◇◇◇◇
Kedua gadis itu terus mengobrol sebentar. Kemudian Celia dan Aishia meninggalkan kamar mandi dan kembali ke ruang tamu.
“Rio, itu pemandian yang luar biasa. Terima kasih banyak. Tunggu..... Bau harum apa ini?”
Celia memanggil Rio, yang baru saja ada berada ruang makan, ketika tiba-tiba tercium aroma enak yang menggelitik hidungnya.
“Aku membuat makan malam saat kalian berdua sedang mandi. Kalian pasti sudah lapar, kan?” Rio bertanya.
"Yup, aku kelaparan!"
Celia mengangguk dengan penuh semangat. Perutnya keroncongan dengan bunyi keras.
"Sepertinya memang begitu."
Kata Rio tertawa ringan.
“I-Ini bukan seperti yang kamu pikirkan! Tunggu, memang benar aku lapar, tapi aku belum makan apa-apa sejak pagi ini, tahu!?”
Celia mencoba membela dirinya dengan panik, wajahnya benar-benar memerah.
"Aku tahu. Aku baru saja menyelesaikan hidangan terakhir, jadi ayo makan. Kamu bisa duduk dulu."
Setelah mengatakan itu, Rio menuju ke dapur.
"Uuh....!"
Celia semakin tersipu, memukul perutnya beberapa kali.
“Ayo pergi, Celia. Lewat sini.”
Aishia memanggilnya.
"O-Oke."
Celia mengangguk malu-malu, berlari mengikuti Aishia.
"Uwah, kelihatannya enak...."
Mata Celia melebar.
Ada nasi putih yang baru dimasak di meja ruang makan, bersama dengan berbagai hidangan barat seperti roti, semur daging sapi, kubis gulung isi tomat, terrine, dan salad.
{ TLN : Terrine merupakan hidangan daging khas Perancis yang disajikan dengan variasi lapisan berupa daging, sayuran atau ikan, yang pernah nonton Shokugeki no Souma pasti pernahlah lihat Megumi masak Terrine Sayuran. }
“Aku menyiapkannya menggunakan bahan-bahan yang tersisa. Aku juga membuat beberapa hamburger.”
Rio mendekati ruang makan dengan sepiring hamburger.
"Ini semua terlihat enak....." Celia menelan air liurnya.
Setelah mereka mengambil tempat duduk dan selesai bersiap, Aishia menggenggam kedua tangannya sambil mengucapkan 'Itadakimasu'.
"I-ta-da-ki-ma-su?"
Mendengar kata yang tidak dikenal itu, Celia memiringkan kepalanya ke samping dengan ekspresi penasaran.
“Itu adalah kata dari dunia lain yang diucapkan sebelum makan. Seperti ucapan terima kasih kepada yang memasak dan untuk makanannya.” Rio menjelaskan.
"Aku mengerti. Lalu, itadakimasu. Terima kasih, Rio."
Celia meniru tindakan Aishia.
"Sama-sama. Sekarang giliranku. Itadakimasu."
Setelah Rio mengatakan hal yang sama, mereka bertiga akhirnya mulai makan.
Celia dengan hati-hati mengarahkan alat makannya untuk memotong sepotong terrine dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dengan cepat, senyuman muncul di wajahnya.
"Aku mau mencoba terrine ini dulu..... Wow, enak sekali!"
"Aku senang kalau kamu menyukainya."
Sebagai seorang bangsawan, Celia jauh lebih mengetahui tentang hidangan gourmet daripada kebanyakan orang; mendapat pujian dari seseorang seperti dia adalah sesuatu yang bisa dibanggakan.
{ TLN : Gourmet itu makanan kelas tinggi/makanan yang berkualitas baik dari rasa maupun penyajian }
“Kurasa sekarang giliran mencoba kubisnya..... Kaldunya diwarnai sedikit merah. Rasanya seperti apa ya kira-kira? Tunggu.... Uwah, teksturnya lembut sekali!”
Celia dengan lembut menekan permukaannya dengan pisaunya, menyebabkan kubisnya mudah pecah.
“Aku menggunakan bahan yang tidak tersedia di wilayah Strahl yang disebut tomat. Tolong beri tahu aku tentang rasanya.”
"Tomat? Baik. Kalau begitu.... Ah, ada daging dan keju di dalamnya juga! Aku tahu akan enak hanya dengan melihatnya. Mou....!"
Atas permintaan dari Rio, Celia menggerakan alat makannya, lalu mulai memasukan sepotong kecil kubis gulung ke dalam mulutnya.
"Apa itu cukup enak?"
Rio bertanya ketika dia mengamati ekspresi Celia sambil tersenyum.
“Yup, enak sekali! Sangat pas!”
Celia mengangguk dengan penuh semangat seolah dia adalah anjing yang mencari perhatian.
"Terima kasih banyak. Cobalah sup dan burgernya juga. Itu sanga cocok dengan roti atau dengan makanan putih dari sana."
"Heh, benda putih apa itu?"
“Itu disebut 'nasi', makanan yang cukup umum di wilayah Yagumo. Biji-bijian serupa juga dapat ditanam di area tertentu di wilayah Strahl.....” Rio menjelaskan.
"Hmm. Aku belum pernah melihat gandum disajikan seperti ini sebelumnya. Yah, terserah deh. Aku akan coba sedikit dulu....."
Celia menaruh sedikit nasi di atas piringnya.
“Nasi tidak memiliki rasa tertentu, jadi kamu bisa memakannya bersama hidangan lauk lainnya.”
Rio mengajarinya.
"Baik. Lalu, dengan burger ini..... Aah, enak, ini sangat enak. Ya, benar sekali..... "
Setelah tersenyum lebar karena rasa burgernya, Celia mengikutinya dengan nasi. Dia mengunyah sebentar untuk memeriksa rasanya. Meskipun ini adalah pertama kalinya dia makan sesuatu seperti itu, sepertinya dia menyukainya.
"Masih ada banyak, jadi makanlah sampai kenyang."
"Terima kasih. Tapi dengan makanan yang begitu enak seperti ini, aku jadi mau menikmatinya dengan alkohol."
“Aku juga alkohol berkualitas tinggi. Dissolvo."
Rio menanggapi permintaan Celia dan segera menggunakan gelang penyimpanan ruang waktu miliknya. Sebotol alkohol tiba-tiba muncul di atas meja.
"Sepertinya kamu punya segalanya...."
Celia tertawa dengan senyum sedikit lelah.
Rio menuangkan alkohol ke dalam tiga gelas dan menyerahkannya kepada Celia dan Aishia.
"Kalau begitu, Kanpai"
"Kanpai!"
Saat Rio mulai bersulang, Celia dan Aishia mengangkat gelas mereka sambil mengulangi kata-kata yang sama. Celia menikmati aroma minuman itu dengan nikmat sebelum membawa ke bibirnya. Matanya melebar takjub.
"!?"
Saat Celia menatap isi gelasnya, ekspresinya seketika berubah.
"D-Di mana kamu mendapatkan ini !?"
Sedikit terkejut, Celia bertanya.
"Aku mendapatkannya selama perjalananku."
Lebih tepatnya, itu adalah sake dari desa Seirei no Tami.
"Artinya di wilayah Strahl...."
"Bukan dari sana."
"B-Begitu ya....."
Mendengar jawaban Rio, Celia menundukkan kepalanya karena kecewa.
"Apa rasanya sesuai?"
"Ini tidak hanya sesuai. Dari semua alkohol yang aku pernah coba, alkohol darimu adalah yang terbaik yang pernah aku rasakan! Sebotol alkohol ini pasti sangat mahal, aku yakin itu."
Kata Celia, mengutarakan pendapatnya dengan penuh semangat.
Sebagai seorang bangsawan, dia pasti telah mencoba berbagai alkohol berkualitas tinggi, jadi pendapatnya cukup bisa diandalkan.
"Aku mengerti. Yah, belum ada rencana untuk menjualnya saat ini. Satu-satunya yang bisa meminumnya di wilayah Strahl hanya kita seorang."
Kata Rio dengan bangga.
".....benar-benar boros."
Celia bergumam pelan saat senyumnya berkedut.
Dengan sabun cari yang ada sebelumnya, artefak sihir di kamar mandi, dan semua hal lain yang telah membuatnya terkejut, pemikiran Celia tentang kenyataan mulai runtuh di sekitarnya.
Mereka memiliki banyak pengetahuan dan teknologi yang bisa menghasilkan kekayaan luar biasa untuk diri mereka sendiri, jadi gadis itu mulai mengalami perasaan yang tak terlukiskan di dalam dirinya.
Mengesampingkan hal itu, waktu makan mereka berlalu dengan harmonis dan makanan di atas meja habis dalam sekejap mata.
"Gouchisousamadeshita."
Rio dan Aishia menyatukan tangan, mengucapkan terima kasih terakhir mereka.
"Gouchisousamedeshita."
Celia meniru keduanya dengan pengucapan yang canggung.
"Ini, minumlah teh untuk membantu pencernaan kalian."
Rio menuangkan teh yang telah dipanaskan sebelumnya ke dalam cangkir dan memberikannya kepada Celia dan Aishia.
"Terima kasih. Teh ini dibuat dengan daun teh yang berkualitas baik."
Hidung Celia sedikit berkedut saat dia mencium aroma teh sebelum dia tersenyum puas.
“Aku membuatnya dengan cara yang sama. Kamu bebas minum semua teh yang kamu inginkan di rumah ini. Aku ada banyak daun teh yang tersedia disini.”
Kata Rio sambil tertawa.
"Jujur deh, semakin lama aku tinggal di rumah ini, semakin naluri kenyataan terbang keluar dari jendela."
Sambil menghela nafas lelah, Celia menunjukkan senyum masam.
“Ngomong-ngomong, aku berpikir besok, kita harus belanja kebutuhan sehari-hari yang kamu butuhkan. Apa ada hal lain yang ingin kamu lakukan, Sensei?”
Celia mengerutkan kening dan ragu-ragu sejenak sebelum membuka mulutnya dengan malu-malu.
“.....Umm. Aku ingin memberitahu ayahku kalau aku baik-baik saja. Apa boleh?”
"Tentu, aku tidak masalah." Rio langsung setuju.
"....Apa itu tidak apa-apa?"
Karena terkejut, Celia membuka lebar matanya.
"Iya. Menilai dari reaksimu, cukup jelas bahwa kamu merasa khawatir. Aku seharusnya lebih mempertimbangkannya dari awal. Aku minta maaf atas kurangnya pertimbanganku....."
Kata Rio dengan ekspresi malu.
“T-Tidak, itu bukan salahmu! Akulah yang harus meminta maaf. Aku hanya menyebabkan masalah untukmu.”
Celia mengerutkan kening dengan perasaan bersalah.
“Kau tidak membuat masalah apapun, Sensei. Aku sudah bilang sebelum kita pergi, ingat? Aku akan melakukan yang terbaik untuk membuat semuanya kembali seperti sebelumnya.”
Rio menggelengkan kepalanya dengan ramah dan tersenyum.
Celia meneteskan air mata.
"Y-Ya. Terima kasih terima kasih banyak. Aku berharap akan ada cara yang baik untuk memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, karena aku tidak bisa bertemu dengannya secara langsung, tapi aku tidak bisa memikirkan apa pun, jadi sulit untuk membahasnya..... Maaf telah memaksakan ini padamu. Ini bukan salahmu."
Kata Celia sedih.
“....Jadi kenapa kamu tidak menulis surat untuknya? Kita bisa melakukannya setelah selesai berbelanja besok.”
Saran Rio dengan suara lembut.
"Sebuah surat?"
Celia berkedip berulang kali, matanya melebar.
“Aku secara pribadi akan mengirimkannya ke rumahmu. Seperti saat aku menyusup ke dalam kastil.”
Kata Rio, menunjukkan senyuman nakal.
Celia menatapnya dengan ekspresi terkejut tetapi dengan cepat memahami kata-katanya.
"Ah, begitu.... L-Lalu, bolehkah aku ikut juga !?"
Rio mengangguk dengan mudah.
"Ya, tentu saja!"
◇◇◇◇
Setelah Rio selesai mandi, tibalah waktunya untuk tidur. Begitu mereka memutuskan kamar Celia, yang harus mereka lakukan hanyalah pergi tidur sekarang.
"Selamat malam."
"Iya. Selamat malam, Sensei."
Keduanya mengucapkan selamat malam dan meninggalkan ruang tamu. Celia menatap punggung Rio dengan senyum ceria, dan dengan cepat berbalik untuk pergi ke kamarnya sendiri.
"T-Tunggu! Tunggu sebentar! Berhenti di sana!"
Rio dan Aishia hendak memasuki ruangan yang sama seolah-olah itu adalah sesuatu yang wajar, jadi Celia mengangkat suaranya dengan panik.
Rio dan Aishia membeku di tengah jalan, berbalik ke arahnya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?"
“J-Jangan berkata seakan itu biasa. Mengapa kalian berdua memasuki ruangan yang sama begitu saja? A-Apa yang ingin kalian lakukan— maksudku, kalian mau tidur, kan?”
Celia bertanya dengan suara bernada tinggi.
"Eh? Benar.... Ah, maaf. Itu yang selalu kami lakukan."
Sambil menggaruk kepalanya, Rio menatap Aishia dengan senyuman yang canggung. Sudah menjadi hal yang alami bagi Aishia untuk selalu berada di sisinya; gadis yang dimaksud memiringkan kepalanya dengan ekspresi penasaran.
"S-Selalu!? Kalian selalu tidur bersama !?"
Mata Celia melebar karena kaget.
"B-Bukan begitu. Tolong tenang dulu, Sensei. Kami tidak melakukan sesuatu yang aneh."
Kata Rio dengan ragu-ragu, mencoba menenangkan Celia.
Aishia hanya tidur bersamanya dengan syarat dia berada dalam wujud rohnya, tapi situasinya tidak memungkinkan untuk Rio menjelaskan situasinya.
"S-Sesuatu yang aneh..... T-Tapi, kalian tidur di kamar yang sama.... Kan?"
Celia bertanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar dan tidak mampu menatap mata Rio dan Aishia secara langsung. Tampaknya dia membayangkan sesuatu yang aneh, ketika wajahnya mulai memerah.
"Kami memang tidur di kamar yang sama, tapi tidak mungkin sesuatu yang fisik terjadi di antara kami karena, Aishia tidur dalam wujud rohnya."
"Wujud.... Roh....."
Mendengar penjelasan Rio, Celia tidak melakukan apa pun selain berkedip berulang kali.
“Roh seperti Aishia menggunakan esensi sihir sebagai sumber energi. Dengan kontrak roh, mereka dapat memulihkan esensi yang hilang melalui ikatan kontrak mereka. Semakin dekat mereka dengan kontraktor, semakin efisien prosesnya..... Benar kan, Aishia?”
"Yup, itu benar, tapi berada di dekat Haruto membuatku rileks."
Dengan wajah tanpa ekspresi, Aishia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya dan menempel erat dengan Rio. Menghadapi ungkapan yang bisa dengan mudah disalahpahami, Rio membeku.
Celia berhenti tiba-tiba dan menjadi kaku sepenuhnya.
"....H-Heeh, begitu.... S-Sepertinya kalian sangat dekat."
Kata Celia, nadanya jelas-jelas kesal.
Khawatir tentang Celia, Rio buru-buru memanggilnya.
"S-Sensei."
"Y-Ya?"
Celia berpura-pura menjadi tenang sekali lagi saat dia memiringkan kepalanya ke samping dengan tidak nyaman.
"Umm, bagaimana aku harus menjelaskannya padamu...."
Rio menggaruk kepalanya dengan ekspresi khawatir.
"Apa kamu ingin tidur bersama kami?"
Aishia tiba-tiba menyarankan.
"E-Eeh?"
Mata Rio melebar karena terkejut.
“Celia bisa tidur bersama kita. Jadi aku bisa tidur dalam wujud fisikku juga. Aku tidak berpikir akan masalah.”
"Tidak, tidak, tidak...."
Kata Rio. Dia merasa ada yang salah dalam tanggapan Aishia.
"Kamu tidak mau, Haruto?"
"Bukan itu masalahnya....."
Rio memandang Celia dengan ekspresi yang hampir putus asa.
Celia membeku dengan wajah benar-benar merah. Menyadari tatapan Rio, gadis itu kembali tenang dan mulai berteriak.
".....Apa yang kamu katakan, Aishia!?"
"Kita mandi bersama." Kata Aishia sederhana.
"Ehh.... Apa yang kamu bicarakan?"
Tidak dapat memahami arti dari pernyataannya, Celia menunjukkan ekspresi ragu.
“Saat tidur siang tadi, Celia bilang sebelum tidur kita lebih baik mandi dulu. Karena kita sudah mandi, itu artinya kita bertiga bisa tidur bersama, kan?”
Menatap wajah Celia, Aishia menjelaskan.
"T-Tidak! Bukan itu yang aku maksud saat aku mengatakannya!"
Memahami apa maksud Aishia, Celia menggelengkan kepalanya dengan panik.
Aishia memiringkan kepalanya ke samping dengan rasa ingin tahu.
"Jadi, apa maksudmu....?"
"E-Emm.... Bukan itu yang aku maksud. Paham, Rio!?"
Celia tidak bisa berkata-kata dan berbalik ke arah Rio untuk meminta bantuan.
"Ah, ahaha.... Aku mengerti."
Rio setuju dengan tertawa canggung.
".....Dengan kata lain, Celia tidak ingin tidur bersama?"
Melihat reaksi Rio dan Celia, Aishia sampai pada kesimpulannya sendiri.
"Uhh...." Celia tidak mau menjawab.
"Umm, kurasa begitu?"
Rio memiringkan kepalanya ke samping menunjukkan kebingungan yang jelas.
Jelas sekali bahwa topik utama telah hilang di tengah jalan, tetapi Rio memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
“Kalau begitu, ayo tidur. Aku sudah mengantuk....”
Dengan menguap kecil, Aishia menarik lengan Rio.
"T-Tunggu, Aishia!?"
Rio mencoba menghentikan Aishia, melirik Celia dari samping.
Setelah beberapa saat konflik dengan dirinya sendiri, Celia mengambil keputusan.
"....M-Mou! Aku mengerti, baiklah kalau itu maumu!"
Mereka berdua berhenti dan menatap Celia.
"Umm.... Apa yang kamu mengerti?"
Rio bertanya dengan takut-takut.
“A-Aku akan tidur bersama kalian. A-Aku tidak bisa mengabaikan kalian berdua tidur bersama. Aku harus memastikan apa itu masalah atau tidak!”
Celia menyatakan kata-kata itu dengan nada malu.
"E-Eeh!?"
Rio mengeluarkan suara histeris.
Rio tidak akan pernah membayangkan kalau Celia akan mengatakan sesuatu seperti itu.
"A-Apa? Aishia bisa tidur denganmu lalu kenapa aku tidak boleh?"
Celia menatapnya dengan mata mencela.
“B-Bukan itu masalahnya di sini. Aishia tidur denganku dengan wujud rohnya.....”
Kata Rio, mencoba membujuk Celia.
“Jika Celia tidur bersama kita, maka aku tidak akan berubah ke wujud rohku. Tidak adil kalau hanya Celia yang berada dalam bentuk fisiknya.
Kata Aishia tanpa ragu sedikitpun.
“T-Tidak, tidak, tidak.... Apa kamu yakin, Sensei? Aku merasa kalau ini adalah hasil terburuk yang bisa kita dapatkan!?”
Rio keberatan dengan panik.
“Uhh.... A-Aku tidak peduli dengan itu! Mou!”
Celia berkata dengan tegas.
"K-Kenapa?" Rio bertanya dengan kaget.
“Jadi sudah diputuskan. Ayo pergi.”
Aishia menarik lengan Rio sekali lagi.
Pada akhirnya, mereka bertiga memutuskan untuk tidur bersama di hari pertama mereka hidup bersama.
◇◇◇◇
Mereka bertiga menuju ke kamar Rio.
"Selamat malam."
Di ranjang raksasa yang dibuat khusus oleh Dominic; Aishia, Rio dan Celia berbaring bersebelahan. Bahkan dengan ketiganya yang berada disana, tempat tidur itu masih memiliki banyak ruang kosong yang tersedia.
Setelah mengucapkan selamat malam, Rio dan Celia berbaring dengan keheningan yang gugup.
Sementara untuk Aishia....
"Zzz.... Zzz...."
Dia tertidur lelap dan bernapas dengan damai dalam beberapa menit, masih dalam wujud fisiknya, seperti yang dia katakan sebelumnya.
"Gadis ini, satu-satunya yang dia inginkan adalah tidur secepat mungkin....."
Setelah duduk, Celia mengucapkan kata-kata itu sambil menunjukkan ekspresi yang sebagian lelah dan sebagian terkesan.
“Ahaha, itulah yang aku maksud. Kami tidak melakukan sesuatu yang aneh. Jadi, apa kamu mau kembali ke kamarmu sekarang?”
Kata Rio, menunjukkan sedikit senyum.
"G-Gak."
Celia sedikit cemberut dan menggelengkan kepalanya.
“Umm, kamu tidak perlu terlalu khawatir. Hampir tidak ada masalah apapun yang terjadi.”
"Hampir?" Kata Celia, menatapnya.
"B-Bukan, maksudku, tidak ada yang pernah terjadi."
Rio menarik pernyataan sebelumnya dengan suara bernada tinggi yang aneh. Tidak mungkin baginya untuk memberitahunya kalau terkadang Aishia setengah tertidur dalam kondisi telanjang.
“A-Aku tidak khawatir lagi. Sepertinya gadis ini agak bodoh, dan aku juga mempercayaimu....”
Celia mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang sedikit merajuk.
".....Lalu mengapa?"
Rio bertanya ragu-ragu, mencari alasan sebenarnya di balik tindakan Celia.
Celia tersipu malu dan menanggapinya sambil membuang muka.
"K-Karena.... Aku akan merasa kesepian kalau aku tidur di kamar lain sementara kalian berdua tidur di sini bersama."
".....Aku mengerti."
Rio mulai sedikit rileks dan tersenyum geli.
"Ah, kamu tertawa!" Celia cemberut.
"Maaf."
Rio meminta maaf sambil tertawa ringan.
"Mou. Bagiku, ini bukan bahan tertawaan, tahu?"
"Apa begitu?"
Rio bertanya, melihat wajah Celia.
"....Ya."
Celia mengangguk dengan gugup.
Wajahnya menjadi gelap karena cemas.
"K-Karena jika semuanya berjalan sesuai rencana, aku akan menemukan diriku di ranjang pria itu sekarang."
"Sensei....."
Dengan ekspresi yang tak terlukiskan, Rio menatap wajah Celia.
Tanpa ragukan lagi, orang yang Celia maksud adalah Charles Albor.
“Aku takut membayangkan kalau kebahagianku yang sekarang hanya sebuah mimpi ketika aku bangun nanti. Itulah sebabnya, untuk hari ini.... Setidaknya untuk malam ini, aku ingin kamu membiarkanku untuk tidur di sampingmu, Rio. Ketika aku bangun nanti, aku mau melihat wajahmu terlebih dahulu dan menyakinkan diriku sendiri....”
Kata Celia, memegangi piyama Rio dengan erat.
“....Jangan khawatir, ini bukan mimpi. Dan kalau memang demikian, aku akan datang untuk menyelamatkanmu lagi, tidak perduli berapa kalipun.”
Rio berjanji dengan tekad sambil memegang tangan Celia.
"Rio...."
Celia mulai menangis.
Keduanya saling memandang untuk sementara waktu.