Theatrics in Spring – Bonus Short Stories
MINUM TEH DENGAN TEMAN
Di langit di atas Kerajaan Beltrum, Celia sedang dalam perjalanan kembali ke Kerajaan Galarc dengan kapal sihir udara yang berangkat dari wilayah Claire. Dia duduk di sofa di kabin di seberang Aria, yang menemaninya dalam perjalanan sebagai pengawalnya.
"Tehnya harusnya sudah siap sekarang. Silakan."
Aria menuangkan teh itu ke dalam cangkir dan menawarkannya kepada Celia.
"Terima kasih. Aromanya enak sekali."
Celia mengambil cangkir di tangan kanannya dan menarik napas dalam-dalam untuk menikmati aromanya. Dia kemudian memiringkan cangkirnya untuk menuangkannya dengan elegan ke dalam mulutnya.
"Luar biasa seperti biasanya." Kata Celia, gembira.
"Terima kasih banyak. Jika aku dapat mengesankan penikmat teh sepertimu, maka aku dapat punya kepercayaan diri untuk itu." Aria menuang secangkir untuk dirinya sendiri sambil tersenyum senang.
"Bahkan tanpa membuatku terkesan, kamu membuat Liselotte-san terkesan setiap hari, benar?"
Celia berkata dengan malu-malu.
"Aku tidak akan menyangkal kalau majikanku sama antusiasnya denganmu. Dia menyebutkan kalau dia sangat ingin minum teh bersamamu lagi suatu saat nanti."
"Sungguh? Dengan senang hati aku menerimanya."
"Tolong temani dia ketika kamu punya waktu."
"Tentu saja."
Celia mengangguk gembira dan meminum tehnya lagi.
"........."
Aria mulai meminum tehnya dengan tenang. Maka, keduanya bersantai dari perjalanannya dengan menikmati teh mereka sebentar. Ada jeda dalam percakapan, namun keheningan tidak pernah terasa canggung. Waktu berlalu dengan damai.
"Ini adalah kebahagiaan."
"Benar."
Hanya itulah kata-kata yang mereka ucapkan, sampai Celia tiba-tiba tertawa kecil.
"Hehe."
"Apa ada masalah?"
Aria bertanya dengan rasa penasaran.
"Tidak, hanya saja menghabiskan waktu bersamamu seperti ini membawaku kembali ke masa kita di akademi. Itu membuatku bahagia mengingat hari-hari itu."
"Ya. Ini waktu yang terasa sama seperti saat itu."
"Kita dulu belajar bersama." Celia melihat ke kejauhan, dalam diam mengingat masa lalu.
"Ya. Aku tidak percaya hal itu sudah lebih dari dua belas tahun."
"Heeh?! Wah, kamu benar. Itu sudah lama sekali."
"Membayangkan bertambahnya usia dari tahun ke tahun sungguh tidak menyenangkan."
Keluh Aria sambil menghela napasnya.
"Benarkah? Menurutku kamu menjadi lebih cantik seiring berjalannya waktu. Dulu kamu cantik, tapi sekarang kamu lebih cantik lagi."
Kata Celia, memuji Aria sambil tertawa geli.
"Tidak ada untungnya menyanjungku."
"Tidak, tidak. Aku mengatakannya karena aku ingin."
Kata Celia sambil tersenyum.
"Aku mengerti...."
Aria tersenyum dengan sedikit rasa malu, lalu mengamati Celia dengan cermat.
"Sementara itu, kamu tidak berubah sama sekali."
Kata Aria kepada Celia.
"Apa?! Itu tidak mungkin! Aku telah banyak berubah! A-Aku pasti sudah tumbuh lebih tinggi sejak aku berumur dua belas tahun!" Celia berdiri dengan bingung dan menggunakan tangannya untuk menunjukkan seberapa tinggi dirinya jika dibandingkan.
"Oh, aku tidak tahu tentang itu. Tapi bagaimanapun juga, kamu selalu sangat menggemaskan. Baik luar dan dalam juga." Kata Aria dengan nada lembut saat gambaran masa lalu Celia tumpang tindih dengan orang di depannya.
TSUNDERE SLEEPING BEAUTY
Cerita ini adalah cerita dari dunia berbeda.
Di Jepang, di sebuah sekolah menengah di kota tertentu, ketua OSIS Sumeragi Satsuki dan bendaharanya, Amakawa Haruto, berkumpul di Ruang OSIS sepulang sekolah.
"Senang sekali bagaimana drama selanjutnya telah diputuskan." Kata Haruto sambil menuangkan teh dari teko milik OSIS.
Para Anggota OSIS, termasuk Satsuki dan Haruto, sering berkolaborasi dengan klub drama untuk mengadakan berbagai drama di sekolah dan acara lokal sebagai kerja sukarela. Drama mereka selanjutnya adalah membawakan dongeng Sleeping Beauty. Namun Satsuki tampak tidak puas atau cemberut terhadap sesuatu, dan ekspresinya muram.
"Sungguh luar biasa bagaimana program ini diputuskan dengan begitu lancar. Tapi menurutku Miharu-chan lebih cocok untuk peran putri daripada aku." Katanya.
Memang benar, karakter utama dari Sleeping Beauty, heroine perempuan dan putri, akan diperankan oleh Satsuki sendiri. Sepertinya Satsuki menganggap dirinya tidak cocok untuk peran tersebut.
"Haruto-kun, kamu juga ingin melihat Miharu-chan berperan sebagai putri, kan? Karena kamu berperan sebagai pangerannya, aku yakin kamu lebih memilih Miharu-chan sebagai putrinya." Kata Satsuki sambil cemberut.
"Bohong jika aku bilang aku tidak ingin melihatnya, tapi bukan berarti menurutku kamu sangat cantik sehingga kamu cocok menjadi putri juga. Menurutku peran itu sangat cocok untukmu."
Kata Haruto jujur sambil tersenyum masam.
"Heeh....." Terkejut, Satsuki tersipu.
"J-Jangan katakan itu langsung di hadapanku bakka..."
Protesnya karena malu.
"Itu memang kebenarannya."
Haruto menggaruk pipinya dengan jari telunjuk kanannya dengan agak malu-malu.
"........."
Satsuki menyipitkan matanya ke arah Rio.
"Uh....."
Haruto tersendat dengan ekspresi canggung.
"Di sini aku mencoba bertukar peran dengan Miharu-chan, tapi kamu mengatakan hal-hal seperti rayuan tanpa menyadarinya..... dan berkata kalau aku sangat cantik juga." Satsuki berbicara dengan pelan sehingga Haruto tidak bisa mendengarnya.
"Satsuki-san......?"
Haruto dengan ragu menatap wajahnya, bertanya-tanya apa yang Satsuki katakan itu.
"Hmph. Begitu ya. Jadi kamu mau melihatku sebagai seorang putri. Kamu lebih memilihku sebagai sang putri ya.... Karena kamu begitu memaksa, lebih baik kamu mengambil tanggung jawab dengan berperan sebagai pangeranku, oke?"
Meskipun Haruto belum mengatakan hal-hal itu lebih jauh, Satsuki menyeringai dengan berani saat dirinya membuatnya terdengar seperti Rio sendiri yang mengatakannya.
"Ahaha.... tolong bersikap lembutlah denganku....."
"Gak. Asal tahu saja, Sleeping Beauty-ku itu lebih banyak durinya dibandingkan yang lain. Jika kamu tampil ceroboh, aku akan menusukmu dengan duriku. Kamu tidak boleh berubah pikiran nanti dan mengatakan kalau kamu lebih memilih Miharu-chan. Kamu sebaiknya bersiap-siap untuk itu."
Kata Satsuki, lalu dengan bercanda menyodok bahu Haruto, menirukan duri.
"Terima itu!"
"Haha. Itu menggelitikku, Satsuki-san."
Haruto memutar tubuhnya untuk menghindari tangan Satsuki, namun duri Satsuki menjulur ke belakangnya, menusuknya dengan penuh semangat. Itu adalah saat yang tenang dan damai sepulang sekolah.
BERPEGANGAN TANGAN
Di Kerajaan Suci Almada, di Kota Suci Tonerico, Rio dan Sora sedang dalam perjalanan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Perang Suci. Markas besar Guild petualang terletak di Tonerico, menarik para petualang dari seluruh dunia ke labirin terdekat. Hal ini menjadikan Tonerico salah satu kota paling terkenal di wilayah Strahl, dan kota ini ramai dengan penduduknya. Rio dan Sora sedang berjalan melewati kota itu untuk mencari informasi.
Mereka tidak dapat berjalan berdampingan karena banyaknya orang di jalanan. Sora hanya seukuran anak-anak berumur tujuh atau delapan tahun, jadi dia tidak bisa melihat melewati orang dewasa tinggi yang berjalan ke arahnya. Karena itu, dia terus menabrak orang setiap beberapa langkah.
"Hmph....."
Sora dengan gesit bergerak untuk menghindari menabrak orang, namun dia benar-benar hanya ingin tetap berada di sisi Rio tanpa menjauh. Setiap kali dia harus menjauhkan diri, dia berlari kembali ke Rio.
"Bagaimana kalau kita berpegangan tangan, Sora?"
Rio menyarankan, memperhatikan kesulitannya.
"Heeh?!" Sora menatapnya dengan kaget.
"Ada lebih banyak orang di sini dibandingkan di kota lain. Kita harus berusaha untuk tetap bersama."
Rio menawarkan tangannya padanya.
"........." Sora berkedip, menatap tangan Rio dengan tatapan kosong.
"Jika itu terlalu memalukan bagimu, kamu tidak perlu...."
"T-Tidak sama sekali! Hanya saja Sora tidak layak berpegangan tangan dengan Raja Naga!"
Sora menjelaskan dengan bingung.
"Kalau begitu kamu tidak menolaknya, kan? Aku lebih suka jika kamu berpegangan tangan denganku."
Rio menunggu Sora bergandengan tangan dengannya sambil tersenyum lembut.
"J-Jika Raja Naga baik-baik saja dengan itu, maka Sora akan.....!" Sora meraih tangan Rio sambil gemetar.
Ini tangan Raja Naga! Tangannya sangat besar dan hangat! Huwaaa!
Diliputi berbagai emosi, Sora tersenyum dengan berseri-seri gembira.
"Kalau begitu, ayo pergi."
"O-Oke!"
Maka, keduanya melanjutkan pencarian informasi.