Daybreak Rondo – Chapter 5 : 「Kejahatan Mulai Mengintai」
Sementara itu, di saat Rio sedang makan siang bersama Liselotte dan yang lainnya.....
Alphonse Rodan sedang berpatroli di sebelah barat hutan Amande bersama para Ksatria lainnya. Setelah melakukan permintaan maaf kepada Rio, dia berpisah dengan Stewart dan mulai menjalankan tugas yang dia terima.
Tujuan Alphonse saat ini yaitu untuk menyelidiki alasan di balik kemunculan para gerombolan monster dari kekacuan sebelumnya dan untuk memastikan tidak ada lagi monster berbahaya yang bersembunyi di dalam hutan. Dengan kata lain, sebagai tim pengintai. Atas perintah dari Duke Huguenot, sebuah tim pengintai yang sebagian besar terdiri dari beberapa orang Ksatria telah dibentuk.
Ngomong-ngomong, saat ini Stewart sedang menjalani tahanan rumah, jadi dia tetap tinggal di Mansion Liselotte. Faktanya, Duke Huguenot telah memberikan Alphonse kesempatan untuk membersihkan namanya dibandingkan putranya sendiri karena Huguenot masih menghormati Keluarga Marquess Rodan.
[ Bangsat! Aku tidak akan pernah memaafkannya!
Aku tidak akan pernah melupakan ini! Beraninya mereka merendahkanku.... ]
Alphonse menyimpan kebencian yang dalam yang tidak rasional. Rio, Duke Huguenot, Aishia, Celia, Liselotte, Aria.... Dia sangat benci dengan faktor-faktor yang menghalanginya mendapatkan apa yang dia mau.
[ Kenapa aku harus meminta maaf kepada rakyat jelata seperti itu!? ]
Alphonse benar-benar mengesampingkan fakta bahwa dialah penyebab masalah tersebut. Penalaran semacam itu tidak mengherankan karena dia percaya kalau dia adalah kaum kelas atas dan orang istimewa.
[ Rakyat jelata seharusnya tetap diam dan melakukan apa yang kita inginkan. Perempuan-perempuan itu juga – seharusnya mereka bersyukur karena aku memperhatikan mereka. Aku tidak percaya mereka merasa lebih unggul hanya karena terlihat sedikit lebih menarik.... ]
Kemarahan Alphonse belum mereda. Sejak dia meminta maaf kepada Rio, dadanya masih terbakar amarah.
Tentu saja, permintaan maafnya hanyalah sebuah topeng belaka. Bahkan jika itu berpura-pura, Alphonse tidak ingin menunjukkan kalau dialah yang bersalah.
Karena Duke Huguenot ikut campur, kemungkinan besar Huguenot dan Rio telah menjalin kontrak.
Alphonse tidak bisa lagi menyentuh Rio dan para perempuan yang bersamanya. Dengan kata lain – dia telah dikalahkan sepenuhnya. Terlebih lagi, Duke Huguenot telah mencapnya sebagai orang yang tidak kompeten.
[ Sial, Sial, Sial, Sial! Itu bukan kesalahanku! Aku bukan orang yang tidak kompeten! ]
Alphonse tidak bisa menahan situasinya saat ini. Seorang individu kelas atas dan berbakat seperti dia tidak bisa dikucilkan begitu saja dalam status sosial.
[ .....Aku akan mengurus si Huguenot sialan itu dulu. Lihat saja nanti, bangsat. Aku akan membuatmu melihat betapa berharganya aku. ]
Alphonse mulai merasakan keinginan kuat untuk membuktikan dirinya sendiri. Dadanya tidak lagi hanya dipenuhi oleh amarah. Dia ingin membuat Duke Huguenot mengakuinya – keinginannya begitu kuat sehingga dia hampir tidak bisa tertahan.
[ Aku akan mendapatkan sebuah prestasi dengan segala cara. ]
Alphonse mencampurkan perasaan ambisinya dengan antusiasme. Dia telah melihat hutan di sekitarnya untuk menemukan target untuk melampiaskan amarahnya.
"Oi, Alphonse. Kau terlihat ceroboh di sepanjang perjalanan. Aku mengerti kalau kau kesal karena dimarahi, tapi saat ini kita sedang dalam misi penting. Jadi, berkonsentrasilah sedikit."
Komandan Ksatria dari pasukan pengintai melihat suasana hati Alphonse yang sedang buruk dan memutuskan untuk memberinya peringatan.
"Cih."
Alphonse mendecakkan lidahnya.
Komandan Ksatria yang berusia sekitar dua puluh tahunan dan biasanya memegang peran sebagai Wakil Komandan penjaga elit bagi Flora.
Meskipun demikian, Keluarga Alphonse memiliki status sosial yang jauh lebih tinggi. Kata-kata dari orang-orang dengan status yang lebih rendah tidak layak di dengar oleh seseorang yang berstatus lebih tinggi seperti Alphonse.
"....Hei, aku tidak suka sikapmu oitu."
Komandan Ksatria itu mengerutkan keningnya.
Bahkan jika Keluarga Alphonse mempunyai status lebih tinggi, dia memiliki pangkat superior dalam militer dan bangga mendapatkan posisinya melalui kerja kerasnya.
"Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya gelisah karena kebencianku terhadap para monster. Lebih penting lagi, berapa lama kita akan berpatroli dari jalan seperti ini? Ayo segera masuk ke dalam hutan."
Alphonse membalas dengan sikap memberontak.
"...Kelompok kita hanya garda depan untuk mendukung para penjaga yang sedang berpatroli. Misi utama kita adalah mengintai keadaan di sekitar hutan. Kita tidak datang untuk memusnahkan monster."
Jawab Komandan Ksatria dengan nada tidak senang.
Pada saat itu, para Ksatria yang membentuk formasi penjagaan di sekitar mulai terganggu oleh percakapan antara Alphonse dan Komandan Kstaria.
"Kau bisa saja bilang begitu, tapi apa yang akan kita lakukan jika Minotaur muncul di kota?"
Alphonse keberatan dengan sikap yang jauh lebih agresif dari biasanya.
"Hentikan itu. Kita di sini untuk memperkuat pertahanan kota. Seorang prajurit biasa sepertimu tidak perlu memikirkan tentang itu. Ikuti saja misi ini dengan patuh."
Komandan Ksatria itu memarahi Alphonse dengan agak kasar.
"Hmph, dasar pengecut....."
Alphonse berkata itu dengan suara pelan.
Mendengar perkataannya itu, Komandan Ksatria tersebut kehilangan kesabarannya dan merespon dengan nada penuh amarah.
"Aku di sini mencoba untuk memperhatikanmu, karena kau masih anak-anak. Apa kau ingin memasuki hutan sendirian? Kau mungkin bisa menemukan Minotaur di sana."
"Kuh....."
Alphonse mengerutkan keningnya.
Tidak peduli seberapa kesalnya dia, Alphonse tidak cukup bodoh untuk berpikir melawan Minotur sendirian.
"Itu tidak perlu."
Entah dari mana, suara seorang pria tak dikenal bergema dengan keras.
"Siapa di sana!?"
Para Ksatria mulai mengamati sekeliling mereka dengan panik.
Dua orang pria muncul dari dalam hutan. Salah satunya adalah Reiss, yang mengenakan jubah hitam untuk menyembunyikan penampilannya, sementara yang satu lainnya, wajahnya terlihat jelas.
Pria penampilan terlihat jelas itu tampaknya berada di usia dewasa, di pinggangnya ada pedang dan pakaiannya adalah pakaian tentara bayaran. Nama dari pria itu adalah Lucius. Meski wajahnya halus, Lucius memancarkan aura liar dengan penuh kegilaan.
"Tidak ada monster di hutan sekarang."
Kata Lucius, mendekati para Ksatria tanpa ragu-ragu.
Begitu dia berada dia jarak sepuluh meter dari kelompok Ksatria, Komandan Ksatria mulai berteriak keras.
"Berhenti di sana!"
"Oke, oke."
Lucius dengan patuh berhenti.
"Apa kau seorang petualang dari Amande?"
Komandan Ksatria itu bertanya.
"Tidak, tidak."
Lucius menggelengkan kepalanya dengan santai.
"....Sangat mencurigakan. Lalu apa yang kalian lakukan di dalam hutan?"
Semua ksatria mulai melihat ke arah Reiss, yang berdiri di belakang Lucius, dengan mata penuh keraguan.
"Wajar saja kalau kami di curigai. Dan mungkinkah kalian adalah Ksatria dari Kerajaan Beltrum?"
"....Bagaimana kau bisa tahu?"
Pertanyaan Lucius membuat para Ksatria meningkatkan kewaspadaan mereka.
"Yah, lagipula hanya ada satu kelompok Ksatria di Amande saat ini yang menjadi pengawal elit Flora Ojou-sama."
Ketika mereka mendengar nama Flora, ekspresi para Ksatria berubah menjadi lebih suram.
".....Siapa kau sebenarnya?"
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tampaknya kelompokmu terdiri dari dua puluh ksatria. Dan semuanya tampak masih muda."
Ketika dia melihat sekelompok Ksatria itu, Lucius tersenyum dengan sangat gembira.
"Kalau aku pikir-pikir, kau seorang mantan bangsawan dari Beltrum juga, kan? Apa ada wajah yang kau kenali di antara mereka?"
Reiss bertanya dari belakangnya.
"Tidak. Meskipun ada, tidak ada yang akan berubah."
"Itu bagus. Tubuh mereka terlihat sangat memuaskan, jadi aku mengandalkanmu."
Reiss berbicara dengan nada datar.
"Sungguh disayangkan. Haruskah kita melukai mereka sedikit dan menahan mereka?"
Alphonse menghunus pedangnya. Keduanya adalah target sempurna untuk menghilangkan kekesalannya.
"Tunggu, aku ingin terus berbicara dengan mereka...."
Komandan Ksatria itu masih ingin mencoba melanjutkan interogasi, tapi—
"Hahaha, ternyata masih ada yang menarik di antara mereka. Bagus, bagus sekali."
Lucius menatap Alphonse dan tertawa gembira.
"Pastikan kau tidak membunuh mereka. Sihir penyembuh cukup menjengkelkan, jadi jangan potong anggota tubuh mereka juga."
Kata Reiss, memberinya peringatan dengan nada lelah.
"Aku hanya membantumu.... Setidaknya biarkan aku bersenang-senang. Kau sebaiknya pastikan agar tidak ada yang lari."
Jawab Lucius ketika dia menarik pedang hitam legamnya dari sarung pedang di pinggangnya.
"Sepertinya mereka siap untuk bertarung. Biarkan aku saja yang mengurus mereka."
Kata Alphonse dengan senyum puas.
"....Tidak. Buat formasi dan tangkap mereka. Jika mereka mencoba menyerang, kau bisa melawan, jadi...."
Komandan Ksatria memutuskan untuk memberikan jawaban yang masuk akal dan logis. Karena Lucius dan Reiss tahu tentang para Ksatria dan Flora, yang terbaik adalah mendapatkan lebih banyak informasi dari mereka.
"!?"
Tiba-tiba, Lucius mulai berlari ke depan. Kecepatannya yang abnormal menyebabkan semua Ksatria melebarkan mata mereka karena terkejut.
"Be-Bersiap....!"
Komandan Ksatria mencoba memberi perintah dengan panik. Namun, Lucius memposisikan dirinya di tengah formasi kelompok Ksatria dalam sekejap.
"Terlalu lambat! Kalian seharusnya memperkuat diri kalian saat aku menghunus pedangku!"
"Guh..."
Ditendang oleh Lucius, salah satu Ksatria terlempar ke udara. Para ksatria di sekitarnya melihat pemandangan itu dengan ekspresi tidak percaya.
"A-Aaaargh!"
Alphonse berteriak dengan amarah dan langsung menyerang ke arah Lucius. Wajahnya terlihat dengan penuh amarah dan itu adalah kesempatan sempurna baginya untuk menghilangkan stresnya.
"Hahaha, kau benar-benar cukup menarik."
Lucius memblokir serangan Alphonse dan tertawa terbahak-bahak.
"Mati! Augendae Corporis!"
Alphonse menggunakan mantra sihir untuk memperkuat kemampuan fisiknya dan menambah kekuatan pada serangan pedangnya.
Lingkaran sihir muncul beberapa saat kemudian, meningkatkan kekuatannya dan membantunya mendorong pedangnya ke depan dengan penuh kekuatan. Namun, Lucius mundur selangkah dengan anggun dan menghindarinya.
"Aku akan menyisakanmu untuk yang terakhir. Dan kalian? Kenapa kalian belum mulai memperkuat kemampuan fisik kalian?"
Setelah berbicara dengan Alphonse, Lucius berbalik untuk memprovokasi para Ksatria lainnya.
"Kuh, Augendae Corporis!"
Para Ksatria dalam kemarahan dan mulai memperkuat kemampuan fisik mereka satu per satu.
"Bunuh orang itu! Dan biarkan yang berjubah hitam itu tetap hidup!"
Kata Komandan Ksatria, setelah mempertimbangkan niat membunuh yang di pancarkan Lucius.
"Ya, datanglah dengan semua yang kalian punya!"
Mengatakan itu, Lucius menerjang ke arah kelompok Ksatria. Para Ksatria semua mengayunkan pedang mereka pada saat yang sama untuk membunuhnya, tapi Lucius menghindari semua serangan sambil tertawa kegirangan.
"Ada apa!? Apa hanya ini yang bisa kalian lakukan!? Hiburlah aku lebih banyak!"
"S-Sialan!"
Para Ksatria itu merasa seperti sedang berhalusinasi, menebas sesuatu tapi hanya kabut. Tidak peduli berapa kali mereka mengayunkan pedang mereka, bahkan jika mereka yakin kalau serangan mereka mengenainya, tapi Lucius tidak menerima satu luka pun.
Lucius mengayunkan pedangnya dan menariknya kembali ketika sebelum itu membunuh salah satu dari mereka. Kadang-kadang ketika para Ksatria yakin mereka akan diserang, Lucius hanya akan berdiri di sana tanpa melakukan apa-apa.
[ Orang ini hanya mempermainkan kita! ]
Semua Ksatria sampai pada kesimpulan yang sama. Tidak diragukan lagi kalau orang yang mereka hadapi sangat gila. Dia mengayunkan pedangnya dan menghindari serangan lawannya sambil tertawa kegirangan.
Waktu berlalu seperti itu, sampai Lucius berbicara dengan nada bosan.
"Ah..... Kurasa sudah waktunya mengurangi jumlah kalian."
Pegangan dari pedangnya mengenai dada salah satu Ksatria dan menyebabkan dia menjerit kesakitan.
"Guh!"
"Sekarang giliranku untuk menyerang."
Lucius tertawa gembira dan memulai serangan baliknya.
"Gah!"
"Hah...."
Dengan tendangan dan pukulannya, Lucius menjatuhkan dua Ksatria di tanah.
Tidak lama setelah itu, Ksatria berikutnya di terbangkan ke udara. Seolah-olah Lucius bisa membaca gerakan para Ksatria, dia mengincar titik lemah mereka, bergerak sebelum lawannya bisa merespons, dan menjatuhkan mereka satu per satu dengan serangannya.
"M-Mustahil....."
Alphonse menyaksikan rekan-rekannya dirobohkan satu demi satu, dan membuatnya membeku di tempat.
Situasi menguntungkan mereka yang awalnya mereka miliki telah berbalik dalam sekejap. Bahkan pada saat ini, jumlah Ksatria yang masih berdiri berkurang drastis.
Alphonse merasakan kalau kekalahan mereka semakin jelas karena kelompoknya sudah sudah tamat. Ketika dia menyadarinya, satu Ksatria, bukan, dua Ksatria telah jatuh ke tanah.
"Tentu lebih mudah untuk bergerak ketika jumlahnya sudah sedikit. Sekarang aku bisa bergerak lebih cepat!"
Lucius bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan para Ksatria, yang telah memperkuat kemampuan fisik mereka, tidak bisa mengejar kecepatannya.
[ Gerakan itu.... Dia menggunakan pedang sihir! ]
Alphonse menyimpulkan alasan di balik kemampuan fisik Lucius yang jelas-jelas tidak normal. Hanya ada satu cara seseorang bisa bergerak dari mereka yang menggunakan sihir penguatan fisik.
[ Lagi² pedang sihir sialan lainnya! Jika saja aku punya, aku juga bisa....! ]
Sebagai seseorang yang tidak memilikinya, Alphonse merasakan iri, perasaan yang sama sekali tidak pantas dalam situasinya saat ini. Kesempatan baginya untuk bisa melarikan diri semakin berkurang sedikit demi sedikit.
"Guh!"
Ditendang menggunakan lutut, Ksatria lainnya jatuh ke tanah.
"Ah, empat lagi."
Kata Lucius sambil melihat sekelilingnya.
Dari total dua puluh Ksatria berpengalaman, hanya empat yang tersisa. Lucius telah menghabisi mereka dalam waktu kurang dari satu menit.
[ M-Mustahil..... ]
Alphonse menunjukkan ekspresi linglung.
Ketika dia melihat sekelilingnya, dia menyadari kalau yang masih sadar adalah empat Ksatria – termasuk Komandan Ksatria dan dirinya sendiri – serta Lucius dan Reiss.
"Berkatmu, aku telah mendapatkan beberapa Ksatria."
Kata Reiss yang menyaksikan Lucius bertarung dari kejauhan saat dia selesai mengambil para Ksatria yang jatuh pingsan di tanah tanpa ada yang menyadarinya.
"Sepertinya masih ada satu pekerjaan yang tersisa. Giliranmu akan segera tiba, bersabarlah."
Kata Lucius, menatap Alphonse yang telah kehilangan keinginan untuk bertarung sepenuhnya.
"Eek..."
Alphonse mundur selangkah karena ketakutan.
Tidak hanya Alphonse, Ksatria yang tersisa juga telah kehilangan keinginan untuk bertarung dan perlahan mundur.
"L-Lari! Cepat lari!"
Komandan Ksatria meneriakkan kata-kata itu dengan lantang. Segera setelah itu, Alphonse dan ksatria lainnya mulai berlari.
[ B-Benar, aku harus mencari bantuan! ]
Saat dia berlari, Alphonse berusaha meyakinkan dirinya dengan kata-kata itu. Tidak ada jejak antusiasme ketika dia ingin mengalahkan Minotaur untuk membersihkan namanya.
"Apa kalian masih tidak paham dengan perbedaan kemampuan yang kita miliki? Oi! Bahkan jika kalian lari, aku tetap bisa mengejar kalian kapan saja!"
Lucius berkata dengan nada penuh cemoohan dan mulai mengejar para Ksatria. Jarak di antara mereka hilang dalam sekejap, tapi para ksatria tidak menyadarinya.
"Hah... Hah.....!"
Alphonse terengah-engah saat dia fokus menggerakan kakinya. Tiba-tiba, bilah pedang melewatinya di depan pipinya dan mengenainya kurang dari beberapa cm.
"E-Eeeh!? Hah!"
Tak dapat berlari lebih lama lagi, Alphonse menyingkir dan mengayunkan pedangnya ke arah Lucius, tapi serangannya hanya mengenai ruang kosong.
"Apa!?"
Mata Alphonse melebar karena terkejut.
Dengan senyum jahat di wajahnya, Lucius berada sepuluh meter dari Alphonse. Dia menatapnya saat dia menendang Komandan Ksatria jatuh ke tanah.
[ M-Mustahil! Bagaimana bisa aku terluka, bukankah pedangnya ada di sana !? ]
Alphonse menunjukkan ekspresi tertegun saat dia menyentuh pipinya yang terluka oleh pedang Lucius beberapa saat yang lalu.
"Seperti yang sudah dijanjikan, kaulah yang terakhir. Jadi, jangan beri aku terlalu banyak masalah."
Lucius berbicara dengan nada yang tampak lelah.
"G-Guh...."
Tanpa bisa mengatakan apapun, Alphonse perlahan mundur. Dia menatap Lucius dengan mata penuh kebencian yang mendalam, seolah dia melihat sesuatu yang sangat menakutkan.
"....Tatapanmu itu terlihat bagus."
Lucius menatap mata Alphonse dan berjalan dengan cepat untuk menutup jarak di antara mereka. Alphonse menyusut ke belakada, tidak bisa bergerak.
"A-Apa?"
Tidak ada tempat untuk melarikan diri lagi. Bahkan saat mengatakan hal itu, Alphonse mencoba mencari jalan untuk bertahan hidup.
"Matamu itu menunjukkan kelicikan yang menarik. Kau mungkin orangnya, tapi mungkin juga bukan."
Mengatakan itu, Lucius tersenyum bahagia.
"H-Hah?"
Tidak mengerti apa yang Lucius katakan, Alphonse mengeluarkan suara bingung.
"Yah, lagipula aku juga bosan. Mari kita akhiri ini, oke?"
Saat Lucius mulai mendekatinya sekali lagi, Alphonse berteriak panik.
"T-Tunggu! Jika uang yang kau inginkan, aku akan membayarmu. Aku juga bersedia untuk diam tentang kalian!"
"Ah? Uang?"
Alphonse sepertinya menarik perhatian Lucius, saat Lucius berhenti dan melontarkan senyum yang menyenangkan.
B-Baiklah! Sepertinya aku bisa bernegosiasi dengannya menggunakan uang!
Melihat ruang kalau dia bisa bernegosiasi, Alphonse tersenyum.
".....Serius, kau pria yang sangat menarik."
Lucius mendengus melalui hidungnya dan mulai mendekati Alphonse sekali lagi.
◇◇◇◇
Sementara di Mansion Liselotte, Rio baru saja selesai makan siang dan siap untuk pergi. Liselotte dan yang lainnya pergi ke taman untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.
"Merupakan suatu kehormatan bahwa setiap orang telah datang untuk mengantarkanku. Terima kasih banyak untuk semuanya."
Rio meletakkan tangan kanan di dadanya dan menundukkan kepalanya ke arah semua orang yang hadir.
"Terima kasih banyak telah menerima undanganku hari ini. Aku berencana untuk mengirim kurir di masa depan, jadi alangkah baiknya jika kamu ingin tinggal di Amande sedikit lebih lama. Tentunya, jika kamu membutuhkan sesuatu, kamu bebas datang ke kediamanku kapan pun."
Liselotte menawarkan dengan hormat.
Rio mengangguk sambil menunjukkan senyum ramah.
"Terima kasih. Aku menghargai tawaranmu itu."
Beberapa hal tak terduga telah terjadi begitu saja, tetapi semuanya berakhir dengan baik. Berkat apa yang terjadi, Rio bisa menjalin hubungan baik dengan Liselotte.
Sebagai catatan, menyelamatkan Liselotte dan Flora dianggap sebagai pencapaian yang sangat penting sehingga hadiah untuk Rio belum diputuskan. Meskipun begitu, Liselotte telah menjadwalkan pertemuan di masa depan dengannya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dengan kata lain, mereka berdua akan menjaga hubungan persahabatan sejak saat ini. Keduanya bertujuan sama untuk menjalin hubungan baik, tetapi mereka tidak ingin terburu-buru, jadi mereka secara perlahan membangun hubungan mereka. Detailnya agak samar, tapi begitulah cara kerjanya di antara kaum bangsawan.
"U-Umm....!"
Flora mengambil langkah maju dengan gugup, untuk memanggil Rio.
"Ya?" Rio menjawab.
"Umm. Jika kita mempunyai kesempatan bertemu lagi, aku mau kita mengobrol lebih banyak lagi. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih secara formal, jadi, aku mohon."
Kata Flora, menundukkan kepalanya kepada Rio dengan gugup.
"....Ya, aku pasti akan melakukannya."
Rio terdiam sesaat sebelum mengangguk, kemudian tersenyum.
[ Mungkinkah dia menyadari sesuatu tentangku? Atau itu hanya kepribadiannya saja? ]
{ TLN : Yang sabar bang Rio wkwkwkwk }
Rio punya kecurigaan kalau Flora bersikap aneh, seolah-olah dia ingin lebih dekat dengannya daripada yang seharusnya. Jika ada alasan mengapa Flora ingin menyelidikinya, maka yang paling wajar adalah karena dia curiga bahwa Haruto adalah Rio. Namun, yang Rio amati dari tindakan Flora sampai sekarang, dia sepertinya tidak memiliki niat buruk, dan ada juga kemungkinan kalau itu hanya sikap yang diberikan kepada Flora ketika dia berbicara dengannya.
Rio tidak pernah bergaul dengan Flora selama hari-harinya di Akademi, jadi dia tidak benar-benar tahu seperti apa kepribadian yang dimilikinya. Yang dia tahu hanyalah bahwa sang putri tidak terlihat seperti orang yang sangat ramah.
[ Lebih baik untuk mengikuti keadaan saat ini. ]
Rio tidak bisa tampak terlalu meragukannya. Akan lebih baik untuk bersikap secara alami. Bagaimanapun, Flora tidak memiliki bukti kalau dia adalah Rio.
Hiroaki, yang telah mendengarkan percakapan antara Rio dan Flora dengan seksama, mulai berbicara.
"Yah, lagi pula kami juga akan tinggal di Amande sampai keamanan kota dipastikan. Jika kau mengunjungi Mansion, kemungkinan besar kita akan bertemu lagi."
"Benar, seperti yang Hero-sama katakan. Ah, iya juga! Haruto-sama sangat pandai dalam membuat teh yang sangat enak. Beberapa hari ke depan nanti, aku akan mengadakan sebuah pesta teh untuk semuanya, apa kamu mau bergabung?"
Kata Liselotte, menambahkan.
Rio mengangguk dengan sopan.
"Aku senang kamu mengundangku, tentu aku akan hadir."
"Y-Ya, aku juga akan hadir."
Flora mengangguk dengan malu-malu.
"Baiklah, mari kita lewati tentang pesta teh ini untuk lain waktu dan selesaikan percakapan ini. Jangan terlalu lama untuk menyeretnya dan biarkan dia pergi."
Kata Hiroaki, berbicara blak-blakan.
{ TLN : Iri bilang aja sih wkwkkwkk }
"Hero-sama benar. Kita seharusnya tidak menahannya lebih lama lagi. Haruto-dono, aku harap kita bisa bertemu lagi."
Kata Duke Huguenot.
"Ya. Semuanya, mari kita bertemu lagi di lain kesempatan. Aku permisi dulu."
Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum berbalik dan berjalan pergi. Dia terus melangkah ke arah gerbang sementara Liselotte terus menatap punggungnya dari kejauhan.
[ Saatnya kembali ke penginapan dan sedikit bersantai. ]
Sekarang Rio tidak harus berinteraksi dengan lebih banyak lagi dengan para bangsawan dan dia menghela nafas lelah.
◇◇◇◇
Kembali lagi ke Hutan di sebelah barat Amande.....
Rustle, Rustle.
Alphonse samar-samar menyadari kalau dia sedang diseret ke suatu tempat saat lehernya ditarik, namun dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mencoba mengingat kembali, dia mulai ingat bahwa dia telah berpatroli di hutan di sebelah barat Amande sebagai tim pengintai.
[ Ah, sial.... ]
Bukan hanya itu. Alphonse juga teringat banyak penghinaan yang diterimanya sebelum itu. Perasaan marah yang tak terkendali mulai melanda dirinya; dia tidak bisa memaafkan begitu saja orang-orang yang telah mempermalukannya.
Namun......
Rustle, Rustle
Seseorang yang sedang menyeretnya, membuatnya tidak nyaman.
[ Siapa yang berani memperlakukanku dengan seperti ini? Ugh.... ]
Alphonse merasa sangat tidak nyaman, tapi rasa sakit yang mendalam di belakang kepalanya membuatnya mengerutkan keningnya.
[ Kepalaku sakit. ]
[ Apa ada yang mengenai kepalaku dengan sangat keras? ]
Alphonse tidak bisa mengingatnya.
"Yo, aku sudah selesai."
Suara seorang pria dengan ceria bergema.
Segera setelah itu, Alphonse merasakan sensasi melayang di udara, sebelum dia jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk dengan sangat keras.
"Ugh....."
Sepertinya dia telah dilempar ke bawah. Alphonse mengerang.
"Kerja bagus. Ada banyak dari mereka, jadi aku sudah bisa memulainya."
Suara seorang pria lain dengan nada kosong menggema.
Pada saat itu, pikiran Alphonse mulai sadar sepenuhnya, dan matanya mulai terbuka dengan samar. Ternyata dia sedang berada di tengah hutan.
[ Mereka ini..... ]
Alphonse akhirnya mulai mengingat tentang orang-orang yang berdiri di dekatnya – Lucius dan Reiss.
Reiss sedang berjongkok di tanah tampak seperti mengerjakan sesuatu dan di sebelahnya berdiri Lucius.
"Seperti biasa, mereka terlihat masih cukup menyeramkan."
Kata Lucius, melihat ke samping.
Bertentangan dengan apa yang dia katakan, wajahnya menunjukkan senyuman senang. Alphonse berpaling untuk melihat apa yang dilihat Lucius.
"Ap...."
Adegan yang dilihatnya sangat tidak nyata, tubuhnya secara refleks gemetaran. Kesadarannya memudar sedikit demi sedikit.
[ B-Bukankah itu adalah monster humanoid yang menyerang kami kemarin! Kenapa mereka memakai seragam Ksatria elit kami !? ]
Di sekelilingnya ada Revenant berkulit gelap yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Semua Revenant itu tidak memiliki struktur wajah yang jelas dan tidak mempunyai rambut.
Namun, tidak ada jejak perilaku ganas sebelumnya yang mereka tunjukkan sebelumnya, karena mereka semua sedang menatap ke atas langit dengan kekosongan.
[ Apa artinya ini!? ]
Pikiran Alphonse tidak mampu memproses apa yang baru saja dilihatnya.
"Oh, sepertinya seseorang telah bangun."
Reiss menatap Alphonse dengan senyuman yang benar-benar jahat.
"Cih....!" Tubuh Alphonse gemetaran.
"Aku sedikit menahan diri untuk orang ini. Kemari dan lihatlah."
Lucius tertawa ringan dan mengangkat kepala Alphonse untuk menunjukkan wajahnya. Tatapannya diarahkan ke tempat Reiss, dan segera setelah itu dialihkan ke tempat lain.
"Ugh.....!?"
Salah satu rekan Ksatria Alphonse yang tergeletak di sana dan dengan melihatnya membuat ekspresi Alphonse berubah. Ada yang salah dengannya.
"Ah... ah!"
Ksatria itu menggeliat di tanah saat dia mengeluarkan beberapa teriakan pelan. Reiss memegangi Ksatria itu dari atas sambil tersenyum menyeramkan.
"Astaga, apa adegan ini terlalu berlebihan untukmu? Dia baru saja mau berubah."
Pada saat itu, tubuh Ksatria itu mulai mengejang dengan hebat.
"A-Apa yang kau lakukan padanya !? Apa!?"
Alphonse bertanya dengan panik.
Salah satu Ksatria yang pernah menjadi rekannya dengan cepat berubah menjadi monster humanoid.
Semua rambutnya mulai rontok dan kulitnya mulai menghitam dan mengeras. Meskipun dia mengenakan seragam Ksatria, tidak diragukan lagi kalau dia yang sekarang adalah Revenant. Sama sekali tidak ada jejak 'bentuk' sebelumnya. Jika Alphonse tidak tahu siapa dia, maka dia tidak akan bisa mengidentifikasinya.
"Memodifikasi tubuh manusia. Sebuah transformasi jiwa dan daging. Namun, untuk merombaknya kembali ketika mereka masih sadar akan menyebabkan mereka kejang secara berlebihan, jadi lebih efektif untuk melakukan prosesnya saat mereka pingsan."
Jawab Reiss dengan nada yang agak ceria.
".....Uh, hnngh!"
Adegan itu terlalu berlebihan untuk Alphonse dan membuatnya merasa mual.
Meski begitu, Reiss mengabaikannya.
"Ah, Lucius, bisakah kamu melepas pakaiannya? Kita tidak bisa meninggalkan bukti kalau tubuh asli mereka adalah manusia."
"Tidak mau, aku tidak tertarik menelanjangi pakaian beberapa pria. Lakukan saja sendiri."
Reiss menggelengkan kepalanya.
"Sangat merepotkan...."
"Nngah..... Hah...."
Alphonse batuk-batuk dan terengah-engah.
Reiss menatapnya.
"Jadi kenapa dia masih sadar?"
"Gunakan dia sebagai uji coba terbaikmu. Aku pikir orang ini memiliki kualitas untuk itu."
Lucius menjawab sambil tersenyum.
"Tapi kalau gagal akan membuang-buang material. Selain tubuhnya, batu sihir yang aku gunakan adalah bahan yang berharga, kamu tahu? Peluang suksesnya juga sangat rendah."
"Hanya kali ini saja tidak apa, kan? Kau akan membuat yang lainnya berubah menjadi versi yang disempurnakan juga, kan? Jika kau mengumpulkan semua bagiannya, itu lebih dari cukup untuk menyerang Amande."
".....Kurasa kamu benar."
Reiss berdiri sambil menghela napas kecil.
Meninggalkan Revenant yang baru saja diciptakannya, dia berjalan mendekati Alphonse.
"Ayo mulai."
Dengan kata-kata penyemangat itu, Lucius menahan kedua tangannya Alphonse dari belakang dan membuatnya berdiri.
"L-Lepaskan aku! Jangan mendekat! Berhenti kau monster!"
Masih menatap Revenant yang sebelumnya adalah salah satu rekan timnya, Alphonse mulai berteriak sambil menggeliat. Namun, dia tidak bisa melepaskan dirinya dari kekuatan abnormal Lucius.
"Mari kita mulai."
Reiss berhenti di depan Alphonse. Pada titik tertentu, dia mengeluarkan batu sihir yang mirip permata yang menakutkan, ukurannya sama dengan kepalan tangan.
"Guh!?"
Batu itu ditusukkan ke dada Alphonse seperti menembus air dan menyebabkan dia mengerang. Namun, meski ada perasaan aneh di dadanya, tidak ada rasa sakit apapun.
"Tidak sakit, kan? Itu karena aku tidak merusak tubuh fisikmu."
Dengan tangannya di dada Alphonse, Reiss menjelaskan situasinya dengan riang.
Kemudian Reiss berbisik ke telinga Alphonse.
"Baik tubuh ataupun jiwamu akan mulai sakit dari sini."
"Guh.... Hah....."
Alphonse kejang dengan ekspresi kesakitan.
Jantungnya panas, tubuhnya panas, dan rasanya seperti dia akan meleleh kapan saja. Dia merasakan dorongan untuk memuntahkan semua yang ada di dalam dirinya, tetapi dia tidak melakukannya.
"Kurasa ini akan memakan waktu."
Kata-kata itu lebih kejam daripada kata-kata iblis yang memberikan vonis kematian.