Theatrics in Spring – Chapter 5 :「Kenangan Takahisa」

 

Sendo Takahisa mencintai seseorang sejak dia pertama kali bertemu dengannya. Namanya Ayase Miharu, dan itu adalah pertama kalinya Takahisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Takahisa pertama kali bertemu Miharu beberapa hari setelah ayahnya menikah lagi. Kesempatan itu diberikan kepadanya oleh Aki, adik tiri barunya dari pernikahan ayahnya. Aki telah memperkenalkan Miharu kepadanya.

Aki sedikit malu saat pernikahan orang tuanya itu pertama kali terjadi, namun dia dengan cepat membuka diri terhadap Takahisa dan Masato. Trauma kehilangan ayah dan kakak laki-lakinya akibat perceraian orang tuanya memang membekas di hatinya. Takahisa dan Masato telah mengisi lubang itu tanpa mereka sadari.

 

Bagaimanapun, itulah alasan mengapa Aki memperkenalkan Miharu, orang yang dirinya sayangi seperti saudara kandung, kepada Takahisa dan Masato. Pertama kali mereka bertemu, Takahisa baru saja hendak masuk SMP. Takahisa masih ingat dengan jelas betapa terkejutnya dirinya saat itu.

 

"........"

Miharu sangat imut, yang membuat Takahisa tidak bisa berkata-kata.

 

"Kamu ingat apa yang aku katakan sebelumnya, Miharu Onee-chan? Aku punya saudara baru! Dia kakak laki-lakiku Takahisa, dan adik laki-lakiku Masato!"

Saat itu, Aki dengan bangga memperkenalkan mereka berdua kepada Miharu.

 

"Umm.... Aku Ayase Miharu. Senang bertemu dengan kalian berdua." Miharu tampak gugup, saat dia menyapa mereka berdua dengan senyuman canggung.

 

".........."

 

"Takahisa Onii-chan.....?"

Takahisa tetap membeku begitu lama, Aki dalam diam memeriksanya. Hal itu membuat Takahisa kembali sadar.

 

"Heeh? Oh, benar.... Umm, aku Takahisa. Sendo Takahisa. Aku baru saja menjadi kakak laki-laki Aki. S-Senang bertemu denganmu."

Suaranya menjadi pecah karena gugup.

 

"Kamu sungguh manis, Miharu. Aku belum pernah melihat seseorang semanismu sebelumnya."

Kata Masato jujur ​​dan terus terang.

 

"H-Heeh? Umm, te-terima kasih. Aku belum pernah dibilang begitu sebelumnya." Miharu berkedip beberapa kali sebelum tersenyum malu-malu.

 

"Masato....."

Takahisa menggumamkan nama Masato dengan iri dan mencela. Mungkin dia iri dengan cara Masato mengatakan apapun yang dirinya pikirkan dengan jujur. Takahisa merasa ingin bisa melakukan itu sendiri.

 

"Hei, Masato. Kamu tidak cukup pantas untuk Miharu, jadi jangan berpikir yang tidak-tidak." Kata Aki sambil berpegangan pada lengan Miharu.

 

"Geez. Aku sudah tahu itu!" Masato menggaruk pipinya.

 

"Tapi Takahisa mungkin cocok?"

Aki berkata dalam bentuk pertanyaan, masih menempel di lengan Miharu. Dia melihat ke antara wajah Takahisa dan Miharu, pernyataannya sepertinya ditujukan kepada mereka berdua.

 

"Hah?! T-Tunggu, Aki-chan....!"

Takahisa kaget, tubuhnya bergetar hebat. Karena tidak dapat memikirkan jawaban yang cerdas saat itu juga, dia berbicara dengan bingung.

 

"Ahaha. Takahisa akan bingung kalau kamu berkata seperti itu, Aki-chan." Tegur Miharu pada Aki terlebih dahulu. Senyuman masamnya yang menunjukkan betapa dirinya sedang kesusahan meninggalkan kesan mendalam pada Takahisa.

 

"Apa benar begitu, Takahisa Onii-chan?"

 

"Hah? Umm..... tidak." 

Aki mencoba membuat Takahisa berbicara lebih banyak, namun yang bisa Takahisa lakukan hanyalah tersenyum malu-malu, sama sekali tidak senang dengan saran itu.

 

Yah, aku tidak bingung sama sekali.

Saat itu, Takahisa bukanlah seseorang yang bisa mengatakan hal itu dengan lantang. Itu adalah pertemuan pertama antara Takahisa dan Miharu; tidak jelas apakah Miharu masih mengingatnya, namun Takahisa pasti masih mengingatnya.

 

Beberapa hari setelah itu...

"Aki-chan.... apa Miharu-san punya seseorang yang dia sukai?" Takahisa bertanya, setelah mengambil keputusan.

 

"Heeh? Miharu Onee-chan.....?"

Saat itu, Aki mengulangi perkataannya dengan gembira. Namun ketika pertanyaan itu mengingatkannya pada mantan kakak laki-lakinya, Amakawa Haruto, wajahnya menjadi kaku sesaat.

 

"Aki-chan.....?" Takahisa mengintip ke wajah Aki.

 

"T-Tidak, dia tidak punya. Miharu Onee-chan tidak menyukai siapapun."

Suara Aki bergetar saat dirinya menggelengkan kepalanya dengan kuat. Sebagai hasilnya.....

 

"B-Begitu ya. Jadi dia tidak punya......"

Takahisa menghela napas dengan lega, otot-otot pipinya mengendur karena bahagia. Dia selalu merasa khawatir, bertanya-tanya apa yang akan dirinya lakukan jika Miharu memiliki seseorang yang dia sukai dan iri pada saingan khayalannya itu. Takahisa saat ini tidak mampu membaca seluk-beluk hati Aki dan hanya bersukacita atas kabar baik tersebut.

 

"Onii-chan, mungkinkah..... kamu itu.....?"

Bayangan di ekspresi Aki telah menghilang pada suatu saat. Dia memperhatikan Takahisa dengan ekspresi penuh harap.

 

"Ah, umm, kamu tahu....."

Takahisa tidak secara eksplisit mengkonfirmasi atau menyangkal pertanyaan Aki itu, namun caranya tersipu dan menggaruk pipinya dengan malu-malu namun membenarkannya hal itu untuk Aki.

 

"Hehe!"

Karena itu, Aki dengan mudah mengetahui perasaan Takahisa terhadap Miharu.

 

 

Namun, selama tiga tahun SMA setelah itu.....

Tidak ada perkembangan dalam hubungan antara Takahisa dan Miharu. Hal ini karena Takahisa tidak pernah aktif mendekati Miharu selama tiga tahun itu....

 

Miharu tidak memiliki perasaan apapun terhadap Takahisa sejak awal, jadi tanpa pendekatan darinya, tidak ada alasan hubungan mereka akan berkembang. Bahkan jika Takahisa telah bergerak, pemikiran tentang Amakawa Haruto masih ada dalam diri Miharu. Akan sulit bagi Takahisa untuk membuat Miharu menoleh ke arahnya meskipun dia secara aktif mengejarnya. Namun, faktanya Takahisa tidak berbuat apapun. Meski bukan berarti dirinya tidak punya peluang sama sekali, tindakan Takahisa memastikan dirinya tidak punya peluang. Mungkin dia terlalu berharap kalau dirinya memiliki kesempatan bagus bersamanya meskipun dia tidak mengambil tindakan.

 

Namun karena Aki ada di sana, Takahisa bisa berada di samping Miharu kapan pun dirinya mau. Miharu sudah seperti kakak perempuan sejati bagi Aki, dan Miharu juga memperlakukan Aki seperti adik perempuannya sendiri. Dengan kata lain, Miharu dan Aki tidak dapat dipisahkan. Jadi, selama Takahisa adalah saudara yang baik bagi Aki, Takahisa pasti punya alasan untuk berbicara dengan Miharu. Kenyataannya, satu-satunya murid laki-laki yang dekat dengan Miharu di dalam dan di luar sekolah adalah Takahisa. Sikap Miharu yang merasa tidak nyaman berada di dekat lawan jenis juga berperan dalam hal itu.

Itu sebabnya Takahisa percaya diri. Percaya diri, dan takut. Bagaimana jika dia melakukan sesuatu yang tidak perlu dan mengubah hubungan mereka? Dia sangat mencintai Miharu, sangat, sangat mencintainya, dia benar-benar takut untuk mengaku padanya dan ditolak.

 

Selain itu, hal itu juga menyenangkan. Miharu sangat imut, Miharu selalu menarik perhatian murid laki-laki di sekolah. Namun satu-satunya laki-laki yang selalu bersamanya adalah Takahisa, dan itu saja sudah cukup untuk membuatnya merasa dirinya spesial. Takahisa sangat gembira ketika mendengar rumor dari murid lain yang mengira mereka berdua berpacaran.

Tidak perlu terburu-buru. Orang yang paling dekat dengan Miharu adalah dirinya sendiri. Artinya, setidaknya Miharu sedikit menyadarinya. Jika Takahisa bisa menjaga hubungan mereka seperti ini, mereka tentu akan mulai berpacaran suatu hari nanti. Takahisa mengatakan hal ini pada dirinya sendiri sampai tiga tahun masa SMP-nya berakhir.

 

 

Setelah itu, Takahisa lulus SMP. Dan dengan upacara penerimaan SMA yang semakin dekat, dia menjadi gelisah. Dia bersekolah di SMA yang sama dengan Miharu, namun saat masuk SMA bisa mengubah seseorang. Seorang murid laki-laki baru mungkin jatuh cinta dan mengaku pada Miharu. Selain itu, bagaimana jika Miharu sendiri jatuh cinta pada seseorang?

Takahisa mulai panik. Dia menderita karenanya selama liburan musim semi—apa dia harus menyatakan perasaannya pada Miharu. Saat itulah Takahisa mengambil keputusan : meskipun dia tidak mau mengaku, dia akan mendekatinya dengan lebih proaktif di SMA. Maka tibalah hari upacara penerimaan. Dalam perjalanan dan setelah mereka tiba di sekolah, komentar tidak ada habisnya.

 

"Whoa, bukankah gadis itu manis sekali?"

 

"Apa yang di sampingnya itu adalah pacarnya?"

 

"Wajahnya sangat tampan."

Suara para murid di sekitar mereka membuat Takahisa sedikit merasa superior. Itu benar. Dia harus percaya diri. Dia hanya perlu sedikit lebih proaktif. Dia masih menjadi orang yang paling dekat dengan Miharu di sekolah ini. Takahisa dalam diam menyemangati dirinya sendiri. Pada saat ini, Takahisa masih tidak tahu kalau hati Miharu telah dicuri oleh teman masa kecilnya, Amakawa Haruto, dan kalau Haruto juga mendaftar di SMA yang sama dengan mereka.

 

Meskipun demikian, tidak ada yang akan berubah meskipun Takahisa mengetahui hal itu.... Karena dalam perjalanan pulang dari upacara penerimaan itu, Takahisa dipanggil ke dunia lain. Baik Takahisa maupun Miharu tidak akan bisa merasakan kehidupan SMA mereka. Hingga saat pemanggilannya, Takahisa bersama Miharu, Aki, Satsuki, dan Masato. Namun sebelum dia menyadarinya—

 

"Huh....?"

Pemandangannya sangat berbeda. Mereka telah berjalan bersama melalui jalan-jalan pinggiran kota jepang, namun sekarang Takahisa berdiri sendirian di tempat yang asing. Tempat itu adalah ruangan yang luas dan bergaya; mungkin ruangan itu bisa digambarkan sebagai kuil bergaya yunani kuno atau barat. Takahisa berdiri di atas altar, menatap ke depan dengan bingung. Ada orang lain di ruangan itu bersamanya. Mereka semua mengenakan pakaian mewah yang tidak akan dikenakan oleh siapapun di zaman modern. Pakaian mereka tampak seperti keluar dari film fantasi.

 

"W-Whoa....."

Mereka menatap Takahisa dengan heran dan menghela napas bingung. Tak seorang pun di ruangan itu mampu memahami situasinya, menciptakan keheningan yang lama, sampai—

 

"A-Apa? Ada di mana kita? Semuanya, apa kalian baik-baik saja—"

Takahisa tersadar dan berbalik. Dia mencoba memanggil teman-temannya, namun tentunya itu hanya ilusi. Tidak ada orang di sampingnya.

 

"M-Miharu-san? H-Hei, semuanya?!"

Takahisa berteriak panik. Dia mencari wajah orang-orang yang berdiri di kaki altar, menatapnya, namun tidak satupun dari mereka yang tampak seperti orang jepang.

 

"Ini tidak mungkin......" Takahisa berlutut. 

Saat itu, dua orang dengan pakaian yang jauh lebih mewah dari yang lain melangkah maju dari kerumunan. Ksatria yang tampaknya adalah pengawal mereka mengikuti di belakang mereka. Usia keduanya terpaut cukup jauh untuk menjadi orang tua dan anak, dan mereka jelas bukan orang jepang.

 

Yang satu tampak seperti Raja, sementara yang lain tampak seperti seorang Putri. Takahisa akan segera mengetahui kalau keduanya adalah Raja Kerajaan Centostella, dan Putrinya, Putri Pertama Lilianna. Mereka berbicara kepada Takahisa, yang berlutut tak bernyawa di atas altar.

 

"Apa kau ini adalah sang Hero yang hebat?" Raja bertanya.

 

".....Hah?"

Tatapan Takahisa beralih ke Raja dan Lilianna. Namun pada saat ini, dia masih tidak bisa mendengar kata-kata mereka.

 

"Aku bertanya apa kamu adalah sang Hero yang ada dalam legenda." Raja itu bertanya sekali lagi. Kali ini, Takahisa mampu menangkap kata-katanya dengan baik.

 

".....Apa?" Mata Takahisa melebar.

 

".........."

Raja menatap Takahisa, mengamatinya dalam diam.

 

"H-Hero? Apa yang kamu bicarakan itu?"

Takahisa akhirnya berhasil menemukan kata-katanya. Kebingungannya wajar saja.

 

"Hah? Aku seorang Hero? Apa aku dipanggil ke dunia lain?" Dalam situasi lain, seseorang yang menanyakan pertanyaan seperti itu pastilah sangat aneh.

 

"Altar tempatmu berdiri....." Raja perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah altar.

 

"Altar....."

Tatapan Takahisa tertuju pada kakinya.

 

"Di sanalah harta nasional Kerajaan kami, batu permata suci, diabadikan. Batu suci itu memancarkan pilar cahaya yang sangat besar beberapa saat yang lalu. Saat cahayanya memudar, batu permata dan dudukannya hilang, dan kamu berdiri di sana."

Kata Raja, memberikan penjelasan sederhana tentang kejadian yang menyebabkan kemunculan Takahisa.

 

"Begitu.... jadi...." Takahisa bahkan tidak bisa menganggap dirinya sebagai Hero atau apapun.

 

Aku ini apa?

Takahisa berpikir dalam hati.

 

"Enam Dewa Bijaksana meninggalkan kitab suci. Kedatanganmu sesuai dengan kejadian yang diramalkan di dalamnya mengenai para Hero."

 

Dengan perkenalan itu, Sang Raja membacakan bagian dalam kitab suci Enam Dewa Bijaksana yang berkaitan dengan para Hero :

"Dipersenjatai dengan senjata kekuatan ilahi yang dahsyat, para Hero melindungi umat manusia. Seribu tahun setelah perang antara dewa dan iblis, batu suci enam warna akan bersinar, melepaskan pilar cahaya ke langit. Ketika saat itu tiba, mereka akan kembali. Turun ke tanah Strahl, mereka akan memimpin orang-orang di dunia ini menggantikan enam dewa bijaksana."

 

"Aku.... mengerti....."

Takahisa merasa gugup tentang bagaimana harus bereaksi terhadap bagian ramalan itu.

 

"Umm, apa ada yang datang ke sini sebelum aku? Aku bersama seorang gadis bernama Miharu!"

Takahisa bertanya dengan gelisah. Lebih penting lagi, dia ingin tahu di mana Miharu dan yang lainnya berada di atas segalanya.

 

"Sayangnya, hanya kamu, sang hero, yang muncul di sini."

 

"Itu tidak mungkin....."

Masih banyak hal lain yang seharusnya ada di pikirannya, seperti di mana dirinya berada, apa maksudnya dari Hero itu, mengapa dirinha ada di sini....

 

Mungkin situasinya sangat tidak normal, pikirannya tidak mampu mengikuti semua yang terjadi. Atau mungkin keterkejutan karena Miharu tidak berada di sini membuatnya tidak punya ruang untuk mengkhawatirkan hal lain. Apapun yang terjadi, Takahisa benar-benar bingung, tertegun hingga linglung.

 

"Aku Giovanna Centostella, Raja Kerajaan Centostella. Bisakah aku menanyakan namamu, Hero yang hebat?"

 

"Aku Takahisa..... Sendo Takahisa....."

Jantungnya tidak bisa melambat, Takahisa menggumamkan namanya dengan tatapan bingung.

 

 

Setelah itu, Raja memperlakukan Takahisa sebagai Hero, menyambutnya sebagai tamu Kerajaan dan menunjuk Putri Pertama Lilianna sebagai pendampingnya, yang akan menjelaskan berbagai hal kepadanya. Saat itu, Takahisa akhirnya mengerti apa yang terjadi padanya. Tempat ini adalah dunia yang berbeda dari bumi. Para Hero dipanggil bukan atas kehendak Kerajaan Centostella. Miharu dan orang lain yang bersamanya tidak ditemukan, dan dia tiba di dunia ini sendirian.

 

Ke mana pun dirinya mencari di dalam Kastil dan Ibukota Kerajaan, tidak ada tanda-tanda keberadaan Miharu dan yang lainnya. Selain itu, Takahisa mendapat mimpi aneh di mana dirinya diajari cara menggunakan bukti dari seorang Hero—Divine Arms. Dan dia benar-benar mampu memanifestasikannya. Hal ini menegaskan kalau Takahisa adalah Hero yang dibicarakan dalam legenda, namun—

 

Aku tidak peduli dengan menjadi Hero.....

Takahisa sendiri tidak menginginkan semua itu.

 

Takahisa ingin bangun dari mimpi ini. Namun tidak peduli berapa kali dia pergi tidur dan bangun lagi, dia tidak pernah kembali ke bumi. Ini bukanlah mimpi, namun kenyataan. Itu sama saja seperti mimpi buruk bagi Takahisa, namun dia harus menerima kalau ini adalah kenyataan. Namun, apakah hati Takahisa dapat menahan kenyataan itu adalah masalah yang berbeda. Bisakah dia tidak lagi kembali ke bumi? Apa dia tidak akan pernah bertemu Miharu dan yang lainnya lagi?

 

"Apa yang harus aku lakukan..... Apa yang bisa aku lakukan.....?"

 

Tak mau menyerah, Takahisa merenung berhari-hari.

Semuanya akan dimulai dari sini.... Begitu kami berdua memulai SMA kami, Miharu dan aku.....

 

Apa dirinya dipanggil ke dunia ini sendirian? Fakta kalau dia telah memikirkan banyak hal tentang bagaimana mendekati Miharu di SMP tampak konyol sekarang. Karena saat ini, dia mungkin tidak akan pernah kembali ke bumi lagi. Hubungannya dengan Miharu secara fisik terputus karena datang ke dunia lain. Dia tidak akan pernah bisa menyampaikan perasaannya lagi padanya.

 

Jika..... Jika aku tahu segalanya akan menjadi seperti ini, aku seharusnya menemukan keberanian lebih cepat.....

Takahisa seharusnya memberitahu Miharu perasaannya. Dia sangat menyesali betapa bodohnya dirinya selama ini. Pikiran yang sama berputar di benaknya, membangkitkan emosi yang sama di dalam dirinya.

 

"Argh....!" Takahisa berteriak kesal.

 

Namun kemarahan tidak bisa mengusir emosi negatif tersebut. Rasa tidak nyaman dan tidak sabar menumpuk tanpa tujuan.

"Argh, sial! Sial, sial, sial!"

 

Takahisa tetap dalam kondisi ini selama beberapa hari pertama setelah dirinya dipanggil.

 

"Selamat pagi, Takahisa-sama."

Setiap pagi, Lilianna mengunjungi kamar Takahisa pada waktu tertentu setiap harinya. Di sampingnya ada pelayannya, Frill.

 

".....Ya."

Tatapan Takahisa beralih ke arah pintu tempat mereka berdiri. Meskipun dia mengenali kehadiran mereka, pikirannya tidak terfokus pada mereka. Dia tidak memiliki kelonggaran mental untuk merespons keduanya dengan benar.

 

Terus terang, tidak peduli mau ada Lilianna di sana atau tidak. Butuh beberapa hari lagi sebelum Takahisa mulai dekat dengan Lilianna.

 

 

Kira-kira sepuluh hari telah berlalu sejak Takahisa dipanggil ke dunia ini.

"Selamat pagi, Takahisa-sama."

 

Pagi ini, seperti pagi lainnya, Lilianna telah menyiapkan sarapan untuk Takahisa dan membawakannya untuknya. Seperti biasa, Frill mendorong gerobak berisi makanan saat mereka berdua memasuki kamarnya.

 

"Pagi.... kalian datang hari ini juga."

Takahisa sedikit berbeda dari biasanya hari ini. Dia masih terlihat murung dan tidak bersemangat, namun apa dia akhirnya bosan bermuram terus sampai sekarang? Perhatiannya tertuju pada mereka berdua saat dia menjawab, dan dia menahan pembicaraannya. Lilianna tahu kalau Takahisa akhirnya menunjukkan sedikit ketertarikan pada mereka berdua.

 

"Ya. Jika ini tidak mengganggumu, maukah kamu sarapan bersama hari ini?" Lilianna bertanya.

Meskipun Lilianna ditunjuk sebagai pendamping Takahisa, Lilianna tidak mencoba berbicara dengannya sampai Takahisa berbicara terlebih dahulu dengannya. Lilianna tahu kalau memaksa Takahisa berinteraksi dengannya hanya akan menimbulkan efek sebaliknya. Karena itulah hingga kemarin, rutinitasnya adalah membawakannya sarapan dan segera pergi. Namun hari ini berbeda.

 

"Huh? Ah, tentu saja.... aku tidak keberatan...."

Takahisa berkedip kaget, namun langsung menerima tawaran itu.

 

"Terima kasih banyak. Frill."

 

"Segera."

Atas perintah Lilianna, Frill mengambil dua makanan dari gerobak makanan itu dan membawanya ke meja di kamar itu. Takahisa dan Lilianna duduk, menunggu untuk dilayani.

 

Dia sudah mempersiapkan untuk berdua sejak awal....

Takahisa tanpa sadar melihat Frill memindahkan piring dan peralatan makan sambil bertanya-tanya apa yang ingin dibicarakan Lilianna. Sebenarnya dua porsi telah disiapkan setiap hari sampai sekarang, namun dia tidak dapat mencapai realisasinya. Setelah semuanya sudah ditata rapih—

 

"Takahisa-sama. Apa ada bagian dari makananmu yang sampai sekarang tidak kamu sukai?"

Lilianna bertanya, duduk di seberang Takahisa.

 

"Ah, tidak.... tidak ada, kupikir....."

Takahisa tergagap. Sampai kemarin, Takahisa masih tidak punya nafsu makan. Meskipun dia berhasil makan sedikit, dia meninggalkan sebagian besar dari apa yang disajikan kepadanya. Semangatnya yang rendah membuatnya hampir tidak bisa merasakan apapun, dan dia tidak bisa mengingat apa yang dirinya masukkan ke dalam mulutnya.

 

"Jika ada rasa yang tidak kamu sukai, jangan ragu untuk mengatakannya kepadaku."

Tentunya, Lilianna tahu kalau Takahisa juga tidak makan dengan benar, namun dia tidak tahu kalau itu karena perasaan Takahisa, kesukaan makanannya, atau mungkin keduanya, jadi Lilianna mungkin mencoba mencari tahu alasannya.

 

"Ah, ya. Menurutku tidak ada.... terima kasih."

Takahisa mengucapkan terima kasihnya dengan canggung, lalu melanjutkan.

 

"Umm, aku hanya ingin minta maaf. Kamu telah mengizinkanku tinggal di Kastil ini secara gratis, tapi aku menghabiskan setiap hari tanpa melakukan apapun sambil murung....."

Takahisa meminta maaf dan menundukkan kepalanya. Apa depresinya membantunya tenang dan secara objektif merenungkan tindakannya baru-baru ini?

 

Memang benar, jika Takahisa menggunakan contoh dari sudut pandangnya sebagai orang jepang zaman modern, hal itu seolah-olah dirinya tinggal di Penthouse sebuah hotel ultra mewah, dengan semua makanan, pakaian, dan tempat tinggalnya disediakan secara gratis tanpa batas. Meskipun Takahisa berada dalam kabut depresi, setelah hidup seperti itu selama sepuluh hari, wajar kalau pemikiran hal itu mungkin buruk terlintas di benaknya.

 

"Kamu tidak perlu meminta maaf, aku yakin hal itu tidak dapat dihindari mengingat keadaanmu, Takahisa-sama. Tolong jangan biarkan hal itu mengganggumu."

Lilianna tersenyum padanya dengan lembut dan menggelengkan kepalanya.

 

"Aku sungguh minta maaf....."

Mungkin karena Lilianna dengan senang hati menggunakan kata-kata yang menunjukkan pengertiannya. Takahisa tampak sangat menyesal sambil menundukkan kepalanya.

 

"Aku juga harus meminta maaf. Meskipun kami tidak mengharapkan hal seperti itu, batu suci yang kami miliki akhirnya memanggilmu ke dunia ini."

 

"Tidak, umm.... tidak peduli siapa yang memiliki batu itu, hasilnya akan tetap sama, benar? Jadi, tidak ada yang perlu kamu minta maafkan. Malah, aku beruntung karena aku dipanggil ke Kastil ini."

Takahisa tampak sedikit memaksakan diri, menghadap ke bawah seolah-olah untuk menahan emosinya. Lilianna menatapnya lekat-lekat.

 

"Terima kasih atas kata-kata murah hatimu. Setelah kamu dipanggil, kami melakukan penyelidikan kami sendiri. Sayangnya, kami tidak dapat menemukan solusi langsung atas permasalahanmu. Tapi, bukan berarti mustahil bagi orang-orang yang bersamamu untuk berada di dunia ini juga, aku yakin itu." Kata Lilianna.

 

"Huh?"

 

"Aku tidak yakin apa hal ini bisa memberikan harapan bagimu. Hal ini belum dikonfirmasi, sehingga berpotensi membuatmu semakin putus asa. Itu sebabnya kami ragu apakah akan memberitahumu atau tidak, tapi aku memutuskan untuk memberitahumu sekarang karena kita sedang berbicara seperti ini."

 

"A-Apa maksudnya itu?! Miharu dan yang lainnya juga ada di dunia ini?!"

Tidak dapat menahan diri, Takahisa bangkit dari tempat duduknya.

 

"Ini tidak sepenuhnya mustahil, itulah yang aku katakan. Mereka mungkin ada di dunia ini, dan mungkin tidak ada di dunia ini. Akan sulit untuk segera mencarinya. Jika kamu tidak keberatan, maka aku dapat melanjutkan untuk menjelaskannya lebih lanjut."

 

"Y-Ya. Kumohon beritahu aku!" Takahisa langsung menjawab, seolah tidak perlu memikirkannya.

 

"Aku mengerti. Tapi, aku punya sebuah syarat."

 

"Sebuah syarat....?"

Syarat seperti apa yang akan Lilianna minta darinya? Takahisa memiringkan lehernya dengan canggung, gugup melihat bagaimana Lilianna menatapnya.

 

"Mari kita makan selagi masih hangat."

 

"Huh?"

Syarat yang dihadirkan Lilianna sungguh antiklimaks.

 

"Sepertinya nafsu makanmu kurang sejak datang ke dunia ini. Kami tidak bisa membiarkanmu pingsan karena itu, jadi kumohon.... pastikanlah agar kamu makan dengan benar." Lilianna mengkhawatirkan kesehatan Takahisa dan menatapnya dengan cemas.

 

"........."

Takahisa berkedip dan kembali menatap Lilianna.

 

Ah, jadi dia mengkhawatirkanku.

Itu adalah pesan jelas yang Takahisa dapatkan saat Lilianna menatapnya.

 

Jadi seperti inilah sebenarnya wajah gadis ini.....

Lilianna adalah gadis yang sangat manis. Untuk pertama kalinya, Takahisa mendaftarkan Lilianna sebagai hal itu. Takahisa menyadari kalau dirinya terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dia tidak mencoba melihat emosi apa yang diarahkan orang lain kepadanya.

 

Aku memang yang terburuk.

Takahisa merasa sangat malu dan menyedihkan, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memegangi kepalanya dengan tangannya. Lilianna terkejut mendengarnya.

 

"Umm, Takahisa-sama? Apa makanan Kerajaan ini tidak sesuai dengan seleramu? Kalau begitu, tidak perlu memaksakan diri untuk makan, tapi....."

Lilianna berdiri dengan panik, mendekati Takahisa dengan ragu-ragu.

 

"T-Tidak, bukan karena itu. Bukan karena itu.... hanya saja..... aku minta maaf....." Takahisa menghela napasnya dalam-dalam, meminta maaf kepada Lilianna.

 

"Tidak ada yang perlu kamu minta maafkan, Takahisa-sama......"

Mungkin saat inilah Lilianna juga merasakan kemanusiaan Takahisa untuk pertama kalinya. Sedikit senyuman hangat terlihat di wajahnya saat melihat Takahisa menundukkan kepalanya sebagai tanda penyesalan. Yang bisa dikatakan dengan pasti adalah kalau tidak salah lagi kalau Lilianna yang mendukung Takahisa ketika dirinya mengalami depresi karena dipanggil ke dunia baru, dengan lembut mengulurkan tangannya dan membantunya berdiri kembali. Satu-satunya orang yang menyadari beratnya tindakan itu adalah Takahisa, orang yang menerima bantuannya.

 

"Aku akan makan dengan benar. Aku akan mendengarkan apa yang kamu katakan setelahnya."

Takahisa memprioritaskan sarapannya daripada pembicaraan mereka.

 

"Oke. Silakan duduk."

Makanan sudah disajikan, jadi keduanya mulai makan bersama.

 

"Apa makanannya memang selalu sehangat ini.....?"

Kata Takahisa setelah suapan pertamanya, matanya melebar karena terkejut. Sejak dia datang ke dunia ini, dia tidak pernah langsung menyentuh makanannya. Makanannya itu selalu dingin saat dirinya sempat memakannya.

 

Itu sebabnya rasanya sudah lama sekali dirinya tidak makan makanan yang baru dimasak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Takahisa bisa mencicipi makanan itu. Rasanya juga sudah lama sekali sejak dirinya tidak makan bersama dengan orang seperti ini....

 

Aku..... Aku.....

Takahisa tidak bisa menghentikan tangannya untuk menggerakkan peralatan makannya. Dia menyadari kalau dia lebih lapar dari yang dirinya kira. Sebelum dia menyadarinya, air mata mengalir dari matanya.

 

"Huh? Ini aneh....." Takahisa menyeka matanya.

 

"Takahisa-sama......"

 

"Sepertinya ada debu yang masuk ke mataku."

 

"Ya....." Lilianna mengangguk pelan, menahan diri untuk tidak berbicara lebih jauh.

 

"Umm..... Putri, err...."

Setelah Takahisa selesai menyeka air matanya, dia menatap Lilianna dan mencoba memanggilnya. Namun begitu dia membuka mulutnya, dia tergagap dan melihat sekeliling dengan canggung.

 

Sial. Aku tidak tahu nama Sang Putri ini?

Takahisa terlambat menyadari kalau dirinya tidak mengetahui nama gadis yang sedang sarapan bersamanya. Tidak, tidak seperti dia tidak tahu. Ketika Lilianna ditunjuk sebagai pendampingnya, Lilianna telah memperkenalkan dirinya kepadanya. Namun, Takahisa belum mencoba mengingat namanya saat itu. Tidak ada ruang di hatinya, dan otaknya menganggapnya sebagai informasi sepele.