Where Fiction Lies – Chapter 6 :「Kakak Beradik」

 

Di pagi hari, Christina, Flora, Roanna, Hiroaki, Rei, dan Kouta berangkat meninggalkan mansion Rio.

 

Di pintu masuk mansion, Flora menarik Latifa ke dalam pelukannya sambil mengucapkan selamat tinggal dengan sedih. Latifa membalas dengan memeluknya.

 

"Sangat disayangkan aku harus mengucapkan selamat tinggal padamu, Suzune...."

 

"Jangan tidak masuk akal, Flora."

Kata Christina, sambil dengan lembut melingkarkan lengannya di punggung adiknya.

 

"Ayo kita menginap lagi! Mungkin malam ini juga! Apa tidak apa-apa, Onii-chan?"

Dengan senyum riang, Latifa mengalihkan pembicaraan ke Rio, yang telah mengawasi hal-hal di sampingnya.

 

"Aku yakin mereka punya rencana sendiri untuk dipertimbangkan, Suzune."

Kata Rio dengan senyum tegang.

 

Rio kemudian menoleh ke Christina dan yang lainnya.

"Tapi jangan ragu untuk berkunjung lagi kapan-kapan."

 

"Aku tidak keberatan malam ini...."

Jata Flora dengan gelisah. Dia pasti sangat bersenang-senang begadang mengobrol dengan gadis-gadis seusianya di acara menginap tadi malam.

 

"Flora... tahan diri."

Kata Christina seolah-olah dia sedang melihat anak yang tidak patuh.

 

"Jika terlalu banyak waktu berlalu, kita mungkin akan merasa jauh lagi, jadi aku lebih suka jika kamu segera kembali. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Onee-chanku! Ehehehe." Kata Latifa malu-malu.

 

"Latifa... aku juga. Ayo habiskan lebih banyak waktu bersama."

Diliputi emosi, Flora memeluk Latifa lebih erat.

 

"Yah, makanan di rumah Haruto enak, jadi aku tidak keberatan datang lagi."

Kata Hiroaki santai di samping mereka.

 

"Aku juga. Tolong undang kami lagi!"

Rei langsung setuju dengan Hiroaki.

 

"Kalian juga harus lebih menahan diri."

Kata Roanna sambil menghela napas.

 

"Roanna Onee-chan akan datang lagi juga, kan?"

Tanya Latifa, menatap Roanna. Flora ikut menatapnya menatap Roanna.

 

Roanna terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, namun dia menyerah di bawah tatapan Latifa dan Flora.

 

"A-Aku... kalau tidak merepotkan, ya..."

Kata Roanna sambil mengangguk malu-malu.

 

"Yeay! Ayo ngobrol banyak lagi malam ini!"

 

"Ya!"

 

Latifa dan Flora bersukacita bersama. Jadi, dengan rencana menginap berikutnya yang segera diputuskan, Christina dan yang lainnya meninggalkan mansion itu.

 

 

Setelah mengantar Christina dan yang lainnya pergi, Rio dipanggil oleh Latifa dan Liselotte. Rio pergi menemui mereka di ruang tamu, ditemani oleh Miharu dan Aki. Di sana, Rio diberi tahu tentang rencana mereka untuk pergi keluar.

 

"Kalian akan pergi ke Ricca Guild?"

 

"Yup. Liselotte Onee-chan ingin mendengar pendapat kami tentang produk barunya."

Latifa menjelaskan dengan riang.

 

"Begitu ya..."

Rio melihat ke arah Miharu dan Aki.

 

Tadi malam, Aki dengan setuju untuk membantu tanpa berpikir, namun dia tidak menyangka Rio akan ikut, jadi Aki sekarang tampak agak tidak nyaman.

 

"Jadi, kami ingin kamu ikut, Onii-chan."

Kata Latifa.

 

"Aku tidak keberatan... apa hanya kita berlima?"

 

"Yup!"

 

"Apa kamu yakin?"

Rio bertanya pada Liselotte juga.

 

"Tentu saja. Kami yang memintamu untuk ikut. Putri Charlotte sudah memberikan izinnya, jadi jika kamu tidak sibuk, kami ingin segera pergi."

 

"Aku mengerti..."

Rio melirik wajah Aki sekali lagi.

 

Mungkinkah ini...

Ekspresi menyadari sesuatu melintas di wajah Rio saat dirinya melihat betapa Latifa tampak sangat gembira, menyeringai dari tempatnya duduk di hadapannya.

 

"Tentu, aku bisa pergi sekarang. Tapi aku ingin berbicara sedikit sebelum kita pergi."

Kata Rio sambil mengangguk, ekspresi tekad di wajahnya.

 

Latifa memiringkan kepalanya.

"Bicara?"

 

"Ya. Aku ingin berbicara dengan Aki dengan benar."

Pandangan Rio jelas tertuju pada Aki.

 

"Dengan.... ku?"

Tubuh Aki bergetar seolah-olah dirinya terkejut, dan ekspresinya menegang.

 

"Ya. Tentang ingatan Amakawa Haruto yang kumiliki. Kita tidak dapat membicarakannya selama perjamuan."

Sebaliknya, suara Rio canggung namun lembut, seolah-olah dia telah memperhatikan kegugupan Aki itu dan berusaha membuat gadis itu tetap tenang.

 

"Kalau begitu, sebaiknya kita pergi saja."

Kata Liselotte, yang merasa dirinya orang luar yang harus pergi dari sana sebelum Rio dan Aki mulai membahas detailnya. Namun...

 

"Tidak, aku ingin semua orang di sini juga mendengarkan. Karena kalian berempat adalah orang-orang yang mengenal Amakawa Haruto secara langsung... apa tidak apa-apa?"

 

"Oke."

Liselotte mengangguk dengan tatapan serius. Miharu dan Latifa juga memberikan persetujuan diam-diam mereka.

 

"Apa kamu juga tidak apa-apa dengan itu, Aki?"

Tanya Rio.

 

"Aku tidak keberatan...."

Aki mengalihkan pandangannya dari Rio dan mengangguk, meremas tangan Miharu di sampingnya.

 

Maka, Rio mulai berbicara.

"Seperti yang kalian semua tahu, aku memiliki ingatan Amakawa Haruto. Tapi seperti yang kukatakan saat perjamuan, aku menganggap diriku orang yang berbeda darinya."

 

Tidak senang dengan kata-kata Rio itu, Aki mengerutkan bibirnya dengan tidak senang.

 

"Bisakah kamu memberitahuku apa yang kamu pikirkan, Aki?"

 

"Apa maksudmu dengan 'apa yang kamu pikirkan' itu? Kamu sendiri yang mengatakannya—kamu bukan Amakawa Haruto. Kenapa juga aku harus memberitahu seseorang yang tidak ada hubungannya denganku apa yang kupikirkan tentangnya?"

Kata Aki dengan nada pedas.

 

"Aku tidak menganggap diriku sebagai Amakawa Haruto. Aku tidak bisa berbohong tentang perasaanku mengenai hal itu. Tapi aku sadar aku juga tidak seharusnya lari dari ingatannya. Aku ingin menghadapi kehidupan yang dijalaninya, dan jejak yang ditinggalkannya."

 

"Bahkan jika kamu mengatakan itu padaku, tidak ada yang bisa aku beritahu."

Kata Aki sambil mengerutkan keningnya.

 

Saat itulah Miharu memanggilnya dengan ekspresi penuh tekad.

"Pastinya kamu punya pendapat tentang itu, bukan?"

 

"Miharu Onee-chan...."

 

"Aku tahu kamu punya perasaan yang bertentangan tentang Haru-kun selama ini. Aku selalu berada di sampingmu dan mengawasimu sampai sekarang. Kenapa kamu tidak mengatakan perasaan itu padanya?"

Kata Miharu dengan nada memarahi.

 

"Tapi Haruto-san tidak menganggapku sebagai adik perempuannya, kan? Dia sudah bilang kalau dia bukan Amakawa Haruto. Kenapa aku harus mengungkapkan perasaanku kepada orang asing? Jawab itu dulu."

Bentak Aki, rasa tidak puasnya meledak.

 

"Demi kepuasanku sendiri, kurasa. Akulah yang ingin melakukan ini. Aku ingin berhenti menjauh darimu demi diriku sendiri. Aku tidak ingin berpura-pura tidak bisa melihatmu lagi. Kalau bisa, aku ingin akur denganmu. Aku ingin melangkah ke depan bersama."

 

"Akur...."

 

"Apa aku tidak masuk akal?"

 

Aki tidak menjawab. Aku terdiam seolah-olah dirinya menghindari untuk menjawab.

 

"Kamu mendengarnya. Haruto-kun bilang dia ingin akur denganmu."

Kata Miharu dengan sikap proaktif yang jarang terlihat. Mungkin Miharu pikir sudah menjadi tugasnya untuk menengahi mereka berdua sebagai sosok kakak perempuan Aki—atau mungkin Miharu punya pendapat sendiri tentang situasi itu.

 

"Bagaimana denganmu, Miharu Onee-chan? Apa kamu baik-baik saja dengan ini? Bukankah kamu mencintainya? Kamu masih mencintai Amakawa Haruto saat ini, tapi orang yang memiliki ingatannya mengatakan dia bukan orang itu. Apa maksudnya itu? Apa kamu jatuh cinta pada seseorang yang bukan Amakawa Haruto?"

Itu adalah usaha yang jelas untuk mengalihkan topik, namun tidak diragukan lagi bahwa itu adalah sumber ketidakpuasan Aki lainnya.

 

"Ya."

Kata Miharu dengan suara yang jelas.

 

Mata Aki melebar kaget. Mata Rio juga tampak terkejut.

 

"Saat perjamuan, aku menyadari bahwa aku tidak bisa menganggap Haruto-kun dan Haru-kun sebagai orang yang berbeda. Aku memberitahu Haruto-kun bahwa aku ingin bersamanya."

 

"Jadi kenapa...."

 

"Kurasa aku mengerti sekarang—alasan Haruto-kun merasa seperti orang yang berbeda dengan Haru-kun. Aku pernah diberitahu bahwa aku adalah Lina di kehidupanku sebelumnya, dan aku menganggap diriku orang yang berbeda dengannya. Itulah sebabnya aku tahu bagaimana rasanya ketika orang memintamu menjadi seseorang yang bukan dirimu." Kata Miharu dengan ekspresi pahit.

 

Miharu-san....

Mata Rio melebar. Rio diberitahu bahwa dirinya tidak harus menjadi Amakawa Haruto oleh Miharu sendiri. Rasanya seperti beban telah terangkat dari pundaknya.

 

"Bagaimana denganmu, Aki? Bagaimana perasaanmu tentang Haruto-kun yang memiliki ingatan Haru-kun? Aku juga ingin tahu. Jadi tolong, beritahu Haruto-kun dengan benar."

Miharu menatap Rio sambil mendesak Aki untuk berbicara tentang perasaan Aki itu.

 

"Aku benci Amakawa Haruto."

Kata Aki, mengalihkan pandangannya.

 

"Kenapa begitu?"

Tanya Miharu dengan lembut.

 

"Karena aku harus melihat ibuku menderita setelah perceraian.... aku tidak tahu mengapa mereka bercerai, dan aku tahu kebencianku salah tempat. Tapi aku juga tahu dia tidak ada saat kami membutuhkannya—dia tidak ada untukku saat aku membutuhkannya...."

Aki menunduk seperti anak kecil yang merajuk. Namun, saat itu pun, dia mampu menyuarakan seluruh isi hatinya. Meskipun bukan kepada Haruto, dia mengungkapkan perasaannya kepada Rio, yang memiliki ingatannya.

 

"Kamu kesepian."

Kata Miharu, mengungkapkan perasaan Aki.

 

"Tidak, bukan itu yang kukatakan. Aku masih marah saat memikirkannya sekarang... aku hanya membencinya."

Aki cemberut tanpa melihat Rio.

 

"Tapi itu tidak berarti aku membencinya. Aku bersyukur atas apa yang telah dia lakukan untuk kami, dan aku merasa kasihan atas semua masalah yang kami sebabkan padanya selama perjamuan." Tambah Aki.

 

"Menurutku apa yang dia katakan benar. Dia bukan Amakawa Haruto, dan aku setuju dengan itu. Tapi...."

 

"Tapi apa?"

Miharu perlahan mendesak Aki untuk terus berbicara.

 

"Tapi mendengarnya mengatakan mereka adalah dua orang yang berbeda juga mengesalkan."

 

Meskipun Aku bisa mengerti itu, dia tidak bisa memberikan penjelasan yang jelas. Aki melampiaskan perasaannya yang jujur ​​namun rumit. Rio hendak menanggapi dengan ekspresi serius, namun...

 

"Kenapa?"

Latifa, yang telah mendengarkan dengan diam sampai sekarang, menanyai Aki terlebih dahulu.

 

"Hah?”

 

"Kenapa kamu kesal? Apa yang kamu ingin Onii-chan lakukan untukmu?"

 

"Aku tidak tahu."

Aki membentak dengan sedikit nada mengejek diri sendiri.

 

"Apa kamu ingin Onii-chan menjadi Amakawa Haruto?"

 

"Tidak. Aku hanya mengatakan aku membencinya, dan menganggap mereka sebagai orang yang berbeda."

 

"Lalu, apa kamu ingin dia menganggapmu sebagai adik perempuannya meskipun dia bukan Amakawa Haruto?"

 

"A-Apa? Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

Kata Aki, wajahnya memerah mendengar pertanyaan Latifa.

 

"Itulah yang kupahami dari apa yang kamu katakan."

 

"Itu tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menginginkan itu."

Aki menyangkal dengan keras.

 

"Lagipula...."

Aku hendak mengatakan sesuatu tetapi berhenti.

 

"Lagipula apa?"

 

"Kurasa aku tidak cocok menjadi adik perempuan. Itu sudah terjadi dua kali sekarang. Dua orang yang menjadi kakak laki-lakiku memilih untuk meninggalkanku. Mungkin karena aku menyebalkan dan tidak jujur?"

Kata Aki, mencemooh dirinya sendiri dengan sedih.

 

"Itu tidak benar!"

Kata Miharu segera.

 

"Kita mungkin tidak punya hubungan darah, tapi kamu adalah adik perempuanku yang manis yang tidak akan kuganti dengan apapun di dunia ini."

 

Aki tersenyum senang.

"Terima kasih, Miharu Onee-chan."

 

"Bagaimana denganmu, Onii-chan?"

Latifa bertanya pada Rio.

 

"Bagaimana menurutmu tentang Aki-chan? Hubungan seperti apa yang kamu inginkan dengannya?"

 

"Hubungan seperti apa, ya? Aku...."

Rio berpikir dengan hati-hati tanpa memberikan jawaban langsung. Semua orang menunggu kata-katanya tanpa menyela.

 

"Menurutku kamu sangat penting bagiku. Harapanku adalah hidup bahagia dengan semua orang, jadi aku ingin kamu juga ada di sana. Itulah sebabnya aku ingin kita bergandengan tangan dan menjalani masa-masa sulit dan menyenangkan bersama."

Kata Rio, mengungkapkan pikirannya yang sebenarnya.

 

"Onii-chan...."

Latifa tersenyum senang dan menoleh ke Aki dengan ekspresi penuh harap.

 

"Bagaimana menurutmu, Aki-chan?"

 

"Apa maksudmu dengan 'bagaimana menurutmu' itu?"

 

"Onii-chan bilang dia tidak bisa bahagia tanpamu, jadi dia ingin kamu di sini."

 

"A-Aku tidak perlu kamu jelaskan itu padaku!"

Aki meninggikan suaranya karena malu.

 

"Apa kamu benci bersamanya?"

 

"Tidak... aku senang dia menyertakanku saat dia memikirkan semua orang. Meskipun aku bertanya-tanya apa tidak apa-apa bagiku untuk diterima saat aku seperti ini...."

 

"Itu tidak apa-apa. Tentu saja tidak apa-apa! Onii-chan bilang meskipun kamu merengek dan goyah, kami akan membawa kecemasan itu bersamamu dan mengatasinya bersama. Benar, kan, Onii-chan?"

Kata Latifa, menatap Rio.

 

"Ya. Jadi kamu bisa terus membenci Amakawa Haruto jika kamu mau. Kamu bisa melampiaskan perasaan itu padaku tanpa menahan diri."

 

"Kenapa?"

 

"Mungkin lebih mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku orang yang berbeda, tapi tidak adil bagiku untuk berpura-pura tidak melihatmu menderita karena dia saat kamu berada tepat di sampingku. Ingatan dan emosi Amakawa Haruto pasti ada dalam diriku. Itu sebabnya sebagai orang yang mewarisi ingatan dan perasaannya, aku ingin menghadapimu dengan benar."

Rio menatap lurus ke arah Aki tanpa keraguan di matanya.

 

"Bukankah merepotkan bagimu untuk harus berurusan dengan perasaanku yang tidak masuk akal ini?"

Aki bertanya, mengalihkan pandangannya dengan takut-takut. Apa Aki menahan diri untuk tidak melampiaskan perasaannya? Atau apa Aki merasa bersalah atau takut?

 

"Menurutku kamu tidak merepotkan."

Kata Rio kepada Aki dengan lembut.

 

"Kenapa tidak?"

Aki bertanya dengan tidak percaya, matanya melebar.

 

"Seperti yang kukatakan tadi, ingatan dan perasaan Amakawa Haruto pasti ada di dalam diriku. Itu sebabnya aku tidak bisa menganggapmu sebagai orang asing, dan tidak ingin memperlakukanmu seperti itu. Kamu mungkin tidak suka jika aku mengatakan aku menganggapmu sebagai adik perempuanku, tapi begitulah pentingnya dirimu bagiku. Kurasa itu sebabnya?" Kata Rio, tampak sedikit malu.

 

Seluruh tubuh Aki tersentak.

 

"Ya. Itu sebabnya aku ingin kamu memberitahuku jika kamu merasa kehilangan atau ingin mengeluh, tanpa menahan apapun. Mari kita pikirkan semuanya bersama-sama. Itulah yang kupikirkan, bagaimanapun juga...."

Rio berusaha sebaik mungkin untuk mengekspresikan emosinya dengan caranya yang canggung, ketika dia tiba-tiba berhenti dan tampak terkejut.

 

"Hikss...."

Aki mulai menangis, air mata mengalir di wajahnya.