Tidak jauh dari mereka, permukaan tanah naik ke empat arah berbeda dan mengurung beberapa Revenant yang sedang berlarian di taman. Seperti namanya, Terra Carcerem adalah sihir yang menciptakan penjara bumi untuk menutupi targetnya.
"Ap....."
Melihat apa yang terjadi membuat mata Liselotte melebar karena kaget. Kemampuan Celia untuk mengaktifkan mantra sihir dalam waktu sesingkat sudah sangat mengejutkan, tetapi untuk bisa mengunci target yang bergerak dengan cepat dari jarak yang cukup jauh dengan begitu mudah seperti itu sangat sulit dipercaya.
"Seperti yang aku katakan, aku juga bisa bertarung."
Celia menoleh ke Rio sambil tersenyum.
"Haruto, kami akan baik-baik saja. Aku juga ada di sini. Tinggalkan Cecilia padaku."
Kata Aishia dengan ekspresi datar, mendorong punggung Rio.
"Benar. Pergilah sekarang juga. Kamu masih sempat mengejarnya juga, kan?"
Celia berkata, memberinya kata-kata dorongan yang tegas.
".....Baiklah. Aishia, tolong lindungi Liselotte-sama juga."
Kata Rio, mengangguk.
"Yup, serahkan padaku."
Aishia memberikan jawaban yang pasti.
"Terima kasih. Liselotte-sama, izinkan aku untuk menyelamatkan Flora Ojou-sama."
Tidak lama setelah Rio mengatakan itu, dia memperkuat kemampuan fisiknya dan mulai berlari dengan kecepatan penuh.
Menarik pedangnya dan mengaktifkan spirit art angin, dia menciptakan hembusan angin untuk mendorong dirinya maju dan mempercepatnya.
"Ap....."
Sambil melongo, Liselotte terjatuh saat dia melihat Rio pergi.
◇◇◇◇
Setelah Rio pergi.....
"Cecilia lindungi dirimu dan orang lain dengan sihir yang menciptakan penghalang sihir. Aku akan melawan mereka."
Perintah Aishia kepada Celia yang ada di belakangnya.
"Oke. Magicae Murum."
Jawab Celia dengan segera.
Lingkaran sihir muncul di sekitar tangan Celia, menciptakan penghalang transparan dari esensi sihir. Penghalang itu membentuk kubah yang membentang dari depan Celia hingga Liselotte yang ada di belakangnya.
"A....."
Liselotte tercengang sekali lagi dengan apa yang baru saja dilihatnya. Magicae Murum yang baru saja Celia gunakan sangat mengagumkan.
{ TLN : Yang sabar Liselotte-chan wkwkwkwk }
[ Penghalang yang dia buat mencapai area 360 derajat di sekitarnya dalam sekejap ?! Dan penjara bumi yang sebelumnya itu juga..... Betapa hebatnya dia dalam pengendalian sihirnya ?! Siapa gadis ini sebenarnya? ]
Magicae Murum adalah mantra sihir yang di mana esensi penggunanya sangat memengaruhi ukuran penghalang yang dibuat. Jika seorang yang terampil dalam kontrol esensi sihir mereka, mereka dapat mengubah bentuk penghalang dengan bebas sampai batas tertentu, tetapi menciptakan penghalang berbentuk kubah cukup sulit.
Selain itu, mempertahankan penghalang yang dibuat juga rumit, belum lagi fakta bahwa semakin besar penghalang yang dibuat, semakin banyak esensi sihir yang dibutuhkan untuk mempertahankan kekuatannya.
Tidak ada pelayan Liselotte yang bisa membuat penghalang sihir dengan sangat cepat dan membentuknya sama seperti yang Celia lalukan, lalu mempertahankannya selama pertempuran.
Bisa di katakan kalau saat ini, Liselotte tidak bisa berkata apapun karena dia membeku di tempat.
"Eh, ah.... Apa dia akan baik-baik saja! Temanmu itu tidak bersenjata!"
Setelah beberapa detik, Liselotte kembali tenang, dan menyadari kalau Aishia tidak bersenjata karena itu, dia bertanya pada Celia dengan panik.
"Itu akan baik-baik saja. Dia sama kuatnya dengan Haruto!"
Celia mengucapkan kata-kata itu dengan percaya diri.
Memastikan kalau Celia sudah membuat penghalang sihir di belakangnya—
"Augendae Corporis."
Aishia mengucapkan mantra sihir.
Meski begitu, Aishia tidak menggunakan sihir karena dia adalah roh, jadi tubuhnya tidak bisa menyerap mantra sihir untuk bisa menggunakan sihir.
Sebaliknya, Aishia menggunakan sihir berkat artefak sihir yang Rio berikan sebagai kamuflase saat dia bertarung di depan orang lain.
Di sekitar gelangnya muncul lingkaran sihir, yang akan mengaktifkan mantra penguatan fisik di dalam dirinya.
Namun, Aishia membatalkan sihirnya itu segera setelah dia mengaktifkannya dan menggunakan spirit art untuk memperkuat kemampuan fisiknya. Dengan cara ini, dia seperti sedang memperkuat fisiknya dengan menggunakan gelang itu.
Namun, kemampuan meningkatkan fisik dengan sihir dan meningkatkan kemampuan fisik dengan spirit art sangat berbeda. Spirit Art tidak hanya meningkatkan kemampuan fisik, tapi juga memperkuat tubuh pengguna secara keseluruhan. Itulah mengapa pengguna spirit art bisa melampaui batas tubuh manusia.
"Grah!"
Tiba-tiba, Revenant melompat ke arahnya, namun Aishia memblokir serangannya dengan tangan kosong dengan mudah.
"Gah ?!"
Aishia melumpuhkan Revenant yang menyerangnya dengan sebuah pukulan dan melemparkannya ke arah Revenant lain di dekatnya dengan kekuatan penuh.
Revenant lainnya telah sedang melawan Chloe, tapi—
"Gragh ?!"
Tubuh Revanant yang dilempar Aishia bertabrakan dengannya, menyebabkan mereka berdua berguling-guling di tanah.
".....Eh?"
Chloe sangat terkejut dengan lenyapnya Revenant yang ada di depannya. Setelah beberapa kemudian, Chloe menghela napas lega. Sementara itu, Revenant yang dikirim Aishia terbang menatapnya dengan kebencian dan kewaspadaan.
"Pinjamkan aku itu."
Kata Aishia kepada Chloe sambil mengulurkan tangannya.
"Heh?"
Chloe menunjukkan ekspresi bingung.
Satu-satunya senjata yang dipegangnya adalah tombak pendek yang panjangnya sekitar dua meter.
[ Apa dia berbicara tentang ini? ]
"Pinjamkan aku tombak itu. Kamu bisa mundur."
Ucap Aishia dengan suara datar.
"U-Umm....." Chloe jelas bingung.
"Chloe, segera pinjamkan tombak itu padanya! Lalu mundurlah ke sini!"
Membuat keputusan cepat, Liselotte meneriakkan perintah itu.
Selain pelayannya, hampir tidak ada prajurit yang bisa melawan Revenant di Mansion-nya.
Bahkan saat ini, sebagian besar pelayannya tidak memiliki banyak pengalaman dalam pertarungan jarak dekat. Ini terkhususnya juga untuk Chloe, yang masih seorang pemula yang belum bisa melawan Revenant sendirian.
"Y-Ya, Ojou-sama! Ini dia!"
Chloe segera mematuhi perintah Liselotte dan memberi Aishia tombak yang dipegangnya.
"Terima kasih. Beritahu yang lain juga untuk segera mundur. Sisanya akan biar aku yang urus."
Kata Aishia dengan pelan sebelum mulai berlari.
"Dia sangat cepat!"
Aishia tiba-tiba menghilang dari pandangannya membuat Chloe mengedipkan matanya dengan heran. Sebelum yang lain menyadarinya, Aishia sudah berpindah di tempat yang berbeda, mendekati salah satu Revenant hitam pucat dari sampingnya
"Gragh ?!"
Revenant itu tidak menyadari kedatangan Aishia dan dia terbunuh dengan mudah.
"Whoa!"
Karena salah satu Revenant yang mereka lawan telah dikalahkan tiba-tiba, para prajurit berseru terkejut.
"Mundur."
Kata Aishia, mendekati Revenant berikutnya dan membunuhnya.
Aishia terus mengalahkan para Revenant satu demi satu, mendekati mereka dari belakang dan samping untuk mengejutkan mereka. Para prajurit dan pelayan yang telah melawan para Revenant terpikat oleh pertarungan Aishia saat ini.
[ H-Hebat..... Dia benar-benar sekuat Haruto-sama, seperti yang gadis penyihir ini katakan! Aku ingin tahu siapa yang lebih kuat, dia atau Aria? Pertama Haruto-sama, lalu gadis penyihir ini..... Serius deh, siapa orang-orang ini? ]
Keterkejutan Liselotte menyebabkan banyak pertanyaan muncul di kepalanya.
"Gruuh!"
Revenant lainnya mulai berhati-hati dengan mengamati pergerakan Aishia dan segera mulai mengelilinginya.
Serangan mendadak tidak lagi berpengaruh banyak.
"Dia akan baik-baik saja, kan?"
Liselotte bertanya kepada Celia dengan ekspresi cemas.
".....Kita harus percaya padanya."
Meskipun Celia juga khawatir, dia mengangguk dengan tegas.
[ Benar kan, Aishia? ]
Aisia-lah yang membuat yang lainnya mundur. Para prajurit dan pelayan Liselotte telah menjauhkan diri mereka seperti yang diperintahkan dan mengawasi pertarungan dari jauh.
"......Mm?"
Sementara itu, Alphonse – yang telah menyaksikan pertarungan itu dari atas – mengamati sosok Aishia dari sana. Menyadari siapa itu, senyumnya berubah.
"Wanita itu. Dari. Penginapan!"
"Oi! Jangan bunuh. Wanita itu!"
Alphonse memberi instruksi baru kepada Revenant lain.
"A-Apa monster itu baru saja bicara ?!"
Melihat Alphonse bisa berbicara seperti manusia, mulut Liselotte menganga.
Menjaga penghalang di sekelilingnya, Celia mengangguk, matanya melebar karena terkejut.
"Y-Ya, sepertinya begitu......"
"Tangkap dia!"
Alphonse memberi perintah kepada Revenant lain.
"Gragh!"
Para Revenant menyerang Aishia pada saat bersamaan.
"Kshaah ?!"
Namun, para Revenant itu tidak bisa mendekatinya.
Aishia memutar tombak memutar dengan bebas, memukul mundur para Revenant dengan ujung tombaknya yang tajam.
"Guh....."
Revenant memiliki kulit yang sangat keras, tetapi mereka juga bisa terluka kalau lawannya memiliki kemampuan fisik yang sudah ditingkatkan. Mustahil para Revenant itu bisa memblokir semua serangan tombak Aishia yang sudah diperkuat dengan spirit art.
Dengan langkah ringan, Aishia mendekati para Revenant saat dia memutar tombak dan mengayunkannya dengan bebas. Gerakannya seperti tarian mistis.
"Graargh, gah ?!"
Para Revenant dikalahkan satu demi satu.
"Selanjutnya?"
Kata Aishia, setiap kali dia mengalahkan Revenant.
Revenant yang tersisa bahkan tidak bisa mendekatinya– meskipun Aishia sangat cantik, tapi tarian dari skill tombaknya sangat mematikan.
"Gah! Cukup! Aku yang akan melawannya! Kalian. Serang. Lainnya."
Alphonse kehilangan kesabarannya, dan mulai berlari dengan sangat kesal. Targetnya tentu saja Aishia, tapi gadis itu mendekatinya tanpa dia sadari.
"Kamu sangat berisik."
Setelah mengatakan itu, Aishia menusuk jantung Alphonse dengan ujung tombaknya. Namun, Alphonse adalah spesimen yang sempurna, jadi hidupnya tidak berakhir hanya dengan itu.
"Guh, tidak mungkin.... tidak. Tunggu!"
Alphonse mencabut tombak dari dadanya sambil tersenyum, mencoba memeluk Aishia dengan sekuat tenaga.
Aishia melangkah mundur dan mengayunkan tombaknya ke samping dengan sekuat tenaga, kemudian kepala Alphonse terpental.
"......?"
Alphonse terkejut dengan pemandangan yang tiba-tiba berubah, matanya melebar heran.
Tetapi, ketika dia melihat tubuhnya yang telah dipenggal, Alphonse akhirnya menyadari apa yang telah terjadi dan mengambil napas terakhirnya.
"Kuh...... Ngaaah!"
◇◇◇◇
Sementara itu, saat pertarungan antara Alphonse dan Aishia dimulai, Rio sedang mengejar Lucius yang melarikan diri membawa Flora. Dengan menggunakan Spirit art angin untuk mempercepat tubuhnya, dia meninggalkan Mansion dalam hitungan detik.
[ Pria itu berlari setelah memperkuat kemampuan fisiknya. Seharusnya ada jejak esensi sihir yang tertinggal di rute yang diambilnya. Terlebih lagi sisa-sisa esensi sihir itu akan mudah dirasakan. ]
Rio memfokuskan pikirannya dan mampu mendeteksi sisa-sisa esensi sihir dari orang yang sedang dia kejar.
"Aku menemukannya."
Mengatakan itu, Rio melompat tinggi ke udara.
"....Dia di sana."
Dari kejauhan dari atas langit, Rio melihat Lucius sedang berlari sambil membawa Putri Flora di atas pundaknya.
Wajahnya tidak terlihat karena tertutup oleh tudung jubahnya, tapi dia berlari lurus melintasi atap dengan kecepatan tinggi. Waktu sudah lama terlewati sejak fajar, matahari bersinar terang di belakang punggung pria itu.
[ Dia cepat. Itu mungkin bukan sihir penguatan fisik yang sederhana. Jika dia terus bergerak seperti itu, tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke tembok kota. Apa dia berniat melarikan diri ke dalam hutan? ]
Dengan kecepatannya dalam berlari tuju, Lucius akan meninggalkan kota dalam waktu kurang dari satu menit. Rio memperkirakan arah yang dituju Lucius.
[ Aku akan menyusulnya begitu dia meninggalkan kota. ]
Saat Rio turun ke tanah, dia menggunakan spirit art angin untuk mempercepat gerakannya.
◇◇◇◇
Kurang dari satu menit kemudian, Rio berhasil mengejar Lucius setelah dia menerobos tembok kota. Lucius tiba-tiba berhenti di daerah dekat kota dan berbalik menghadap Rio.
"Aku tidak menyangka akan ada seseorang yang bisa mengerjarku dalam situasi itu. Yah..... Aku juga mengharapkan juga sih....."
Nada Lucius suaranya agak senang.
Suaranya itu.... Dia memang.....
Rio mencengkeram pedangnya dengan kuat.
Mendengarnya dari dekat membuatnya semakin familiar.
"......Hei, kenapa kau diam saja? Katakanlah sesuatu."
Melihat Rio terdiam, Lucius menjadi curiga padanya.
"......Kenapa tidak kau lepaskan tudung yang menutupi wajahmu itu dulu?"
Rio berbicara dengan nada dingin dan tajam.
"Uh? Kau pikir, kau sedang berbicara dengan siapa? Bukankah kau datang untuk menyelamatkan Ojou-chan ini?"
Mengatakan itu, Lucius mengangkat Flora dari bahunya dan mengatur kembali posisinya.
Lucius ingin membuktikan kalau dia memiliki seorang sandera. Karena dia membawa Flora mundur ke arah sebaliknya, Flora menghadap ke arah hutan.
"Kyaa!"
Flora tampaknya masih, karena dia mengeluarkan suara menjerit kecil.
Apa Flora Ojou-sama menghalangi tujuannya? Tidak..... Karena dia telah membuat janji dengan Liselotte, Rio tidak bisa begitu saja meninggalkan Flora begitu saja.
[ Lebih baik aku membiarkannya dan bersikap seperti aku tidak peduli pada sandera. Sempurna. Aku bisa melanjutkan apa yang mau aku inginkan. ]
Dengan pemikiran itu, Rio membuang keraguannya.
"Aku hanya pujya urusan denganmu."
Kata Rio dengan nada pelan.
".....Hah?"
Lucius memasang wajah curiga.
"Kau Lucius, kan?"
"......Oh?"
Ketika namanya disebut, Lucius menunjukkan ekspresi ketertarikan yang dalam.
"Lepaskan tudung jubahmu itu." Perintah Rio.
"Huh, aku tidak suka itu. Ngomong-ngomong, apa yang akan kau lakukan jika aku memang Lucius yang kau katakan?"
Lucius menunjukkan senyum mengejek.
"Aku akan membunuhmu."
Kata Rio tanpa ragu sedikit pun.
".....Hahaha! Kata-katamu lucu sekali!"
Lucius tertawa senang.
[ Dia masih muda. ] Pikir Lucius.
[ Dia pasti orang yang di kontrak oleh roh humanoid itu, kan? Aku tidak mengenalnya, tapi jika dia memiliki dendam dendam padaku, itu artinya aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat sebelumnya. ]
Saat Lucius memperhatikan wajah Rio dengan hati-hati.
"Baiklah kalau begitu."
Kata Lucius menancapkan pedang hitam legamnya ke tanah dan melepas tudung jubahnya untuk memperlihatkan penampilannya.
"Lalu? Apa aku orang yang kau cari?"
Lucius bertanya dengan senyum jahat.
".....Ya. Aku sudah lama mencarimu selama ini."
Rio membenarkan kata-katanya dengan nada dingin.
".....Oh? Tapi reaksimu nampaknya terlalu cuek."
"Tidak, itu tidak benar. Aku selalu berharap untuk membunuhmu."
Rio menggelengkan kepalanya pelan.
Nadanya suaranya masih sedingin es seperti sebelumnya.
"Hah, kalau begitu kau harus lebih banyak mengekspresikan dirimu lagi! Kau datang ke sini untuk membalas dendam, kan?"
Kata Lucius, tanpak tidak senang.
"Aku sudah cukup mengekspresikan diriku sendiri. Satu-satunya hal yang aku butuhkan adalah mengambil nyawamu."
Rio menjawab dengan serius.
"He, benarkah begitu? Kau sangat membosankan bajingan. Ah, tentu saja..... Aku akan pastikan untuk bersenang-senang denganmu!"
Setelah menghela napas lelah, Lucius menarik pedangnya dan menerjang ke arah Rio dengan Flora yang masih ada di bahunya.
Rio segera menghindari serangan Lucius dan mencoba melawan dengan pedangnya, tapi Lucius menggunakan Flora sebagai perisai.
"Guh....."
Secara refleks, Rio menghentikan pedangnya di tengah lintasannya.
"Ha! Refleks yang bagus! Haruskah kita melanjutkan?"
Kata Lucius mengayunkan pedangnya ke arah Kata
Keduanya memulai pertukaran serangan yang sangat sengit; inj adalah pertama kalinya Rio bertarung dengan seseorang yang membawa sandera.
{ TLN : Njir itu Flora di jadiin apa oi wkwkkwkwk }
[ Ini sulit. ]
Pertempuran itu lebih sulit dari yang diperkirakannya.
Dengan membawa Flora sebagai sandera, gerakan Lucius dibatasi, tetapi Rio berada dalam situasi yang sama karena Flora digunakan sebagai perisai.
Namun, hal yang sama berlaku untuk Lucius. Dia juga kesulitan untuk mendaratkan serangan ke arah Rio karena di dalam keadaan membawa Flora. Pertarungan mereka itu mengarah ke kebuntuan total.
"Hahaha, apa Ojou-chan ini penting bagimu ? Atau apa kau hanya ingin orang yang tidak bersalah tidak terlibat dalam balas dendammu? Apapun itu, kau adalah bajingan yang naif!"
Lucius mencacinya saat dia menyilangkan pedang dengan lawannya. Tidak seperti tatapan dinginnya, dadanya dipenuhi kegembiraan.
[ Kalau terus seperti ini, tidak akan ada akhirnya. Aku sudah tahu sejauh mana kekuatannya, tapi dia orang yang aneh. Aku tidak akan pernah melupakan seseorang yang yang sekuat ini. ]
Mencoba mengingat orang di depannya, Lucius mencari melalui ingatannya. Meskipun begitu, tidak peduli seberapa banyak dia melihat wajah Rio, dia tidak bisa mengingatnya.
[ .......Ini tidak berguna, aku tidak bisa ingat sama sekali. Sebaliknya, aku tidak ingat pernah bertemu dengan orang seperti dia..... Mungkinkah, aku pernah bertemu dengannya ketika dia masih bocah nakal. ]
Lucius mendecakkan lidahnya dan mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan jika memang begitu.
Setelah beberapa saat, Lucius melangkah mundur dan menurunkan pedangnya sejenak.
"Berhenti— Aku sudah muak dengan ini. Berkelahi seperti ini sama sekali tidak menyenangkan."
"........."
Rio juga mengira Flora adalah penghalang, jadi dia menurunkan pedangnya.
"Sudah waktunya bagimu untuk mengatakan tentang rahasiamu. Sayangnya, aku mempunyai banyak musuh sepanjang hidupku, sehingga aku tidak mau repot-repot mengingat wajah setiap korbanku. Namun, aku tertarik padamu. Kau mengenaliku, sementara aku tidak tahu apa-apa tentangmu, itu sama sekali tidak menarik sama sekali." Kata Lucius.
"Jika kau tidak mengingatku, itu artinya aku tidak cukup penting untuk kau diingat."
Jawab Rio, tidak repot-repot menanggapi dengan benar.
"Lewatkan, omong kosong itu. Aku tidak akan pernah melupakan pengguna pedang sepertimu." Desak Lucius.
"Ah, masa?"
Namun, Rio tidak berniat mengatakan apa pun padanya saat Flora masih menjadi sandera. Dia takut, Lucius akan memanfaatkannya begitu dia mengetahui identitas sebenarnya.
".....Cih. Aku benci anak nakal sepertimu. Bagaimana perasaanmu jika aku menambahkan Ojou-chan ini ke dalam daftar korban?"
Lucius mendecakkan lidahnya dengan kesal dan menyandarkan pedangnya ke kaki Flora, yang berada di bahunya.
"Anh....." Tubuh Flora gemetar karena ketakutan.
"Kurasa kau tidak akan menyakitinya setelah bersusah payah menculiknya."
Kata Rio dengan tenang terhadap ancaman Lucius.
".....Hah, kau punya nyali juga. Bagaimanapun Ojou-chan ini adalah alat tawar-menawar yang berharga. Yah, terserahlah. Jika aku tidak mengingatmu, itu berarti aku pernah bertemumh ketika kau masih bocah nakal, bukan?"
Menyadari kalau ancamannya tidak berpengaruh, Lucius mengubah rencananya.
"........."
"Kau diam lagi. Baiklah, aku akan menganggap diammu itu sebagai 'Ya'. Aku merasakan perasaan aneh saat ketika melihat wajahmu itu, tetapi aku tidak bisa mengingatnya. Kau bukan dari sekitar sini, kan?"
".........."
Rio tidak menjawab.
Lucius mengerutkan keningnya dengan kesal.
"Cih, kau benar-benar membuatku kesal. Oke, mari kita tawar-menawar. Aku akan melepaskan Ojou-chan ini untuk sekarang. Tapi, sebagai gantinya, kau harus memberitahu identitasmu kepadaku, lalu bertarung satu lawan satu denganku."
Itu adalah kondisi yang cukup menguntungkan bagi Rio dan Lucius tahu itu.
[ Selama dia ada di sini, aku bisa menggunakan Ojou-chan ini sebagai sandera kapan saja. Apa yang akan aku lakukan tergantung pada identitas asli orang ini. Kalau tidak, itu tidak akan menyenangkan. ]
Lucius sangat yakin bahwa meskipun dia berduel serius dengan Rio, yang kalah bukanlah dia. Senyumannya menunjukkan keyakinan mutlak yang dia miliki pada dirinya sendiri.
"........"
Dengan curiga, Rio menatap Lucius.
"Oi, Oi. Bukankah kau terlalu menakutkan? Baiklah. Bagaimana dengan ini: jika kau menerima kondisiku ini, aku akan melepaskan Ojou-chan ini dulu kepadamu."
Lucius menawarkan satu lagi kondisi yang menguntungkan untuk Rio.
Rio ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya menerimanya.
".......Baiklah"
"Kesepakatan selesai, kalau begitu. Ini dia, pergilah!"
Lucius meraih Flora dan melemparkannya dengan kasar ke tanah.
"Ugh......"
Flora mengerang sedikit.
"Yo, Ojou-chan. Pastikan kau berdiri di tengah-tengah, di mana aku bisa melihatmu, oke? Jika tidak, monster mungkin muncul di belakangmu. Sama denganmu juga. Jangan berani-berani mendekati Ojou-chan."
Lucius memberi Flora peringatan sebelum melakukan hal yang sama pada Rio.
"Uh....."
Flora ketakutan sepenuhnya.
Namun ketika melihat sosok Haruto, dia dipenuhi dengan perasaan tak terlukiskan. Wajahnya menunjukkan ekspresi seperti mau menangis.
"Mundur sedikit lagi."
Kata Rio kepada Flora dengan sedikit tidak nyaman.
"O-Oke."
Flora mengangguk patuh dan berjalan menjauh dari keduanya.
Setelah saat itu, situasi antara Lucius dan Rio berubah total, mereka bukan lagi sebagai penculik dan penyelamat, tapi sekarang adalah taget dan pembalas dendam.
"Aku sudah memenuhi syaratnya. Sekarang, bicaralah."
Perintah Lucius dengan tegas.
".....Itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ketika aku tinggal di ibukota Kerajaan Beltrum."
Kata Rio, memulai ceritanya.
Jika Rio memberitahu kembali tentang masa lalunya, ada kemungkinan Flora akan mengetahui tentangnya, tetapi itu adalah kesempatan sekali seumur hidup yang tidak bisa dia lewatkan.
Rio telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk momen ini.
Itu adalah keinginan terbesarnya.
Bahkan jika itu adalah tindakan yang tidak logis, Rio ingin menyelesaikan perasaan masa lalunya dengan membunuh pria di depannya. Untuk melakukan itu, Lucius harus mengetahui identitas sebenarnya.
".....Oh?"
Lucius menunjukkan minat yang dalam.
Kalimat tunggal itu telah mengungkapkan banyak informasi. Sementara itu, mata Flora melebar ketika dia mendengar kalau Rio pernah tinggal di tanah airnya.
"Pada waktu itu, minatmu tertuju pada keluarga tertentu yang terdiri dari seorang wanita dan anaknya."
Rio melanjutkan ceritanya dengan sungguh-sungguh.
Kata-katanya membuat Lucius mendapatkan potongan terakhir dari teka-teki itu.
"Hahaha! Aku mengerti! Jadi wajahmu itu berasal dari Yagumo! Warna rambutmu sangat berbeda sehingga aku sama sekali tidak mengingatmu! Benar, kan?!"
Dengan ekspresi gembira, Lucius mulai tertawa terbahak-bahak.
"........."
Api balas dendam mulai berkobar dengan kuat di dalam hati Rio.
"Haha, kau tidak perlu menatapku dengan ekspresi itu. Tapi aku mengerti. Kau masih hidup. Tidak, kau masih hidup untukku. Bocah nakal lemah dan tidak berdaya itu."
Lucius tersenyum, tersenyum sadis.
"Sepertinya sekarang kau mengingatku."
"Tentu saja, aku bisa mengingatmu dengan sempurna. Lagipula, aku membiarkanmu hidup-hidup karena aku menantikan momen seperti ini."
"........"
[ Dia orang yang mengerikan. ]
Itulah yang Rio pikirkan.
Namun, Rio tidak membiarkan emosinya terlihat di wajahnya. Apa yang dia rasakan terhadap Lucius tidak lagi dalam kebencian atau rasa jijik.
Yang dirasakan Rio hanyalah keinginan dingin dan kering untuk membunuh. Dia tidak mencari kepuasan atau pencapaian melalui balas dendamnya. Untuk melakukan balas dendam, dia tidak membutuhkan emosi tambahan.
Saat Rio mulai memikirkan tentang keinginannya untuk balas dendam, akal sehatnya menegurnya karena merendahkan dirinya ke level yang sama dengan pria di depannya. Dia tidak ingin hidup dengan cara yang sama seperti orang yang ingin dia bunuh.
Itulah jawaban yang Rio dapatkan di depan kuburan orang tuanya, ketika dia mengunjungi Yagumo. Rio telah memutuskan untuk bergerak maju – untuk menerima kenyataan dan mengungkapkan sisi gelapnya. Sekalipun pemikiran-pemikiran kontradiktif itu membuatnya seperti munafik, Rio ingin terus menempuh jalan yang ia pilih.
Itulah mengapa pemikirannya tidak masuk akal.
Bukan seperti Rio ingin membunuh Lucius karena alasan yang logis..... Dia hanya ingin menghadapi sisi gelapnya sendiri, tidak lebih.
"Aku senang melihatmu tumbuh tepat seperti yang aku inginkan. Aku jadi mulai bersemangat."
Lucius tertawa senang.
".....Aku juga senang melihatmu masih sama seperti orang yang aku ingat."
Rio menjawab dengan suara rendah.
"Hah, haruskah aku merefleksikan tindakanku? Atau mungkin menunjukkan sedikit penyesalan?"
Lucius menanyainya dengan nada provokatif.
"Aku sama sekali tidak peduli jika kau menyesal atau tidak. Aku tidak pernah mencari penyesalan darimu."
Rio menjawab, tidak termakan umpan Lucius.
Cih, ini tidak menyenangkan sama sekali. Dia masih bisa menunjukkan sedikit ketenangan.
Bagi Lucius, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membunuh seseorang yang mencoba membalas dendam padanya. Karena biasanya tipe orang seperti yang hanya mengikuti emosi mereka, Lucius akan terhibur dengan menginjak-injak emosi orang itu. Jika perasaan lawannya sangat kuat, momen kematiannya juga akan demikian.
.....Itulah mengapa Lucius memutuskan untuk membahas topik yang sensitif.
"....Betulkah? Kalau dipikir-pikir, Zen memberitahuku kalau Ayame adalah seorang putri dari Kerajaan yang jauh."
"Eh?"
Flora benar-benar diabaikan, tetapi dia mendengarkan percakapan Rio dan Lucius dengan penuh perhatian.
Gadis itu sempat bisa mengikuti alur ceritanya, namun bingung seketika setelah mendengar kata ‘Putri’.
"Ayame adalah wanita yang baik— Dan juga masakannya sangat enak. Dia terus mencoba melindungimu sampai dia mati. Tolong jangan bunuh Rio. Aku mohon, dia menangis dan itu adalah kata-katanya."
Sambil mengatakan itu dengan nada mengejek, Lucius menunjukkan senyum kejam.
"........"
Mendengar itu, Rio sedikit mengerutkan keningnya dan mencengkeram pedangnya lebih erat.
"E-Eh.....?"
Flora tidak lagi tahu apa yang sedang terjadi.
Pria bernama Lucius tiba-tiba menyebut nama Rio. Ya, Lucius telah memanggil Haruto dengan nama "Rio", tidak diragukan lagi..... Itu berarti, seperti yang dia pikirkannya, kemiripan yang dia lihat antara Haruto dan Rio bukan hanya isapan jempol dari imajinasinya. Namun, rambut Haruto berwarna abu-abu, dan ibunya adalah seorang putri dan dia telah melalui sesuatu yang mengerikan.....
Semua yang dikatakan begitu mengejutkan. Pikiran Flora hampir kosong. Tapi waktu tidak berhenti dan gadis itu tertinggal lebih jauh lagi.
"Hahaha! Kau membuat ekspresi yang bagus sekarang." Lucius tertawa puas.
"......Apa hanya itu yang ingin kau katakan?"
Rio bertanya dengan suara rendah.
Melanjutkan percakapan lebih jauh hanya akan memperburuk suasana hatinya.
Rio sudah mendapatkan informasi yang dia butuhkan, jadi hanya ada satu hal yang tersisa untuk dia lakukan.
"Ya, sudah sekitar sepuluh tahun. Aku akan bermain denganmu lagi. Datanglah kepadaku."
Lucius berada di puncak kegembiraannya.
Saat Lucius mengarahkan pedangnya ke depan Rio dengan provokatif, itu adalah tanda akan dimulainya pertarungan.
Tanpa Flora yang menghalangi, Rio sekarang bisa mengeluarkan kekuatan penuhnya.
".....Eh?"
Tiba-tiba, Rio menghilang dari pandangan Lucius, menyebabkan Flora membeku di tempatnya.
Di saat yang sama, tubuh Lucius kehilangan keseimbangan karena suatu alasan. Lebih tepatnya, bagian kiri tubuhnya terasa lebih ringan.
Sesuatu terbang di langit.
Sebelum Lucius menyadarinya, Rio berada di belakangnya, mengikuti lintasan serangannya dengan pedangnya. Pada saat itu, sesuatu jatuh ke tanah.
"Eh!"
Lucius menyadari ada sesuatu ada yang salah di lengan kirinya.
"Bermainlah sendiri."
Suara sedingin es Rio bergema di hutan.
◇◇◇◇
"Apa ?!"
Lucius menyaksikan lengan kirinya telah berguling-guling di tanah dan matanya melebar karena terkejut.
Pada saat yang sama, pengalaman tempurnya selama bertahun-tahun membuatnya secara refleks berbalik untuk mengayunkan pedangnya ke arah Rio yang ada di belakangnya.
Namun, pedangnya tidak menyentuh tubuh Rio; serangannya itu hanya menebas ruang kosong dengan sia-sia. Rio melangkah mundur dan meningkatkan jarak yang memisahkannya dari Lucius. Matanya sedingin es.
Mustahil. Apa aku tidak bisa bereaksi?
Lucius memaksa dirinya untuk mendapatkan kembali ketenangannya dan menatap Rio dengan mata penuh amarah. Dia pasti tidak menurunkan kewaspadaannya setiap saat dan telah bersiap untuk dapat menanggapi serangan apa pun.
Meski begitu, Lucius terkejut. Jika pedangnya tidak ada di depannya, mungkin bukan lengan kirinya yang jatuh ke tanah, tapi kepalanya. Merasakan rasa kematian yang tidak dia rasakan dalam waktu yang lama, Lucius merasakan kejengkelan yang dalam.
"Kuh!"
Tetapi pada saat yang sama, kepalanya dengan tenang memikirkan alasan mengapa Rio menghilang dari pandangannya.
"Cih ?!"
Rio menyerangnya sekali lagi. Kali ini, gerakannya lebih lambat dari sebelumnya. Dia masih cepat, tetapi serangannya bukan tidak mungkin untuk diblokir.
Namun, Lucius terpaksa membela diri hanya dengan satu tangannya, sedangkan Rio memegang pedangnya dengan kedua tangannya.
"Guh......"
Lucius merasakan perbedaan besar dalam kemampuan fisiknya dan segera mengambil langkah mundur untuk membatalkan dorongan itu. Namun, Rio langsung bereaksi dan melancarkan serangan balik cepat.
[ Sangat cepat! Berapa banyak esensi sihir yang dimilikinya ?! Dan apa-apaan dengan peningkatan kekuatan fisik yang konyol ini ?! ]
Lucius cukup terkejut melihat jumlah esensi sihit yang dilepaskan tubuh Rio.
"Gah ?!"
Kaki Rio tanpa ampun menghantam perut Lucius seperti tombak. Lucius mencoba mundur untuk meringankan dampaknya, tetapi kekuatan yang abnormal itu membuatnya terbang menjauh.
"Hah....!"
Setelah menerima serangan itu, Lucius berguling-guling di tanah dengan mengambil posisi bertahan dan dalam sekejap berdiri lagi.
[ Pertama kali dia menyerangku, apa dia bergerak dengan peningkatan fisik yang konyol itu? Tapi kali ini dia belum mengeluarkan esensi sihir yang sama seperti sebelumnya. Sial, apa yang terjadi ?! ]
Lucius mencoba berpikir dengan tenang.
Rio menggunakan spirit art angin untuk mempercepat gerakannya, tetapi berlari ke depan atau bergerak di tempat yang sempit membutuhkan kendali yang besar untuk menghindari tabrakan yang tidak menguntungkan.
Saat itu, mereka berdua sedang berada di luar kota, tepat di sebelah hutan, jadi Rio harus sangat memperhatikan pergerakannya. Namun, Lucius masih belum menyadarinya.
Saat itulah, Rio melancarkan serangan balik.
"Persetan denganmu!"
Lucius berteriak dengan amarah.
Dengan ketepatan dan kecepatan yang tak tertandingi, Rio menyerang Lucius. Gerakannya yang sangat dingin dan penuh dengan naluri membunuh. Lucius nyaris tidak berhasil menghindari serangan Rio— Atau begitulah yang di pikirkannya.
Pada saat itu, tanah di bawah kaki Lucius terangkat seperti tombak dan menembus tubuhnya. Lucius segera bereaksi dan mundur, menuju ke hutan di belakangnya.
Tiba-tiba, sejumlah besar bola cahaya yang tak terhitung muncul di sekitar Rio. Saat dia mengulurkan lengannya ke arah Lucius, semua bola cahaya melesat ke arah lawannya.
"Cih!"
Lucius mendecakkan lidahnya dan mengibaskan pedangnya.
Kemudian, bilah pedangnya mulai mengeluarkan kegelapan yang menyebar ke seluruh tempat, menelan bola cahaya. Rio menyipitkan matanya saat melihat itu dan mengarahkan tangannya sekali lagi. Seolah-olah itu adalah bola meriam, gelombang listrik ditembakkan dari telapak tangannya.
Pukulannya yang tak terlihat memukul Lucius tubuh ke udara, serangan tak terlihat itu akan mengenai tubuhnya lawannya dengan tepat.
"Aku bisa melihatnya, kau tahu!"
Lucius meneriakkan kata-kata itu saat dia mengayunkan pedangnya secara vertikal ke bawah. Kegelapan bangkit dari pedangnya sekali lagi, mencegat gelombang kejut itu. Sedetik kemudian, Lucius mendarat di tanah.
"Satu serangan demi serangan......"
Tanah di titik pendaratannya naik seperti tombak, mencoba menusuk tubuh Lucius sekali lagi. Sementara itu, Rio menembakkan lebih banyak bola cahaya ke atas, yang jatuh di atas kepala Lucius seperti hujan yang mematikan.
Pertama, Lucius mengayunkan pedangnya ke tanah untuk menghadapi serangan di bawah kakinya; tebasan kegelapan dengan bersih memotong semua tombak tanah yang menyerangnya itu.
Selanjutnya, Lucius mencoba mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis bola cahaya dari atas kepalanya, tetapi pada saat yang dia mencoba menebas hujan bola cahaya itu, bola cahaya itu jatuh dengan kecepatan penuh.
"Guh ?!"
Kegelapan dari bilah pedangnya menelan sebagian dari bola-bola cahaya itu, tapi dia tidak mampu menghilangkan semuanya. Faktanya, Rio menembakkan lebih banyak bola cahaya, menyebabkan hujan bola cahaya mematikan turun terus menerus di atas kepala Lucius. Tanah hancur dan awan debu terbentuk di sekelilingnya.
"H-Heh......"
Lucius menyamarkan dirinya dengan debu dan segera mundur dari tempat kejadian. Namun, tubuhnya penuh dengan luka karena hujan bola cahaya itu.
Hujan bola cahaya itu memilik dampak kerusakan yang cukup lemah, tetapi mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk melukai tubuh seseorang kalau orang tersebut telah meningkatkan kemampuan fisiknya.
Kerusakan pada organ dalam Lucius dalam kondisi yang sangat buruk.
Selain itu, Lucius kehilangan banyak darah dari lengan kirinya; kehilangan lengannya itu membuat segalanya menjadi sulit baginya dan karena darahnya terus mengalir perlahan-lahan dari tubuhnya membuatnya kelelahan.
Meski begitu, Rio menembakkan lebih banyak bola cahaya ke arahnya.
"Cih!"
Lucius memaksa tubuhnya untuk bergerak menghindari serangan yang datang.
[ A-Ada apa..... Dengan pertarungan ini. ]
Flora menyaksikan pertarungan itu dengan ekspresi linglung. Pertarungan yang terjadi di hadapannya tidak seperti yang dia ketahui.
Karena dia adalah anggota Keluarga Kerajaan, Flora telah melihat banyak pertarungan tingkat lanjut antara pengguna pedang terampil dan penyihir terkenal, tetapi pertarungan antara Rio dan Lucius berada pada level yang sama sekali berbeda dan membuat pertarungan yang pernah dilihatnya seperti permainan anak-anak.
.....Itu bukan sihir. Mungkinkah itu semacam artefak?
Menyaksikan serangan Rio, Flora mulai menanyakan pertanyaan seperti itu. Serangan gelombang jarak jauh yang didasarkan pada beberapa bentuk sihir sedang digunakan untuk melawan Lucius saat ini.
"Guh......"
Pelarian Lucius tidak berlangsung lama. Saat tubuhnya berteriak kesakitan dan mulai melambat, pancaran bola-cahaya menghantamnya dan membuatnya berguling-guling di tanah.
"Kkh..... Hnghh....."
Lucius mengerang kesakitan, tapi entah kenapa berhasil berdiri di atas lutut kanannya.
[ Sialan, organ dalam dan tulang rusukku hancur. Aku juga kehilangan terlalu banyak darah..... Jika aku tidak bisa memasang kembali lenganku..... ]
Lucius melihat lengan kirinya di tanah. Meskipun dia tidak bisa menggunakannya untuk sementara waktu, ada metode untuk memasangkannya kembali ke tubuhnya.
"Kuh!"
Rio menyadari apa yang sedang dilihat oleh Lucius, dan berlari ke arah itu untuk mengambil lengannya yang tergeletak di tanah.
Tanpa berpikir dua kali, Rio melemparkannya ke udara dan menciptakan api yang sangat kuat yang mengubah lengannya itu menjadi abu.