Requiem for a Goodbye – Prolog: 「Petunjuk Warisan」

 

Kurang dari seminggu setelah meninggalkan desa Seirei no Tami, Rio tiba di wilayah Yagumo.

 

Itu akan menjadi perjalanan yang keras, dua sampai tiga bulan dengan berjalan kaki, meskipun dia sudah meningkatkan fisik tubuhnya dengan spirit art, tapi berkat spirit art angin yang ia pelajari di desa, dia dapat terbang sejauh ini. Karena itu, dia dapat melakukan perjalanan dari desa ke Yagumo dengan mudah. Namun sejak saat itu, masalah Rio benar-benar dimulai.

 

Mengunjungi wilayah Yagumo untuk meratapi kedua mendiang orang tuanya di tanah air mereka dapat dimengerti, tapi Rio hampir tidak memiliki informasi lokasi pasti tempat kelahiran kedua orang tuanya. Satu-satunya informasi yang ia punya adalah nama mereka.

          

Ada lebih dari tiga puluh negara dengan berbagai ukuran di Yagumo, membuat upayanya untuk menemukan kota asal mereka dengan cara ini hampir sia-sia.

 

Namun, itu tidak menghalangi Rio untuk terus bergerak untuk mencapai tujuannya. Dia mengunjungi semua kota dan desa di sisi barat Yagumo, dengan harapan dia dapat menemukan seseorang yang mengenali nama orang tuanya.

          

Tetapi hanya bermodalkan kemauan tidak berarti apa-apa ....

          

Beberapa bulan berlalu tanpa petunjuk.

          

Saat ini, Rio sedang mengunjungi Kerajaan Karasuki, sebuah negara besar yang terletak di Barat wilayah Yagumo. Dia sudah melewati beberapa kota dan desa dan akan menuju ke desa selanjutnya, jadi dia menggunakan spirit art angin untuk terbang. Tujuannya adalah titik kecil di cakrawala.

          

[ Desa itu, ya? ]

          

Dengan posisinya sekarang, dia dapat melihat jalan-jalan yang terbentang dari sisi Timur dan Barat desa, bukit kecil di Utara, dan gunung yang ditumbuhi pepohonan di Selatan.

          

Itu adalah desa khas yang indah; atau lebih terpatnya biasa-biasa saja.

          

Daerah pemukiman menempati pusat desa, di mana rumah-rumah terbuat dari kayu, kapur, dan tanah liat berdiri berjajar. Menilai dari jumlahnya, jumlah penduduknya mungkin sekitar tiga ratus atau lebih. Di sekelilingnya terdapat ladang dan padang rumput, terlihat penduduk yang sedang bekerja.

          

[ Mereka bilang jika Yuba, kepala desa ini, memiliki banyak koneksi. ]

 

Rio mengingat kembali informasi yang ia kumpulkan dari kepala desa tetangga yang ia kunjungi sebelumnya.

          

Sejujurnya, dia tidak terlalu berharap banyak di sini. Pada titik ini, dia tidak bisa mengingat berapa kali dia menaikkan harapan dan hanya untuk dikecewakan saja ... Tapi dia tidak berencana menyerah pada keputusasaannya.

          

Untuk menghindari keributan yang tidak perlu dengan mendarat tepat di tengah desa, Rio menempuh perjalanan yang cukup jauh. Setelah mendarat di jalan yang mengarah dari sisi barat desa, dia dengan santai berjalan menuju pintu masuk.

          

Desa itu dikelilingi oleh pagar kayu sederhana, tanpa pengintai yang di tempatkan di pintu masuk, memungkinkan Rio berjalan masuk dengan bebas.

          

Meski begitu, ada penduduk desa yang bekerja di pertanian mereka di segala arah, jadi mereka menyadari fakta jika seseorang berjalan dari luar desa. Benar saja, begitu Rio tiba di depan pintu desa, beberapa penduduk desa menatapnya.

          

Tetapi, tak seorang pun menghampirinya, mereka hanya melihatnya dari kejauhan.

          

Suasana itu hampir membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh, jika itu desa lain pasti mewaspadai orang luar yang tidak dikenal. Ini normal dan adalah reaksi yang sudah sangat dikenal Rio.

          

Rio mengangguk sebentar pada para petani, sebelum melangkah melewati pintu masuk. Dia dengan tenang berjalan lurus ke arah pusat desa, di mana rumah kepala desa kemungkinan besar berada, jadi dia bisa menyelesaikan urusannya secepat mungkin.

 

Dua gadis yang berpakaian sederhana muncul dari ladang di sampingnya dan dengan ragu-ragu mendekat. Mereka tampaknya berusia remaja, satu dari mereka terlihat dua atau tiga tahun lebih tua.

 

“Umm, apa kamu membutuhkan sesuatu dari desa kami?”

Gadis yang terlihat lebih dewasa bertanya kepada Rio dengan takut.

          

“Hallo. Namaku Rio.” balas Rio dengan nada formal dan memberi mereka senyum ramah.

 

“Aku dalam perjalanan untuk mencari seseorang. Aku ingin bertemu dengan kepala desa di sini ... Apakah beliau ada saat ini?” Tanyanya.

          

Pelafalannya sedikit canggung, tetapi dia cukup lancar sehingga tidak kesulitan berbicara dalam percakapan, berkat pengetahuan yang luas dari Ursula dan yang lainnya di desa roh. Rio telah mengajarinya bahasa yang digunakan di wilayah Yagumo selama waktu mereka bersama. Berbulan-bulan yang dihabiskannya berkeliaran di Yagumo juga membantu.

 

Rio mengenalkan dirinya dengan sopan dan menjelaskan situasinya, menyebabkan kedua gadis itu melebarkan mata mereka.

 

“A-Ah, umm, h-hallo. Se-Senang menjadi, umm, kenalanmu? Apa kamu sedang berpergian? Kepala desa ini ... Dia ... Ada? Haruskah aku tunjukkan jalannya?”

 

Gadis yang lebih tua menawarkan dengan gugup. Dia tampaknya tidak nyaman berbicara secara formal.

 

“Terima kasih banyak. Banyak orang cenderung waspada terhadap orang luar yang tiba-tiba muncul di depan mereka ... Jika tidak masalah dengan itu, aku dengan senang hati menerima tawaranmu.”

 

Rio berterima kasih dengan nada tenang, menundukkan kepalanya sambil tersenyum sedikit.

          

“Te-Tentu! Kalau begitu ... Umm ... Tolong ikuti aku!”

 

Gadis yang lebih dewasa mengangguk dengan suara melengking dan mulai berjalan menuju pusat desa. Sementara itu, gadis yang lebih muda, berdiri di belakangnya menatap Rio dalam diam.

          

“ ... Apa ada sesuatu di wajahku?”

 

Rio terhenti, bingung, saat ia hendak mengikuti gadis yang lebih tua yang sudah berjalan pergi.

          

“ ... Eh? Ah, ti-tidak! I-Itu, umm ... bukan apa-apa!”

 

Gadis yang lebih muda tersipu lalu menggelengkan kepalanya.

          

“Apa yang kamu lakukan, Sayo? Ayo ikut, sekarang.”

          

“O-Oke, Ruri!”

          

Diminta oleh gadis yang lebih tua bernama Ruri, Sayo merupakan gadis yang lebih muda, segera mengejarnya. Rio memiringkan kepalanya sebelum dia pergi mengejar mereka.

 

Kedua gadis itu tampaknya masih gugup melihat gaya jalan mereka yang tidak nyaman, sembari sesekali melirik Rio lewat bahunya. Terutama Sayo, ia sering meliriknya.

 

[ Apakah orang luar benar-benar sangat jarang? ]

 

Pikir Rio, menatap punggung Sayo saat mereka berjalan.

          

Mereka bertiga mempertahankan kesunyian dan jarak canggung sampai mereka tiba di rumah kepala desa.

          

“Nenek, ada tamu! Dia bilang sedang mencarimu!”

 

Teriak Ruri keras, begitu mereka memasuki rumah. Pintu depan terbuka ke lantai tanah liat yang mengarah ke ruang tamu yang ditinggikan, di mana tempat perapian didirikan untuk menghangatkan ruangan tersebut.

          

“Kamu tidak perlu berteriak sekencang itu, Ruri. Aku dapat mendengarmu dengan jelas ... Oh?”

          

Setelah beberapa saat, seorang wanita tua muncul. Dia melihat Rio yang berdiri di belakang Sayo dan Ruri di pintu masuk lalu menyipitkan matanya.

 

“Selamat siang, senang bertemu dengan anda. Namaku Rio. Kedatanganku hari ini untuk menanyakan beberapa hal kepadamu, kepala desa.”

 

Rio memperkenalkan dirinya dengan ramah dan mengambil langkah maju. Wanita tua itu tampak kaget.

          

“Oho, sangat sopan sekali. Pakaianmu tidak bisa dan kamu memiliki sedikit aksen ... Seorang pengembara dari negara asing, mungkin?”

 

Wanita tua itu menganalisis Rio, seolah dia berusaha untuk mengidentifikasi asal usulnya.

          

“Benar, aku bukan berasal dari sini. Aku telah berpergian ke berbagai negara.”

 

“Begitu, ya ... Ah, maafkan aku. Namaku Yuba. Aku yakin kamu sudah tahu, tapi aku kepala desa di sini.”

 

“Senang berkenalan dengan anda.” Rio mengangguk.

          

“Iya iya, cukup formalitasnya. Silakan masuk ke dalam. Ruri, Sayo, siapkan teh.”

 

“Oke! Ayo, Sayo.” jawab Ruri bersemangat atas perintah Yuba.

 

Sayo mengangguk canggung sebelum menuju dapur bersamanya.

 

“Kamu. Silakan ke ruang tamu. ... Oof.” 

 

Yuba mengarahkan Rio ke salah satu bantal tempat duduk di depan perapian lalu duduk.

          

“Permisi.”

 

Rio membungkuk sebelum melepas sepatunya dan melangkah menuju ruang tamu.

 

Kemudian, dia melepaskan tudung yang ia kenakan, termasuk pedang dan pelindung yang ia terima dari desa Seirei no Tami dan meletakkan semua itu di lantai bersama dengan sarung pedangnya.

         

“ ... Pakaian yang kamu kenakan di bawah mantelmu jarang terlihat di daerah ini. Pedang itu sangat bagus sekali, tapi bentuknya sedikit aneh. Kamu pasti bukan seseorang dari negara ini.”

 

Yuba menatap penampilannya, seperti yang diharapkan Rio.

          

“Selain senjata dan pelindungku, semuanya dibuat di negara ini. Biasanya aku mengenakan tudung untuk menghindari menarik perhatian mereka.”

          

“Benar, penampilanmu memang menarik perhatian. Belum lagi betapa tingginya kualitas perlengkapanmu, terutama bagi pengembara biasa.”

          

“Ya, barang-barang ini sangat bagus. Aku sangat berhutang budi kepada pembuatnya karena menjadikan semua ini hadiah istimewa untukku.”

          

“ ... Begitu, ya. Yah, aku tidak akan menggali lebih jauh. Tehnya sudah siap, jadi biarkan aku mendengar ceritamu.”

          

Sayo dan Ruri membawa teh tepat pada saat itu, jadi Yuba memotong pembicaraan di sana. Gadis-gadis itu berpisah untuk menyajikan teh kepada Yuba dan Rio.

          

“Terima kasih banyak.”

 

Rio berterima kasih kepada Sayo, karena dialah yang menaruh secangkir teh di depannya.

          

Menggelengkan kepalanya karena malu, Sayo mundur ke sudut ruangan. Perilakunya membuat Ruri tersenyum geli. Rio memikirkan tentang perilaku Sayo sejak tadi, tetapi dia mengesampingkannya untuk sekarang dan mulai berbicara.

          

“Aku sedang mencari seseorang yang tahu tentang kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup. Alasan aku mengunjungi desa ini karena aku mendengar Yuba-san memiliki informasi yang paling luas dari mereka yang tinggal di sini.”

          

“Hm, begitu, ya ....”

 

Yuba memberikan anggukan kecil tanda mengerti, sebelum mendorong pembicaran terus berjalan.

          

“Aku percaya Ibuku dan Ayahku tinggal di wilayah Yagumo sekitar lima bels tahun lalu, aku tidak yakin dengan detailnya ... Apakah anda pernah mendengar nama Zen dan Ayame sebelumnya, Yuba-san?” Tanya Rio, menyebutkan nama kedua orang tuanya.

          

“ ... Apa kamu baru saja menyebutkan ... Zen ... dan Ayame ...?”

 

Mata Yuba melebar sangat mendengarnya, lengan yang telah terulur untuk mengambil cangkir tehnya benar-benar beku. Kepalanya terangkat, dengan hati-hati memperbaiki pandangannya pada wajah Rio.

          

Dia jelas tahu sesuatu, ekspresinya dengan jelas menunjukkan itu. Bahkan sikap tenang Rio biasanya hancur saat melihat reaksinya juga.

          

“Ah, tidak. Aku harus mendengar lebih banyak tentang mereka terlebih dahul.”

 

Yuba meragu, sebelum memberikan jawaban samar dan melihat ke arah pada gadis.

 

“Ruri, Sayo, diskusi kami mungkin akan lebih panjang daripada yang diperkirakan. Kalian berdua boleh kembali bekerja.” pintanya.

          

“Eeeh ... Tapi kenapa?” Ruri cemberut, tidak senang.

          

“Ayo, sekarang. Jangan mencampuri urusan pribadi orang lain. Pastikan kamu tidak membicarakannya di sekitar penduduk desa lainnya.”

          

“Baaiiik. Cih. Padahal mulai menarik ... Ayo pergi, Sayo.”

 

Atas kata-kata Yuba yang tegas dan keras, Ruri dengan enggan mundur.

          

“I-Iya.”

          

Setelah Ruri dan Sayo meninggalkan rumah, Yuba menatap Rio dan mulai berbicara.

 

“Sekarang, bisakah kamu memberikanku detail penampilan dan karakteristik kedua orang tuamu? Mereka mungkin seseorang yang aku tahu.”

          

“Tentu saja ....”

 

Rio menyembunyikan emosinya yang goyah dengan anggukan, lalu dengan tenang mulai menceritakan sejarah mereka.

          

Kedua orang tuanya lahir di wilayah Yagumo. Saat mereka masih muda, mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam perjalanan menuju wilayah Yagumo.

 

Setelah itu, mereka berkelana sebentar sampai Rio terlahir dan mereka menetap di kerajaan Beltrum. Namun, ayah Rio, Zen, meninggal sebelum Rio cukup untuk mengenalnya. Setelah itu, dia tinggal bersama ibunya, Ayame.

          

Rio juga menjelaskan kepribadian Ayame dan Ibu seperti apa beliau, Yuba pun mendengarkan setiap kata Rio dengan penuh perhatian.

          

“ ... Setelah itu, ketika aku masih kecil, ibuku meninggal juga ...”

 

Ekspresi Rio sedikit gelap saat dia membicarakan kepergian Ibunya. Dia tidak menawarkan secara spesifik bagaimana beliau meninggal, Rio tidak ingin mengingatnya dan dia tidak ingin membicarakannya.

 

Sejujurnya, dia masih belum mengatur pikirannya tentang apa yang terjadi.

          

“Terima kasih telah memberitahuku. Aku pasti membuatmu mengingat kembali beberapa kenangan sulit ... Tapi tidak salah lagi. Keduanya adalah orang yang aku kenal. Jika aku melihatnya dengan teliti, aku dapat melihat fitur mereka di wajahmu. Ya ampun, usia tua benar-benar tidak nikmat. Hmm, tidak ... Mungkin kamu bisa mengatakan jika usia tua inilah yang memungkinkan kita bisa bertemu.” kata Yuba dengan ekspresi penyesalah dan tidak berdaya.

          

“ ... Jika anda tidak keberatan aku bertanya, bagaimana kedua orang tuaku bisa mengenalmu ...?”

 

Rio bertanya dengan sedikit ragu, berusaha sebisa mungkin untuk menjaga suaranya tidak goyah.

 

“Aku ibu Zen dan nenekmu. Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu.” jawab Yuba, tersenyum agak canggung.

          

“Anda adalah Ibunya ayahku ... Ah, umm. Senang bertemu denganmu.”

 

Rio menatap Yuba terkejut untuk sesaat, sebelum menundukkan kepalanya dengan tidak nyaman.

Yuba tampaknya menyadari jika pertanyaannya yang berikutnya sedikit sulit, tetapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.

          

“ ... Maafkan aku, tapi bisakah kamu memberitahuku lebih banyak? Aku ingin mendengar tentang alasanmu datang ke negeri ini dari tempat yang jauh, hanya untuk mencari informasi keduanya. Upaya yang telah kamu lakukan dan kesulitan yang kamu lalui untuk mencapai tempat ini, jauh melampaui sesuatu yang bisa aku bayangkan.”

          

Setelah bimbang untuk sesaat sebelum menjawabnya.

 

“ ... Aku ingin membuat makam. Aku tidak punya sisa atau kenangan, tetapi aku ingin meratapi mereka di tanah air mereka sendiri. Dan Ibu ... Ibuku berjanji membawaku ke kota asalnya suatu hari nanti. Namun dia pergi sebelum dapat mewujudkannya, jadi aku ingin untuk mencoba mewujudkannya sendiri.” jawabnya dengan hati-hati.

         

“Begitu, ya. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk sampai ke sini. Sebenarnya ... Bagaimana aku harus mengatakannya? Makam mereka sudah ada.” kata Yuba dengan sedikit keengganan.

          

“Makam mereka ... Sudah ada? Tetapi bukankah mereka meninggalkan wilayah ini hidup-hidup?”

 

Rio tanpa sengaja bertanya keras-keras, terkejut.

          

“Iya, itu benar. Makam mereka ada. Menilai dari reaksimu, tampaknya kamu tidak tahu alasan mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka. Benar, kan?” Tanya Yuba sambil mengintip wajah Rio.

          

“Ya, itu benar. Apakah itu berarti anda mengetahuinya, Yuba-san?” Rio balik bertanya.

          

“Memang, aku tahu alasannya. Akan tetapi, kamu harus memaafkanku karena aku sendiri belum bisa memberikan detailnya kepadamu.”

 

Yuba menggelengkan kepalanya dengan tatapan minta maaf.

 

“Bolehkah aku bertanya kenapa ...?”

          

“Keadaan tertentu membuat mereka harus meninggalkan negara ini secara rahasia. Karena tidak mungkin mereka akan kembali, mereka yang mengetahui kebenarannya membuat makam mereka di atas bukit. Untuk sekarang, hanya itu yang bisa aku katakan padamu.” jawab Yuba, memilah kata-katanya dengan hati-hati.

          

“Mereka meniggalkan negara ini ... Secara rahasia ....”

          

“Untuk sekarang, aku akan membawamu ke makam mereka. Apa kamu ingin mengadakan upacara peringatan untuk mereka?”

 

Yuba menawarkan Rio yang kontemplatif.

          

“ ... Iya, tentu saja. Tolong izinkan aku untuk melakukan itu.”

          

Sejujurnya, masih banyak yang belum jelas, tapi tidak ada gunanya memikirkan hal itu lebih jauh dari ini. Jika Yuba tidak berniat menjawabnya, maka dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Rio memutuskan untuk fokus pada makam kedua orang tuanya.

 

∆∆∆∆

          

Setelah itu, Yuba memandu Rio ke bukit kecil di sebelah Utara desa. Bagian atas bukit menawarkan pemandangan desa dan pegunungan di sekitarnya, membuat pemandangannya sangat indah. Dua pilar batu berdiri di latar belakang itu. Mereka sudah dirawat dengan sangat baik, karena kedua pilar itu terlihat sangat rapih dan tanpa goresan, tanpa tanda-tanda erosi angin.

          

“Ini adalah makam mereka. Nama mereka tidak diukir di sana, tapi kedua pilar ini sudah memenuhi kenangan merek.” kata Yuba saat dia berdiri di depan pilar batu.

          

“ ... Begitu, ya.”

 

Rio mengangguk samar, matanya tertuju pada pilar batu.

          

“ ... Mungkin aku bisa memberitahumu apa yang terjadi dengan kedua orang tuamu saat waktunya tiba.” kata Yuba perlahan sambil menatap Rio.

 

Mata Rio melebar dan dia balas menatapnya.

          

“Apakah kamu mempertimbangkan untuk tinggal di desa sampai waktunya tiba?” Tanya Yuba, ekspresinya dipenuhi oleh kasih sayang.

          

“ ... Apakah itu baik-baik saja?” Rio bertanya dengan cemas.

          

“Kamu adalah cucuku. Tidak perlu bagi seorang cucu bertindak terlalu kaku di sekitar neneknya.” jawab Yuba dengan senyum cerah di wajahnya.

          

“Cucu ... Nenek ...” Rio menggumamkan kata-kata itu, seolah sedang merenungkannya.

          

“Ada lebih dari cukup kamar cadangan. Semua kerabatku sudah meninggal karena perang dan penyakit, jadi hanya aku dan Ruri sekarang. Gadis yang lebih tua yang memandumu ke rumahku.” Yuba menjelaskan saat Rio berdiri di sana dalam diam.

          

“Dan Ruri, apakah dia ...?”

          

“Dia putri dari kakak laki-laki Zen, yang menjadikannya sepupumu. Dia berusia lima belas tahun sekarang.”

          

“Begitu, ya. Berarti dia lebih tua setahun dariku.”

          

“ ... Aku terkejut mendengar jika kamu masih muda. Sementara wajahmu masih kekanak-kanakan, kepribadianmu sangat dewasa, jadi aku mengira kamu lebih tua.”

          

“Itu tidak benar.”

 

Rio akhirnya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Itu membuat Yuba tertawa gusar.

          

“Begitu? Kah. Jadi, Bisakah aku menerima itu sebagai ya untuk tawaranku?”

          

“Iya. Aku akan dalam perawatanmu sekarang.” kata Rio ragu, menundukkan kepalanya ke Yuba.

          

“Dengan senang hati aku akan membawamu bersamaku. Aku tahu mungkin akan sedikit sulit untuk menyesuaikannya segera, tapi tidak perlu terlalu kaku. Rileks dan tenang sedikit.” kata Yuba sambil mengangkat bahunya sedikit.

          

“Oke ... Yuba oba-san.”

          

Rio memutuskan untuk hanya memanggil namanya, bukan “Yuba-san”.

 

Ketika dia tahu jika Yuba adalah neneknya, dia merasa lebih mudah memanggilnya begitu.

          

“Fufu. Oh, ngomong-ngomong ... Apa tidak apa-apa jika kita menyembunyikan kebenaran tentang warisanmu dari penduduk desa lainnya?” Tanya Yuba dengan senyum ceria.

 

{ TLN : Warisan yang dimaksud Yuba disini, semacam hubungan mereka berdua yang merupakan saudara }

 

“Tentu saja, itu tidak apa-apa.”

 

Rio setuju, mengambil implikasi dari kata-kata yuba. Mereka tidak dapat mengungkapkan asal usul Rio ke desa karena keadaan yang menyebabkan Zen dan Ayame meninggalkan negara asalnya.

 

Mungkin, tidak, hampir pasti, jika akan ada orang di desa ini yang mengenal mereka.

 

“Aku minta maaf atas ketidaknyamanannya. Kita bisa memutuskan sisa detailnya di rumah. Aku akan kembali sekarang ... Apa kamu ingin di sini lebih lama?” Tanya Yuba karena pertimbangan untuk Rio.

          

“Iya.”

          

“Apa kamu tahu jalan kembali?”

          

“Aku akan baik-baik saja.”

          

“Oh? Kalau begitu kembalilah sebelum matahari tenggelam. Kami akan mengadakan pesta selamat datang untukmu, yah meskipun hanya kecil-kecilan.” Dengan itu, Yuba berbalik dan pergi.

          

“Terima kasih atas keramahtamahannya.” kata Rio, membungkuk dalam-dalam ke arah Yuba yang pergi. Begitu sosok Yuba sudah menghilang dari pandangannya, dia mengangkat kepalanya ke pilar batu.

          

“ ... kurasa itu artinya aku akan tinggal di sini sebentar, Ayah. Namun aku tidak sendirian karena aku punya kerabat selain kalian berdua ...,” gumam Rio ke arah pilar, jejak kebingungan dalam senyum yang menarik di bibirnya. Tentu saja, tidak ada jawaban.

          

Setelah beberapa saat, dia berbalik untuk melihat desa. Dia menghabiskan sekitar satu jam lagi di bukit dalam keheningan suram, sebelum kembali ke rumah kepala desa sesaat sebelum matahari terbenam.

          

“Permisi,” kata Rio sambil ragu-ragu berjalan melewati pintu depan yang terbuka. Di sana, Yuba sedang menunggu bersama Ruri, yang telah menyelesaikan pekerjaannya.

          

“Selamat datang kembali,” kata mereka.

          

“ ... Terima kasih.” Rio terkejut, tetapi dia dengan malu-malu membalas salam mereka.

          

Kemudian, seperti yang dikatakan Yuba, mereka mengadakan pesta selamat datang kecil-kecilan bersama.