Dia memegang semacam alat di tangannya.
Aria menyadari itu, sambil memperhatikan profesor itu.
Aria memperhatikan saat profesor itu menatap tajam ke atas kepala monster silinder itu, lalu bergerak maju dan perlahan mulai menggunakan alatnya untuk memisahkannya.
Bahkan tidak ada setetes darah pun yang keluar darinya... itu aneh sekali.
"M-Monster itu agak menakutkan."
Kata Aria dengan tergagap.
"Monster itu bahkan tidak berdarah! Seolah-olah tidak hidup."
"Aku tidak akan menyebutnya sebagai organisme hidup."
Profesor Damian memberitahunya dengan nada tidak tertarik.
"Hal ini tidak seperti makhluk ini langka, di Kota Akademik Aramthurst. Oh! Aku bisa membukanya."
Aria berharap melihat sesuatu yang lebih jelas saat melihat ke dalam tengkorak makhluk yang terbuka itu, namun pemandangan di hadapannya sangat berbeda dari apa yang dia bayangkan. Tidak ada otak, tidak ada tumpukan organ—hanya sekelompok pelat logam dan benang-benang yang berantakan dengan warna yang berbeda.
"Umm.... apa itu?"
Tanya Aria, merasa terkejut dengan hal itu.
Profesor itu tidak memedulikannya.
"Astaga, aku sudah melihat banyak sekali hal ini; aku sudah lama tidak tertarik dengan itu." Katanya dengan pelan. Dia mengulurkan tangan dan mengambil salah satu benang.
"Hmm, yang satu ini?"
Katanya, mencabut itu dari kepala monster itu dan memotongnya.
"Yah, setidaknya tubuhnya dalam kondisi baik."
Katanya akhirnya sambil menghela napas.
"Tapi hanya itu saja."
Aria menyerah membuat profesor itu menjawab pertanyaannya dan mencari Lyle—Lyle pasti kelelahan karena berlarian sebagai umpan, karena dia duduk di ujung koridor dan minum air. Novem berdiri di dekat Lyle, menatap Lyle dengan tatapan lelah, namun Lyle tampaknya tidak membalas tatapan Novem itu.
Sepertinya Lyle tahu Novem ingin mengatakan sesuatu padanya.
Pikir Aria sambil mendengus.
Tapi, sepertinya Lyle tidak berniat mengubah proses berpikirnya.
Setelah itu, beberapa menit berlalu saat Profesor Damian mengutak-atik monster boss silinder itu. Ketika sang profesor itu akhirnya menjauh, Sophia mengembalikan beratnya ke normal. Monster itu tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak lagi. Clara menganggap itu sebagai waktunya untuk mulai bekerja—dia melangkah maju dan mulai memulai proses pengumpulan Demonic Stone.
"Untuk monster ini, yang kau hanya bisa mengambil Demonic Stone-nya" Jelas Clara.
Aria melangkah ke arah Clara, bersiap untuk membantunya, namun Miranda mengulurkan tangan dan meletakkan tangannya di bahunya.
"Aku akan mengurus itu, Aria."
Kata Miranda padanya.
"Kamu pergi dan beristirahatlah saja."
"T-Tapi—"
"Jangan khawatir. Ini caraku untuk berkontribusi karena aku tidak bisa membantu dalam pertempuran kali ini."
Tersentuh oleh senyum Miranda, yang bisa dilakukan Aria hanyalah mengangguk. Aria melihat dengan linglung saat Miranda menuju Clara, dan kemudian menyadari dengan cemas bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk mengisi waktunya.
***
Setelah istirahat sejenak, kelompokku dan aku kembali maju di dungeon. Kami langsung menuju lantai tiga puluh satu dan segera sampai ke lantai tiga puluh dua, namun di sana kami menemui masalah. Kami mulai kesulitan untuk maju lebih jauh. Seiring kami masuk lebih dalam, monster-monster itu semakin kuat, namun masalah yang lebih besar adalah banyaknya jumlah mereka yang harus kami hadapi.
Aku tahu akan ada penurunan besar dalam jumlah petualang aktif setelah lantai dua puluh lima, namun ini bahkan lebih buruk dari yang kuduga. Kelompok terakhir yang kulihat telah melakukan yang terbaik di lantai dua puluh tujuh—aku tidak melihat satu pun sejak itu. Sayangnya bagi kami, itu berarti monster-monster di lantai berikutnya bertambah banyak.
Sudah waktunya bagi kami untuk mendirikan kemah.
Pikirku, memutuskan itu, memindai peta internalku untuk mencari ruang aman.
Setelah aku memutuskan di mana kami akan tinggal, aku menyuruh kelompokku mulai membunuh semua monster di area sekitar. Dalam waktu singkat, keselamatan kami terjamin, dan kami semua berkumpul di ruang aman untuk beristirahat. Aku beristirahat sejenak saat kami bersiap-siap untuk tidur malam, fokus memulihkan tenaga, lalu melanjutkan dan menggunakan Box Art kepala keluarga ketujuh.
Begitu lingkaran sihir itu muncul, Sophia menarik tubuh silinder monster boss yang telah kami kalahkan—yang telah dibawanya sejak kami memenangkan pertarungan di lantai tiga puluh—dan meletakkannya di dalam lingkaran sihir itu. Setelah itu, kami fokus mengeluarkan perlengkapan yang akan kami butuhkan untuk hari berikutnya, dan menyimpan kembali barang-barang yang tidak lagi kami butuhkan.
Profesor Damian mengamati peti kayu besar yang kami tarik dari tempat penyimpanan di dalam lingkaran sihir.
"Haruskah aku meminta salah satu boneka untuk membawa perlengkapan kita?" Tanyanya.
"Aku jarang harus menggunakan keempatnya dalam pertempuran."
Tidak seorang pun angkat bicara untuk memberitahu profesor bahwa itu ide yang bagus, namun tidak ada yang memberitahunya bahwa itu ide yang buruk. Hal ini tampaknya sudah cukup baginya, karena dia segera mulai mengeluarkan peralatan dan menggunakannya untuk memodifikasi kotak itu sehingga dapat diikatkan ke bonekanya.
Profesor ini benar-benar orang yang berjiwa bebas.
Pikirku sambil tertawa kecil dalam hati.
Saat profesor itu bekerja, kami selesai menukar perlengkapan terakhir kami dari dalam lingkaran sihir. Semua orang mundur, dan aku mematikan Art kepala keluarga ketujuh. Kami semua menyaksikan barang-barang yang tersisa tersedot ke dalam lingkaran sihir, sebelum semuanya menghilang. Sophia khususnya tampak terkesima dengan pemandangan itu. Dia memegang seikat sayuran yang telah dia tarik dari lingkaran sihir itu di dadanya.
"Aku masih tidak mengerti prinsip apa yang digunakan Art itu."
Kata Sophia, terkesima dengan Art itu.
"Maksudku, sayuran ini masih segar!"
Pada saat itu aku meminjam bahu Novem—Novem sudah berada di belakangku, siap menangkapku saat aku pingsan.
"Sejujurnya, aku juga tidak tahu prinsipnya."
Kataku kepada Sophia.
"Aku hanya berpikir kalau Arti itu praktis saja."
Profesor Damian menatap kami dari tempatnya yang sibuk memasang peti pada bonekanya, dan menghela napas panjang.
"Art itu sungguh luar biasa, sejujurnya."
Katanya dengan sedih.
"Jika kami bisa menirunya menggunakan Demonic Tool, aku yakin itu akan mengubah dunia. Sayangnya, itu tidak akan terjadi."
Jadi dia berpikir untuk membuat ulang Art Box kepala keluarga ketujuh secara buatan dengan Demonic Tool.
Pikirku dalam hati.
Itu akan membuat agar semua orang bisa menggunakannya. Tapi...
"Tunggu, itu tidak bisa dilakukan?"
Tanyaku pada profesor.
Sang Profesor bangkit dari tanah dengan terhuyung-huyung, tampaknya telah selesai memodifikasi peti. Memang, dia pasti sudah selesai dengan itu, karena langkah selanjutnya adalah memanjat ke atasnya dan duduk, seolah-olah dia sedang memeriksa apa peti itu cukup nyaman.
Akhirnya, Profesor menjawab,
"Kemungkinan besar itu tidak mungkin. Maksudku, hanya dengan melihat bagaimana reaksimu saat menggunakan Art itu, aku bisa tahu biaya mana-nya sungguh tidak masuk akal. Hal itu juga rumit, yang berarti akan sangat sulit untuk ditiru. Aku yakin kau bisa melakukannya jika kau mengabaikan keuntungan, biaya, dll., tapi pikirkan berapa kali kau harus gagal sebelum kau akhirnya berhasil... cukuplah untuk mengatakan, aku tidak tertarik untuk mengerjakan proyek seperti itu, jadi aku tidak ingin memikirkannya lebih lama lagi."
"Mana mungkin Art-ku bisa ditiru semudah itu."
Gerutu kepala keluarga ketujuh, terdengar kesal.
Itu adalah respons yang agak tidak rasional, jadi aku mengabaikannya dan terus memperhatikan profesor yang menoleh untuk melihat Clara saat Clara itu sibuk mendirikan kemah.
"Clara punya sihir cahaya yang dia gunakan, dengan bola-bola itu, kan?"
Lanjutnya, masih menjelaskan.
"Sesuatu seperti itu bisa dengan mudah direproduksi dalam Demonic Tool, tapi sesuatu yang lebih rumit akan mengharuskan Demonic Tool itu dibuat lebih besar, dan kau akan membutuhkan Mana Crystal untuk memberinya kekuatan. Demonic Tool mungkin terdengar menakjubkan bagi pengguna rata-rata, tapi benda itu tidak seperti mereka bisa melakukan apa saja. Meskipun, itu adalah cara yang lebih mudah untuk mendapatkan Art daripada Permata yang kau miliki, Lyle."
Aku mengangguk. Aku cukup tahu tentang Permata untuk mengetahui bahwa butuh waktu lama untuk merekam Art ke dalamnya. Jewel yang aku kenakan berisi seluruh sejarah Keluarga Walt. Butuh waktu sekitar dua ratus tahun untuk memasukkan begitu banyak Art ke dalamnya. Demonic Tool jauh lebih praktis—setelah dibuat, kalian bisa langsung menggunakannya untuk mendapatkan Art yang praktis. Kalian juga bisa memproduksinya secara massal. Itulah sebabnya Demonic Tool akhirnya menguasai pasar, dan Permata menjadi tidak dikenal.
Kalau dipikir-pikir....
Aku menyadari sesuatu.
Aku punya pertanyaan untuk profesor. Aku tidak percaya aku lupa menanyakan pertanyaan itu sampai sekarang.
"Profesor Damian, kudengar kau adalah salah satu dari Great Seven dari Akademi, jadi aku penasaran.... apa sebenarnya yang sedang kau teliti?"
Clara dan Miranda menoleh ke arahku dengan ekspresi terkejut.
Ups. Mungkin aku seharusnya tidak bertanya itu...
Pikirku sambil meringis.
Sang Profesor tampaknya tidak tersinggung—dia melompat turun dari tempat duduknya di atas peti dan melangkah ke arahku, sambil mengangkat kacamatanya.
"Ah, jadi kau penasaran dengan penelitianku, ya? Harus kuakui bahwa itu tidak lebih dari sekadar sarana untuk mencapai tujuan. Itu adalah.... metode, untuk menyempurnakan sesuatu. Aku punya tujuan akhir dalam pikiranku, tapi penelitian itu sendiri hanyalah satu langkah dalam proses yang sangat panjang."
Jadi ada sesuatu yang ingin dia sempurnakan, ya?
Pikirku, bertanya-tanya tentang itu.
"Bolehkah aku bertanya apa tujuan akhirmu?"
Senyum lebar terpasang di wajah profesor itu. Senyum itu sama sekali berbeda dari semua ekspresi gelisah, bosan, dan tidak tertarik yang pernah kulihat di wajahnya sebelumnya. Senyum itu hampir seperti senyum riang seorang anak kecil yang polos.
"Tujuanku adalah menciptakan perempuan idamanku sendiri!"
Sang Profesor itu mengumumkan dengan suara menggelegar.
Ruangan itu sunyi senyap.
"Umm.... apa?"
Aku berhasil berkata.
Harus kuakui, aku sama sekali tidak menduga akan mendapat respons seperti itu. Pikiranku menjadi kosong—menemukan kata-kata lain untuk diucapkan kepada sang profesor menjadi perjuangan. Pada akhirnya, aku terselamatkan ketika dia mulai berbicara sekali lagi, antusiasme meledak dari suaranya.
"Aku sudah memikirkannya selama yang dapat kuingat, kau tahu—aku memiliki gambaran perempuan idamanku yang sempurna di kepalaku, tapi perempuan idaman itu tidak ada di mana pun di dunia ini. Sayangnya, itulah sifat dasar dari seorang perempuan idaman—atau setidaknya itulah yang akan mereka buat kau percaya. Ya, semua orang di sekitarku telah menyuruhku untuk berkompromi, untuk berhenti, dan menghadapi kenyataan, tapi aku berbeda dari semua orang bodoh yang berpikiran sederhana itu! Jika sesuatu tidak ada, aku hanya perlu menciptakannya sendiri! Bukankah itu inti dari inovasi?!"
Pada titik ini, sang profesor menatapku untuk meminta konfirmasi, dan aku mengangguk dengan lesu.
"Tepat sekali! Jadi, aku sampai pada kesimpulanku. Aku meneliti dan meneliti, dan sebelum aku menyadarinya, aku telah menjadi asisten profesor. Aku dipromosikan menjadi profesor sepenuhnya segera setelah itu—aku naik pangkat! Saat itulah Akademi akhirnya setuju untuk memberiku dana penelitian yang layak, tapi mereka datang dengan peringatan—aku harus mengajar para murid. Mereka memaksakan tugas itu kepadaku, meskipun faktanya aku tidak peduli. Yang aku inginkan hanyalah menciptakan perempuan idamanku! Apa yang salah dengan itu?!"
Setelah itu, topik beralih ke kondisi kerjanya. Menurut sang profesor, para muridnya selalu menghalangi jalannya, dan dia tidak menerima cukup dana. Lambat laun, pidatonya yang hebat berubah menjadi keluhan.
Pada akhirnya, dia bahkan meninggikan suaranya untuk berkata,
"Namun! Jika aku mendapatkan Demonic Stone dari permintaan ini, penelitianku akan maju pesat! Aku akan jauh lebih dekat dengan tujuanku—aku tidak ragu dengan itu. Aku butuh Demonic Stone itu, apapun yang terjadi!"
A... Aku pikir untuk saat ini, aku harus mengangguk saja.
"Kami akan melakukan yang terbaik, Profesor."
Kataku dengan lemah.
Sang Profesor mendengus.
"Bahkan jika kau melakukan yang terbaik, tidak ada gunanya jika kau tidak mencapai hasil! Pastikan kau melakukan semuanya dengan benar."
Pada titik ini, perdebatan sengit telah pecah dari dalam Jewel.
"Orang inilah yang menjadi salah satu dari Great Seven itu?!"
Kata kepala keluarga kedua dengan nada mengejek.
"Kedengarannya seperti orang yang tidak waras!"
Kepala keluarga ketiga menghela napasnya dengan rasa iba.
"Berkompromilah saja, kawan."
Kata kepala keluarga ketiga kepada profesor, yang sama sekali tidak dapat mendengarnya.
"Kau mengerahkan semua upayamu ke tempat yang salah."
"Tetap saja...."
Kepala keluarga keempat mengakui.
"Dia cukup mengesankan. Tidak kusangka dia berhasil naik ke posisi profesor dengan tujuan seperti itu."
"Aku bisa memuji kegigihannya."
Kata kepala keluarga kelima dengan nada jijik.
"Tapi aku tidak bisa memahami proses berpikirnya, dan aku juga tidak bisa mendukung tujuannya."
"Semoga saja ini berakhir sebagai penelitian dan tidak lebih."
Kata kepala keluarga keenam sambil tertawa.
"Membuat manusia itu agak tabu, dalam arti tertentu."
"Kita benar-benar harus melakukan sesuatu terhadap orang ini."
Kata kepala keluarga ketujuh dengan nada serius.
"Kau tidak bisa membiarkan orang seperti ini begitu saja. Tidak akan ada hal baik yang terjadi."
Mereka semua tampak waspada terhadap profesor.
Pikirku, menyadari hal itu.
Yah, aku tidak bisa membantah sentimen mereka, itu sudah pasti.
Aku mengatupkan kedua tanganku dalam doa dalam hati.
Kumohon, profesor, simpan saja itu untuk penelitian....
***
Pada sore hari berikutnya, Lyle dan kelompoknya telah mencapai pintu masuk ke lantai tiga puluh sembilan. Di dasar jalan menurun itulah mereka memutuskan untuk menjalankan rencana untuk mengurangi jumlah monster yang harus mereka hadapi. Rencana ini berakhir dengan Lyle berlari bolak-balik melalui dungeon, mengumpulkan monster dengan bertindak sebagai umpan. Novem, misalnya, sama sekali tidak menyukai rencana itu. Novem melihat Lyle pergi dengan ketidakpuasan yang nyata.
"Mengapa dia bersikeras memaksakan diri seperti ini?"
Kata Novem pada dirinya sendiri.
Biasanya, akan lebih aman untuk memiliki seluruh kelompok orang yang bertarung daripada hanya satu orang, namun Lyle memprioritaskan efisiensi, dan Lyle tampaknya hanya memiliki keyakinan penuh pada kemampuannya sendiri. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Lyle hanya membutuhkan sedikit usaha dari anggota kelompoknya yang lain. Di kejauhan, Novem mendengar suara ledakan, diikuti oleh teriakan monster.
Lyle-sama pasti menggunakan salah satu anak panahnya yang meledak, atau mantra.
Secara bertahap, teriakan monster semakin keras—makhluk-makhluk itu semakin dekat ke Novem dan anggota kelompok lainnya yang sedang menunggu. Semua orang memegang senjata mereka dengan siap, mata mereka tertuju pada kegelapan di depan.
Clara—yang bersembunyi di belakang sebagian besar pasukan tempur mereka di tempat yang paling aman—pasti menyadari betapa khawatirnya Novem.
Clara berkata, "Lyle benar-benar cukup mengesankan. Mungkin terlalu mengesankan, karena dia tampaknya berpegang teguh pada keyakinan yang bermasalah bahwa dia dapat menyelesaikan setiap masalah sendiri."
Novem menghela napas dan mengangguk.
"Ya, aku akan sangat menghargai jika dia lebih mengandalkan kita...."
"Aku tidak begitu yakin anggota kelompokmu yang lain akan setuju."
Kata Clara menimpali, tatapannya beralih ke Aria dan Sophia.
"Sepertinya mereka sudah terlalu terbiasa mengandalkan Lyle."
Novem melirik kedua gadis itu juga. Mereka memegang senjata di tangan mereka, namun mereka benar-benar mengendurkan posisi mereka, dan tampak mengobrol tentang sesuatu. Dibandingkan dengan mereka, Miranda dan Profesor Damian tampak jauh lebih siap untuk bertempur.
Aku tidak pernah mengira mereka akan menjadi sesantai ini.
Pikir Novem, sedikit rasa tidak nyaman muncul di perutnya.
Clara-san benar. Lyle-sama sangat cakap sehingga mereka kehilangan rasa bahaya mereka. Dan pada titik ini, mengandalkan Lyle-sama telah menjadi bagian dari rutinitas kami...
Novem mencengkeram tongkatnya lebih erat, dan dia menyingkirkan pikiran-pikirannya yang tidak puas untuk fokus mempersiapkan mantra yang telah mereka putuskan untuk dia gunakan sebelumnya. Miranda dan Profesor Damian mulai merapal mantra mereka juga, Miranda merapal dengan tangan kanannya dan profesor mengacungkan tongkat yang lebih tinggi darinya. Dengan tiga penyihir yang cakap, daya serang kelompok Lyle—atau yang dikenal sebagai kekuatan penghancur mereka secara keseluruhan—sangat tinggi.
Berbicara tentang Lyle, Novem melihat semburan cahaya membumbung ke udara di dalam lorong lantai tiga puluh sembilan. Lyle berlari keluar dari kegelapan dan menuju jalan menurun, diikuti oleh iring-iringan monster yang sangat besar.
Menghadapi jumlah monster sebanyak itu benar-benar membuat koridor yang luas ini terasa sempit dan menyempit.
Novem merenung, mengarahkan tongkatnya ke gelombang musuh yang datang.
"Apa kalian siap?"
Novem bertanya kepada dua penyihir lainnya.
"Aku siap kapan pun kalian siap."
Jawab Miranda. Profesor Damian hanya mengangguk.
Sekarang yakin bahwa sesama anggota kelompoknya sudah siap, Novem melepaskan mantranya, mengirimkan ledakan sihir api yang melesat ke depan. Lyle dengan gesit menghindarinya, meluncur ke tengah-tengah rekan-rekannya saat Miranda menembakkan bola apinya sendiri. Api menyebar di lorong yang luas, dan Profesor Damian mengarahkan tongkatnya langsung ke api itu—di sinilah mantranya berperan.
"Wind Cannon."
Kata Profesor itu penuh kemenangan.
"Ini akan memanggang mereka semua."
Gumpalan angin yang terkondensasi keluar dari tongkat profesor, menyedot api lebih jauh ke lorong dan membuat intensitasnya mencapai puncaknya. Tak lama kemudian, seluruh koridor terbakar. Saat api berkobar, jeritan sekarat dari banyak monster bergema di lorong-lorong dungeon. Saat api akhirnya padam, dinding lorong telah hangus menghitam. Clara mengenakan topeng dan pergi untuk mengumpulkan Demonic Stone para monster itu, memanggil Aria untuk ikut bersamanya.
Tugas Aria adalah menusuk tubuh para monster yang terpanggang dengan baik sebelum Clara mulai bekerja—yang terbaik adalah memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang masih bertahan hidup. Sisa kelompok itu berhenti untuk menutup mulut mereka untuk mencoba menghindari bau daging terbakar yang menyengat. Lyle tidak berbeda—dia menutupi wajahnya dengan kain untuk menyaring napasnya yang tidak teratur. Tepat saat Novem berpikir untuk mendekat ke sisi Lyle, Miranda berjalan menghampiri Lyle dan memulai percakapan. Mata Novem menyipit.
Selama mereka berada di dungeon, semakin sering Miranda muncul di sisi Lyle setiap kali Novem mencoba mencari waktu untuk berbicara dengan Lyle. Bahkan bukan karena Miranda muncul selama percakapan Novem dan Lyle—Novem kesulitan untuk menemukan kesempatan berbicara dengan Lyle sama sekali.
Tidak ada yang salah dengan perilakunya.
Pikir Novem dalam hatinya.
Tapi, itu... memang menggangguku.
Novem mencoba untuk fokus mengamati sekelilingnya, mengabaikan sedikit rasa kesal di benaknya.
Sophia tidak bertindak sebagaimana mestinya.
Kata Novem dalam hatinya.
Sophia tidak pergi untuk membantu Aria dan Clara-san, dan dia juga tidak berjaga-jaga. Kami mungkin perlu memarahinya dengan benar. Dan.... mungkin Aria juga.
Novem benar-benar merasa bingung dengan perilaku kedua gadis itu—kapan mereka mulai bersikap begitu buruk? Novem memeras otaknya, mencoba mengingat kembali saat sikap mereka mulai memburuk.
Mereka sama sekali tidak bersikap seperti ini saat kami pertama kali datang ke Kota Akademik Aramthurst...
Novem merenung. Kemudian, pemandangan Miranda yang merawat Lyle mengingatkannya.
Tunggu, apa ini sudah terjadi sejak pertama kali kami bertemu Miranda-san? Tidak, itu tidak mungkin—
Novem membeku, matanya melebar.
Mungkin bisa saja. Lyle-sama juga tampak khawatir padanya.
Tiba-tiba, Novem mulai merasa curiga pada Miranda. Novem memperhatikan Miranda dan Lyle dengan saksama, merenungkan motif apa yang mungkin Miranda itu sembunyikan.
Apa semua ini berasal dari tindakan ceroboh Lyle-sama? Aku tidak bisa membayangkan Miranda-san akan membantu kami sejauh ini jika memang begitu. Jika Miranda-san merasa perlu membalas dendam, ada banyak cara lain untuk memenuhi keinginan itu yang tidak melibatkan menemani kami ke tempat yang berbahaya seperti ini.
Novem merasa tidak realistis untuk berpikir bahwa Miranda tidak memaafkan tindakan Lyle sebelumnya—gadis itu bahkan telah berusaha keras untuk memperkenalkan mereka kepada Profesor Damian, karena gadis itu tahu Profesor Damian dapat membantu mereka mendapatkan izin untuk memasuki dungeon, dan terlebih lagi, dia telah berjuang bersama kelompok mereka tanpa ragu-ragu.
Apa aku terlalu memikirkan hal ini?
Pikir Novem, alisnya berkerut.
Novem melirik Miranda, yang tampak sangat menikmati obrolan ramahnya dengan Lyle.
Tetap saja, meskipun aku terlalu memikirannya... akan lebih baik bagi kami untuk tetap waspada.
Apa itu keputusan yang rasional, atau kesimpulan emosional yang berasal dari rasa iri yang terpendam? Novem tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Sebelum Novem dapat merenungkan masalah itu lebih lanjut, Lyle melirik ke seluruh kelompok dan memberi isyarat agar mereka melanjutkan perjalanan.
Tujuan mereka kali ini adalah sebuah ruangan di dekat jalan landai yang akan membawa mereka ke lantai empat puluh. Ruangan itu adalah tempat yang cukup luas, dan yang terpenting, tidak ada monster di sekitar. Itu adalah area yang dapat mereka gunakan untuk bersantai sejenak dengan aman. Tak lama kemudian diputuskan bahwa ruangan itu akan menjadi tempat berkemah mereka untuk malam itu, dan bahwa mereka akan menggunakan sisa hari itu untuk beristirahat sebelum menantang boss di lantai empat puluh keesokan paginya. Tak lama kemudian, semua orang bekerja sama untuk membantu mempersiapkan tempat itu.
Namun, entah mengapa, Lyle memutuskan untuk berkata,
"Aku akan segera kembali; aku akan turun ke bawah dan melihat apa yang sedang kita hadapi."
Novem merasa sakit kepala.
"Aku akan menemanimu, Lyle-sama."
Pada tingkat ini, jika Novem membiarkannya, Lyle mungkin memutuskan untuk melawan boss lantai itu sendirian.
Untuk amannya.
Pikir Novem, mengakui hal itu.
Itu sangat tidak mungkin. Itu bisa jadi skenario terburuk.
Tetap saja, cara Lyle itu bertindak sampai sekarang membuat Novem lebih gugup daripada yang ingin dirinya akui.
"Hah?"
Kata Lyle, berkedip beberapa kali ke arah Novem dengan bingung.
"Tapi...."
"Aku akan menemanimu."
Kata Novem, suaranya lebih tegas kali ini.
Lyle terpaksa mengangguk kaget.
"O-Oke."
Jadi, mereka berdua pergi, berjalan menuruni jalan bersama. Mereka dalam diam berjalan menyusuri koridor panjang dan lurus menuju ruangan boss, sambil menembakkan sumber cahaya di sepanjang jalan. Bola-bola cahaya ini tidak mengikuti mereka, dan hanya bertahan di udara untuk waktu yang singkat, jadi mereka harus mengulang mantra secara berkala. Dengan setiap cahaya berkilau baru yang harus mereka keluarkan, semakin jelas betapa praktisnya sihir Clara.
Setelah beberapa saat, Lyle menghela napasnya.
"Mungkin aku seharusnya membawa lentera."
"Mungkin."
Kata Novem setuju.
"Tetapi yang lebih penting, Lyle-sama—bukankah akhir-akhir ini kamu terlalu banyak mengambil tanggung jawab?"
Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk memperingatkannya tentang bahaya dari perilakunya.
Pikir Novem dengan tegas.
Bukan hanya karena Novem khawatir—Novem dapat dengan jelas melihat situasi mereka saat ini berkembang menjadi masalah yang sangat besar bagi kelompok mereka.
Lyle menatap Novem dengan bingung.
"Menurutmu begitu? Tapi itu tidak menyebabkan masalah apapun."
"Itu tidak menyebabkan apapun kecuali masalah!"
Bentak Novem, sedikit kehilangan kesabarannya.
"Jika hanya kamu yang bekerja keras, maka yang lainnya—"
"Oh, apa kamu berbicara tentang Aria-san dan Sophia-san?"
Tanya Lyle, menyela pembicaraannya.
"Ya, aku perhatikan mereka berdua mulai lengah, tapi kurasa itu bukan sesuatu yang perlu kita khawatirkan sekarang. Kita harus memperingatkan mereka nanti saja."
Novem nyaris tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang dikatakan Lyle—Novem tidak bisa memikirkan apapun kecuali seberapa besar kesenjangan kekuatan antara Lyle dan para gadis itu. Memang, sebagian besar kemampuan Lyle itu berasal dari Art-nya; Art-nya itu adalah alat yang sangat kuat. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa tujuh Art yang terkandung dalam Jewel Lyle telah mendukung Keluarga Walt sejak awal. Dan meskipun itu mungkin bakat yang tidak mencolok, Novem tahu bahwa kemampuan Lyle untuk menggunakan Art-Art itu seolah-olah itu bukan apa-apa adalah hal yang benar-benar tidak normal.
Lebih buruk lagi, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Lyle tidak mengharapkan apapun dari para gadis itu di luar pertempuran. Lyle menyadari kurangnya kewaspadaan mereka, namun sama sekali tidak terganggu olehnya, karena dia merasa tidak ada lagi yang dituntut dari mereka.
Dengan cara dia menjalankan semuanya, kelompok ini tamat. Jika ini terus berlanjut, maka aku akan merekrut mereka berdua untuk—
Novem memaksa dirinya untuk menarik napas dalam-dalam.
Aku perlu membuat Lyle-sama mengerti masalahnya, entah bagaimana.
Novem melirik wajah Lyle, tatapannya serius, namun dia membeku ketika dia melihat Lyle mengangkat tangan untuk menghentikannya berjalan lebih jauh. Mengikuti garis pandangnya, Novem melihat gerbang besar. Boss itu terletak tepat di baliknya.
"Nah, itu bosnya." Kata Lyle.
"Ini tidak seperti kita tidak mengharapkan sesuatu seperti ini, tapi, monster itu... kotak?"
Seluruh kelompok menyadari bahwa boss lantai keempat puluh jarang dikalahkan, dan dengan demikian, mereka hampir pasti harus menghadapinya. Jelas bahwa pemandangan itu benar-benar mengejutkan Lyle. Bagi Lyle, Novem yakin bahwa itu tampak seperti kotak logam besar. Namun, Novem tahu lebih baik. Mata Novem melebar dan tangannya mencengkeram tongkat rarium peraknya saat dia menatap sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah, tidak akan pernah bisa ditemukan di sini.
Kenapa...? Bagaimana bisa?!
Keringat menetes di leher Novem.
Pada titik ini, Nivem merasa tidak dapat menerima bahwa dungeon ini dibiarkan ada di Kota Akademik Aramthurst sama sekali. Semua lorong dan ruangan terbuat dari beton, bohlam lampu dan lampu neon yang sesekali menghiasi lorong-lorong... bahkan ada lift yang menghubungkan berbagai lantai dungeon! Memiliki tempat seperti ini di Kota Akademik Aramthurst, tempat banyak jenius seperti Damian Valle berkumpul, sangatlah berbahaya.
"Hah."
Kata Lyle, membuat Novem tersentak kaget.
"Aku bisa melihat beberapa roda besar, tapi monster itu tidak memiliki siapapun untuk mengoperasikannya, jadi itu tidak mungkin mesin pengepungan. Menurut dokumen-dokumen itu...."
Hanya mendengar frasa "Mesin Pengepungan" membuat jantung Novem berdebar kencang, namun dia segera berkata pada dirinya sendiri untuk tenang.
Semuanya akan baik-baik saja.
Kata Novem, menenangkan dirinya sendiri.
Tidak semua mesin pengepungan itu..... Ketapel dan pendobrak juga merupakan mesin pengepungan....
Baru setelah Novem melihat kembali ke ruangan boss itu, dia menyadari betapa paniknya dirinya sebenarnya. Novem menatap kotak itu—atau lebih tepatnya, tank lapis baja—dan menggigil ketakutan.
{ TLN : Mesin pengepungan itu senjata yang digunakan untuk menghancurkan atau menghindari benteng, seperti tembok pertahanan, kastil, bunker, dan gerbang berbenteng. }