Chapter 34 : Eva the Elf
"Itu salah satu hal dari si Lyle ini."
Salah satu leluhurku berkata dengan jijik.
"Dia tidak pernah berpikir untuk memperhatikan sekelilingnya."
Aku meringis. Saat ini aku berada di ruang meja bundar, yang merupakan tempat di dalam Jewel tempat aku dapat mengirimkan kesadaranku untuk melakukan percakapan tatap muka dengan ingatan para leluhurku yang telah dibangkitkan. Ada tujuh kursi yang mengelilingi meja bundar di tengah ruangan—satu diisi olehku, dan sisanya diisi oleh enam leluhurku. Sebelumnya ada kursi kedelapan, namun setelah sang pendiri menghilang, kursi itu juga menghilang.
Sekarang satu-satunya pengingat bahwa dia pernah ada adalah pedang lebar yang melayang di atas tempat kosong tempat kursinya pernah diletakkan. Mengapa aku pergi ke ruang meja bundar, tanya kalian? Rupanya hanya untuk diceramahi tanpa henti oleh para leluhurku itu. Untuk lebih jelasnya, kritik mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan dungeon itu—kegagalanku yang nyata terletak pada keputusanku untuk memberi Sophia bunga itu.
Ada sesuatu yang aneh tentang bunga itu.
Renungku dalam hatiku.
Hal itu terus menganggu pikiranku.
"Demi para dewi.... kau bahkan melakukannya saat Aria sedang menontonnya!"
Tegur kepala keluarga ketiga.
"Maksudku, kau bisa memberi gadis-gadis itu bunga sebanyak yang kau mau, tapi ada waktu dan tempat untuk hal-hal seperti itu. Kau harus menunggu sampai tidak ada orang lain di sekitar, dan—"
"Y-Yang lebih penting." Selaku.
"Bunga itu tidak ada di sana saat kita memasuki ruangan itu, kan? Bunga itu tumbuh dari dinding bahkan sebelum aku menyadarinya. Itu tidak wajar, kan?"
Postur kepala keluarga keempat menjadi tegak saat mendengar pertanyaan itu. Dia mendorong kacamatanya ke hidungnya dengan jari telunjuknya, dan lensa kacamata itu menangkap cahaya dengan kilauan yang tidak menyenangkan.
"Jangan mengalihkan topik pembicaraan."
Katanya dengan nada mengancam.
Sedikit rasa ngeri menjalar di tulang punggungku, namun aku merasa rileks saat dia menghela napas dalam-dalam.
"Meskipun aku ingin terus menceramahimu."
Kata keluarga kepala keempat dengan lelah.
"Cercaan tidak akan menyelesaikan apa yang telah kau lakukan. Sebaiknya kau cari hadiah untuk diberikan pada Aria dan Novem sebelum dungeon itu ditaklukkan, Lyle."
Aku mengangguk, namun dalam hati aku bertanya-tanya,
Haruskah aku benar-benar khawatir hanya karena bunga...?
Kepala keluarga keempat menoleh untuk melihat ke seluruh meja.
"Apa pendapat kalian tentang bunga itu?"
Kepala keluarga kedua melipat tangannya dan berkata,
"Menurutku bunga itu pasti mengandung semacam makna. Tapi, dungeon menyimpan misteri yang tak ada habisnya, jadi memikirkan hal-hal seperti itu sering kali membuang-buang waktu."
Kepala keluarga kelima melipat tangannya di depan mulutnya.
"Duranta...." Katanya, matanya menyipit karena berpikir.
"Apa artinya itu dalam bahasa bunga?"
"Kurasa aku pernah mendengarnya sebelumnya."
Kata kepala keluarga keenam, matanya terpejam rapat saat dia mencoba mengingat.
"Mungkin...."
Beberapa saat berlalu, lalu dia membuka matanya, ekspresi sedikit jengkel muncul di wajahnya.
"Aku tidak ingat."
"Yah, Sophia itu sepertinya tahu sesuatu tentang bunga duranta."
Kata kepala keluarga ketujuh.
"Jika kau penasaran, mengapa tidak bertanya padanya, Lyle?"
Aku mengangguk.
Kedengarannya itu adalah cara tercepat untuk mendapatkan informasi yang kubutuhkan.
"Meskipun aku merasa Duranta membingungkan, kurasa sebaiknya kita beralih ke pembicaraan tentang dungeon untuk saat ini."
Kata kepala keluarga kedua, menyelipkan kedua tangannya di belakang kepala.
"Besok akan menjadi pertama kalinya Novem dan si pengguna tombak berambut mohawk itu memasuki dungeon, jadi tak satu pun dari mereka akan mampu menavigasinya dengan benar. Kau harus santai saja, oke, Lyle? Terburu-buru tidak akan membantumu sampai masa penyesuaian mereka selesai."
Katanya sambil menghela napas.
"Tapi ada sesuatu yang menggangguku..."
"Apa itu?" Tanyaku.
"Itu tentang taruhan Zelphy itu." Jawabnya.
"Aku tidak begitu suka dia mengadu kelompokmu dengan kelompok lain sebagai permainan, tapi yang lebih menggangguku adalah kelompok petualang Darrel itu. Mereka itu.... bagaimana bilangnya ya...? Sepertinya menaruh dendam padamu."
"Ah ya, aku mengerti maksudmu."
Kepala keluarga ketiga setuju.
"Menurutku, bukan hanya kelompok Darrel saja yang begitu. Anggota ekspedisi lainnya juga tampaknya memiliki pandangan yang agak negatif terhadap kelompokmu, Lyle. Harus kukatakan, ini bukan situasi yang terbaik untuk dihadapi."
Kepala keluarga kedua mengangguk setuju.
"Kau menghadapi sekelompok petualang muda yang penuh persaingan. Mereka juga bukan tipe yang paling terhormat. Seluruh situasi ini terasa seperti kecelakaan yang menunggu untuk terjadi."
Insting kepala keluarga kedua mungkin tidak sekuat sang pendiri, namun instingnya itu masih cukup tajam. Ketika seseorang seperti dia mengatakan sesuatu seperti itu, aku tidak punya pilihan selain menanggapinya dengan serius.
"Menurutmu mereka akan menyerang kita atau semacamnya?"
Tanyaku kepadanya.
Kepala keluarga kedua hanya tertawa kecil.
"Mungkin saja, tapi mereka mungkin akan mengambil pendekatan yang kurang langsung. Naluriku mengatakan mereka akan mengambil rute yang lebih licik dan lebih merepotkan. Secara pribadi, aku penasaran apa yang akan dikatakan Zelphy tentang semua ini."
Kalian tahu, kepala keluarga kedua ini tidak tampak terlalu khawatir.
Pikirku dalam hati.
Cara dia menyeringai padaku.... apa dia menantikan sesuatu terjadi?!
"Zelphy tampaknya sedang memikirkan beberapa hal."
Kepala keluarga keenam setuju.
"Dan Lyle, ingatlah bahwa dungeon ini jauh dari mata publik. Kau tidak tahu apa yang orang-orang rela lakukan di tempat seperti ini. Jadi berhati-hatilah."
"Sejujurnya, aku tidak sepenuhnya memahami apa yang kalian maksud di sini."
Kataku kepada mereka, sambil menggaruk kepalaku.
"Kalian membuatku kehilangan arah dengan semua pembicaraan tentang taruhan dan niat buruk itu...."
Maksudku, aku merasa kesal karena Zelphy seenaknya menjadikan aku dan kelompokku sebagai subjek taruhan, dan sikap orang-orang terhadapku memang tampak sangat buruk, tapi aku tidak begitu mengerti apa yang seharusnya kuwaspadai....
"Ini akan menjadi pengalaman yang bagus untukmu."
Kata kepala keluarga kedua sambil mengangkat bahunya.
"Kami tidak begitu berpengetahuan tentang hal-hal petualang, jadi kami akan duduk santai sebentar. Mengapa kau tidak mencoba dan memikirkan sendiri situasinya?"
Dari sana, para leluhurku memulai diskusi sengit tentang bagaimana petualang menangani penaklukan dungeon melawan penguasa. Mereka terus mengatakan hal-hal seperti, "Aku akan melakukannya seperti ini", atau "Mengapa mereka tidak melakukan itu?"
Aku tidak banyak memberikan masukan untuk perdebatan mereka. Aku hanya duduk di kursiku dan memperhatikan untuk melihat bagaimana diskusi mereka akan berjalan.
***
Untuk penjelajahan dungeon hari kedua, kami memutuskan bahwa Rondo dan Rachel bisa duduk saja. Aku bangun pagi-pagi dan menuju ke tenda Guild untuk mendapatkan izin menyelidiki area yang telah kami pilih, kecuali... tampaknya tugas itu tidak akan berjalan dengan baik untukku kali ini.
Saat aku mencapai barisan depan, Santoire sedang menjaga meja resepsionis lagi. Aku berjalan ke arahnya, merasa sedikit canggung, dan berkata,
"Umm—"
"Orang berikutnya, silakan!"
Panggil Santoire, sama sekali mengabaikanku. Dia memproses orang yang berdiri di belakangku tanpa melirik ke arahku.
"Astaga."
Kata kepala keluarga ketiga.
"Sepertinya kau membuatnya marah. Bukan bearti itu penting."
"Aku tidak tahan dengan perempuan ini."
Kata kepala keluarga kelima dengan suara kesal.
Kepala keluarga keenam tertawa dan berkata dengan nada menenangkan,
"Ayolah, ini bukan masalah besar, kan? Itu hanya menunjukkan bahwa dia tidak akan pernah menjadi lebih dari ini."
Sikapku kemarin pasti telah menyinggung perasaannya.
Pikirku sambil meringis.
Santoire-san bahkan tidak mau menatapku sekarang. Tapi, dia harus berhadapan denganku pada akhirnya. Dia satu-satunya orang di sini yang bekerja di meja resepsionis.
Setelah menunggu cukup lama, antrean di depan meja resepsionis kosong, kecuali aku. Santoire berhadapan denganku saat itu, namun bahkan tidak berusaha menyembunyikan betapa enggannya dia melakukannya. Pada akhirnya, aku bahkan tidak bisa menempatkan kelompok kami di area yang ingin kami kunjungi hari itu—kami malah dipindah ke lokasi lain. Ketika aku berbalik untuk pergi, orang yang pergi sebelumku masih tertinggal di belakang. Dia menyeringai saat aku lewat, membuatku merasa gelisah.
Saat aku kembali ke yang lain, Ralph sudah sangat muak menunggu.
"Kau terlambat, Lyle." Bentaknya.
"Kelompok yang lain sudah berangkat."
Aku minta maaf kepada semua orang atas keterlambatanku, meskipun aku menyadari bahwa untuk beberapa alasan Zelphy tidak mengeluh.
"Apa ada semacam masalah, Lyle-sama?"
Tanya Novem, mendekat ke sisiku.
Aku terdiam, merenungkan apa aku harus menceritakan padanya apa yang terjadi dengan Santoire, namun Ralph menyela sebelum aku sempat memutuskan.
"Ayo, cepatlah." Desaknya.
"Kita hampir tidak mendapatkan apapun kemarin, ingat? Tidak mendapatkan apapun selama dua hari akan menyebalkan."
"Nanti akan kuceritakan."
Kataku pada Novem, sambil menggelengkan kepala.
Aku harus fokus pada dungeon untuk saat ini.
Pikirku, memutuskan itu dalam hati.
***
Hari kedua kami di dungeon sama sia-sianya dengan hari pertama. Kami sudah jauh tertinggal karena semua kelompok lain sudah mendahului kami, dan waktu yang hilang semakin bertambah karena harus menunggu Novem dan Ralph terbiasa dengan kepadatan mana yang lebih tinggi di dungeon itu. Saat kami benar-benar mulai, semua monster sudah dibantai dan semua peti harta karun sudah dikumpulkan.
Saat kami melaporkan apa yang terjadi pada Rondo, dia menghela napas dan berkata,
"Tidak banyak yang bisa kita lakukan tentang itu. Mari kita berusaha sebaik mungkin lagi besok."
Beberapa waktu telah berlalu sejak saat itu, dan aku sudah duduk di sudut perkemahan kami di mana aku bisa memiliki waktu terpisah dari yang lain. Saat aku duduk di sana, aku tidak bisa tidak berpikir bahwa mungkin, mungkin saja...
"Ini semua salahku, bukan?"
Gerutuku pada diriku sendiri.
Komentar ini membuka luapan ceramah para leluhurku.
"Tentu saja!"
Seru kepala keluarga kedua.
"Tidak diragukan lagi!"
Kata kepala keluarga ketiga.
"Maksudku, aku tidak melihat alasan lain...."
"Dan bagaimanapun juga, Lyle, apa yang terjadi pada kelompokmu adalah tanggung jawabmu."
"Bekerjalah lebih keras."
"Itu benar! Kau seharusnya berusaha lebih keras."
Aku menghela napas, bahuku terkulai. Mereka benar—ini semua karena aku mengabaikan Santoire pada hari pertama kami memasuki dungeon. Kalau saja aku menangani semuanya dengan lebih baik, kami tidak akan berada dalam kesulitan seperti sekarang, dua hari dalam perjalanan dungeon kami tanpa keuntungan sedikit pun.
Aku benar-benar menendang sarang lebah, ya...?
Pikirku dalam hati.
Jika aku tidak membalas kebaikannya dan mengisi formulir kami dengan benar, kami tidak akan dapat membuat kemajuan apapun. Dan Hawkins-san sepertinya tidak akan dapat membantu, karena dia sibuk melakukan hal-hal lain. Aku ragu dia punya waktu untuk bekerja di meja resepsionis.
"Aku akan meminta maaf kepada Santoire-san besok."
Kataku, memutuskan itu.
"Tidak, kau tidak bisa melakukannya."
Kata kepala keluarga kedua kepadaku.
"A-Apa....?!"
Kepalaku tersentak kaget.
Kepala keluarga kedua menghela napasnya.
"Meminta maaf pada perempuan itu tidak akan banyak membantu memperbaiki situasi yang kau hadapi."
"Pikirkanlah."
Kepala keluarga keenam menjelaskan.
"Dungeon itu mungkin berskala kecil, tapi mencakup area yang sangat luas. Apa kau benar-benar berpikir bahwa seseorang selalu berhasil mendapatkan harta karun itu sebelum kau? Aku tidak mengatakan bahwa itu sabotase setiap saat, tapi seseorang pasti telah menjebakmu untuk gagal. Biar kuperjelas, Lyle—pada tingkat ini, ekspedisi ini akan membuatmu mengalami defisit."
{ TLN : Defisit itu jumlah di mana sesuatu, terutama sejumlah uang, terlalu kecil. }
Aku tidak suka kedengarannya. Baik kelompokku maupun kelompok Rondo telah melalui banyak persiapan sebelum berangkat untuk menantang dungeon itu, dan persiapan itu tentu saja mengharuskan kami mengeluarkan sejumlah dana. Jika kami tidak dapat mengembalikan investasi itu, maka kami tidak dapat memperoleh keuntungan.
Jika kami tidak memperoleh keuntungan selama dua minggu penuh.
Pikirku, merasa agak mual.
Itu akan menjadi kerugian besar bagi kami.
"Oh, bukan defisit!"
Kepala keluarga keempat meratap.
"Sungguh kata yang buruk. Seluruh ekspedisi ini akan sia-sia jika kau tidak menghasilkan setidaknya sepuluh koin emas. Sejujurnya, aku lebih suka kau menghasilkan dua kali lipat jumlah itu. Kau mendengarku, Lyle? Untuk mempersiapkan dungeon ini, kau...."
Kata-kata kepala keluarga keempat memudar di benakku saat dia terus mengoceh. Sifatnya yang kikir membuat dia bisa membuat daftar semua pengeluaran yang telah kami kumpulkan dengan sangat rinci—dan dia melakukannya.
Bukankah mereka yang ingin aku berpartisipasi?
Aku merenungkan itu.
Mereka adalah orang-orang yang mengatakan kepadaku bahwa itu akan menjadi pengalaman yang bagus, dan semua hal lainnya....
"Halo!"
Sebuah suara tiba-tiba memanggilku.
Aku berbalik, melihat seorang gadis yang tampak seumuran denganku. Meskipun kulitnya pucat, tubuhnya tampak bugar dan atletis di balik tuniknya yang longgar dan tampak nyaman. Dia memiliki mata berwarna ungu yang warnanya sama dengan Novem dan Aria, dan rambut panjang bergelombang yang berkilau keemasan—atau tidak, apa itu berwarna merah muda?—dalam cahaya senja yang redup.
Warna rambut itu.... kurasa disebut pirang stroberi....
Namun bukan warna rambutnya yang benar-benar menarik perhatianku—yang menarik perhatianku adalah telinganya. Ujung-ujungnya lebih panjang daripada manusia, mencapai titik puncak di ujungnya. Aku pernah melihat telinga itu sebelumnya di buku-buku dan mendengarnya dalam berbagai rumor, namun ini adalah pertama kalinya aku melihatnya dari dekat. Gadis itu adalah Elf.
Elf itu memiringkan kepalanya, dan bertanya,
"Apa yang kau lakukan di sana?"
Aku tidak benar-benar tahu harus berkata apa, jadi aku mencoba untuk jujur.
"Aku sedang depresi." Kataku padanya.
Kepala keluarga ketiga tertawa terbahak-bahak.
"Lyle, apa-apaan tanggapan itu? Kau hanya akan membuatnya merasa bertanggung jawab padamu."
"Oh."
Jawab elf itu, tampak sedikit terkejut dengan tanggapanku. Sesaat berlalu, lalu wajahnya tampak geli.
"Hahaha, umm, maaf soal itu. Kau tampak sangat tertekan saat aku melihatmu, jadi kupikir mungkin aku akan datang untuk berbicara denganmu sebentar dan menghiburmu. Aku tidak pernah membayangkan kau akan mengakuinya begitu saja kepadaku."
Apa yang lucu dari tanggapanku?
Pikirku dengan bingung.
Aku tidak bisa mengerti.
"Omong-omong, namaku Eva. Senang bertemu denganmu."
Dia mengedipkan matanya padaku.