Chapter 28 : Say Its Name

 

Zappa memimpin pasukan kecil itu saat mereka berjalan menuruni jalan setapak pegunungan. Dale dan Paula berjalan dekat di belakangnya, sementara Novem dilindungi jauh di dalam barisan pasukan. Saat mereka bergerak maju, prajurit Medard akan keluar di depan kelompok itu dan menyingkirkan rumput tinggi dan cabang-cabang pohon yang menghalangi jalan mereka, membuat jalan yang berbahaya itu sedikit lebih mudah dilalui oleh yang lain.

 

Sementara itu, Medard tetap dekat dengan Novem. Gadis itu telah mengatakan kepada Medard bahwa dia tidak terbiasa berjalan begitu dalam di dalam hutan, jadi Medard pikir Novem akan membutuhkan petunjuk tentang di mana harus menginjakkan kakinya. Namun, Novem berhasil melewati medan yang sulit itu tanpa masalah; dia bahkan tidak tampak berkeringat. Medard merasa agak terkejut melihat betapa kuat dan atletisnya Novem itu, bertentangan dengan penampilannya yang menawan. Namun, itu bukan satu-satunya misteri yang berkaitan dengan Novem; Medard juga tidak dapat memahami bagaimana Novem dapat mengimbangi penduduk setempat yang telah belajar cara menjelajahi hutan ini sepanjang hidup mereka.

 

"Kau tahu bagaimana cara berjalan di sini."

Kata Medard kepada Novem.

 

"Apa kau pernah berjalan melalui hutan sebelumnya?"

 

"Ya, tapi itu sudah lama sekali."

Jawab Novem, ekspresinya tidak berubah.

 

"Dan hanya untuk waktu yang singkat."

 

Pada awalnya, Medard mengira seseorang mungkin harus menggendong gadis itu melewati hutan, dan merasa lega mengetahui bahwa itu tidak akan terjadi. Mereka harus keluar dari area hutan ini—mereka tidak punya waktu sedetik pun untuk beristirahat.

 

Area ini sudah menjadi sangat, uh... Yah, kurasa sudah dua puluh tahun. Bisa dimengerti, kurasa, bahwa area ini telah rusak parah.

Berada di sini membawa kembali kenangan saat Medard memasuki wilayah Keluarga Pagan di masa mudanya. Dia masih sangat muda saat itu—tidak lebih dari seorang anak yang kurang pengetahuan. Bahkan saat itu, sudah banyak pertikaian antara Keluarga Maini dan Keluarga Pagan. Sungai telah menjadi garis pemisah yang jelas antara kedua wilayah itu, namun tidak ada yang menjaga bagian perbatasan di dalam hutan. Kedua keluarga itu akan menyeberang bolak-balik, menyusupi wilayah masing-masing.

 

Dulu, aku akan melampiaskan rasa frustrasiku dengan mengalahkan monster di wilayah Keluarga Pagan. Kupikir itu akan membuatku kuat....

Seekor monster terbang ke pandangan Medard—seekor ngengat besar. Dia memukul monster itu dengan parangnya.

 

Sepertinya monster-monster itu berkumpul.

 

"Kenapa mereka begitu banyak?"

Gerutu Zappa saat Dale menepis seekor ngengat dengan parangnya. Mereka tidak punya waktu untuk mengumpulkan Demonic Stone atau material-material monster itu, jadi mereka membiarkannya membusuk di sana.

 

"Tidak pernah seburuk ini sebelumnya...."

 

Novem melirik ke belakang bahunya, kembali ke jalan setapak.

"Lyle-sama....." Katanya dengan suara pelan.

 

Pemandangan itu membuat Medard dalam suasana hati yang agak bertentangan. Sebelumnya, ketika Lyle pertama kali datang mengunjungi wilayah milik Keluarga Maini, dia membawa Zelphy dan Sophia bersamanya. Lyle membawa mereka berdua saat dia datang berikutnya juga. Bagi Medard, Sophia tampak seperti sedang belajar untuk bersikap santai di depan anak laki-laki itu. Medard mengira mereka berdua adalah sepasang kekasih, namun sekarang....

 

Kau mulai dekat dengan orang yang mengejutkan, Sophia.

Jika satu-satunya ciri khas Lyle adalah fakta bahwa dirinya memimpin sekelompok gadis cantik, Medard akan menganggapnya cukup membosankan. Namun sekarang Medard melihat anak laki-laki itu mengajukan diri untuk melawan monster yang mengerikan, dan kemudian menindaklanjutinya dengan segera mengusulkan tindakan untuk mengalahkannya. Rekan-rekannya, bersama dengan Sophia, telah memilih untuk bertarung bersamanya tanpa berpikir dua kali.

 

Aku mendengar bahwa Keluarga Walt tidak mengakui putra sulung mereka, tapi.... mengapa? Apa karena dia suka menggoda perempuan?

Medard tidak dapat menahan diri untuk tidak mempertanyakan mengapa Lyle diusir dari rumahnya. Medard telah mengetahui keadaan Lyle ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya di istananya. Medard pikir anak laki-laki itu tampak agak tidak dapat diandalkan, kenangnya, namuna Medard tidak menganggap Lyle sebagai orang jahat. Namun, apapun pertanyaan yang diajukan Medard itu, untuk saat ini, melarikan diri dari hutan menjadi prioritas.

 

"Kita hampir sampai! Jika kita berhasil melewatinya—"

Sementara Medard memperhatikan, Zappa berhasil melewati medan yang sangat berbahaya. Beberapa saat kemudian, ujung hutan terlihat.

 

***

 

Lebih jauh di ujung jalan, Aria terkunci dalam pertarungan dengan orc varian. Tangannya mencengkeram tombaknya saat dia menghindari ayunan pedang besar monster itu. Aria juga melancarkan beberapa serangannya sendiri; dia menghindar dengan cepat di sekitar monster itu dan menusukkan tombaknya ke monster itu setiap kali dia punya celah. Aku tahu Aria menggunakan Art-nya untuk mempercepat gerakannya; Art-nya tidak jauh berbeda dari kepala keluarga keempat, dalam praktiknya, selain fakta bahwa Art-nya itu memberikan ledakan kecepatan yang lebih instan.

 

"Bagaimana bisa kulit makhluk ini bisa begitu keras?!" Geram Aria.

Tombak Aria lebih kokoh daripada yang digunakan para prajurit, namun meskipun tidak patah, tombak itu tampaknya tidak dapat menembus kulit monster itu.

 

Aku melangkah maju, memanggil,

"Aria-san, ayo berganti!"

 

Kelompok kami telah memutuskan untuk melawan orc itu secara berpasangan—Aria dan aku menjadi satu, dan Zelphy dan Sophia menjadi yang lainnya. Zelphy dan Sophia bersiaga, beristirahat di titik umpan berikutnya, sementara Pini berada lebih jauh di jalan setapak, mengintai di depan. Rencananya adalah terus memancing orc itu keluar dari hutan secara perlahan, bertarung dan beristirahat secara berkala. Itu sistem yang sederhana, namun medan hutan tetap membuatnya cukup sulit. Kami beruntung bahwa kelompok prajurit yang pergi sebelum kami telah membersihkan sebagian rumput tinggi dan cabang-cabang yang membentang di sepanjang jalan setapak, membuatnya agak lebih mudah untuk dilalui. Hal ini memberi kami setidaknya petunjuk tentang jalan yang harus kami ikuti.

 

"O-Oke!"

Aria tergagap, mulai bergerak ke arahku.

 

Saat aku menunggu, aku menebas goblin yang telah menerobos semak-semak pohon di sekitar kami. Kami harus melawan monster lain selain melawan orc varian itu; pertempuran kami tampaknya akan menarik monster apapun di sekitar kami. Aku menunggu sampai Aria berhasil melewatiku, lalu berbalik dan berlari. Begitu orc itu melihat punggungku yang lengah, orc itu mengangkat pedang besarnya dan melemparkan senjata itu ke udara ke arahku.

 

Di situlah Art kepala keluarga kedua, All, berperan—aku menggunakannya untuk memperoleh persepsi terperinci tentang sekelilingku, yang membuatku tahu di mana aku harus menghindar bahkan tanpa melihat. Pedang orc itu menghantam tanah tepat di sampingku, membuat tanah beterbangan ke segala arah.

 

"Mungkin aku bisa memberikan sedikit kerusakan dengan Limit Burst..." Kataku.

 

Menggunakan Art sang pendiri tampaknya menjadi taruhan terbaikku untuk melukai orc itu. Art itu akan membuatku melampaui batasku sendiri, memperlihatkan kemampuan yang tidak akan bisa kulakukan jika tidak. Sayangnya, kedua pedangku tidak berkualitas baik. Jika aku mencoba merobek kulit tebal orc itu, aku tidak yakin itu akan berhasil.

 

"Kalau saja kau punya senjata yang lebih bagus...."

Gerutu sang pendiri, sedikit frustrasi dalam suaranya.

 

Dia mungkin memikirkan pedang besar yang dia gunakan di masanya. Pedang pembunuh kuda seperti itu pasti punya peluang lebih baik melawan orc itu daripada pedang-pedangku ini...

 

***

 

Setelah Aria dan aku berlari sebentar, kami berhasil menyusul anggota kelompok kami yang lain. Sekarang giliran Zelphy dan Sophia untuk menghadapi orc itu.

 

"Serang aku, dasar orc bajingan!" Teriak Zelphy.

 

"Aku.... Aku bisa melakukannya!"

Teriak Sophia, sambil menerjang maju.

 

Aku memusatkan perhatian pada Pini. Tugasku adalah mencari tahu tempat perhentian kami berikutnya darinya.

 

"Apa ada tempat yang lebih baik untuk bertarung di sepanjang jalan?"

Tanyaku padanya.

 

Pini menggelengkan kepalanya.

"Kurasa tidak. Dari sini, jalannya terjal dan sempit... jarang sekali orang datang ke sini."

 

Saat aku terus berjalan, aku menoleh kembali ke pertempuran itu.

Sepertinya Sophia yang memimpin untuk saat ini....

 

Aku berpaling dari pertarungan itu, dan menatap Aria. Aria terlihat terengah-engah.

 

Dia pasti sedang mengalami masa-masa sulit.

Pikirku. Aria tidak terbiasa bertarung dengan Art miliknya, dan ini adalah lingkungan terburuk yang mungkin dirinya miliki untuk mencari tahu cara membuatnya berhasil.

 

"Lyle, apa kau masih bisa bergerak?"

Tanya kepala keluarga kedua, khawatir.

 

Aku meremas Jewel itu untuk memastikan. Tubuhku memang sedikit sakit, namun aku bisa menahannya.

 

"Baiklah, kalau begitu."

Kepala keluarga kedua melanjutkan.

 

"Biarkan ketiga gadis itu duduk di pertarungan berikutnya. Setelah kau tahu jalannya, kau harus memancing orc itu sendiri."

 

Kekhawatiran kepala keluarga kedua itu tampaknya bukan untukku. Itu untuk anggota kelompok kami yang lain. Mungkin itu hanya respons alami baginya, dengan semua anggota lainnya adalah perempuan kecuali Pini.

 

"Lyle."

Kepala keluarga keempat menegurku.

 

"Kau perlu lebih banyak berkomunikasi dengan kelompokmu."

 

Yang berarti.... dia mungkin ingin aku bertanya pada Aria-san apa Aria-san itu baik-baik saja.

 

Aku mengikuti saran kepala keluarga keempat.

"Apa kau baik-baik saja, Aria-san?"

 

Aria memaksakan senyum, namun aku bisa melihat dia compang-camping karena betapa cerobohnya dia, berjuang melewati hutan. Dia basah kuyup oleh keringat. Aku mencondongkan tubuh dan mulai mencabuti daun-daun dari rambutnya.

 

"Aku akan meminta kalian bertiga beristirahat di pemberhentian berikutnya."

Kataku kepada Aria.

 

"Mengapa kau tidak pergi lebih dulu dari kami dan menunggu di sana? Dengan begitu kau akan siap sedia jika kami butuh bantuan."

 

"T-Tapi jika aku melakukan itu...."

 

"Aria kecilku yang tersayang adalah gadis yang baik...."

Sang pendiri mengerang, terharu sekaligus khawatir dengan sikap Aria itu.

 

"Aku tidak ingin memaksanya terlalu keras."

 

"Lyle, katakan saja padanya bahwa istirahat adalah bagian dari rencana."

Kata kepala keluarga kedua dengan nada yang sedikit lebih keras.

 

"Jika dia mencoba bertarung dalam kondisinya saat ini, dia hanya akan menghalangi."

 

Meskipun kepala keluarga kedua itu selalu menyebut Aria-san sebagai pengganggu, dia tampak khawatir dengan caranya sendiri. Dia mungkin tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.

Pikirku dalam hati.

 

Aku tersadar dari pikiranku, kembali fokus pada Aria.

"Begitu kami menyusulmu, aku berencana menyuruh kalian bertiga melawan orc itu bersama-sama. Aku ingin beristirahat, jadi aku mengandalkanmu untuk memberiku waktu."

 

Aria terdiam sejenak, memikirkan kata-kataku, lalu akhirnya mengangguk.

 

***

 

Pakaian Sophia menempel tidak nyaman di kulitnya. Dia bisa merasakan keringat menetes di sekujur tubuhnya saat mengalir dari setiap pori-porinya. Lyle saat ini sedang melawan orc itu sendirian sehingga mereka bertiga bisa beristirahat.

 

"Kalau saja aku bisa.... menggunakan Art-ku dengan lebih baik...."

Erang Sophia dengan pelan.

 

Art Sophia memungkinkannya untuk mengatur berat benda. Novem telah memberitahunya bahwa itu adalah Art yang aneh, yang cukup langka. Berkat kemampuan barunya ini, Sophia kini mampu mengubah berat kapak perangnya dan mengayunkannya tanpa menimbulkan dampak. Sophia bahkan menemukan bahwa dirinya dapat menambah berat kapak perang itu saat dirinya mengayunkannya ke bawah, menghasilkan serangan yang lebih kuat daripada yang biasanya dirinya lakukan. Namun, Sophia belum terbiasa dengan teknik ini, dan kesulitan mendapatkan waktu yang tepat.

 

Saat ini, kapak Sophia adalah satu-satunya senjata yang dapat beradu dengan senjata orc varian itu. Perhatian Sophia beralih ke tempat Aria duduk bersandar di pohon, memeluk tombaknya erat-erat di tubuhnya. Saat Sophia memperhatikan, Aria mencoba meneguk air dari botol airnya. Mencoba adalah kata kuncinya; airnya sudah lama habis. Melihat ini, Sophia tiba-tiba ingin minum air sendiri. Sophia mulai mencari botol airnya sendiri. Sayangnya, Sophia pasti menjatuhkannya di suatu tempat di sepanjang jalan, karena botol itu tidak berada di pinggangnya. Sophia menghela napas panjang.

 

Lyle masih di sana untuk mengulur waktu, dan yang kulakukan hanyalah beristirahat.

Pikir Sophia, menghela napas panjang.

 

Sophia mendapati dirinya memperhatikan Zelphy, yang masih berdiri. Perempuan tua itu sangat waspada, fokus mengamankan area tersebut sehingga yang lain bisa yakin akan istirahat yang aman. Setiap kali dia melihat monster aneh berkeliaran di area sekitar tempat istirahat mereka, Zelphy akan langsung bertindak. Di saat senggang, Zelphy melemparkan botol air minum ke arah Sophia.

 

"Tetaplah terhidrasi."

Kata Zelphy dengan tegas.

 

"Oh, tapi.... umm..."

Jelas bahwa Zelphy telah melemparkan botol air minumnya sendiri kepada Sophia. Jika Sophia meminumnya, maka Zelphy tidak akan punya air lagi, dan Zelphy jauh lebih lelah daripada kedua gadis lainnya.

 

"Dasar bodoh."

Bentak Zelphy, mengabaikan kekhawatiran Sophia.

 

"Apa kau benar-benar berpikir kalian yang masih pemula bisa mengalahkanku dalam hal stamina? Aku akan mengandalkanmu lagi di ronde berikutnya, Sophia, jadi sebaiknya kau beristirahat dengan benar. Aria, bagaimana keadaanmu?"

 

Aria hanya menatap Zelphy dan mengangguk. Pada titik ini bahkan rambut Aria itu basah oleh keringat.

 

"Kita hampir sampai."

Kata Pini kepada mereka bertiga.

 

"Kita akan segera keluar dari hutan."

 

"Ketika penduduk setempat berkata hampir, biasanya terasa seperti jarak yang jauh bagi kami orang luar."

Kata Zelphy, menggaruk kepalanya dengan canggung. Dia melirik ke jalan setapak tempat Lyle bertarung.

 

"Kau tahu.... Si Lyle itu terbukti cukup bisa diandalkan di saat-saat krisis seperti ini."

 

Sophia meneguk air dari botol Zelphy, lalu menyeka mulutnya.

"Kau benar." Katanya, mengangguk.

 

"Terkadang dia seperti menjadi orang lain sepenuhnya."

Sophia telah memperhatikan bahwa setiap kali keadaan menjadi sulit, seperti yang terjadi selama penaklukan bandit, Lyle akan tiba-tiba menjadi lebih bisa diandalkan dari biasanya.

 

Aku tahu aku bisa mengandalkannya.

Pikir Sophia dalam hatinyanya.

 

Dari lubuk hatiku, aku tahu itu.

 

***

 

"Lyle, bagaimana kalau kau lemparkan lumpur itu ke wajah orc itu?"

Kepala keluarga ketiga menyarankan.

 

"Jika kau bisa menghancurkan matanya saat melakukannya, akan jauh lebih mudah bagimu untuk bertarung."

Kata-kata ini membuatku berhenti sejenak saat aku melihat ke bawah ke pedang yang kupegang di kedua tangan.

 

Apa dia serius baru saja menyarankan agar aku membuang senjataku dan mengambil lumpur saja?!

 

"Maksudnya dengan kakimu, Lyle."

Kata kepala keluarga keenam sambil tertawa.

 

"Kau bisa menendang lumpur dengan kakimu. Tapi, kau tidak perlu repot-repot menghancurkan matanya; monster itu hanya akan meregenerasinya. Lumpur seharusnya bisa berguna."

 

Sesuatu tampaknya terlintas di benak kepala keluarga kelima saat itu.

"Ayo, Lyle, cobalah!" Serunya.

 

Meskipun kepala keluarga kelima itu sangat bersemangat, dia entah bagaimana masih bisa mempertahankan sikap acuhnya.

"Pertarungan yang biasa tidak selalu cukup untuk membuat seseorang tetap hidup. Anggap saja ini sebagai.... latihan. Latihan, kataku! Oh, dan pastikan kau juga menghancurkan matanya. Hanya untuk latihan, kau tahu...."

 

Mereka pastinya tidak mungkin serius.

Pikirku dengan tidak percaya.

 

Bagaimana mungkin mereka benar-benar ingin aku menggunakan monster varian seperti orc ini untuk latihan bertarung?!

 

"Kalian semua terlalu menikmati ini!"

Kataku kepada mereka dengan tegas.

 

Aku menghindari serangan orc berikutnya, lalu menyendok sepatu botku ke dalam lumpur hingga terbentuk gumpalan di atas tali sepatuku. Aku menendang kakiku ke depan, lalu, membuat gumpalan lumpur beterbangan ke wajah orc itu. Aku menunggu sampai monster itu mulai mencoba mengikis lumpur, lalu menggunakan pedangku untuk mengiris matanya. Campuran darah dan lumpur berceceran di area sekitar kami. Meskipun terluka, orc itu tampak tidak bergerak. Regenerasi lukanya dimulai segera.

 

Kepala keluarga ketiga bersiul.

"Lumayan." Katanya.

 

"Sepertinya kau bisa mengarahkan pedangmu dengan benar ke target kecil. Kau benar-benar memiliki teknik yang bagus."

 

Mataku menyipit saat mendengar komentarnya itu.

Kau tidak perlu membuatnya terdengar seperti teknik adalah satu-satunya hal yang kumiliki, kepala keluarga ketiga. Pikirku, tersengat.

 

"Apa selanjutnya?"

Tanya kepala keluarga kedua, suaranya termenung.

 

"Apa kau ingin mencoba membutakannya dengan proyektil?"

 

Kepala keluarga ketiga menjentikkan jarinya tanda setuju.

"Itu ide yang bagus. Kau dengar itu, Lyle! Lakukanlah."

 

"Aku tahu kalian bisa bersantai di sana."

Kataku dengan sinis.

 

"Tapi apa aku terlihat punya keleluasaan seperti itu, tahu?!"

 

Orc itu mengangkat pedang besarnya. Aku melompat keluar dari jangkauan ayunannya, mataku terfokus pada bagaimana orc itu memegang pedang besarnya. Dengan setiap ayunan, penanganan senjata orc itu sedikit membaik. Orc itu mulai terbiasa dengan pedangnya sedikit demi sedikit, perlahan menguasainya. Aku menatap pedang-pedangku. Pedang-pedangku itu mungkin pedang kelas rendah yang diproduksi massal, namun pedang-pedang itu masih baru ketika aku membelinya. Sekarang pedang-pedang itu sudah terlihat tidak baik.

 

Aku harus membeli pedang yang lebih bagus lain kali, atau beralih ke senjata lain.

Setiap kali aku mengenai orc itu, sensasi yang menggetarkan bilah pedangku sama seperti saat aku mencoba mengiris batu besar yang bergerak. Memotong kulit yang keras seperti itu jelas jauh di luar kemampuan bilah tipis ini.

 

"Rasanya seperti aku sedang melawan batu...."

Aku mulai berlari menuju tempat umpan berikutnya, menarik orc di belakangku.

 

Saat aku bergerak, aku menggunakan Map untuk memeriksa jarak ke tepi hutan; kami telah menempuh jarak yang cukup jauh di jalan setapak, dan titik keluar kami tidak terlalu jauh. Dari pergerakan penanda, sepertinya Novem dan yang lainnya sudah berada di luar dan bersiap menyambut kedatangan kami.

 

***

 

"Tidak bisakah kita memilih jalan yang lebih mudah untuk dilalui?" Gerutuku.

 

"Memangnya menurutmu ada jalan yang lebih mudah untuk dilalui di hutan ini?"

Kata kepala keluarga kedua, tertawa.

 

"Mereka bahkan tidak repot-repot merawat tempat itu. Itu akan sama saja, tidak peduli jalan mana yang kita pilih, Lyle. Jika kau menempuh jalan lain, kau hanya akan berhadapan dengan makhluk besar di sana lebih lama lagi."

 

Dia ada benarnya, aku mengakui itu. Ditambah lagi, bertarung seperti ini menguras mana dan staminaku. Aku menghela napasku.

Mungkin lebih baik mengambil rute terpendek.

 

"Baiklah, itu sudah cukup bagus."

Kata kepala keluarga ketiga kepadaku. Rupanya dia telah mencatat waktu.

 

"Mari kita lanjutkan ke titik berikutnya."

Aku memunggungi orc itu lagi, menuntunnya menyusuri jalan setapak. Orc itu segera mengejarku. Orc itu mengayunkan pedang besarnya, dan aku nyaris berhasil menyadari ayunan itu tepat waktu untuk menghindarinya menggunakan Art kepala keluarga kedua. Sejujurnya, aku sudah mencapai batasku. Aku menyusuri jalan setapak yang telah kuverifikasi sebelumnya dengan Pini. Saat aku memancing orc itu, aku hampir tersandung dan tersandung beberapa kali karena berbagai jenis puing hutan.

 

"Ugh." Erangku.

 

"Aku mulai merasa sangat menyedihkan."

Saat aku berlari dan berlari, perasaan membenci diri sendiri muncul dalam diriku. Aku benci karena aku melarikan diri.

 

"Hei, jangan terlalu serius."

Kata kepala keluarga ketiga sambil tertawa kecil.

 

"Ini tidak seperti kau tidak punya rencana; kau tidak melarikan diri hanya karena kau takut. Ini adalah operasi yang kau rencanakan untuk memancingnya keluar dari hutan. Kau seharusnya senang semuanya berjalan lancar. Kita hanya perlu satu langkah lagi dari sini, dan kita sudah berhasil."

 

Perkataannya itu sedikit menghiburku. Dia benar—pola pikir itu membuat segalanya jauh lebih mudah.

Aku ingin mencari tahu beberapa tindakan yang dapat kuambil jika aku menemukan diriku dalam keadaan seperti ini lagi.

 

Akhirnya, aku tiba di tempat keempat lainnya menungguku. Aku berlari melewati sekelompok gadis dan terus menyusuri jalan setapak, Pini di sampingku.

 

"Semoga beruntung untuk mengulur waktu!"

Seruku dari balik bahuku.

 

"Serahkan saja pada kami!"

Seru Zelphy, mengangkat tangan.

 

***

 

Novem berdiri di area terbuka di luar hutan, menyiapkan sihirnya sambil menunggu Lyle dan yang lainnya. Dia sepenuhnya yakin bahwa rencana Lyle akan berhasil.

 

Tidak apa-apa....

Kata Novem pada dirinya sendiri, menggenggam tongkat rarium peraknya dengan kedua tangan dan menutup matanya.

 

Lyle-sama pasti akan sampai di sini. Dan dengan mereka berdua dan Zelphy-san di sisinya... semuanya akan baik-baik saja.

Novem mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, mengulang kata-kata "semuanya baik-baik saja" berulang kali dalam benaknya.

 

Zelphy-san punya pengalaman.

Novem mengingatkan itu pada dirinya sendiri.

 

Dia tidak akan kalah tanpa melawan. Dan dia juga punya Aria-san dan Sophia-san. Art Aria adalah akselerasi—dia tidak akan kalah dari monster yang bisa beradaptasi itu dengan mudah. ​​Dan Sophia-san punya manipulasi bobot benda, dia bahkan bisa melawan orc itu secara langsung jika perlu.

Novem menenangkan dirinya dengan pikiran-pikiran ini. Dia cukup memahami Art kedua gadis itu untuk tahu betapa berharganya mereka. Sama seperti Novem tahu orc itu adalah monster yang beradaptasi...

 

Selain Aria-san, keberuntungan bagi kami karena bertemu Sophia-san.

Pikir Novem dalam hatinya.

 

Kami bisa mengandalkannya. Akan merepotkan jika mereka sampai kehabisan tenaga, jadi....

Novem tersadar dari pikirannya dan perlahan membuka matanya. Novem dikelilingi oleh orang-orang dari Keluarga Pagan dan Keluarga Maini. Yang tersisa untuk dilakukannya adalah merapal mantranya. Saat matanya mulai terbiasa, dia mendengar suara pertempuran terdengar dari dekat tepi hutan.

 

"Mereka datang...." Kata Novem.

 

Sebagian besar dari mereka pasti selamat. Kalau tidak, mereka tidak akan mampu melakukan pertarungan yang begitu sengit.

 

"Pini!"

Teriak Dale.

 

Sepertinya teman Dale adalah orang pertama yang menerobos batas pepohonan. Novem mengacungkan tongkatnya, jatuh ke posisi merapal sihirnya.

 

***

 

Kami berempat telah sampai di tepi hutan; jalan keluar kami sudah terlihat. Sayangnya, melarikan diri bukanlah tujuan akhir kami. Daripada berlari ke tempat terbuka di balik pepohonan, kami berempat terlibat dalam pertempuran dengan orc, yang, yah.... berusaha mengarungi jalan kembali ke kedalaman hutan.

 

"Kau tidak bisa kembali setelah kami berhasil sampai sejauh ini!" Geram Zelphy.

 

Kepala keluarga ketiga mengeluarkan dengungan penuh pertimbangan.

 

"Apa monster ini tahu apa yang sedang kita lakukan?"

Tanyanya, terdengar agak terkejut.

 

"Yah, mungkin monster ini hanya punya firasat buruk."

 

"Kau lihat, kadang-kadang—ada yang pintar."

Kata kepala keluarga kedua; sepertinya dia menangkap apa yang dipikirkan kepala keluarga ketiga.

 

"Ada goblin yang pintar, jadi aku yakin ada orc yang pintar."

 

"Tidak mungkin monster-monster ini tahu cara berpikir!"

Gerutu sang pendiri.

 

Kepala keluarga keempat mulai mengatakan sesuatu kepada sang pendiri, lalu berhenti dan tampak mengulang kalimatnya.

"Yah, jika kau memikirkannya secara logis, ada manusia yang menjalani hidup tanpa satu pun pikiran di kepala mereka; jika itu mungkin, lalu bagaimana jika ada monster yang pintar?"

 

Saat sang pendiri merenungkan pernyataan ini, kepala keluarga keempat mengalihkan perhatiannya kepadaku.

"Tetap saja, bisa jadi monster itu mencoba melarikan diri karena kau telah melemahkannya secara signifikan, Lyle."

 

"Jika monster itu berhasil melarikan diri, semua kerja kerasmu akan sia-sia."

Kata kepala keluarga kelima dengan suaranya yang biasa dan tanpa emosi.

 

Kepala keluarga keenam tampaknya tidak terlalu terganggu oleh potensi kegagalan ini.

"Jika itu terjadi, itu artinya iblis yang merepotkan itu masih membuat dirinya betah di hutan ini. Dermawan Medard pasti akan melakukan sesuatu tentang hal itu. Meskipun itu akan membuat semua yang telah kita lalui terasa sia-sia."

 

Kepala keluarga ketujuh menggeram kesal.

"Mangsa Lyle kabur!" Gerutunya.

 

Tidak seorang pun dari kami ingin pertarungan kami berakhir di sini. Kami ingin mewujudkan rencana kami—itulah sebabnya kami semua mengepung orc itu dan terus bertarung. Aria mengangkat tombaknya, berputar untuk memotong jalur pelarian orc itu.

"Kau tidak boleh pergi!" Teriak Aria.

 

"Tidak setelah semua yang kau lakukan pada kami!"

 

"Keluar dari sana!"

Geram Sophia sambil mengayunkan kapak perangnya ke monster itu.

 

Bilah kapak Sophia menancap dalam di lengan orc itu, namun tidak cukup jauh untuk memutuskannya sepenuhnya. Orc itu mulai meronta, gerakannya yang keras mengangkat Sophia ke udara sebelum akhirnya merobek tangannya dari gagang kapaknya.

 

Sophia mengeluarkan suara

"Kyah!" kecil yang imut saat dia terlempar ke udara.

 

Aku bergegas ke tempat Sophia akan mendarat dan menangkapnya dalam pelukanku.

 

"Maafkan aku."

Kata Sophia dengan sedih.

 

"Jangan khawatir." Kataku padanya.

 

"Tolong mundur lah untuk saat ini."

 

Di kejauhan, kapak perang Sophia jatuh ke tanah, terdorong dari luka orc itu oleh daging monster yang beregenerasi. Monster itu mengulurkan tangan untuk mengambilnya, namun Zelphy dengan cepat menghalanginya.

 

"Tidak di bawah pengawasanku!" Teriak Zelphy.

 

"Monser ini sudah cukup sulit ditangani dengan pedang itu. Kita tidak akan memberinya senjata baru."

 

Haruskah aku menggunakan kartu trufku?

Aku merenung saat Zelphy menahan orc itu.

 

"Aku mungkin bisa mengeluarkan Limit Burst jika aku mencobanya...."

Kata sambil mempertimbangkan itu.

 

Sophia meraih tanganku.

"Lyle." Katanya

 

"Tolong gunakan senjataku."

 

Aku menatap kapak perang di tanah.

Sekarang ada senjata yang bisa menandingi orc varian itu...

 

Aku menusukkan kedua pedangku ke tanah.

 

"Aku akan menerima tawaranmu."

Kataku padanya. Aku berlari ke arah kapak itu, sambil meneriakkan nama Art sang pendiri sambil berlari.

 

"Limit Burst!"

Simbol biru yang terukir dalam cahaya muncul di sekujur tubuhku saat aku mengambil kapak yang jatuh dari tempatnya tergeletak di tanah. Kekuatanku meningkat, seiring dengan persepsiku; rasanya pemandangan di sekitarku tiba-tiba menjadi lebih jelas.

 

Aku menutup jarak antara diriku dan orc itu dalam sekejap, mengayunkan kapak milik Sophia secara horizontal di udara. Serangan itu tidak mengenai sasaran; orc itu menangkisnya dengan tubuh pedang besarnya.

 

"Kekuatan kasar.... tidak akan memotongnya."

Keluhku sambil terus bertarung.

 

Limit Burst telah meningkatkan kekuatan fisikku. Dalam pertarungan melawan orc, kekuatan tambahan ini biasanya akan memberiku keunggulan. Bahkan melawan musuh sekuat monster varian ini, pertarungan kini condong ke arahku. Aku mengayunkan kapak itu lagi, membelah tubuh monster itu dari perut hingga dadanya. Namun lukanya.... segera tertutup. Aku terus bertarung, menimbulkan luka demi luka pada orc itu, sebelum akhirnya aku tersadar.

 

"Aku tidak bisa mendorongnya kembali."

Kataku pada diriku sendiri dengan lesu.

 

Bahkan dengan Limit Burst, aku tidak punya kekuatan untuk mendorong orc itu ke tempat terbuka di luar tepi hutan. Percikan api beterbangan saat kapak perang Sophia bertabrakan dengan bilah orc itu. Kapak itu kokoh, seperti yang diharapkan dari warisan Keluarga Laurie.

 

Kapak ini mungkin terbuat dari sejenis rarium, seperti tongkat perak milik Novem.

Pikirku. Aria dan Zelphy menghalangi jalan orc itu sehingga orc itu tidak bisa melarikan diri kembali ke hutan, namun pada tingkat ini, aku akan mencapai batas Art-ku dan pingsan.

 

Aku... Aku butuh lebih banyak kekuatan...

Adegan yang ditunjukkan sang pendiri di Jewel terlintas di benakku. Aku bisa melihatnya, terbungkus api, heroik dan ganas saat dirinya mengalahkan naga tanah.

 

Andai aku punya kekuatan seperti itu....

Saat pikiran itu memasuki kepalaku, simbol-simbol yang menutupi kulitku mulai bergetar. Sesuatu terjadi di tubuhku. Rasanya seperti sesuatu yang panas akan meledak keluar dariku.

 

Mengapa ini terjadi padaku....?

Entah mengapa, rasanya aku tidak jauh dari mengaktifkan tahap ketiga Art sang pendiri. Hanya ada satu masalah—aku tidak tahu namanya.

 

"Kalau saja aku tahu namanya, maka...."

Maka aku bisa membuatnya aktif. Yang kubutuhkan hanyalah kalimat kecil itu.

 

***

 

Dari tempatnya di dalam Jewel, sang pendiri menyadari perubahan terjadi pada Lyle.

 

"Lyle, kau.... kau sudah bisa sejauh itu tanpa aku ajari sama sekali?"

Sang pendiri belum mencapai tahap ketiga dari Art-nya sampai dirinya berada di puncak hidupnya, tidak lama sebelum dia bertarung dengan naga tanah. Namun pada usia lima belas tahun, Lyle hampir memanggil Art itu seolah-olah itu bukan apa-apa.

 

Sang pendiri dapat melihat bahwa anak laki-laki itu mencoba dengan paksa menarik Art itu keluar dari dirinya, meskipun dia belum mengajari anak itu apapun tentang hal itu. Sang pendiri membuka mulutnya, mencoba memberitahu Lyle nama Art-nya, namun kemudian berhenti ketika dia melihat butiran-butiran kecil cahaya biru mulai terlepas dari tubuhnya sendiri. Pemandangan yang mempesona itu terpantul di mata semua mantan Kepala Keluarga Walt lainnya.

 

"Ayah....."

Kepala keluarga kedua berkata.

 

"Ah, jadi begitu."

Kata sang pendiri, melihat tangan kanannya dan mengepalkannya.

 

"Jadi itulah yang terjadi di sini. Kurasa aku seharusnya sudah melihat itu datang. Jika itu peran kita.... maka seharusnya sudah jelas bagaimana ini berakhir."

Sang pendiri tertawa sambil menggaruk rambutnya, namun ada sesuatu tentang tawanya yang terdengar kesepian juga. Dia menundukkan kepalanya dan berdiri dari tempat duduknya. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatap pemandangan dunia luar yang diproyeksikan di atas meja.

 

"Ada beberapa hal lagi yang ingin kuajarkan pada anak itu."

Kata sang pendiri dengan lembut.

 

"Tapi, yah. Apapun yang bisa kuajarkan padanya, kalian bisa mengajarkannya dengan lebih baik. Ini saat yang tepat bagiku untuk pergi."

 

Sang pendiri ingin terus melihat Lyle tumbuh, namun dia tahu siapa anak itu. Siapa mereka semua. Jewel itu telah menghidupkan kembali kenangan para penggunanya di masa lalu untuk mengajari Lyle Art mereka. Bukan untuk meneruskan pengetahuan atau pengalaman mereka.

 

"Sekarang setelah kupikir-pikir.... tidak ada lagi yang bisa kukatakan padanya. Tidak ada lagi yang bisa kuajarkan padanya. Astaga."

Kata sang pendiri sambil melipat tangannya dan melihat Lyle melawan orc itu.

 

"Aku sangat menyedihkan...."

 

"Apa ada kata-kata yang ingin kau sampaikan?"

Tanya kepala keluarga ketiga.

 

Sang pendiri menggelengkan kepalanya.

"Belum. Aku tidak akan membiarkan diriku menghilang dulu. Aku adalah orang yang keras kepala. Itulah yang selalu dipuji oleh istriku. Dia selalu berkata bahwa jika seseorang benar-benar berhasil membunuhku, aku tidak akan pernah tetap mati."

 

Istriku—begitulah sang pendiri memanggil perempuan yang dinikahinya.

 

Kepala keluarga keempat membetulkan kacamatanya sambil tertawa pelan.

"Pujian yang.... luar biasa. Aku bahkan tidak tahu apa istrimu itu memujimu sama sekali."

 

"Oh, aku tidak meragukan itu!"

Sang pendiri tertawa.

 

"Pokoknya, yang ingin kukatakan adalah, aku akan memberitahunya sendiri apa yang perlu kukatakan. Yang terpenting, setidaknya aku harus memberitahunya.... sampaikan salam perpisahanku pada Lyle."

Sang pendiri mengangkat lengannya yang kekar dan menghantamkannya ke meja bundar. Pukulan itu cukup hebat untuk mengguncang ruangan itu sendiri; mata masing-masing kepala keluarga bersejarah lainnya melebar karena benturan itu.

 

Sang pendiri menundukkan kepalanya ke arah enam keturunannya.

"Bisakah kalian berenam mengurus sisanya? Anak itu keturunanku, dan anak yang baik. Dia bukti bahwa bahkan darah orang sepertiku dapat diwariskan selama berabad-abad."

 

Sang pendiri tersenyum, sejenak teralihkan.

"Dan aku bahkan sempat melihat keturunan Alice-san...."

 

Sang pendiri menghela napas kemudian, kembali serius.

"Aku tahu Lyle tidak bisa diandalkan, tapi.... tolong bantu dia sedikit."

 

"D-Dasar bodoh!"

Bentak kepala keluarga kedua, mengepalkan tinjunya.

 

"Lyle itu juga keturunan kita! Bukankah itu sudah jelas? Jangan khawatir tentang hal seperti itu. Itu tidak seperti dirimu."

 

Sang pendiri memiringkan kepalanya ke belakang dan menertawakan langit-langit.

"Aku mengandalkan kalian. Kalian semua jauh lebih bisa diandalkan daripada aku. Aku ini idiot, tahu. Satu-satunya hal yang benar-benar bisa kulakukan untuk Lyle adalah mempercayakannya kepada kalian semua."

 

Sekarang sang pendiri telah menetapkan tekadnya, kursinya menghilang dari ruang meja bundar. Sebagai gantinya, sebuah pedang besar muncul. Pedang itu adalah pedang pembunuh kuda perak seperti yang digunakan sang pendiri saat dirinya masih hidup.

 

"Apa ini?"

Tanya sang pendiri, menatap pedang itu sambil tersenyum.

 

"Sepertinya aku bisa meninggalkan sesuatu untuk anak itu."

Sang pendiri langsung mengerti saat melihat pedang itu. Pedang itu adalah senjata yang akan diwariskannya pada Lyle.

 

Pada saat itu, sang pendiri menoleh ke langit-langit dan berteriak,

"Lyle, Art-ku sudah menjadi milikmu! Sebutkan namanya! Full Burst.... itu Art tahap terakhirku!"

 

Di luar Jewel, kepala Lyle terangkat. Dia mendengar kata-kata sang pendiri.