Requiem for a Goodbye – Extra Story

 

Musim Bunga Menari

 

Suatu hari, tidak lama setelah Rio tiba di desa....

 

Saat itu musim semi dan kelopak sakura sudah mekar sepenuhnya. Ketika angin lembut bertiup melewatinya, kelopak bunga sakura terbang dan menari di udara. Saat matahari mulai terbenam, pekerjaan mulai terhenti. Saat itu, Rio sedang menyusuri jalan desa bersama Ruri dan Sayo.

 

"Ayo, Rio. Di sebelah sini."

 

Lengan Ruri menjerat lengan Rio saat dia menariknya dengan paksa.

 

"Aku tidak keberatan mengikutimu, tapi bisakah kamu memberitahuku kemana kita akan pergi, Ruri-san?" 

Rio bertanya pada Ruri.

 

Sejujurnya, Rio tidak tahu kemana tujuan mereka. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Rio melangkah ke taman rumah untuk berlatih, saat itulah tiba-tiba Ruri dan Sayo muncul, dan membawanya secara paksa.

 

"Ahaha. Aku ingin memperkenalkanmu kepada beberapa teman kerja kami. Mereka semua sudah berkumpul, dan mereka sangat tertarik padamu, Rio. Benar kan, Sayo?"

 

"B-Benar. Mereka semua telah mengajukan banyak pertanyaan kepada kami selama pekerjaan hari ini. Mereka mengatakan juga, mau denganmu, jadi...”

Sayo berbicara dengan ragu-ragu.

 

"Benar. Mereka semua sangat gigih, mengatakan bahwa mereka ingin bertemu Rio.  Akan menjadi masalah besar jika mereka semua datang ke rumah bersama, jadi kami memutuskan membawamu ke tempat kerja kami."

 

"Aku mengerti. Jika itu masalahnya, tolong bawa aku ke sana."

 

Rio sangat berterima kasih atas tindakan mereka, karena dia ingin mengenal desa secepat mungkin.

 

"Serahkan saja padaku. Sekarang, ayo pergi! Mari kita bawa klien kita ke tempat duduk mereka!" 

Ruri terawa gembira dan menarik lengan Rio.

 

Rio juga menunjukkan sedikit senyuman, tetapi ketika dia berbalik untuk melihat ke belakang, dia menyadari bahwa Sayo telah membeku.

 

"Sayo-san?"

 

"....Ada apa, Sayo?"

 

Sayo tersadar dengan terengah-engah saat dia mendengar suara keduanya. 

 

“T-Tidak, bukan apa-apa. Aku baru saja memikirkan tentang seberapa dekatnya kalian berdua.... "

 

Ruri memiringkan kepalanya ke samping sebelum mendekati Sayo untuk menjelaskan ide cemerlangnya. 

 

"Betulkah? Hmm... Ah, mendekatlah sebentar!"

 

"O-Oke." 

Meskipun kebingungan, Sayo mendekati Ruri.

 

"Bagus, Sayo. Kamu bisa mengisi sisi lain." 

Ruri berbicara.

 

"Heh…?"

 

“Kamu akan membantuku mengawal Rio dari sisi lain, oke? Dengan begitu, kita bertiga akan sangat dekat." 

 

Ruri menarik lengan Rio lebih dekat saat berbicara kepada Sayo yang terkejut. Rupanya dia menyuruh Sayo melakukan hal yang sama dengannya.

 

"Haha..."

Rio tertawa kecil malu-malu. 

 

Menentang tidak akan benar, jadi dia menyerah.

 

"Eh, ah, umm…"

 

Sayo tersipu dan mengalihkan pandangannya antara lengannya dan lengan Rio berulang kali.

 

“Ayo, semuanya sudah menunggu! Cepatlah!" 

Ruri bersikeras.

 

Rio menekan rasa malunya dan mengulurkan lengannya ke arah Sayo. 

 

"....Erm, tolong jaga aku, Sayo-san." 

 

Jika Rio menunjukkan rasa malu disini, maka suasana di antara mereka akan menjadi sangat canggung.

 

“K-Kalau begitu.... Permisi."

 

Sayo mengangguk ragu-ragu dan perlahan melingkarkan lengannya di lengan Rio, Dia tampak cukup gugup karena dia tidak berkedip sama sekali. Mereka bertiga mulai berjalan bersama, dan Rio menunjukkan senyum malu-malu tapi ceria.

 

“Oke, sekarang mari kita pergi!" 

Ruri mengangguk puas dan berjalan menyusuri jalan dekat sawah.

 

Tiba-tiba, angin lembut bertiup di dekat mereka, dan pemandangan di sekitar mereka berwarna merah muda pucat.

 

{ TLN : Bagi yang belum menyadarinya, adegan ini  sama seperti yang ada dicover volume 3 ini }

 

Pulang ke Rumah

 

Satu bulan setelah Rio mulai tinggal di desa….

 

Di rumah pemimpin desa, Rio, Yuba dan Sayo sedang bekerja bersama. 

Tiba-tiba, pintu depan terbuka, menampakkan sosok Ruri yang energik.

 

"Aku pulang! Wah, ya? Kamu belum pulang, Sayo? Semua penduduk desa sudah kembali ke rumah mereka." 

 

Saat dia memasuki ruang tamu, Ruri menyadari kehadiran Sayo dan melebarkan matanya karena terkejut.

 

“Oh, apa sudah selarut itu? Kami sangat terpaku pada pekerjaan." 

Yuba berhenti sejenak dan melihat pemandangan di luar pintu.

 

Rio juga menghentikan apa yang dia lakukan dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk. 

 

"Ini sudah malam."

 

“Sayo, kamu harus segera kembali. Rio, bisakah kamu menemaninya?" Tanya Yuba.

 

"Tentu saja."

Rio langsung mengangguk. 

 

"Ayo, Sayo-san"

 

"J-Jangan khawatir. Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak ingin merepotkanmu, Rio-sama!" 

Saat dia menolak tawaran itu, pipi Sayo memerah.

 

“Sayo mudah takut, jadi lebih baik kamu temani dia. Di luar cukup gelap, dan semua penduduk desa ada di rumah masing-masing, tahu?"

 

“Itu benar— kamu tidak harus merasa seperti itu. Biarkan Rio menemanimu."

 

Ruri dan Yuba menggelengkan kepala pada saat bersamaan.

 

"A-Apa... Apakah kamu yakin?" 

Sayo memandang Rio dengan ekspresi ingin tahu.

 

"Ya, tidak masalah."

Rio berbicara dengan santai, memakai sepatunya untuk pergi keluar.

 

"O-Oke... Kalau begitu, aku akan menerima tawaranmu." 

Sayo mengangguk dengan antusias dan mendekati Rio dengan cepat.

 

"Rio, hanya karena Sayo manis, aku tidak memberimu izin untuk iseng padanya saat kamu sendirian!" 

Ruri tertawa mengejek.

 

"Heh…?"

 

"Tidak mungkin aku melakukan hal seperti itu."

Dengan senyum pahit, Rio menyangkal perkataan Ruri sambil melirik Sayo ke samping.

 

Ruri tertawa kecil. 

 

“Ahaha, aku hanya bercanda. Pergilah kalau begitu juga. Jaga Sayo, ya."

 

"Ya, mari kita pergi... Sayo-san?" 

Rio mengangguk dan menoleh ke gadis yang dimaksud.

 

Sayo membeku dan menatap Rio. 

Ketika Rio menyebutkan namanya, gadis itu tersentak.

 

“Ah... Y-Ya! T-Tolong, Bersikap lembut padaku! Aku akan berada dalam perawatanmu!" 

Sayo menundukkan kepalanya dengan kuat.

 

“Ahaha, kenapa dia harus bersikap lembut jika dia hanya mengantarmu pulang….? Apa maksudmu, Sayo?"

Setelah hening sejenak, Ruri mengucapkan kata-kata itu sambil mencoba menahan tawanya.

 

"Heh...? Ah... T-Tidak, bukan itu! A-Aku tidak bermaksud sesuatu yang aneh seperti itu!" 

Sayo mengguncang kepanikannya sambil melambaikan tangannya dengan putus asa.

 

“Aku mengerti, aku mengerti. Sesuatu yang aneh, ya? Aku ingin tahu apa itu ?”

Ruri mengarahkan pandangannya pada Sayo.

 

"T-Tidak ada..."

Jawab Sayo, tersipu saat dia menundukkan kepalanya.

 

"Cukup. Jika kamu masih bercanda, lakukan nanti saja. Ini sudah larut."

 

Yuba, yang telah menjadi pengamat dalam perbincangan mereka yang sangat menyenangkan, mencoba untuk membantu Sayo yang gemetar.

 

"Okeee. Sampai jumpa besok. Rio, Sayo takut gelap, jadi pastikan kamu tetap di jalan desa!"

 

"Tentu. Ayo pergi, Sayo-san." 

Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Rio berbicara kepada Sayo, yang telah membeku di depan pintu masuk.

 

"Ya." jawab gadis itu.

 

"Apakah kamu takut gelap, Sayo-san?" 

 

Setelah mereka meninggalkan rumah kepala desa dan mulai berjalan, Rio berbicara kepada Sayo tentang ketakutannya akan gelap.

 

“....Eh, ah, ummm... Aku tidak takut, hanya saja aku mudah takut. Saat aku sendirian, itu seperti... Aku takut bahkan oleh suara rumput… C-Cukup kekanak-kanakan, kan?" 

Sayo berbicara dan menunjukkan senyum malu.

 

"Tidak, aku yakin ada juga orang dewasa di luar sana yang juga tidak bisa mengatasinya."

 

"....Terima kasih banyak. Aku senang kamu menemaniku pulang. Sepertinya juga semua orang sudah pulang, jika aku pulang sendirian, aku mungkin akan ketakutan dan mulai berlari secepatnya."

 

"Itu tidak mengherankan. Pada malam hari desa benar-benar sunyi."

 

"Kamu benar... Achuu!"

 

Saat mereka berdua berjalan, Sayo mulai kedinginan dan mengeluarkan suara bersin yang lucu. Musim semi akan segera berakhir, jadi malam ini masih agak dingin. Hari itu agak hangat, jadi Sayo hanya mengenakan pakaian tipis.

 

"Ini dia, Sayo-san." 

Rio melepas mantelnya dan menutupi bahu Sayo dengan itu.

 

“....T-Terima kasih banyak.”

Sayo dengan malu-malu berterima kasih padanya. 

 

Rio tidak bisa melihat ekspresinya dalam kegelapan, tapi pipi gadis itu menjadi sedikit merah.

 

“Shin kemungkinan besar sedang lapar, jadi ayo bergegas. Dia akan khawatir jika kamu terlambat." 

Rio mulai mempercepat langkahnya.

 

"....Oke."

Jawab Sayo dengan ekspresi yang rumit. 

 

Gadis itu ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Rio.

 

Penderitaan Seorang Gadis

 

Musim dingin. Pada malam pertama Kamomo tinggal di desa, Komomo pergi ke pemandian Yuba bersama Aoi - asisten pribadinya - dan Ruri.

 

“Ini adalah kamar mandi yang bagus. Benarkah Rio-sama membuatnya sendirian?" 

Saat masuk, Komomo menunjukkan ekspresi terkejut.

 

"Iya. Rio memiliki pengetahuan tentang banyak hal dan juga sangat terampil dengan tangannya. Menggunakan spirit art, dia membangun semua ini dalam waktu kurang dari dua minggu. Sekarang ini adalah salah satu fasilitas terpenting di desa kami." 

Ruri menjelaskan dengan bangga.

 

"Dari yang aku lihat, ada beberapa bathtub juga."

Kata Aoi sambil melihat sekeliling dengan penuh minat.

 

"Iya. Memiliki satu bak mandi raksasa akan menyulitkan untuk mengganti airnya, jadi dibuatlah begitu untuk mempermudah.​​"

 

"Aku mengerti." 

Aoi nampaknya sangat terkesan mendengar penjelasan Ruri. 

 

"Sepertinya Rio-sama berusaha keras untuk memikirkannya."

 

“Sekarang Rio telah mengisi bak mandi dengan air panas untuk kita, mari kita masuk sebelum menjadi dingin. Jika tidak, tubuh kita juga akan kedinginan. Uugh, dingin sekali." 

Ruri segera menuju area pencucian.

 

"Kita harus mencuci tubuh kita dulu, bukan?"

 

"Biarkan aku membasuh punggungmu, Komomo-sama."

 

Komomo dan Aoi berjalan di belakang Ruri.

 

"Aku akan mencuci punggungmu selanjutnya!" 

Komomo berbicara dengan Ruri.

 

"Ahaha. Terima kasih banyak, Komomo-chan."

 

Karena Ruri yang ramah dan Komomo adalah gadis yang cukup ramah, keduanya berteman di hari pertama. 

Keduanya menjadi cukup dekat untuk berbicara dengan terbuka.

 

"Ruri, apa aku kehilangan tempat?"

 

"Tidak apa-apa. Terima kasih banyak, Komomo-chan." 

Ruri berterima kasih kepada Komomo setelah membasuh punggungnya.

 

"Kalau begitu, sekarang aku akan membersihkan bagian depanmu."

Kata Komomo yang melingkarkan tangannya di dada Ruri dari belakang dan dengan ragu-ragu mulai menggerakan handuknya.

 

"Hah…? Ah, ya!? T-Tunggu sebentar! Komomo-chan!?” 

Ruri mulai tertawa geli saat merasakan sensasi itu. 

 

Tiba-tiba, tangan Komomo berhenti.

 

“.....Hmph. Mereka besar."

 

"A-Ahaha. Aku hanya memastikan, tapi apa yang kamu bicarakan?"

 

"Dadamu! Padahal kamu hanya lima tahun lebih tua dariku...”

Komomo cemberut dengan ekspresi tidak puas.

 

"Y-Yah, kamu masih tumbuh, Kamomo."

 

"…Betulkah?"

 

"Y-Ya! Bukankah begitu, Aoi-san?" 

Ruri mengangguk panik dan meminta bantuan Aoi.

 

"Y-Ya. Itu benar, Komomo-sama. Ketika aku seusiamu, tubuhku sangat mirip denganmu." 

Aoi menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.

 

"Tapi... Meskipun kamu beberapa tahun lebih tua darinya, mengapa Ruri memiliki dada yang lebih besar darimu?"

 

"Ugh ..."

 

Meski sedang membasuh punggung Komomo, keterkejutannya sudah cukup untuk membuatnya menghentikan tangannya. Seolah ingin mengkonfirmasi sesuatu, asisten itu meletakkan tangannya di dadanya.

 

"A-Ahaha. Ya, setiap orang berbeda-beda." 

Ruri menghindari topik pembicaraan dengan senyum pahit.

 

“.... Aku dengar pria lebih suka wanita dengan dada yang besar. Apa menurutmu Rio-sama berpikiran sama?" 

Komomo menunjukkan ekspresi khawatir.

 

"K-Komomo-sama!? Mengapa kamu mengajukan pertanyaan seperti itu !?" 

Aoi bertanya dengan nada terkejut.

 

“Aoi, sekarang bukan saatnya memikirkan masalah sepele sepert itu. Yang penting di sini adalah preferensi Rio-sama. Bagaimana menurutmu, Ruri?" 

Komomo menggelengkan kepalanya dan menoleh ke Ruri.

 

"Heh? Ahaha. Umm, siapa yang tahu...?" 

Ruri memiringkan kepalanya dengan kaku dan tertawa canggung. 

 

Ekspresi Komomo diwarnai dengan kesedihan.

 

“Ah, um, lain kali saat aku bertemu Rio, aku akan bertanya padanya! Aha, ahaha...”

 

Ruri hanya bisa membuat janji itu karena kecanggungan yang meningkat padanya.

 

"Betulkah!?" 

Ekspresi wajah Komomo menjadi sangat cerah.

 

Ruri mengangguk dengan suara melengking. 

 

"Y-Ya. T-Tapi aku hanya akan bertanya. Aku tidak tahu apakah dia akan menjawabnya atau tidak..."

 

[ S-Sial, kenapa aku menerima begitu saja!? Ini pertanyaan yang terlalu memalukan! Ah, apa yang akan aku lakukan!? Bagaimana aku akan bertanya kepadanya !? ]

 

Ruri benar-benar menyesal.

 

Mandi Air Dingin

 

Selama musim panas pertama masa tinggal Rio di desa, ada suatu hari ketika gelombang panas yang kuat yang jarang terlihat dalam beberapa tahun terakhir dialami. 

Penduduk desa menangguhkan pekerjaan di ladang dan bersembunyi di rumah masing-masing.

 

"Uugh, panas sekali." 

Ruri duduk di atas bantal di ruang tamu dan mengipasi pada area dada di kimononya.

 

"Ruri. Itu tidak senonoh. Apa yang akan Rio pikirkan saat dia masuk ?" 

Yuba memarahinya, mengerutkan kening.

 

"Tidak masalah. Jika dia datang, aku akan segera menyesuaikannya."

 

"Menyedihkan…"

 

"Ngomong-ngomong, dimana Rio?"

 

"Siapa tahu. Dia tidak mengatakan akan pergi ke suatu pacara, jadi mungkin dia ada di kamarnya?"

 

Keduanya tidak tahu keberadaan Rio, tetapi pada saat itu pintu terbuka dan orang yang dimaksud muncul.

 

"E-Eh? Rio, apakah kamu mau keluar?" 

Ruri tersentak dan mengatur pakaiannya dengan panik.

 

Rio bisa melihat area telanjang dadanya, tetapi dia dengan santai membuang muka. 

 

"....Tidak. Aku melakukan latihan pagiku, dan mandi air dingin. "

 

"Eeeh? Kamu harus istirahat di hari yang panas seperti ini. Tapi mandi air dingin, eh.. Begitu, mandi air dingin. Itu ide yang bagus! Ya!"

 

Ruri melebarkan matanya saat dia membayangkan Rio mengayunkan pedangnya di hari yang sangat panas ini, tapi ketika dia mendengar tentang mandi air dingin, dia berdiri dengan penuh semangat seolah dia baru saja mendapat pencerahan. Dorongan itu menyebabkan area dada kimononya terbuka sekali lagi.

 

“Erm... Lalu, apakah kamu akan menggunakan bak mandi? Aku bisa menyiapkannya untukmu segera." 

Rio segera berbalik dan menuju ke luar.

 

"Hei? Ah, erm, ya! Terima kasih! Ahaha... maaf." 

Ruri tertawa dengan ekspresi minta maaf dan mengatur pakaian berantakannya dengan benar.

 

"Gadis ini sangat merepotkan."

Yuba menghela napas lelah.

 

Yuba memberi Ruri pelajaran keras tentang  etiket wanita yang pantas. Setelah beberapa menit, Ruri akhirnya dibebaskan dan berjalan menuju pemandian.

 

“Mou, kejadian hari ini hanya kecelakaan biasa. Aku mungkin sedikit ceroboh saat Rio datang, tapi tetap saja… Semuanya karena gelombang panas ini. Aku harus mengangkat semangatku dan berendam di bak mandi yang dingin itu... Hari ini benar-benar panas sekali, sungguh deh…”

Ruri cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. 

 

Sambil mengipasi area dadanya seperti sebelumnya, gadis itu mencapai tujuannya.

Namun ketika dia mengulurkan tangan untuk membuka pintu, Rio berjalan keluar dari pemandian.

 

"Ah, Ruri. Aku baru saja menyelesaikan persiapan. Ayo... Ay...”

Saat melihat Ruri mengipasi dadanya, Rio membeku karena terkejut.

 

"A-Ahaha... M-Maafkan aku, Rio."

Ruri meminta maaf, menyembunyikan dadanya dengan senyum berkedut.

 

"T-Tidak. Akulah yang  minta maaf....”

Rio meminta maaf dengan tidak nyaman.

 

“Y-Yah, itu normal bagimu untuk berada di sini. Aku sangat ceroboh, bukan begitu? Ah, rahasiakan ini dari nenekku. Dia baru saja marah padaku." 

Ruri menyatukan tangannya dan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Rio, seolah-olah dia sedang berdoa.

 

“Tentu, aku tidak keberatan, tapi... Bukankah seharusnya sebaliknya? Akulah yang harus meminta maaf."

 

Ruri memiringkan kepalanya sambil berpikir. 

 

"Heh? Hmm. Sekarang kamu  menyebutnya, mungkin? Tapi itu salahku, aku lah yang ceroboh.”

Kata Ruri yang nyengir malu-malu.

 

"Ha ha. Jadi, aku akan pergi sekarang. Dinginkan semua yang kamu mau."

 

"Iya. Terima kasih... Ah, Rio. Apakah kamu ingin ikut denganku?" 

Ruri bertanya dengan rasa ingin tahu.

 

Rio menggelengkan kepalanya terus terang.

 

"Tidak."

 

"Ahaha, aku hanya bercanda." Ruri tertawa ringan.

 

"Silakan luangkan waktumu." 

Rio menunjukkan senyum yang agak bahagia dan menarik diri. 

 

Namun, sesampainya di depan pintu masuk rumah, Ruri berteriak.

 

"H-Hya! Sangat dingin! R-Rio! Panaskan sedikit lagi!"

 

 [ .....Kurasa aku membuatnya terlalu dingin. ]

 

Rio berbalik dengan senyum masam. 

 

Dia bertemu dengan sosok Ruri yang tidak dijaga sekali lagi, tapi itu cerita untuk lain waktu.