Heroes In The Moonlight – Extra Story

 

MANDI DENGAN SENSEI ?!

 

Beberapa hari setelah Miharu, Latifa, dan yang lainnya tiba di rumah batu dan semuanya mulai hidup bersama.....

 

Saat itu, sudah malam. Karena semua penghuni rumah sudah tidur dengan cepat, rumah itu benar-benar sunyi.

 

"Fiuh....."

 

Rio baru saja menyelesaikan latihan malamnya dan berendam sendirian di kamar mandi. Di kamar mandi, di mana suara bergema dengan mudah, dia mengeluarkan rasa lelah yang menumpuk sepanjang hari sambil menghela napas. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.

 

"Eh?" 

Rio telah menurunkan kewaspadaannya sepenuhnya, jadi dia berbalik ke pintu masuk dengan ekspresi kaget. Ada Celia, yang tubuhnya disembunyikan oleh handuk yang agak longgar.

 

"Heh? Lampunya masih menyala....."

 

Celia melakukan kontak mata dengan Rio, ekspresinya terkejut.

 

"S-Sensei.....?"

Rio juga terkejut. Saling menatap, mereka berdua membeku di tempat untuk sementara waktu.

 

"R-Rio....? Kya?!" 

Celia berteriak ketika dia mengencangkan handuk di tubuhnya dengan panik.

 

"Maafkan aku!" 

Rio meminta maaf sambil membuang muka. 

 

Meskipun tubuh Celia ditutupi oleh handuk, Rio baru saja menyaksikan keadaan Sensei-nya ketika sedang tidak berdaya. Itu wajar baginya untuk meminta maaf.

 

"T-Tidak, itu bukan salahmu! Akulah yang harus meminta maaf. Akh masuk tanpa memeriksa apa tempat ini sedang digunakan! Aha, Ahaha..... haha." 

Celia mulai menjelaskan dengan panik, tetapi akhirnya rasa malu itu mulai menguasai dirinya, tanpa tahu harus berkata apa, wajahnya mulai memerah.

 

"Umm..... Kalau begitu aku akan keluar sekarang. Kamu tidak boleh diam saja di sana, silakan masuk."

Rio membuat saran itu dengan nada canggung.

 

"T-Tidak, jangan khawatir! Aku akan masuk nanti." 

Mencoba kembali ke ruang ganti, Celia menanggapi dengan panik.

 

"Kamu sudah telanjang, jadi memakai pakaianmu lagi hanya akan membuatmu kedinginan. Aku sudah cukup hangat setelah mandi, jadi aku baik-baik saja."

Jawab Rio ketika Celia  mengintip sedikit dari pintu ruang ganti.

 

"T-Telanjang....."

Mengingat sekali lagi kalau dia telanjang, wajah Celia semakin memerah.

 

"Aku akan keluar sekarang. Bisakah kamu melihat ke arah lain?"

 

Setelah hening sejenak, Celia berbalik ke arah Rio dengan tekad. 

".....T-Tunggu."

 

".....Iya?"

 

"K-Karena hanya ada kita berdua, bagaimana kalau kita mengobrol sedikit?"

 

"Eh? A-Apa maksudmu.....?"

 

[ Apa Sensei bermaksud agar kita mandi bersama? ]

Rio sangat kaget sehingga ekspresinya menjadi kosong karena kaget.

 

"K-Kenapa kita tidak mandi bersama? Tentu, jika kamu setuju dengan itu......"

 

Jadi itu yang Celia maksudkan. Dia membuat saran itu dengan nada tinggi sambil menatap Rio dengan malu-malu.

 

[ A-Apa aku terlalu berani ?! T-Tapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini! Miharu, Sara, dan yang lainnya semuanya adalah perempuan yang baik dan imut! ]

Celia berpikir, tersipu dalam-dalam.

 

"Aku.... tidak keberatan, tapi..... Yah, untuk itu kita harus telanjang." 

Rio cukup bingung ketika menjawab.

 

"T-Tidak apa-apa selama kamu tidak melihat tubuhku. Ini akan menjadi cerita lain jika kita berbicara tentang laki-laki lain, tapi ini kan, kamu."

Celia membuang muka karena malu.

 

"Apa kamu merasa tidak nyaman, Sensei?"

Rio bertanya sambil melihat wajah Celia.

 

"T-Tentu saja! Tapi, tahukah kamu, kiya biasanya tidak punya waktu untuk berduaan karena yang lain selalu dekat kita. Ada hal-hal yang tidak bisa aku katakan di depan yang lain, jadi itu sebabnya..... Aku masuk!"

Meski wajahnya masih memerah, Celia masuk ke kamar mandi dengan tidak sabar.

 

"Tunggu.....?!" 

Rio membuang muka dengan panik.

 

"J-Jangan mengintip, oke? Aku akan mandi dulu." 

Celia menggunakan artefak sihir di area cuci untuk menghasilkan air dan membersihkan tubuhnya.

 

"Uh......"

 

Suara tangannya yang menggosok tubuhnya mencapai Rio, yang membuatnya semakin gugup. 

Tidak yang tahu sudah berapa lama waktu berlalu?

Setelah beberapa saat, suara air mengalir menyapu sabun terdengar.

 

"A-Aku akan masuk."

 

Splash. Celia baru saja masuk ke dalam bak mandi. Splash, splash. Berjalan melalui air, gadis itu mendekati Rio.

 

"A-Aku sudah selesai."

 

Celia berhenti sekitar satu meter dari Rio dan duduk. Punggung mereka berada di depan satu sama lain, jadi keduanya melihat ke arah yang berlawanan.

 

".....Aku sedikit terkejut. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" 

Rio menghela napas lelah dan mempertanyakan niat Celia.

 

"Heh? Ah, y-ya. Bicarakan. Umm, aku berpikir betapa sulitnya kembali ke kehidupan lamaku sekarang karena aku terbiasa mandi seperti ini setiap hari. Ahaha." 

Celia tersenyum tegang saat dia muncul dengan topik untuk dibicarakan.

 

"A..... Aku mengerti...... Itu berarti kamu berniat untuk kembali ke hidupmu sebagai seorang bangsawan." 

Rio sedikit terkejut. Ekspresinya sedikit menggelap.

 

"Heh? A-Ah, ya, umm, bukan itu....."

Celia berkedip berulang kali pada perubahan lingkungan yang tiba-tiba.

 

[ Memang benar itulah yang aku pikirkan, tetapi aku ingin membahas hal itu di lain waktu! ]

Celia berpikir dengan tidak nyaman.

 

"Hmm? Apa ada seseorang di kamar mandi?"

 

Pintu kamar mandi terbuka, membiarkan suara Masato yang mengantuk bergema dari sana.

 

"Y-Ya. Masato. Aku baru saja mau keluar."

 

"Oh, baiklah. Lampu di ruang ganti menyala, jadi...."

Kata Masato, menguap. 

 

"Setelah aku ke toliet, aku akan kembali ke kamarku. Selamat malam." 

Sambil menguap lagi, Masato berbalik dan pergi.

 

"Ahaha. Haruskah kita keluar?" 

Celia menyarankan dengan canggung.

 

[ Mungkin aku harus membuat tanda yang bertuliskan 'Sedang digunakan'. ]

Rio berpikir dalam benaknya.

 

HARI-HARI DI AKADEMI, PUTRI PERTAMA

 

Saat itu adalah tahun 996 dari Era Suci, jadi saat itu Rio masih seorang murid di Akademi Kerajaan Beltrum. 

Sehari telah berlalu sejak kemenangannya dalam duel melawan Charles Albor.

 

Christina, yang duduk di kelas enam dari divisi pertama, dan juga Putri Pertama Kerajaan. Saat itu, gadis itu sedang berjalan-jalan di sekitar Akademi bersama teman sekelasnya dan teman masa kecilnya Roanna. 

Meskipun kelas telah usai, masih ada cukup banyak siswa di Akademi. Bahkan, percakapan mereka bisa terdengar di mana-mana. Namun, pembicaraan hari itu sepertinya lebih panas dari biasanya – terutama para  gadis dari kelas yang lebih muda.

 

".....Sepertinya para siswa tahun awal cukup bersemangat hari ini."

Melihat kelompok para siswa yang sedang mengobrol, Christina melontarkan komentar itu.

 

"Itu karena, yah....."

Jawaban yang datang dari Roanna terdengar seperti mengelak.

 

Christina berhenti berjalan. 

"Apakah kamu tahu sesuatu tentang itu?"

 

"Ya....."

 

"Berbicaralah."

 

Roanna ragu-ragu, tetapi atas desakan Christina, dia memutuskan untuk mengumpulkan keberaniannya. 

"Aku pikir itu karena hasil duel kemarin."

 

"Duel kemarin? Ah....."

Kata Christina dengan ekspresi yang agak tidak nyaman. 

 

Itu bukanlah ekspresi ketidaksenangan, tapi ketidakpuasan. Saat dia menoleh untuk melihat gadis-gadis tahun pertama, ekspresi itu menghilang dari wajahnya.

 

Gadis-gadis itu sedang membicarakan seseorang secara khusus; disengaja atau tidak, nama orang itu tidak pernah disebutkan. Namun, dari percakapan itu lebih dari jelas siapa yang mereka bicarakan adalah Rio.

 

Gadis-gadis itu begitu asyik mengobrol sehingga mereka tidak menyadari bahwa Christina dan Roanna di dekat mereka. Pada saat itu, seorang siswa perempuan berlari menghampiri sekelompok gadis yang berisik.

 

"A-Aku sudah memberinya surat itu! Oh tidak, sekarang apa yang harus aku lakukan ?! Apa yang harus aku lakukan ?!"

 

Siswa perempuan yang baru saja tiba itu, terlihat sangat bersemangat. Suaranya yang tidak sabar adalah buktinya.

 

Menguping percakapan orang lain adalah sesuatu yang tidak dia sukai, jadi Christina mencoba untuk segera pergi, tetapi ada satu kata yang dia tangkap membuatnya memperlambat langkahnya.

 

[ .....Sebuah surat ? ]

 

"Sungguh ?!"

 

"Apa kamu sudah mengatakannya kalau kamu menyukainya ?! Apakah dia membalasnya ?! Tolong beri tahu kami detailnya!"

 

Gadis-gadis itu semakin bersemangat. Berdasarkan percakapan mereka, ternyata siswa perempuan tersebut telah memberikan surat cinta kepada seseorang.

 

Pertarungan latihan tahunan dengan para Ksatria adalah sarana bagi siswa laki-laki di Akademi untuk memiliki kesempatan yang lebih baik dan memiliki kehidupan yang sukses. Karena Rio adalah satu-satunya orang yang memenangkan salah satu duel, itu normal ketika perhatian para gadis-gadis itu untuk terfokus kepada Rio, kesan mereka terhadapnya juga berubah sepenuhnya.

 

Namun, kenyataannya tidak sederhana itu. Tidak peduli seberapa bagus hasil yang didapat, latar belakangnya sebagai seorang yatim piatu akan dipandang sebelah mata.

Sekarang setelah Rio menunjukkan kemampuannya, dia memiliki peluang besar untuk menjadi seorang Ksatria, tetapi terbukti di masa depan dia akan dikritik habis-habisan. Begitu para gadis itu melihat sedikit saja dari kenyataan, kesan mereka terhadap Rio akan berubah sekali lagi.

 

".....Ayo pergi, Roanna." 

Christina menghela napas ringan dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

 

"Y-Ya, Yang Mulia."

Roanna mengangguk, tapi raut wajahnya tidak yakin. Christina segera menyadarinya.

 

"Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu."

 

"T-Tidak, tidak sama sekali!" 

Roanna menggelengkan kepalanya dengan penuh semangat.

 

"Oh? Apa kamu mencoba menyembunyikan sesuatu dariku?" 

Christina bertanya dengan senyum nakal.

 

"T-Tidak..... J-Jika aku boleh bertanya, apa pendapatmu tentang dia, Christina-sama?"

 

"Dia?" 

Christina pura-pura tidak tahu siapa yang dia bicarakan.

 

"M-Maksudku..... Tentang Rio." 

Terlepas dari keengganannya untuk melakukannya, Roanna memaksakan diri untuk menyebut nama itu.

 

".....Tidak ada, secara khusus."

Jawab Christina terus terang.

 

"J-Jadi apa pendapatmu tentang fakta bahwa dia sangat diremehkan? Aku yakin kamu sudah memperhatikannya, tetapi bakat yang dia miliki jauh melebihi keajaiban. Bukankah akan merugikan Kerajaan jika kemampuannya dirusak dengan cara ini?"

 

{ TLN : Gak nyangka kalau si Roanna yang macam L*nte itu punya rasa juga ke Rio, jadi penasaran reaksi mereka kaya gimana kalau Rio buka identitasnya. }

 

Mata Christina menunjukkan sedikit keterkejutan. 

"Jarang sekali kamu memuji orang seperti itu."

 

"A-Aku hanya mengatakan apa adanya dan memikirkan manfaatnya untuk Kerajaan Kita."

Kata Roanna. Gadis itu percaya bahwa kehilangan seseorang yang mampu seperti Rio adalah sia-sia karena alasannya sangat masuk akal dan logis.

 

"Kalau begitu, kamu sudah tahu jawabannya, bukan? Di Kerajaan ini, orang-orang secara buta menerima satu-satunya cara untuk mendapatkan kedudukan sosial dengan cara menyeret orang-orang di sekitar mereka. Apa menurutmu seseorang sepertinya akan diperlakukan dengan adil oleh orang-orang Kerajaan ini?" 

Saat Christina berbicara, nadanya berubah menjadi salah satu kritik untuk dirinya sendiri.

 

"T-Tapi....."

Meskipun dia mencoba untuk menolak, Roanna tidak bisa berkata apapun.

 

"Ayo pergi." 

Dengan tidak ada lagi yang bisa dikatakan, Christina mengajaknya pergi.

 

MENGINGINKAN SESUATU

 

Saat itu adalah tahun 996 dari Era Suci.

 

Berlokasi di Beltrant, Ibukota Kerajaan Beltrum. Di bawah menara perpustakaan Akademi Kerajaan Beltrum adalah laboratorium Profesor Celia.

 

"Selamat atas karena kamu naik kelas, Rio."

 

"Terima kasih banyak, Sensei."

 

Rio baru saja menyelesaikan tahun ajaran baru, jadi mereka merayakan masuknya Rio ke kelas enam divisi dasar.

 

"Kamu sudah berumur dua belas tahun, ya..... Waktu berlalu sangat cepat." 

Kata Celia dengan nada emosional.

 

"Ya. Lima tahun telah berlalu begitu cepat."

 

"Sudah lama sekali sejak kita pertama kali bertemu....."

 

"Sekarang aku seusiamu ketika saat itu."

 

"Dan aku sekarang berumur tujuh belas tahun.... Ugh, hanya tiga tahun lagi dan aku akan berusia dua puluh."

 

Usia ideal bagi seorang perempuan bangsawan untuk menikah berkisar antara lima belas hingga dua puluh tahun. Mengingat itu, membuat Celia mengerutkan keningnya.

 

"Kamu masih muda, Sensei."

Kata Rio, tertawa ringan.

 

"Hmph! Ini bukan bahan tertawaan!" 

Celia cemberut ketika dia menatap Rio dengan tatapan mencela.

 

"Maafkan aku. Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu lakukan, jadi aku tidak bisa menahan diri."

 

"......Itu tidak benar. Gadis-gadis seusiaku yang sudah menikah, dan aku menghabiskan tahun-tahun di laboratorium atau mengajar di sekolah. Bahkan aku tahu gaya hidupku membosankan."

Kata Celia, menertawakan dirinya sendiri dengan hinaan.

 

"Seperti itulah dirimu, apa salah menjadi dirimu sendiri ? Dan juga, waktu yang aku habiskan bersamamu di lab ini sangat menyenangkan. Apa kamu tidak merasakan hal yang sama ?"

 

"K-Kamu tidak adil mengatakannya seperti itu. Tentu saja aku......"

 

Sangat jelas kalau Celia juga bersenang-senang. Dia tersipu malu dan membuang mukanya.

 

"Tentu saja....?"

 

"T-Tentu saja aku bersenang-senang juga. Bahkan sekarang aku sedang bersenang-senang."

Jawab Celia dengan malu-malu.

 

"Untunglah. Jika kamu murung dan merasa tidak nyaman, maka aku juga akan berada dalam kondisi yang sama."

Rio tersenyum bahagia. Selain saat-saat yang dia ambil untuk belajar dan berlatih, dia hampir selalu ada di laboratorium Celia.

 

".....Kurasa kamu harus bersikap lebih seperti anak laki-laki seusiamu, Rio. Kamu memiliki cara berpikir filosofis yang aneh: kamu harus berperilaku seperti anak-anak lain."

 

"Bahkan jika kamu menyuruhku bersikap seperti anak laki-laki lain....."

 

"Misalnya, seperti sesuatu yang kamu inginkan? Aku ingin memberimu hadiah untuk merayakan tahun ajaran baru, tapi aku tidak tahu apa yang kamu inginkan."

Kata Celia.

 

"Aku tidak perlu apapun, perasaanmu lebih dari cukup."

Rio secara naluriah menolaknya.

 

"Lihat? Itu yang aku maksud. Anak-anak biasanya menggunakan kesempatan ini untuk meminta sesuatu.... Kamu tidak perlu menahan diri. Cobalah untuk mengatakan apa yang inginkan dengan jujur, setidaknya untuk hari ini. Jika aku bisa mendapatkannya untukmu, aku akan memberikannya kepadamu. Kamj selalu membantuku jadi aku akan berterima kasih untuk itu juga." 

Kata Celia, bersikeras.

 

"Meski begitu....."

Rio masih mencoba menolaknya sekali lagi, tapi sepertinya Celia tidak mau menerima kata 'tidak' untuk sebuah jawaban. Rio memikirkan sesuatu yang dia inginkan dalam situasi yang dia hadapi ini.....

 

"..... Kalau begitu."

Kata Rio, memulainya.

 

"Ya, ya?" 

Celia menatap wajah Rio dengan penuh harap.

 

"Bisakah kamu memberiku waktumu di masa depan, Sensei? Untuk menghabiskan waktu seperti sekarang, minum teh dan mengobrol bersama."

Rio membuat permintaannya sambil menatap mata Celia. Gadis itu berkedip berulang kali selama beberapa saat.

 

".....T-Tapi itu yang selalu kita lakukan! Memintanya untuk terus melakukannya di masa depan, itu artinya....!" 

Wajah Celia memerah dan meninggikan suaranya.

 

"Kalau begitu, tolong beri aku lebih banyak waktu yang kamu miliki. Aku ingin waktu yang kita habiskan bersama menjadi rutinitas.... Karena aku menganggap ini adalah kemewahan, itulah mengapa aku memintanya kepadamu. Apa kamu mengizinkannya?" 

Kata Rio, menatap tajam ke wajah Celia.

 

"Uh....."

 

Perkataan Rio terdengar hampir seperti pengakuan cinta, namun dia sendiri tidak menyadarinya. Meskipun dia tahu bukan itu yang dia maksud, Celia tidak bisa berkata apapun selain tersipu malu.

 

".....B-Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan, maka aku akan memberimu lebih banyak waktuku." 

Dengan harga diri dan martabatnya yang sudah dewasa, Celia menggigit bibirnya dan berusaha untuk tetap tenang.

 

{ TLN : wwkwkwwk }

 

"Terima kasih banyak."

Rio terlihat sangat bahagia. Karena jawabannya dibarengi dengan senyum ceria.

 

 

 

 

 

ELEMENTAL ☆ LAYANAN SEORANG PUTRI!

 

Di Bumi, di suatu tempat di Jepang.....

 

Suatu sore, saat Hari Natal, Haruto, Miharu, Suzune, dan Rikka pergi ke rumah Celia untuk mengunjunginya.

 

"Oke, kita sudah sampai!" 

Saat mencapai depan gerbang, tempat yang sering dia kunjungi beberapa kali, Suzune mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.

 

"Setiap kali aku datang ke sini, aku selalu terkesan....."

Terkejut dengan luasnya Mansion di depannya, Miharu bergumam pelan. 

 

Miharu datang bersama Haruto beberapa kali, tapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa rumah itu terlalu besar untuk ditinggali seorang wanita lajang. 

Namun, dua perempuan baru saja pindah ke Mansion itu, jadi sekarang jumlah penghuninya menjadi tiga orang. Celia mengundang mereka ke rumahnya untuk memperkenalkan mereka kepada penghuni baru itu.

 

"Amakawa Senpai, apa kamu yakin tidak apa-apa bagiku untuk datang juga?" 

Minamoto Rikka – adik kelas dari Haruto dan Miharu – bertanya dengan agak khawatir. 

 

Rikka bertemu Haruto secara kebetulan selama festival sekolah. Setelah mengetahui bahwa keduanya naik bus yang sama, keduanya mulai mengenal satu sama lain lebih baik. Namun, Rikka dan Celia belum pernah bertemu secara langsung.

 

"Tentu saja. Salah satu penghuni baru akan berada di kelas yang sama denganmu tahun depan, jadi aku ingin kamu berteman baik dengannya. Dia dan penghuni lainnya berasal dari luar negeri. Aku juga tidak mengenal mereka, jadi kamu tidak perlu terlalu gugup."

 

"Oh? Benarkah?"

 

Haruto dan Rikka mengobrol dengan keakraban untuk sementara waktu. Sementara itu, Suzune membunyikan bel rumah dan menunggu.

 

"Halo! Kami sudah menunggu kalian. Silakan masuk." 

Suara Celia datang dari interkom dan gerbang itu terbuka. Suzune berjalan dari gerbang listrik ke pintu masuk utama Mansion dengan langkah-langkah yang familiar. Yang lainnya berjalan di belakangnya.

 

{ TLN : Yang penasaran sama bentuknya interkom, silakan browsing sendiri }

 

Celia berdiri menunggu di depan pintu masuk utama. 

"Selamat datang semuanya. Kamu pasti Rikka. Haruto telah memberitahuku berbagai hal tentangmu. Di luar dingin, jadi ayo masuk ke dalam."

 

Dengan begitu, mereka dibimbing oleh Celia ke ruang tamu, tempat pesta itu akan diadakan.

 

"Aku sudah memberitahumu tentang dua gadis yang akan pindah ke sini, kan? Nama mereka Christina dan Flora, dan mereka berdua berasal dari tempat yang sama denganku – Mereka berdua berasal dari Keluarga yang cukup penting. Tapi mereka berdua lebih suka diperlakukan secara normal. Christina-sama ada di luar sekarang, tapi aku bisa memperkenalkan Flora-sama kepada kalian. Aku akan membuka pintunya sekarang."

Celia memberikan penjelasan singkat di sepanjang jalan. Tetapi ketika dia membuka pintu ruang tamu untuk mengungkapkan apa yang ada di sana......

 

"Heh.....?"

 

Mereka bertemu dengan seorang perempuan cantik yang mengenakan pakaian Santa Claus. Tak perlu dikatakan, itu adalah Flora, yang mengenakan rok mini. Haruto, Miharu, dan Rikka tidak bisa berkata apa-apa.

 

"Wow, sungguh imut!" 

Kata Suzune, dengan mata berbinar.

 

"S-Senang bertemu dengan kalian. Namaku Flora Beltrum."

Flora menunduk dan memperkenalkan dirinya.

 

"Senang..... bertemu denganmu...."

Haruto dan yang lainnya membalas sapaannya dengan gugup.

 

[ Kenapa dia berpakaian seperti itu ? ]

Mereka semua bertanya-tanya tentang hal yang sama.

 

"Umm, Celia Sensei berkata kalau berpakaian seperti ini di pesta Natal Jepang membuat para tamu senang. M-Meskipun ini memalukan, aku melakukan yang terbaik." 

Flora sepertinya menebak apa yang dipikirkan semua orang, saat dia menjawab sambil tersipu dalam.

 

"Yup, Flora-sama mengatakan kalau dia ingin memberikan sambutan yang layak kepada kalian semua, jadi aku mendiskusikan ini dengan Suzune."

Kata Celia, menunjukkan ekspresi bangga.

 

[ Sensei, informasi yang kamu temukan mungkin salah! ] 

Haruto dan yang lainnya memikirkan hal yang serupa.

 

"Hehe, bagaimana menurutmu, Haruto onii-san? Mungkinkah kamu juga ingin melihatku dan yang lainnya berpakaian santa juga?" 

Suzune mengajukan pertanyaan berani. Namun, senyumnya memiliki jejak rasa malu.

 

"Ahaha, aku sebenarnya sudah menyiapkannya untuk semuanya....."

 

Rupanya, Suzune dan Celia telah merencanakan sesuatu sebelumnya.

 

"Ah, tidak...."

 

Haruto kehilangan kata-kata. Dia menoleh ke Miharu dan Rikka untuk meminta bantuan, tetapi mereka berdua menatapnya untuk menunggu jawabanya juga. Celia sepertinya merasa agak malu saat Suzune menatapnya dengan wajah penuh harap.

 

[ Bagaimana aku menjawabnya ? ]

 

Sebagai seorang laki-laki, Haruto terpojok ke dalam keputusan yang menyakitkan.