“....Yup, sepertinya sudah cukup. Selanjutnya, kita akan menuangkannya ke dalam cetakan ini dan memastikan tidak ada udara yang masuk ke dalam adonan. Jangan letakkan terlalu rendah, dan hati-hati....”
Miharu dengan lembut membimbing tangan Aishia yang memegang mangkuk.
"Seperti ini?"
Begitu Aishia memasukkan adonan ke dalam cetakan, Miharu memasukkannya ke dalam oven dengan gerakan yang terlatih.
"Benar, seperti itu. Setelah kita memanggangnya selama 40 menit, adonannya akan mengembang dan selesai.... Sementara menunggunya, mari kita buat sup."
Dengan demikian, keduanya memasak bersama sambil mengobrol riang satu sama lain. Setelah waktu yang cukup lama berlalu, Miharu mengambil kesempatan untuk tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepada Aishia.
"....Nee, Ai-chan."
"Ya?"
“Kamu tidak mengingat apapun tentang dirimu saat pertama kali kamu terbangun, tetapi kamu tetap mengingat rekan kontrakmu. Kamu mengetahui tentang Haruto-san sejak awal, kan?”
"Ya."
Aishia mengangguk sedikit.
“Umm, jadi.... Orang seperti apa Haruto-san yang kamu kenal, Ai-chan? Apa dia sama dengan Haruto yang kamu kenal sekarang?”
Miharu bertanya ragu-ragu, menunggu reaksi dari Aishia.
Setelah beberapa saat, Aishia menjawab dengan tenang.
“....Haruto adalah Haruto. Seorang pengecut yang tidak percaya diri, terjebak oleh masa lalunya sendiri dan tidak yakin harus berbuat apa. Meski begitu, dia adalah orang kuat yang mencoba melakukan hal yang benar dan terus maju.”
Ketika Miharu mendengar deskripsi abstrak tentang karakter Rio dari Aishia, dia menunjukkan senyuman yang agak sedih.
"Kamu tahu banyak hal tentang Haruto-san yang aku tidak ketahui....."
"Mungkin. Tapi Haruto yang dikenal baik oleh Miharu juga ada."
"B-Benarkah?"
Miharu memiringkan kepalanya dengan ragu.
"Ya. Hanya saja kamu belum menyadarinya."
Aishia menyatakan dengan percaya diri.
Mata Miharu melebar karena terkejut, namun pada akhirnya gadis itu tertawa ringan.
"Fufu, kamu berbicara dengan sangat percaya diri, Ai-chan."
"....Karena aku ingin Miharu menerima Haruto."
Kata Aishia yang menatap wajah Miharu.
"Oke..... Aku mengerti."
Miharu menundukkan kepalanya dengan malu-malu sebelum mengangguk sedikit. Kemudian dengan cepat kembali memasak untuk menyembunyikan perasaan malunya.
"Apa kita sudah selesai bicara?" Aishia bertanya.
"Y-Ya. Maaf telah menanyakan sesuatu yang aneh."
Miharu mengangguk sambil tersenyum.
Setelah itu, waktu mereka memasak bersama berjalan dengan baik. Kemudian, tepat ketika mereka hampir selesai mencuci piring, Rio memasuki ruang tamu, segera mencium aroma lezat yang datang dari dapur.
"Maaf, Miharu-san. Apa kamu sudah menyiapkan makan siang ini, untukku? Ah, Aishia juga."
Kata Rio sambil mendekati dapur.
Ketika Rio melihat bahwa Miharu dan Aishia memakai celemek yang sama, matanya sedikit melebar.
"Ya, kami akan memanggilmu, Haruto-san."
Miharu menjawab sambil tersenyum.
"Makanan ini diisi dengan penuh dengan kasih sayang dan penghargaan kami untukmu, Haruto."
Kata Aishia dengan dengan suara monoton.
Sulit untuk mengatakan apakah Aishia bercanda atau tidak, karena kata-katanya itu.
"Ahaha, kami melakukan yang terbaik."
Miharu tertawa malu tanpa menyangkal kata-kata Aishia.
“....Umm, terima kasih banyak untuk kalian berdua. Ngomong-ngomong, apakah ini bau dari sup?”
Rio berterima kasih pada mereka dengan agak malu, dan kemudian mengalihkan topik pembicaraan ke makanan yang telah mereka siapkan.
"Ah, benar. Kami juga memasak omurice."
Mendengar kata-kata itu, ekspresi Rio menjadi cerah.
"Boleh juga. Aku mau mencobanya."
“Omurice spesial Miharu..... Sangat enak.”
Kata Aishia, memberikan cap persetujuannya.
"A-Aku tidak yakin akan pantas mendapat pujian begitu...."
Miharu berkata dengan tidak yakin.
"Tidak, aku juga sangat ingin mencoba omurice buatan Miharu-san."
Rio meminta dengan tidak sabar.
"Fufu, terima kasih. Silahkan duduk dan tunggu di sana, Haruto-san."
[ Dia sepertinya sangat menyukai omurice, sama seperti yang dikatakan Ai-chan. ]
Pikir Miharu sambil tersenyum saat dia mulai memasak.
Setelah beberapa menit, masakannya telah selesai dan omurice yang baru saja dimasak dibawa ke meja tempat Rio menunggu, bersama dengan beberapa hidangan lain yang dibuat oleh Miharu dan Aishia.
"Ini dia."
"Terima kasih banyak. Umm..... Bagaimana dengan kalian berdua?"
Rio menunjukkan ekspresi penasaran saat melihat keduanya masih berdiri meskipun mereka sudah mengatur meja.
"Ah, umm, aku ingin mendengar pendapatmu dulu."
Kata Miharu dengan malu-malu.
“Begitukah.... Kalau begitu aku akan memakannya saat masih hangat. Itadakimasu....”
Memahami situasinya, Rio mulai menggigit omurice yang dengan agak malu-malu. Saat dia mengunyahnya, rasa telur yang bercampur dengan rebusan menyebar ke seluruh mulutnya. Nasi dan supnya menciptakan rasa yang harmonis.
"Sangat lezat! Luar biasa!"
Kata Rio, matanya melebar bahagia.
Miharu menghela nafas lega.
"Benarkah!? Aku senang mendengarnya. Sebenarnya, omurice adalah hidangan pertama yang diajarkan ibuku ketika aku belajar memasak. Setelah membuatnya diam-diam tanpa sepengetahuan ibuku, hidangnya itu menjadi keahlianku."
Kata Miharu dengan gembira.
"Aku mengerti. Tapi mengapa kamu merahasiakannya?"
"Ahaha, hanya saja aku tidak pernah punya kesempatan untuk mempersiapkannya untuk orang lain selain keluargaku."
"Apakah begitu?"
Kata Rio dengan puas, lalu tersenyum.
"Umm, Haruto-san.... Terima kasih atas semua yang kamu lakukan untuk kami."
Kata Miharu sambil menatap wajahnya.
Rio memiringkan kepalanya ke samping dan menanggapi dengan ekspresi penasaran.
"....Tentu? Aku juga."
Aishia memperhatikan percakapan mereka berdua dalam diam.
∆∆∆∆
Sementara itu, Latifa, Aki, dan Masato sudah keluar rumah untuk menemui Arslan dan Vera. Mereka saat ini duduk di alun-alun desa sambil berpiknik dan mengobrol.
Di depan mereka ada bento yang sudah disiapkan Miharu dan Orphia, serta makanan yang dimasak ibu Vera.
"Ne, Masato. Apa Rio Aniki akan memberimu pelajaran berpedang hari ini?"
Arslan bertanya sambil mengisi sandwich ke dalam mulutnya.
Masato mengangguk.
"Ya, dia bilang akan mengajariku di sini, siang ini."
"Hmm. Jika kamu selesai lebih awal, aku akan memintanya untuk bertanding denganku."
Kata Arslan sambil tersenyum.
“Sudah lama sejak aku bertanding dengan Onii-chan. Aku pikir, aku akan meminta padanya juga.”
Kata Latifa sambil tertawa ringan.
“Aku akan meminta Sara Nee-san untuk bertanding denganku, karena sudah lama sekali.”
Vera sepertinya berniat untuk berlatih dengan kakak perempuannya.
Aki mengawasi Latifa dan Vera dengan cermat.
[ Meskipun mereka terlihat seperti gadis normal seusiaku, keduanya mengambil pelajaran untuk menjadi prajurit.
Apa mereka tidak merasa takut? ]
Aki bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Hm? Ada apa, Aki-chan?"
Melihat perubahan ekspresi Aki, Vera bertanya padanya.
“Ah, umm.... Aku sedang berpikir tentang bagaimana kalian semua berlatih untuk menjadi prajurit meskipun usia kalian sama denganku. Kalian semua menjalani ujian yang sama dengan Masato dan masih ingin terus berlatih, kan?”
Aki menyuarakan pikiran yang telah ada di dalam benaknya.
Setelah berpikir sejenak, Latifa menjawab pertanyaan Aki.
“....Hmm. Aku pikir tidak benar mengatakan bahwa kami ingin terus berlatih. Dan jika kamu bertanya kepadaku apakah aku takut atau tidak, maka aku akan menjawab itu menakutkan.”
"....Meski itu menakutkan tapi kamu terus berlatih?"
Aki bertanya dengan takut-takut.
"Ya. Karena yang lebih menakutkan adalah tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan. Seperti yang Masato-kun katakan, aku juga ingin melindungi orang-orang yang aku cintai. Rasanya menyakitkan jika hanya diam dan menonton."
Kata Latifa dengan tegas, tersenyum di akhir penjelasannya.
"Itu benar. Aku juga berpikiran sama dengan Latifa-chan."
Vera menambahkan.
"Aku juga. Nah, ada juga orang yang terobsesi dengan pertempuran. Seperti Uzuma-san yang suka melawan lawan yang kuat."
Arslan juga ikut berbicara.
"Kekuatan untuk melindungi...."
Kata Aki, berbalik ke arah Masato.
"A-Apa?"
Masato bertanya dengan suara bernada tinggi.
"Tidak, bukan apa-apa."
Aki menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Fufu, jadi Masato-kun ingin melindungi Aki-chan."
Vera mengetahui niat Masato.
"Apa.... Ka– ..... Kamu salah!"
Masato membantahnya dengan ekspresi malu.
"Kamu mengatakan itu, tapi pipimu yang memerah adalah bukti yang tak terbantahkan!"
Vera berbicara dengan percaya diri, Masato dengan putus asa membantah lagi.
“Aku bilang, kamu salah! Kamu sepenuhnya salah!”
“Yah, selain perasaan Masato, akan ada kalanya dimana kamu tidak bisa melanjutkan hidup tanpa adanya kekuatan. Ketika saatnya tiba, satu-satunya yang dapat melindungimu adalah dirimu sendiri.”
Kata Arslan, mengakhiri percakapan sebelumnya dengan tertawa ringan.
"Kamu hanya mengulangi apa yang dikatakan para prajurit di desa, Arslan."
Vera menatap Arslan dengan ekspresi kecewa.
"Guh. I-Itu bukan masalah besar, kan? Aku punya pikiran sendiri tentang kata-kata itu."
Kata Arslan yang memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Vera memiringkan kepalanya ke samping karena dia masih tidak begitu mengerti maksudnya.
"Aku paham maksudmu, tapi mendengarnya dari pemula sepertimu tidak banyak berpengaruh."
"Ahaha. Lalu, Aki-chan, apabila seseorang yang penting bagimu mencoba untuk melindungimu. Bagaimana perasaanmu jika orang itu membahayakan dirinya sendiri?"
Latifa bertanya dengan sedikit tersenyum.
"Umm, tidak, aku tidak menginginkan yang seperti itu."
Aki bisa langsung membayangkannya; Hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah saat Miharu berusaha melindunginya dari makhluk seperti manusia ketika mereka masih tinggal di wilayah Strahl. Setelah itu, dia juga memikirkan Masato dan Takahisa.
"Benar? Itulah mengapa kami menginginkan kekuatan untuk melindungi orang lain. Setidaknya aku tidak ingin menjadi beban bagi Onii-chan."
Latifa menunjukkan senyum yang agak sedih.
“Aku juga ingin kekuatan untuk melindungi dan mendukung saudara perempuanku. Karena itu aku rela bertarung meski aku merasa takut.” Vera mengangguk.
“....Aku merasa keraguanku telah hilang sedikit.... Sekarang aku mengerti bagaimana perasaan semuanya. Jika itu untuk Miharu Onee-chan dan Onii-chan, aku juga akan bertarung meski aku takut.”
Kata Aki dengan senyum lembut.
Sekarang Aki mengerti mengapa Masato ingin belajar teknik berpedang; dia merasakan hal yang sama.
"Oii, Aki Nee-chan. Kamu menyebut Aniki dan Miharu Onee-chan, tapi bagaimana denganku?"
Masato bertanya, mencoba menunjuk dirinya sendiri dengan cara yang mencolok.
"Kamu akan menjadi orang yang melindungiku, kan?"
Aki tertawa riang.
"Ya, ya. Terserah kamu berkata apa juga."
Jawab Masato lesu, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Oh, Masato menjadi malu."
Arslan berkomentar dengan ekspresi geli, yang juga diikuti Vera.
"Aki-chan juga menjadi malu karena Masato mengakuinya."
Aki dan Masato tersipu malu dan terdiam. Melihat reaksi mereka, Latifa tertawa kecil, tapi ada perasaan ragu di dalam dirinya.
[ Aki-chan menyebut 'Onii-chan' yang sangat mungkin mengacu pada orang yang bernama Takahisa.
Mungkinkah.... Dia sudah melupakan Onii-chan? ]
∆∆∆∆
Miharu dan yang lainnya terus menikmati hari-hari damai mereka di desa. Dengan demikian, lebih dari satu setengah berlalu dalam sekejap mata.
Suatu hari, Rio memutuskan untuk berbicara dengan semua orang yang berkumpul di meja untuk makan malam.
“Aku pikir sudah waktunya aku menuju ke wilayah Strahl. Sepertinya Miharu-san dan yang lainnya sudah terbiasa tinggal di desa.”
"Baik. Kalau begitu, kamu bisa menyerahkannya kepada kami."
Kata Sara, membuat Orphia dan Alma mengangguk ke arah Rio.
"Terima kasih. Berkat kalian bertiga aku bisa pergi tanpa khawatir."
"Ehehe, jangan lupak kalau aku di sini juga, Onii-chan."
Kata Latifa, menarik lengan bajunya yang sedang duduk di sebelah kanannya.
"Iya. Aku mengandalkanmu juga, Latifa. "
Rio mengangguk, menunjukkan senyum ramah padanya.
Dengan tawa gembira, telinga dan ekor Latifa bergerak dari sisi ke sisi lain dengan gembira.
"Yup, serahkan padaku!"
“Seperti yang sudah kubilang, aku akan membiarkan desa mengurus kalian bertiga. Mungkin ada beberapa berita tentang para pahlawan, jadi sebelum aku kembali, aku akan mencoba melakukan menyelidikinya.”
Kata Rio, memandang kelompok Miharu.
"Ya silahkan. Tapi.... Pastikan kamu tidak membahayakan dirimu, oke?"
Miharu menundukkan kepalanya dengan ekspresi bersalah sebelum mengungkapkan kekhawatirannya.
"Jangan khawatir. Aku akan bersama Haruto."
Kata Aishia dengan lembut, dengan rasa percaya diri.
"Aku mengerti. Jika Ai-chan bersama dengannya, aku akan merasa lebih lega."
Miharu tersenyum tenang.
"Itu bearti Rio dan Aishia-sama akan melakukan perjalanan berduaan, ya...."
Alma berbicara.
Di sampingnya, ekspresi Sara berubah dengan terengah-engah.
Orphia memperhatikan reaksi kedua gadis itu dengan senyuman sebelum mengingat sesuatu.
"Kalau dipikir-pikir, kamu awalnya kembali ke wilayah Strahl karena kamu punya urusan di sana, kan? Apa kamu punya kenalan lama di tempat itu?"
Orphia bertanya.
"Tentu. Sebenarnya ada seorang guru yang membuatku banyak berhutang budi kepadanya. Aku ingin kembali dan menemuinya sekali lagi."
Jawab Rio, teringat beberapa kejadian di masa lalu yang cukup menyenangkan baginya.
"Apa gurumu itu tinggal di kerajaan yang telah menuduhmu dan membuat surat penangkapanmu.....?"
Aki menebak, teringat cerita Rio sebelumnya kepada mereka.
"Benar. Saat aku tinggal di kerajaan itu, dia adalah sensei-ku."
"....Haruto An-chan. Mungkinkah kamu sebenarnya seorang bangsawan?"
Masato bertanya dengan ragu-ragu.
"Tidak, aku bukan.... Mengapa kamu bertanya begitu?"
"Karena kamu bilang bahwa kamu terlibat dalam insiden dengan keluarga kerajaan dan bangsawan kerajaan itu."
"Ah, itu karena keadaan tertentu yang membuatku masuk ke dalam akademi kerajaan."
“Jadi apa gurumu juga anggota bangsawan? Apa tidak apa-apa bagimu untuk mengunjunginya?”
Masato bertanya dengan cemas.
"Tidak apa-apa. Aku sangat mempercayainya."
Rio menggelengkan kepalanya dengan bahagia.
Itu adalah ekspresi yang menunjukkan kalau Rio sangat mempercayai orang ini, lalu menarik perhatian Sara.
"Umm, Rio..... Bolehkah aku bertanya orang seperti apa gurumu itu?"
Yang lain juga tampak tertarik dengan percakapan itu.
“Meskipun dia masih muda, sensei adalah seorang penyihir, profesor dan peneliti yang hebat. Namun, di balik semua itu ada kepribadian yang hangat dan ramah, meskipun kadang-kadang dia agak canggung. Saat berada di akademi aku menjadi pusat perhatian karena aku bukan tidak berstatus bangsawan, meski begitu, sensei satu-satunya orang yang tidak memandangku dengan diskriminasi.”
Mengingat kepribadian Celia, Rio menunjukkan senyum hangat.
"....Saat kamu mengatakan 'masih muda', berapa tahun umurnya ?"
"Jika aku ingat dengan benar.... Tahun ini dia seharusnya berusia dua puluh satu tahun."
“Dia benar-benar sangat muda.... Dia tidak jauh dari usiaku. Apa itu berarti dia mulai mengajar saat berusia remaja?”
Sara mengajukan satu demi satu pertanyaan.
"Iya. Sensei lulus dari akademi yang sama denganku, melompati kelas dan mendapatkan nilai tertinggi dalam sejarah. Dia mulai mengajar ketika dia seusia Masato."
"Itu mengagumkan. Gurumu pasti sangat berbakat."
Kata Sara.
Jawaban dari Rio telah membuat semua orang yang hadir melebarkan mata mereka karena terkejut.
“Ya, dia memang jenius. Aku tidak bisa membayangkan jika kamu bisa mengajar orang lain saat di usianya.”
"Kamu hanya satu tahun lebih tua dariku, Aki Nee-chan!"
Aki dan Masato mulai berdebat sambil saling mengejek satu sama lain.
Sementara itu, Sara mengajukan pertanyaan.
"Umm, apakah gurumu itu seorang perempuan?"
Sara bertanya dengan takut.
"Iya, itu benar. Sensei adalah putri dari seorang Duke. Tidak, dia mungkin sudah menikah sekarang...."
Kemungkinan Celia telah menikah terlintas di benak Rio, tetapi dia menghilangkan kemungkinannya itu karena sangat rendah dan pada akhirnya menunjukkan senyuman masam.
Celia selalu mengatakan bahwa satu-satunya hal yang membuatnya tertarik adalah penelitiannya.
"Duke? Jika aku ingat dengan benar, itu adalah peringkat yang cukup tinggi dalam sistem yang dibuat manusia di wilayah Strahl. Jadi, Rio mengenal seseorang seperti dia...."
Kata Sara, bersenandung pelan pada dirinya sendiri dalam perenungan.
“Khas Onii-chan sekali, ya. Sepertinya halangan tak terduga telah muncul.”
{ TLN : Maksud Latifa itu muncul rival cinta baru, LOL }
Latifa menoleh ke Sara dan Alma saat dia mengatakan itu, tapi untuk beberapa alasan dia memasang senyum senang di wajahnya. Sara dan Alma berdehem dengan cepat.
“....Pokoknya, kamu tidak perlu khawatir, Rio. Kamu bisa pergi ke wilayah Strahl tanpa khawatir dan serahkan saja semuanya pada kami. Aku mendoakanmu agar dapat bertemu dengan gurumu.”
Sara mengakhiri dan berpura-pura tenang.
∆∆∆∆
Dua hari kemudian, pada pagi hari, Rio dan Aishia sudah berada di alun-alun desa saat di antar oleh Miharu dan teman dekat mereka lainnya.
Setelah semua orang mengucapkan selamat tinggal, Dryas mendekati keduanya.
"Aishia, pastikan kamu membantu Rio dengan baik."
"Ya. Terima kasih, Dryas, karena telah mengajariku banyak hal ini selama aku tinggal."
Jawab Aishia.
Dryas sedikit mengangkat bahu.
"Aku hanya mengajarimu cara menggunakan kekuatan milikmu dan dasar-dasar menjadi roh humanoid. Kamu sangat bakat, jadi kamu belajar dengan cukup cepat."
"Izinkan aku berterima kasih kepadamu, Dryas-san."
Rio pun mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Dryas menggelengkan kepalanya dengan ramah.
"Tidak apa-apa. Namun, Aishia begitu kuat sehingga sulit untuk menekan auranya sendiri ketika dia dalam wujud fisiknya. Tolong ingatlah selalu. Auranya itu seharusnya tidak akan terdeteksi saat dia dalam wujud rohnya atau saat dia berada di dalam rumah batu karena rumah itu mempunyai penghalang serupa dengan milik desa."
Kata Dryas, mengingatkan.
Roh dapat mendeteksi keberadaan roh lain, dan Aishia memiliki aura yang cukup kuat.
".....Aku akan mengingatnya, terima kasih."
Rio mengangguk dengan ekspresi serius.
"Kamu tidak perlu terlalu khawatir tentang itu. Sangat jarang ada roh di wilayah Strahl, dan tidak banyak roh yang sukarela mendekati roh kelas tinggi. Jadi, biarkan Aishia melakukan apa yang dia inginkan."
Kata Dryas, tersenyum lembut.
"Baik." Kata Rio dengan anggukan.
"Hanya itu yang harus kuberitahukan padamu. Sekarang pergi dan temui anak-anak itu."
Dryas tertawa kecil saat melihat ke arah dimana Miharu, Sara dan yang lainnya sedang menunggu.
Saat itu, Latifa pergi dari kelompok itu dan berlari ke arah Rio.
"Semoga perjalananmu menyenangkan, Onii-chan!"
Kata Latifa dengan riang, dia memeluk Rio dengan erat.
“Sudah waktunya bagiku untuk pergi. Teman-teman, jaga diri kalian.”
Rio mengusap kepala Latifa dengan lembut sebelum menoleh ke tempat yang lainnya berada.
“Ya, jaga dirimu juga Rio. Ah, sepertinya Miharu punya hadiah untukmu?”
Sara berkata dengan nada ceria ketika dia menatap Miharu.
"Ah, benar. Umm, aku membuat bento ini, jadi.... Umm, tolong bawalah bersamamu."
Miharu dengan malu-malu melangkah ke depan saat dia menawarkan kotak bekal makan siang untuk Rio.
"....Terima kasih banyak. Tapi kapan kamu menyiapkannya?"
Mata Rio melebar karena terkejut saat dia menerima bento itu.
"Miharu-chan bangun pagi sekali untuk membuatnya."
Kata Orphia, tersenyum ringan saat dia melihat ke arah Miharu.
Alma juga memperhatikannya dengan ekspresi ramah.
"Itu adalah keterampilan yang bagus dari keahlianmu sebagai ibu rumah tangga, Miharu-chan."
"T-Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya berpikir kalau membuatkan makan siang untuk Rio-san akan berguna untuk perjalanannya...."
Miharu menggelengkan kepalanya karena malu.
Rio menunjukkan senyum ceria.
“....Miharu-san, aku akan dengan senang hati menerima bekal makan siang ini. Terima kasih banyak.”
"J-Jangan pikirkan itu. Aku harap kamu menyukainya."
Kata Miharu, tersipu lebih jauh.
"Hohoho. Aku agak iri padamu, Rio-dono."
Ursula menyela denga tawa yang sangat hangat.
"Aku harus mengakui bahwa wanita dengan keterampilan memasak yang baik adalah pasangan yang ideal, Rio-dono."
Dominic juga tertawa ketika dia bergabung setelah apa yang Ursula katakan.
Untuk menyembunyikan rasa malunya, Rio mengubah topik pembicaraan.
"Ahaha, terima kasih sudah datang untuk mengantarku pergi, kepala tetua semuanya. Aku akan berangkat sekarang"
“Yah, berhati-hatilah selama perjalanan. Semoga berkat para roh membimbingmu.... Oh dan Aishia-sama juga. Bisa dibilang bahwa kamu sudah cukup diberkati dari awal.”
Kata Syldora, menunjukkan senyum geli.
"Terima kasih. Dissolvo."
Dengan tawa ringan, Rio menyimpan kotak bekal tersebut ke dalam gelang penyimpanan ruang waktu miliknya. Kemudian dia menoleh ke Aishia, yang berdiri di sampingnya.
"Ayo pergi, Aishia? Pastikan kamu tetap di sampingku."
Kata Rio.
"Oke."
Kata Aishia dengan nada diam tapi tegas.
"Baiklah. Kalau begitu, kami akan pergi. Terima kasih banyak telah datang dan mengantar kami pagi-pagi sekali."
Kata Rio, lalu menendang tanah di bawah kakinya dan mulai melayang ke langit.
Sambil melambaikan tangannya, Rio memandangi orang-orang di permukaan. Tak lama kemudian, Aishia terbang di sebelahnya.
Mereka berdua terus menaikkan ketinggian sampai tiba-tiba Rio menyadari bahwa Miharu sedang menatap ke arahnya.
[ .....Miharu-san. ]
Rio tidak tahu apakah gadis itu bisa melihatnya, tapi dia tetap tersenyum. Mencapai ketinggian yang diinginkan, Rio menoleh ke Aishia.
"Ayo, Aishia."
"Ya."
Setelah Aishia mengangguk sebagai jawaban, mereka berdua segera berangkat dan menambah kecepatan, langsung menuju ke arah wilayah Strahl.
Di bawah permukaan, Miharu memperhatikan sosok mereka yang semakin kecil dan lama-lama menghilang.
[ Tolong biarkan Haruto-san dan Ai-chan kembali dengan selamat. ]
Bahkan setelah sosok mereka menghilang, Miharu terus menatap ke langit sambil mendoakan keselamatan perjalanan mereka.