Chapter 44 : Miranda Circry
Kota Akademik Aramthurst dapat didefinisikan oleh tiga hal : sumber pengetahuan yang besar yang merupakan dungeonnya; perpustakaannya, yang terkenal di seluruh benua; dan Akademinya, yang sangat bergengsi sehingga menjadi tempat berkumpulnya putra-putri bangsawan dari semua provinsi di Kerajaan Banseim, termasuk ibukota raja sendiri. Kualitas terakhir ini, tentu saja, yang menjadikan Kota Akademik Aramthurst memperoleh gelarnya sebagai "Kota Akademik".
Miranda Circry, salah satu murid Akademi, adalah putri tertua seorang bangsawan istana—Viscount Circry. Dia memiliki rambut berwarna hijau bergelombang yang telah dipangkas hingga tepat di atas bahunya, dan matanya lebih condong ke zamrud daripada hijau, dengan sedikit warna kebiruan. Selain itu, dia memiliki wajah yang sangat cantik dipandang, dan sosok yang akan memikat bahkan mereka yang berjenis kelamin sama. Sebagai hasilnya, ada banyak murid laki-laki yang tergila-gila padanya, meskipun popularitasnya tidak hanya berasal dari penampilannya.
Sudah diketahui secara umum bahwa Keluarga Circry memiliki tiga orang putri dan tidak memiliki putra. Hal ini berarti bahwa orang yang menikahi putri tertua—yang kebetulan adalah Miranda—kemungkinan besar akan mendapati diri mereka menjabat sebagai kepala keluarga viscount. Sebagai hasilnya, banyak bangsawan yang tidak ditetapkan untuk mewarisi gelar mereka sendiri mendekatinya dengan niat buruk. Sekarang setelah kelasnya berakhir, Miranda dengan tenang berdiri dan mulai mengumpulkan buku pelajarannya. Gadis-gadis berbondong-bondong mendatanginya tanpa penundaan, bergegas melintasi ruang kelas, yang telah dibangun dengan kursi-kursi miring, seolah-olah tersebar di tangga yang lebar.
"Hai, Miranda?"
Seorang gadis bertanya padanya.
"Apa kamu mau mengambil jalan memutar sedikit dalam perjalanan pulang?"
Gadis lain tersentak dengan marah.
"Itu tidak adil! Miranda, kamu harus pergi berbelanja denganku!"
"Ah, aku punya ide yang lebih bagus."
Kata gadis lain yang lebih sinis.
"Kamu harus bergaul denganku, Miranda."
Miranda berbalik dan menatap semua gadis dengan senyum ambigu. Mereka semua bangsawan, sama seperti dirinya, namun dia tetap menolak mereka, dengan alasan yang sama seperti yang selalu dia lakukan.
"Maafkan aku." Katanya dengan lembut.
"Adik perempuanku menungguku di rumah dan pembantu kami berhenti, jadi aku harus kembali dan mengerjakan tugas-tugas. Aku harus segera kembali."
Ketiga gadis itu tampak cukup kecewa, namun mereka menerima jawabannya dan pergi begitu saja. Sekarang saatnya bagi para laki-laki untuk berkumpul mendatanginya. Sama seperti para gadis sebelumnya, para laki-laki itu terang-terangan mencoba untuk menarik perhatiannya.
"Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang."
Salah satu dari para laki-laki itu bertanya.
"Kamu akan membutuhkan seseorang untuk membawakan barang belanjaanmu jika kamu pergi berbelanja, kan?"
"Hei, Miranda, ajak aku, ajak aku!" Seru yang lain.
"Aku bisa melakukan semuanya untukmu!"
"Diamlah."
Gerutu anak laki-laki ketiga.
"Bagaimana kalau aku yang mengurus semuanya, Miranda? Aku adalah anak seorang Earl, jadi—"
"Terima kasih semuanya, tapi aku akan baik-baik saja sendiri."
Sela Miranda, sambil tersenyum misterius saat mereka melangkah keluar dari ruang kelas. Namun, Miranda baru beberapa langkah menyusuri koridor, ketika dia menyadari ada yang terlupakan.
Oh tidak.
Pikir Miranda sambil menghela napasnya.
Aku harus kembali.
Miranda kembali menyusuri jalan setapak yang tadi dia lalui, dan saat dia mendekati pintu kelas, dia mendengar suara-suara kesal dari dalam.
"Ada apa dengan perempuan itu?!"
Bentak salah satu gadis yang mendekati Miranda sambil tersenyum.
"Dan setelah aku berusaha keras untuk mengajaknya juga."
Gadis itu mengerang dengan frustrasi.
"Andai saja Keluarga Circry tidak memiliki begitu banyak wewenang. Maka aku tidak perlu berbicara dengan orang seperti dia."
Salah satu anak laki-laki mendecakkan lidahnya karena kesal.
"Kenapa kalian semua harus terus-menerus menghalangi jalanku?"
Tanya anak laki-laki itu pada yang lain.
"Aku butuh dia di sisiku jika aku ingin bangkit di dunia ini! Keluarga Circry adalah keluarga yang layak dengan banyak jabatan di kantor pemerintahan—jika aku menikah dengan putri keluarga mereka, bahkan aku akan bisa membuat nama untuk diriku sendiri."
Dari apa yang bisa Miranda lihat, hanya enam murid yang mendekatinya yang tersisa di ruangan itu.
"Oh, tapi tahukah kau? Kudengar adik perempuan gadis itu tidak bisa melihat apapun. Mereka bilang itu terjadi karena kecelakaan atau semacamnya, tapi kudengar dia terlahir buta. Jika itu benar, mungkin ada masalah dengan darahnya, kan? Apa kalian pikir dia benar-benar bangsawan?"
Gigi Miranda terkatup di bibir bawahnya saat topik beralih dari dirinya ke adik perempuannya, Shannon.
Shannon.... tidak melakukan apapun untuk pantas menerima apa yang terjadi padanya.
Pikir Miranda dengan geram.
Salah satu anak laki-laki—seorang yang tampak sombong dengan rambut gaya berponi yang tampaknya senang mengejek adik Miranda itu—mulai berbicara tentang keluarganya seolah-olah dia tahu semua tentang keadaan mereka.
"Kedengarannya seperti kau sedang membicarakan tentang putri ketiga Viscount Circry." Katanya.
"Tampaknya, seluruh alasan Viscount itu membeli rumah tempat gadis itu dan Miranda tinggal adalah untuk mengurung adik Miranda itu. Dia adalah rahasia yang ingin dikubur oleh Keluarga Circry."
Mereka tidak sepenuhnya salah—Shannon telah diusir dari Central karena dia menghalangi citra Keluarga Circry yang mulia akan kekayaan dan kekuasaan. Namun, Miranda tahu Shannon beruntung dilahirkan di keluarga seperti itu. Akan diragukan kalau Shannon bisa mampu hidup selama ini jika dia dilahirkan di keluarga biasa. Memang, kekuatan Keluarga Circry-lah yang akhirnya membuat Shannon tetap hidup— Shannon pasti sudah dibuang begitu dia lahir jika keluarganya sedikit lebih miskin.
"Kedengarannya kau cukup berpengetahuan tentang itu."
Komentar salah satu murid lainnya.
Suara anak laki-laki sombong itu menjadi sangat serak.
"Yah, aku memang sudah menyelidikinya." Katanya.
"Orang tuaku setuju denganku bahwa ada keuntungan yang bisa didapat dengan menikah dengan Keluarga Circry. Aku minta maaf kepada kalian semua, tapi kalian semua harus menyerah. Aku sudah merencanakan semuanya—"
"Jangan main-main denganku!"
Suara laki-laki lain menggeram.
"Memangnya aku sudi? Jika anak ketiga sepertiku ingin membalas dendam pada keluargaku, aku harus menikah dengan orang yang berkuasa!"
Sangat jelas, setelah mendengarkan mereka, mengapa ketiga anak laki-laki itu mendekatinya lebih awal. Ketiganya ingin menikah dengan Keluarga Circry. Mereka mengincar nama keluarganya, dan Miranda sendiri hanyalah hal sampingan.
Yah, aku sudah tahu itu.
Pikir Miranda, mengejek dalam hatinya.
Ada banyak murid di Akademi yang bukan dari keluarga bangsawan, namun masih tergolong kaya. Sebagian besar laki-laki yang mendekatinya dengan motif yang sama. Mereka yang kurang ambisius—yang tidak mengira akan benar-benar bisa mendapatkan gelar viscount—meminta untuk diperkenalkan kepada adik perempuannya. Bagi mereka, menikahi putri bangsawan sama saja dengan membeli tempat di dalam bangsawan, atau menghabiskan sebagian uang mereka untuk membawa gengsi ke keluarga mereka.
Lagipula, mereka cukup tidak berbahaya. Secara komparatif.
Pikir Miranda dalam hatinya.
Sekelompok anak laki-laki di dalam kelas itu tidak berbahaya dibandingkan dengan para laki-laki dari keluarga yang lebih kaya. Suatu kali, putra seorang pedagang bahkan berbicara tentang menikahi adik perempuannya seolah-olah itu adalah negosiasi bisnis. Hal-hal seperti itu tidak mengejutkan Miranda—dia tahu tempatnya sebagai anak seorang bangsawan. Dan lagipula, seorang bangsawan hanya menjadi bangsawan karena keluarga mereka.
Aku tidak bisa menyalahkan mereka karena ingin ikut campur.
Pikir Miranda. Dan karena Miranda memahami keadaannya dan keadaan keenam orang di ruang kelas itu, dia memutuskan bahwa menegur mereka adalah buang-buang waktu. Dia berbalik dan pergi, meninggalkan barangnya yang terlupakan tanpa diambil di dalam kelas.
Shannon Circry, putri bungsu Keluarga Circry, sedang duduk di rumah menunggu kepulangan kakak perempuannya. Dia mengenakan gaun merah dan sarung tangan merah sepanjang bisep, dan rambutnya yang panjang dan bergelombang menjuntai di bahunya. Setiap helai rambutnya dirawat dengan indah dan memancarkan kilau yang indah. Dan matanya.... berwarna kuning keemasannya yang biasa telah berubah menjadi emas berkilauan.
Yakin bahwa dirinya sendirian di rumah yang kosong itu, Shannon mulai menyenandungkan sebuah lagu dengan suara pelan. Dengan setiap ketukan, dia dengan hati-hati menyesuaikan posisi teko yang diletakkan di meja kamar tidurnya yang kecil—namun tidak dengan tangannya. Tangannya terus berbaring di sepanjang sandaran tangan kursi rodanya, meskipun jari-jarinya bergerak, mengetuk-ngetuk mengikuti irama lagunya. Sementara itu, teko itu melayang di udara dengan sendirinya, miring ke depan untuk menuangkan secangkir teh untuknya.
Begitu cangkirnya penuh, Shannon mengangkat jarinya ke bibirnya. Dia berhenti bersenandung dan lebih memilih untuk menarik napas dalam-dalam. Dia memiringkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan mata yang tak bisa melihat saat warna emas memudar menjadi kuning keemasan. Ada kekuatan dalam gerakannya yang sering tidak diperhatikan oleh orang lain, teralihkan oleh kelemahan tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang pucat pasi. Shannon menghela napas panjang dan kesal saat dia membiarkan kepalanya jatuh ke depan sekali lagi.
"Mengapa ini harus begitu melelahkan?"
Kata Shannon, mengulurkan tangan untuk mencari cangkir tehnya.
Begitu jari-jarinya menemukan targetnya, Shannon melingkarkannya di sekitar cangkir dan membawanya ke bibirnya. Kemudian, sambil meminum tehnya, dia mengingat kejadian-kejadian yang telah membawanya ke momen ini. Tiga tahun telah berlalu sejak Shannon, yang buta sejak lahir, mengalami pengalaman yang membangkitkan kemampuan tertentu dalam dirinya—kemampuan untuk merasakan aliran mana. Tidak ada manusia lain yang mampu melihat mana seperti dirinya.
"Sudah tiga tahun, ya...?"
Shannon berkata dengan suara pelan, kata-katanya diwarnai kepahitan.
"Tapi itu tidak akan lama lagi. Waktunya akan tiba, dan dengan segera."
Itu adalah pengalaman yang panjang dan membuat frustrasi, yang membuat Shannon tidak bisa menahan rasa kesal. Kenangan tentang hari ketika itu terjadi juga tidak meninggalkannya—kenangan itu masih melekat di benaknya sejelas siang hari. Saat itu, Shannon tinggal di kediaman Keluarga Circry, di Central....
***
Tiga tahun lalu, Shannon menghabiskan waktunya seperti biasa—sendirian di kamarnya. Dia telah dikurung sejak lama oleh keluarganya, yang menutupi fakta bahwa dia terlahir buta dengan memberitahu masyarakat umum bahwa dia telah mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan luka-lukanya begitu parah sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain membatasi pergerakannya di kediaman mereka.
Karena Shannon hidup menyendiri, dia hanya punya sedikit teman untuk menghabiskan waktu. Ibunya meninggal tak lama setelah Shannon lahir, dan kakak perempuan tertuanya yang kedua, Doris, membenci Shannon atas kematian ibu mereka. Bahkan, permusuhan Doris begitu kuat, sehingga setiap kali mereka berdua berpapasan, Doris akan menjadi sangat kesal, seolah-olah sekadar mengingat keberadaan Shannon sudah cukup untuk membuatnya marah.
Shannon dapat mengerti mengapa Doris sangat membencinya—Doris masih cukup muda ketika ibu mereka meninggal, masih dalam masa-masa di mana dia merindukan kehangatan ibunya. Dan karena Shannon, kebaikan ibu mereka, yang telah memenuhi Keluarga Circry dengan cahaya dan harmoni, telah padam. Ayah Shannon, yang sangat mencintai istrinya, telah mengabdikan dirinya untuk menjalankan rumah tangga mereka sejak saat itu, menghindari gagasan untuk mengambil pengantin perempuan lagi.
Kakak perempuan tertua Shannon, Miranda, adalah satu-satunya orang di keluarganya yang pernah memperlakukannya dengan baik. Bagi Shannon, Miranda adalah kakak perempuan tercinta yang dapat melakukan apapun yang diinginkannya, dan ibu yang tidak pernah dimilikinya. Akhirnya, Shannon telah pasrah pada kenyataan bahwa hidupnya akan menjadi bagian yang tidak pernah berakhir dari hari-hari yang sama dan tidak berubah dalam warisan keluarganya.
Namun kemudian... sesuatu yang aneh telah terjadi. Ayahnya telah mengatakan kepadanya, "Shannon, seorang tamu penting akan datang mengunjungi rumah kita segera. Kau diharapkan untuk menghadiri pesta itu juga."
Seorang tamu penting akan datang mengunjungi Keluarga Circry?
Pikir Shannon dengan bingung. Setiap kali keluarga mereka kedatangan tamu, Shannon dilarang meninggalkan kamarnya.
Mengapa ayah memilih hari ini untuk mengizinkanku menunjukkan wajahku ke dunia?
Shannon bertanya-tanya. Dia malu, namun juga cukup senang.
A-Apa yang harus kulakukan?
Pikir Shannon, sedikit panik.
Aku belum pernah menghadiri pesta sebelumnya. Bagaimana jika aku akhirnya melakukan kesalahan yang ceroboh? M-Mungkin aku seharusnya tidak hadir....
Shannon sangat gembira karena keluarganya, yang biasanya menjaga jarak dengannya, mengakui keberadaannya meskipun sedikit, namun pengetahuan bahwa ini adalah tamu penting telah membuatnya terjerumus ke dalam kekacauan batin. Dia bertanya kepada Miranda apa yang harus dia lakukan dan bagaimana dia harus bersikap berulang kali, karena merasa putus asa untuk memastikan bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan. Pada saat yang sama, Shannon dengan tekun mengabaikan kekesalan Doris yang mendalam atas keterlibatannya. Kakaknya yang kedua tidak mampu menentang keputusan ayahnya, jadi tidak perlu mempermasalahkannya.
Akhirnya, pada hari acara itu, Shannon bertanya kepada Miranda sekali lagi,
"Onee-sama.... apa kamu benar-benar yakin tidak apa-apa kalau aku hadir ke pesta itu?"
Miranda mengangguk sebagai balasan.
"Tentu saja tidak apa-apa, Shannon." Katanya kepada adik perempuannya dengan hangat.
"Dan jangan lupa, aku akan ada di sana untuk membantumu jika kamu membutuhkanku."
Shannon telah memegang kata-kata kakaknya itu dalam hati, mempersiapkan diri untuk hari yang, setidaknya baginya, sangat penting. Setelah menjalani seluruh hidupnya di tempat yang pada dasarnya adalah penjara, terkunci dari masyarakat lainnya, inilah hari di mana Shannon akhirnya dapat menyapa dunia luar.
Mungkin mereka benar-benar akan membiarkanku keluar setelah ini.
Pikir Shannon saat kursi rodanya telah didorong ke aula besar.
Jika memang begitu, aku tidak akan terjebak menghabiskan seluruh waktuku di dalam rumah atau di halaman lagi.
Namun, Shannon tidak punya waktu lagi untuk memikirkan hal-hal seperti itu, karena waktu untuk pesta telah tiba. Dia dapat mendengar derap langkah kaki saat para pelayan di kediaman Keluarga Circry bergegas ke sana kemari saat dia didorong melewati serangkaian pintu dan masuk ke tempat yang dia kira adalah aula besar. Segala sesuatunya pasti telah dipersiapkan dengan lebih cermat dari biasanya, karena bahkan Shannon, yang buta, dapat merasakan suausan ramai di udara.
"Kami sangat menyambut kalian di sini."
Shannon mendengar ayahnya berbicara.
"Terima kasih telah bergabung dengan kami di sini hari ini."
"Oh, kami seharusnya berterima kasih atas undangannya."
Salah satu tamu kehormatan mereka menjawab.
Salah satu tamu mereka yang lain tertawa kecil.
"Sungguh! Kami tidak punya alasan untuk menolak undangan dari Keluarga Circry, bukan? Keluarga kita berdua pada dasarnya suda seperti keluarga. Sekarang Ceres, mengapa kamu tidak memperkenalkan diri?"
Suara ketiga terdengar di udara, feminin dan ringan.
"Salam! Aku Ceres Walt. Senang bertemu dengan kalian semua. Terutama kamu, Circry-sama—orang tuaku telah bercerita banyak tentangmu."
Mereka semua ada di sini.
Pikir Shannon dalam hatinya.
Jadi, inilah tamu kami hari ini—Earl Walt, istrinya, dan putrinya, Ceres.
"Kamu adalah perempuan anggun yang dibesarkan di sana."
Ayah Shannon berkomentar kepada Earl Walt, nadanya lembut dengan cara yang belum pernah didengar Shannon sebelumnya.
"Meskipun dia dari Keluarga Walt, mungkin sebuatan 'Ojou-sama' akan menjadi sebutan yang lebih baik?"
Andai saja ayah berbicara seperti itu padaku...
Pikir Shannon sambil menghela napas dalam hati.
Tapi, aku tidak begitu yakin apa maksud ayah dengan sebuatn "Ojou-sama" itu.
Saat Shannon merenungkan implikasi dari pernyataan ini, kedua kakak perempuannya menyapa Earl Walt, Istrinya, dan Ceres secara bergantian. Akhirnya, tibalah saatnya Shannon untuk bersinar.
Shannon nyaris berhasil berbicara tanpa terbata-bata,
"S-Senang bertemu dengan—" sebelum Ceres memotong perkataannya, dan menyela.
"Oh?"
Kata Ceres, suaranya agak penasaran.
"Siapa ini?"
Shannon dapat mendengar gaun Ceres bergeser di lantai saat gadis itu mendekat, hingga tiba-tiba dia merasa wajah Ceres melayang tepat di hadapannya. Aroma yang tidak dikenalnya tercium di udara di sampingnya, memberinya petunjuk tentang kehadiran orang asing di dekatnya.
A-Apa yang terjadi?!
Pikir Shannon dengan panik. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi—semuanya begitu tiba-tiba.
Melihat kebingungan Shannon, Ceres mendengus kesal.
"Lupakan saja." Katanya.
"Dia hanya sampah."
"S-Sampah?"
Shannon tergagap, terkejut. Dia mungkin telah dikurung di kediaman Keluarga Circry begitu lama sehingga dia hampir tidak berinteraksi dengan siapapun di luar keluarganya, namun dia cukup yakin bahwa seseorang tidak seharusnya mengatakan sesuatu seperti itu di depan orang lain.
"A-Apa... maksudnya itu...?"
Namun... tidak ada yang berbicara dan membelanya. Bahkan, semua orang telah menyuarakan persetujuan mereka dengan kata-kata Ceres, dan sekarang mulai menghujani Shannon dengan cemoohan.
Aku mohon... siapa saja...
Shannon memohon dalam hati, dan rasa lega memenuhi dirinya ketika dia merasakan Miranda bergegas ke sisinya.
"Tidak apa-apa, Shannon." Bisik Miranda di telinganya.
"Ayo kita pergi saja."
Shannon merasakan kursi rodanya mulai terguling ke depan saat Miranda meraihnya dan mendorongnya keluar dari aula besar. Namun... Shannon tetap mendengar apa yang dikatakan suara-suara di belakangnya saat dia dibawa pergi.
"Ceres."
Tegur Earl Walt.
"Kamu tahu kalau itu tidak sopan, bukan?"
"Ya, ayah."
Jawab Ceres, nadanya hanya sedikit menyesal. Seolah-olah dia menganggap kata-katanya hanya sebagai sedikit kenakalan dan tidak lebih. Yang tidak membantu adalah orang-orang dewasa di sekitarnya memaafkannya begitu saja, sambil tertawa pelan.
"Yah, apa masalah itu?"
Kata Doris dengan riang.
"Doris benar." Ayah Shannon setuju.
"Ceres hanya memberikan fakta."
"Tapi, Circry-sama."
Tanya salah satu orang dari Keluarga Walt.
"Kenapa kamu membiarkan orang seperti itu melihat terang hari sejak awal?"
Lupakan tentang membelaku!
Shannon berpikir, tidak percaya dan sangat terluka.
Keluargaku sendiri ikut-ikutan, setuju dengan pendapat gadis itu untuk menjatuhkanku! Tapi kenapa...? Kenapa?!
Miranda mendorong kursi roda Shannon semakin cepat, mencoba membawa gadis itu menjauh dari ruangan secepat yang dia bisa. Namun pada akhirnya, Miranda tidak bisa menyelamatkan Shannon dari mendengar kata-kata terakhir ayahnya :
"Terimalah permintaan maafku. Shannon benar-benar membuat malu keluarga kami."
Aku.... membuat mereka malu?
Shannon menjadi kosong. Rasa sakit yang membakar memenuhi dadanya, seolah-olah ada luka yang terukir langsung di jantungnya. Dan saat mendengar ayahnya mulai tertawa bersama kelompok lainnya di aula, air mata mengalir deras dari matanya dan membasahi wajahnya.
"Shannon? Apa kamu baik-baik saja?"
Miranda bertanya dengan lembut.
Hanya disambut keheningan, Miranda menghela napas dan melanjutkan,
"Aku akan mengantarmu kembali ke kamarmu."
Kemarahan yang meluap memenuhi hati Shannon saat itu, dan dia memaksa kursi rodanya berhenti. Dan kemudian, tanpa ragu sedikit pun, Shannon berdiri dan mulai melangkah sendiri di lorong. Setiap kali melangkah, dia menangis tersedu-sedu.
"Shannon, berhenti! Itu berbahaya!"
Miranda menangis dengan panik, bergegas maju untuk mencoba menolong adik perempuannya. Namun Shannon mendapati dirinya tidak mampu mengucapkan terima kasih atas tindakan kakaknya itu.
Tidak ada yang benar-benar menghalangiku untuk berjalan dengan kedua kakiku sendiri.
Pikir Shannon, dipenuhi kejengkelan.
Satu-satunya alasan aku berkeliling dengan kursi roda itu adalah karena mereka memintaku melakukannya. Itu semua hanya untuk pertunjukan bagi mereka.
Saat Shannon terhuyung-huyung kembali ke kamarnya, emosi demi emosi keluar di dadanya—frustrasi, marah, sedih.
Apa aku... hanya dilahirkan untuk disiksa seperti ini?
Pikir Shannon, diliputi kesedihan.
Diperlakukan seperti bahan tertawaan...? Jika itu semua yang bisa kuharapkan dari hidup ini, maka aku seharusnya tidak dilahirkan sama sekali!
Shannon sejujurnya tidak tahu bagaimana dirinya bisa kembali ke kamarnya setelah itu. Mungkin tubuhnya hanya mengingat tata letak kediaman besar itu. Bagaimanapun, pada saat dia menyadarinya, dia sudah sampai. Dia melangkah melewati pintu dan membantingnya di belakangnya, lalu jatuh ke tempat tidurnya, membenamkan wajahnya di selimutnya.
Saat itu, Shannon menangis, dan menangis, dan menangis. Sampai akhirnya... dia mengangkat kepalanya.
"A-Apa... itu?"
Kegelapan yang tak tertembus yang telah dijalani Shannon sepanjang hidupnya tiba-tiba ditembus oleh manik-manik cahaya merah yang bersinar. Saat dia memutar kepalanya ke depan dan ke belakang dengan panik, matanya bergerak cepat ke seluruh ruangan, dia menyadari manik-manik itu melayang di sekelilingnya. Setiap kali manik-manik itu mengenai suatu zat, manik-manik itu akan menempel padanya sebentar, memberi Shannon pemahaman umum tentang sekelilingnya yang belum pernah dia alami sebelumnya. Itu adalah pengalaman yang mengerikan bagi seseorang yang hanya mengenal kekosongan hitam sepanjang hidupnya.
"A-Apa yang terjadi?!"
Teriak Shannon, suaranya meninggi karena tertekan.
Mengapa kamarku tiba-tiba dipenuhi dengan partikel cahaya misterius ini?!
Semua manik-manik cahaya itu bergeser sekaligus, seolah bereaksi terhadap teriakan Shannon. Manik-manik itu melesat ke tepi ruangan, menempel di perabotan, dinding, dan lantai. Tiba-tiba, bentuk seluruh ruangannya terungkap dengan jelas di depan mata Shannon yang tercengang.
"Heeh...?"
Shannon tersentak, perlahan melihat dari satu sisi ke sisi lain. Meskipun dia belum pernah melihat apapun sebelumnya, dia bisa mengatakan bahwa ruangan yang terlihat oleh cahaya itu sama persis dengan ruangan yang dia lihat dengan sentuhan. Shannon melirik tangannya, di mana sedikit cahaya merah melayang. Saat dia memperhatikan, cahaya itu berputar dan berubah, berubah menjadi warna kekuningan baru.
Apa itu... warna emas?
Shannon bertanya-tanya saat dia menatap tubuhnya, yang diselimuti warna yang sama. Itulah pertama kalinya Shannon melihat bentuk fisiknya sepanjang hidupnya. Dia terpesona oleh pemandangan dirinya sendiri—tergerak hingga ke inti dirinya.
"Ini menakjubkan! Benar-benar luar biasa!"
Teriak Shannon, berdiri dengan cepat dan mulai melangkah maju mundur di sekitar ruangan. Dia tiba-tiba berhenti di depan sebuah meja kecil, menyentuhnya dengan lembut dengan tangan yang ragu-ragu seolah-olah untuk memastikan bahwa meja itu benar-benar ada di sana.
Berpikir, beberapa saat yang lalu aku menangis tersedu-sedu!
Pikir Shannon, dipenuhi dengan kegembiraan. Saat itulah dia memutuskan untuk mulai bereksperimen. Tak lama kemudian, dia menemukan bahwa manik-manik merah kecil yang bisa dilihatnya akan bergerak sesuai keinginannya. Dia bahkan menemukan bahwa dia dapat menyebarkannya ke udara seperti debu yang beterbangan, menggambar spiral dengannya di ruang kosong. Namun, Shannon buru-buru menghentikannya, ketika dia merasakan angin mulai bertiup kencang. Dia merasa sedikit tidak percaya ketika angin juga berhenti.
"Apa sebenarnya manik-manik kecil ini?"
Shannon berbicara pada dirinya sendiri. Saat itu, dia mulai sedikit tertarik dengan mereka, karena mereka dengan sukarela menurutinya.
"O-Oww! Mataku... benar-benar sakit."
Shannon menggosok matanya saat itu, mencoba menghilangkan rasa sakit yang perlahan menumpuk di rongga matanya. Ketika dia membuka matanya, manik-manik cahaya itu telah menghilang. Dia kembali berada dalam kegelapan. Ketakutan yang luar biasa telah memenuhi hatinya, dan Shannon telah berusaha keras, berusaha mati-matian untuk melihat mereka lagi. Setelah beberapa saat, dia dapat melihat mereka lagi, namun matanya terasa sangat sakit.
"Jadi."
Kata Shannon sambil menghela napas lega.
"Aku bisa melihat, tapi mataku sangat lelah karenanya."
Merasa yakin dengan kenyataan ini, Shannon telah kembali ke tempat tidurnya, merangkak di bawah selimut. Begitu dia telah tidur dengan aman, dia telah mengatur napasnya dan menyeka keringat di dahinya.
Kurasa aku agak terlalu bersemangat.
Pikir Shannon sambil menyeringai saat dia menutup matanya.
Namun ketika Shannon hendak tertidur, matanya telah terbuka kembali.
"Itu benar!" Serunya pada dirinya sendiri.
"Aku harus memberitahu Onee-sama tentang ini!"
Aku ingin memberitahu dia tentang ini sesegera mungkin!
Pikir Shannon dalam hatinya.
Ini adalah rangkaian peristiwa yang sangat acak dan menyenangkan!
Namun pesta itu masih berlangsung—Shannon dapat mendengar suara-suara riuh yang masih menggema di dalam aula besar.
Kurasa aku harus menunggu sampai semuanya benar-benar berakhir. Dan kemudian, aku akan meminta maaf kepada Onee-sama atas apa yang terjadi, dan mengatakan padanya bahwa aku dapat menemuinya sekarang. Aku yakin dia akan senang setelah itu.
Meskipun Shannon merasa bimbang atas hal-hal buruk yang dikatakan keluarganya dan Keluarga Walt tentangnya, dia tidak dapat menutup diri dari kakak tertuanya. Bahkan jika Shannon tidak pernah terbuka kepada siapapun, dia akan selalu mempercayai Miranda. Dengan menunggu sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa baginya, Shannon memutuskan untuk menutup matanya sekali lagi, dan segera dia tertidur. Beberapa saat telah berlalu, dan kemudian Shannon terbangun sekali lagi. Kediaman itu menjadi jauh lebih sunyi, dia memperhatikan, meskipun dia masih dapat mendengar suara-suara pelayan yang membersihkan sisa-sisa pesta.
Ini adalah waktu yang tepat!
Pikir Shannon dengan riang, melompat dari tempat tidur sembari menyalurkan kekuatan ke matanya. Shannon memastikan cahaya merah itu benar-benar menyala, lalu keluar dari kamarnya dan berlari menyusuri lorong.
Anehnya, Shannon menemukan bahwa dirinya bisa merasakan lokasi orang-orang di luar koridor tempatnya berada, dan bahkan di balik tembok-tembok kediaman keluarganya. Setiap orang memiliki aura khusus mereka sendiri, dengan warna dan karakteristik uniknya sendiri. Menyadari hal ini, Shannon memutuskan untuk mencari aura kakak perempuannya yang tercinta. Dia meneliti matanya maju mundur sampai—di sana! Sesuatu dalam diri Shannon tahu bahwa aura di hadapannya adalah milik Miranda, meskipun dia belum pernah melihatnya sebelumnya.
Shannon menuju aura kakak perempuannya, dengan cepat menyadari bahwa aura itu terletak di dalam sebuah ruangan di dekat aula besar. Dia berjalan hati-hati menyusuri koridor kediaman Keluarga Circry, berhati-hati agar tidak terlihat. Namun sayangnya, Shannon segera menyadari bahwa dia bukan satu-satunya yang ingin berbicara dengan Miranda—ada orang lain yang juga mendekati kakak perempuannya itu.
Siapa itu?
Shannon bertanya-tanya.
Mungkinkah itu... ayah?
Shannon bersembunyi di ruangan sebelah untuk menguping, dan saat langkah kaki orang itu mendekat, dia merasa nyaman karena mengira itu adalah ayahnya. Dia bisa tahu dari cara kakinya menginjak lantai, dan suara langkahnya yang familiar.
Tak lama kemudian, ayahnya telah memasuki kamar tempat kakak perempuannya berada, namun Shannon sayangnya mendapati bahwa dia tidak dapat mendengar apapun. Dia berkonsentrasi, berusaha keras untuk mendengar suara mereka, dan yang mengejutkannya adalah beberapa manik-manik merah di sekitarnya mulai bergetar, getarannya memproyeksikan pembicaraan keluarganya di ruangan sebelah langsung ke telinganya.
Ini hebat!
Pikir Shannon, sambil melompat-lompat gembira.
Apa aku ini memang berbakat?!
Kemudian... Shannon mendengar apa yang mereka katakan. Dan kenyataannya adalah hal yang sangat, sangat kejam.
"Kupikir pesta itu mungkin berguna dalam diskusi pernikahan kita, tapi sayangnya mereka menolak lamaran kita."
Shannon mendengar ayahnya berkata. Nada bicaranya dingin dan acuh tak acuh, sangat bertolak belakang dengan cara bicaranya dengan Ceres.
"Sepertinya rumor yang kita dengar tentang putra mereka yang dicabut hak warisnya itu benar."
"Ya, ayah, aku menyadari itu."
Jawab Miranda, suaranya gelap dan tertekan.
"Tapi apa kamu benar-benar harus menggunakan Shannon dengan cara sepert—?"
Ayahnya memotong ucapan Miranda dengan tawa tajam.
"Itu jelas, aku harus melakukannya. Hal seperti itu perlu dilakukan jika kita berharap untuk mendekati Keluarga Walt seperti sekarang. Mereka terlalu berbahaya bagi kita untuk melakukan sebaliknya. Tetap saja, gadis bernama Ceres itu.... dia lebih mengesankan daripada yang pernah kubayangkan. Aku terkejut mengetahui dia seumuran dengan Shannon."
"Ayah."
Kata Miranda, suaranya tajam dan memohon.
"Tolong jangan bersikap jahat pada Shannon..."
Ayahnya membalas dengan nada mengejek.
"Kau tahu betul apa yang akan terjadi hari ini, Miranda. Kau seharusnya berhenti mengoceh tentang itu dan mulai memikirkan apa lagi yang bisa kau lakukan untuk mendukung Keluarga Circry."
Percakapan mereka belum berakhir di sana, namun Shannon terlalu tercengang untuk mencerna sisa kata-kata mereka.
"Jadi sejak awal.... aku hanya di sana untuk ditertawakan? Dan Onee-sama ikut terlibat?"
Kekuatan di mata Shannon membengkak, cahaya bersinar. Air mata mulai membanjiri wajahnya, namun dia menahan isak tangisnya, suaranya benar-benar pelan. Ketika Shannon tersadar, hal pertama yang didengarnya adalah suara ayahnya, yang menjabarkan masa depannya dengan kata-kata tajam.
"Tidak ada alasan untuk menahannya dikediaman ini terus-menerus." Katanya.
"Kita akan terus maju dan mengirimnya ke Kota Akademik Aramthurst untuk mendapatkan pendidikan. Aku akan menugaskan seorang pengurus yang tahu keadaannya, jadi Miranda... lupakan saja dia."
A-Aku akan diusir dari rumah? Mereka akan membuangku begitu saja?!
Shannon mulai tertawa, suaranya liar.
"Aha.... hahahaha! Aku ini benar-benar bodoh. Tidak kusangka aku sedikit pun bersemangat dengan pesta itu! Dan selama ini ayah... dia berencana mengusirku dari sini?"
"Aku tidak bisa melakukan itu, ayah!"
Miranda telah menyatakan, suaranya bergema ke telinga Shannon dari ruangan lain.
Shannon terdiam, mendengarkan.
"Aku menolak untuk menerima keputusanmu!" Miranda melanjutkan.
"Jika kamu bersikeras mengusirnya, aku juga akan pergi ke Kota Akademik Aramthurst! Aku akan tetap di sisi Shannon selamanya!"
"Lakukan apa yang kau mau."
Jawab ayahnya dengan nada datar.
"Masalah ini akan terselesaikan begitu Doris menemukan seorang pengantin laki-laki. Aku berharap padamu, tapi.... kau telah terbukti mengecewakan."
Itu adalah kata-kata yang tidak boleh didengar anak perempuan dari ayahnya. Shannon telah melihat melalui celah pintu saat Miranda menyerbu keluar dari ruangan itu.
Shannon tersenyum di antara air matanya.
"Apa yang merasukimu, Onee-sama?" Tanyanya lembut.
"Kamu sudah tahu segalanya. Kamu tahu satu-satunya tujuanku adalah untuk menjadi bahan tertawaan mereka. Dan kamu tahu bahwa aku mempercayaimu! Kamu satu-satunya orang yang pernah aku percayai!"
Shannon telah membenamkan kepalanya di antara kedua tangannya, mencoba menghapus air matanya. Namun sayangnya, air matanya terus mengalir tanpa henti. Meskipun sudah berusaha, air matanya terus menetes ke lantai.
Saat itu juga, Shannon telah bersumpah pada dirinya sendiri.
"Baiklah."
Kata Shannon, matanya menatap punggung kakaknya yang menjauh.
"Aku tidak akan pernah memaafkan kalian semua! Ayah, Doris, Miranda, dan gadis bernama Ceres itu! Aku akan membalas kalian semua, dan menunjukkan kepada semua orang apa yang terjadi pada mereka yang mempermalukanku!"
Dan malam itu pun berakhir dengan kemarahan Shannon yang meluap-luap, tangannya terkepal saat dia merencanakan pembalasan dendamnya terhadap mereka semua. Namun, fokus utama kemarahannya terpusat pada satu orang— yaitu Ceres.