Heroes In The Moonlight – Chapter 1 : 「Hari-Hari Sebelum Perjamuan」
Di daerah berbatu di pinggiran Galtuuk, ibukota Kerajaan Galarc....
Bangun lebih dahulu sebelum yang lainnnya, Miharu berganti pakaian kasualnya dan menaiki tangga di luar rumah batu untuk mencapai atap. Di sana, gadis itu mulai melihat matahari terbit sendirian.
Keindahan alam membentang di depannya menciptakan pemandangan yang tidak pernah ada di Bumi, namun ekspresi Miharu bimbang dan tetapannya tidak tertuju pada apapun. Pikirannya di penuhi pertanyaan tentang apa yang terjadi sehari sebelumnya.
Miharu bermimpi. Itu adalah mimpi tentang kehidupan teman masa kecilnya, Amakawa Haruto, dari periode waktu yang sangat mustahil untuk dibayangkan.
Dan ketika Miharu terbangun dari mimpinya, dia melihat ada Aishia di sampingnya, yang bertanya apakah dia ingin melupakan mimpi itu atau tidak, menekannya untuk membuat keputusan untuk tetap berada di sisi Haruto.
Akhirnya, Miharu menjawab kalau dia ingin tetap bersama Haruto dan bisa mengingat mimpinya dengan jelas. Namun, ada yang tidak beres dengannya.
[ Aku tertidur tanpa menyadarinya. Dan setelah itu, pagi hari tiba..... ]
Miharu tidak yakin apakah percakapannya dengan Aisia itu nyata, atau sesuatu yang terjadi dalam mimpinya.
"......Mungkin itu hanya mimpi. Tidak, tapi....."
Menggelengkan kepalanya, Miharu berkata dengan nada ragu-ragu.
[ Aku sangat yakin kalau aku bangun dan berbicara dengan Ai-chan. ]
Ingatannya masih jelas, jadi sulit dipercaya kalau itu hanya mimpi. Selain itu, ada lebih banyak hal lagi yang membuatnya khawatir.
[ Ai-chan yang menunjukkan mimpi itu padaku, yang artinya Haruto-san dan Haru-kun adalah orang yang sama....? ]
Saat itu, mereka berdua berbicara seolah-olah Haruto-san adalah Amakawa Haruto yang Miharu kenal, tapi sekarang dia memikirkannya, dia tidak pernah memastikannya fakta itu.
Selain itu, Miharu saat ini berada di tahun pertama sekolah menengahnya, sementara Haruto meninggal sebagai seorang mahasiswa – perbedaan dalam garis waktu adalah aspek lain yang mengganggunya.
[ .....Benar. Aku harus berbicara dengan Ai-chan sekali lagi, setelah dia bangun. ]
Miharu menarik napas dalam-dalam. Namun, belum ada seorang pun di rumah batu – termasuk Aishia – yang sudah bangun, jadi dia harus menunggu sedikit lebih lama lagi. Miharu duduk dengan lutut dekat ke dadanya dan menatap matahari terbit.
Emosinya berkumpul di dadanya, jadi dia tidak akan bisa tidur bahkan jika dia mencobanya. Melakukan hal lain untuk menghabiskan waktu bukanlah pilihan baginya.
Dia bahkan tidak bisa menghargai keindahan alam di depannya. Hanya duduk di sana sudah membuat segala macam pikiran mengalir di dalam kepalanya, meskipun demikian Miharu tidak dapat berpikir jernih.
Karena itu, Miharu tetap duduk di atap rumah batu dengan kondisi mentalnya yang sedang kebingungan. Dia tidak tahu sudah berapa lama waktu telah berlalu, tapi setelah beberapa saat....
".....ru-san?"
Sebuah suara terdengar dari bawah, tetapi Miharu sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga dia tidak menyadari seseorang mendekatinya.
"Miharu-san? Hei, Miharu-san."
Kali ini, suara itu memanggil namanya lebih keras.
".....Heh? Ah, Haruto-san?!"
Miharu berdiri dengan panik ketika dia menyadari Rio memanggilnya dan dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Di sana, ada Rio dengan pedang di tangannya.
"Apa yang kamu lakukan pagi-pagi sekali? Dan di atas sini?"
Rio melebarkan matanya karena terkejut saat melihat sosok Miharu berdiri di atas atap rumah batu. Angin bertiup di sekitarnya, menyebabkan rambut gadis itu sedikit bergerak.
"Ah, umm. Aku terbangun lebih awal jadi kupikir aku akan keluar dan mencari udara segar."
Kata Miharu, membuat alasan untuk menjawabnya. Rio menunjukkan ekspresi khawatir.
".....Bukankah di sini sangat dingin?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
Miharu menggelengkan kepalanya saat dia berbicara dengan nada yang sedikit gugup. Angin bertiup di dekatnya sekali lagi – kali ini bertiup lebih kuat - menyebabkan roknya sedikit terangkat.
"........"
Rio dengan cepat mengalihkan pandangannya, wajahnya sedikit memerah. Dia melihatnya; celana dalam putih polos di bawah rok Miharu.....
"Fweh, ah....."
Miharu secara refleks menurunkan ujung roknya untuk menutupinya, tapi menilai dari reaksi Rio, terlihat jelas kalau dia sudah melihat semuanya. Menyadari ini, Miharu tersipu malu dan wajahnya memerah.
"M-Maafkan aku!"
Rio meminta maaf dengan panik.
"T-Tidak, tidak. Akulah yang harus m-minta maaf karena tidak memperhatikan—!"
Miharu semakin memerah ketika dia menggelengkan kepalanya dengan malu.
Kepanikannya begitu berlebihan sehingga dia secara refleks mencoba mundur dengan gugup, tapi permukaan atap rumah batu tidak bagus untuk berjalan di sana yang membuat Miharu tersandung dan tergelincir dalam bahaya.
"Awas!"
Begitu Rio melihat kalau Miharu telah kehilangan keseimbangannya, dia memperkuat kemampuan fisiknya dan melompat ke atap, dia dengan ringan meraih tubuh Miharu agar dia tidak jatuh.
"Uh....."
Miharu secara refleks menutup matanya saat dia melihat kalau dirinya akan jatuh, tapi ketika Rio memeluknya, matanya melebar karena terkejut.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Rio bertanya, menatap wajahnya dari dekat.
".....Y-Ya."
Miharu kembali menatapnya dan mengangguk ragu-ragu.
"Syukurlah....."
Rio menghela napas lega.
"Terima kasih banyak."
Miharu meringkuk di pelukan Rio.
"Bukan masalah."
Rio menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Miharu memperhatikan wajahnya dengan seksama.
"........"
".....Apa ada masalah?"
Rio menunjukkan ekspresi penasaran.
"Eh? Ah tidak, umm, emm....!"
Miharu mendapatkan kembali ketenangannya dengan terengah-engah, wajahnya memerah sekali ketika dia mencoba mengatakan sesuatu.
"Ah, benar. Maafkan aku."
Rio mengira kalau Miharu malu, jadi dia mencoba pergi untuk segera melepas Miharu dari pelukannya. Namun, gadis itu meraih pakaiannya sebelum menyadarinya.
"Ah....."
"Miharu-san?"
Rio menjadi terkejut.
"Ah, umm, apa kamu sedang berlatih pedang, Haruto-san?"
Miharu melepaskan cengkeramannya dari pakaian Rio dengan panik dan bertanya hal yang tidak sesuai dengannya.
"Ya, itu bagian dari latihanku sehari-hari."
Mengangguk, Rio menunjukkan pedangnya untuk mengkonfirmasi kata-katanya.
".....Bolehkah aku melihatnya?"
Setelah mengumpulkan keberanian yang diperlukan, Miharu menanyakan pertanyaan itu.
"Tentu, aku tidak keberatan....."
Kata Rio, mengangguk ketika dia melihat wajah Miharu.
"Kalau begitu aku akan duduk di sini."
Mengatakan itu, Miharu duduk dengan memeluk kedua lututnya sekali lagi.
"Pakai ini. Agak dingin saat ini."
Rio memberinya handuk yang dia bawa sehingga Miharu bisa menggunakannya untuk menyelimuti dirinya sendiri.
".....T-Terima kasih banyak."
Menerima handuk itu dengan gugup, Miharu mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan nada tajam.
"Kalau begitu, aku mau berlatih dulu."
Dengan kata-kata itu, Rio turun dari atap dan memulai rutinitas pelatihannya.
"Hangat...."
Miharu melingkarkan handuk yang dipinjamkan Rio di sekitar bahunya dan memegangnya dengan erat, merasakan kehangatan Rio melalui kain. Dia sendiri tahu kalau jantungnya sedang berdebar-debar.
Rio sangat dekat.....Tapi pada saat yang sama sangat jauh.
Miharu masih belum sepenuhnya yakin kalau Rio dan Haru-kun adalah orang yang sama. Namun, Rio yang sedang mengayunkan pedangnya di bawah sana adalah reinkarnasi dari Amakawa Haruto – Miharu pasti sudah menyadarinya.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
[ H-Hah.....? A-Apa yang harus aku lakukan..... ]
Tubuhnya mulai memanas dan jantungnya berdebar keras dari dalam dadanya— Miharu panik saat dia mengalami sensasi asing itu.
Melihat Rio mengayunkan pedangnya dengan ekspresi serius membuat perasaan itu semakin bertambah, tetapi dia berulang kali mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Miharu meringkuk di tempatnya dan terus menatap Rio seperti itu.
Setelah beberapa saat, Miharu mulai teralihkan lagi, akibatnya dirinya tenggelam dalam lautan pikiran. Hal pertama yang dia pikirkan adalah, tentu saja, Rio.
[ .....Aku ingin tahu apa yang Haru-kun coba capai di dunia ini? ]
Aishia sudah memberitahunya kalau Rio tidak dapat lagi kembali. Itu sebabnya dia tidak ingin menyeret orang-orang yang berharga baginya ke jalan yang dipilihnya.....
[ Apa alasannya? ]
Kali ini, Miharu merasa perasaan tertekan ketika menyaksikan pelatihan Rio dengan frustrasi.
"Miharu-san?"
Setelah menyelesaikan pelatihannya, Rio kembali ke atap rumah batu.
"Eh? Kamu sudah selesai dengan pelatihanmu?"
Miharu menanyakan pertanyaan itu sambil berkedip berulang kali.
"Ya, aku sudah menyelesaikannya."
Kata Rio, melihat Miharu dengan ekspresi agak ragu.
Jelas sekali kalau dia memperhatikan sikap anehnya selama pelatihan.
"Aku..... Mengerti....."
Miharu menerima kata-katanya dengan canggung.
Sepertinya waktu telah berlalu tanpa dia sadari.
"Sepertinya Sara dan yang lainnya masih tidur dan aku berencana untuk masuk ke dalam. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan di sini sebentar lagi."
"Oke.... Sampai nanti."
Keduanya diselimuti oleh keheningan yang canggung, sebelum Rio turun diri atap.
"U-Umm, apa kamu mau mengobrol sebentar?"
Miharu menghentikannya dengan bimbang. Mulutnya bergerak sebelum otaknya bisa berpikir.
".....Tentu. Jika kamu tidak masalah."
Rio melebarkan matanya karena terkejut dan duduk di sebelah Miharu.
"......."
Miharu meringkuk pada dirinya sendiri sambil melihat ekspresi Rio. Jelas dia gugup, karena Rio adalah orang mengambil tindakan pertama untuk berbicara dengannya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Ah, benar. Umm....."
Meskipun dialah yang menyarankan agar mereka berdua mengobrol, Miharu hanya mencoba untuk menghentikannya secara refleks dan tidak memutuskan topik apa yang akan dibicarakan. Dia dengan panik mencoba memeras otaknya untuk mencari topik percakapan, tetapi Rio tidak mendorongnya dan hanya melihatnya dengan ekspresi penasaran.
Setelah beberapa saat, sebuah ide terlintas di benaknya— Miharu membuka mulutnya dengan ragu-ragu.
"U-Umm, kemarin, ketika kami semua mandi, semuanya dan aku berbicara dengan Celia-san dan dia memberitahu tentang masa lalumu....."
".....Ah, Sensei memberitahuku tentang itu. Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan fakta kalau aku adalah seorang anak yatim piatu. Apa suasananya menjadi tidak nyaman karenaku?"
Rio tersenyum sedikit saat menanyakan itu.
"T-Tidak, tidak sama sekali! Kami semua ingin tahu lebih banyak tentang masa lalumu, jadi kami mendengarkan ceritanya dengan sangat hati-hati."
Kata Miharu, menanggapi dengan panik.
"Begitu ya...."
Rio menunjukkan senyum sedikit malu.
"Aku juga— Aku juga ingin mendengar lebih banyak tentang itu. Tentang masa lalumu dan bagaimana hidupmu sebelum kamu bertemu dengan kami. Jika tidak masalah, bisakah kamu menceritakannya sedikit tentang itu?"
Miharu menanyakan pertanyaan itu setelah mengumpulkan keberaniannya. Sampai sekarang dia menahan diri untuk tidak menyentuh masa lalu Rio, tetapi keinginannya untuk lebih mengenal Rio jauh lebih kuat.
"Menurutku itu bukan cerita yang menarik."
Rio mengangkat bahunya sambil menunjukkan senyum masam. Dia sudah mengantisipasi kalau suatu hari pertanyaan itu akan muncul, jadi dia tidak terkejut.
"Itu tidak benar. Tentu saja, kamu tidak harus menceritakannya jika kamu tidak mau, tetapi adakah sesuatu yang dapat kamu ceritakan kepadaku?"
Meskipun biasanya Miharu akan menyerah dengan cepat, hari ini dia memutuskan untuk lebih ngotot.
Rio mengambil keputusan dan mengangguk pelan.
".....Baiklah. Aku akan memulainys dengan sebuah cerita sebelum aku menjadi seorang yatim piatu.... Saat itu, aku tinggal bersama dengan ibuku sampai aku berumur lima tahun. Ayahku meninggal tidak lama setelah aku lahir."
"O-Oke."
Rio memulai ceritanya dengan bagian yang suram, tetapi Miharu hanya mengangguk pelan tanpa menyela.
"Aku menjadi seorang yatim piatu saat aku berusia lima tahun. Ibuku sudah meninggal ketika aku berusia lima tahun, dan karena orang tuaku adalah pendatang, aku tidak memiliki kerabat dekat, jadi aku tidak punya pilihan selain tinggal di lingkungan ibukota yang miskin..... Aku tinggal di sana selama dua tahun, sampai aku berusia tujuh."
"Ah....."
Miharu tidak tahu harus berkata apa dan menggigit bibirnya.
"Bisa dibilang semuanya berubah ketika aku mendapat kembali ingatan tentang kehidupan masa laluku pada usia tujuh tahun. Aku hampir mati karena demam yang sangat tinggi, tetapi aku sembuh total sebelum aku menyadarinya dan aku mendapat ingatanku kembali. Kalau aku memikirkannya dengan hati-hati, aku rasa yang menyelamatkanku saat itu adalah Aishia. Meskipun, sepertinya dia tidak mengingatnya."
Kata Rio menunjukkan senyuman tipis. Sementara itu, Miharu menunjukkan ekspresi tertekan di wajahnya.
"Setelah aku mendapatkan kembali ingatan akan kehidupan masa laluku, aku terlibat dalam konflik antar bangsawan yang mengakibatkanku memasuki Akademi Kerajaan Beltrum. Di sanalah aku bisa bertemu Celia Sensei dan berteman dengannya. Setelah aku dituduh melakukan kejahatan yang tidak aku perbuat, aku pergi ke kampung halaman orang tuaku di Yagumo. Dalam perjalananku itu, aku bertemu dengan Latifa dan memutuskan untuk membawanya ke desa roh."
Kata Rio, merangkum kejadian di masa lalunya.
"Apa kamu mempunyai sebuah pertanyaan sejauh ini?"
"Umm, orang seperti apa ibumu?"
".....Dia adalah orang yang kuat dan baik hati. Setelah ayahku meninggal, dia membesarkanku dengan segalanya yang dia punya. Ibuku berusaha melindungiku sampai kematiannya....."
Rio berbicara dengan ekspresi yang sedikit sedih.
"Apa dia meninggal karena suatu penyakit?"
"Tidak, ibuku dibunuh. Moral di dunia ini bukanlah sesuatu yang terlalu baik kalau di katakan."
Rio mencoba tersenyum cerah sambil menghindari topik pembicaraan.
"M-Maaf....."
Miharu menunjukkan ekspresi sedih.
"Jangan khawatir tentang itu."
Kata Rio, tersenyum masam.
"Tapi....."
Miharu hampir menangis, matanya hampir mengeluarkan air mata.
"......Aku sudah mengatur perasaanku tentang itu. Itu sebabnya, sekarang tidak apa-apa."
Kata Rio dengan tegas.
[ Itu tidak mungkin tidak apa-apa. ]
Miharu keberatan dalam pikirannya.
Namun, Rio sepertinya sudah menerima semuanya, jadi gadis itu memutuskan untuk diam.
Ibunya telah dibunuh ketika dia baru berusia lima tahun dan juga dia hidup sebagai anak yatim piatu selama dua tahun berikutnya di lingkungan ibukota yang miskin.
Tidak mungkin, itu baik-baik saja.
"Kamu melalui banyak hal..... Kamu kehilangan ibumu, rumahmu, kamu selalu sendirian....."
Miharu berhasil membuka mulutnya.
Tanpa orang tua atau rumah, bagaimana mungkin anak berusia lima tahun bisa bertahan hidup seperti itu?
Bagi Miharu, yang lahir di dunia yang damai, situasi seperti itu sulit dibayangkan.
"Itu sangat sulit. Ketika aku menjadi hidup di sana, aku melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Untungnya ada sekelompok orang jahat yang memperkerjakanku dan memberiku sisa makanan dan minuman mereka selama aku berguna untuk mereka."
Rio berbicara dengan nada mengejek diri sendiri.
"........"
Mereka berdua hidup di dunia yang berbeda – Karena hal itu, Miharu sekali lagi kehilangan kata-katanya.
"Mm, pagi yang indah!"
Pintu masuk rumah batu terbuka, kemudian Sara, Alma, Latifa dan Aishia muncul.
"Ah, aku tahu Onii-chan ada di sini! Selamat pagi!"
Menyadari kehadiran Rio dengan tatapan polosnya, Latifa menyapanya dengan senyuman ramah.
"Selamat pagi, Latifa, Sara, Alma dan Aishia."
Jawab Rio sambil tersenyum.
"Selamat pagi, Rio."
"Ah, Miharu sedang bersamamu. Selamat pagi."
Sara dan Alma memberi ucapan selamat pagi mereka sambil melihat ke arah Miharu dengan ekspresi penasaran.
"Yup. Selamat pagi semuanya."
Miharu tersenyum dan menjawab. Ada air mata di sudut matanya, tapi dia menyekanya dengan gerakan biasa.
"......."
Aishia menatap Miharu dalam diam dari bawah.
"Selamat pagi, Ai-chan."
Miharu menyadari kalau dia sedang ditatap oleh Aishia, jadi dia memutuskan untuk menyapanya.
"Selamat pagi, Miharu."
Aishia menjawab dengan nada pelan.
"Ah! Miharu Onee-chan memakai handuk Onii-chan di bahunya! Aku iri sekali!"
Latifa mulai berbicara, mampu mengidentifikasi handuk yang dipakai Miharu adalah punya Rio.
"Aku meminjamkannya karena cukup dingin. Bagaimana kalau kita melakukan latihan sparring seperti biasanya?"
Rio berkata dengan senyum tegang dan turun dari atap untuk mendekati Latifa dan yang lainnya berada.
"Ya, Tentu saja!"
Sara adalah yang pertama mengangguk dengan penuh antusias.
Biasanya, anggota kelompok yang menggunakan senjata adalah Rio, Latifa, Sara, Alma, dan Masato – melakukan latihan sparring sebagai rutinitas pagi mereka. Mereka semua bangun pada waktu yang berbeda, namun biasanya yang terakhir bangun adalah Masato.
"......."
Miharu melihat pemandangan dari dekat pintu yang tiba-tiba menjadi sangat ramai, membuat senyuman muncul di wajahnya. Kemudian, untuk menggantikan posisi Rio di atas atap rumah batu, Aishia terbang dan duduk di tempat Rio duduk tadi.
"Apa tidurmu nyenyak, Miharu?"
".....Ai-chan. Apa yang terjadi kemarin.... Itu bukan mimpi, kan? Haruto-san adalah Haru-kun, kan?"
Tidak tahan lagi, Miharu menanyakan pertanyaan itu dengan nada memohon.
"Ya."
Aishia mengangguk sekali.
"Ah....."
Miharu tidak bisa berkata-kata ketika dia memastikan kalau semuanya nyata.
"Apa kamu ingat apa yang aku katakan kemarin?"
Aishia bertanya.
"Ya. Kamu mengatakan kalau suatu hari Haru-kun akan mengatakan yang sebenarnya dan mencoba menjauhkan dirinya dengan dari kami....."
Miharu menjawab dengan ragu-ragu.
"Benar. Itu sebabnya ketika hal itu tiba, jangan lari, Miharu."
Kata Aishia, membuat pernyataan itu dengan nada tenang.
"Apa yang harus aku lakukan sampai saat itu?"
Miharu tampak bingung.
"Tetaplah di sisinya sebanyak yang kamu bisa dan jangan takut padanya. Bersikaplah baik padanya dan katakan dengan jelas kalau kamu ingin tetap bersamanya. Karena Haruto adalah seseorang yang baik dan pengecut."
Kata Aishia dengan suaranya datarnya yang biasa, tapi kata-katanya tampak lebih lembut dari biasanya. Jelas sekali kalau dia tahu segalanya tentang Haruto dan dia juga mencoba memikirkan Miharu.
[ Ah, benar juga. Aku masih tidak tahu apa-apa tentang Haru-kun, tentang Haruto-san.... ]
Miharu merasa sangat tertekan setelah menyadari ketidakmampuannya dan mengerutkan keningnya..... Namun, itu belum terlambat.
"....Baik!"
Miharu menatap Rio yang sedang berbicara dengan yang lain dan mengangguk dengan penuh tekad.
◇◇◇◇
Setelah Rio berlatih sparring dengan Sara dan yang lainnya seperti rutinitas mereka biasanya, waktu sarapan akhirnya tiba.
"Jika Rio dan Miharu akan menghadiri perjamuan, mereka berdua pasti membutuhkan pakaian formal."
Celia menyarankan hal itu ketika mereka semua sedang sarapan. Maka diputuskan kalau hari ini mereka akan pergi berbelanja di Ricca Guild di kota Amande.
Sara, Orphia dan Alma sebenarnya belum pernah memasuki wilayah manusia sebelumnya dan sudah lama sejak Latifa menginjakkan kaki kembali di Strahl. Miharu, Aki dan Masato juga tidak terbiasa pergi keluar, jadi ada kebutuhan untuk membatasi jumlah orang yang akan pergi.
Rio dan Miharu harus pergi karena mereka berdualah yang akan menghadiri perjamuan itu. Diputuskan bahwa Celia akan menemani mereka karena pengalamannya dalam acara semacam ini.
Aishia akan menemani mereka sebagai pengawal, sementara Latifa, Sara, Orphia, Alma, Aki dan Masato akan tinggal di rumah batu.
Latifa sepertinya ingin pergi juga, tapi karena dia sudah berjanji tidak akan berperilaku egois, jadi dia tidak mengeluh seperti biasanya. Maka kelompok Rio meninggalkan rumah batu di pagi hari dan segera setelah mereka mencapai Amande. Mereka berempat segera menuju ke toko pakian di Ricca Guild.
"Fufu."
Meskipun Celia ada di sana sebagai pendamping, dia memimpin mereka dengan suasana hati yang sedang baik. Sikapnya sangat manis sampai-sampai membuat Rio dan Miharu tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan gedung Ricca Guild.
"Ayo mulai dengan memilih gaun untuk Miharu-san dulu."
Kata Rio, menyarankan.
".....Maaf karena sudah membuatmu membelanjakanku lagi seperti ini."
Miharu meminta maaf dengan menundukkan kepalanya.
Jelas saja, ada etiket tertentu yang harus diikuti di dalam perjamuan, tetapi Miharu benar-benar melupakannya sampai Celia mengingatkannya pagi itu juga. Itu berarti mereka harus mengeluarkan uang, jadi Miharu merasa bersalah karena memberi Rio lebih banyak masalah.
"Ini adalah pengeluaran yang diperlukan, jadi jangan pikirkan itu. Aku juga perlu membeli pakaian formal."
Rio menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Lihat, Miharu-san? Ayo kita tunjukkan kepada Haruto betapa cantiknya kamu saat memakai gaun."
Celia tertawa ringan saat dia mendorong Miharu menuju pintu masuk gedung.
".....Baik."
Sementara Miharu masih menunjukkan sedikit ekspresi bersalah, dia mengangguk dan mulai berjalan perlahan.
Rio dan Aishia mengikuti mereka dan mulai memasuki toko.
"Selamat datang."
Begitu mereka masuk ke dalam, suara anggun salah satu karyawan menyambut mereka.
Mereka telah mengunjungi toko ini beberapa kali, tetapi Ricca Guild adalah toko kelas atas dan interiornya menonjolkan karakteristik itu. Ada beberapa pelanggan yang tampak kaya sedang melihat-lihat pakaian di sana.
"Baiklah, mari kita mulai dengan memilih beberapa gaun. Jika tidak salah, gaun ada di lantai tiga. Pertama, kita harus meminta mereka untuk mengukurmu lebih dulu."
Celia berjalan ke lantai tiga dengan langkah kaki percaya diri.
Dengan demikian, mereka pergi ke bagian khusus untuk gaun; Karena dia memiliki pengalaman dalam di toko ini, Celia pertama-tama berbicara dengan salah seorang karyawan dan memintanya untuk mengukur tubuh Miharu. Celia dan Miharu menuju ke ruang ganti bersama, sementara Rio dan Aishia menunggu di tempat lain.
"Sekarang aku akan mengukurmu. Bisakah kamu melepas semuanya selain celana dalammu?"
"Ya."
Setelah Miharu memasuki ruang ganti, dia membuka pakaian seperti yang diminta.
"......Kamu memiliki postur tubuh yang sangat bagus, Miharu."
Celia menatap tubuh Miharu dari samping sambil menghela napas kagum.
"Aku setuju, kamu sangat cantik."
Karyawan yang sedang melakukan pengukuran juga memuji Miharu sambil tersenyum.
"Ahaha, terima kasih banyak."
Miharu tersenyum malu-malu sambil menutupi dadanya dengan tangannya. Tak lama kemudian, pengukuran keseluruhan tubuh Miharu dicatat dengan akurat.
Setelah itu, mereka meninggalkan ruang ganti dan pergi untuk memilih gaun. Mereka berdua memulai dengan berkeliling lantai dan melihat semua pakaian yang menarik minat mereka.
Setelah menyaring jumlah pakaian yang cocok, Miharu pergi ke ruang ganti beberapa kali untuk mencoba berbagai macam gaun dengan bantuan karyawan toko. Setiap kali dia selesai berganti pakaian, tirai ruang ganti akan terbuka untuk menunjukkan sosoknya yang memakai pakaian baru.
"Hmm, yang ini juga terlihat bagus untukmu. Oke, sekarang coba yang ini."
Celia menikmati pilihan gaun yang tersedia dan memberi Miharu gaun itu satu demi satu.
"......."
Rio memperhatikan dari samping saat Miharu mengenakan beberapa gaun dengan berwarna berbeda.
"Miharu itu cantik, benar?"
Aishia tiba-tiba menanyakan pertanyaan mendadak itu.
".....Ya, kamu benar."
Rio berbalik ke arahnya dan menjawab dengan tersenyum malu-malu.
"Dia akan sangat senang jika kamu mengatakan itu kepadanya."
Kata Aishia.
"Apa kamu yakin begitu?"
Rio menunjukkan ekspresi yang sedikit terkejut.
"Ya."
Kata Aishia, mengangguk.
Sementara itu, ketika mereka berdua sedang berbicara.....
"Nee, Haruto, Aishia. Menurut kalian gaun yang mana yang paling cocok untuk Miharu?"
Celia mendekati mereka berdua dengan pertanyaan itu.
".....Menurutku gaun berwarna gelap paling cocok untuk Miharu-san."
Rio menjawab.
"Aku juga berpikir begitu."
Kata Aishia, menyetujui.
"Ah, sungguh? Aku juga berpikiran sama! Baiklah, bisakah kamu mencoba yabg ini? Kita masih memiliki beberapa lagu, jadi mari kita coba semuanya!"
Kata Celia, tersenyum polos.
◇◇◇◇
Setelah Miharu dan Celia menghabiskan waktu mereka untuk memilih gaun, sekarang giliran Rio yang memilih pakaian formalnya.
Celia dan Miharu menjadi sangat bersemangat untuk melakukannya dan Rio akhirnya menjadi boneka dandanan untuk mereka berdua sampai mereka akhirnya memutuskan pakaian untuknya.
Mereka berempat meninggalkan kota Amande sebelum matahari terbenam. Rio membawa Celia, sementara Aishia membawa Miharu dengan spirit art anginnya.
"Setidaknya kita berhasil kembali sebelum gelap."
Rio menghela napas lega ketika mereka tiba di daerah berbatu tempat rumah batu berada.
"Ahaha, maaf soal itu. Aku benar-benar lupa waktu ketika sedang memilih-memilih pakaian."
Kata Celia meminta maaf.
"Aku juga. Maaf karena sudah terbawa suasana....."
Kata Miharu, membuat ekspresi sedih.
Rio menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Tidak, aku justru berterima kasih kepada kalian, kita bisa menyelesaikannya dengan cukup senang hati."
Ketika mereka berbicara, mereka sudah tiba di atas rumah batu.
".....Masato sedang berlatih di luar."
Aishia berkata sambil melihat ke bawah.
Miharu mencoba melihat apakah ada yang lain di luar.
"Kamu benar. Apa yang lainnya sedang membuat makan malam? Masato-kun, kami pulang!"
Miharu berkata dengan cukup keras, menyatakan kepulangan mereka.
"Oh, mereka akhirnya kembali. Mereka ternyata cukup lama juga."
Ketika Masato mendengar suara Miharu, dia melihat ke atas, di sana ada Rio dan yang lainnya mendarat dengan ekspresi lelah.
"Hmm, apa kamu menunggu kami?"
Rio bertanya.
Masato menggaruk kepalanya.
"Ah, tidak. Kurasa bukan itu. Masuklah dulu."
Jawab Masato dengan mengelak dan berjalan cepat ke pintu depan.
[ Apa sesuatu telah terjadi? ]
Rio dan yang lainnya saling bertukar tatapan dan memutuskan untuk mengikuti Masato untuk saat ini.
Begitu mereka memasuki rumah, Masato berteriak keras.
"Oi, Haruto An-chan dan yang lainnya sudah kembali!"
"Sungguh?! Miharu Onee-chan, Aishia Onee-chan dan Celia-san harus mencuci tangan mereka dan segera datang ke kamarku! Onii-chan, kamu tunggu di ruang tamu!"
Latifa berbicara, begitu dia mendengar teriakan Masato.
Sepertinya memang ada "sesuatu" yang akan terjadi.
"Hmm, ada apa? Ayo kita pergi."
Celia tersenyum dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya sebelum pergi ke kamar Latifa.
Miharu dan Aishia mengikuti arahannya.
Rio dan Masato menunggu di ruang tamu berduaan.
Setelah gadis-gadis itu selesai, Rio juga pergi untuk mencuci tangannya juga.
"Apa yang sedang terjadi?"
Rio mengambil kesempatan untuk menanyakan pertanyaan itu kepada Masato.
"Ah, kamu akan segera tahu. Aku berkeringat jadi aku akan mandi. Sampai jumpa!"
Masato meninggalkan ruang tamu dan pergi ke kamar mandi sambil tersenyum. Sepertinya dia bersikap tidak memedulikan Rio dan memilih pergi mandi.
Rio membuat teh dan menunggu Latifa dan yang lainnya di ruang tamu. Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, semua gadis di rumah ini muncul di hadapannya.
"Terima kasih sudah menunggu, Onii-chan! Ta-da!"
Latifa adalah yang pertama yang datang ke ruang tamu, berputar sekali sebelum melakukan pose terakhir untuk memamerkan seragamnya kepada Rio. Aishia, Celia, Sara, Orphia, Alma, Miharu, dan Aki juga mengenakan seragam dengan desain yang sama. Selain Latifa dan Orphia, yang tersenyum bahagia, dan Aishia, yang menunjukkan ekspresi datarnya yang biasa, semua gadis lain terlihat malu.
".....Aku benar-benar terkejut."
Rio melihat mereka yang menggunakan seragamnya dengan mata melebar.
"Ehehe. Bagaimana menurutmu, Onii-chan?"
Latifa bertanya dengan malu-malu.
"Seragam itu sangat cocok untukmu."
Kata Rio dengan jujur. Latifa membalasnya dengan tersenyum polos.
"Yey! Kami membuat seragam ini berdasarkan seragam sekolah punya Miharu Onee-chan!"
Kata Latifa, menjelaskan.
"Jadi begitu. Seragam kalian memang sangat mirip dengan seragam yang di pakai Miharu-san ketika dia datang pertama kali ke sini. Tapi aku tak menyangka bahkan Sensei dan Aishia juga....."
Rio melirik Miharu dan kemudian melirik ke Aishia dan Celia.
"A-Aku memakainya karena mereka yang memintanya...."
Celia tampak malu dengan pakaian yang tidak dikenalnya itu. Pipinya memerah dan ekspresinya malu-malu.
"Bagaimana menurut Haruto?"
Aishia memiringkan kepalanya ke samping.
"Ya. Kalian berdua tampak cocok memakainya."
Rio memuji mereka berdua dengan agak malu-malu.
"Hehe, kami membuat seragam untuk Aishia-sama dan Celia-san saat kami datang ke sini. Tapi, karena kami tidak bisa melakukan pengukuran yang sesuai, kami membuat seragam Aishia-sama mirip dengan seragam Miharu-chan dan untuk Celia-san, kami membuatnya berdasarkan kesan yang kami dapat dari cerita yang kami dengan dari Rio. Tidak terlalu sulit karena ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran Latifa."
Kata Orphia, menjelaskan dengan bangga.
[ Setelah dipikur-pikir, Orphia pernah menanyakan beberapa pertanyaan padaku tentang tinggi badan Sensei. ]
"Aku mengerti.... Orphia, Sara, Alma. Kalian juga sangat cocok dengan seragam itu. Miharu-san juga dan Aki juga."
Kata Rio, memuji gadis-gadis lainnya.
"Terima kasih banyak!"
Orphia berkata dengan ekspresi senang.
Yang lainnya tampak masih malu, tapi mereka juga senang.
"Membuat seragam dan menunjukkannya pada Onii-chan sangatlah menyenangkan!"
Latifa menoleh ke Orphia dan Miharu sambil tersenyum.
Orphia mengangguk dengan senyuman ceria.
"Yup. Benar bukan, Miharu-chan?"
".....Ya."
Miharu mengangguk dengan malu-malu.
"Tunggu, apa kalian melakukannya hanya karena alasan itu?"
Rio sedikit terkejut saat mengetahui kalau gadis-gadis itu membuat seragam hanya untuk menunjukkannya kepadanya.
"Itu benar. Kami ingin mengejutkanmu, Onii-chan!"
Latifa mengangguk tanpa rasa malu sedikit pun.
Melihat semuanya, Rio menunjukkan mulai tersenyum.
"....Jadi memang begitu. Aku sangat terkejut. Terima kasih semuanya."
Kata Rio, nadanya mengandung sedikit rasa malu.
"Sangat menyenangkan memakai seragam yang sama dengan yang lain."
Kata Sara, tersipu malu.
"Aku belum terbiasa memakai pakaian seperti ini, jadi rasanya agak memalukan."
Kata Alma, menambahkan, pipi sedikit memerah karena malu. Keduanya sedang melihat seragam masing-masing.
"Yah, aku bisa mengerti. Di desa kalian pakaian seperti ini tidaklah umum."
Kata Rio.
"Eh.... Sungguh? Ketika aku masih bersekolah di Akademi Kerajaan, aku juga mengenakan seragam. Tentu saja, Rio juga sama."
Kata Celia berbicara dengan penuh minat.
"Aku jadi ingin melihatmu berseragam Akademi, Sensei."
Kata Rio, menatap Celia dengan nada menggoda.
"J-Jangan katakan itu. Itu cukup memalukan. Dan aku juga sedang memakai seragam sekarang..... Tidak ini cukup?"
Celia dengan malu-malu mengalihkan pandangannya dengan mengembungkan pipinya.
"Aku juga ingin melihat Onii-chan mengenakan seragam sekolah! Aku yakin Onii-chan akan terlihat keren memakainya."
Latifa mulai tertawa gembira; dia membayangkan Rio mengenakan seragam sekolah.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak membuat seragam untuk Rio juga?"
Kata Celia, membuat saran itu.
"Ah, kedengarannya bagus! Bagaimana menurut kalian, Miharu Onee-chan, Orphia Onee-chan?"
Latifa berseru dengan semangat.
"Hmm, kedengarannya menarik. Kita harus memulainya dengan pengukuran dan kita juga bisa membuatnya untuk Masato."
Kata Orphia.
"Aku punya pengukuran yang kami ambil saat kami mencari untuk Rio."
Kata Miharu, menambahkan.
"Ah tidak, aku tidak memerlukannya....."
Rio mencoba menolak dengan malu-malu, tapi sepertinya itu hal yang tidak bisa di tolaknya – akan ada seragam yang dibuat untuknya dalam waktu cukup dekat.
[ Syukurlah..... Rio sekarang punya teman-teman yang seusia dengannya. ]
Pikir Celia sambil menatap Rio dengan senyuman di wajahnya.
Jika Celia mengingat kembali tentang bagaimana keadaan Rio di Akademi dan fakta bagaimana sekarang ada banyak yang memahaminya dirinya seperti Celia memahaminya sangatlah melegakan.
Namun, hatinya agak sedikit cemburu dengan kenyataan kalau semuanya – kecuali Masato – adalah gadis-gadis yang cantik dan menarik.
"Oke, kalau begitu kita juga akan membuatkan seragam untuk Onii-chan dan Masato-kun. Sekarang setelah kami menunjukkan seragam kami, tolong tunjukkan pakaian yang telah kalian pilih. Aku ingin melihatnya!"
Latifa mendekati Rio dan Miharu dengan antusias.
Mungkin saja Latifa telah memilih momen ini untuk menunjukkan seragam mereka agar tidak kalah melawan Miharu. Karena Miharu akan menghadiri perjamuan nanti dengan memakai gaun.
"Kalau begitu, ayo kita coba "
Kata Rio.
"Bagaimana, Miharu-san?"
".....Ya."
Miharu tersenyum malu-malu dan mengangguk pelan.
Kira-kira dua puluh menit kemudian, Rio dan Miharu memasuki ruang tamu setelah memakai pakaian formal mereka.