Requiem for a Goodbye – Chapter 6 : 「Menuju ke Ibukota Sekali Lagi」
Beberapa hari telah berlalu sejak Rio dan yang lainnya kembali dari ibukota.
Produk-produk desa terjual dengan baik, membuat dompet penduduk desa penuh sehingga semua orang menunjukkan senyum bahagia. Akhirnya hari raya panen telah tiba, dimana mereka berdo'a agar hasil panen tahun berikutnya melimpah.
Meski masih siang, orang-orang desa sudah berkumpul di alun-alun untuk minum bersama. Para wanita, yang bangga dengan keterampilan kuliner mereka, sedang mempersiapkan pesta di dapur rumah masing-masing. Dengan bantuan beberapa asisten, makanan siap dibawa ke alun-alun desa. Tak lama kemudian anak-anak mulai makan dengan antusias.
Sedangkan Rio, dia menggunakan dapur rumah Yuba untuk menyiapkan berbagai hidangan menggunakan resep khususnya. Saat itu, Rio sedang memasak bersama Sayo dan Ruri.
Mereka bertiganya sedang mempersiapkan, pai daging, pai apel, dan kamutan versi mereka, karena Rio telah menjanjikannya kepada Sayo.
Karena tidak ada yang tahu cara membuat mie kamutan, dan pai daging serta pai apel bukanlah hidangan khas Kerajaan Karasuki, Rio memimpin dengan bantuan Ruri dan Sayo sebagai asisten.
Secara alami, mie kamutan dibuat sendiri yang telah disiapkan dua hari sebelum acara. Dua panci besar telah ditempatkan di dapur : satu dengan sup shoyu dan satu lagi dengan sup miso, keduanya sedang mendidih.
“Wow — Baunya sangat enak sekali. Kita akhirnya bisa membuat kamutan sendiri...”
Mencium aroma yang keluar dari panci, Ruri menunjukkan senyuman senang.
“Aku hanya pernah membuatnya beberapa kali, jadi aku masih pemula. Metodenya mungkin berbeda jika kita membandingkannya dengan yang mereka lakukan di ibukota… Supnya juga baru percobaan, jadi aku tidak terlalu yakin dengan rasanya.”
Kata Rio sedikit khawatir.
"Jangan khawatir! Aku yakin semua orang akan nambah lagi. Saat aku cicipi, supnya sangat enak."
“Kamu benar, mereka pasti akan memintamu lagi untuk membuatnya. Atau lebih tepatnya, mereka akan mencoba membuatnya sendiri!"
Ruri dan Sayo berbicara dengan nada percaya diri.
“Butuh banyak waktu dan bahan, tapi kalian benar. Aku juga ingin membuatnya lagi… Meskipun, aku mungkin tidak bisa membuat sup yang sama persis...”
Rio mengangguk dengan senyum ceria.
Meskipun Rio tidak tahu apakah tahun depan dia masih berada di desa, dia berharap bisa mempersiapkan kamutan bersama mereka lagi.
Setelah sup mendidih selama sekitar satu jam, mie yang disiapkan dan pai panggang dibawa ke alun-alun. Ketika penduduk desa melihat Rio telah membuat kamutan, mereka segera berkumpul di sekitarnya.
Menggunakan dapur darurat yang dibuat dengan spirit art, Rio mulai memasak mie.
Ketika penduduk desa mencicipi kamutan yang telah dia siapkan, mereka semua meneriakkan hal-hal seperti "Enak!"
Melihat ekspresi gembira penduduk desa, Rio menyimpulkan bahwa usahanya tidak sia-sia dan juga mulai tersenyum. Pai daging dan pai apel juga diterima dengan baik.
Setelah beberapa saat, Rio dan para gadis bergabung dengan pesta, makan dan minum sambil menyaksikan orang-orang bernyanyi dan menari dengan gembira di tengah alun-alun. Suasana yang hangat, penuh tawa dan kegembiraan.
Namun, saat matahari mulai terbenam.
[ … Hm? ]
Rio tiba-tiba mengeluarkan batu roh yang ada di sakunya. Pola magis telah muncul di permukaan batu, memancarkan cahaya dan panas yang kuat.
Batu roh tersebut adalah inti dari penghalang penyusup yang dipasang Rio di sekitar seluruh desa setelah insiden Gon. Biasanya dia menonaktifkannya pada siang hari karena penduduk desa datang dan pergi cukup sering, tetapi karena sedang ada pesta dia memutuskan untuk mengaktifkannya.
[ Siapa itu? Seorang pengelana, seorang pedagang, seorang tamu… Dia datang dari timur. ]
Mengabaikan penduduk desa lainnya, Rio segera berdiri.
Batu roh memancarkan cahaya kuat ke arah penyusup, jadi Rio berjalan ke arah itu. Saat dalam perjalanan, dia menggumamkan "Dissolvo" dan mencabut pedangnya dari penyimpanan ruang-waktu.
Setelah berjalan cukup jauh dari alun-alun, Rio mencapai ladang yang berada di sisi timur desa, bertemu dengan belasan pria dan wanita yang mengenakan pakaian bepergian.
Mereka tidak tampak bermusuhan, tetapi mereka semua diperlengkapi dengan senjata dan mereka juga tidak menunjukkan kelemahan. Mereka semua tampaknya pengguna seni bela diri.
"Apa kalian membutuhkan sesuatu dari desa ini?"
Rio bertanya dengan hati-hati.
Ketika sekelompok pengelana itu melihat Rio memiliki pedang di tangannya, mereka menunjukkan sedikit tanda kewaspadaan. Namun, pria paruh baya dan wanita yang memimpin mereka memandangi Rio dengan ekspresi berbeda.
“....Namaku Saga Gouki. Maafkan aku, tapi bolehkah aku menanyakan namamu? Mungkinkah kamu adalah Rio-sama?"
Pria yang memimpin kelompok itu memperkenalkan dirinya dan tiba-tiba menanyakan nama Rio.
Begitu mendengar nama belakang Saga, Rio langsung teringat dengan wajah Hayate, orang yang baru saja dia temui.
[ Mungkinkah ini ayahnya. ]
"Itu benar... Mungkinkah anda adalah ayah Hayate-dono?" Rio menjawab.
“Jadi ini benar-benar anda, Rio-sama! Merupakan suatu kehormatan berada di hadapanmu."
Dipenuhi emosi pada ekspresinya, Gouki dengan cepat berlutut. Tidak, bukan hanya Gouki, semua yang lainnya juga ikut berlutut tanpa mempedulikan pakaiannya.
"M-Maaf?"
Tidak dapat memahami situasinya, Rio mundur.
“Erm, ini pertemuan pertama kita, bukan...? Mungkinkah kalian salah mengira aku sebagai orang lain? Aku akan sangat menghargai jika kalian bisa berdiri terlebih dahulu..."
“Tidak, ini bukanlah kesalahan. Rio-sama. Istriku, Kayoko dan aku pernah menjadi pelayan setia ibumu, Karasuki Ayame-sama.”
Gouki menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Karasuki... Ayame?"
Mendengar nama depan dan belakang ibunya, Rio terdiam.
“Maafkan aku, karena terlalu terburu-buru, tapi ibumu adalah bangsawan dari kerajaan Karasuki. Aku datang mengunjungimu setelah menerima surat dari Yuba-dono…. Ibu dari teman dekatku, Zen."
Kata-kata yang keluar dari mulut Gouki benar-benar mengejutkan.
Mengesampingkan apakah akan mempercayai kata-katanya atau tidak, Rio benar-benar terdiam.
“...Untuk saat ini, izinkan aku membimbingmu menuju rumah kepala desa Yuba oba-san. Setelah itu aku akan memanggilnya, agar Gouki-dono bisa menceritakan kisahmu dari awal. Apakah itu baik-baik saja? Tolong berdiri."
Entah bagaimana, Rio bisa tenang kembali.
Bahkan jika tidak ada orang di sekitar karena sedang ada pesta, ladang bukanlah tempat yang cocok untuk percakapan ini, dan dia perlu waktu untuk menenangkan diri.
"Aku mengerti. Jadi, permisi dulu."
Gouki dan yang lainnya dengan sungguh-sungguh mengangguk dan bangkit berdiri.
"Lewat sini."
Mendesah kecil, Rio mulai membimbing mereka.
Kelompok Gouki berjalan di belakangnya dengan sikap yang penuh hormat.
Setelah mencapai tujuannya, Rio menuju ke alun-alun dan mencari Yuba yang sedang berbicara dengan penduduk desa lainnya. Dengan suara rendah, Rio menjelaskan situasi di telinganya. Meski terkejut, Yuba langsung mengangguk dan menunjukkan senyuman.
"...Aku mengerti. Baiklah — ayo pergi, Rio.”
Nada suara Yuba penuh kasih sayang.
Keduanya pulang dengan cepat. Mereka hampir tidak berbicara saat dalam perjalanan, tapi ketika tujuannya mulai terlihat, Yuba tiba-tiba mulai berbicara.
“....Rio, bagaimanapun juga, kamu akan selalu menjadi cucuku. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Setidaknya itulah yang aku pikirkan. Ini mungkin agak mendadak, tapi aku ingin memberitahumu sekarang."
"Yuba oba-san... Ya, aku merasakan hal yang sama."
Rio menyadari bahwa kata-kata Gouki kurang lebih adalah kebenaran.
“Terima kasih, Ayo kita masuk.”
Yuba berbicara dengan senyum bahagia, sebelum melangkahkan kakinya kedalam.
∆∆∆∆
Di ruang tamu rumah ada Rio, Yuba, Gouki dan Kayoko saling berhadapan. Bawahan Gouki sedang menjaga sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
Gouki dan Kayoko berlutut berdampingan.
"Rio-sama, terimalah permintaan maaf kami yang tulus karena tiba-tiba mengejutkanmu."
Saat mereka menundukkan kepala, mereka berdua meminta maaf.
"Tidak, tidak perlu meminta maaf untuk itu..."
Rio menggelengkan kepalanya, terlihat agak bingung.
"Gouki-dono, karena kamu di sini, apakah itu berarti kamu telah mendapat izin?"
Yuba menoleh ke Gouki dan bertanya padanya.
"Tentu. Kami tidak datang atas kehendak sendiri, tetapi dibawah langsung oleh perintah Yang Mulia."
Gouki mengangguk dengan tegas.
"Baiklah. Kalau begitu tolong beritahu dia semuanya."
Yuba tampak lega, lagipula kebenaran akhirnya akan terungkap. Seolah-olah beban berat telah diangkat dari pundaknya.
“Tentu saja, itulah mengapa kami ada di sini. Yang Mulia raja dan ratu ingin mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf atas semua yang telah Yuba-dono alami selama ini."
"Aku merasa terhormat."
Yuba menundukkan kepalanya dengan bersyukur.
"Baik."
Gouki mengangguk.
“…Sekarang, Rio-sama. Bisakah aku menceritakan tentang Putri Ayame dan teman dekatku, Zen?"
Beralih ke Rio, dia bertanya.
"…Ya silahkan."
Rio mengangguk.
Kemudian, Gouki perlahan mulai menjelaskan.
"Ceritanya dimulai 12 tahun yang lalu ... Tapi pertama-tama, izinkan aku memberitahumu tentang hubungan yang aku miliki dengan ayahmu, Zen. Jika kamu mau, Yuba-dono bisa memberitahumu semua yang terjadi sebelum itu..."
Gouki berbicara sambil Dia sedang melihat Yuba.
“Zen adalah anak yang canggung, tetapi pada saat yang sama, baik hati dan cerdas. Saat itu kami sedang berperang dengan Kerajaan Rokuren, jadi desa kami sedang mengalami masa-masa yang sangat sulit. Karena dia adalah anak kedua, Zen memutuskan untuk pergi dan mengurangi jumlah orang yang harus diberi makan, dan secara sukarela mendaftar sebagai tentara.”
Yuba berbicara tentang Zen dengan senyum nostalgia.
“Zen memiliki bakat alami dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan spirit art dan seni bela diri. Pada saat itu, kami berada di tengah perang. Pada awalnya, dia dipandang sebagai seorang prajurit belaka, tetapi tidak butuh waktu lama baginya untuk membedakan dirinya dari yang lain, mencapai prestasi yang layak untuk pengakuan Yang Mulia. Karena itu, Yang Mulia memberinya gelar ksatria. Saat itulah aku bertemu dengannya." Gouki menambahkan.
Di Kerajaan Karasuki ada tradisi bahwa kesatria pemula harus berhadapan dengan para veteran. Saat itu, lawan Zen adalah Gouki. Meskipun Gouki jauh lebih muda saat itu, dia adalah salah satu prajurit terkuat di seluruh kerajaan. Namun, meskipun Zen adalah seorang ksatria pemula, Gouki harus memberikan yang terbaik selama berhadapan dengannya.
“Meski hanya pertandingan uji coba, tapi tidak banyak lawan yang bisa membuatku bersemangat seperti yang dilakukan Zen. Keterampilannya sangat luar biasa. Itu sebabnya, aku merekomendasikannya untuk menjadi salah satu pengawal keluarga kerajaan. Seperti yang bisa anda bayangkan, anggota keluarga kerajaan yang ditugaskan untuk menjaga Putri Ayame."
"Ibuku… Ibuku adalah anggota keluarga kerajaan…."
Rio menggumamkan kata-kata itu, tidak dapat menerima kenyataan.
"Putri Ayame tidak dalam posisi untuk pewarisan takhta, tapi dia diakui bahkan di kerajaan tetangga sebagai kecantikan Karasuki."
Gouki mendengus sambil menunjukkan senyuman di wajahnya.
"Suamiku, itu tidak sopan."
Kayoko, yang tetap diam sampai saat itu, berbicara dengan nada dingin.
“K-Kamu benar. Itulah, bagaimana cara Zen menjadi pengawal Putri Ayame."
Gouki buru-buru mengganti topik.
Meskipun Zen luar biasa sebagai seorang tentara, fakta bahwa dia hanyalah seorang penduduk desa telah menyebabkan kontroversi besar.
“Ada beberapa orang yang tidak ingin menyerahkan anggota keluarga kerajaan dalam perlindungan rakyat jelata. Terlepas dari kemampuannya, Zen tidak memiliki pendidikan dan posisi sosial. Namun, Kayoko dan aku juga penjaga Putri Ayame, jadi kami berhasil mendidiknya dengan cara yang benar. Lebih penting lagi, Putri Ayame sepertinya menyukainya..."
Zen menjadi pengawal Ayame tanpa masalah.
“Jika aku berani mengatakan, Putri Ayame adalah seorang yang hampir selalu terkunci di kastil dan Zen adalah cahaya yang mewakili dunia luar. Dia sering menanyakan banyak pertanyaan tentang kehidupannya di desa."
Ayame menjadi tertarik pada Zen dengan cepat. Setiap orang dapat dengan mudah mengetahui apa yang sedang terjadi. Pada saat yang sama, Zen juga mulai tertarik pada Ayame.
Namun, Ayame tetaplah seorang putri, dan bahkan jika Zen telah menjadi ksatria, masa lalunya sebagai seorang penduduk desa masih ada. Karena perbedaan antara posisi sosial mereka terlalu besar, Zen memutuskan untuk menekan perasaannya.
“Sebenarnya Putri Ayame diam-diam mengunjungi desa ini beberapa kali. Zen dengan putus asa mencoba menghentikannya dengan mengatakan bahwa tidak ada yang menarik untuk dilihat, tetapi Putri Ayame menolak untuk mengalah. Kami juga tidak tahu harus berbuat apa."
"Begitukah... Jadi hal seperti itu penah terjadi ..."
Kata Rio yang mendengarkan dengan cermat cerita awal hubungan orang tuanya.
Saat Gouki menceritakan kisah itu dengan tertawa bahagia. Namun, tidak butuh waktu lama untuk ekspresi seriusnya kembali.
"Saat itulah Kerajaan Rokuren memanfaatkan jeda sesaat dalam perang untuk mengeluarkan perjanjian damai."
Perjanjian damai bukanlah peristiwa yang jarang terjadi. Faktanya, kerajaan Karasuki dan Rokuren telah membuat beberapa perjanjian selama periode perang mereka yang lama.
Kedua kerajaan memiliki kesamaan sejarah yang besar. Kerajaan Rokuren telah bertanggung jawab untuk memulai perang, tetapi memperpanjangnya secara tidak perlu tidak akan bermanfaat bagi ekonomi dan warga kerajaan. Melalui hal yang sama, Kerajaan Karasuki memutuskan untuk menerima perjanjian damai.
Maka, untuk merayakan perjanjian dan memadamkan kepedulian masyarakat, para petinggi memutuskan untuk mengadakan festival akbar di ibukota Karasuki, mengundang pangeran Rokuren sebagai duta besar.
Upacara berlangsung dengan damai, dan perjanjian damai ditandatangani tanpa hambatan. Yang tersisa hanyalah pangeran Rokuren untuk pulang, dan kemudian perjanjian itu akan berlaku.
Namun, pada malam kepulangannya, sebuah insiden terjadi. Seseorang mencoba menculik Ayame saat dia sedang tidur. Namun, Zen, yang telah mengawasinya dari bayang-bayang, mampu menahan pelaku kejahatan sebelum dia mencapai tujuannya.
Terungkap bawhwa penculik itu adalah salah satu asisten Pangeran Rokuren.
Zen mencoba membuatnya berbicara dan bertanya mengapa dia mempertaruhkan perjanjian yang baru saja ditandatangani oleh kedua kerajaan, tetapi penculik itu menggunakan senjata rahasia untuk bunuh diri. Setelah itu, meski berada di tengah malam, kastil mulai bekerja tanpa henti.
Pertemuan darurat dilakukan antara gubernur Karasuki dan Duta Besar Rokuren. Dalam pertemuan tersebut, Kerajaan Karasuki meminta penjelasan tentang kejadian tersebut, namun Pangeran Rokuren menolak untuk patuh dan sebaliknya bereaksi dengan marah mengatakan bahwa asistennya telah diculik dan dibunuh.
Dari sudut pandang Kerajaan Karasuki, memang Rokuren-lah yang mencoba melakukan penculikan, pelakunya juga sudah tewas dan pengawalnya, Zen adalah satu-satunya yang saksi. Selain itu, Ayame telah tidur di kamarnya. Namun, tidak ada cukup bukti untuk menyalahkan kerajaan Rokuren.
Sementara itu, Kerajaan Rokuren juga kekurangan bukti, tetapi pangeran menggunakan fakta bahwa asistennya sudah mati untuk mengatakan dengan tegas bahwa kepercayaannya telah dikhianati.
Negosiasi antara kedua belah pihak membeku, dan tidak ada alternatif lain selain memutuskan perjanjian damai.
“Kerajaan Rokuren menetapkan dua syarat tambahan, pertama : eksekusi Zen, dan kedua : pernikahan politik antara Pangeran Rokuren dan Putri Ayame. Dengan itu, pangeran akan memaafkan kematian asistennya, dan tetap menjadi bagian dari perjanjian damai. Hanya mengingatnya saja membuat darahku mendidih.”
Gouki berbicara, tubuhnya gemetar karena marah.
Jika semua yang dikatakan Gouki benar, maka tuntutan Rokuren benar-benar tidak tahu malu dan memalukan.
Tanpa disadari, Rio mengerutkan keningnya. Dia hanya bisa membuat beberapa asumsi tentang latar belakang politik saat itu, tetapi dari apa yang dikatakan Gouki, ada rumor bahwa pangeran adalah orang yang kejam dan jahat. Jika seseorang seperti itu menikahi Ayame… Yah, itu bukanlah pemikiran yang positif.
Bagaimanapun, sementara tuntutan pihak Rokuren terdengar konyol, itu adalah bagian dari kebijakan untuk menganggap semua proposal konyol seperti itu terlihat.
Selanjutnya, pihak Rokuren telah mendistorsi kebenaran tentang motif di balik pelanggaran perjanjian, dan menyebarkannya ke luar, memanipulasi perasaan warga dan seluruh masyarakat.
Penduduk ibukota mulai gelisah, menimbulkan beberapa protes. Bahkan di dalam kastil kerajaan Karasuki ada sejumlah besar bangsawan yang menentang perang.
Otoritas raja bisa saja menekan ketidakpuasan itu, tapi hanya yang dipermukaan. Kerajaan Karasuki telah kalah dalam pertempuran pertama, dan kini terjebak dalam posisi yang tidak menguntungkan.
“Meski begitu, tidak ada yang menjamin kami bahwa kerajaan musuh akan tenang jika kami menerima proposal mereka. Pada saat yang sama, mencabut perjanjian damai yang baru saja dibuat dan melanjutkan perang akan meningkatkan tingkat ketidakpuasan warga ke tingkat yang tidak terbayangkan. Untuk keluar dari situasi mengerikan yang kami hadapi, kami harus bergerak. Itulah mengapa Yang Mulia berpura-pura menerima permintaan itu. Segalanya untuk mengulur waktu. Pada akhirnya, Yang Mulia memerintahkan Zen untuk melarikan diri dan membawa Ayame bersamanya."
Meski tidak banyak, dengan begitu mereka bisa mengulur waktu. Sementara itu, raja dan beberapa pengikutnya yang paling penting menyusun rencana rahasia.
“Yang Mulia memilih yang terbaik dari yang terbaik untuk membentuk pasukan unit kecil yang akan bertindak secara rahasia, dan mengirim mereka ke Kerajaan Rokuren. Setelah itu, Yang Mulia secara resmi mengumumkan bahwa Zen telah membawa Putri Ayame bersamanya dan mereka telah melarikan diri."
Jelas, mendengar berita itu, pangeran sangat marah.
"Kalian bermain-main dengan orang yang salah!"
Katanya saat kembali ke kerajaannya dan menyatakan perang dengan bangga.
Pada saat yang sama, ketidakpuasan di dalam kerajaan dialihkan ke Zen dan Ayame, yang telah melarikan diri.
Mereka berdua terlalu tidak bertanggung jawab. Tidak ada pilihan lain selain menangkap mereka dan membuat mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Namun, awal perang baru saja tiba. Kelompok-kelompok yang menentang perang mulai dengan enggan menggerakkan pasukan mereka, mengirimnya ke Kerajaan Rokuren. Menanggapi langkah besar militer Karasuki, Kerajaan Rokuren pun mengerahkan pasukan yang sama besar. Kedua kelompok militer itu bertemu di perbatasan kerajaan, bersiap untuk berhadapan.
Pada saat itulah pasukan elit yang dipilih Kerajaan Karasuki mulai bergerak, termasuk Gouki.
Para prajurit melancarkan serangan mendadak, mengejutkan pasukan Kerajaan Rokuren dari belakang dan mengambil kepala para perwira komandan.
Pasukan elit terdiri dari prajurit yang sepenuhnya setia kepada keluarga kerajaan. Mereka semua sangat membenci kerajaan musuh atas apa yang telah terjadi. Dengan demikian, serangan rahasia terus berlanjut saat moral para prajurit berada di tingkat tinggi.
Tak lama kemudian, para prajurit menyerbu ke inti kamp musuh, dan membantai setiap jenderal, yang telah mengadakan pertemuan.
Selanjutnya, karena dia juga termasuk di antara mereka, pangeran ditangkap. Hasilnya, pertempuran pertama dimenangkan hanya dengan serangan mendadak. Itu adalah kemenangan yang bersejarah.
“Pasukan Rokuren dibubarkan dan terpaksa mundur setelah kehilangan pangeran dan jenderalnya, yang menyebabkan moral prajurit kita meningkat lebih tinggi dari sebelumnya... Seolah-olah oposisi yang mereka tunjukkan terhadap perang adalah kebohongan total. Setelah itu, pasukan kami bergerak maju sebelum armada musuh dapat pulih, memperoleh beberapa kemenangan besar sebagai hasilnya. Karena itu, Kerajaan Rokuren tidak butuh waktu lama untuk menyerah."
Gouki menceritakan akhir perang dengan ekspresi puas.
Sejak Kerajaan Rokuren menyerah, mereka memasuki status sebagai negara yang kalah.
Berkat itu, Kerajaan Karasuki mampu membangun kondisi yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dalam perjanjian damai baru yang telah dibuat.
Berbagai kondisi yang dibangun membuat Karasuki makmur. Ketidakpuasan warga lenyap dalam sekejap mata.
“Namun, meski hasilnya adalah kemenangan gemilang, kami telah melewati jembatan yang berbahaya. Peristiwa yang menyebabkan perang itu penuh dengan kekecewaan dan kebohongan, dan jika para prajurit melakukan kesalahan, hasil perang bisa jadi sebaliknya. Lebih penting lagi, fakta bahwa Yang Mulia telah memerintahkan Zen untuk melarikan diri bersama Putri Ayame terlalu merusak. Keduanya secara resmi diperlakukan sebagai pengkhianat karena telah melarikan diri bersama dan menjadi penyebab utama perang."
Dan dengan demikian, keduanya kehilangan tempat di wilayah Yagumo.
Di saat yang sama, penghalang sosial yang memisahkan Zen dari Ayame juga menghilang. Sangat ironis.
“Yang Mulia tahu bahwa Putri Ayame jatuh cinta pada Zen dan begitupun Zen merasakan hal yang sama pada Putri Ayame. Namun, mustahil bagi mereka berdua untuk bersama jika Zen hanya berstatus seorang pengawal Ayame. Meskipun mereka mungkin bisa menolak permintaan pangeran, Ayame-sama akan berakhir dalam pernikahan politik lain. Sebaliknya, Yang Mulia memilih untuk meninggalkannya dalam perlindungan Zen. Tetapi sejak saat itu, Yang Mulia selalu tertekan, dia bertanya-tanya apakah benar dalam membuat keputusan..."
Setelah perang, Raja Karasuki mengirim nama Ayame dan Zen ke daftar buronan kerajaan tetangga. Selain itu, untuk menyembunyikan kebenaran sepenuhnya, dia memaksa semua orang yang tahu situasinya untuk tetap diam. Hanya Yuba yang diberitahu tentang apa yang terjadi karena dia adalah ibu Zen, tapi dia juga dilarang membicarakannya. Itulah mengapa dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Rio.
“Sejak itu, kami sangat menyesal. Kayoko dan aku merasa bersalah karena tidak bisa menemani sang Putri Ayame...”
Gouki berbicara dengan ekspresi penuh penyesalan.
Saat itu, Gouki dan Kayoko sudah menikah, dan Kayoko sedang mengandung Hayate di dalam rahimnya. Tidak mungkin dia bisa melakukan perjalanan saat hamil.
Juga, sejak Gouki dan Kayoko tinggal, pelarian Zen dan Ayame tampak jauh lebih realistis.
Namun mereka berdua juga pengawal Ayame. Jelas, dia tidak menyesal memiliki Hayate, tapi pertanyaannya, apakah mereka harus memaksakan diri untuk mengikuti Ayame.
"Beberapa hari yang lalu, aku menerima sepucuk surat dari Yuba-dono, memberitahukan tentang kehadiran Rio-sama dan fakta bahwa dia datang dari negeri yang jauh untuk mencari petunjuk tentang orang tuanya."
Jika berita itu datang dari orang lain, Gouki mungkin tidak mempercayainya, tetapi orang yang mengungkapkan informasi itu kepadanya adalah nenek Rio, Yuba.
Kata-katanya memiliki tingkat keaslian yang lebih tinggi.
Karena itulah Gouki dan Kayoko menunggu keputusan raja. Yang Mulia telah memberi mereka tanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran kepadanya jika dia benar-benar putra Ayame.
“Saat melihamu, Rio-sama, aku tidak bisa menahan diri untuk terbawa emosi. Sosokmu mengandung ciri-ciri Zen dan Putri Ayame. Itulah sebabnya aku sangat yakin dan tanpa diragukan lagi, anda adalah putra dari Putri Ayame."
Rio percaya bahwa cara berpikir ini agak terburu-buru, tetapi mungkin kemiripannya dengan orang tuanya terlalu besar. Meskipun dia tidak bisa mengingat wajah Zen, samar-samar dia bisa mengingat wajah ibunya, Ayame.
“Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu, dengan kata lain, orang tua Putri Ayame ingin bertemu dengan anda. Rio-sama, bisakah anda ikut denganku ke ibukota?"
"Mereka berdua... Ingin bertemu denganku..."
Yang Gouki berbicarakan, tidak lain adalah tentang kakek dan nenek Rio, tetapi itu tidak terasa nyata sama sekali, bahkan Rio tidak mengenal wajah mereka.
Tapi karena mereka adalah orang tua Ayame, Rio ingin bertemu dengan mereka juga.
Dan bagaimanapun, bahkan jika Rio mengatakan tidak, sangat sulit untuk berpikir bahwa Gouki dan yang lainnya akan menyerah begitu saja.
Rio menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
"Baiklah."
Dan mengangguk dengan nada yang agak kaku.
Gouki menunjukkan senyum lega.
"Terima kasih banyak telah menerimanya. Aku minta maaf sebelumnya karena baru memberitahu anda sekarang, tetapi aku ingin kita pergi besok pagi. Kami akan menjamin keamananmu selama perjalanan."
Maka dari itu, Rio menuju ke ibu kota sekali lagi.
∆∆∆∆
Beberapa hari setelah meninggalkan desa, Rio mengunjungi istana kerajaan Karasuki. Dengan bersama Gouki dan Kayoko, dia bisa melewati pintu masuk tanpa masalah, dan dipandu ke sebuah ruangan tertentu.
Disana dapat terlihat pasangan paruh baya sedang menunggu, mereka tidaklain adalah raja, Karasuki Homura, dan ratu, Karasuki Shizuku.
"O-Ooh, kamu pasti Rio… Begitu, aku pasti bisa melihatmu terdapat jelas fitur Ayame di wajahmu."
Homura berbicara dengan suara gemetar saat dia berdiri, matanya sepenuhnya terfokus pada wajah Rio.
Sementara itu, Shizuku sedang melihat wajah Rio dengan emosi yang luar biasa.
[ Yang Mulia, Raja Homura, dan Yang Mulia, Ratu Shizuku... Sang Ratu sangat mirip dengan ibuku. ]
Rio balas menatap mereka dengan ekspresi tertegun.
Mereka menyampaikan perasaan yang jauh lebih ramah dari yang diharapkan.