Sacred Flames of Darkness – Chapter 5 :「Benar-Benar Terlambat」

 

Di Ibukota Kerajaan Galarc, di dalam penginapan murah di pusat kota, pagi hampir berakhir, dan waktu sudah mendekati tengah hari.

 

"Mm...."

Sendo Takahisa bangun; dia sepertinya tertidur miring. Pikirannya perlahan muncul dari tidurnya dan dia membuka matanya untuk melihat wajah Julia tepat di hadapannya.

 

"Oh, kamu sudah bangun."

Keduanya tertidur di bawah selimut tipis yang sama. Takahisa berkedip beberapa kali, masih setengah tertidur.

 

"Selamat pagi, Takahisa." Sapa Julia sambil tersenyum.

 

"P-Pagi."

Takahisa akhirnya berkata dengan wajah memerah.

 

"Hmm? Apa kamu tersipu malu?"

Julia bertanya dengan nada menggoda.

 

"Kalau kamu bangun duluan, kamu bisa membangunkanku...."

Takahisa mengalihkan pandangan dari Julia untuk menyembunyikan rasa malunya.

 

"Aku ingin melihat wajah tidurmu."

 

"Begitu.... ya...."

 

"Dan aku juga baru saja bangun. Menurutku, seharusnya ini sudah hampir tengah hari."

 

"Hah? Kita tidur selama itu?"

 

"Ya, mengingat semua yang kita lakukan tadi malam.... kamu tahu?"

Pipi Julia memerah saat dia menyeringai nakal. Wajah Takahisa semakin memerah.

 

"Kamu sangat mudah dibaca, Takahisa. Hehe!"

Julia menyeringai dan menempel pada Takahisa.

 

"Wah! H-Hei! Itu-mu menyentuhku! Kenapa kamu tidak memakai pakaian apapun?!"

Takahisa memperingatkannya dengan panik. Dia menggunakan kedua tangannya untuk menghentikan Julia agar tidak menempel padanya dalam keadaan telanjang.

 

"Eh? Kita melangkah lebih jauh dari sekedar menyentuh satu sama lain kemarin. Bukankah sudah terlambat untuk itu?"

 

"Itu.... Erm...."

 

"Siapa lagi yang melahap tubuhku sesuka hatinya semalam?"

Julia meringkuk di dekat Takahisa dan menanyainya dengan pura-pura tidak bersalah.

 

"K-Kamulah yang memulainya.... melakukan sesukamu...." Takahisa berhenti mendorong punggung Julia dengan tangannya dan menyerah padanya.

 

"Kalau begitu, kita lah yang harus disalahkan untuk itu."

Kata Julia sambil tersenyum ceria. Takahisa balas tersenyum pada Julia dengan damai. Saat itu, perut mereka berdua keroncongan secara bersamaan. Mereka berdua tertawa kecil mendengar suara itu.

 

"Sepertinya kita lapar. Ayo kita cari makan." Saran Julia.

Maka, keduanya melanjutkan perjalanan mencari makanan.

 

 

Sekitar setengah jam kemudian....

 

"Terima kasih untuk makanannya."

Takahisa dan Julia selesai memakan makanan yang mereka bawa ke kamar dari ruang makan penginapan dan duduk berhadap-hadapan di meja.

 

"Fiuh, aku kenyang sekali."

Julia menghela napas puas.

 

"Ya, terima kasih untuk makanannya...."

Takahisa, yang baru saja selesai makan sedikit sebelum dia, mengusap perutnya dan menyetujui. Julia belum makan apapun sejak siang hari sebelumnya, dan makanan terakhir Takahisa adalah makan malam dua malam yang lalu, jadi mereka menghabiskan seluruh waktu makan dengan makan dalam diam.

 

"Rasanya aku menjalani hidup sepenuhnya saat ini."

Kata Julia sambil menatap ke kejauhan dengan ekspresi bahagia.

 

"Bagaimana denganmu, Takahisa?" Julia bertanya.

 

"Ya.... aku berhasil bertahan berkatmu, Julia."

Takahisa mengatupkan rahangnya dengan ekspresi sedih, ekspresinya dipenuhi rasa bersalah. Kesalahan yang dia buat di Kastil dan pembunuhannya terhadap Tuan muda itu membebani dadanya seperti segumpal duri.

 

"Itu bukan salahmu."

Tiba-tiba Julia berkata membela Takahisa.

 

"Heh?"

 

"Kematian Tuan muda itu bukanlah salahmu. Dia hanya menerima hukuman ilahi atas semua perbuatan jahat yang dia lakukan sampai sekarang. Orang seperti itu pantas mati." Balas Julia. Takahisa menundukkan kepalanya karena merasa bersalah, tidak mengatakan apapun sebagai tanggapan.

 

"Dia memperlakukan orang seperti benda. Dia mengancam orang, mencuri kebebasan mereka, mengantongi semua uang yang diperoleh orang lain dengan mempertaruhkan nyawa mereka, dan bertindak seolah-olah dia berhak melakukan semua itu. Dia akan marah jika mendapat kritik sekecil apapun dan mengacungkan senjatanya. Dia adalah sampah terburuk di dunia."

Julia membenarkan kematian Tuan muda itu, berbicara seolah dia merasa lega.

 

"Tapi membunuh orang itu tidaklah benar."

 

"Kamu salah!"

 

"Apa....?"

Mata Takahisa melebar melihat betapa kasarnya penyangkalan Julia.

 

"Kamu salah! Kamu tidak membunuhnya. Kamu menyelamatkanku, Takahisa!"

 

"Tapi....."

 

"Menyelamatkan seseorang adalah hal yang baik, bukan? Atau apa kamu mengatakan kalua menyelamatkan seseorang itu buruk?"

 

"Itu...."

Sekadar alasan, itulah kata-kata yang ada di ujung lidah Takahisa. Namun dia tidak mengatakannya dengan lantang. Dia menelannya sebelum tumpah keluar dan menahan diam. Mungkin dia ingin melunakkan tekanan dosanya dan menemukan kedamaian dalam kata-kata Julia.

 

"Aku selalu membencinya. Aku selalu merasa menyedihkan. Dipaksa mengembalikan pinjaman yang tidak kuambil, dipaksa menjadi budak dan bekerja di rumah bordil, tidak punya kebebasan..... aku selalu diingatkan bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengatasinya. Aku lari dari kenyataan yang tidak menyenangkan itu tanpa harapan untuk hari esok, karena lebih mudah untuk hidup tanpa berpikir."

Julia tiba-tiba mencengkeram kerah budaknya dan mulai berbicara tentang kehidupannya. Dia kemudian berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat Takahisa duduk menghadapnya.

 

"Takahisa, kamulah yang menyelamatkanku dari itu. Kamulah yang memberiku hari esok yang baru. Ketika Tuan muda itu mati, pikiran pertamaku adalah 'Ah, akhirnya aku bebas', itu semua berkatmu. Kamu adalah pangeranku."

Julia menekankan sambil menggoyangkan bahu Takahisa.

 

"Julia...."

 

"Itulah mengapa kamu tidak salah. Aku tidak akan memaafkan siapapun yang mengatakan apa yang kamu lakukan itu salah."

Julia memeluk Takahisa seolah mengatakan dia akan melindunginya.

 

"Terima kasih.... tapi aku sebenarnya bukan seorang pangeran."

Otot-otot wajah Takahisa mengendur seolah dia telah diselamatkan. Takahisa tersenyum malu-malu saat bebannya terangkat dari bahunya.

 

"Sudah kubilang kemarin kamu akan bertindak sebagai pangeranku, bukan?"

 

"Apa kamu terobsesi dengan pangeran atau semacamnya....?"

 

"Yah, aku selalu mengagumi mereka. Aku hidup setiap hari dengan berharap seorang pangeran akan datang menyelamatkanku suatu hari nanti." Jawab Julia sambil menggunakan paha Takahisa sebagai tempat duduk sambil memeluknya.

 

"A-Aku mengerti...."

Takahisa terkejut dengan kontak yang tiba-tiba itu.

 

"Selain itu...."

 

"Hmm?"

 

"Pertama kali aku melihatmu, aku benar-benar mengira kamu seperti seorang pangeran. Penampilanmu memberiku kesan seperti itu." Ungkap Julia malu-malu.

 

"Ahaha." Takahisa tertawa geli.

 

"Tapi kepribadianmu agak mengecewakan. Kamu juga kekurangan uang."

 

"Ha... Haha...."

Senyum Takahisa berkedut mendengar komentar lanjutan Julia.

 

"Tapi jika kamu bukan seorang pangeran, siapa sebenarnya kamu itu?"

Julia memperhatikan reaksi Takahisa saat dia akhirnya bertanya tentang latar belakangnya.

 

"Kalau dipikir-pikir, aku masih belum memberitahumu tentang diriku. Kamu juga tidak menanyakan apapun tentang itu...."

 

"Ya, karena jelas ada beberapa hal yang terjadi. Tapi maukah kamu memberitahuku sekarang?" Duduk di pangkuan Takahisa, Julia menatap wajahnya dari jarak dekat.

 

"Aku.... seorang hero."

Takahisa mengambil keputusan dan mengungkapkan identitasnya.

 

"Heh....?"

Julia terkejut dan berkedip.

 

"Aku seorang hero dari Kerajaan Centostella. Aku tinggal di Kastil Galarc sampai kemarin." Tambah Takahisa sambil tersenyum masam.

 

"Heeh? Apa?"

 

"Err, apa kamu tahu apa itu hero?"

 

"Ya, tapi, heeh? Seorang hero?! Kamu?!"

Julia bersandar karena terkejut.

 

"Ya, itu aku."

 

"Bukankah itu lebih menakjubkan dari seorang pangeran?!"

 

"Aku kira tidak demikian....?"

Sudut mulut Takahisa berkerut karena malu.

 

"Heeh? HEEEH?"

Julia meninggikan suaranya sambil menatap Takahisa.

 

"HEEEH?!"

 

"Apa ini benar-benar mengejutkan?"

Takahisa tidak tahu seperti apa reaksi normal terhadap seorang hero, jadi yang dia lakukan hanyalah mengangkat bahu dengan tidak nyaman.

 

"Tentu saja! Hero adalah orang-orang yang muncul dalam dongeng yang diketahui semua orang. Aku tahu ada keributan sebelumnya tentang kemunculan para hero, tapi aku tidak pernah menyangka akan bertemu atau berbicara langsung dengan mereka!" Kata Julia.

 

"Kamu bertemu denganku kemarin dan kita sudah ngobrol selama ini.... bahkan, caramu menempel begitu dekat padaku lebih dari itu...."

Takahisa menunjukkan dengan wajah memerah. Julia masih duduk di pangkuannya, jadi tidak masuk akal baginya untuk meributkan berbicara dengannya saat ini.

 

"Heeh? Oh, itu benar.... kamu ada benarnya. Ahaha, apalagi setelah yang tadi malam...." Julia teringat bagaimana mereka berbaring sepanjang malam dan tersipu malu. Dia dengan cepat turun dari pangkuannya dan menjauhkan diri darinya.

 

"Umm, kamu juga tidak perlu menghindariku secara terang-terangan."

Kata Takahisa dengan cemberut sedih.

 

"A-Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Kamu tidak bisa begitu saja menganggapmu sebagai hero seperti itu..... maksudku, aku tahu kamu orang penting saat pertama kali aku melihatmu. Pantas saja pakaianmu berkualitas bagus. Ah, haruskah aku berbicara kepadamu dengan lebih sopan? Dan memanggilmu dengan sebutan Takahisa-sama?!"

Julia tampak agak terguncang, mengayunkan tangannya dengan bingung.

 

"T-Tenanglah, tidak apa-apa. Kamu bisa memperlakukanku seperti sebelumnya bahkan sekarang! Tarik napas dalam-dalam, oke?"

Sama-sama bingung, Takahisa mencoba menenangkannya.

 

"K-Kamu benar, tarik napas dalam-dalam. Fiuh.... Hahh...."

Dengan itu, Julia akhirnya menenangkan diri.

 

"Lebih baik sekarang?"

 

"Agak."

 

"Selain itu, kamu langsung percaya padaku saat aku bilang aku ini hero...."

Takahisa memperhatikan ekspresi Julia. Bagaimanapun, Takahisa tidak punya cara untuk membuktikannya.

 

"Ya, aku percaya padamu." Julia mengangguk polos.

Setelah berkali-kali diberitahu bahwa dirinya tidak bisa dipercaya oleh semua orang di Kastil, Takahisa merasakan kata-kata Julia menghangatkannya.

 

"Terima kasih...." Kata Takahisa, wajahnya berkerut saat dia mengucapkan terima kasih dengan suara yang terdengar sedih.

 

Melihatnya seperti itu membuat Julia menghela napas pelan.

"Sepertinya aku sangat lemah terhadap ekspresimu itu. Kenapa ya...."

 

Julia mendekati kembali kursi tempat Takahisa duduk dan dengan lembut memeluk kepala Takahisa itu ke dadanya. Tidak dapat menunjukkan bahwa payudara Julia itu menempel di wajahnya, Takahisa bertanya dengan malu,

"Ekspresi apa....?"

 

"Hmm.... ekspresi anak anjing terlantar? Ekspresi itu membuatku ingin memanjakanmu dan melindungimu.... apa karena kamu memicu naluri keibuanku?"

Kata Julia sambil memeluk Takahisa lebih erat.

 

"Bolehkah aku bertanya lebih banyak tentang situasimu, Takahisa?"

 

"Tentu saja...."

 

"Kenapa kamu lari dari Kastil?"

 

"Bagaimana.... bagaimana kamu bisa tahu?"

Takahisa bertanya balik dengan heran.

 

"Mengapa seorang hero dari Kastil berada di distrik lampu merah sendirian?"

 

"Aku kira hal itu tampak jelas jika kamu mengatakannya seperti itu."

 

"Ya. Lagipula."

Julia terdiam, mengerucutkan bibir seolah mengumpulkan keberanian.

 

"Kamu bilang kamu membuat marah gadis yang kamu cintai, kan?"

 

"Haha....."

 

"Apa seburuk itu?"

 

Takahisa menegang, lalu membungkuk dan mengangguk.

"Itu sungguh mengerikan.... dia bilang dia tidak ingin bertemu denganku lagi."

 

"Jadi begitu. Maka gadis itu pasti mempunyai selera yang buruk terhadap laki-laki baik sepertimu. Bagaimana bisa dia bersikap begitu dingin pada orang sebaikmu itu? Aku yakin dia menyesalinya sekarang karena kamu pergi."

Julia cemberut, mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap posisi Takahisa.

 

"Kamu pikir begitu?" Takahisa bertanya dengan ragu.

 

"Ya, aku yakin akan hal itu."

Julia menjawab dengan tegas dan langsung, memberikan stempel persetujuannya. Julia menepuk punggung Takahisa dengan semangat, menenangkannya seolah Takahisa adalah binatang kecil yang ketakutan. Takahisa akhirnya merasakan kekuatan terkuras dari tubuhnya saat dia rileks.

 

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan mulai dari sini?"

Julia bertanya sambil mengangkat topik baru.

 

"Apa maksudmu....?"

 

"Apa rencanamu untuk masa depan? Maukah kamu kembali ke Kastil?"

Takahisa menjadi kaku sekali lagi seolah mengatakan tidak, dia tidak mau.

 

"Jadi kamu tidak ingin kembali. Oke, itu artinya kita tidak bisa mengandalkan Kastil. Aku tidak bisa kembali ke rumah bordil, dan tidak ada tempat lain yang bisa kita tuju. Tapi akan berbahaya juga jika tetap berada di Ibukota seperti ini...."

Julia bersenandung sambil berpikir sambil mengusap punggung Takahisa. Kemudian sebuah ide muncul di benak Julia.

 

"Bagaimana kalau kita lari bersama dan pergi ke suatu tempat yang jauh?"

Kata Julia, menyarankan itu.

 

"Suatu tempat yang jauh....?"

 

"Yup. Aku akan menghiburmu sampai kamu muak padaku, lalu kita bisa hidup bahagia bersama selamanya. Begitu kita menjadi tua dan keriput, kita akan melihat kembali apa yang terjadi kemarin dan hari ini dan berkata satu sama lain, 'Aku ingat laki-laki itu, dia lebih baik mati,' dan, 'Oh ya, ada perempuan seperti itu, tapi aku malah lebih bahagia bersama Julia,' dan menertawakannya."

Saat itu, waktu sudah menyembuhkan segalanya. Itu sebabnya mereka harus mengesampingkan segalanya dan melarikan diri bersama—itulah yang dikatakan Julia kepada Takahisa sambil tersenyum riang.

 

"Ya... kamu benar. Itu mungkin bagus juga."

Takahisa berhenti sejenak, namun akhirnya menganggukkan kepalanya.

 

"Baiklah, kalau begitu sudah diputuskan!"

Julia berkata penuh semangat, dengan gembira memeluk Takahisa lebih erat.

 

"Kita harus bersiap untuk keberangkatan kami. Apa yang kita butuhkan untuk sebuah perjalanan? Biaya perjalanan? Aku ingin tahu apa aku punya cukup uang....?"

Dengan semangat tinggi, Julia dengan cepat membahas semua hal yang perlu mereka lakukan sebelum hal itu hilang dalam pikirannya.

 

"Jika yang kita butuhkan adalah uang, bagaimana kalau kita menjual pakaianku?"

Saran Takahisa sambil memperhatikan Julia sambil tersenyum.

 

"Heh? Apa itu tidak apa apa? Itu terlihat seperti pakaian yang mahal...."

 

"Itulah alasannya. Aku hanya akan menonjol jika aku memakainya, jadi lebih baik aku menjualnya. Menjualnya akan lebih baik daripada membuangnya."

 

"Jadi begitu. Lalu jika kamu tidak keberatan, ayo lakukan itu. Terima kasih."

Julia berseri-seri saat dia mengucapkan terima kasih.

 

"Tidak apa-apa. Masalahnya adalah di mana kita bisa menjualnya...."

 

"Kita harus menjualnya dan pergi secepat mungkin. Organisasi tempat Tuan muda itu berada memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap bagian kota yang lebih miskin, jadi kita tidak akan bisa bersembunyi selamanya."

Mereka pasti sudah mengetahui kematiannya dan mulai mencari mereka berdua sekarang, jelas Julia.

 

"Aku mengerti.... kalau begitu sebaiknya kita bergegas."

 

"Ya. Aku tahu toko yang bagus untuk menjual. Toko biasa akan menolak membeli barang berkualitas tinggi yang mereka anggap mencurigakan, tapi toko ini akan membeli tanpa bertanya."

 

"Apa itu toko yang mencurigakan....?"

 

"Aku pikir itu akan baik-baik saja. Ya, ada banyak klien yang mencurigakan, tapi itulah mengapa mereka sangat tertutup tentang bisnisnya. Aku kenal pekerja rumah bordil yang menjual batu permata yang tidak mereka perlukan di sana."

 

"Baiklah, ayo pergi ke sana bersama-sama."

 

"Tidak. Bia raku saja yang pergi sendiri."

 

"Heeh? Mengapa?"

 

"Mereka tahu kita kabur bersama, jadi mereka akan mewaspadai orang-orang bertudung yang berjalan berpasangan."

 

"Kalau begitu, aku akan pergi sendiri—"

 

"Kamu belum pernah ke sisi kota ini, kan? Apa kamu tahu di mana tempatnya meskipun aku memberimu alamatnya?"

 

"Urk...."

 

"Kamu tidak akan tahu bagaimana hidup di Luar kastil. Serahkan ini padaku."

 

Takahisa menyerah dan mengangguk.

"Baik.... tapi tolong berhati-hati."

 

"Tentu saja. Dengan itu diputuskan...."

Dari tempatnya duduk di pangkuan Takahisa, Julia mendekatkan wajahnya ke wajahnya seolah hendak menciumnya—dan mulai meraba-raba tubuh bagian atas di atas pakaiannya dengan genit.

 

"H-Hei, bukankah kamu hendak pergi untuk menjual pakaian....?"

Apa yang Takahisa bayangkan? Takahisa tersipu sampai wajahnya tampak seperti dicat dengan cat merah cerah.

 

"Aku sedang memeriksa apa yang bisa dijual. Sungguh menyedihkan jika membuatmu telanjang, jadi aku akan menyisihkan baju dan celanamu."

Julia menyeringai dan mulai menanggalkan pakaian Takahisa.

 

 

Di pagi hari, sekitar waktu Takahisa dan Julia bangun....

Gadis manusia serigala perak, Sara, telah meninggalkan Kastil Galarc bersama pengawal pribadi Charlotte untuk mencari Takahisa. Roh terkontrak Sara, Hel, diwujudkan dalam bentuk seekor anjing besar dan memimpin jalannya. Hujan deras tadi malam menyebabkan pencarian dibatalkan. Hujan telah menghilangkan aroma Takahisa, sehingga sulit untuk melacaknya. Namun itu bukan masalah bagi indra penciuman Hel dan Sara setelah memperkuat tubuh mereka dengan spirit art. Mereka mengambil alih pencarian dari tempat yang ditinggalkan tim pencari Kastil kemarin dan menghabiskan beberapa jam pencarian yang panjang sejak dini hari. Akhirnya, mereka sampai di distrik lampu merah Ibukota dan berhenti di pintu masuk jalan utama menuju masuk.

 

"Tidak salah lagi. Aromanya berlanjut di sini."

Kata Sara kepada Ksatria perempuan yang masih muda yang bersamanya.

 

"Di sini.... mengarah ke distrik lampu merah."

Komandan para Ksatria, bernama Louise, memeriksa lokasi mereka di peta. Dia tampaknya tidak memiliki kesan yang baik tentang distrik lampu merah, karena ada ekspresi muram di wajahnya saat dia berbicara.

 

"Distrik lampu merah?"

Sara memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu, tidak terbiasa dengan istilah itu. Tidak ada distrik lampu merah di desa roh, jadi itu adalah reaksi alami baginya.

 

"Itu, um.... tempat di mana jasa tertentu dijual.... ahem. Distrik ini bukanlah area yang sangat aman. Tapi seharusnya tidak ada masalah di siang hari, jadi mari kita lanjutkan dengan hati-hati." Malu karena menjelaskan hal seperti itu, Louise berdeham dan mengabaikan masalah itu.

 

"Baiklah." Karena itu, Sara dan para ksatria menguatkan diri mereka dan memasuki distrik lampu merah.

 

Aroma ini....

Hampir tidak ada orang di jalan-jalan di distrik lampu merah pada dini hari ini, namun ada aroma yang kuat dan aneh yang tertanam di area tersebut. Hal itu sepertinya membuat Sara menyadari di tempat seperti apa mereka berada, dan dia tersipu malu.

 

"Lewat sini."

Kata Sara sambil berdeham sebentar. Dia memimpin para Ksatria ke jalan belakang dari jalan utama. Namun.....

 

"Oh? Sepertinya ini jalan buntu."

Kata Louise sambil melihat sekeliling gang.

 

"Sepertinya dia berhenti di sini selama beberapa waktu. Dia mungkin sedang duduk di sini." Sara menjelaskan sambil menunjuk ke tempat yang aromanya paling kuat.

 

"Kamu bahkan bisa tahu dia sedang duduk? Itu luar biasa.... tidak ada yang bisa melarikan diri darimu dan Hel." Louise memuji mereka berdua dengan kagum.

 

"Itu bukan masalah besar. Mari kita kembali. Aku akan mencari ke mana dia pergi setelah ini." Sara tampak sedikit malu sambil menggelengkan kepalanya, lalu kembali ke jalan utama distrik lampu merah.

Kali ini, Sara memperhatikan aroma Takahisa yang mengarah ke gang lain dan mengikuti aroma itu ke sana. Mereka menyusuri jalan belakang distrik lampu merah sampai Sara dan Hel berhenti di depan sebuah bangunan.

 

"Sepertinya dia memasuki bangunan ini."

Lapor Sara sambil melihat ke arah bangunan itu. Bangunan itu adalah rumah bordil tempat Julia bekerja hingga kemarin. Semua Ksatria memiliki ekspresi canggung di wajah mereka. Mereka tahu Takahisa melarikan diri karena kesedihan, namun mereka tidak mau percaya ada seorang hero yang langsung lari ke rumah bordil.

 

"Ada seseorang bersamanya. Aku yakin dia seorang perempuan yang masih muda."

Tambah Sara dengan ragu-ragu.

 

"Begitu.... dan mereka masuk ke sini. Kita harus masuk dan bertanya...."

Louise menghela napas dan bergerak memasuki bangunan itu.

 

"Tolong tunggu sebentar." Kata Sara, menghentikannya.

 

"Apa ada masalah?"

 

Sara menunjuk ke gang di samping rumah bordil.

 

"Aromanya berlanjut ke gang di samping gedung itu. Sepertinya berada di gang buntu di sana, jadi mari kita periksa dulu."

 

"Baiklah."

Maka rombongan mereka memasuki gang di samping gedung. Meski begitu, gang buntu itu panjangnya kurang dari sepuluh meter, dan langsung terhenti dari tembok bangunan lain. Kelompok itu berhenti begitu mereka memasuki gang itu.

 

Louise melihat sekeliling gang dan memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.

"Apa yang dilakukan Takahisa-sama di sini?"

 

Jalan buntu gang itu terlihat jelas bahkan tanpa memasukinya. Tidak perlu berubah menjadi tempat seperti itu tanpa alasan tertentu. Ekspresi muram muncul di wajah Sara saat dia berjalan menyusuri gang bersama Hel. Ketika dia mencapai tempat tertentu, dia berjongkok. Itu adalah tempat dimana Tuan muda itu meninggal. Mayatnya telah dipindahkan, dan darahnya telah tersapu oleh hujan, namun.....

 

Tidak salah lagi. Ini bau darah.....

Sara mengendus aroma yang tersisa dengan pasti. Masalahnya adalah milik siapa darah itu, dan mengapa darah itu tumpah di sini. Bahkan Sara pun tidak mampu mengatakan sebanyak itu hanya melalui hidungnya saja.

 

Apa dia pergi ke sini? Aroma perempuan yang memasuki gedung bersamanya juga ada di sini. Apa darah yang tumpah di sini ada hubungannya dengan Takahisa?

Sara mempertimbangkan berbagai kemungkinan sambil melihat sekeliling gang.

 

"Apa ada masalah, Sara-dono?" Louise memanggil punggungnya.

 

"Hei, nona-nona."

Terdengar suara seorang laki-laki. Ada sekitar sepuluh laki-laki berwajah kasar berdiri di pintu masuk rumah bordil. Salah satu dari mereka memanggil Louise dan yang lainnya di gang.

 

"Siapa kalian?"

Louise menuntut dengan tatapan tegas, meraih sarung di pinggangnya. Keempat Ksatria bawahannya dengan cepat meraih pedang mereka juga.

 

"Santai, santai, tidak perlu itu. Kami tidak punya niat untuk berkelahi dengan para Ksatria perempuan bangsawan."

 

Orang di depan kelompok itu mengangkat tangannya secara berlebihan, mengungkapkan betapa mereka tidak punya keinginan untuk bertarung. Dia kemudian melihat ke bangunan rumah bordil dan memperkenalkan dirinya.

"Aku Norman. Akulah yang bertanggung jawab atas area ini, dan aku juga pemilik rumah bordil di sini."

 

Norman adalah paman dari Tuan muda yang terbunuh itu—orang yang sama yang mencari Takahisa dan Julia yang menghilang.

"Sungguh kebetulan. Kami ada urusan dengan rumah bordilmu. Mari kita dengar apa yang ingin kau katakan." Kata Louise, mengembalikan pedang yang hampir dia tarik kembali ke sarungnya. Namun, dia tetap waspada terhadap laki-laki itu, karena tatapan matanya masih tajam.

 

"Oh? Urusan apa yang akan dilakukan para Ksatria muda cantik seperti kalian di distrik lampu merah di pinggiran kota?"

Norman bertanya sambil menjilat bibirnya sambil mengamati semuanya dengan cermat. Namun saat dia melihat Sara berjongkok di belakang gang, matanya melebar drastis.

 

"Jika kalian di sini untuk mencari pekerjaan, kalian semua diterima dengan baik. Salah satu pekerja di sini baru saja hilang, jadi kami membutuhkan pekerja baru. Gadis berambut perak di belakang khususnya akan menjadi yang teratas. Dia bisa menghasilkan puluhan koin emas dalam semalam jika dia mau."

Kata Norman sambil menyeringai vulgar.

 

“Dasar kurang ajar!" Louise meraih pedang di sarungnya sekali lagi.

 

"Tenang, tenang. Aku bilang kami tidak punya niat untuk berkelahi. Dengan banyaknya perempuan cantik yang berkumpul di distrik lampu merah, kalian tidak pernah tahu apa setidaknya satu dari kalian tertarik untuk bekerja di sini. Akan lebih tidak sopan jika tidak mengatakan apapun." Norman menegur Louise dengan tergesa-gesa, mengangkat tangannya untuk menunjukkan kepatuhannya.

 

"Cih.... Kami di sini untuk melakukan penyelidikan. Aku akan mengabaikan kelancanganmu itu jika kau menjawab pertanyaan kami, tapi tidak akan ada ampun jika lain kali kau menyamakan kami dengan bagianmu itu lagi." Louise mendecakkan lidahnya dan menyarungkan pedangnya, memprioritaskan pertanyaan.

 

"Jadi begitu. Penyelidikan.... tapi, kami menjalankan bisnis yang jujur ​​dan sah di sini. Apa yang perlu diselidiki?" Norman mengangkat bahu dengan sikap menyendiri sambil menatap Louise dengan tajam.

 

"Kami sedang mencari seorang anak laki-laki berusia pertengahan remaja. Dia memiliki rambut hitam berwarna coklatan dan tubuh kurus, dan tingginya kira-kira 170 hingga 180 sentimeter. Apa ada seseorang yang cocok dengan gambaran ini, mungkin mengenakan pakaian khusus, datang ke rumah bordil ini tadi malam?"

Saat Louise menggambarkan penampilan Takahisa, ekspresi Norman menegang.

 

"Kami adalah perusahaan kelas atas, dan reputasi kami sangat berarti bagi kami. Bahkan jika anak laki-laki itu berkunjung, kami tidak dapat dengan bebas memberikan informasi tentang pelanggan kami."

 

"Apa kau menolak menjawabnya?"

 

"Yah, tidak jika aku mempunyai kewajiban untuk melakukannya. Aku hanya mengatakan bahwa aku tidak dapat mengungkapkan rahasia ap pun kepada sekelompok orang yang aku tidak tahu latar belakangnya."

 

"Kami adalah Ksatria yang secara langsung melayani Keluarga Kerajaan di Kastil. Ini adalah penyelidikan yang diperintahkan oleh Yang Mulia sendiri. Semua penduduk Kerajaan wajib bekerja sama dalam penyelidikan." Louise menunjukkan pelat logam dengan lambang Keluarga Kerajaan yang tercetak di dalamnya.

 

"Ya ampun, Yang Mulia sendiri? Dalam hal ini, sebagai warga negara yang tinggal di Kerajaan ini, aku akan berusaha menjawab sebaik mungkin."

Norman menyetujui pertanyaan itu dengan nada dramatis.

 

"Apa ada anak laki-laki yang cocok dengan ciri-ciri itu datang ke sini?"

 

"Ya, ada anak laki-laki seperti itu. Tapi, jangan beri tahu siapapun bahwa aku mengungkapkan hal itu. Aku tidak bertemu langsung dengannya, tapi dia pasti ada di sini. Tidak jarang perusahaan kelas atas seperti kami menerima klien terhormat, tapi dia menonjol dalam pakaiannya yang sangat bagus. Dia rupanya mengatakan dia ingin mencoba melakukannya dengan perempuan lusuh."

Norman membalasnya dengan tawa vulgar.

 

"Jadi begitu. Jadi dia ada di sini...." Louise menghela napas berat, menekankan tangannya ke kepalanya untuk menahan sakit kepalanya.

 

"Jadi kenapa kau mencari anak itu? Siapa dia?"

 

"Dia adalah orang yang sangat penting. Jangan mengorek lebih jauh. Lebih penting lagi, apa kau tahu ke mana dia pergi setelah itu?"

 

"Sayangnya, kami tidak dapat mengetahui ke mana pelanggan kami itu pergi setelah mereka meninggalkan toko. Itu sangat disesalkan...."

Jawab Norman dengan senyuman tanpa emosi apapun.

 

"Jadi begitu."

 

"Aku punya pertanyaan juga. Apa ada yang terluka atau terbunuh di gang ini baru-baru ini?" Sara bertanya sambil berdiri dan melihat ke tempat Tuan muda itu dibunuh.

 

"Oh....?"

 

"Ada aroma darah yang kuat tertinggal."

 

"Bagaimana.....?"

Bagaimana dia bisa tahu? Norman bertanya-tanya ketika matanya melebar kaget. Namun saat dia melihat Hel menjelma menjadi serigala perak besar, ekspresi pengertian melintas di wajahnya. Louise menjadi kaget.

 

"Benarkah itu?!" Louise bertanya pada Sara.

 

"Ya. Aromanya samar, tapi ada aroma darah. Bisakah kau memberitahu kami apa darah yang tumpah di sini ada hubungannya dengan anak laki-laki yang kami cari?"

Sara bertanya dengan berani sambil menatap Norman.

 

"Wah, wah, itu membuatku terkesan.... memang benar, ada seseorang yang meninggal di sini beberapa hari yang lalu. Apa anak anjingmu itu bisa mengetahui siapa pembunuhnya?" Norman bertanya pada Sara, matanya tertuju pada Hel.

 

Sara perlahan menggelengkan kepalanya.

"Tidak, ada terlalu banyak aroma di sini untuk bisa membedakannya."

 

"Jadi begitu...."

 

"Hei. Jawab pertanyaannya terlebih dahulu. Apa anak laki-laki yang kami cari ada hubungannya dengan kejadian yang terjadi di sini?" Setelah membayangkan skenario terburuk di kepalanya, nada bicara Louise menjadi kasar.

 

"Tidak, itu tidak ada hubungannya. Terjadi sedikit perkelahian di sini hingga berujung pertumpahan darah. Korbannya adalah keponakanku, bukan anak laki-laki yang kalian cari. Aku tidak tahu mengapa aroma anak laki-laki itu ada di sini juga."

 

"Aku mengerti.... aku turut prihatin dengan itu. Jika kau masih mencari pelakunya, aku dapat menghubungi patroli setempat dan memberitahumu."

 

"Tidak, itu tidak perlu. Insiden ini sedang dalam proses untuk diselesaikan."

Jawab Norman dengan segera.

 

"Baiklah. Jika kau punya waktu, silakan tanyakan siapa saja yang pernah melihat anak itu sekali lagi. Akan ada hadiah uang tunai untuk setiap informasi berguna. Kami mungkin akan mampir untuk menyelidikinya lagi, tapi kau juga dapat membawa informasi apapun ke pos terdekat."

 

"Itu tawaran yang cukup murah hati. Untungnya, aku punya cukup banyak kontak di luar distrik lampu merah. Aku akan menanyakan keberadaan anak laki-laki itu untukmu."

 

"Silakan lakukan. Sekarang, kami permisi."

Louise menatap Sara dan bawahannya, menunjukkan niatnya agar mereka meninggalkan gang buntu itu.

 

"Kami juga akan kembali ke rumah bordil."

Norman memimpin orang-orangnya kembali ke dalam gedung.

 

"Selanjutnya, ayo kita pergi ke sana."

Kata Sara sambil menunjuk ke arah selanjutnya yang dituju oleh aroma itu.

 

Oleh karena itu, kelompok tersebut melanjutkan pencarian mereka dari rumah bordil yang pernah dikunjungi Takahisa. Namun setelah berjalan sekitar sepuluh meter, Sara melihat kembali ke pintu masuk gang yang mereka tinggalkan.

 

Aroma darah menggantung di udara di sana.... samar-samar, tapi aroma Takahisa tercampur di dalamnya.....

Sara menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran yang tidak perlu itu dan memalingkan wajahnya dari gang.

 

 

Sementara itu, begitu Norman memasuki pintu rumah bordil.....

 

"Hmph. Tidak kusangka Kerajaan akan mengirim para Ksatria Kerajaan ke distrik lampu merah. Tampaknya rumor yang kau dengar di distrik bangsawan itu benar, Nick."

Kata Norman kepada tentara bayaran yang berjalan di sampingnya.

 

Norman mengacu pada kejadian pagi itu, ketika Nick membawa kembali informasi yang dia kumpulkan di distrik bangsawan Ibukota. Singkatnya, rumornya adalah seorang hero yang mengunjungi Kastil Galarc telah hilang sejak kemarin, tidak ada yang tahu ke mana hero itu pergi, dan Kastil menjadi gempar. Dan sekarang, para Ksatria yang dikirim oleh raja berada di distrik lampu merah sebagai bagian dari penyelidikan. Yang berarti.....

"Memang begitu. Siapa sangka seorang hero legendaris akan membeli perempuan dari rumah bordil? Aku setengah skeptis pada awalnya, tapi ini cukup menegaskan bahwa dialah yang membunuh Tuan muda itu."

 

"Ya, kita harus menemukan hero itu sebelum pihak Kastil menemukannya...."

Kata Norman, mendidih karena amarah yang tak tertahankan.

 

"Tapi bukankah buruk jika pihak Kastil melakukan upaya pencarian yang serius?"

Salah satu preman bawahan Norman berbicara dengan ragu-ragu.

 

"Hah?"

 

"M-Mungkin mudah bagi kita untuk menangkapnya terlebih dahulu, tapi para Ksatria melacak baunya menggunakan seekor anjing. Bahkan jika kita menangkapnya terlebih dahulu, bukankah mereka akan mengetahuinya? Akan beresiko membunuh hero dan menentang Kerajaan, jadi bukankah lebih baik menyerahkan hero itu dan menerima hadiah uang tunai dari Kerajaan.....?"

Bawahan Norman itu bergerak-gerak gugup di bawah tatapan tajam Norman ketika dia menjelaskan mengapa dia menentang balas dendam.

 

"Dia ada benarnya...."

 

"Kita seharusnya tidak membunuh seorang hero."

 

"Hadiah itu seharusnya berupa uang tunai dalam jumlah besar, kan?" Para bawahan Norman yang lainnya menyatakan pendapat serupa terhadap tindakan balas dendam.

 

"Untuk apa kalian semua takut pada para penguasa?! Apa kalian lupa siapa yang membuat distrik lampu merah ini begitu makmur?! Bukan Kerajaan, bukan hero, tapi kita! Kita bukan warga Kerajaan—distrik lampu merah adalah Kerajaan kita sendiri!"

Norman tidak goyah menghadapi otoritas Kerajaan. Kebencian yang dia rasakan atas pembunuhan keponakan tercintanya melebihi rasa takutnya terhadap otoritas. Para bawahan Norman itu mundur dan terdiam.

 

"Dengarkan. Aku akan membayar orang yang menemukan bocah nakal yang membunuh Sammy itu sejumlah besar koin emas. Aku akan menyiapkan posisi yang cocok untuk mereka juga. Aku tidak punya niat untuk mundur, tidak peduli apa kita melawan hero atau raja itu sendiri. Mereka yang ingin menghindarinya bebas untuk pergi, tapi jangan berpikir kalian bisa tinggal di tempatku saat aku melihat kalian lagi." Norman memanfaatkan ancaman dan suap dengan tepat untuk meyakinkan para bawahannya itu bahwa risikonya sepadan dengan imbalannya.

 

"Jika kalian ingin hebat di dunia, bekerjalah! Kita tahu Julia mengajak bocah nakal itu untuk membeli mantel. Kita juga tahu di area mana mereka memilih untuk bermalam. Para perempuan dari Kastil itu bukanlah satu-satunya ancaman kalian—para orang yang berjaga di area tersebut akan menghajar kalian habis-habisan!" Norman menggerakkan para bawahannya itu, dan mereka segera lari keluar rumah bordil.

 

Jika pihak Kastil berhasil mendapatkannya, kami tidak akan bisa menangkapnya. Dia tidak akan lolos..... aku tidak peduli apa dia seorang hero atau bukan. Aku sendiri yang akan membunuhnya.

Api balas dendam yang berkobar di dalam diri Norman perlahan-lahan mendekati Takahisa dan Julia.

 

 

Sekitar satu jam kemudian pada siang hari, di distrik Ibukota Galarc yang memiliki pasar, berdiri sebuah toko tua yang terletak di antara tumpukan bangunan dan serangkaian gang belakang yang berliku-liku. Julia melangkah keluar dari pintu masuk toko itu dengan tudung menutupi wajahnya.

 

"Hehe....."

Julia menatap kantong yang berfungsi sebagai dompetnya dan tersenyum bahagia. Di dalamnya ada dua koin emas dan enam koin perak besar yang dia terima dari penjualan pakaian Takahisa. Jika ditambah dengan uang yang awalnya dia miliki, kekayaannya berjumlah empat koin emas.

 

Dengan jumlah sebanyak ini, kami seharusnya bisa melakukan perjalanan dalam waktu yang cukup lama.

Dengan menggunakan uang ini, mereka akan berlari sejauh yang mereka bisa. Julia berharap memikirkan masa depan cerah yang menanti mereka.

 

Dengan menggunakan uang ini, Takahisa dan aku akan....

Julia dengan hati-hati memasukkan kantong itu ke dalam pakaiannya dan menatap ke langit. Setelah dijual sebagai pekerja rumah bordil untuk membayar hutang orang tuanya, tidak ada orang yang bisa dia andalkan. Itu sebabnya dia bersumpah dia akan hidup sebaik mungkin sendirian. Tidak ada mimpi tentang masa depan ketika dia dikurung di kamar rumah bordil. Dia berpikir bahwa dia akan menghabiskan selamanya di titik terendah, namun segalanya berbeda sekarang.

 

Langitnya terasa sangat cerah hari ini. Julia percaya bahwa hari esok yang berbeda dari hari ini menantinya. Takahisa akan mengubah hari esok untuknya. Itu sebabnya dia percaya pertemuannya dengan Takahisa adalah sebuah takdir. Bagaimanapun, Takahisa pernah hidup di dunia yang benar-benar berbeda dari rumah bordil. Dua orang yang seharusnya tidak pernah bertemu kini berbagi takdir yang sama.

Tunggu aku, pangeranku.... tidak, kurasa Takahisa akan menjadi heroku sekarang?

 

Julia ingin bertemu dengan Takahisa. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Takahisa saat ini juga dan melompat ke pelukannya. Dia ingin merasakan kulit Takahisa menempel di kulitnya. Tak mampu menahan keinginannya untuk bertemu dengannya, Julia mulai berjalan cepat menuju penginapan tempat Takahisa menunggu. Namun.... di saat yang sama, dia juga takut. Rasanya saat dia lengah, ketakutannya akan menyebar ke seluruh dadanya dan mewarnai seluruh kebahagiaannya menjadi hitam. Bagaimana jika organisasi Tuan muda itu sedang memburu mereka untuk membalas dendam saat ini? Memikirkan hal itu membuatnya merasa sangat ketakutan.

 

Keberangkatan mereka keesokan paginya. Jika mereka bisa tetap bersembunyi sampai saat itu, masa depan menakjubkan pasti menanti mereka.

"......."

 

Julia akhirnya berlari untuk meninggalkan rasa takutnya. Beberapa saat kemudian karung rami muncul di hadapannya, menjerumuskannya ke dalam kegelapan.

 

 

Beberapa jam kemudian, pada waktu menjelang senja.....

 

Ada yang tidak beres.....

Sendo Takahisa mondar-mandir di sekitar kamar penginapan, diliputi rasa khawatir.

 

"Julia bilang dia akan kembali dalam dua sampai tiga jam...."

Julia belum juga kembali setelah sekian lama. Apa sesuatu terjadi padanya?

 

Jangan bilang—apa dia tertangkap?

Perasaan buruk terlintas di benaknya.

 

"Cih....!"

Takahisa mengenakan mantelnya, menutupi wajahnya dengan tudung, dan berlari keluar kamarnya. Julia telah menyuruhnya untuk tidak meninggalkan ruangan, namun Takahisa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertindak atas kekhawatirannya. Dia berkeliling di depan pintu masuk penginapan sehingga perhatiannya tidak lepas kalau-kalau Julia kembali. Setelah dua puluh hingga tiga puluh menit mengitari pintu masuk penginapan....

 

"Oi, bung."

Sejumlah laki-laki mendekati Takahisa dan memanggilnya. Mereka jelas terlihat seperti preman, dan bukan yang paling ramah di antara mereka.

 

"Apa yang kau inginkan....?"

Takahisa menarik tudungnya menutupi wajahnya dan menjawab dengan kewaspadaan yang terang-terangan.

 

"Kau telah mondar-mondir dengan mencurigakan selama beberapa waktu sekarang. Apa yang sedang kau lakukan?"

 

"Tidak ada.... aku hanya mencari seseorang. Apa masalah?"

 

"Apa orang yang kau cari itu seseorang perempuan bernama Julia?"

 

"Hah?!"

Takahisa terlihat jelas kehilangan ketenangan saat mendengar nama Julia.

 

"Sepertinya kita mendapatkannya."

 

"Oke!"

Para preman itu mengepalkan tangan mereka dengan penuh semangat.

 

"Siapa kalian?"

 

"Pemilik toko tempat perempuan itu menjual pakaianmu berada di bawah perlindungan kami. Begitu pula dengan toko yang menjual mantel yang kau kenakan itu. Apa kau paham dengan apa yang aku katakan ini?"

 

Kewaspadaan Takahisa berubah menjadi permusuhan.

"Apa yang kalian lakukan pada Julia?!" Tuntut Takahisa.

 

"Dia tidak akan membocorkan rahasia tentang lokasimu, kau tahu. Tapi kami tahu area umum tempat kalian tinggal, jadi kami mencarinya melalui proses eliminasi."

 

"Dan hal itu membantu kami saat kau berjalan tanpa tujuan."

Para preman itu tertawa kecil ketika mereka menjelaskan situasinya dengan sombong.

 

"Jangan berbuat macam-macam dengan Julia!"

Takahisa menangkap para preman itu, benar-benar terguncang.

 

"Itu tergantung pada apa yang kau lakukan dari sini, bukan?"

 

"Ap....?"

 

"Mari kita mulai dengan melepaskanku, oke?"

 

"Guh...."

Takahisa melepaskan preman itu, tubuhnya gemetar karena kesal.

 

"Bos kami sedang mencarimu. Ikutlah dengan kami."

Para preman itu menyeringai melihat keuntungan psikologis yang mereka miliki. Mereka memerintahkan Takahisa untuk mengikuti mereka ke tempat mereka membawa Julia. Hanya beberapa menit kemudian Sara dan para Ksatria tiba di penginapan tempat Takahisa menginap.

 

 

Di sekitaran waktu matahari akhirnya terbenam.....

 

"Di sini."

Para preman itu telah membawa Takahisa kembali ke distrik lampu merah. Mereka berdiri di depan gedung tertentu.

 

"Tempat ini...."

Bangunan itu familiar bagi Takahisa—memang, itu adalah rumah bordil tempat Julia bekerja. Dia melangkahkan kakinya ke lobi.

 

"Tunggu sebentar di sana."

Kata salah satu preman itu sebelum menaiki tangga.

 

Orang yang sama yang melayani Takahisa terakhir kali Takahisa berada di rumah bordil, duduk di resepsi. Namun tidak seperti sebelumnya, ada perban yang membalut bahu dan kakinya. Dan yang terpenting, orang itu memelototi Takahisa seolah ingin membunuhnya. Alasannya adalah karena kekerasan tidak adil yang diderita Norman terhadap Tuan muda itu, namun Takahisa tidak tahu hal itu, jadi dia berada dalam situasi yang canggung. Tak lama kemudian, preman yang naik ke atas kembali.

 

"Ikuti aku."

Kata premen itu sambil menuntun Takahisa menaiki tangga.

 

"Minggir."

 

"Aku tahu."

Preman di sampingnya mendorongnya dari belakang, membuat Takahisa mengerutkan keningnya saat dia menaiki tangga. Tujuan mereka adalah kamar Julia di lantai dua. Ketika mereka membuka pintu dan memasuki kamar, mereka menemukan Norman sedang duduk di tempat tidur.

 

"Yo. Aku sudah menunggu."

 

"Di mana Julia?"

Takahisa langsung bertanya sambil melihat sekeliling ruangan. Dia tidak bisa melihat Julia di mana pun. Norman tampak sendirian.

 

"Tidak perlu panik."

Kata Norman sambil nyengir.

 

"Ngh?!"

Sebuah benturan tumpul menghantam bagian belakang kepala Takahisa, mengguncangkan pandangannya.

 

"Ap....?"

Tidak dapat memahami apa yang terjadi, Takahisa mencoba melihat ke belakang saat dia terjatuh. Tercermin dalam penglihatan kaburnya adalah tentara bayaran, Nick, yang disewa Norman..... Takahisa kehilangan kesadaran.

 

 

Sekitar waktu matahari terbenam dan langit benar-benar gelap, Sara telah menyerahkan pencarian itu ke pasukan lain setelah menemukan penginapan tempat Takahisa menginap dan kembali ke Kastil. Sara memberikan laporannya tentang situasi dengan Louise di sebuah ruangan dengan kehadiran Raja Francois, Miharu, Aki, Masato, Satsuki, Charlotte, dan Lilianna.

 

"Jadi, kelompok pencari utama telah mengambil alih penyelidikan. Ksatria Lilianna-sama menemani mereka. Mereka akan berusaha membujuk Takahisa-sama segera setelah dia kembali ke penginapan."

Itu sebabnya hanya masalah waktu sebelum Takahisa kembali ke Kastil, Louise menjelaskan, menutup laporannya.

 

"Terima kasih sudah mencari sejak pagi sekali, Sara-dono, Louise-dono." Lilianna berdiri dari sofa dan menundukkan kepalanya dalam-dalam ke arah Sara dan Louise.

 

Louise menggelengkan kepalanya dan menatap Sara.

"Aku hanya menemani Sara-dono. Jika bukan karena dia, kami tidak akan bisa menemukan penginapan itu secepat itu."

 

"Tidak, kami hanya bisa bergerak dengan lancar berkat bimbinganmu melewati jalanan. Ibukotanya sangat besar, aku akan tersesat jika sendirian."

 

Miharu juga berdiri dan menundukkan kepalanya.

"Terima kasih banyak, Sara-chan, Louise-san."

 

"Terima kasih banyak!"

 

"Terima kasih atas kerja keras kalian."

Aki dan Masato angkat bicara, mengikuti petunjuk Miharu.

 

"Kami sangat menyesal atas masalah yang disebabkan oleh kakak kami...."

Masato melanjutkan, meminta maaf kepada seluruh ruangan.

 

"Itu bukanlah sesuatu yang perlu kamu minta maafkan, Masato-sama. Sudah menjadi tugasku untuk mendukung Takahisa-sama, dan aku gagal melakukannya."

Lilianna membela Masato, menyalahkan dirinya sendiri.

 

"Tidak. Jika kamu akan mengatakan itu, maka aku seharusnya tidak menjadi emosional dan menampar Takahisa." Miharu mulai berkata.

 

"Itu tidak benar! Aku juga gagal mendukungnya sebagai adik perempuannya!"

Kata Aki, mengaku ikut bersalah juga.

 

Melihat semua orang seperti itu membuat Satsuki menghela napas.

"Hahh, itu sudah cukup! Berhenti! Jangan lagi!"

 

Satsuki meninggikan suaranya dan meminta perhatian semua orang. Ketika semua mata tertuju padanya, dia mulai berbicara.

"Untuk saat ini, kita tahu penginapan tempat Takahisa menginap, jadi mari kita perjelas satu hal. Ini bukan salah siapapun. Tidak peduli bagaimana kalian melihatnya, satu-satunya yang harus disalahkan di sini adalah Takahisa-kun. Kalau tidak, dia hanya akan mendapatkan apa yang dia inginkan dengan mengamuk." Kata Satsuki terus terang.

 

"Ini karena Takahisa-sama yang mengamuk?"

Charlotte bertanya, memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.

 

"Takahisa-kum tahu secara rasional, segala sesuatunya tidak akan berjalan sesuai keinginannya. Jadi dengan membuat tuntutan yang tidak masuk akal dan terus-menerus bertindak, dia bisa membuat orang lain mengalah."

Hal itu seperti anak balita yang mengamuk untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, jelas Satsuki.

 

"Jadi begitu. Itu perbandingan yang menarik."

Dan pemandangan umum di Istana, Charlotte menambahkan sambil tertawa kecil. Francois tampaknya menganggap hal itu lucu juga, ketika dia tertawa bersamanya.

 

"Hanya karena dia tidak bisa membuat Miharu-chan melakukan apa yang dia inginkan, dia lari dari Kastil untuk membuat semua orang merasa bersalah. Menurutku, itulah yang coba dilakukan Takahisa-kun. Maksudku, kalian semua merasa bersalah, bukan? Jika dia kembali sekarang, apa kalian semua akan mengubah cara kalian memperlakukannya?"

Miharu, Lilianna, Aki, dan Masato terdiam mendengar pertanyaan Satsuki itu.

 

Satsuki menghela napasnya.

"Seperti yang kupikirkan. Itu sebabnya aku ingin memperjelasnya : tidak ada di antara kalian yang bersalah. Jangan biarkan Takahisa-kun dan amukannya itu menang." Kata Satsuki dengan tegas.

 

"Aku setuju dengan pemikiran Satsuki-sama tentang masalah ini. Jika kalian memanjakan Takahisa-sama di sini, kalian akan menciptakan pengulangan yang sama baginya untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan jika dia bertindak. Itu tidak baik bagi Takahisa-sama, dan hanya akan menjadi beban bagi kalian semua di masa depan." Kata Charlotte, mengambil inisiatif untuk menyetujui Satsuki.

 

"Itu benar. Jika Takahisa-kun merasakan kemenangan di sini, siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Apa kalian akan terus memberikan apapun yang dia inginkan untuk mencegah hal itu terjadi? Sangat menegangkan jika tidak bisa mengatakan tidak pada sesuatu yang tidak ingin kalian lakukan. Dan Miharu-chan lah yang akan mendapat sesuatu yang lebih buruk."

Mustahil untuk memanjakan Takahisa selamanya, Satsuki meyakinkan Miharu dan yang lainnya dengan dukungan pernyataan Charlotte.

 

"Kamu benar. Membiarkannya lepas begitu saja adalah tindakan yang salah, dan Miharu Nee-chan juga tidak seharusnya merasa bertanggung jawab. Apa yang kakakku katakan pada Putri Lilianna adalah yang terburuk. Aku tidak akan pernah memaafkannya atas kata-kata itu. Dia pantas menerima tamparan yang dia dapat dari Miharu Nee-chan itu." Masato melihat kembali bagaimana Takahisa telah melakukan kesalahan dan setuju dengan Satsuki.

 

"Itu benar. Kalian tidak bisa melupakan apa yang Takahisa-kun lakukan. Miharu-chan, Aki-chan, dan Putri Lilianna tidak perlu merasa bertanggung jawab atas masalah ini. Faktanya, kalian semua seharusnya marah padanya. Dialah yang bersalah. Mengerti?"

Saat Satsuki berkata, dia mungkin sedang marah pada Takahisa sendiri. Dia memandang Miharu, Aki, dan Putri Lilianna, memastikan mereka mendengarkan kata-katanya.

 

"Uhm...."

Miharu menyatakan keengganannya.

 

"Mengerti?" Tanya Satsuki kembali.

 

"Y-Ya...."

Miharu mengangguk ragu-ragu, merasakan tekanan dari Satsuki.

 

"Bagus. Selanjutnya, Aki-chan dan Putri Lilianna. Mengerti?"

 

"Um...."

Aki masih ragu-ragu. Namun Aki mungkin berniat untuk mendukung kakaknya meski kakaknya itu salah. Situasinya berbeda dengan Miharu, yang secara sepihak dipaksa mengambil posisinya.

 

"Takahisa-kun lah yang salah, tapi itu tidak hubungannya dengan baik kalian ingin terus mendukungnya atau tidak. Jika kalian ingin melakukan itu, kalian bisa."

Satsuki mengubah penjelasannya dengan mempertimbangkan situasi Aki.

 

Kata-kata itu sepertinya meyakinkan Aki, sambil mengangguk tegas.

"Oke!"

 

"Seperti Aki-sama, aku juga berniat untuk terus mendukung Takahisa-sama dari sini...."

Kata Lilianna setelah Aki.

 

"Baiklah. Sekarang setelah masalah ini diselesaikan, jangan mengungkitnya lagi!"

Satsuki menepuk tangannya dan mengakhiri topik pembicaraan. Kemudian, untuk mengalihkan perhatian mereka dari masalah tanggung jawab—atau mungkin karena dia sendiri juga sangat terkejut—dia terus berbicara.

 

"Selain itu, apa sih yang dia pikirkan?! Setelah membuat keributan tentang Miharu-chan, hal pertama yang dia lakukan adalah lari ke rumah bordil untuk menemui perempuan lain?! Dia bahkan bermalam di penginapan bersamanya.... apa itu berarti dia juga membawa perempuan yang bersamanya itu dari rumah bordil?!" Satsuki memerah karena marah atas tindakan Takahisa setelah dia meninggalkan Kastil.

 

"Sudah, sudah. Kamu tahu apa yang bisa dilakukan laki-laki ketika rasa frustrasinya memuncak." Kata Charlotte bercanda sambil terkikik pada dirinya sendiri.

 

"Yah, menurutku.... tapi tetap saja...."

Satsuki tersipu malu, menunjukkan reaksi yang cocok untuk gadis seusianya.

 

"Aku punya pertanyaan tentang itu." Kata Lilianna.

 

"Takahisa-sama seharusnya tidak memiliki akses terhadap uang. Bagaimana dia mendapatkan dana untuk rumah bordil atau penginapan....?"

Lilianna mengemukakan hal yang membuatnya khawatir.

 

"Tunggu, benarkah?"

 

"Ya. Kami menyiapkan semua yang dia butuhkan...."

 

"Apa Takahisa menerima uang dari seseorang sebelum datang ke Galarc? Atau mungkin gadis yang bersamanya membayarnya?"

Satsuki bertanya-tanya, menebak kemungkinannya.

 

"Itulah satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan juga...."

 

"Paling tidak, kita akan mengetahuinya setelah dia kembali ke Kastil. Kalau begitu kita bisa bertanya padanya."

 

"Benar..... aku juga akan bertanya kepada yang lainnya dari Kerajaanku apa ada yang pernah memberinya uang." Lilianna menyetujui.

Tanpa mengetahui situasi seperti apa yang dialami Takahisa saat ini, kelompok tersebut mengakhiri pertemuan mereka bersama.

 

 

Di suatu tempat di distrik lampu merah Ibukota Galarc.....

 

Splash.

"Ugh...." Takahisa terbangun, namun basah kuyup oleh air.

 

"Pagi, bocah." Kata Norman dingin.

 

"Agh....."

Takahisa mengangkat kelopak matanya yang berat dan menatap kosong ke pemandangan di depannya. Norman sedang duduk di kursi kayu di depannya, menyilangkan kaki dan menatap Takahisa. Tentara bayaran Nick berdiri di sampingnya, dan bawahan Norman yang lain yang membawanya ke rumah bordil juga ada di dekatnya. Namun sudut pandang Takahisa terhadap mereka aneh; semuanya diputar tepat sembilan puluh derajat, membuat Takahisa sadar dia terbaring miring di lantai.

 

Ini.....

Ini bukan kamar Julia di rumah bordil. Bagian dalam kamarnya terbuat dari kayu, namun kamar yang ditempati Takahisa saat ini memiliki lantai, dinding, dan langit-langit batu. Tidak ada satu jendela pun, dan artefak sihir membuat interiornya tetap terang.

 

Ini bukan rumah bordil?

Apa itu ruang bawah tanah? Takahisa ingat pergi ke kamar Julia, namun pikirannya melambat karena baru saja bangun tidur. Selain itu, bahkan jika dia mencoba untuk berdiri sekarang, anggota tubuhnya tidak bisa bergerak : anggota tubuhnya tertahan oleh belenggu yang berat. Pada titik tertentu, seseorang telah memasang kalung penyegel sihir di sekelilingnya.

 

"Para Ksatria dari Kastil sedang mencarimu. Mereka menggunakan anjing terlatih untuk melacak baumu, jadi kita pindah ke suatu tempat di mana kita tidak akan diganggu. Ini adalah ruang bawah tanah rumah bordil, biasanya diperuntukkan bagi pelanggan khusus. Mereka tidak akan dapat menemukanmu meskipun mereka dapat melacakmu ke dalam gedung."

Bahkan jika para Ksatria itu datang untuk mencari lagi, mereka hanya akan membawa mereka ke kamar Julia di lantai dua untuk menghindari kecurigaan. Itulah situasi yang dijelaskan Norman pada Takahisa.

 

"Di mana Julia.....?"

 

"Hei hei, apa pertama kali kau berpikir serius untuk mengkhawatirkan pelacur kotor itu? Sungguh baik sekali. Seperti yang diharapkan dari seorang hero legendaris, hah?"

Norman tertawa mengejek, lalu melihat sekeliling ke arah bawahannya untuk meminta persetujuan mereka.

 

"Hahaha."

Semua preman itu mencibir setuju.

 

"Julia tidak ada hubungannya dengan ini."

Bantah Takahisa, rasa permusuhan merembes ke dalam penghinaan terhadap Julia.

 

"Hah?" Kemarahan yang hebat keluar dari Norman. Dia berdiri dari kursinya dan berlari ke arah Takahisa, menggunakan momentumnya untuk menendang perut Takahisa itu dengan sekuat tenaga.

 

"Guh?!"

Tubuh Takahisa melayang di udara. Organ-organnya hancur, menyebabkan dia memuntahkan asam lambung saat dia berguling-guling di lantai. Norman mendekati Takahisa sekali lagi dan menjambak rambutnya, mengangkat kepalanya.

 

"Apa maksudmu 'Tidak ada hubungannya dengan ini'? Dia menyembunyikanmu setelah kau membunuh Sammy. Meski itu tidak benar, pekerja rumah bordil dilarang kabur bersama pelanggan. Ini adalah kejahatan yang serius. Di sinilah kau pasti akan mati, tapi jangan berpikir itu akan terjadi dengan cepat dan tanpa rasa sakit."

Norman melirik Takahisa dengan sikap mengancam, sambil mencondongkan badannya tepat ke wajahnya.

 

"T-Tidak!"

Takahisa mencoba mengatakan sesuatu dengan bingung.

 

"Diam!"

 

"Gah.....!"

Norman membenturkan wajah Takahisa ke lantai.

 

"Oi, bawa perempuan itu ke sini."

 

"Segera!"

Atas perintah Norman, beberapa preman itu membuka pintu dan pergi. Mereka kembali dari koridor kurang dari satu menit kemudian dan melemparkan Julia ke lantai, tangan dan kakinya diikat dengan tali.

 

"Aah.....!"

Julia terjatuh dengan keras, terjatuh di hadapan Takahisa.

 

"J-Julia!"

Takahisa berteriak ketakutan. Tatapan mereka bertemu.

 

"Takahisa....!"

Wajah Julia berkerut. Matanya merah dan memerah karena terlalu banyak menangis, dan kelopak matanya juga bengkak seperti bekas luka. Selain itu, pakaian compang-camping yang sangat dia suka kenakan bernoda merah seperti dia mengalami mimisan parah atau semacamnya.

 

"A-Apa yang terjadi? Pakaianmu berwarna merah cerah! Apa itu darah?!"

Suara Takahisa pecah karena terkejut.

 

"A-Aku minta maaf, aku minta maaf, aku....!"

Air mata mengalir dari mata Julia saat dia meminta maaf melalui ratapannya. Namun Norman menjambak rambutnya.

 

"Bukannya kau harus meminta maaf padanya, hah?!"

 

"Eek....!"

 

"Apa yang kau lakukan padanya?!"

Teriak Takahisa, melihat ketakutan di wajah Julia yang berkedut.

 

"Sihir penyembuhan adalah hal yang bagus. Kalau langsung diberikan setelah cedera, lukanya akan sembuh tanpa bekas." Kata Norman sambil terkekeh.

 

"A-Apa yang kau lakukan pada Julia?!"

 

"Oh, tidak banyak. Kami hanya mencoba membuatnya memberitahu kami lokasimu. Dia masih bisa digunakan beberapa tahun lagi, jadi aku pastikan untuk menjaganya, kau tahu? Aku bahkan menyembuhkannya dengan sihir."

 

"Apa kau yang memukulnya?! Di wajahnya?!"

 

"Pada akhirnya, dia tidak tetap keras kepala. Dia terus bersikeras tidak akan mengatakan apapun. Tapi saat dia mendengar kau ditangkap karena dia, hatinya akhirnya hancur. Itu sebabnya dia terlihat seperti ini sekarang."

Norman tertawa mengejek.

 

"Bagaimana bisa kau melakukan itu?!" Takahisa berteriak nyaring.

 

"Hah?! Itu yang harus kukatakan padamu, bajingan!"

Kemarahan Norman memuncak dalam sekejap, dan dia menendang wajah Takahisa karena amarahnya.

 

"Gah?!"

Takahisa terbungkuk ke belakang dengan keras dan terpental. Pada saat yang sama, beberapa giginya patah dan keluar dari mulutnya dalam aliran darah.

 

"Takahisa?!"

Julia berjuang untuk berdiri dalam keadaan terikat, menggeliat keras di lantai.

 

"Oi, Julia! Jangan sombong hanya karena kami menginterogasimu dengan lembut. Apa kau pikir kau tidak akan diperlakukan seperti dia hanya karena kau akan kembali dijual setelah ini? Siapa yang memberimu izin untuk berbicara, hah?"

Norman mendekati Julia dan menarik rambutnya ke arahnya. Dia kemudian mendorong wajah Julia ke genangan darah dengan gigi Takahisa di dalamnya.

 

"Eek...."

Wajah Julia berkedut ketakutan.

 

"Ada manfaatnya juga jika kita tidak punya gigi, tahu? Aku bisa melakukan hal yang sama padamu. Tahukah kau? Gigi tidak tumbuh kembali melalui sihir penyembuhan. Lucu, bukan? Apa aku harus mengeluarkan salah satu gigimu itu untuk didemonstrasikan?"

Bahu lebar Norman bergetar saat dia tertawa terbahak-bahak.

 

"Ah.... Uh...."

Julia gemetar sambil menangis.

 

"H.... Hentikan.... itu...."

Kata Takahisa sambil berguling-guling di lantai.

 

"Hah? Apa kau mengatakan sesuatu?"

Norman tiba-tiba berhenti tertawa dan melepaskan rambut Julia. Dia berdiri dan berjalan ke arah Takahisa sekali lagi, mendekatkan telinganya untuk mendengarnya.

 

"Hentikan.... itu...."

Takahisa berkata dengan tidak jelas.

 

"Oh, 'Hentikan', ya?"

Norman memiringkan kepalanya.

 

"Apa kau masih gagal memahami situasinya? Tempat ini adalah Kerajaanku. Aku adalah Raja. Hero legendaris bagiku tidak lebih dari seekor belatung. Jadi apa yang memberimu hak untuk menyuruhku berhenti? Jika kau meminta bantuan Raja, usaplah kepalamu ke tanah dan katakan, "Aku mohon padamu, tolong hentikan itu", bukankah seharusnya begitu?!" Norman meraih bagian belakang kepala Takahisa dan menjatuhkannya ke lantai lagi. Dia kemudian melepaskan tangannya, berdiri, dan menunduk penuh harap, menunggu kata-kata Takahisa.

 

Dengan bibir masih menempel di lantai, Takahisa gemetar dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia menggumamkan kata-kata yang diminta dengan rasa malu.

"Aku.... Aku mohon padamu.... tolong.... hentikan itu...."

 

"Aku tidak bisa mendengarmu sama sekali, tolol!"

Norman segera menginjak belakang kepala Takahisa.

 

"Gah!"

 

"Apa perempuan kotor itu orang yang penting bagimu? Atau itu untuk dirimu sendiri? Yang mana, Tuan Hero Legendaris? Siapa yang kau ingin aku maafkan, hah?"

 

"Tolong.... M-Maafkan...."

Takahisa memohon dengan wajah menempel ke lantai.

 

"Tidak, tidak akan terjadi, tidak akan pernah!"

Norman meningkatkan kekuatan di belakang kakinya dan menginjak kepala Takahisa berulang kali. Bahkan wajah para preman itu berkedut melihat tindakan tanpa ampun Norman itu.

 

"Urgh...."

Lantai yang disandarkan kepala Takahisa itu perlahan-lahan menjadi gelap karena darah. Saat Julia menyadarinya, wajahnya menjadi semakin pucat.

 

"H-Hentikan! Tolong hentikan itu!" Julia berteriak.

 

"Hah? Julia, apa kau sudah lupa dengan apa yang baru saja aku katakan? Siapa yang memberimu hak untuk berbicara?"

Norman menghentikan gerakannya dan memandang Julia dengan tidak percaya.

 

"Oh.... u-umm...."

Sangat ketakutan, Julia memalingkan wajahnya dari Norman. Namun ketika keadaan tragis Takahisa kembali terlihat, dia mengumpulkan keberaniannya.

 

"A-Aku mohon, aku mohon padamu.... tolong maafkan Takahisa. Aku akan melakukan apa saja. Kau bisa menjadikanku budak selama sisa hidupku. Aku akan mendapatkan banyak uang untukmu. Jadi aku mohon, aku mohon...."

Julia berlutut dan menempelkan dahinya ke lantai batu, memohon dengan putus asa kepada Norman. Bahkan Norman tampak kagum dengan hal itu, ketika Norman menatapnya dengan tatapan sangat heran.