Requiem for a Goodbye – Chapter 5 : 「Pergi ke Ibukota」
Sudah dua hari berlalu sejak hukuman Gon diputuskan. Saatnya tiba bagi kelompok perdagangan dari desa Yuba menuju ke ibukota.
Meskipun pagi-pagi sekali, beberapa penduduk desa telah berkumpul di alun-alun, tempat beberapa kereta kuda berada. Di antara mereka tidak hanya kelompok perdagangan, tapi juga kelompok Hayate.
Kelompok Hayate sedang menuju ke desa yang searah dengan ibu kota, jadi mereka memutuskan untuk menemani kelompok dagang tersebut untuk sebagian perjalanannya. Selain itu, beberapa asisten Hayate akan tinggal dengan kelompok dagang itu untuk mengawal Gon dan teman-temannya.
"Cepat! Pastikan semua pajak tahunan ada di dalam gerbong! Gerbong dengan tahanan akan ditempatkan di belakang. Bagi kalian yang bertindak sebagai pengawal, jangan alihkan pandangan kalian dari mereka sedetik pun.” Perintah Hayate dari kudanya.
Beberapa orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan terburu-buru.
"Hayate-sama."
Ruri berbicara padanya dari sisinya.
"Hm? O-Oh, Ruri-dono, ada yang bisa aku bantu?"
"Eh, tidak. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang kamu lakukan. Kamu tidak harus turun dari kudamu."
Hayate telah turun dari kudanya secepat mungkin, menyebabkan Ruri tertawa kecil.
“A-Ah, tidak, yah… Jangan khawatir. Aku tidak melakukan apa pun yang layak untuk mendapatkan rasa terima kasih seperti itu, aku hanya memenuhi tugasku sebagai pejabat pemerintah. Sebaliknya, anda harus berterima kasih kepada Rio-dono. Dialah yang menghentikan para penyusup."
“Ya, Aku pasti akan berterima kasih lagi pada Rio nanti. Namun, Hayate-sama, aku tidak akan bertemu denganmu lagi untuk waktu yang lama, jadi aku ingin memberimu hadiah. Aku tidak bisa menyiapkan sesuatu yang mewah, tapi aku ingin kamu menerima ini… ”
Ruri mengulurkan tangannya dengan malu-malu. Di telapak tangannya ada tas kecil.
"…Apa ini?"
Hayate memiringkan kepalanya dengan bingung saat dia menerimanya.
“Itu adalah jimat untuk kesehatan dan keberuntungan. Aku membuatnya terlalu terburu-buru, jadi tampaknya tidak terlalu bagus…”
Ruri berbicara dengan nada malu.
"O-Ooh! Aku sangat berterima kasih! Aku akan sangat menghargainya."
Terbawa emosi, Hayate mengungkapkan rasa terima kasihnya.
"Ahaha, aku senang kamu menyukainya."
"Tentu saja. Itu adalah salah satu hadiah terbaik yang bisa diharapkan siapa pun. Aku ingin memberi anda sesuatu juga, tetapi sayangnya aku tidak memiliki apa pun saat ini. Lain kali saat aku berkunjung lagi, aku pasti akan memberikan anda sesuatu."
“Hadiah ini adalah untuk berterima kasih atas apa yang kamu lakukan untukku, jadi aku tidak bisa membiarkan diriku menerima sesuatu darimu. Ah, tapi, jangan ragu untuk mengunjungi desa kapan pun kamu mau. Jimat ini hampir tidak cukup untuk semua hal yang telah kamu lakukan, tapi kamu akan selalu diterima di desa kecil kami yang membosankan."
"T-Tentu saja. Jadi mungkin saat liburanku nanti… ”
Melihat senyum Ruri, Hayate mengangguk dengan agak ragu-ragu.
"Kami akan menunggumu. Oh iya, ngomong-ngomong, nenekku juga ingin memberimu sesuatu— ”
Ruri menoleh ke arah Yuba seolah-olah dia telah mengingat sesuatu.
"Aku disini. Hayate-dono, aku ingin meminta bantuan anda. Bisakah anda mendengarkan permintaanku"
Seolah-olah dia telah menunggu kesempatannya, Yuba mendekat.
"Tentu. Aku akan mencoba membantu anda sebaik mungkin."
Hayate mengangguk dengan penuh semangat.
"Ruri, ucapkan selamat tinggal pada Sayo dan Rio."
Kata Yuba, menciptakan kesempatan untuk berduaan dengan Hayate.
"Tolong berikan surat ini kepada ayahmu, Gouki-dono."
Yuba berbicara sambil menyerahkan perkamen yang sudah digulung.
"Untuk ayahku?"
"Iya. Itu adalah surat yang sangat penting, jadi aku ingin kamu memberikannya secara langsung."
"Baiklah. Aku akan menerimanya, aku berjanji kepada anda akan mengirimkan surat ini dengan kedua tanganku sendiri."
Hayate menerima surat itu sambil mengangguk penuh semangat dan dengan hati-hati menyelipkannya ke dalam pakaiannya.
"Aku sangat berterima kasih."
“Anda tidak perlu khawatir karena saat aku pulang nanti, aku akan langsung menemui ayahku. Karena anda menggunakan kertas berharga seperti ini, aku kira ini adalah masalah penting. Tolong, serahkan padaku."
"Terima kasih banyak. Aku berharap untuk membalas budi saat kita bertemu lagi. Hmm… Saat kamu datang mengunjungi Ruri, kurasa."
Yuba berbicara sambil menunjukkan sedikit senyum.
“A-Apa anda mendengar percakapanku dengan Ruri-dono? B-Bukannya aku datang hanya untuk bertemu dengannya, tapi Ruri yang menantikannya."
Hayate mulai berbicara dengan cepat, seperti dia mencoba mencari alasan.
"Apa begitu? Yah, gadis itu sudah cukup umur, dan aku akan khawatir jika dia menjadi perawan tua. Semakin cepat kamu datang mengunjunginya, semakin baik."
"S-Seperti yang kubilang, Ruri-dono dan aku hanya…"
Melihat kegugupan Hayate, Yuba tertawa.
"Aku mengerti, tapi kunjungilah dia sebelum dia menikahi orang lain. Melakukan perjalanan jauh hanya untuk mengunjungi wanita yang sudah menikah tidak akan menyenangkan untuk dikatakan, bukan begitu?"
“Uh…. Itu poin yang bagus."
Hayate membuka matanya dan mengangguk dengan senyum tegang.
Sementara itu, tak jauh dari tempat Yuba dan Hayate berada, Rio sedang berbicara dengan ke dua gadis itu.
"Weh. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatmu dengan pakaian itu, Rio. Kamu memakainya saat kamu datang ke desa... Dan kamu juga memakainya beberapa kali selama pelatihanmu, bukan?"
Melihat Rio mengenakan pakaian lengkapnya, Ruri berkomentar dengan kagum.
Rio telah mengenakan pakaian lengkap yang diberikan oleh dwarf dari Seirei no Tami sebelum dia pergi. Di atas baju besinya dia mengenakan jubah hitam. Karena dia hampir tidak pernah berpakaian seperti itu, reaksi Ruri tidaklah mengejutkan.
"Kalau kupikir-pikir, sudah lebih dari setengah tahun sejak Rio-sama datang ke desa…."
Sayo mulai menghitung bulan-bulan yang dihabiskan Rio bersama mereka dengan jari-jarinya.
“Waktu telah berlalu dalam sekejap mata. Sekarang Rio adalah anggota desa kita." Ruri mengangguk senang, lalu menundukkan kepalanya.
"Rio, tolong lindungi Sayo dan penduduk desa lainnya selama perjalanan"
Kata Ruri dengan ekspresi serius.
"Ya, serahkan saja padaku."
Rio mengangguk sambil menunjukkan sedikit senyum.
"Terima kasih. Dan aku minta maaf."
Entah kenapa, ekspresi Ruri terlihat menyesal.
“Untuk apa ?” Rio bertanya kepada Ruri atas permintaan maafnya itu.
“Aku telah mkepalanyan... Tentang apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Semakin aku memikirkan tentang apa yang terjadi saat itu, semakin aku menyadari bahwa aku melakukan sesuatu yang mengerikan kepadamu. Aku berterima kasih padamu, tapi aku tidak meminta maaf. Itu sebabnya aku ingin meminta maaf sebelum kamu pergi ke ibukota. Jika aku menunggumu kembali, itu akan terlambat... "
Ruri menjelaskan perasaannya sambil menunjukkan ekspresi minta maaf. Pada saat itu, Sayo memotongnya.
"U-Umm! Jika itu masalahnya, aku juga ingin meminta maaf kepada Rio-sama!"
"Tidak, Sayo. Kamu bertindak demi Rio bahkan sebelum kamu memikirkan dirimu sendiri. Aku tidak melakukan hal yang sama."
Ruri menggelengkan kepalanya.
"I-Itu tidak benar—"
"Tunggu sebentar, kalian berdua."
Rio menyela obrolan di antara kedua gadis itu, merasa bahwa percakapan itu akan menjadi agak bermasalah.
Ruri dan Sayo menoleh padanya pada saat bersamaan.
“Alasan utama dari masalah ini adalah kurangnya pertimbanganku. Aku sangat kesal sehingga benar-benar mengabaikan sekitarku, dan pada akhirnya melukai kalian. Satu-satunya yang harus meminta maaf adalah aku."
Rio berbicara dengan nada menyesal.
"Itu tidak benar!"
"Itu tidak benar sama sekali!"
Ruri dan Sayo keberatan pada saat yang sama, seolah-olah mereka telah merencanakannya sebelumnya.
Mata Rio melebar sejenak, tetapi beberapa saat kemudian, tertawa ringan keluar dari mulutnya.
"….Ha ha."
"A-Apanya yang lucu?"
Ruri dan Sayo saling memandang dengan ekspresi malu.
"Bagaimana jika kita berjabat tangan?"
Kata Rio, mengulurkan tangannya ke arah gadis-gadis itu.
"Heh? Jabat tangan?”
“Ya, jabat tangan. Kita bertiga memiliki hal-hal yang tidak ingin kita akui, tapi aku ingin mencapai titik kesepakatan. Dengan jabat tangan ini, semuanya akan kembali normal.”
Mendengar ucapan Rio, Ruri dan Sayo tercengang.
“Y-Ya. Terima kasih dan maaf, Rio… ”
Ruri kembali sadar dan meraih tangan Rio.
“Sayo-san. Bisakah kita berjabat tangan ?"
Usai bertukar jabat tangan dengan Ruri, Rio menoleh ke Sayo yang masih bingung.
“Hah!?… Ah, y-ya! J-Jika kamu baik-baik saja dengan itu!"
Sayo menyeka tangannya di pakaiannya, dan mengulurkannya ke arah Rio dengan canggung. Rio tersenyum lembut dan menjabat tangannya, menyebabkan Sayo langsung membeku. Ruri melihat pemandangan itu dengan senyum yang menyenangkan.
"… Ambil ini, kalian berdua. Itu adalah jimat untuk kesehatan dan keberuntungan. "
Setelah Rio melepaskan tangan Sayo, Ruri menawarkan jimat yang sama dengan yang dia berikan pada Hayate.
"Terima kasih banyak. Aku sangat menghargainya.”
"T-Terima kasih banyak Ruri!"
Rio dan Sayo mengucapkan terima kasih.
"Ya. Saat kalian kembali, mari bersenang-senang bersama lagi.” Ruri memberi saran.
"Tentu saja."
Rio segera mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Semoga perjalananmu menyenangkan. Sayo, pastikan kamu tidak lepas dari sisi Rio. Dia akan melindungimu apa pun yang terjadi."
"Heh? O-Oke… ”
Sayo menundukkan kepalanya karena malu.
"Baik! Sepertinya kelompok Hayate-sama sudah siap. Waktunya telah tiba untuk pergi!"
Pimpinan kelompok perdagangan itu, Dola, berteriak dengan semangat.
"Saatnya telah tiba. Ayo pergi, Sayo-san."
"Y-Ya!"
Rio mulai berjalan, dan Sayo mengikutinya.
Setelah penduduk desa mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, Rio dan Sayo naik ke salah satu gerbong. Yuba, Ruri dan semua penduduk desa tetap tinggal di alun-alun sampai akhirnya, gerbong mulai bergerak dengan suara nyaring.
Ada resiko bahwa gerbong akan diserang oleh bandit atau binatang buas, tetapi penduduk desa cukup siap untuk situasi seperti itu. Untunglah perjalanan itu berlalu tanpa masalah. Pada siang hari, kelompok tersebut telah mencapai desa tetangga.
Kelompok Hayate akan tinggal di sana, tetapi beberapa asistennya akan pergi dengan kelompok perdagangan untuk menemani para penjahat ke ibukota.
"Hayate-dono, terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan."
Setelah turun dari kereta, Rio berjalan ke arahnya dan menundukkan kepalanya.
Turun dari kudanya dengan satu gerakan, Hayate menjawabnya dengan senyuman.
“Tidak, aku juga berhutang budi padamu, Rio-dono. Jika kita mendapat kesempatan untuk bertemu lagi, aku ingin berbicara denganmu lagi. Jika anda setuju dengan itu, aku juga ingin latih tanding. Jangan ragu untuk mampir ke rumahku jika anda pergi ke ibukota pada kesempatan lain. Aku akan menyambutmu.”
"Terima kasih banyak. Aku berencana meninggalkan desa suatu hari nanti, jadi aku akan mampir ke rumahmu sebelum itu terjadi.”
“Begitu… Kata-kata itu membuatku sedikit sedih, tapi takdirlah yang akan memutuskan apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Jika terjadi sesuatu selama perjalananmu ke ibukota, percayalah pada rekan-rekanku. Karena itu, berhati-hatilah."
"Iya. Sama untukmu juga, Hayate-dono."
Rio dan Hayate melakukan percakapan yang hangat dan bertukar jabat tangan.
Lalu keduanya saling menganggukkan kepala, sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Setelah itu, perjalanan menuju ibukota berjalan dengan lancar, dan rombongan tersebut melanjutkan perjalanan sambil menikmati sejuknya angin musim gugur.
Beberapa hari kemudian, Rio dan yang lainnya tiba di ibukota.
∆∆∆∆
Rio telah mencapai ibukota Kerajaan Karasuki.
Di tengah ibukota ada bangunan besar, yang arsitekturnya sangat mirip dengan kastil Jepang.
Dinding kastil yang sama besarnya membentang di sekelilingnya. Seperti yang diharapkan dari ibukota, kota di sekitar istana sangat besar. Tak heran jika populasinya mencapai puluhan ribu jiwa.
Karena mereka hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengunjungi ibukota, tidak aneh jika penduduk desa tersesat di tengah keramaian.
Namun, kelompok Rio dipimpin oleh asisten Dola dan Hayate. Rio menuju tempat mereka akan tinggal. Tak perlu dikatakan lagi, asisten Hayate sangat mengenal ibukota, dan rupanya Dola juga pernah mengunjunginya beberapa kali.
Tempat mereka menginap adalah fasilitas bersama yang dikelola langsung oleh pemerintah yang bisa menampung puluhan orang. Pedagang jalanan dan penduduk desa yang datang untuk menjual produk mereka, seperti Rio, cenderung memilih jenis fasilitas ini. Karena mereka hanya menyewa tempat, para penduduk desa harus mengurus dapur dan pakaiannya sendiri.
Akhirnya kelompok Rio sampai di penginapan dan menghentikan gerbong mereka.
"Baik. Kita akan tinggal di sini selama kita tinggal di ibukota, jadi pastikan kalian ingat di mana tempatnya sehingga kalian tidak tersesat. Jika kalian ingin pergi keluar, pergilah dengan seseorang yang mengetahui lingkungan sekitar dengan baik."
Dola berbicara dengan nada bercanda.
Mengesampingkan jalan utama, jalan yang lebih kecil lebih seperti labirin, jadi kata-katanya bukanlah lelucon seratus persen. Penduduk desa yang lebih muda tertawa, tetapi penduduk desa yang lebih tua mendorong mereka dengan mengatakan, "Ini bukan sesuatu yang harus kalian tertawakan."
Dora menunjukkan senyum masam saat melihat adegan itu.
"Baiklah. Aku akan keluar sebentar, jadi aku akan menyerahkan barangnya pada kalian. Rio, bisakah kau ikut denganku? Dan… Shin, kau juga."
"Tentu saja."
Saat dipanggil oleh Dola, Rio dan Shin mendekatinya.
Setelah mereka berjalan sebentar, Dola menjelaskan mengapa dia memanggil mereka.
“Kita akan membawa Gon dan teman-temannya ke kamp interniran bersama dengan bawahan Hayate. Mereka mungkin meminta semacam kesaksian, tapi aku memilih untuk tidak membawa Sayo bersama kita. Maaf Rio, aku harus memintamu untuk datang. Dan kau juga Shin, karena kau adalah kakak laki-laki Sayo. Apakah itu baik-baik saja ?”
{ TLN : Kamp interniran itu semacam tempat yang digunain buat tahanan pada saat perang dunia ke-2 }
“Jika hanya itu, maka tidak masalah. Tolong biarkan aku membantu sampai akhir."
Rio mengangguk dengan ekspresi tegang.
"Yah, aku harus memperhatikan saat-saat terakhir bajingan yang menyerang Sayo."
Shin juga mengangguk dengan ekspresi kebencian.
Maka mereka bertiga bertemu dengan asisten Hayate, yang telah menunggu mereka.
"Maaf membuat kalian menunggu."
Dola meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tidak, kami tidak keberatan, ini merupakan tugas kami. Namun, kamp interniran cukup jauh. Kita harus segera pergi dan kembali sebelum matahari terbenam."
Di bawah bimbingan asisten Hayate, kelompok itu menuju ke kamp interniran. Dengan tujuan mereka itu, lingkungannya cukup suram dan sunyi.
Setelah berjalan selama setengah jam, rombongan mereka mencapai tujuan.
Di pusat ibu kota, kantor administrasi publik kerajaan berkumpul. Ketika mereka mencapai gedung yang sangat besar, seorang penjaga keamanan mendekati mereka. Ketika ditanya tentang niatnya, asisten Hayate mulai menjelaskan situasinya. Berkat itu, proses berjalan lancar dan beberapa penjaga serta petugas keluar untuk membebaskan Gon dan rekan-rekannya.
"Keluar!"
Begitu pintu gerbong dibuka, salah satu penjaga memberi perintah keras. Mengetahui bahwa mereka akan segera ditangkap jika mereka mencoba melarikan diri, Gon dan pengikutnya dengan patuh keluar dari kereta. Tangan mereka diikat, jadi mereka tidak bisa bergerak sama sekali.
"... Eek!"
Saat menyadari kehadiran Rio, Gon berusaha mundur dengan ekspresi penuh ketakutan.
Namun, salah satu penjaga menggunakan tongkat untuk memukul kepalanya.
"Jangan bergerak!"
"Gah!"
Dampaknya cukup kuat untuk membuat Gon kehilangan keseimbangan.
Saat dia tertelungkup, mereka memasang kalung di lehernya.
"S-Sial. Bangsat… "
Saat tubuhnya bergetar, Gon mengeluarkan suara yang menyedihkan.
Di belakangnya, para pengikutnya yang menyangkal keterlibatan mereka dalam insiden tersebut, mengklaim bahwa mereka telah di tipu. Namun, para penjaga mengabaikan mereka dan memasang kalung pada leher mereka.
Rio melihat pemandangan itu dengan wajah tanpa ekspresi.
“Bawa mereka, kami sekarang akan menjalankan prosedur yang diperlukan. Silakan ikuti aku.” Berpaling ke Rio dan yang lainnya, pejabat itu mengucapkan kata-kata itu.
Para penjaga menarik rantai yang diikatkan di leher tahanan dan memasuki gedung.
"Ayo kita pergi."
Dola menghela nafas lelah dan menuju ke dalam gedung. Rio juga menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah maju. Shin sepertinya cukup gugup.
Saat memasuki gedung, mereka menemukan ruangan yang cukup bersih dan rapi, sepertinya ada meja resepsionis di depan pintu. Ada beberapa pedagang yang mengantri.
“Tempat ini tidak hanya menampung budak kriminal, tapi juga budak biasa. Karena itulah para pedagang datang dan pergi.”
Melihat bahwa Shin melihat sekelilingnya dengan cara yang aneh, Dola mulai menjelaskan.
Setelah itu, Rio dan yang lainnya diantar ke ruang tunggu, di mana mereka harus menunggu sampai prosedur yang diperlukan selesai. Setelah beberapa menit, pintu ruang tamu terbuka.
"Maaf telah menunggu. Berkat kesaksian Hayate-sama, persidangan berlangsung jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Keputusan yang diambil oleh hakim adalah sebagai berikut : Gon akan menjadi budak tetap, sedangkan kaki tangannya akan menjadi budak kontrak karena hutang yang mereka miliki.”
Kata bawahan Hayate menjelaskan situasinya.
Karena semuanya telah berjalan seusai dengan yang diharapkan, asisten itu berbicara sambil menunjukkan senyum masam.
“Oh, Aku senang mendengarnya. Mengapa biasanya membutuhkan waktu lebih lama ?"
Tanya Dola dengan mata lebar.
“Soalnya... Biasanya, bahkan seorang kriminal yang tertangkap basah harus melalui persidangan penuh. Namun, dalam kasus ini, diselesaikan dengan pemeriksaan dokumen."
"Aku mengerti. Dalam hal ini, tolong beri rasa terima kasih kami pada Hayate-sama yang terdalam saat anda bertemu dengannya lagi."
“Tentu saja— Aku akan menyampaikannya. Ah, ini kompensasi yang dibayarkan untuk menahan Gon. Itu berisi koin emas.”
Kata asisten Hayate, sambil memegang tas kecil berisi uang kompensasi.
Satu koin emas cukup untuk satu keluarga tinggal di ibukota selama beberapa bulan.
"Oh, wow… bukannya itu sangat banyak?"
Mata Dola melebar karena terkejut.
“Yah, dia pria yang sangat kekar. Dia terdaftar sebagai budak kelas satu, jadi harganya cukup tinggi."
Asisten Hayate mengangkat bahu sambil menunjukkan senyum masam.
"Begitu kah…"
“Untuk pengikutnya, aku bisa minta petugas mengevaluasi dan membelinya segera, atau juga bisa melelangnya. Lelang jauh lebih memakan waktu, tetapi ada kemungkinan akan menghasilkan lebih banyak uang daripada langsung menjualnya. Lebih baik yang mana?"
"Kalau begitu, lebih baik menjualnya segera."
Dola membuat pilihannya tanpa ragu-ragu.
“Baik. Jadi, aku akan segera memberitahu mereka tentang keputusan kalian. Mohon tunggu sebentar lagi."
Asisten itu mengangguk dan meninggalkan ruangan sekali lagi.
"Bos, apakah kau benar-benar yakin? Bukankah kita akan mendapat lebih banyak uang jika kita melelang mereka?" Shin bertanya.
"Jangan khawatir. Menjualnya segera akan mengurangi masalah, dan jujur, aku tidak ingin melihat wajah mereka lagi.”
Menanggapi terus terang, Dola menggelengkan kepalanya.
"…O-Oke. Rasanya cukup mengecewakan."
Semuanya berjalan baik sehingga Shin sepertinya tidak sepenuhnya puas.
“Nah, itulah yang terjadi ketika seseorang kehilangan kemanusiaannya. Kau mungkin belum terbiasa dengan hal itu, tapi jangan khawatir. Aku akan mengantarmu ke restoran yang bagus nanti supaya kau bisa melupakan semua yang terjadi.”
Sambil mengelus kepala Shin dengan kasar, Dora mencoba menerangi suasana.
"H-Hentikan, Bos! Jangan lakukan ini di depannya!"
Melihat sekilas wajah Rio, Shin mencoba menahan dengan ekspresi malu.
Rupanya dia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.
Melihat adegan itu, Rio tertawa kecil.
∆∆∆∆
Setelah Rio dan yang lainnya mengumpulkan uang penjualan mereka dan meninggalkan kamp interniran, matahari sudah mulai terbenam. Hari sudah akan segera berakhir.
“Sekarang kita sudah menerima uang kompensasi, mari kita kembali ke penginapan. Setelah itu, kita akan pergi makan beberapa hidangan lokal yang terkenal disini, Kamutan !"
Saat mereka kembali, Dora mengucapkan kata-kata itu.
"Oh! Baik!" Shin berbicara dengan antusias.
"Apa ... Itu Kamutan ?"
Menjadi yang pertama kali mendengar kata itu, Rio bertanya.
"Oh, pernahkah kau mendengar tentang hidangan terkenal itu?"
Shin menoleh ke Rio dengan ekspresi agak senang.
"Tidak, makanan apa itu?"
"Aku mengerti. Nah, bagaimana harus menjelaskannya ya ? Hidangan itu terdiri dari mangkuk sup dengan mi panjang tipis yang terbuat dari beras dan tepung terigu. Rasanya sangat enak."
Atas pertanyaan Rio, Shin memberikan penjelasan singkat sambil menunjukkan senyum bangga. Saat dia menggerakkan tangannya, dia mencoba membuat gerakan memakan mie.
"... Hm, sepertinya sangat enak."
Mendengar jawaban Shin, Rio bisa membayangkan makanan seperti apa itu.
[ Mie, ya? Ramen, Soba, Udon… Tidak, karena mi dibuat dengan beras dan tepung terigu, mungkin agak mirip dengan pho dibumi. ]
{ TLN : Pho itu masakan mie yang asalnya dari negara Vietnam }
Bagaimanapun, itu menarik minatnya. Rio suka makan dan memasak, jadi dia sangat ingin mencobanya.
“Tidak hanya enak, Kamutan adalah yang terbaik. Kau akan tahu setelah mencobanya."
“Kau menjadi gila saat pertama kali memakannya. Kau bahkan mencoba agar Sayo membuatnya untukmu saat kembali ke desa… Dia belum pernah merasakannya sebelumnya, jadi kalian berdua akhirnya bertengkar."
Dola berbicara dengan nada menggoda Shin.
Mendengar kata-katanya, Shin mundur karena malu dan dengan cepat menoleh ke Rio, yang memiliki senyuman di wajahnya.
Namun, sikapnya tidak mengandung permusuhan. Shin, yang sebelumnya menghindari percakapan dengan Rio, namun sekarang berbicara dengannya tanpa masalah, meskipun kadang-kadang dia sedikit tumpul.
Shin mungkin mulai melihatnya berbeda setelah insiden dengan Gon. Bagaimanapun, Rio telah menyelamatkan adik perempuannya, Sayo.
Mereka bertiga berbicara dengan penuh semangat saat mereka menuju penginapan. Setelah menyerahkan uang kompensasi yang mereka terima dari petugas, ketiganya keluar lagi untuk makan sesuatu. Karena itu adalah hari pertama mereka ada di ibukota jadi mereka cukup lelah. Mereka memutuskan untuk membagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan pergi makan.
Seperti yang mereka rencanakan sebelumnya, Rio, Shin, dan Dola pergi makan Kamutan. Ketiganya pergi ke restoran yang direkomendasikan oleh Dola, yang jaraknya sepuluh menit dari penginapan tempat mereka menginap.
“Tolong tiga porsi besar kamutan. Dengan daging ekstra jika memungkinkan."
Dola memerintahkan seolah-olah dia sudah akrab.
Dari dapur, seorang pria berteriak dengan keras.
"Okee!"
Beberapa menit kemudian, kamutan yang terkenal itu sudah siap.
“Ini dia — tiga porsi besar kamutan dengan tambahan daging! Terima kasih telah menunggu!"
Seorang pelayan membawa tiga mangkuk kamutan ke meja tempat Rio dan yang lainnya duduk.
Sambil menunggu untuk disiapkan, Rio menanyakan beberapa detail tentang hidangan itu. Ketika dia melihat semangkuk kamutan untuk pertama kalinya, dia merasa itu sangat mirip dengan ramen.
Namun, itu adalah hidangan yang telah dimakan di Kerajaan Karasuki selama beberapa dekade, jadi sangat kecil kemungkinannya ditemukan oleh orang yang bereinkarnasi, seperti Liselotte yang memperkenalkan pasta, misalnya.
"Sudah tradisi memakan kamutan saat panas."
Kata Shin sambil mulai makan mie.
Rio mencelupkan sumpitnya ke dalam kaldu kamutan panas. Pertama, dia mencicipi supnya. Rasanya sangat mirip dengan shoyu ramen. Dia kemudian membungkus mie dengan sumpitnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Teksturnya unik karena tepung berasnya, tapi sangat elastis. Meski bukan chashu, dagingnya dibumbui dengan baik dan cocok dengan mie dan sup.
[ …Cukup baik. ]
Sudah lama sekali sejak dia tidak makan sesuatu yang mirip dengan ramen. Kenyataannya, jika mie seluruhnya terbuat dari gandum, kuahnya dibumbui secara berbeda dan chashu telah digunakan, kamutan akan identik dengan ramen.
[ Suatu hari, aku akan mencoba membuat ramen. ]
Sambil tersenyum, Rio memikirkannya.
∆∆∆∆
Keesokan harinya, sebelum tengah hari ...
Di bawah langit biru cerah ibukota, Rio sedang berjalan melewati kawasan pasar kota bersama Sayo. Keduanya sedang berbelanja karena penduduk desa dari kelompok perdagangan meminta mereka untuk membeli beberapa barang mewah.
Adapun yang lainnya, sebagian pergi untuk menjual produk-produk desa mereka, beberapa yang lainnya membeli kebutuhan pokok dalam jumlah besar sisanya tetap tinggal di penginapan untuk mengawasi barang-barang mereka.
"Wah, ada banyak sekali orang di ibukota."
Sayo berbicara sambil melihat sekelilingnya dengan rasa ingin tahu.
"Apakah ini pertama kalinya kamu datang ke ibukota?"
Berjalan di sampingnya, Rio bertanya padanya.
"Iya. Kakakku datang beberapa kali kesini, tapi aku selalu tinggal di rumah. Karena setiap kali dia kembali selalu menceritakan tentang kota, aku selalu ingin datang ke sini!"
“Aku pernah mendengarnya. Shin memaksamu untuk membuat kamutan, tapi akhirnya kalian bertengkar, bukan?"
"Iya. Nii-san terus membual tentang saat dia pergi ke ibukota, jadi aku sedikit kesal. Aku tidak bisa membuat makanan yang belum pernah aku coba, jadi aku marah.”
Jawab Sayo dengan senyum malu-malu.
"Apakah kamu akhirnya berhasil membuatnya?"
"Tidak... Hasilnya menjadi sesuatu yang aneh dan lengket... "
“Selain sup, untuk membuat mie, kamu membutuhkan lebih dari sekadar gandum dan tepung terigu. Jika tidak memiliki pengetahuan yang tepat, tidak mungkin untuk membuatnya.
"Heh? Apakah kamu tahu bagaimana melakukannya, Rio-sama?"
"Tentu. Meski bukan kamutan, aku punya pengalaman membuat mie."
"U-Umm… Jadi, bisakah kamu mengajariku bagaimana membuatnya?"
Sayo bertanya dengan hati-hati.
"Tentu saja. Saat kita kembali ke desa, ayo lakukan bersama.” Rio mengangguk.
"Terima kasih banyak! Sebenarnya aku juga belum pernah makan kamutan ... "
“Kalau begitu, bagimana jika kita pergi makan bersama setelah ini ? Karena saat ini kita ada di ibukota, jadi jangan menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Setelah Sayo mengucapkan terima kasih, Rio memberikan saran.
"Iya! Aku mau!"
Sayo mengangguk dengan antusias.
"Oke, jadi mari kita cari restoran sementara kita berbelanja barang-barang yang diminta."
Dengan pemikiran tersebut, mereka berdua memutuskan untuk pergi makan Kamutan untuk makan siang.
Namun…
[ Toko tempat Dola yang membawa kami cukup jauh dari sini, jadi aku tidak tahu toko mana yang harus aku kunjungi... ]
Rio memikirkannya, berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi khawatir. Dia ingin Sayo bisa makan makanan enak, tapi sayangnya, ini pertama kalinya dia datang ke Kerajaan Karasuki.
[ Kami mungkin bukan pasangan terbaik untuk berbelanja bersama... Kami bahkan tidak tahu di mana restorannya. Ini juga pertama kalinya Sayo datang ke ibukota. Kami juga tidak tahu harus pergi ke mana... ]
Rio telah menanyakan yang lain tentang motif di balik permintaan mereka yang aneh itu, namun penduduk desa memaksanya untuk pergi berbelanja dengan Sayo untuk beberapa alasan yang tidak diketahui.
Seperti yang diharapkan, mereka berdua harus berjalan sepanjang pagi mencari barang yang mereka butuhkan, membandingkan harga dan kualitas produk.
Ini seperti bertamasya berduaan ke ibukota daripada disebut berbelanja. Untungnya, Sayo tampaknya sedang dalam suasana hati yang baik karena bersama dengan Rio, dan dia juga tidak terlihat tidak puas dengan hasilnya. Gadis muda itu dengan polos menikmati momen itu.
Rio masih sedikit khawatir tentang insiden dengan Gon yang membuatnya trauma parah, tapi Sayo tidak menunjukkan tanda-tanda itu. Sebaliknya, dia bersikeras mengajukan diri menjadi bagian dari grup dagang. Itu cukup meyakinkan.
"Rio-sama, mengapa kita tidak bertanya kepada penduduk setempat dimana ada restoran yang bisa mereka rekomendasikan kepada kita?"
Sayo berbicara sambil menunjukkan senyum riang.
"…Kamu benar. Mari kita coba apakah kita bisa bertanya kepada seseorang."
Rio mengesampingkan hal itu dan mengangguk sambil menunjukkan sedikit senyum.
[ Ya, selama Sayo-san bersenang-senang. ]
Untungnya, jumlah barang yang harus mereka beli tidak terlalu banyak, jadi mereka berdua terus berjalan melewati area perbelanjaan.
“Kalian berdua, anak muda di sana. Apakah kalian sedang berkencan?"
Seorang wanita muda memanggil Rio dan Sayo.
Rupanya dia menjual aksesoris untuk wanita. Dapat terlihat dari yang dia dagangkan, semua produk yang dia jual dipajang di hadapannya.
"Heh? A-Aku? Eh, ah, tidak… Erm… ”
Sayo mencoba mengatakan sesuatu, dengan ekspresi bingung. Menyadari bahwa wanita itu membicarakannya, wajahnya dengan cepat memerah.
“Kami datang ke ibukota untuk menjual produk desa kami. Sekarang, kami sedang berbelanja."
Rio menjelaskan, menggantikan Sayo yang malu.
Sangat jelas bahwa wanita pedagang itu mencoba memulai percakapan untuk menjual sesuatu kepada mereka. Meskipun akan lebih baik mengabaikannya dan terus berjalan, Sayo telah berhenti dengan sukarela, jadi akan sangat buruk untuk pergi sekarang.
"Aku mengerti. Begitukah… Hmm… ”
Wanita itu mengangguk dengan samar saat dia melihat ke arah Sayo, yang masih menunjukkan sikap malu.
Karena wanita itu tampaknya telah melihat melalui dirinya, pipinya menjadi merah cerah.
“Bagaimana, tuan? Mengapa kamu tidak membeli suvenir untuk wanita muda cantik yang bersamamu?"
Sambil tertawa ringan, wanita itu menoleh ke Rio.
“T-Tidak perlu melakukan itu! Aku akan merasa tidak enak! Ah, dan kita tidak sedang berkencan!"
Sayo menggelengkan kepalanya dengan panik.
Rio melirik barang-barang yang berbaris di atas tikar.
Untuk warung pinggir jalan, aksesorinya sangat rapi dan juga tampaknya berkualitas baik.
“Kamu bisa pilih apa yang kamu mau. Sayo-san, apakah ada yang kamu sukai?"
Rio bertanya kepada Sayo sambil menunjukkan sedikit senyum lembut.
Dia bermaksud membelikannya sesuatu untuk berterima kasih padanya karena selalu merawatnya, dan juga untuk meminta maaf atas masalah yang dia timbulkan selama insiden Gon.
“Fweh… J-Jangan khawatir! Aku tidak bisa membuatmu membelikanku sesuatu!"
Sayo meletakkan kedua tangannya di depan dan mulai menggelengkan kepalanya berulang kali.
Reaksinya yang berlebihan menyerupai binatang kecil, jadi Rio tertawa geli.
“Tidak perlu menahan diri. Kamu telah membantuku dalam banyak hal, jadi anggap itu sebagai hadiah terima kasih."
“Tuan muda ini benar, nona muda. Jika seorang pria menawarkan hadiah kepada seorang wanita, maka kewajibannya adalah menerimanya. Ayo, setidaknya lihat-lihatlah dulu.”
Mendengar tawaran Rio, wanita pedagang itu mulai tertawa dan melambaikan tangannya, meminta Sayo untuk mendekat.
"Eh, ah ... Kalau begitu, aku lihat ..."
Meski tetap agak bingung, Sayo memutuskan untuk melihat barang-barang yang dipajang. Awalnya dia ragu, tapi melihat melihat aksesoris yang disukainya, matanya mulai bersinar.
"Apakah ada yang menarik minatmu nona muda?"
"Erm, menurutku ini sangat manis ..."
Pada pertanyaan wanita itu, Sayo menunjuk ke arah jepit rambut bunga yang sederhana tapi cukup manis.
“Ooh, kamu punya mata yang bagus, Nona muda! Ini aksesori yang cukup unik."
"Umm, apakah itu mahal?"
"Hmm, coba lihat. Bagaiman dengan dua koin perak?"
Wanita pedagang itu bertanya dengan hati-hati.
Sayo telah memilih salah satu aksesori yang lebih mahal tanpa menyadarinya. Meskipun rakyat jelata mampu membelinya juga, harganya cukup untuk menghantam dompet pembeli dengan keras.
"Koin p-perak!? R-Rio-sama, jangan khawatir! A-Aku... Tidak membutuhkannya sama sekali!"
Saat Sayo mendengar harganya, Sayo menolak hadiah itu. Itu adalah jumlah yang cukup besar untuk gadis desa seperti dia.
"Tidak masalah. Jika kamu menyukainya, saya akan membelikannya untukmu."
Rio tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan harganya, jadi dia bersikeras untuk membeli hadiah itu.
"... Heh?" Mata Sayo sedikit melebar.
"Ooh. Kerja bagus, tuan muda. Namun, kupikir kamu harus belajar menawar sedikit... ”
Wanita pedagang itu memberi saran.
“Jika menyangkut hadiah untuk seorang gadis, tawar-menawar bukanlah pilihan. Harga berapa pun baik-baik saja."
"Ahaha, luar biasa! Aku seharusnya memberi harga lebih tinggi, ya?" Wanita itu tertawa.
"Ini yang kamu inginkan, bukan, Sayo-san?"
Rio mengambil dua koin perak dari dompetnya dan mengonfirmasi aksesori yang diinginkan Sayo sekali lagi.
"Heh? Ah, t-tapi… "
Sayo mengalihkan pandangannya antara jepit rambut dan Rio.
Itu adalah aksesori yang sangat menarik, dan pikiran untuk menerima hadiah dari Rio membuatnya sangat bahagia, tetapi harganya cukup tinggi untuk membuatnya takut.
"L-Lagipula, aku tidak menginginkannya—"
Tepat ketika Sayo mengatakan itu, Rio membayar jepit rambutnya.
"Baik, nona. Tolong beri aku aksesori di sana.”
Dari reaksinya, cukup jelas bahwa Sayo menyukai jepit rambut tersebut, sehingga Rio memutuskan untuk segera membelinya. Mengetahui kepribadian Sayo, dia hampir yakin bahwa dia akan menolak hadiah itu jika dia tidak melakukannya dengan cara seperti ini.
Dengan tatapan bingung, Sayo memperhatikan saat Rio membayar jepit rambut itu.
"Terima kasih telah membeli! Apakah kamu ingin sebuah tempat untuk melindunginya, atau kamu ingin segera memakainya?"
Wanita itu mengambil jepit rambut dan sebuah kotak kecil, dan berjalan ke Sayo.
"Eh, ah, umm… Y-Ya, tolong!"
"Ini dia. Aku akan memakainya untukmu. Jadi mohon diam sebentar."
Sayo mengangguk malu-malu saat wanita pedagang itu memasang jepit rambut di rambutnya.
"Pas sekali untukmu nona muda! Tidakkah kamu berpikir sama, tuan muda?"
Setelah meletakkan jepit rambut di rambut terurai Sayo, wanita itu bertanya.
"Ya, menurutku dia menjadi lebih cantik dengannya"
Rio mengangguk sambil tersenyum.