Twilight Overture – Chapter 4 : 「Menyusup Ke Kediaman Count Claire」
Pada hari yang sama, setelah kembali ke rumah batu, Celia mengunci diri di kamarnya dan mulai menulis surat. Penerimanya, tentu saja, keluarganya.
Celia bermaksud untuk memberitahu keluarganya bahwa dia baik-baik saja, tapi tidak tahu sejauh mana dia harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
Saat dia merenungkannya, isi surat itu secara bertahap berkembang. Beberapa jam setelah dia menulis, surat itu selesai dengan jumlah konten yang dapat diterima.
Celia ingin tidur sebelum mengoreksinya, tetapi untuk saat ini, dia memutuskan untuk membacanya sekali lagi untuk memastikan tidak ada masalah.
"....Oke, selesai."
Celia menghela napas dan meletakkan penanya di atas meja. Setelah meregangkan lengannya dan berdiri dari kursi, dia menuju pintu. Ketika dia membukanya dan pergi ke ruang tamu, dia menemukan Rio dan Aishia, yang sedang duduk di sofa sambil mengobrol. Mereka berdua langsung menyadari kehadiran Celia.
"Apa kamu sudah selesai menulis suratnya, Sensei?"
Rio bertanya pada Celia.
"Yup. Setidaknya untuk sekarang. Aku ingin kamu membacanya untuk memastikan tidak ada masalah dengan isinya....."
Kata Celia dengan malu-malu.
"Tentu."
"Terima kasih banyak. Ini."
Rio menerima surat Celia dan membaca yang tertulis.
"Seperti yang diharapkan, tulisan tanganmu sangat indah, Sensei."
Kata Rio, tersenyum.
"M-Mou. Jangan lihat tulisannya.... Apa ada masalah dengan isinya?"
Celia bertanya dengan pipi memerah.
"....Dari apa yang aku lihat tidak ada. Ini adalah surat yang penuh kasih sayang."
“A-Aku mengerti. Terima kasih."
Karena malu, Celia menerima surat itu.
“Sebenarnya, Aishia dan aku sedang membicarakan tentang perjalanan kita ke wilayah Count Claire. Aku berpikir untuk tinggal di sekitar Amande untuk sementara waktu dan berangkat lusa, tapi ada tempat yang mau aku singgahi ketika perjalanan pulang.” Kata Rio.
“Aku tidak keberatan. Ke mana kamu mau pergi?"
Celia bertanya.
"Ke wilayah Marquess Rodan — Ibukota Rodania."
"Markas besar dari faksi Duke Huguenot, dan juga tempat dimana Putri Flora tinggal saat ini..... Kamu pergi kesana untuk mencari informasi tentang pahlawan yang bersama mereka, kan?"
Celia bertanya, segera menebak alasan Rio menuju Rodania.
“Aku senang kamu memahaminya dengan cepat.”
Rio menunjukkan senyum dan mengangguk.
Sehari sebelumnya, Celia telah memberitahunya bahwa ada Empat Kerajaan yang memiliki batu suci: satu di Kerajaan Beltrum, yang lain dimiliki oleh faksi Duke Huguenot, yang telah diasingkan dari Beltrum.
Selanjutnya, Kerajaan Galarc dan Kerajaan Centostella juga masing-masing memiliki batu suci. Dari keempat batu itu, hanya satu pahlawan yang sudah di identifikasi namanya yaitu pahlawan dari Kerajaan Beltrum, Rui Shigekura.
Itulah sebabnya, Rio sedang mempertimbangkan untuk mengetahui nama pahlawan dari faksi Duke Huguenot selama perjalanan mereka ke wilayah Count Claire.
"Aku yakin aku tidak perlu memberitahumu ini, tapi hati-hati, oke?"
Celia mengucapkan itu, melihat wajah Aishia dan Rio dengan malu-malu.
"Tentu. Untuk saat ini, tujuan kami adalah untuk memastikan nama pahlawan, jadi kami tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya."
Jawab Rio sambil tersenyum untuk meredakan kekhawatiran Celia.
".....Dengan kata lain, kamu akan mendekati pahlawan Rodania bahkan jika dia adalah pahlawan yang kamu cari?"
"Kalau ternyata seperti itu, aku akan mengambil keputusan berdasarkan situasi. Aku tidak tahu apa dia mau mendengarkan kata-kata penyusup, dan jika yang terburuk terjadi dan pertarungan juga terjadi, aku tidak tahu kemampuan seperti apa yang disembunyikan pahlawan itu."
Ini tidak seperti Rio akan mengunjungi seorang kenalan, jadi lebih baik dia menghindari masalah.
"Kemampuan pahlawan, ya? Kamu mungkin sudah pernah mendengarnya, tapi ada sebuah legenda.... Bahwa mereka memiliki Divine Arms of The God yang dapat mengalahkan ribuan iblis dengan satu pukulan. Atau begitulah yang legenda katakan."
Celia menjelaskan.
"....Apa pahlawan yang dipanggil di kastil Beltrum, Rui Shigekura, memiliki kekuatan seperti legenda?"
Rio bertanya, penasaran.
Pada akhirnya, legenda adalah legenda – tidak ada jaminan bahwa itu benar. Namun, para pahlawan dari legenda itu muncul satu demi satu, jadi ada kemungkinan itu benar.
"Aku tidak tahu detailnya dengan pasti, tapi dia memang mempunyai Divine Arms. Dalam kasus Rui Shigekura, Divine Armsnya berbentuk seperti senjata – tepatnya busur. Senjatanya mampu mengendalikan cahaya, atau semacamnya."
"Divine Arms berbentuk busur....."
Kata Rio dengan nada pelan.
[ Jangan bilang serangan yang dia tembakan waktu itu...... ]
Sesuatu yang familiar terlintas di kepala Rio. Ketika dia bertindak sebagai umpan agar Celia bisa melarikan diri dari ibukota, Rui melepaskan tembakan padanya dari atas sebuah menara.
"Apa ada sesuatu?"
Celia menatap wajah Rio dengan penasaran.
Rio menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Apakah benar Divine Arms memiliki kekuatan untuk menghancurkan seluruh pasukan iblis?"
Rio tidak ingin memberitahunya kalau dia telah melawan salah satu pahlawan, karena itu hanya akan membuat Celia menjadi khawatir.
"Aku tidak tahu. Bahkan jika dia bisa melepaskan tembakan dengan kekuatan sebesar itu, itu bukanlah sesuatu yang bisa digunakan dimana saja....."
"Yah, kamu benar."
Rio menerima kata-kata itu dengan senyum masam. Dalam kasus terburuk, seluruh permukaan bisa berubah.
"Ya, tapi....."
Celia mengerutkan kening, menyebabkan Rio mendesaknya untuk melanjutkan.
"Tapi?"
"Apa kamu ingat ketika aku memberitahumu bahwa aku sedang mengembangkan artefak yang dapat mengukur jumlah esensi yang tersimpan di dalam tubuh seseorang?"
Celia tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
"Tentu saja"
"Sebenarnya, aku telah sukses membuatnya belum lama ini."
Mata Rio melebar karena terkejut.
".....Selamat. Itu luar biasa.... Tidak diragukan lagi, itu adalah pencapaian bersejarah."
Pengembangan artefak sihir yang dapat mengukur jumlah esensi sihir dalam diri seseorang adalah tantangan yang belum tercapai, setidaknya sampai sekarang.
Celia menunjukkan senyum malu-malu sebelum memasang ekspresi rumit dan melanjutkan ceritanya.
"Terima kasih banyak. Sebenarnya, aku menggunakan artefak sihir itu untuk mengukur esensi sihir dari pahlawan dan teman-temannya yang dipanggil bersamanya, tapi...."
"Bagaimana dengan hasilnya?"
Rio bertanya dengan ekspresi serius.
“.....Jumlah esensi sihir yang mereka miliki tidak diketahui sehingga tidak mungkin untuk diukur. Karena itu, artefak sihir tersebut rusak. Meskipun aku mengembangkannya agar mampu mengukur hingga sepuluh kali jumlah esensi sihir yang dibutuhkan untuk menggunakan sihir pemusnahan skala besar tingkat tinggi.....”
Celia berkata dengan ekspresi yang muram.
Sihir skala besar yang Celia bicarakan telah dibuat untuk digunakan terutama selama periode perang. Jika digunakan di tempat yang ramai, kekuatannya cukup untuk merenggut nyawa ratusan orang.
Selain itu, mengesampingkan fakta kalau kompatibilitas dengan mantra itu cukup rendah, sihir itu juga menghabiskan jumlah esensi sihir yang sangat banyak, jadi bagi seseorang untuk menggunakannya mereka harus memiliki jumlah esensi yang lebih tinggi dari seorang penyihir kelas atas.
"Aku mengerti. Tidak hanya sang pahlawan, tapi teman-temannya juga...."
[ Dalam hal ini, maka ada kemungkinan bahwa Miharu dan yang lainnya juga memiliki jumlah esensi sihir yang cukup banyak juga. ]
Pikir Rio.
"Aku belum pernah melihat sihir pemusnahan skala besar sebelumnya. Bisakah kamu menggunakannya dengan jumlah esensimu, Sensei?"
Rio bertanya tentang jumlah esensi sihir Celia untuk mendapatkan gambaran tentang banyaknya esensi yang dimiliki oleh seorang penyihir jenius seperti dia.
"Tanpa ramuan pemulih esensi, aku hanya bisa menggunakannya paling banyak dua kali. Asal tahu saja, aku adalah penyihir dengan esensi sihir paling banyak di Kerajaan Beltrum, oke?"
Celia menghela napas, menjawab dengan senyum pahit.
"Bahkan meski itu kamu, batasnya dua kali...."
Rio meletakkan tangannya ke dagunya dan mulai merenung.
"Esensi sihir Haruto tidak terbatas."
Aishia berkata dengan pelan.
".....Betulkah?"
Mata Celia melebar karena terkejut.
"Kurasa tidak..... Sebenarnya aku juga ingin tahu? Aku telah diberitahu kalau aku memiliki banyak, tetapi aku tidak pernah mengukurnya dengan benar."
Rio menggaruk kepalanya dengan ekspresi yang rumit.
"Jumlahnya tidak terbatas, jadi tidak ada batasan. Jika esensi sihir Celia bagaikan seember air, maka esensi sihir Haruto akan menjadi danau besar tanpa akhir yang tidak pernah bisa mengering. Miharu, Aki dan Masato punya banyak juga, tapi tidak bisa dibandingkan dengan Haruto."
Kata Aishia, menggunakan metafora untuk menjelaskan jumlah esensi yang Haruto miliki.
"A-Ahaha.... Itu luar biasa."
Senyum Celia berkedut sedikit.
Jika itu benar, maka tidak masuk akal untuk membandingkan dirinya dengan Rio. Pernyataan itu agak sulit untuk dipercaya, tetapi meskipun telah hidup bersama untuk waktu yang singkat, Celia tahu bahwa Aishia bukanlah tipe orang yang berbohong tanpa alasan yang apapun.
"....Eh? Tunggu sebentar. Mengapa kamu tahu berapa banyak esensi sihir yang Haruto miliki?"
Menatap ke arah Aishia, Celia mengajukan pertanyaan.
"Roh dapat mengetahui seberapa banyak esensi sihir yang dimiliki seseorang dengan menyelam ke dalam tubuhnya. Haruto dan aku terhubung oleh jalur roh, jadi aku bisa membaca jumlah esensi sihirnya lebih akurat daripada aku memeriksa orang lain. Meskipun begitu, aku tidak dapat melihat batasnya."
".....Apa itu berarti kamu tidak dapat mengukur jumlah esensi sihirnya secara akurat?"
Celia bertanya takut-takut.
Aishia mengangguk singkat.
"Ya"
"Ahaha. Daripada berbicara tentang esensi sihirku, mari kita bicara tentang pahlawan Rodania. Dan juga surat yang ingin kamu kirimkan untuk keluargamu, Sensei."
Rio menunjukkan senyum masam dan kembali ke topik utama.
"Kamu benar."
Celia mengangguk dengan ekspresi lelah.
"Aku punya ide terkait surat ini. Ada jalan rahasia yang menghubungkan bagian belakang perkebunan dengan bagian kediaman utama. Jika kita menggunakannya, harusnya kita dapat mengirimkan suratnya dan kembali dengan tanpa masalah."
"Aku mengerti. Sepertinya kita membutuhkanmu untuk menunjukkan jalannya, Sensei."
Rio memandang Celia, memintanya.
"Yup, serahkan padaku."
Celia menyetujui dengan bangga.
"Jadi yang tersisa sekarang adalah masalah bagaimana kita menyelinap ke Rodania.... Bisakah kamu menunggu di tempat yang aman selama aku di sana, Sensei?"
Rio bertanya.
"Baik. Jika sesuatu yang buruk terjadi, aku hanya akan menghalangi. Kalau saja aku menguasai teknik membela diri...."
Tidak peduli seberapa banyak mantra sihir yang bisa dia kuasai, Celia tidak pernah dilatih untuk bertarung.
Tidak ada jaminan bahwa dia akan bisa menggunakan sihir serangan selama pertempuran dan dia juga tidak berdaya dalam pertempuran jarak dekat. Jika seseorang menyerangnya dari jarak dekat, Celia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk membela diri.
Rio merenung sejenak.
"Apa kamu ingin aku mengajarimu teknik bela diri? Tentu saja, Aishia dan aku akan melindungi, tapi mungkin akan berguna saat kita berada di luar."
Rio menyarankan.
"....Kamu benar. Selalu berdiam diri juga tidak terlalu bagus. Bisakah kamu mengajariku?"
Celia lebih suka tinggal di rumah, tetapi memutuskan untuk menerima tawaran Rio.
"Lalu begitu kita kembali dari wilayah Count Claire, kita bisa memulai pelajaran tentang spirit art dan pertahanan diri."
Celia mengangguk.
"Baik. Kamu juga berjanji untuk mengajariku memasak. Sepertinya peran kita telah sepenuhnya terbalik.... Sebelumnya, aku adalah seorang guru, fufu."
Kata Celia, tertawa ringan.
"Aku masih melihatmu sebagai Sensei-ku, bahkan sampai saat ini."
Kata Rio, tersenyum ceria.
◇◇◇◇
Dua hari kemudian, setelah makan siang....
Dengan menggendong Celia di pelukannya, Rio terbang bersama Aishia untuk mengunjungi ibukota wilayah Count Claire, Cleia.
Kota Cleia terletak di sebelah timur Kerajaan Beltrum, dimana jalan utama menuju Kerajaan tetangga, Galarc, terbentang. Ini adalah kunjungan pertama Rio.
Kota ini memiliki penduduk sekitar 30.000 jiwa dan berfungsi sebagai titik perdagangan penting antara wilayah timur dan wilayah barat Beltrum.
Berpegangan tangan dengan kedua gadis itu, Rio memasuki kota dari gerbang timur.
"Karena kita akan menyusup malam ini, bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat sebelum itu?"
Rio bertanya kepada Celia, yang berjalan di sebelah kanannya.
[ Cleia adalah tempat kelahiran Celia, mungkin saja dia mau mengunjungi beberapa tempat yang dia ingat. ]
Pikir Rio, tetapi Celia menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa, aku baik-baik saja seperti ini. Mungkin ada orang yang mengenaliku nanti, jadi melihat kota dengan cara ini sudah cukup."
Kata Celia.
Jubah tudungnya menutupi wajahnya, jadi sulit untuk mengatakan ekspresi seperti apa yang dia tunjukkan.
Meski begitu, Rio merasakan sesuatu yang sedih dalam kata-katanya.
"Ayo pergi, kalau begitu. Aku lapar, jadi kita harus makan sesuatu yang enak."
Dari sisi berlawanan, Aishia membuat saran itu sambil menarik-narik lengan Rio, Dia mungkin mencoba menghibur Celia dengan caranya sendiri.
"....Ide bagus. Bagaimana menurutmu, Sensei? Kalau ada makanan khas lokal, kita bisa mencobanya."
Rio tersenyum tipis, dengan lembut menarik tangan Celia.
"Ah, tunggu! Tunggu sebentar, kalian berdua."
Meskipun secara lisan keberatan, Celia tersenyum dan tidak melakukan perlawanan apa pun.
Dengan demikian, waktu berlalu dalam sekejap mata. Sambil berjalan-jalan dan mencicipi berbagai macam makanan, kota itu perlahan diliputi matahari terbenam.
Saat ini, mereka bertiga sedang minum teh di Cafe yang cukup trendi. Dari lantai dua gedung, saat mereka melihat orang-orang berjalan melalui kota ketika matahari terbenam, mereka menikmati makanan penutup yang mereka pesan sebelumnya.
"Aku mungkin terlalu banyak makan."
Kata Rio dengan senyum masam, memegangi perutnya.
“Y-Ya. Rasanya enak, tapi muffin ini mungkin terlalu banyak. Tidak mungkin aku bisa makan malam setelah semua yang aku makan ini. Ugh, aku harus diet....”
Celia setuju, memegangi kepalanya dengan ekspresi bersalah.
{ TLN : Muffin itu kue mangkok, cek sendiri kalau penasaran }
"Itu bagus." Kata Aishia.
Sebagai roh, dia bisa mengubah makanan yang dia makan menjadi esensi sihir, jadi dia bisa makan apapun yang dia inginkan tanpa menambah berat badan sama sekali.
“Tubuh seperti apa yang dimiliki oleh roh? Aku sangat cemburu....”
Melihat Aishia, Celia cemberut.
"Perwujudan fisik dari keberadaan spiritual adalah kemampuan yang hanya dimiliki oleh roh. Aku tidak tahu apakah aku memiliki organ yang sama dengan yang dimiliki manusia, tetapi bentuk tubuh dan kemampuan fisikku seharusnya tidak terlalu berbeda."
Kata Aishia, memberikan jawaban agak serius secara tak terduga.
Celia terkejut.
"H-Heh..... Yang benar....."
"Spirit art bekerja seperti ini: Semakin banyak mereka menimbulkan fenomena yang bertentangan dengan hukum alam, semakin besar esensi sihir yang dikonsumsi. Aku pikir mengambil sifat fisik dari suatu bentuk adalah cara yang paling alami dari perwujudan."
Rio menjelaskan, menambahkan asumsi sendiri.
"Itu masuk akal. Bahkan dalam ilmu sihir, fenomena yang bertentangan dengan hukum alam akan sangat mempengaruhi konsumsi esensi sihir...."
Kata Celia, ketika dia mulai membenamkan dirinya di dunianya sendiri.
Menyadari bahwa Celia akan tetap seperti ini untuk sementara waktu, Rio menunjukkan senyum masam.
"Sudah hampir gelap." Kata Aishia.
Rio berpikir sejenak.
"....Mari kita menunggu sedikit lebih lama. Masih ada banyak orang di jalanan, paling tidak tunggu sampai perutku stabil."
Rio tertawa ringan, memutuskan untuk memperpanjang waktu istirahat mereka.
◇◇◇◇
Hampir satu jam berlalu sejak mereka meninggalkan Cafe. Selain jalan utama, jalan-jalan benar-benar kosong dari orang-orang ketika Rio dan para gadis berjalan menuju perkebunan Mansion Claire.
Mansion itu berada di puncak sebuah bukit kecil, bagian dalamnya diterangi obor dan ada beberapa tentara yang berpatroli di daerah itu.
Jika seorang pemula akan mudah ditemukan oleh langkah-langkah keamanan tapi Rio dan Aishia menyamarkan diri mereka dalam kegelapan saat mereka terbang ke udara, mendarat di sudut Mansion tanpa ketahuan oleh siapa pun.
“Apa menurutmu kita bisa sampai ke jalan rahasia tanpa ada yang menyadarinya? Jika tidak, kita bisa mencoba menyusup dari atap....”
Rio berbisik, menurunkan Celia dari pelukannya saat dia melihat sekeliling mansion dari beberapa semak.
"Tidak masalah – pintu masuknya terletak di tempat yang sulit dikenali."
"Baiklah. Kalau begitu, tolong pandu kami."
"Oke. Ikuti aku."
Celia mengangguk, membungkuk rendah saat dia mulai bergerak. Rio dan Aishia tetap di belakang, waspada akan kehadiran tentara yang sedang berpatroli di tempat itu.
Sekitar satu menit kemudian, mereka berhenti bergerak.
“Air mancur di sana. Tanah di belakang perkebunan adalah pintu masuk ke jalan rahasia.”
Kata Celia, menunjuk ke air mancur di pinggiran taman.
"Aku mengerti. Sepertinya tidak ada penjaga di sekitar, tapi untuk berjaga-jaga.... Bolehkah aku memelukmu sebentar?"
Rio bertanya, mengintip ke taman dari bayang-bayang.
"Eh....?"
Celia membeku dengan ekspresi tidak percaya.
“Ada kemungkinan mereka akan mengetahui keberadaan kita saat kita menuju air mancur, jadi aku ingin menyembunyikan diri kita dengan spirit art untuk jaga-jaga.” Rio menjelaskan.
“A-Ah, jadi itu maksdumu. Sama seperti spirit art yang Aishia gunakan ketika kami melarikan diri dari ibukota, kan? Tentu, silahkan.”
Kata Celia dalam pemahaman.
Sepertinya Celia sudah mengerti spirit art yang mau digunakan Rio. Aishia sudah pernah menggunakan pada dia sebelumnya ketika Rio bertindak sebagai umpan.
"Kalau kamu tidak masalah, permisi."
Kata Rio sambil mengangkat Celia ke dalam pelukannya.
Kemudian, Rio berbalik ke arah Aishia.
"Ayo, Aishia."
"Oke. Aku akan menggunakan spirit art itu."
"Terima kasih, Aishia."
"Tidak masalah."
Kata Aishia, mengaktifkan spirit art untuk menghilangkan sosok mereka.
Segera setelah itu, angin sejuk melewati tempat itu, menyelimuti Rio sepenuhnya.
"Ayo pergi." Kata Rio berjalan maju.
Aishia mengikutinya dengan langkah hati-hati.
"....Nee, Rio. Kamu bisa melihat sekeliling, kan?"
Masih dalam pelukan Rio, Celia bertanya.
Celia sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarnya – Seolah-olah ada kabut tebal menutupi udara.
"Iya. Kalau kamu melatih memvisualisasikan esensi sihir, kamu juga akan bisa melihatnya, Sensei."
Rio menjelaskan.
Spirit Art yang Aishia gunakan adalah ilusi tembus pandang yang menggunakan sihir angin, menyebarkan esensinya di udara. Spirit Art itu menciptakan ruang terisolasi yang menyebabkan orang-orang di dalamnya menjadi transparan.
Tidak seperti wujud berubah ke dalam wujud roh, tubuh fisik ketiganya tetap ada, jadi ada kemungkinan mereka akan bisa ditemukan oleh hal-hal seperti suara atau kehadiran. Selain itu, gangguan dan kontak dari luar dapat dengan mudah merusak ruang terisolasi tersebut, sehingga mereka tidak dapat melakukan gerakan yang kuat seperti berlari maupun melompat.
Bagaimanapun juga, orang-orang yang bisa melihat esensi sihir juga bisa melihat ke dalam ruang terisolasi ini, sementara orang-orang dengan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi esensi sihir juga bisa merasakan distorsi di ruang terisolasi tersebut sehingga ada batas penggunaannya.
Meski begitu, hanya ada sedikit orang yang bisa melihat atau mendeteksi esensi sihir di wilayah Strahl, jadi itu adalah kemampuan yang cukup langka.
Dengan demikian, mereka bertiga menyamarkan diri dengan lingkungan dan menuju ke air mancur.
“Aishia, tetesan air akan membuat ruang bergetar. Kamu dapat membatalkannya sekarang.” Kata Rio.
"Oke."
Setelah Aishia membatalkan spirit art-nya, penglihatan Celia kembali normal.
"Aku akan berjaga di sini untuk melihat sekeliling. Aku serahkan membuka pintu masuknya kepadamu, Sensei."
Diminta oleh Rio, Celia segera mulai mencari-cari di lantai.
"Serahkan padaku. Seharusnya di sekitar sini...."
Kemudian, setelah beberapa saat, Celia menemukan pintu masuk ke jalan rahasia.
"Ini dia!"
Celia menggerakkan tangannya dan menekan ubin batu ke tanah, menggeraknya ke samping seperti pintu geser. Namun, dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menggerak pintu masuk ubin batu tersebut.
"Biarkan aku membantu. Aku hanya perlu menggesernya kan?"
Rio bertanya, menawarkan untuk membantunya.
"Ya terima kasih...."
Begitu Celia mengangguk, Rio menggeser ubin batu ke samping, memperlihatkan tangga tersembunyi di baliknya.
"Aku akan menutupnya."
Kata Rio ketika mereka turun ke bawah.
"Ya, silahkan. Aku akan menerangi tempat ini...."
Setelah Rio menutup pintu masuk, Celia menyalakan artefak sihir di lorong bawah tanah untuk menerangi tempat itu.
"Ayo pergi."
"Baik."
Mereka berjalan menyusuri lorong; di ujung lorong yang panjang dan sempit itu, ada ruang yang sangat luas dan terbuka. Mungkin ruangan itu berada tepat bawah atau sangat dekat dengan Mansion.
"Aku akan menyalakan lentera."
Kata Celia, menyalakan artefak sihir di ruangan itu.
Lampu di langit-langit segera menyala, menerangi ruangan. Di arah yang berlawanan dari koridor yang dilalui mereka ada tangga yang menuju ke lantai atas; dilapisi dengan beberapa pintu di kedua sisinya.
“Ini cukup luas.”
Kata Rio, melihat sekeliling ruangan dengan ekspresi penasaran.
“Tidak ada orang lain selain keluargaku yang datang ke sini, jadi jangan khawatir. Pintu-Pintu di kiri dan kanan mengarah ke dapur, kamar tidur, dan ruang tamu darurat. Tangga di depan kita mengarah langsung ke dalam Mansion, atau lebih tepatnya ke kamar orang tuaku.”
Kata Celia, menjelaskan struktur ruang bawah tanah ke Rio.
"Aku mengerti. Lalu haruskah aku meninggalkan suratnya di kamar orang tuamu? Kalau mereka ada di sana, kamu juga bisa bertemu dengan mereka....."
Tanya Rio, memperhatikan ekspresi Celia.
"Tidak, jangan lakukan. Mereka berdua seharusnya sedang berada di ibukota sekarang. Ibuku cukup sering membersihkan tempat ini, jadi kamu bisa tinggalkan suratnya di sini. Selain itu, terkadang para pelayan pergi ke kamar mereka."
Celia menggelengkan kepalanya dan mengambil surat itu dari saku jubahnya.
"....Aku mengerti."
Rio hendak menyarankan agar mereka menunggu sampai orang tuanya kembali, tetapi pada akhirnya dia memutuskan untuk menelan kata-katanya dan setuju.
Kemungkinan besar Celia belum sepenuhnya mengatur perasaannya.
"Terima kasih banyak, Rio."
Celia menunjukkan sedikit senyum.
"Tidak masalah. Ayo kita temui mereka lain waktu."
[ Kami pasti akan kembali. ]
Rio bersumpah pada dirinya sendiri saat dia menatap Celia sambil tersenyum.