Sacred Flames of Darkness – Prolog
Di Kerajaan Suci Almada, di dalam labirin Ibukota Suci Tonerico, Rio dan Sora baru saja tiba di lantai sebelas, di mana mereka mendapati diri mereka berada di jalan buntu tanpa tujuan. Di tempat lain, jauh di dalam labirin, ada lingkaran sihir raksasa yang tergambar di tengah ruangan yang luas. Seorang anak kecil berpakaian putih berdiri di dalam ruangan; mata anak itu tersembunyi di balik poni panjang, sehingga sulit untuk menentukan jenis kelaminnya, dan anak itu tampaknya berusia tidak lebih dari sepuluh tahun. Anak itu menyeringai kegirangan sambil menatap ke langit-langit, ketika seorang laki-laki yang sangat mirip dengan duta besar Kekaisaran Proxia, Reiss Vulfe, muncul entah dari mana, mengenakan jubah putih bersih.
"Selamat malam."
"Oh itu kamu. Lama tak jumpa."
"Aku membutuhkan golem, jadi aku datang untuk mengambilnya.... apa yang sedang kau lihat?"
"Ada seseorang yang cukup menarik di sini. Tidak, seseorang yang sangat menarik. Bagaimana kabar dunia luar akhir-akhir ini?"
"Jarang mendengarmu menunjukkan ketertarikan pada dunia luar."
"Ya, aku tiba-tiba tersadar. Bahkan mungkin ada hubungannya dengan alasanmu ke sini untuk mengambil golem...."
Anak itu akhirnya memalingkan muka dari langit-langit.
"Benar, Fenris?"
Anak itu menoleh ke laki-laki yang mirip Reiss dengan seringai nakal. Fenris terdiam sambil berpikir.
"Dua orang yang berkepentingan telah menyelinap ke dalam labirin. Mereka sedang menjelajahi lantai sebelas sekarang."
Lanjut anak itu, mengembalikan pandangan mereka ke langit-langit.
"Oh, begitu...." Fenris tampak mengerti.
"Hmm? Apa informasi itu hanya mengingatkanmu pada sesuatu?"
"Hanya untuk mencapai lantai sebelas membutuhkan kelompok veteran kelas hero, atau seseorang yang setingkat hero legendaris. Dan kau bilang mereka berdua sedang menjelajahi lantai sebelas—bukan bertarung atau melarikan diri, tapi menjelajah." Jelas Fenris.
"Ya, mereka benar-benar memusnahkan monster-monster yang ada di lantai itu."
Kata anak itu sambil mengangkat bahu.
"Mereka sekarang menyisir area itu untuk mencari jalan menuju lantai dua belas."
"Dalam hal ini, hanya segelintir kandidat yang terlintas dalam pikiran. Ada tiga orang yang aku anggap sangat berbahaya di luar sana.... tidak, sekarang ada empat. Dua di antaranya pasti ada di sini."
Meski Fenris tidak menyebutkan siapa yang dia pikirkan, rupanya ada empat orang yang dia waspadai.
"Oh? Jadi masih ada dua monster lagi di luar sana."
"Lagipula, dunia adalah tempat yang besar. Bahkan mungkin ada orang lain yang tidak aku sadari."
"Yah, kurasa itu benar. Oke, ceritakan lebih banyak tentang keduanya di lantai sebelas sekarang. Aku tahu salah satunya adalah murid Raja Naga, tapi aku tidak tahu siapa anak laki-laki itu. Dia terlihat seperti manusia berusia pertengahan remaja."
"Murid Raja Naga, dan seorang anak laki-laki berusia pertengahan remaja? Aku tahu itu...." Fenris mengusap dagunya sambil merenung, lalu menghela napas lelah.
"Kalau kau tahu sebanyak itu, kau seharusnya bisa memprediksi sisanya, bukan? Seorang murid tidak akan pernah mau menuruti siapapun selain gurunya." Tambahnya.
"Apa maksudmu dia adalah Raja Naga? Mustahil. Aku tidak akan pernah salah mengira dia sebagai orang lain. Dan biarpun muridnya masih hidup, tidak mungkin Raja Naga itu sendiri masih hidup."
Kata anak itu dengan semangat, terkejut mendengar perkataan Fenris.
"Tentu saja, aku juga tidak percaya Raja Naga masih hidup. Tapi jika anak laki-laki di lantai sebelas adalah seperti yang aku kira, maka tidak diragukan lagi dunia akan menganggapnya seorang transcendent."
"........."
"Dia kemungkinan besar menggunakan kekuatannya dan mengaktifkan aturan dewa, menandai dia sebagai seorang transcendent. Meski masih manusia, itu saja."
"Luar biasa.... tidak ada manusia yang bisa menahan penggunaan kekuatan transcendent. Bahkan seorang hero yang berasimilasi dengan roh tingkat tinggi akan mati."
"Memang. Tapi statusnya sebagai seorang transcendent adalah fakta yang tak tergoyahkan. Seperti bagaimana dia hidup dalam masyarakat manusia biasa sampai saat ini."
"Hmm. Sepertinya kamu mengenal anak laki-laki itu dengan baik."
Kata anak itu, tertarik dengan informasi Fenris.
"Aku kebetulan memiliki hubungan dengannya. Cukup banyak yang terjadi sebelum dia menjadi seorang transcendent....."
"Sepertinya kamu bersenang-senang selama aku berada di labirin, Fenris."
"Jika apa yang baru saja aku katakan terdengar menyenangkan bagimu, maka aku merasa bingung." Fenris menghela napas kesal.
"Kita akhirnya mengadakan beberapa kompetisi. Aku mulai bosan menjadi satu-satunya yang memindahkan bidak apapun di permainan papan satu sisi ini. Sekarang jadi menarik." Kata anak itu dengan nada senang.
"Rencana kita bukan sekadar papan permainan."
"Tugas dan kesenangan bisa hidup berdampingan. Sungguh, kenikmatanlah yang memotivasi kita untuk melakukan tugas kita."
"Tapi lawanmu mungkin adalah Dewa Bijaksana Lina."
Anak itu mengerutkan keningnya saat menyebut nama Lina.
"Jika Raja Naga kembali, maka menurutku tidak aneh jika dia kembali juga.... meskipun kupikir dia mati bersama Raja Naga."
"Aku belum memastikan dia masih hidup. Tapi kehadiran Dewi itu terus bermunculan. Mungkin saja dia mempersiapkan sesuatu untuk melawan kita seribu tahun yang lalu."
"Kemampuan perempuan itu untuk melihat masa depan selalu menjadi hal yang menjengkelkan. Dan dia memang selalu menjadi orang yang cerdik."
Terlepas dari apa yang dikatakan anak itu, raut kegembiraan kembali terlihat di wajahnya. Sepertinya anak itu tidak bisa menahan kegembiraannya.
"Kembali ke topik." Kata Fenris.
"Anak laki-laki yang memiliki kekuatan yang sama dengan Raja Naga yang dianggap sudah mati telah membawa muridnya ke labirin ini. Hal ini berpotensi menjadi situasi yang sangat buruk."
"Biasanya, tidak mungkin memasuki lantai dua belas tanpa izinku, tapi ada kemungkinan dia menggunakan kekuatan Raja Naga. Aku bukan orang yang suka melompat langsung ke pertarungan boss terakhir—tapi haruskah aku melenyapkannya sekarang?"
"Tidak..... selama mereka tetap berada di lantai sebelas, tidak perlu mengambil langkah pertama." Kata Fenris.
"Betapa bijaksananya kamu itu. Kita punya beberapa golem yang tertidur di sana, dan jika aku menemanimu sebagai penjaga labirin, aturan dewa akan melemah sampai batas tertentu. Kamu seharusnya bisa bertarung dengan porsi yang layak dari kekuatan aslimu, Fenris."
"Jika dia memiliki kendali penuh atas kemampuan Raja Naga, maka kita berisiko mengalami kerusakan parah. Situasinya mengejutkan, tapi belum ada yang perlu dikhawatirkan. Pertama-tama kita harus mengumpulkan informasi mengenai seberapa banyak rencana kita yang mereka ketahui. Hal itu kalau mereka tidak turun ke lantai dua belas lebih dulu." Saran Fenris.
"Jadi begitu. Kalau begitu, serahkan padaku."
Anak itu menawarkan dengan penuh semangat.
"Apa sebenarnya yang aku percayakan padamu?"
Fenris bertanya sambil menghela napas singkat.
"Tentu saja, mengumpulkan informasi. Kita perlu tahu apa yang mereka lakukan, bukan?"
Anak itu menyeringai tanpa rasa takut.