"Kamu menangis, Onii-chan?"
Tanya Latifa sambil menatap wajah Rio dari jarak dekat. Setetes air mata memang mengalir di pipinya di balik topengnya.
"Benarkah?"
Tanya Rio, pura-pura bodoh sambil menyeka pipinya yang basah dengan lengan bajunya.
"Kamu menangis! Kamu pasti menangis!"
Seru Latifa dengan gembira. Air mata itu adalah bukti kegembiraan Rio karena bisa bersatu kembali dengan semua orang. Itulah yang tampaknya diyakini Latifa.
"Itu pasti air mata kebahagiaan karena bisa bertemu semua orang lagi.... aku benar-benar bahagia sekarang."
Rio mengakui dengan jujur. Namun, dia tampaknya masih merasa malu, karena dia tidak bisa menatap semua orang secara langsung.
Aku menggunakan kekuatanku dua kali, dan topeng ini masih belum rusak?
Rio menunduk menatap topeng yang telah dilepasnya dan mengerutkan alisnya dengan bingung. Sekarang setelah dia memikirkannya, setelah sihir skala besar kedua diaktifkan, beban pada topengnya benar-benar hilang. Rio menyimpulkan bahwa penghalang yang saat ini mengelilingi ibukota memiliki kemampuan untuk membatalkan aturan dewa. Dia menatap langit dan melihat lingkaran sihir raksasa itu menghilang di suatu titik. Meskipun begitu, efeknya masih tampak ada—kenangan semua orang tentang Rio menjadi buktinya.
"Whoa?!"
Tiba-tiba, Latifa diam-diam mengusap-usap dada Rio dengan kepalanya. Itu adalah penolakan tanpa kata-kata karena Rio melihat ke tempat lain dan tidak memperhatikannya.
"Ahaha. Maaf."
Rio meminta maaf sambil tertawa canggung, mengusap-usap kepala Latifa. Namun, sesaat kemudian, kabut menutupi pandangannya.
"Ap...."
Rio terhuyung. Tidak ingin jatuh ke depan di atas Latifa, Rio mencoba jatuh ke belakang.
"Onii-chan?!"
"Haruto?!"
Latifa dengan cepat memeluk tubuh Rio, sementara yang lain bergegas mendekatinya.
◇ ◇ ◇
Sekitar waktu yang sama, di langit jauh di atas tempat Rio melawan golem....
Kekuatan Raja Naga sama mengerikannya seperti biasanya. Tampaknya sedikit lebih lemah dari sebelumnya, tapi lebih dari apa yang dapat dihadapi oleh dua golem....
Reiss telah menyaksikan semuanya sejak awal.
Selain itu, efek penghalang ini....
Reiss mengamati penghalang yang menyelimuti ibukota.
"Sudah seribu tahun tidak melihatmu, Fenris."
Suara seorang gadis memanggil.
Reiss menoleh ke arah suara itu.
"Jadi, ternyata itu kau."
Seorang gadis melayang di udara. Gadis itu adalah Lina. Entah mengapa, penampilannya saat ini benar-benar berbeda dari Miharu. Tidak, mungkin ini adalah penampilan asli Dewa Bijaksana Lina selama ini. Gadis itu tampak berusia sekitar dua puluh tahun, dan wajahnya yang seperti boneka sangat cantik seperti seorang dewi.
"Senang melihat kita berdua dalam keadaan baik-baik saja, ya?"
Lina menyapa dengan mengangkat bahunya dengan ringan.
"Begitulah kelihatannya. Kupikir kau sudah mati selama ini, jadi aku tidak menyangka kau akan menunjukkan dirimu seperti ini. Apa urusanmu di sini?"
"Tidak ada cara untuk menyembunyikannya lagi, jadi aku datang untuk memberimu peringatan. Itu juga berfungsi sebagai perjanjian nonagresi—jangan sentuh tempat ini lagi."
"Hmm."
Reiss berbicara tanpa ada perubahan ekspresi.
"Sebagai gantinya, kami tidak akan menyentuh labirin itu. Tentu saja, aku akan memberitahu anak laki-laki di sana juga."
Kata Lina, memberitahu Reiss tentang perjanjian itu secara sepihak.
"Apa yang begitu penting tentang tempat ini yang membuatmu mengerahkan sihir penghalang yang berlebihan seperti ini untuk melindunginya?"
Tanya Reiss, menatap ibu kota di bawah.
"Oh? Jika kau akan menanyakan itu, maka aku ingin tahu apa yang ingin kau capai di sini dengan menggunakan dua golem anak harimau itu."
Jawab Lina, sama sekali tidak terpengaruh.
"Hmm. Apa kau pikir kedua golem itu adalah satu-satunya golem yang kami miliki?"
"Bagaimanapun, kau tidak dapat menggunakan mereka secara maksimal. Dan aku masih punya trik lain ditanganku juga."
Sementara keduanya saliang menyindir satu sama lain dengan kata-kata yang ringan, tatapan mereka sama sekali tidak bercanda soal itu.
Reiss menghela napas dalam hati dan menyipitkan matanya.
Astaga. Seberapa besar perempuan ini menyadari kekuatan kami?
"Sebenarnya, mengapa kita tidak bertarung di sini saja? Pihak kami punya Raja Naga yang tak terkalahkan dan aku sendiri. Sementara itu, kau jauh lebih lemah dalam kondisimu saat ini."
"Kau mengatakan itu, tapi Raja Naga juga tampak jauh lebih lemah daripada seribu tahun yang lalu. Dan kau juga seharusnya begitu, bukan?"
"Oh? Apa kau benar-benar sudah sebuta itu?"
"Siapa yang tahu?"
Reiss kembali menatap Kastil Galarc di bawah mereka.
Kekuatan yang dia tunjukkan di akhir pertempuran itu memang seperti kekuatan yang transcendent, tapi...
Reiss memastikan kekuatan Rio saat ini. Di tanah di bawahnya, Rio hanya menderita kemunduran akibat asimilasi dan penggunaan kekuatan transcendent.
Masalahnya adalah bagaimana perempuan ini menemukan cara untuk sepenuhnya mengabaikan aturan dewa. Meskipun tampaknya terbatas pada area di dalam penghalang ini....
Sepertinya Lina tidak menghilang selama seribu tahun tanpa alasan.
"Lagipula, kita berdua sudah selesai dengan persiapan, bukan?"
Lina berkata seolah-olah dirinya bisa membaca pikiran Reiss.
"Jadi, kau sudah mengetahui rencana kami."
Sorotan mata Reiss berubah gelap. Reiss siap bertarung kapan saja.
"Ya, seribu tahun yang lalu."
Tanpa mengubah sikap acuhnya, Lina menyeringai pada Reiss untuk memprovokasinya.
"Aku tidak akan tertipu oleh provokasimu. Kami semua adalah variabel yang menentangmu—kau tidak dapat memprediksi masa depan kami secara akurat."
Reiss menghela napas dan menenangkan diri.
Lina memiringkan kepalanya.
"Kau yakin tentang itu?" Tanyanya dengan berani.
"Yah, terserahlah. Jika yang ingin kau lakukan hanyalah memberi peringatan itu, aku akan pergi sekarang."
"Oh, apa kau sudah selesai menganalisis penghalang ini? Ada lebih banyak pertanyaan yang ingin kau jawab, bukan?"
"Seharusnya aku yang mengatakan itu. Bukankah kau datang jauh-jauh ke sini untuk memberi 'Peringatan' agar menemukan jawaban sendiri? Aku tidak akan memberimu informasi apapun."
Reiss menghela napas lelah, terdengar seperti dia tidak menginginkan apapun selain segera pergi.
"Kau belum menanggapi tawaranku."
"Orang yang harus menjauh dari tanah ini sebagai ganti agar kau menjauh dari labirin? Baiklah. Aku akan menyetujuinya untuk saat ini."
"Begitu. Kalau begitu, ini kesepakatan."
"Aku permisi dulu. Transilio."
Reiss mengambil kristal teleportasi dari sakunya dan mengucapkan mantranya. Reiss menghilang, meninggalkan Lina di belakang.
"Kuharap aku berhasil mengelabui dia...."
Lina menatap Kastil Galarc sambil melepaskan anting di telinga kirinya. Tubuhnya bersinar, dan penampilannya kembali seperti Miharu.
"Conditum."
Miharu tidak memiliki gelang penyimpanan ruang dan waktu, namun Lina mampu memanipulasi ruang untuk menyimpan anting-anting itu.
"Transilio."
Lina kemudian menggunakan sihir teleportasi dan menghilang dari tempat itu.
◇ ◇ ◇
Kembali di taman atap Kastil Galarc...
"Apa kamu baik-baik saja, Onii-chan?"
Latifa bertanya dengan cemas, berpegangan pada Rio yang hampir terjatuh ke belakang tadi.
"Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah."
Kata Rio, berusaha berdiri sendiri. Namun, Rio tidak bisa mengumpulkan kekuatan apapun di tubuhnya. Ketika dia mencoba menopang dirinya sendiri dengan kakinya sendiri, tubuhnya bergoyang di luar kendalinya. Beban di tubuhnya terasa lebih buruk daripada saat pertama kali dia berasimilasi—apa itu karena dia menggunakan kekuatannya dua kali?
"Haruto."
Kata Aishia, muncul di belakang Rio untuk menopangnya.
"Aishia Onee-chan!"
Panggil Latifa dengan senyum berseri-seri.
"Aishia-sama!"
"Aishia!"
Para penghuni mansion yang sudah mendapatkan ingatan mereka kembali itu mengelilingi Rio dan Aishia.
"Lama tidak berjumpa, semuanya."
Kata Aishia, melihat sekeliling dengan senyum lembut. Untuk pertama kalinya, Aishia tampak sangat bahagia.
"Hehe."
Celia bergabung dengan kelompok itu, menyaksikan reuni itu dengan gembira.
"Hmph, mengambil bagian terbaik seperti biasa...."
Hiroaki mendengus, menyaksikan semuanya dari kejauhan. Namun, Hiroaki tampaknya menghargai situasi itu, karena dia tidak tampak begitu tidak senang.
"Apa kau yakin tidak ingin bergabung dengan mereka, Hiroaki-dono?"
Gouki bertanya dengan sungguh-sungguh, memperhatikan semua orang dari jarak yang sama.
"Hah? Aku bukan tipe orang yang melakukan itu. Aku bahkan tidak sedekat itu dengannya. Bukankah seharusnya kau yang berada di sana? Dia itu majikanmu, bukan?"
"Karena aku pengikutnya, aku akan pergi terakhir. Selain itu, Haruto-dono dicintai oleh semua orang. Seorang lelaki tua lusuh sepertiku tidak pantas menyerobot antrean. Para anak-anak muda boleh menjadi pusat perhatian."
Kata Gouki sambil tertawa. Di dekatnya, Raja Francois mengangguk setuju.
Hiroaki menatap Rio dengan jijik, yang tengah ditarik ke segala arah oleh gadis-gadis cantik.
"Anak muda? Maksudmu itu para gadis kali. Cih."
"Bagaimana keadaan Satsuki-san? Apa dia baik-baik saja?"
Tanya Rio, melihat Satsuki masih terbaring di lantai.
“Ya. Nyawanya tidak dalam bahaya, seperti yang kamu katakan. Lukanya telah sembuh dan napasnya telah stabil." Jawab Charlotte.
Rio menghela lega.
"Syukurlah. Terima kasih, Putri Charlotte."
"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Tolong pikirkan dirimu sendiri dulu."
Charlotte tersipu malu sebelum menunjukkan perhatiannya pada kondisi Rio.
"Ahaha. Aku baik-baik saja, sungguh." Rio tertawa canggung.
Aishia memeluk Rio dari belakang.
"Kamu seharusnya tidak memaksakan diri."
"A-Aishia!" Teriak Sora.
Sora telah memperhatikan dengan pandangan yang sedikit gelisah sampai sekarang, tidak dapat bergabung dengan kelompok orang yang mengelilingi Rio. Namun Sora tidak dapat mengabaikan Aishia yang memeluk Rio dari belakang.
"Berhenti! Jangan tekan gumpalan lemak yang berlebihan itu ke punggung Master Rio!"
Sora memaksakan diri masuk ke dalam kelompok gadis-gadis yang mengelilingi Rio dan mencoba menarik Aishia menjauh dengan paksa. Wujud dragonkin-nya sudah terangkat, jadi dia tidak tampak berbeda dari seorang gadis kecil saat ini.
"Haruto butuh dukungan saat ini."
"Kalau begitu Sora yang akan melakukannya!"
"Kamu tidak cukup tinggi."
"Sora memiliki kekuatan lebih darimu, jadi Sora adalah yang paling memenuhi syarat!"
Sora dan Aishia berdebat dengan berisik; semua orang memperhatikan Sora dengan rasa penasaran. Para penghuni mansion itu pernah bertemu dengannya sebelumnya. Celia pernah membawanya untuk tinggal bersama mereka selama beberapa hari. Aturan dewa telah menghilangkan ingatan itu dari para penghuni mansion itu, namun mereka dapat mengingat semuanya sekarang.
Namun, Sora baru bergabung dalam perjalanan Rio setelah semua orang kehilangan ingatan mereka tentangnya, itulah sebabnya tidak ada yang tahu hubungan apa yang Sora miliki dengan Rio dan Aishia. Wajar saja jika mereka merasa penasaran. Saat itu, Sora menyadari semua perhatian tertuju padanya. Sora tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan dengan cepat bersembunyi di samping Rio.
"A-Apa-apaan kalian semua? Jangan menatap Sora seperti itu."
"Itu benar-benar kamu, Sora-chan! Apa kamu ingat aku?"
Tanya Latifa, menatap wajah Sora.
"Hah? M-Memangnya kenapa kalau Sora ingat?"
Sora berkata tajam karena malu.
"Aku juga ingat! Senang sekali bertemu denganmu lagi!"
Latifa tersenyum dan memeluk Sora erat-erat.
"A-Apa yang kamu lakukan?! Le-Lepaskan! Lepaskan Sora!"
Sora menjerit, menggeliat dan menggeliat.
"Ahaha, berhentilah melawan."
"H-Hei! Jangan angkat Sora! Berhenti memperlakukan Sora seperti anak kecil!"
Seharusnya mudah bagi Sora untuk melepaskan diri dengan kekuatannya, namun dia tidak berusaha untuk melakukannya. Kurangnya perlawanannya menunjukkan bahwa dia menahan diri karena perhatian, atau dia tidak benar-benar membencinya.
"Hehe. Bagus sekali, Sora."
Kata Celia sambil tersenyum. Yang dimaksudkannya adalah Sora yang mendapatkan teman baru.
"Bagaimana mungkin?!"
Dan begitulah, Sora segera beradaptasi dengan kelompok para gadis itu. Keributan yang berisik itu membawa kembali kenangan bagi Rio, yang tertawa geli.
"Ahahaha."
Berkat itu, akhirnya Rio mendapatkan kembali energinya untuk berjalan sendiri lagi. Rio menjauh dari Latifa dan Aishia, menopang dirinya dengan kakinya sendiri.
Hmm?
Rio meraih dadanya untuk menyingkirkan topengnya ketika dia mengingat sesuatu.
Kalau dipikir-pikir, bukankah aku ditusuk sebelumnya?
Selama pertempuran sebelumnya, golem itu telah menembus jantungnya. Namun tidak ada lubang di tubuh Rio. Bahkan, tidak ada lubang di pakaiannya.
"Ada apa, Onii-chan? Apa kamu masih merasa tidak enak badan?"
Latifa bertanya dengan cemas, menatap wajah Rio.
Rio menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tidak, aku baik-baik saja. Aku harus pergi menyapa raja. Aku akan segera kembali."
Rio mendekati Raja Francois.
"Kau sudah melakukannya dengan baik."
Kata Francois dengan hangat, menyambut Rio kembali sambil tersenyum.
"Maaf aku tidak bisa menyapamu lebih awal."
Rio meletakkan tangannya di dadanya dan mulai menundukkan kepalanya dengan hormat, namun—
"Tidak perlu begitu. Kau boleh berdiri dengan tenang. Kau bahkan bisa berbaring jika perlu." Kata Francois dengan nada bercanda.
"Terima kasih atas pertimbangannya, tapi aku akan baik-baik saja seperti ini. Ada banyak hal yang perlu kuberitahukan kepadamu."
Kata Rio sambil tersenyum kecut, bertanya-tanya dari mana harus memulai.
"Aku yakin begitu. Mari kita cari tempat untuk berbicara di kastil—tidak, di mansion-mu."
"Terima kasih banyak."
Saat itu, Miharu turun dari langit, sayap cahaya membentang dari punggungnya seperti malaikat. Miharu mendarat di dekat Rio dan sayapnya menghilang.
"Miharu?!"
"Ke mana saja kamu selama ini?"
Sara dan yang lainnya berlari ke arahnya sambil meneriakkan pertanyaan. Mereka telah melihatnya menggunakan sihir yang seharusnya tidak bisa digunakannya untuk menangkis golem itu sebelum menghilang melalui sihir teleportasi, jadi wajar saja jika mereka penasaran.
Miharu? Atau apa dia ini Lina?
Rio memiringkan kepalanya.
Miharu mengabaikan yang lain dan berjalan lurus ke arah Rio. Miharu melambat sedikit begitu dia berada tepat di depan Rio.
"Hah?!"
Dengan senyum menawan, Miharu berpegangan pada Rio tanpa berkata apa-apa. Rio dan semua orang yang menonton terkejut, namun itu baru awal dari keterkejutan mereka.
"Apa...?!"
Miharu memberi isyarat agar wajah Rio lebih dekat, lalu berjinjit untuk menciumnya. Rio membeku karena terkejut—ciuman adalah hal terakhir yang dia harapkan.
"Ngh....!"
Ketika Rio merasakan lidah Miharu menyelinap ke dalam mulutnya, dia dengan cepat mencoba mundur. Namun lengan Miharu melingkari lehernya dengan erat, menolak untuk melepaskannya. Selain itu, Rio juga belum dalam kondisi prima dan belum bisa mengeluarkan tenaga.