Aku menyipitkan mataku ke batu permata itu, berpikir keras, namun kehilangan fokus ketika kepala keluarga ketujuh mulai berbicara.
"Aku tahu itu!"
Serunya dengan gembira.
"Lyle adalah orang yang sangat beruntung! Mana Crystal sebesar ini adalah barang langka."
"Permata ini Mana Crystal....?"
Tanyaku kepadanya.
"Aku cukup yakin itulah yang mereka gunakan untuk memberi daya pada Demonic Tool."
Ah, di sanalah aku melihat batu permata seperti ini sebelumnya.
Pikirku dalam hati.
Para petualang dari Central memiliki Mana Crystal yang tertanam di alat mereka.
Aku melirik kembali ke batu permata kuning kehijauan yang indah di tanganku. Semakin aku melihatnya, semakin aku merasa seperti akan tersedot ke kedalamannya yang berbentuk buah pir.
"Peridot, namanya."
Kepala keluarga kelima menimpali.
"Itu barang langka."
Kepala keluarga ketujuh mengatakan sesuatu tentang Mana Crystal yang sangat mahal....
Aku memutuskan untuk memasukkannya ke dalam tas yang berbeda dari harta karun kami yang lain, jadi aku bisa menyimpannya dengan lebih aman untuk sementara waktu. Begitu aman, aku berbalik untuk memberitahu yang lain tentang apa yang kutemukan, namun ekspresi bingung di wajah mereka membuatku terhenti.
Aku mengikuti arah pandangan mereka, penasaran dengan apa yang mereka lihat, lalu tersentak kaget. Bunga-bunga Duranta kini mengalir melalui celah-celah dinding anyaman pohon dungeon, memenuhi celah-celah hingga penuh.
"Hah?!"
Aku menatap kosong ke dinding sejenak, lalu mengguncang diriku untuk menenangkan pikiranku.
Baiklah, aku akan bertanya kepada Sophia-san apa arti Duranta dalam bahasa bunga.
"Hei, Sophia."
Kataku, mencoba menarik perhatiannya.
"Bukankah kau bilang kau tahu apa arti Duranta dalam bahasa bunga?"
Suaraku seolah-olah menghancurkan pesona apapun yang telah diberikan bunga-bunga itu padanya, dan menyadarkannya.
"Heh, ap—? Oh, ya! Itu memiliki arti, um.... penerimaan... seperti kau memberi seseorang sambutan hangat."
Pipi Sophia memerah, dan dia menundukkan matanya ke lantai.
Tidak heran dia begitu senang menerima bunga duranta yang kutawarkan padanya.
Pikirku dalam hati. Aku memperhatikannya sejenak—hanya beberapa detik berlalu ketika matanya mulai terangkat kembali dari tanah, kembali ke pembukaan hutan ala dongeng yang telah diubah menjadi dungeon.
"Di sini sangat cantik."
Kata Sophia dengan lembut, menatap bunga-bunga itu seolah terpesona.
"Semua bunga berwarna nila ini, diterangi oleh cahaya hangat yang turun dari atas.... aku merasa seperti sedang bermimpi."
Tak seorang pun dari kami yang lebih memikirkan transformasi ruangan itu—terkadang, hal-hal aneh terjadi begitu saja—jadi kami duduk dan beristirahat di sana untuk sementara waktu. Namun, tak lama kemudian, kami kembali bergerak.
***
Novem menatap tanpa ekspresi ke seluruh bagian dalam tenda kelompok mereka, pikirannya sibuk mengingat kembali apa yang telah terjadi di dungeon sebelumnya hari itu. Mereka berempat berhasil kembali ke perkemahan mereka tanpa insiden nyata, namun pikirannya terpaku pada apa yang telah terjadi di ruangan tempat Lyle bertarung dengan belalang hijau.
Semua bunga duranta itu mekar bersamaan...
Lamunan Novem terputus, ketika Lyle berteriak,
"Astaga! Aku lupa memberitahu kalian!"
Lyle menyambar ranselnya, mengobrak-abriknya dengan panik. Senyum tipis muncul di wajah Novem saat dia memperhatikannya. Novem merasa pemandangan Lyle dalam keadaan seperti itu agak menawan, meskipun dengan cara yang kekanak-kanakan.
Novem berdiri, menghampirinya dengan ekspresi sayang di wajahnya.
Lyle-sama, kamu benar-benar—
Sebuah batu permata jatuh ke atas meja. Novem menatapnya dengan kaget, matanya terbuka lebar.
Mengapa Lyle-sama....?
Semua orang di tenda menatap batu permata itu dengan ekspresi terkejut yang sama—meskipun untuk beberapa alasan yang sangat berbeda. Tidak ada yang menganggap aneh ekspresi terkejut di wajah Novem.
"Itu permata yang sangat besar!"
Jerit Ralph, mendorong Zelphy untuk memukul bagian atas kepalanya.
"Jangan berisik, dasar idiot." Geram Zelphy.
"Apa yang akan kau lakukan jika ada orang lain yang mendengar?"
Zelphy menatapnya tajam sebelum kembali menatap Lyle.
"Tetap saja... itu pasti Mana Crystal. Kau benar-benar berhasil mendapatkan tiket kemenangan, Lyle. Bahkan jika yang kau jual hanya permata itu, itu akan lebih dari cukup untuk menutupi semua pengeluaranmu."
Lyle langsung mulai bersukacita, sebuah pemandangan yang disaksikan Novem dengan gembira. Namun, Novem tidak dapat menahan diri untuk tidak melirik batu permata yang tergeletak di atas meja.
"Jadi, umm, ada sebuah ruangan tempat bunga-bunga mulai mekar entah dari mana—aku menemukan Mana Crystal itu di sana. Kurasa aku agak beruntung, ya?"
"Tunggu, di sanalah kau mendapatkannya?!" Teriak Aria.
"Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu?!"
"A-Aku agak bimbang saat itu."
Lyle tergagap, bingung melihat seberapa cepat Aria mendekatinya.
"M-Maksudku, aku minta maaf!"
Kepala Novem terkulai saat dia menatap lantai dengan murung.
Sebuah peridot muncul begitu saja di ruangan itu.... dan semua bunga duranta yang mekar...? Tidak mungkin itu hanya kebetulan.
"Kalau dipikir-pikir."
Kata Sophia, menimpali.
"Bunga duranta tumbuh dari dinding dekat kita pada hari pertama kita di dungeon juga."
Novem mengangkat kepalanya, menatap gadis lainnya dengan tatapan ragu.
Tapi mengapa bunga itu muncul saat itu...? Aku bahkan tidak masuk ke dungeon pada hari itu...
Kata-kata Sophia mendorong Lyle untuk memikirkan apa yang terjadi pada hari pertama mereka di dungeon, lalu mencoba menjelaskan jalannya kejadian kepada semua orang sebaik mungkin. Aria menatap Sophia dengan iri saat Lyle menjelaskan bagaimana dirinya menghadiahkan bunga duranta kepada Sophia, namun Novem lebih peduli dengan bagian di mana bunga itu tumbuh dari dinding tanpa ada yang menyadarinya. Hal itu tampak seperti hal kecil, namun Novem dapat memperoleh banyak hal dari kejadian itu.
Setelah Lyle selesai bercerita, semua orang kembali bersuka cita atas keberuntungan mereka. Mereka semua tersenyum dan tertawa bersama untuk beberapa saat, hingga akhirnya Sophia pamit dan meninggalkan tenda, sambil berkata bahwa dia punya urusan lain yang harus diurus. Novem segera mengikutinya, menunggu hingga mereka cukup jauh dari yang lain sebelum dia memanggil,
"Sophia?"
Sophia melirik ke belakang, wajahnya tampak ceria.
"Ya? Oh, itu kau, Novem. Apa kau butuh sesuatu?"
Dia tampak senang.
Pikir Novem dalam hatinya.
Kalau dipikir-pikir, dia bersikap lebih tenang sejak hari pertama kelompok kami memasuki dungeon.
Novem teringat cerita Lyle, dan bagaimana Lyle memberi Sophia bunga duranta itu.
Ah, jadi begitu. Jadi itu sebabnya.
Novem menyimpan rahasia ini untuk sementara waktu, melontarkan serangkaian pertanyaan yang berkisar pada apa yang terjadi di dungeon pada hari bunga duranta itu mekar. Sophia menjawab semua pertanyaannya tanpa bertanya, meskipun pipinya masih sedikit memerah. Begitu mereka berdua terdiam, Sophia dengan hati-hati mengeluarkan bunga duranta yang diberikan Lyle, yang dirinya simpan di tengah-tengah selembar kertas terlipat.
"Kupikir mungkin aku bisa menekannya dan mengawetkannya."
Jelasn Sophia kepada Novem.
"Jadi aku memutuskan untuk menyimpannya. Ketika Lyle memberikannya kepadaku, rasanya seperti dia menyambutku ke dalam kelompoknya. Aku tahu dia tidak bermaksud seperti itu, tapi aku tetap tidak bisa berhenti tersenyum."
Novem mengangguk.
Jadi meskipun dia tahu dia sengaja salah menafsirkan tindakan Lyle, dia tetap senang ketika Lyle memberikannya kepadanya.
Pikiran itu mendorong Novem untuk meraih dan menarik bunga itu dari jari-jari Sophia. Dia menjepitnya di antara kedua tangannya, lalu menggunakan sihirnya.
"U-Umm, Novem....!"
Seru Sophia, berusaha keras untuk membuat Novem menghentikan apa yang sedang dilakukannya.
Dia pasti mengira aku mencoba membakar bunga itu hingga hangus.
Pikir Novem dalam hatinya.
Kurasa itu cukup bisa dimengerti—bagaimanapun juga, ada asap yang mengepul darinya.
Sophia menyaksikan itu dengan tercengang, saat gumpalan asap mengepul dari sela-sela jari Novem. Namun, saat Novem membuka tangannya, Sophia merasa rileks—bunga duranta itu tidak rusak. Bahkan, bunga itu telah dikeringkan dan dipres dengan sangat rapi.
"Aku tidak melakukan ini untuk sembarang orang."
Novem berkata dengan tegas.
"Kamu seharusnya lebih percaya diri—aku telah menyambutmu sejak awal, dan aku yakin Lyle-sama merasakan hal yang sama. Aku yakin Aria juga menerimamu."
"Te-Terima kasih."
Kata Sophia, matanya sedikit berkaca-kaca saat menerima bunga yang dipres itu dari Novem.
Novem tersenyum padanya.
"Bungan duranta sebenarnya punya satu arti lagi loh. Itu bisa berarti, 'Aku juga mengawasimu'."
Wajah Sophia memerah padam. Dia berdiri di sana, membeku, merenungkan arti baru dari hadiahnya, saat Novem berbalik dan pergi. Novem terus bergerak hingga dia tak bisa lagi mengenali wajah Sophia, lalu membiarkan ekspresinya sendiri menjadi kosong.
Bunga duranta memiliki arti "Aku mengawasimu", dan peridot itu...
Novem menggabungkan kedua kejadian itu dan bergumam,
"Octō, kamu...."
Selebihnya, Novem tidak mengatakannya dengan keras.
***
Kembali di tenda SwordWings, Rex marah besar.
"Sialan!" Geramnya.
Hal itu tidak seperti kelompoknya tidak menghasilkan uang—mereka menghasilkan uang. Semakin jauh mereka masuk ke dungeon, semakin banyak keuntungan mereka. Namun hanya ada satu masalah.
"Bagaimana kelompok bocah itu bisa menghasilkan begitu banyak uang?"
Beberapa hari pertama, jelas bahwa kelompok Lyle sedang terpuruk. Mereka telah berusaha sebaik mungkin, namun tetap saja gagal menghasilkan uang yang stabil. Kemudian, pada hari keenam, kelompok Lyle memutuskan untuk mengadakan jamuan makan untuk menunjukkan penghargaan mereka kepada tim pendukung atas kerja keras mereka.
Rex awalnya mengejek keputusan itu, namun seiring berjalannya waktu, keunggulan Lyle atas kelompoknya semakin jelas. Kelompok Lyle selalu dilayani pertama kali saat makan, dan Santoire dimarahi karena menggunakan dendam pribadinya sebagai alasan untuk menunda pembagian tugas dungeon mereka. Mungkin sebagai kompensasi atas perilaku Santoire itu, kelompok Lyle sekarang dianggap sebagai pengecualian terhadap beberapa aturan, dan diberi prioritas penempatan.
Rex menghela napasnya dengan kasar.
Tidak peduli apa yang kulakukan, semua orang tampaknya berada di pihak bocah itu. Dan tidak ada yang tahu siapa yang melihat atau mendengarkan.
"Kita akan kalah pada tingkat ini."
Kata Rex dengan keras-keras, menoleh ke Darrel. Laki-laki tua itu tampaknya tidak terlalu peduli baik SwordWings menang atau kalah.
"Darrel-san, apa yang harus aku lakukan?"
Darrel telah mengantisipasi permohonan bantuan ini, dan telah menyiapkan jawaban.
"Kau harus berpikir sendiri." Katanya.
"Masa belajar kalian sudah berakhir. Mulai sekarang, kalian harus mencari nafkah sendiri."
Tangan Rex mengepal, kepalanya tertunduk sedih.
Memangnya aku sudi kalah dari bocah itu. Seberapa keras Darrel-san pikir kami telah bekerja untuk sampai sejauh ini?
Anggota SwordWings yang lain memanggilnya, mencoba menenangkannya, namun Rex sudah terlalu jauh. Tak satu pun suara mereka yang bisa mencapainya.
***
Malam hari kesepuluh kami di dungeon berlalu tanpa insiden lebih lanjut. Menurut Guild, penaklukan dungeon secara keseluruhan berjalan lancar. Kami mendengar kabar bahwa tidak akan lama lagi sebelum seseorang menemukan ruang terdalam dungeon itu. Kami cukup berhasil dalam hal keuangan saat ini, sebagian besar berkat penemuanku akan Mana Crystal itu. Namun meskipun kami telah menebus kerugian kami dalam ekspedisi sejauh ini, kami belum menghasilkan banyak keuntungan. Begitu waktu berganti menjadi malam, aku memutuskan untuk duduk dan memahami angka-angka sebenarnya. Aku mulai menyeimbangkan buku-buku kami, memastikan untuk mencantumkan semua peralatan yang telah kami gunakan dan hadiah yang harus kami bayarkan kepada kelompok Rondo sebagai imbalan atas bantuan mereka.
Berapa banyak yang akan tersisa untuk kami....?
Aku bertanya-tanya, menyipitkan mataku ke kertas di depanku. Aku mencatat semuanya seperti yang diajarkan kepala keluarga keempat, meskipun sangat menyakitkan bagiku untuk melihat semua jumlah besar yang harus kukurangi dari total pendapatan kami.
"Si Byron tua, bajingan itu." Gerutuku.
"Aku tahu dia bilang akan membeli semua peralatan memasak yang kita butuhkan, tapi panci pemanggang roti jelas tidak termasuk."
Meskipun harus kuakui, panci itulah satu-satunya alasan kami dapat menikmati roti yang baru dipanggang.
Kepala keluarga keempat tertawa.
"Yah, itulah seorang pedagang. Bagaimanapun, jangan terlalu khawatir dengan apa yang ada di buku besarmu, Lyle—kau belum menjual semua hartamu. Aku yakin kau punya untung yang lumayan, dan bahkan jika tidak, aku akan memastikan kau menghasilkan uang apapun yang terjadi!"
"Tapi Lyle lah yang akan menjual barang-barang."
Kata kepala keluarga kelima kepada ayahnya.
"Semoga berhasil menghasilkan keuntungan dengan keahliannya."
"Mungkin kami seharusnya mengambil lebih banyak peti jika kami masih memiliki margin yang ketat...." Pikirku dengan keras.
"Harus ada yang membantahmu soal itu, Lyle."
Bantah kepala keluarga kedua.
"Jika kau mengambil lebih banyak peti, maka kau akan menjadi satu-satunya yang menghasilkan uang. Itu akan membuatmu menonjol lagi, dan itu tidak akan baik. Kau tidak akan bisa tidur nyenyak setelah itu—kau akan terjaga, mengkhawatirkan apa yang mungkin dilakukan para orang idiot itu."
Jadi meskipun mungkin untuk menghasilkan lebih banyak uang, aku tidak boleh melakukannya, karena menghasilkan terlalu banyak uang akan membuatku mendapat masalah....?
Renungku dalam hati.
Kedengarannya sangat sulit untuk disesuaikan.
"Jadi begitulah cara kerjanya?" Tanyaku.
"Tentu saja. Percayalah pada kami."
Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandanganku ke dua pedangku, yang tergeletak di salah satu sudut tenda. Keduanya rusak parah hingga tak dapat digunakan.
Dua senjata cadanganku masih harus diganti.
Pikirku dalam hati.
"Tentang topik yang berbeda."
Kataku dengan ringan.
"Aku benar-benar perlu mengubah sesuatu dalam hal senjataku."
"Mungkin sebaiknya kau membeli sesuatu yang lebih berkualitas."
Saran kepala keluarga kedua.
Alisku terangkat saat mendengarnya.
Jarang sekali dia tidak menyarankan untuk mengganti senjata pilihannya.
"Masa tinggalmu di Kota Darion akan segera berakhir."
Lanjut kepala keluarga kedua.
"Jika kau pergi ke Central, kau mungkin bisa membeli beberapa senjata bagus di sana."
Masa tinggal kami di Kota Darion akan segera berakhir.
Ulangku dalam hati. Kata-kata itu terdengar menyedihkan, dan sedikit kesedihan menyelimutiku.
Itu artinya kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada Zelphy-san, Hawkins-san, dan kelompok Rondo. Kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang kami temui di sana.
"Apa kau merasa kesepian, Lyle?"
Tanya kepala keluarga ketiga.
"Setiap kali perasaan itu datang padamu, cobalah pikirkan semua orang yang akan kau temui di masa depan. Kau akan seperti gadis elf itu—selalu bertemu orang baru saat kau bepergian dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada mereka."
"Itu...."
Aku menghela napas, sebagian ketegangan mengalir keluar dari diriku.
"Itu benar."
"Dan ingat."
Kepala keluarga ketiga melanjutkan.
"Ini bukan berarti kau akan berpisah dengan mereka selamanya. Sepertinya kau bahkan akan ditemani Aria dan Sophia, jadi kau tidak perlu bersedih. Kau tidak akan punya alasan untuk merasa kesepian."
Ada sesuatu yang aneh tentang cara dia mengungkapkannya.
Pikirku, namun aku tidak mendapat kesempatan untuk menanyakannya kepadanya. Novem telah memasuki tenda, matanya menatap lurus ke arahku.
"Lyle-sama, sepertinya Hawkins-san akan kembali ke Kota Darion untuk sementara."
Kata Novem, memberitahuku.
"Tapi, jika kita berbicara dengan anggota staf Guild lainnya, mereka akan bertugas sebagai gantinya."
"Hawkins-san akan kembali?"
Tanyaku dengan bingung.
"Kenapa? Bukankah seharusnya dia yang bertanggung jawab di sini?"
"Jika kamu ingin tahu pendapatku tentang masalah ini."
Novem memulai, lalu berhenti. Dia tampak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku yakin Guild sedang kekurangan tenaga, dan mereka tidak memiliki anggota staf lain yang dapat dipercaya untuk mengangkut Demonic Stone dan material monster kembali ke Kota Darion. Aku sangat meragukan Santoire-san akan bersedia mengambil tanggung jawab seperti itu."
Aku mengangguk, langsung mengerti. Dari apa yang kuketahui, Demonic Stone dan material monster yang kami kumpulkan di dungeon diangkut kembali ke Kota Darion secara berkala. Hal itu adalah pekerjaan yang berbahaya—ada kemungkinan kereta kuda pasokan akan diserang selama perjalanannya, dan bahkan petualang sekutu mungkin akan merampas sebagian kargo yang lebih berharga. Sangat penting bagi Guild untuk memilih pihak yang bertanggung jawab untuk ditugaskan.
"Si Hawkins itu sedang dalam masalah."
Kata kepala keluarga keenam dengan nada datar.
"Si Santoire itu benar-benar tidak berguna."
Astaga, kasarnya.
Pikirku dalam hati. Aku hendak membalas Novem, lalu hanya memperhatikannya menggeser kakinya karena gugup yang tidak biasa.
Sepertinya dia ingin memberitahuku sesuatu.
Pikirku sambil melihat sekeliling. Kami adalah satu-satunya yang tersisa di tenda saat itu.
"A-Apa...."
Aku berhenti sejenak.
Kepala keluarga keempat berdeham dengan dramatis, mendesakku.
"Apa ada yang ingin kau bicarakan?"
Akhirnya aku berhasil berbicara.
"Itu...."
Kata Novem dengan perlahan.
"Sebenarnya itu terlalu penting, tapi.... aku hanya ingin tahu... apa kamu pernah merasa diawasi saat berada di dungeon, Lyle-sama?"
Aku memiringkan kepalaku.
Maksudku, aku sedang memeriksa sekelilingku dengan Art-ku, jadi tidak ada alasan bagiku untuk merasa seperti itu.
Pikirku dalam hati.
Aku akan merasakannya jika ada sesuatu di sana. Tapi, sekarang setelah dia menyebutkannya.... ada kalanya aku merasakan firasat aneh, seperti ada yang aneh. Aku yakin aku hanya sedang berimajinasi.
Aku menggelengkan kepala, kembali fokus pada Novem.
"Tidak, kurasa aku tidak pernah merasa seperti itu."
Kataku kepadanya.
Novem tersenyum mendengar jawabanku.
"Aku mengerti. Kalau begitu, baguslah. Selamat malam, Lyle-sama."
Ketika Novem meninggalkan tenda, kupikir dia tampak sedikit lega.
***
"Aku ingin tahu siapa yang akan mentraktirku makan malam hari ini?"
Santoire merenung saat sore hari kedua belas Guild di dungeon berubah menjadi malam. Dia merasa cukup damai sekarang karena Hawkins tidak ada lagi di sana untuk mengomelinya.
Salah satu staf Guild lainnya menatap Santoire dengan pandangan kritis, namun dia tahu mereka terlalu lemah untuk benar-benar melakukan apapun terhadap tindakannya. Dia tidak menghiraukan mereka saat dia mengumpulkan semua kertas di mejanya dan memasukkannya ke dalam sebuah berkas.
Anggota staf yang sama yang menatapnya dengan pandangan kritis itu menghela napasnya dalam-dalam.
"Tolong periksa kertas-kertas itu dengan benar, Santoire-san."
Santoire memutar matanya.
Tsk, apa masalahmu? Kau hanya seorang pekerja staf yang rendahan.
Pikir Santoire dengan sinis.
Namun, secara biasa, Santoire berpura-pura tidak bersalah.
"Oh, aku benar-benar lupa!" Serunya.
"Biar aku langsung mengurusnya!"
Santoire kembali meletakkan kertas-kertas itu di atas meja, seolah-olah dia akan kembali bekerja. Anggota staf Guild baru saja meninggalkan tenda—dia masih punya pekerjaan yang harus dilakukan, dan mengurusi Santoire bukanlah salah satu tugasnya. Dia bukan satu-satunya anggota staf Guild yang merasa frustrasi dengan Santoire. Resepsionis itu tampaknya secara teratur mendapati dirinya memiliki lebih sedikit pekerjaan daripada rekan-rekannya, yang membuat mereka jengkel.
Santoire menyipitkan matanya, masih menatap kertas-kertas di depannya.
"Si kecil yang berisik itu...."
Santoire dipotong oleh seorang petualang yang memasuki tenda. Petualang itu adalah orang yang ramah, dan menghampirinya begitu dirinya melihat Santoire.
"Yo, Santoire."
Kata petualang itu dengan riang.
"Kita akan mengadakan jamuan kecil. Apa kau ingin ikut?"
Santoire menatap petualang itu dari atas ke bawah.
Yah, tidak seperti banyak petualang yang baik di sini.
Pikir Santoire, masih kesal.
Kurasa aku bisa tahan dengan semua orang seperti dia.
"Oke!"
Santoire berkata, sambil menempelkan kedua tangannya ke dada dan tersenyum lebar.
"Aku akan ikut!"
Santoire terus menunjukkan gerakan imutnya saat mengikuti petualang itu keluar dari tenda, meninggalkan kertas-kertas di mejanya begitu saja.
Tanpa Santoire sadari, salah satu kertas itu berisi rencana terperinci kegiatan SwordWings untuk hari itu. Sudah lama lewat dari waktu yang seharusnya mereka lewati, namun tidak seorang pun melihat mereka kembali ke perkemahan....
***
"Apa ada orang di sini?!"
Darrel berteriak, masuk ke dalam tenda Guild.
"Hawkins?!"
Dia melihat sekeliling tenda dengan gelisah, lalu mengerutu.
"Ah, benar juga, dia ada di Kota Darion. Apa ada orang lain di sini?!"
Tidak ada yang menjawab, dan mata Darrel tertuju pada kertas-kertas yang masih berserakan di meja resepsionis. Matahari mulai terbenam dan cahaya di dalam tenda redup, namun dia tetap membolak-baliknya. Setelah menyipitkan mata membaca beberapa halaman, matanya tertuju pada jadwal yang menunjukkan bahwa SwordWings seharusnya kembali lebih awal hari itu.
"Apa yang mereka lakukan....?!"
Darrel berkata, kekhawatiran dan kejengkelan bercampur di wajahnya.
"Dan tentu saja itu harus terjadi pada hari aku berangkat...."
Tiba-tiba dia tersentak, berputar untuk menghadap papan pengumuman.
"Kartu Guild mereka!"
Kartu Guild selalu dibuat berpasangan, dengan Guild menyimpan satu dan petualang menyimpan yang lain. Kartu-kartu itu memiliki beberapa karakteristik aneh—salah satunya adalah jika seorang petualang meninggal dengan kartu yang mereka bawa, kartu yang di simpan Guild akan rusak secara permanen, nama mereka akan tercoret.
Untuk ekspedisi dungeon, Guild telah menempelkan semua kartu Guild petualang ke papan pengumuman di tenda penerima tamu. Darrel mencarinya dengan tergesa-gesa, merasa santai ketika dia melihat tidak ada satu pun SwordWings yang memiliki coretan di nama mereka.
"Syukurlah."
Katanya, menghela napas lega.
"Setidaknya mereka masih hidup. Tapi dalam hal ini.... mereka terjebak di suatu tempat dan tidak dapat kembali ke perkemahan dengan aman, atau mereka menjadi tidak sabaran dan terdesak ke area di luar batas mereka."
Sialan.
Gerutu Darrel, sambil berlari keluar dari tenda.
Tentu saja Hawkins tidak ada di saat seperti ini. Aku harus menjemput mereka sendiri. Tapi, aku butuh seseorang untuk membantu...
Wajah Zelphy muncul di benaknya.
Darrel berjalan kembali ke tendanya sendiri, mengambil peralatannya, dan bergegas menuju tenda tempat kelompok Lyle menginap. Sayangnya, ketika dia masuk ke dalam, dia hanya mendapati Rachel dan Ralph yang ada di sana.
"Hei, apa Zelphy sudah kembali?"
Tanya Darrel, suaranya panik. Rachel dan Ralph menatapnya, menyadari bahwa Darrel bersenjata lengkap.
"D-Dia bilang dia ingin mengajari kelompok kami cara yang benar untuk berkemah di dungeon, jadi tidak ada dari mereka yang akan kembali malam ini. Dia bilang dia ingin melakukannya karena ruang terdalam akan segera ditemukan. Kurasa mereka akan kembali besok pagi."
"Oke."
Kata Darrel sambil mengangguk.
"Jika dia kembali, beri tahu dia bahwa seorang laki-laki paruh baya bernama Darrel sedang mencarinya. Kurasa dia akan mengerti pesannya!"
Darrel sudah pergi sebelum Rachel sempat menjawab.
Aku akan menemukan mereka, apapun yang terjadi.
Pikir Darrel, bergegas menuju dungeon.
Aku bersumpah akan menemukan mereka.
Darrel mencapai pintu masuk dungeon tidak lama kemudian. Ada beberapa petualang yang dikenalnya berkeliaran di dekatnya, jadi Darrel berlari ke arah mereka dan bertanya apa dia bisa menggunakan peta mereka.
"Zelphy ada di dungeon, jadi aku tidak bisa menghubunginya." Jelasnya.
"Tapi aku cukup yakin kelompokku sedang menjelajahi area ini. Aku merasa tidak enak bertanya begini, tapi bisakah kau membantuku menemukan mereka?"
Salah satu petualang mengangguk, mengalah pada permohonannya.
"Oke." Kata petualang itu.
"Kita harus saling membantu di saat-saat seperti ini. Tapi Darrel... -san... ini sudah malam, dan kita tidak punya banyak orang untuk diajak bekerja sama. Wilayah yang bisa kita jelajahi sangat terbatas."
Darrel menatap tajam ke peta.
"Aku tahu." Katanya, pelan.
"Tapi aku harus menemukan mereka."
"J-Jangan terlalu memaksakan diri."
Seorang petualang yang gugup menimpali.
"Biar aku cari siapa lagi yang bisa kuajak bergabung."
Darrel mengangguk, matanya menatap kejauh.
"Maaf merepotkan. Kuharap aku hanya bereaksi berlebihan."
Rasa tanggung jawab yang berat menghinggapi pundak Darrel.
Aku mengacau.
Pikir Darrel dengan sedih.
Aku meremehkan betapa tidak sabarannya mereka sebenarnya.... ini semua salahku.
Darrel menunggu dengan tidak sabar sampai mereka mengumpulkan semua petualang yang bisa mereka kumpulkan untuk tim pencari, lalu memimpin timnya ke dalam dungeon.
***
Para SwordWings berkumpul bersama di dungeon, lingkungan mereka hanya diterangi oleh satu lentera yang digenggam di tangan pendukung mereka. Cahaya alami dungeon telah memudar beberapa waktu lalu, meninggalkan mereka diliputi kegelapan. Pada titik ini, mereka telah melawan beberapa monster, namun pemandangan di hadapan mereka cukup mengesankan untuk mengusir semua pikiran tentang itu.
Sebuah gapura yang terbuat dari pohon-pohon yang bengkok menjulang di hadapan mereka, diterangi oleh kedipan cahaya lentera. Rex menatapnya, diliputi kegembiraan—hanya ada satu alasan mengapa bangunan seperti itu ada di dalam dungeon.
"Hei."
Salah satu anggota SwordWings berkata dengan lembut.
"Itu ruang paling dalam, bukan?"
Satu per satu, wajah anggota kelompok SwordWings berseri-seri karena kegembiraan. Kelompok itu bersorak. Rencana awal mereka adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin selama beberapa hari terakhir penaklukan, namun sekarang mereka berhasil menemukan pintu masuk ke ruang terdalam juga—melalui koridor gelap, tidak kurang.
"Siapapun yang menemukan ruang itu akan mendapat bagian dari harta karun di dalamnya, kan?!"
Kata seorang anggota SwordWing.
"Kita kaya!"
"Aku tentu tidak akan menunggu untuk mengambil sisa-sisa milik orang lain!"
Teriak Rex kepada mereka.
"Kita sudah sejauh ini, dan kita satu-satunya di sini.... yang harus kita lakukan adalah menaklukkan ruang itu, dan harta karun itu akan menjadi milik kita!"
Rekan-rekan Rex yang saling bertatapan.
"Ide itu gegabah, tidak peduli bagaimana kau melihatnya."
Kata salah satu dari mereka.
"Kita harus kembali ke perkemahan untuk saat ini."
"Itu benar."
Kata yang lainnya.
"Kita sudah jauh melewati waktu kembali kita. Mereka mungkin akan membentuk regu pencari jika kita menundanya lebih lama."
"Jika regu pencari itu datang itu tidak akan bagus untuk kita, bukan?"
Kata anggota yang ketiga.
"Hei, Rex, kita harus kembali."
Rex terdiam sejenak, mempertimbangkan saran ini, namun dia tidak bisa melupakan semua gambaran Lyle yang terlintas di kepalanya.
"Setidaknya mari kita periksa bagian dalamnya."
Kata Rex pada akhirnya.
"Akan lebih baik jika kita kembali ke perkemahan dengan sedikit informasi, kan?"
Kami punya sembilan anggota hari ini, sejak kami meninggalkan Darrel-san.
Pikir Rex dalam hatinya.
Tapi kami tidak menemukan kesempatan seperti ini setiap hari. Jika kami menyerah sekarang, kelompok si bocah sialan itu akan mengalahkan kami.
Pengintai kelompok SwordWings tidak senang dengan risiko itu, namun mereka masih dengan enggan menjulurkan kepala mereka melalui lengkungan, mengintip ke dungeon yang paling dalam itu. Namun, untuk beberapa alasan, mereka tampak cukup bingung ketika mereka mundur.
"Ada apa?" Desak Rex.
Para pengintai itu mengabaikannya, satu meminjam lentera pendukung sementara yang lain melangkah melalui gapura dan memeriksa dinding dan langit-langit ruangan di luar. Namun, dia tidak berlama-lama—dia melangkah keluar, menatap aneh rekan pengintainya. Mereka saling bertukar tatapan, memiringkan kepala dengan rasa ingin tahu satu sama lain.
"Jangan menutupinya padaku!"
Rex berteriak, dengan cepat kehilangan kesabaran.
"Apa yang kau lihat?"
"Tidak ada."
Para pengintai itu menjelaskan.
"Tidak ada apapun di sana."
"Hah...?"
"Monster itu tidak ada di sana, Rex, sudah kubilang. Kami tidak melihat apapun di dalam sana."
Rex menempelkan tangan ke mulutnya saat dia mempertimbangkan kemungkinan.
Mungkinkah monster itu tidak terlihat?! Aku pernah mendengar tentang monster bunglon yang memiliki sifat seperti itu.... tapi monster itu berada pada level yang bisa kami tangani. Apa itu berarti kami memiliki kesempatan untuk mengalahkan bossnya...?
Rex menoleh ke penyihir mereka.
"Hei, bisakah kau memeriksa area itu dengan sihir? Ada kemungkinan itu monster yang tak terlihat."
Penyihir SwordWings melangkah maju, mengarahkan tongkatnya ke lengkungan dan mengaktifkan sihirnya. Rex menyaksikan badai muncul di ruang boss dan air mulai mengalir turun dari langit-langit, berharap beberapa tetesan akan memantul dari musuh yang tak terlihat. Namun ketika air yang disihir oleh mantra itu berhenti jatuh, dia menjadi bingung seperti sebelumnya. Jika ada monster di dalam ruangan itu, monster itu tidak mengeluarkan suara.
"Tidak ada apapun di sini."
Kata salah satu pengintai lagi.
Kelompok Rex saling bertatapan.
"Itu jelas tidak mungkin."
Kata salah satu dari mereka.
"Maksudku, dungeon macam apa ini?!"
Gerutu anggota Rex yang kedua.
Anggota ketiga mengerutkan alisnya.
"Aku berani bersumpah aku mendengar bahwa ruang terdalam selalu memiliki monster yang kuat di dalamnya...."
Saat rekan-rekannya mengungkapkan pendapat mereka, Rex mengumpulkan tekadnya. Begitu dirinya merasa siap, Rex berlari melewati lorong lengkung dan masuk ke ruangan itu, mengabaikan seruan rekan-rekannya untuk berhenti. Rex berlari ke tengah ruangan, lalu berdiri di sana sejenak, senjatanya siap. Namun Rex tidak merasakan apapun. Monster itu tidak terlihat di mana pun.
"Benar-benar tidak ada apapun di sini."
Kata Rex dengan pelan, merasa bingung.
Serangkaian anggota SwordWings yang lega memasuki ruangan setelahnya, banyak dari mereka yang memperhatikan peti mewah yang terletak di bagian belakang ruangan.
Tentu saja.
Pikir mereka dalam hatinya.
Peti inilah yang selama ini kami tunggu.
"J-Jangan menakut-nakuti aku seperti itu."
Salah satu anggota SwordWings memberitahu Rex, tertawa gugup.
"Hei."
Anggota yang lain menimpali.
"Apa mungkin monster itu tipe yang berkeliaran? Monster itu bisa saja meninggalkan ruangan."
Anggota yang ketiga mengangguk.
"Kalau dipikir-pikir, kadal besar yang kita temui dalam perjalanan ke sini cukup tangguh...."
Mereka semua dengan takut-takut mendekati peti itu, mengerumuninya dalam sebuah lingkaran.
Rasanya agak... antiklimaks.
Pikir Rex dalam hatinya. Tetap saja, harapannya terhadap harta karun yang ada di dalam peti itu semakin membesar.
"Dungeon ini sejauh ini merupakan tempat yang cukup menguntungkan. Harta karun di ruang terdalam pastilah sesuatu yang sama mengesankannya."
Rex mengulurkan tangan dan mengusap permukaan peti itu dengan jarinya, namun membeku ketika suara Darrel menggelegar dari belakangnya.
"Jangan sentuh!"
Teriak seorang laki-laki.
Namun sudah terlambat—pohon-pohon tumbuh dari pintu masuk ruang itu, menyegel Rex, kelompoknya, dan Darrel yang kehabisan napas, yang baru saja berhasil masuk ke dalam ruangan itu. Para petualang yang membuntutinya terpaksa berhenti mendadak, tidak dapat melewati penghalang pohon itu.
Rex menatap Darrel dan pohon-pohon itu dengan kaget.
"...Hah?"
Namun pohon-pohon itu bukanlah hal yang paling dikhawatirkannya—peti di depannya hancur menjadi debu, dan tanah mulai berguncang.
"SwordWings, waspadalah!"
Teriak Darrel, mengangkat tombaknya tinggi-tinggi.
"Itu jebakan!"
Darrel menggelengkan kepalanya, berkata,
"Sial, aku punya firasat buruk tentang ini."
Sesuatu bergerak di bawah kaki Darrel, dan dia segera bergeser dari tempatnya. Beberapa saat kemudian, sesosok makhluk muncul dari tanah—makhluk itu menggeliat, dengan mulut besar menganga. Tubuhnya yang hitam dipenuhi bintik-bintik putih. Para anggota SwordWings menatap monster itu dengan ngeri. Monster itu tidak punya mata, tidak punya telinga.... hanya mulut bundar yang dipenuhi cincin demi cincin gigi tajam. Monster itu bukanlah monster yang mengunyah makanannya—ketika melahap sesuatu, cincin giginya berputar-putar, mencabik mangsanya hingga berkeping-keping bahkan saat setiap spiral menarik makanan mereka semakin dalam ke dalam mulutnya. Monster itu adalah makhluk yang aneh dan tidak alami.
"Cacing raksasa."
Kata Darrel, tertawa keras bahkan saat keringat dingin mulai membasahinya.
"Aku mencoba pamer di misi terakhirku, mengenakan armor logam, tapi sepertinya itu kesalahan. Armor tidak berguna melawan makhluk ini, dan beratnya memperlambatku dalam pertempuran...."
Darrel menggelengkan kepalanya, menyingkirkan rasa takutnya.
"SwordWings, teruslah bergerak! Monster ini akan merepotkan—dia berjalan menembus tanah!"
Para anggota SwordWings mengangkat senjata mereka, mempersiapkan diri untuk pertempuran.
"Jangan khawatir."
Kata Darrel, mencoba yang terbaik untuk menyemangati mereka.
"Kita mungkin terjebak, tapi orang-orang di luar tahu kita ada di sini. Yang harus kita lakukan adalah bertahan sampai rekan-rekan kita tiba!"
Darrel menyeringai lebar kepada mereka.
"Atau, kita bisa mengalahkan makhluk ini sendiri, dan kembali sebagai pahlawan penakluk!"