Daybreak Rondo –「Epilog」
[ Jam berapa sekarang ? Dan di mana tempat ini? ]
Miharu bertanya-tanya dalam setengah sadar.
"Miharu."
Tiba-tiba, seseorang memanggil namanya.
[ Ai-chan..... ]
Ya, itu adalah suara Aishia.
Sebelum dia menyadarinya, Aishia ada di depannya. Aishia menatapnya dan setelah beberapa saat mulai berbicara.
"Meskipun bersifat sementara, kontrak itu akan membuat jiwa kita terhubung. Apa kamu baik-baik saja dengan itu?"
"Umm, apa akan ada masalah menghubungkan jiwa kita?"
Mengabaikan keinginannya sendiri, mulut Miharu bergerak dan dia mengucapkan kata-kata itu.
[ Ah, ini mimpi sebelum aku datang ke desa...... ]
Miharu menyadari dia sedang bermimpi.
"Bukan. Mungkin ini disebut momen empati sesekali?"
"Empati?"
"Pikiran kita mungkin terhubung."
"Umm, apa terjadi ketika itu terjadi?"
Tanpa sepenuhnya memahaminya, Miharu meminta penjelasan yang lebih rinci.
"Kita mungkin secara tidak sengaja mengirimkan pikiran dan ingatan kita. Seperti deja vu. Sebenarnya, aku dapat dengan sengaja menciptakan efek empatik jika menyentuhmu secara langsung, namun aku tidak dapat mengaktifkannya sesuka hati dari jauh. Bagaimanapun, meskipun aku tidak dapat mengendalikannya, mimpi ini tidak akan sering terjadi. Namun, mimpi ini mungkin terjadi ketika salah satu dari kita merasakan emosi yang kuat."
Demi Miharu, Aishia menjelaskan semuanya secara rinci.
Miharu tidak menunjukkan keengganan dan memutuskan untuk menerima kontrak sementara.
"Tidak masalah. Gunakan esensi sihirku sampai Haruto-san kembali.”
".....Oke, terima kasih." Kata Aishia.
Dan itulah bagaimana Miharu dan Aishia membuat kontrak sementara.
[ Tapi mengapa aku bermimpi seperti ini lagi sekarang? ]
Dengan kesadarannya yang masih mengantuk, Miharu bertanya pada dirinya sendiri atas pertanyaan itu.
Ketika dia merenung, lingkungannya berubah sekali lagi. Rupanya mimpi lain akan segera dimulai.
[ Siapa mereka? ]
Miharu berkedip kebingungan.
Saat mereka berpegangan tangan, seorang wanita berambut hitam dan putranya dengan warna rambut yang sama berjalan di depannya. Tampaknya mereka berada di sebuah kota di Strahl.
"Nee, Okaasan. Kenapa rambut kita hitam? Di kota ini tidak ada orang dengan warna rambut yang sama seperti kita."
Anak itu menanyakan pertanyaan itu dengan ekspresi ingin tahu.
"Kamu tahu, Rio. Mungkin itu karena ayahmu dan aku berasal dari negeri yang jauh."
Wanita itu menjawab pertanyaan putranya dengan ekspresi khawatir.
[ Rio? Apa itu..... Haruto-san? Dan apa itu ibunya? Dia cantik..... ]
Menyadari bahwa dia sedang menonton Rio saat kecil, Miharu mulai menatap ibunya.
"Apa semua orang yang tinggal di negeri jauh itu berambut hitam?" Rio bertanya.
"Iya. Bukan hanya kamu dan aku. Ayahmu juga memiliki rambut hitam..... kakek dan nenekmu juga."
Jawab ibunya dengan nada ramah.
"Heh..... Aku ingin bertemu kakek nenekku suatu hari nanti."
Melihat senyum ibunya, Rio juga tersenyum.
"....Mari kita bertemu mereka nanti. Aku akan mengajakmu ke sana saat kamu dewasa. Mereka tinggal di tempat bernama Yagumo."
Jawab ibunya, yang memperlihatkan senyum yang rumit.
"Benarkah? Janji ya?"
Senyum Rio terlalu polos untuk ditolak.
"Yup, aku berjanji padamu."
Wanita itu mengangguk dengan suara penuh kasih sayang. Hari itu adalah salah satu hari yang hangat yang dihabiskan Rio dengan ibunya.
Namun, lingkungan Miharu berubah sekali lagi. Wanita yang beberapa saat yang lalu berjalan di sebelah Rio dengan senyum, sekarang hancurkan oleh seorang pria berbedan tegap.
"Oi, Rio. Apa kau frustrasi?"
Menusuk tubuh wanita itu dengan pedangnya, pria itu menunjukkan senyum jahat dan dingin.
Rio muda berusaha meringkuk dan menangis ketika dia melihat ibunya.
[ Uh..... ]
Miharu tidak bisa membantu dan memalingkan mukanya.
Tiba-tiba, Rio remaja berdiri tepat di sampingnya.
Rambutnya abu-abu dan dia mengenakan baju besi hitam yang biasa dilihat Miharu. Sambil menonton adegan mengerikan itu, Rio mengencangkan cengkeramannya pada pedangnya.
[ Ah, H-Haruto-san..... Dia seharusnya tidak melihatnya..... ]
Itulah yang dipikirkan Miharu, tetapi mulutnya tidak terbuka.
{ TLN : Mana bisa njir, Rio pasti udah taulah, ini Miharu Aho amat ya... }
Rio tidak memperdulikan kehadiran Miharu dan hanya menonton tragedi itu dengan tatapan yang sangat dingin. Setelah beberapa saat, Rio mulai berjalan ke arah pria itu. Miharu tidak bisa memalingkan mukanya. Dia tahu betul apa yang akan dilakukan Rio. Dalam sekejap itu, Rio memotong kepala pria itu tanpa ragu bahkan untuk sesaat.
[ Ah! ]
Kesadaran Miharu mulai semakin mengantuk. Jika dia membuka matanya, ada kemungkinan dia akan benar-benar melupakan mimpi itu.
[ T-Tidak, aku tidak bisa. Jangan bangun..... ]
Miharu tidak pernah ingin menemukan kisah tragis itu, dia juga tidak ingin melupakannya. Tidak peduli betapa menyakitkannya itu, gadis itu harus melihat dengan kuat di tempat kejadian. Takut, sedih dan frustrasi, Miharu tidak bisa melakukan apa-apa selain memeluk Rio dalam mimpinya.