Anak itu memiliki wajah androgini dan rambut putih bersih. Poni panjang anak itu menutupi mata, sehingga sulit untuk membedakan apa anak itu adalah laki-laki atau perempuan. Jubah putih yang anak itu kenakan menyiratkan bahwa anak itu adalah pendeta peserta pelatihan di kuil. Anak itu tidak mengenakan aksesoris mewah apapun, dan jubahnya terbuat dari kain berkualitas baik. Mungkinkah anak itu adalah anak dari seseorang yang berpangkat tinggi?
"......."
Meskipun Rio dan Sora tidak melakukan sesuatu yang mencolok, mereka telah menarik perhatian anak ini. Mata Rio melebar karena terkejut.
"Heeh? Ra.... Master Rio dan Sora sedang sibuk sekarang. Kami tidak punya waktu untuk berurusan dengan bocah nakal, jadi pergilah. Shoo, shoo."
Sora mencoba mengusir anak itu dengan ekspresi kesal yang jelas.
"Ahaha. Kamu lucu. Bukankah kamu sendiri yang bocah nakal?"
"Apa—?! Sora itu sudah dewasa! Kau bocah nakal yang kasar!"
Sora mendesis, memperlihatkan giginya pada anak itu dengan nada mengancam.
"Tenanglah, Sora.... maaf soal itu. Siapa kamu?" Rio bertanya pada anak itu.
"Aku dari kuil, seperti yang kalian lihat. Aku mendengar kalian menyebut tentang kuil, jadi aku ingin tahu apa yang kalian diskusikan."
Anak itu mengangkat lengannya dan mengibaskan kain jubahnya untuk menunjukkan bahwa dirinya berhubungan dengan kuil.
"Begitu ya. Selain kuilnya, yang kami minati adalah sejarah daerah ini. Kami bertanya-tanya apa kuil akan menyimpan informasi tersebut di suatu tempat."
"Benar. Omong-omong...."
Anak itu tiba-tiba mendekati Rio dan menatap wajahnya. Mereka hampir cukup dekat untuk berpelukan, membuat wajah Rio berkedut kebingungan.
"Umm.... ada apa?"
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Anak itu bertanya sambil menatap wajah Rio.
"Aku kira tidak....?"
"Hmm. Oke. Mungkin karena warna rambut kita sama? Ada sesuatu dalam dirimu yang sepertinya familier. Begitu ya, begitu ya.... jadi kita belum pernah bertemu sebelumnya...." Anak itu tertawa kecil sambil tersenyum.
"Hei, menjauhlah dari Master Rio! Kau pikir kau itu siapa, muncul entah dari mana dan menggoda dengan menekankan kecocokanmu itu! Kau hanya bocah nakal!"
Sora membentak anak itu dengan marah.
"Ahahaha. Kamu dan aku jelas merupakan orang asing. Yup."
Anak itu mundur satu langkah, menjauhkan diri dari Rio.
"Aku tidak akan pernah melupakan seseorang yang kasar sepertimu."
Kata Sora dengan gusar.
"Kurasa aku juga tidak akan bisa melupakan kalian berdua. Oh, aku belum memperkenalkan diriku. Aku Eru. Senang berkenalan denganmu."
Anak itu menawarkan tangannya kepada Rio. Rio menerima jabat tangan itu.
"Senang berkenalan denganmu juga. Aku Rio, dan ini Sora."
"Hmph."
Sora berpaling dari Eru dengan cemberut.
"Rio dan Sora, ya? Kebetulan sekali kita bertiga mempunyai nama dengan dua suku kata. Untuk merayakan pertemuan baru ini, aku akan bercerita sedikit tentang negeri ini." Kata Eru, menawarkan.
"Itu...."
Rio ragu-ragu. Anak itu adalah anak yang baru saja mereka temui. Bisakah mengajukan permintaan seperti itu kepadanya dengan mudah?
"Terlepas dari penampilanku, aku adalah sarjana kuil berpangkat rendah. Aku mendapat banyak informasi tentang sejarah Kota Suci, termasuk peristiwa yang terjadi di era Perang Ilahi sebelum kota ini dibangun."
"Kalau begitu, kami akan sangat berterima kasih...."
Mereka baru saja merasa terganggu oleh ketidakmampuan mencari sesuatu di perpustakaan kuil. Waktunya sangatlah pas ketika seorang sarjana dari kuil untuk muncul pada waktu yang tepat—bahkan sedikit terlalu pas waktunya.
"Kalau begitu, sudah diputuskan. Aku mungkin tampak muda, tapi aku lebih tua dari penampilanku. Jadi jangan khawatir." Kata Eru, mengakhiri pembicaraan.
Meskipun anak itu tidak menyatakan usia sebenarnya, anak itu mengisyaratkan bahwa usianya lebih tua dari yang terlihat. Dan sebagainya....
"Jika begitu, izinkan kami melakukan sesuatu sebagai imbalan atas hal itu."
Rio memilih untuk memperlakukan Eru sebagai seorang sarjana, bukan sebagai seorang anak-anak. Rio meletakkan tangannya di dada dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Hahh, itu cara berpikir yang fleksibel. Aku suka itu. Tidak semua orang bisa berpikiran seperti itu. Mari kita lihat.... kamu bisa mentraktirku sesuatu yang enak. Selain itu, aku juga ingin tahu lebih banyak tentang kalian berdua. Kalian seorang pendatang, bukan? Aku tidak tahu banyak tentang dunia luar, jadi aku tertarik dengan hal itu."
Kata Eru sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana kalau kita pergi? Sudah lama sejak aku tidak berada di sini, tapi pasti masih ada restoran yang cukup bagus di dekat sini."
Eru mulai berjalan di depan Rio dan Sora.
"Hei! Kau pikir kau itu siapa, yang memutuskan semuanya sendiri....?!"
Sora menggerutu, tidak senang dengan bagaimana Eru bergerak dengan kecepatannya sendiri.
"Kami juga akan menghargainya. Ayo pergi, Sora."
Oleh karena itu, Rio dan Sora belajar lebih banyak tentang Ibukota Suci dari seorang anak bernama Eru.
◇ ◇ ◇
"Ke sini, ke sini."
Tempat Eru memimpin Rio dan Sora adalah sebuah restoran yang didirikan beberapa ratus tahun yang lalu. Mereka berhenti di depan sebuah gedung yang tampak mewah.
"Hal ini tentunya membawa kembali kenangan. Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku ke sini?" Kata Eru, tampak agak sentimental.
"Hmph. Sudah jelas sekali kau hanya berusaha bersikap seperti orang dewasa."
Kata Sora, menggerutu.
Mereka memang terlihat seperti anak kecil.... tapi ada sesuatu pada diri mereka yang membuat mereka merasa lebih tua dari kelihatannya.
Mereka berbicara dengan sangat intelektual untuk seorang anak kecil, dan mereka membawa diri mereka dengan suasana yang sangat tenang. Ada orang-orang seperti Celia yang tidak pernah tampak menua, jadi mungkin saja Eru memiliki konstitusi yang sama. Meskipun mereka mungkin belum berusia lebih dari dua puluh tahun, Rio tidak akan terkejut jika Eru mengatakan dia itu masih remaja awal. Selain itu, Celia telah lulus dari Akademi Kerajaan dan menjadi peneliti ketika Celia itu baru berusia sepuluh tahun. Bukan hal yang mustahil jika ada sarjana lain yang seusia dengannya.
Jika ada, Sora lah yang berusaha bersikap lebih dewasa daripada penampilannya....
Sora adalah seorang gadis lugu baik dalam penampilan maupun perilaku sehari-hari. Rio melirik gadis kecil yang berjalan di sampingnya.
"Hmm? Apa ada masalah, Ra..... Master Rio?"
"Tidak, bukan apa-apa." Kata Rio sambil tertawa canggung.
"Ayo, masuk." Eru memimpin jalan melewati pintu.
"Selamat datang!"
Seorang laki-laki tua yang tampak seperti pelayan tempat itu menyambut mereka, menundukkan kepalanya dengan hormat.
"Meja untuk tiga orang. Bisakah kamu mengantar kami masuk?"
Eru bertanya atas nama kelompok mereka.
"Tentu saja. Bolehkah aku menanyakan apa kalian sudah memesan tempat sebelumnya?"
Orang itu bertanya sambil memeriksa buku besar di meja resepsionis.
"Tidak, kami belum memesan tempat."
"Dipahami. Sebuah ruangan pribadi baru saja dibuka, jadi aku akan mengantar kalian ke sana."
Orang itu dengan cepat menutup buku besar dan menunjukkannya melalui pintu di dalam. Di Ibukota Suci Tonerico, kuil memiliki pengaruh besar terhadap segalanya. Mungkin saja mereka hanya ditunjukkan tanpa memesan sebelumnya karena Eru mengenakan pakaian yang jelas-jelas berafiliasi dengan kuil. Bagaimanapun, mereka dibawa ke ruangan pribadi dan duduk di sana.
"Aku yakin hidangan khas toko ini adalah Paeja Ala Paus, bukan? Kami akan mulai dengan tiga porsi itu, terima kasih." Kata Eru, memberikan pesanan mereka kepada orang yang lebih tua itu. Orang itu menelan napas karena terkejut.
"Hmm? Apa ada masalah?"
"Maafkan aku, aku hanya terkejut mendengar pesanan dari menu yang sudah begitu lama. Hal itu membawa kembali beberapa kenangan indah."
"Sudah begitu lama? Apa itu berarti hidangannya...."
"Oh tidak, hidangan itu baru saja diganti namanya. Kami dapat menyajikannya tanpa masalah apapun. Tiga porsi Paeja Ala Paus. Butuh waktu untuk mempersiapkannya, jadi kami mohon kesabarannya." Kata orang tersebut sambil mengulangi pesanan mereka dengan nama menu yang lama.
"Tidak apa-apa. Mengapa namanya berubah, jika aku boleh bertanya?"
"Aku yakin hal itu terjadi lebih dari satu dekade yang lalu.... beberapa pendeta yang mengunjungi restoran, mereka memberitahu betapa penggunaan gelar Paus-sama dalam menu adalah tindakan yang tidak sopan...."
Mungkin itu karena Eru tampaknya berafiliasi dengan kuil, namun orang yang lebih tua itu terlihat agak canggung saat dia menjelaskan mengapa hidangan dari menu telah diganti namanya.
"Oh, hanya karena itu saja? Konyol sekali. Kakakku tidak akan pernah terganggu oleh hal-hal seperti itu. Jika ada, kamu seharusnya menunjukkan betapa kurang ajarnya pendeta yang mengambil kesalahan pada produk yang diberi nama Paus."
Kata Eru sambil mengangkat bahu secara dramatis.
"Hah.....?" Rio memandang mereka dengan bingung.
Mata lelaki tua itu juga melebar karena terkejut.
"Hmm? Ada apa?"
Eru bertanya pada Rio dengan nada santai.
"Maaf, aku hanya sedikit penasaran.... yang dimaksud dengan 'Kakak' olehmu itu....?"
Rio bertanya ragu-ragu.
"Oh, kakakku? Ya, maksudku itu Paus Tonerico. Paus Fenris Tonerico. Bahkan seorang pendatang sepertimu pasti pernah mendengar namanya sebelumnya, kan?"
"Y-Ya...."
Jawab Rio, wajahnya berkedut karena hal yang mengejutkan itu.
"K-Kerabat sedarah dari Paus-sama?! A-Aku minta maaf karena tidak menyadarinya lebih awal!" Lelaki tua itu memucat dan segera bersujud dengan panik.
Hal itu adalah reaksi yang paling masuk akal; di Kerajaan Suci Almada, ada dua pemimpin : Raja dan Paus. Raja adalah penguasa politik, dan Paus adalah penguasa spiritual. Paus memiliki kedaulatan tunggal atas Kota Suci Tonerico, jadi wajar jika lelaki tua itu merasa begitu tersanjung saat berada di depan kerabat sedarahnya.
Aku merasa anak ini bukan orang biasa, tapi....
Bahkan Rio pun tidak menyangka anak itu adalah kerabat langsung dari Paus.
"Tolong, angkat kepalamu. Aku tidak diakui secara terbuka sebagai adik perempuan Paus, jadi tidak apa-apa. Yah, itu lebih seperti aku tidak bisa diakui."
Kata Eru kepada lelaki tua itu tanpa malu-malu.
Adik perempuan. Jadi dia itu perempuan.
Ciri-cirinya yang kekanak-kanakan dan jenis kelaminnya tidak dapat diidentifikasi secara sekilas, namun sekarang sudah jelas. Namun apa yang lebih mengganggu Rio saat ini adalah apa yang baru saja dikatakan Eru tentang pengakuan itu. Apa maksudnya itu?
"U-Uh...."
Lelaki tua itu menjadi kaku, khawatir dia telah mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui.
"Jangan salah paham, oke? Kuil bertanggung jawab atas banyak panti asuhan di sekitar Kota Suci. Aku berasal dari salah satunya. Dan itu artinya.... kamu tahu apa maksudnya?" Eru bertanya, sengaja membuat kata-katanya ambigu.
"Ah, tidak...."
Tidak yakin bagaimana harus menjawabnya, lelaki tua itu benar-benar bingung. Melihat itu, Rio memutuskan untuk menawarkan bantuan.
"Artinya kamu bukan saudara sedarah Paus." Jawab Rio menggantikan lelaki tua itu.
"Tepat. Itulah maksudnya."
Eru mengangguk dengan ekspresi senang. Rio berpikir dia akan menindaklanjutinya dengan "Itulah mengapa kami tidak memiliki hubungan darah, jadi tidak perlu memperlakukanku secara formal." Namun malah—
"Itulah yang diputuskan. Secara resmi, maksudku."
Tambah Eru dengan nada sugestif.
"......"
Ketegangan yang gugup menggantung di udara. Kata-katanya itu membuatnya terdengar seperti sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui.
"Pfft! Ahahaha. Maaf, maaf. Itu hanya lelucon. Aku biasanya mengurung diri di kamar sepanjang waktu, jadi sudah lama sejak aku tidak melakukan percakapan seperti ini dengan orang lain. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodamu."
"Aku tidak akan menanyakan seberapa besar kebenarannya...."
Jawab Rio sambil menghela napas ringan.
"Ya, lakukan itu. Apapun itu, memang benar aku biasanya tidak muncul di depan umum. Paus Fenris Tonerico tidak memiliki adik perempuan. Jadi pastikan kamu merahasiakan apa yang kalian dengar hari ini, oke? Jika kalian menghargai hidup kalian, tentunya."
"T-Tentu! Tentu saja! Satu-satunya hal yang kudengar hari ini adalah pesanan makananmu!"
Lelaki tua itu mengangguk dengan cepat, kebingungan yang tidak pernah diharapkan oleh seorang pegawai restoran kelas atas. Hal ini cukup dimengerti mengingat situasinya.
"Benar, kami sedang memesan. Apa kalian berdua punya sesuatu yang ingin kalian makan? Paeja adalah masakan yang menggunakan kulit biji-bijian yang ditumbuk. Masih banyak bahan lain di dalamnya, jadi cukup mengenyangkan. Buatlah pesanan kalian dengan mengingat hal itu."
Kata Eru, mengarahkan pembicaraan kembali ke Rio dan Sora.
"Biji-bijian yang ditumbuk? Begitu ya...."
Dengan kata lain, hidangan itu adalah hidangan nasi. Rio bisa membayangkan makanan yang akan disajikan.
"Master Rio, bolehkah Sora memesan daging?!"
Sora bertanya, menatap menu dengan kegembiraan yang gelisah.
"Tentu saja. Pesan sebanyak yang kamu mau."
"Terima kasih banyak! Daging! Daging! Sora menginginkan steak sirloin. Tolong lima ratus gram setengah matang!" Kata Sora sambil membuat pesanannya pada lekaki tua itu dengan nada gembira. Sora tidak terpengaruh oleh atmosfir berbahaya yang bisa dirasakan beberapa saat yang lalu.
"O-Oke. Dipahami."
Lelaki tua itu mengangguk dengan canggung, terkejut dengan sikap Sora itu.
"Ahahaha. Kamu begitu gembira dengan makanannya, Sora."
"Tentu saja. Apa lagi yang bisa dinikmati saat berada di restoran?"
"Apa kamu tidak peduli tentang siapa aku?"
"Hah? Sora tidak peduli padamu sama seperti Sora tidak peduli pada cuaca seribu tahun yang lalu. Lebih penting lagi, Sora tidak ingat mengizinkanmu memanggil nama Sora."
Bentak Sora dengan nada angkuh. Wajah lelaki tua itu berkedut dengan gugup memikirkan provokasi yang dilakukan Sora pada kerabat Paus itu. Namun...
"Ahahaha! Cuaca seribu tahun yang lalu ya? Kamu hampir terdengar seperti kamu masih hidup saat itu. Kamu benar-benar menarik, Sora."
Eru tertawa gembira, sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Sora.
"Sora baru saja mengatakan untuk tidak memanggil Sora dengan namanya. Jangan bertingkah seolah kita itu adalah teman!"
"Aww, jangan katakan itu. Mari berteman."
Sora memiringkan kepalanya dan berkedip karena terkejut.
"Hmm? Apa kamu baru saja mengatakan ingin menjadi teman Sora?"
"Yup. Aku sangat senang bertemu seseorang baru yang bisa aku jadikan teman. Sebagai sesama perempuan dewasa, bagaimana pendapatmu? Mau berteman?"
Eru berkata tanpa rasa malu sama sekali, menawarkan untuk membentuk persahabatan baru dengan Sora.
"......"
Bahkan ketika Sora dekat dengan orang lain, mereka akan selalu melupakannya. Karena itu, Sora selalu menjauhkan diri dari orang lain—itulah yang Sora lakukan selama seribu tahun setelah dia kehilangan Raja Naga. Dan kecanggungan sosialnya membuatnya bingung harus berbuat apa sekarang. Tidak yakin bagaimana harus merespons, dia terdiam. Namun kemudian....
"Bagaimana menurutmu, Sora? Aku secara pribadi ingin melihatmu mendapatkan lebih banyak teman."
Kata Rio memberi semangat, sambil menatap wajah Sora dari samping. Hal itu akan menjadi satu hal jika Sora benar-benar terlihat seperti dia benci memikirkan hal itu, namun jika Sora benar-benar ingin berteman..... maka Rio ingin mendukungnya. Bahkan jika temannya pada akhirnya akan melupakannya, itulah yang diyakini dengan tulus oleh Rio.
"B-Baik..... jika itu yang Ra— Jika itu yang diinginkan Master Rio, maka Sora akan membuat pengecualian kali ini dan mengizinkanmu memanggil nama Sora. Ahem. Menjadi perempuan dewasa juga tidak terdengar terlalu buruk." Kata Sora, berdehem dengan kaku. Rona merah di pipinya mungkin bukan imajinasi Rio.
"Sungguh? Aku sangat bahagia. Ayo berteman baik, Sora."
"Ya. Tentu." Jawab Sora, menghindari tatapan Eru dengan malu-malu.
"Kuharap aku bisa bertemu kalian berdua lebih awal.... tapi itu berarti kita tidak akan bisa menjadi teman seperti ini. Segalanya tidak pernah berjalan sesuai rencana."
Eru menatap ke kejauhan dan tertawa kecil dengan sedikit kesedihan.
"Hah? Apa maksudmu?"
“Aku tidak bermaksud terlalu dalam. Pokoknya, ayo selesaikan pemesanannya dulu."
Sora memiringkan kepalanya penasaran, namun Eru dengan santai mengalihkan perhatiannya. Mereka melanjutkan untuk menyelesaikan pesanan makanan dan minuman mereka. Lelaki tua yang mengambil pesanan mereka segera meninggalkan ruangan, meninggalkan mereka bertiga sendirian.
"Sekarang, kamu tertarik dengan sejarah negeri ini, kan? Hal spesifik apa yang ingin kamu ketahui lebih lanjut?"
"Benar...."
Rio merenungkan bagaimana dia akan menjawab pertanyaannya sejenak.
"Oh, tapi sebelum itu—Rio, kamu bisa terus berbicara seperti saat pertama kali kita bertemu."
"Tidak, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu...."
"Tidak perlu ada formalitas di antara kita."
Eru tersenyum seolah dia bisa melihat langsung ke dalam hati Rio.
"Bahkan jika kamu mengatakan itu...."
Kita adalah orang asing yang baru saja bertemu—
Itulah kata-kata yang ditelan Rio dengan senyuman bermasalah.
"Begitu ya.... memang benar kita baru saja bertemu, tapi aku masih merasa ini bukan pertemuan pertama kita. Maafkan ketidaksopananku.... aku bukan tipe orang yang berbicara formal. Sora dan aku berteman sekarang, jadi aku akan senang jika kamu juga bisa berbicara kepadaku dengan lebih santai. Lagipula, aku seharusnya terlihat seperti anak kecil bagimu, bukan?"
"Aku mengerti.... tidak, aku paham. Apa ini baik-baik saja?" Rio menyerah sambil menghela napas kecil dan mengubah gaya berbicaranya menjadi lebih santai.
"Itu bagus. Sekarang, tanyakan saja! Apa yang ingin kamu ketahui?"
"Apa ada catatan tentang semua kelainan atau kejadian aneh yang terjadi dalam seribu tahun terakhir?"
"Kelainan atau kejadian aneh ya? Itu pertanyaan yang agak kabur. Sebelum aku menjawabnya, bisakah aku bertanya seberapa banyak yang kamu ketahui saat ini tentang negara dan tanah ini?"
Eru bertanya, meletakkan tangannya di dagu sambil berpikir.
"Kami baru saja tiba di Kerajaan ini, jadi pengetahuan kami sangat dangkal. Misalnya, kita tahu ada seorang Paus yang memerintah Kota Suci ini, bukan seorang Raja. Kami tahu bahwa kota ini dan labirinnya adalah sumber Perang Ilahi. Dan kami tahu bahwa Guild Petualang di sini adalah markas umum Guild Petualang Strahl."
"Jadi begitu. Ada satu hal dalam daftar itu yang penting bagi sejarah negeri ini. Apa kamu tahu apa itu?"
"Labirin, kurasa?"
Kota Suci dan kerajaan memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan labirin. Rio tidak ragu-ragu dengan jawabannya.
"Itu benar. Bagus sekali. Mari kita mulai dengan melihat kembali bagaimana labirin berperan dalam sejarah negeri ini. Pertama, Kerajaan Suci ini didirikan 950 tahun yang lalu."
Ketika Kerajaan pertama kali didirikan, Tonerico belum menjadi kota suci, dan paus belum ada. Sebaliknya, Keluarga Kerajaan lah yang memerintah negeri ini. Eru langsung berbicara tentang labirin.
"Permata sihir yang ditemukan dengan mengalahkan monster di labirin adalah sumber daya yang menarik, loh. Raja hanya ingin mengantonginya untuk dirinya sendiri. Tapi labirin itu adalah tempat yang aneh. Kamu mungkin sudah mengetahui hal ini, tapi ada kalanya sejumlah besar monster meluap ke luar."
"Itu disebut bencana dungeon." Lanjut Eru.
"Dan bencana pertama setelah berakhirnya Perang Ilahi sangatlah besar. Menurut beberapa sumber, ratusan ribu monster dilepaskan dari labirin. Akibatnya, kota yang ada di sini sebelum Kota Suci musnah. Kerusakan menyebar ke seluruh Kerajaan Suci Almada, yang akhirnya menyebabkan kekacauan di seluruh Strahl."
Bencana dungeon pertama terjadi kira-kira seratus tahun setelah berakhirnya Perang Ilahi, ketika Kerajaan Suci Almada baru berusia setengah abad.
"Setiap negara menjadi gempar, mengira Perang Ilahi belum berakhir. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa tanpa pemimpin mereka, monster-monster itu tiba-tiba menjadi panik."
Hal ini karena monster-monster itu sepertinya bergerak tanpa tujuan tertentu. Para monster itu tidak menyerang satu wilayah dan mengubahnya menjadi basis skala besar seperti yang para monster itu lakukan selama perang itu, malah berpencar di sekitar wilayah Strahl dan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk ditinggali.
"Maka, orang-orang di seluruh negeri—dan di luar negeri—mulai mengungkapkan kritik dan ketidakpuasan mereka terhadap pengelolaan labirin oleh Raja Almada."
Tentunya, tidak ada cara bagi umat manusia untuk memprediksi pergerakan monster. Monster-monster itu bergegas keluar dari labirin atas kemauan mereka sendiri, menyebar dan tinggal di mana pun mereka mau. Karena ini bukan fenomena yang disebabkan oleh Almada, negara-negara lain akhirnya memutuskan bahwa Kerajaan Suci tidak bisa disalahkan. Meski begitu, tetap saja ada suara-suara kritik. Apa tidak ada tanda-tanda yang meramalkan apa yang akan terjadi? Tidak bisakah mereka memperkirakan kejadian seperti itu?
"Yah, betapa besarnya kerusakan yang terjadi. Bahkan dikatakan bahwa semua monster di seluruh dunia saat ini berasal dari bencana dungeon pertama."
Wajar jika semua ketidakpuasan Kerajaan yang terkena dampak bencana dungeon itu diarahkan ke Kerajaan Suci Almada, tempat labirin itu berada.
"Raja pada masa itu pasti sudah kehabisan akal. Jika bencana penjara dungeon lainnya menyebabkan kerusakan lagi di Strahl, dia harus bertanggung jawab atas hal itu. Dia pasti putus asa untuk lepas dari tugas mengelola labirin."
Kata Eru dengan ekspresi geli.
"Tapi dia tidak bisa meninggalkannya. Negara pertama yang terkena dampak bencana dungeon adalah Almada, yang berbagi tanah tempat labirin itu berada. Selain itu, permata sihir yang diperoleh dari monster labirin masih merupakan sumber daya yang menarik."
Itulah sebabnya Kerajaan Suci Almada harus terus mengelola labirin.
"Maka, Raja mendapat ide. Meskipun dia tidak ingin mengelola labirin secara langsung, dia masih menginginkan cara untuk mengantongi permata sihir yang diperoleh di sana."
Itu adalah cara berpikir yang sangat egois dan tidak tahu diri.
"Itulah mengapa kepausan dan Guild Petualang didirikan. Kota Suci dipisahkan dari Kerajaan menjadi wilayah otonom, dan pengelolaan labirin dipaksakan kepada paus. Para petualang akan melewati Guild petualang untuk menjelajahi labirin dan mengumpulkan permata sihir."
Kerajaan mengaudit Guild Petualang, namun administrasinya independen terhadap negara. Kerajaan telah berinvestasi dalam pendiriannya, namun Kerajaan tidak perlu mendanai biaya administrasi lebih lanjut setelahnya. Itu adalah cara yang jauh lebih hemat biaya untuk membersihkan labirin daripada memobilisasi pasukan Kerajaan. Masalahnya adalah bagaimana mengarahkan permata sihir yang dikumpulkan oleh Guild Petualang ke Kerajaan, namun selama Guild Petualang Kota Suci ada di dalam Kerajaan, ada banyak cara untuk menyiasatinya. Tanah di sekitar Kota Suci sangat asam dan tidak cocok untuk pertanian, sehingga mereka bergantung pada Kerajaan untuk mendapatkan sumber makanan. Sama seperti Kerajaan Suci yang tidak bisa bertahan tanpa Kota Suci, Guild Petualang juga tidak akan ada tanpa Kerajaan Suci.
"Tidakkah menurutmu iru adalah sistem yang terencana dengan baik?"
Eru berkata dengan bangga, seolah-olah dia yang memikirkannya sendiri.
"Sekarang pertanyaannya adalah apa ada catatan kelainan atau kejadian aneh yang terjadi dalam seribu tahun terakhir, benar? Hal pertama yang terlintas di benakku adalah bencana dungeon yang pertama. Apa itu menjawab pertanyaanmu?"
Kata Eru, mengakhiri penjelasannya.
"Ya, itu sangat menarik untuk didengar. Ada beberapa hal yang kamu sebutkan, aku juga penasaran...."
"Tentu, silakan tanyakan saja."
"Terima kasih. Lalu pertama-tama, kamu bilang ada kalanya monster akan meluap ke luar labirin, tapi seberapa sering bencana dungeon itu terjadi?"
"Hmm. Tidak jarang monster keluar dari labirin. Tapi agar itu terjadi dalam skala yang cukup besar untuk disebut bencana dungeon, menurutku hal itu terjadi setiap seratus tahun sekali? Yang terbaru, menurutku, terjadi 38 tahun 75 hari yang lalu."
"Itu sudah lama sekali.... dan aku terkesan kamu mengingat tanggal pastinya."
"Lagipula, aku seorang sarjana. Aku cukup yakin dengan ingatanku—walaupun tentunya tidak sebanyak Para Dewa Bijaksana itu."
Kata Eru sambil tertawa kecil yang memikat.
"Ya.... itu luar biasa. Kalau begitu, bolehkah aku bertanya seberapa besar luapan itu sebelum disebut bencana dungeon?"
"Tidak ada definisi pasti untuk itu. Dua ribu beberapa ratus monster dianggap sebagai bencana dungeon sebelumnya. Faktanya, itu adalah ukuran yang terakhir."
"Itu cukup kecil dibandingkan dengan kejadian pertama yang terjadi."
"Yang pertama terjadi adalah yang terbesar. Bahkan yang terbesar berikutnya setelah itu hanya berkekuatan beberapa puluh ribu. Mereka menjadi semakin kecil seiring berjalannya waktu, dan belum melampaui lima ribu dalam beberapa ratus tahun terakhir."
"Jadi begitu. Dan sudah menjadi kejadian sehari-hari bagi monster untuk meninggalkan labirin dalam jumlah yang lebih kecil?"
"Yup. Tapi pada level harian, mungkin ada sepuluh monster atau kurang dalam sehari. Sekelompok yang terdiri dari beberapa lusin mungkin terbentuk paling banyak setiap beberapa bulan sekali."
"Begitu ya...."
"Apa ada sesuatu yang kamu khawatirkan?" Eru bertanya, menatap wajah Rio.
"Aku hanya ingin tahu apa ada pola sadar pada pergerakan monster. Aku tahu kamu mengatakan bahwa mereka disimpulkan sebagai jenis kelompok yang panik, tapi bagaimana jika ada sesuatu yang bersembunyi jauh di dalam labirin yang memerintahkan mereka?"
"Oh? Jadi menurutmu ada sesuatu yang mengintai di labirin selama lebih dari seribu tahun sejak berakhirnya Perang Ilahi.... itukah maksudmu?"
Eru bertanya, mulutnya memelintir kegirangan.
"Ya. Jika sejumlah besar monster tetap berada di labirin setelah Perang Ilahi berakhir, tidak aneh jika ada pemimpin tingkat tinggi yang tersembunyi di antara mereka. Jika ada pola sadar dalam gerakan mereka, itu bisa menjadi bukti."
"Sangat menarik. Pergerakan para monster benar-benar primitif. Mereka kadang-kadang berkerumun dan berkelahi satu sama lain, tapi mereka akan mengamuk dan menyerang tanpa pandang bulu jika melihat manusia. Tidak ada tanda-tanda kecerdasan atau pemikiran di balik perjuangan buruk mereka. Pendapatmu akan jauh lebih masuk akal jika ada tanda-tanda strategi atau niat dalam perilaku mereka."
"Apa pendapatmu sebagai seorang sarjana, Eru? Ketika kamu melihat kembali bencana dungeon selama ribuan tahun terakhir, apa kamu melihat pola sadar itu?"
Rio bertanya, langsung ke pokok permasalahan.
"Sebenarnya tidak ada cukup kasus untuk diselidiki dengan baik. Untuk menentukan pola apapun, kamu harus menganalisis pergerakan monster di luar labirin. Tapi satu-satunya saat monster menang adalah bencana dungeon yang pertama. Dan aku baru saja memberitahumu bagaimana mereka bergerak, kan?"
"Setelah kota di sini dihancurkan, mereka berpencar tanpa target lain...."
"Itu benar. Jika monster bermaksud menyerang permukaan, mereka akan membentuk markas tepat di samping labirin. Tapi para monster saat itu tidak melakukan itu. Mereka secara membabi buta berpencar ke segala arah, mencari target serangan berikutnya. Tidak ada komando atau kepemimpinan. Mereka semua bergerak ke arah yang acak. Apa itu terdengar seperti mereka mengikuti sebuah rencana?"
"Kedengarannya tidak mungkin...." Jawab Rio sambil menghela napas. Kedengarannya bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh ahli strategi yang baik.
"Jika kamu melihat pergerakan para monster yang tidak jelas, kamu akan menemukan mereka semua mengamuk sesuka hati. Tidak ada kerusakan yang mendukung anggapan bahwa mereka bergerak dengan perencanaan yang matang, dan satu abad berlalu sebelum bencana dungeon berikutnya terjadi. Itu sebabnya para politisi saat itu dan para sejarawan setelah mereka menyimpulkan bahwa itu adalah sejenis kepanikan kelompok yang disebabkan oleh monster."
"Begitu ya...." Kata Rio sambil memikirkan tentang labirin.
Apa yang diramalkan Lina tidak ada hubungannya dengan labirin?
Masih ada sesuatu yang mengganggunya.
Labirin berakhir di lantai sebelas. Sekilas, ada beberapa ribu monster di lantai sebelas, tapi kami mengalahkan mereka semua. Apa itu berarti tidak akan ada bencana dungeon lagi untuk sementara waktu?
Semakin Rio memikirkannya, semakin sepertinya labirin itu tidak ada hubungannya. Faktanya, mungkin merupakan langkah buruk bagi mereka untuk masuk ke labirin dan membunuh begitu banyak monster lagi. Jika mereka menunda bencana dungeon, mereka secara tidak sengaja dapat melanggar aturan dalam mendukung kelompok atau individu tertentu. Rio terdiam dengan tatapan seseorang menyembunyikan sesuatu.
"Kamu merasa tidak yakin. Itulah yang wajahmu katakan saat ini."
Kata Eru, terus terang menebaknya.
"Tidak, kemungkinan terbaiknya adalah tidak ada apa-apa. Rasanya seperti kami telah mengabaikan sesuatu. Labirin adalah tempat yang misterius sejak awal...."
"Karena kita sudah sampai di sini, aku juga akan menjawab semua pertanyaanmu tentang misteri labirin. Kamu mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi, tahu?" Eru berkata dengan senyum menyihir yang tidak menyenangkan.
"Terima kasih. Pertama, tentang ekosistem di dalam labirin : ada begitu banyak monster yang berkumpul di dalamnya, tapi tidak ada jejak peradaban apapun. Aku tidak tahu apa yang dimakan monster, tapi mereka tidak bertani atau beternak. Mungkinkah mereka menciptakan markas atau tempat tinggal di suatu tempat yang tidak disadari manusia?"
Setelah itu, pembicaraan beralih ke ekologi monster. Monster adalah omnivora yang memakan segala sesuatu mulai dari tumbuhan hingga mayat busuk. Ada banyak sekali kesaksian tentang mereka yang memakan tanah dan batu di labirin. Mereka tidak mengeluarkan apapun, jadi mereka mungkin bisa mengubah semua yang mereka makan menjadi energi. Wajah Rio berkedut ketika dia mengetahui bagaimana monster itu hidup. Sora juga memasang wajah jijik.
"Dan juga, monster sangat subur, tapi karena betina tidak memiliki payudara, sulit untuk membedakan jenis kelamin mereka secara sekilas. Ada teori yang mengatakan alasan mereka tidak memiliki payudara adalah karena keturunannya tidak perlu menyusu. Sejak mereka lahir, anak-anak mereka makan seperti halnya orang dewasa."
"Begitu.... bagaimana aku harus bilangnya ya...."
"Apa itu?"
"Meskipun kita berdua adalah organisme bipedal, para monster jelas berevolusi dengan cara yang berbeda secara fundamental dari kita sebagai manusia. Seberapa keras lingkungan mereka agar mereka dapat berevolusi sedemikian rupa?"
Rio berkata dengan pelan.
"Oh? Lingkungan yang keras, maksudmu? Sungguh menarik. Wah, itu pengamatan yang sangat tajam yang kamu buat. Seperti yang diharapkan darimu, Rio."
"Itu benar! Master Rio lebih bijaksana dari siapapun di dunia ini. Kerja bagus memperhatikannya, Eru." Kata Sora, setuju dengan Eru dengan bangga.
"Ahaha.... terima kasih."
Kata Rio malu-malu. Hanya mereka yang ada di ruangan itu, namun siapapun yang melihatnya hanya akan melihat seorang lebih tua yang dipuji oleh dua anak yang jauh lebih muda darinya.
"Dilihat dari ciri biologisnya, teorimu cukup tepat sasaran. Pertama-tama, monster adalah penyerbu dari dunia lain. Bagi mereka, dunia ini mungkin saja merupakan lingkungan yang sangat keras." Tambah Eru sambil tertawa kecil.
"Benar....."
Pertama-tama, monster adalah makhluk yang berubah menjadi debu setelah mati, menjatuhkan permata sihir mereka. Wajar jika para monster berevolusi di lingkungan yang sama sekali berbeda dari lingkungan organisme di dunia ini. Sungguh suatu keajaiban bahwa manusia dan makhluk lain di bumi dan dunia ini telah berevolusi sedemikian rupa.
"Terima kasih telah menunggu."
Pada saat itulah makanan yang mereka pesan tiba.
"Waahh! Pesanannya sudah datang! Makanannya sudah tiba!"
Sora bersorak pada aroma daging yang menggugah selera.
"Ayo lanjutkan ini setelah kita makan. Untuk saat ini, ceritakan lebih banyak tentang dirimu sambil menikmati makanannya."
Jadi, Rio dan yang lainnya menyantap makanan mereka.
◇ ◇ ◇
Setelah itu, piring-piring dibawa masuk dan ditata di atas meja.
"Hidangan ini adalah paeja ala Paus. Bukankah hidangannya terlihat enak?"
Kata Eru, memperkenalkan hidangan itu kepada mereka dengan bangga. Hidangan itu adalah penggorengan bulat dan dangkal berisi nasi, daging, ikan, dan sayuran.
Aku tahu itu. Hidangan ini adalah "Paella" yang aku kenal.
Rio memandangi paeja ala paus dan tersenyum bahagia. Memang benar, hidangan itu sangat mirip dengan hidangan Spanyol paella dari bumi. Rio punya kecurigaan ketika pertama kali mendengar Eru menggambarkan hidangan itu, namun Rio tidak mengira kalau itu benar.
"Ya.... hidangan ini pasti terasa enak. Aku yakin akan hal itu."
Kata Rio dengan keyakinan teguh.
"Oh? Reaksi itu hampir terdengar seperti kamu pernah makan paeja sebelumnya, Rio."
Kata Eru kepadanya.
"Ya. Aku tidak bisa memastikannya sampai aku memakannya, tapi aku pernah memakan hidangan serupa. Bagian yang terbakar di bagian bawah adalah yang terbaik."
"Oh! Kamu bahkan tahu itu. Kalau begitu, mari kita nikmati hidangannya."
"Oke. Menurutku kamu juga akan menyukainya, Sora."
"Sora akan menantikannya!"
Mata Sora berkilau karena kegembiraan saat dia menatap paeja itu.
"Kalau begitu, aku akan menyajikannya." Kata seorang pelayan laki-laki. Dia punya sendok besar untuk menyajikan paeja menjadi beberapa porsi untuk mereka.
"Hindari sayuran saat kamu menyajikan itu untuk Sora."
Sora langsung mengarahkan itu.
"Dipahami."
Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum.
"Oh? Aku tidak bisa mengatakan aku terkesan melihat seorang perempuan dewasa begitu pilih-pilih soal makanan. Makanan itu seperti kehidupan : ada momen manis dan asamnya. Mampu membedakan rasa seperti itu adalah bagian dari menjadi dewasa, Sora."
"Diam. Orang dewasa sejati hanya mengambil semua bagian yang lezat."
"Aku mengerti. Ungkapan yang sangat pas."
Eru tertawa geli pada diskusi itu.
"Silakan."
Paeja dan hidangan lainnya disajikan dan diletakkan di atas meja di hadapan mereka.
"Terima kasih. Kami akan melakukan sisanya sendiri, jadi kamu boleh pergi sekarang."
"Sesuai keinginanmu."
Atas perintah Eru, pelayan itu meninggalkan ruangan.
"Sekarang, ayo makan selagi masih hangat."
"Ya."
"Mari makan!"
Akhirnya tiba waktunya untuk makan; hidangan pertama yang secara alami mereka raih adalah paeja. Mereka menyendok nasi yang sudah direndam kuah ke dalam sendok dan membawanya ke mulut.
"Mmm!"
"Hmm...."
"Phew!"
Eru, Rio, dan Sora semuanya berseri-seri dengan puas.
"Benar.... inilah rasanya! Ini adalah rasa yang aku ingin kalian berdua rasakan. Bagaimana menurutmu, Rio? Bagaimana jika dibandingkan dengan paeja yang kamu tahu itu?"
"Ya, ini enak. Ada daging, seafood, dan sayuran di dalamnya, jadi menurutku rasanya akan sulit untuk menyatu, tapi ini tercampur sempurna. Tidak ada bau busuk, dan sangat mudah untuk dimakan."
"Itu benar. Paeja daging, paeja seafood, paeja sayur; ada banyak variasi paeja yang berbeda di luar sana, tapi paeja gaya paus memiliki campuran semuanya."
Di samping percakapan paeja yang terjadi antara Eru dan Rio, Sora menjejali mulutnya dengan makanan.
"E-Enak! Ini enak! Sora bisa makan nasi, daging, dan ikan ini selamanya!"
"Hehehe. Aku senang kamu menikmatinya, Sora."
Kata Eru sambil tersenyum puas.
"Aku tidak tahu apa aku bisa menciptakan kembali rasanya, tapi aku akan mencoba membuatkan paeja untuk kita lain kali, Sora. Paeja hanya dengan daging kedengarannya enak." Kata Rio.
"B-Benarkah?! Terima kasih banyak!"
Sora berseri-seri ketika dia mendengar paeja hanya berisi daging.
"Oh? Kamu bisa memasak sendiri, Rio?"
Eru bertanya, matanya melebar penasaran.
"Ya. Tapi itu hanya hobi."
"Kalau begitu aku ingin mencoba paejamu suatu hari nanti."
"Uh.... ya, jika ada kesempatan."
Selama aku seorang transcendent, keinginan itu tidak mungkin terwujud.
Pikir Rio sambil tatapannya sedikit goyah karena rasa bersalahnya.
"Maka itu adalah sebuah janji. Kamu harus mentraktirku paeja buatanmu suatu hari nanti. Sambil ngobrol dengan mengasyikkan seperti hari ini. Tentunya, aku juga akan menyiapkan sesuatu sebagai rasa terima kasih." Eru mencondongkan tubuh ke depan ke ruang Rio dan membuatnya berjanji padanya.
"Oke, aku mengerti. Itu sebuah janji."
Meski itu janji yang tidak bisa dipenuhi, Rio mengangguk.
"Kamu sudah setuju? Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku memiliki keyakinan pada ingatanku. Aku tidak akan membiarkanmu memberitahuku bahwa kamu lupa nanti."
"Tentu saja."
Kata Rio sambil tersenyum agak sedih.
"Oh, itu benar. Kamu tidak perlu membuat janji seperti itu jika aku menjadi istrimu. Dengan begitu, aku bisa memakan masakan buatanmu setiap hari, benar? Aku tahu, bagaimana kalau aku mengucapkan terima kasih atas paejamu?"
Eru tiba-tiba berkata seperti itu.
"Mrgh?!"
Rio tersedak makanannya karena terkejut. Sama terkejutnya, Sora menggantung sendoknya dari mulutnya yang terbuka saat dia membeku di tempatnya.
"Jangan khawatir, kamu tidak akan mengalami momen yang membosankan bersamaku. Selain itu, aku juga lebih menarik daripada orang kebanyakan."
Kata Eru, menyapu pinggiran matanya untuk memperlihatkan wajahnya dibalik poninya. Meskipun penampilannya masih muda, senyumnya memikat. Wajah yang Eru ungkapkan memang sangat halus. Dia terlihat muda, namun masa muda itu dibarengi dengan kedewasaan yang akan membuat laki-laki dewasa berhenti dan menatapnya jika berpapasan dengannya di kota.