Dia mengangkat untaian itu tepat ke wajahnya dan menatapnya dengan hati-hati. Warna untaian itu memudar dari putih menjadi hitam di depan matanya.
[ Warnanya kembali normal. ]
Hanya apa yang terjadi kepada tubuhnya? Rio tidak punya apa-apa selain pertanyaan tentang situasinya, namun tidak ada gunanya merenungkannya sekarang.
Rio menatap ke cermin selama beberapa detik lagi, lalu melepas bajunya.
[ Bekas luka lamaku juga menghilang. ]
Dia membeku saat menyadarinya. Bekas luka halus yang ada di tubuhnya sejak dia berada di daerah kumuh benar-benar hilang. Hal itu tidak salah lagi — tidak salah lagi — efek lain dari asimilasi dengan Aishia.
[ Kurasa tidak ada gunanya terlalu kaget atas setiap hal kecil. ]
Rio menerimanya apa adanya dan selesai berganti, lalu menuju ke kamar mandi.
◇◇◇◇
Pada saat yang sama, di dalam tenda di pangkalan tepi danau Pasukan Galarc berada.......
"Demikian kesimpulan dari pihak kami."
Charlotte baru saja selesai memberitahu Miharu, Satsuki, dan Masato tentang rencana masa depan mereka. Tentu saja, Lilianna hadir di sebelah Masato.
Setelah mendengar penjelasan Charlotte, Satsuki terlihat agak bermasalah.
"Kamu agak terbuka tentang untuk hal ini." Katanya.
"Putri Lilianna dan diriku telah mendiskusikannya terlebih dahulu dan memutuskan kalau hal ini akan menjadi cara yang paling tulus untuk menyelesaikannya."
"Umm, kurasa itu benar......"
"Aku juga harus menambahkan bahwa kami tidak mencari hubungan tidak baik apapun darimu. Seperti yang sudah aku katakan, Kerajaan kami tidak berniat memaksa Masato-sama untuk tetap tinggal. Kami hanya ingin mengungkapkan klaim kami atas batu suci yang digunakan untuk memanggil kalian ke sini, karena ini adalah masalah nasional."
"Erm...... Apa itu berarti aku bisa memilih di mana aku ingin tinggal?" Masato bertanya dengan ragu.
"Ya. Jika kamu memilih untuk tinggal di Galarc, kami akan menyambutmu dengan hangat dan memberimu kondisi yang sama seperti dengan Satsuki-dono. Kita perlu melakukan beberapa penyesuaian dengan hati-hati jika kamu ingin pergi ke Kerajaan Centostella, jadi tolong bergabunglah denganku untuk mendiskusikannya jika hal itu terjadi, Putri Lilianna."
Kata Charlotte sambil melirik Lilianna.
"Ya.... Tentu." Masato mengangguk dengan ragu.
Dari penjelasan situasi dan keikutsertaan Lilianna dalam diskusi, dia mungkin menduga bahwa tidak ada motif tersembunyi yang berperan. Atau mungkin dia belum sepenuhnya menyadari bahwa dia telah menjadi hero.
"Pada akhirnya, Kerajaan adalah masyarakat. Ada banyak bangsawan yang tidak setuju dengan gagasan menyerahkan aset ke Kerajaan lain secara gratis. Intinya adalah ini masalah politik, dan aku sangat menyesal kamu telah terseret ke dalamnya."
Charlotte menundukkan kepalanya kepada Masato.
"T-Tidak, itu tidak benar."
Masato menggelengkan kepalanya dengan patuh; apakah itu karena pihak lain adalah seorang putri yang hampir tidak dia kenal, atau karena Charlotte adalah seorang gadis cantik yang seumuran dengannya, yang tampak menarik baginya.
"Aku senang mendengarmu mengatakan itu."
Charlotte tersenyum menawan. Ketika dia bertemu dengan mata Masato, Masato memalingkan muka dan tersipu malu.
"Aku melihat Masato masih lemah terhadap perempuan yang imut." Bisik Satsuki di telinga Miharu.
Miharu tertawa pelan.
"Hahaha...."
"Aku sangat menyesal meninggalkanmu di base kami, tapi tolong bersantailah di sini bersama Satsuki-sama dan Miharuu-sama. Aku akan mengatur kepulangan kalian ke ibukota secepat mungkin."
Kata Charlotte, mengakhiri pembicaraan.
"Apa pertarungannya masih berlangsung di luar...?"
Satsuki bertanya.
"Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, tapi para pasukan garis depan telah melaporkan bahwa kelompok bersenjata di luar kota telah mundur. Sebuah regu dikirim ke Greille beberapa waktu lalu untuk menyelidiki. Kami tidak akan tahu apakah pertarungan sudah berakhir sampai mereka kembali dengan laporan mereka. Paling cepat, kita akan berangkat ke ibukota lebih dulu dari mereka dalam satu atau dua hari ke depan."
"Begitukah....."
"Nee, Miharu Nee-chan....."
"Ya, Masato-kun?"
"Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Masato bertanya kepada Miharu yang duduk di sampingnya.
"Sebenarnya..... Aku tidak terlalu ingat."
Masato tampak bingung.
"Kamu tidak ingat....? Bagaimana bisa?"
"Aku juga bertanya-tanya mengapa bisa begitu..... Aku tahu bahwa Kerajaan asing menginvasi kota di sini, jadi kami datang untuk merebutnya kembali. Dan kemudian kamu dipanggil...... Tapi aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya, dan aku merasa itu adalah sesuatu yang penting......" Miharu mengerutkan keningnya dengan tidak senang.
"Seperti yang dikatakan Miharu-sama, kami sedang mengalami situasi misterius. Untuk beberapa alasan, tidak ada yang bisa mengingat apa yang terjadi di tempat ini sebelumnya."
Kata Charlotte, menambahkan ketika melihat rasa kehilangan yang aneh di ekspresi Miharu.
"Sepertinya ingatan semua orang tentang apa yang terjadi sebelum Masato muncul telah hilang. Kami berdiri di depan pemandangan yang luar biasa sebelum kami menyadarinya....."
Satsuki mencengkeram kepalanya dengan kesal.
"Begitu Celia-sama dan yang lainnya kembali, kita harus membandingkan ingatan semuanya untuk memeriksa apa yang telah menghilang."
Kata Charlotte sambil menghela napasnya.
"Ya....."
Miharu mengangguk, menekan rasa frustrasinya.
[ Mustahil bagimu untuk mengingat apapun sekarang. ]
Tiba-tiba, entah dari mana, Miharu sepertinya mendengar suara dari jauh.
"Heeh.....?" Miharu tersentak, melirik ke sekeliling ruangan dengan gelisah.
"Ada apa, Miharu-chan?" Satsuki bertanya, bingung dengan tingkahnya yang tiba-tiba.
"A-Apa seseorang baru saja mengatakan sesuatu?"
"Tidak ada.... Kecuali, Char-chan? Dia menyarankan agar kita membandingkan ingatan semuanya setelah yang lain kembali. Kamu saat itu menyetujuinya, kan?"
Satsuki menatap wajah bingung Miharu.
"A-Aku mengerti."
Gelombang kebingungan memenuhi Miharu yang bingung saat dia meragukan telinganya.
"Apa kamu baik-baik saja...?"
"Ya. Maaf karena mengganggu. Aku pasti telah salah dengar." Atas perhatian Satsuki, Miharu memasang senyum palsu untuk meyakinkannya. Namun......
[ Apa aku benar-benar salah dengar.....? ]
Suara sebelumnya meninggalkan gema yang aneh dan melekat di dalam Miharu untuk beberapa waktu setelahnya.
◇◇◇◇
Malam itu, di ruang makan rumah batu.....
"Aku sudah selesai makan."
"Aku juga. Terima kasih atas makanannya."
Rio dan Aishia selesai makan malam dan duduk saling berhadapan di ruang tamu. Setelah meminum teh yang baru dituang untuk menenangkan diri, Rio angkat bicara.
"Oke, akankah kita melanjutkan pembicaraan yang sebelumnya?" Rio menyarankan.
"Ya."
"Aku banyak berpikir tentang apa yang kamu katakan. Namun sebelum aku mendengarkan sisanya, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu, dan sesuatu yang ingin aku tanyakan. Apakah boleh?"
"Tentu."
"Kalau begitu, yang pertama, saat aku berada di ruang ganti ketika aku menyadari warna rambutku telah berubah. Bekas luka lamaku juga menghilang."
Rio melepas artefak yang mengubah warna rambutnya.
Dia mempertimbangkan untuk menyembunyikannya agar Aishia tidak khawatir, tapi hal itu adalah sesuatu yang cepat atau lambat akan Aishia sadari. Karena itu, dia memilih untuk jujur tentang hal itu.
"............"
Perubahan warna rambutnya dan hilangnya bekas lukanya adalah bukti bagaimana tubuh fisiknya mendekati sesuatu yang kurang manusiawi dan lebih mirip roh. Tanpa mengetahui efek samping seperti apa yang akan terjadi, Aishia mengerutkan keningnys dengan cemas.
Setelah mengharapkan reaksi itu, Rio bergegas menyelesaikan perkataannya dan mengganti topik.
"Untung bekas lukaku yang menghilang, dan sejauh ini tidak ada perubahan negatif. Kamu tidak perlu terlihat begitu khawatir tentang hal itu. Lebih penting lagi, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan tentang para hero. Jika para hero dapat dengan bebas menggunakan Divine Arms mereka kapan pun mereka mau, apa itu berarti mereka terus-menerus berasimilasi dengan roh peringkat atas mereka?"
"Ya......" Aishia membenarkan.
"Kalau begitu, para hero memiliki risiko efek asimilasi yang sama, kan? Bukankah akan lebih berbahaya bagi mereka, karena mereka selalu berasimilasi...?"
Memang benar, bukankah itu berarti para hero memikul beban yang sama dengannya? Apalagi jika mereka terus-menerus dalam keadaan berasimilasi.
Tapi sejauh yang Rio tahu, penampilan Satsuki dan yang lainnya tidak berubah. Apa ada alasannya? Dia tidak bisa mengerti namun merasakan hal aneh.
"Risiko para hero terus-menerus berasimilasi cukup rendah jika diabaikan."
"Hmm...... Kok bisa?"
"Dalam kehidupan sehari-hari, para hero hanya berasimilasi beberapa persen. Satu-satunya saat persentase naik adalah ketika mereka mengeluarkan Divine Arms mereka dan bertarung. Bahkan ketika mereka menggunakan kekuatan hero mereka, persentase itu hanya mencapai tujuh puluh atau delapan puluh persen...... Mungkin ada perlindungan khusus lain yang termasuk dalam ikatan roh antara para hero dan roh tingkat atas, tapi itulah alasan utamanya."
"Jadi jika tingkat asimilasinya rendah, pada dasarnya tidak ada risiko? Tidak cukup berbahaya untuk terus berasimilasi?"
"Yup. Jika mereka mempertahankan keadaan beberapa persen di luar pertarungan, maka seharusnya tidak ada risiko asimilasi terus menerus. Pertarungan mungkin untuk sementara meningkatkan persentase itu, namun keberadaan mereka sebagai manusia seharusnya tetap stabil jika mereka berada di bawah lima puluh persen."
"Jadi lima puluh persen adalah batas ketika keberadaan seseorang menjadi tidak stabil. Dengan kata lain, seseorang harus menghindari penggunaan asimilasi lebih dari lima puluh persen. Apa itu benar?"
"Yup. Semakin tinggi angkanya, semakin pendek durasi asimilasinya. Hal ini juga berlaku untukmu dan aku."
"Sepertinya selama tingkat asimilasinya tetap rendah, hal itu bukan masalah."
Dalam hal ini, selama mereka berpegang pada aturan penggunaan itu, asimilasi bisa menjadi senjata rahasia yang meyakinkan untuk digunakan dalam pertarungan.
Selain meningkatkan kekuatan dan vitalitas dasar seseorang, kemampuan itu juga memungkinkan penggunaan Spirit Arms.
"Namun ketika kamu menggunakan kekuatan transcendentmu, kamu harus memiliki asimilasi sekuat mungkin. Kalau tidak, tubuhmu tidak akan selamat dari serangan balasan."
"Kupikir para hero bisa bertahan menggunakan kekuatan hero mereka karena mereka berasimilasi dengan roh tingkat atas..... Tapi Saint Erica mati karena dia tidak mampu menangani serangan balasan, kan?"
"Erica mati karena Enam Dewa Bijaksana menetapkan batas yang mencegah para hero berasimilasi sepenuhnya dengan roh. Seperti yang aku katakan tadi, asimilasi mereka yang paling bisa dicapai adalah tujuh puluh atau delapan puluh persen saat menggunakan kekuatan mereka."
Dengan kata lain, asimilasi sekitar tujuh puluh atau delapan puluh persen tidak cukup untuk menahan mundurnya kekuatan mereka.
"Mengapa Enam Dewa Bijaksana menetapkan batas seperti itu? Bukankah asimilasi yang lebih kuat akan mencegah para hero mati...."
"Enam Dewa Bijaksana menciptakan pemanggilan hero karena mereka ingin menggunakan kekuatan roh tingkat atas tanpa menghidupkan kembali roh itu sendiri. Asimilasi yang kuat menciptakan bahaya bagi para hero yang dirasuki oleh roh tingkat atas. Itu sebabnya ada kondisi dan segel pada ikatan roh untuk mencegahnya muncul ke permukaan."
"Sepertinya ada situasi yang rumit, tapi di saat yang sama, itu berarti para hero aman selama mereka tidak menggunakan kekuatan pahlawan mereka, kan? Tidak ada risiko tinggi dari para hero lainnya yang berakhir seperti Saint Erica...... Benar?"
"Tidak ada. Secara umum, ikatan roh antara hero dan roh tingkat atas menguntungkan sang hero. Hero memiliki kekuatan asimilasi, jadi ada sedikit risiko tubuh mereka dirasuki. Namun jika mereka memaksakan diri hingga batasnya, menggunakan semua kekuatan penyembuhan mereka seperti yang dilakukan sang Saint, maka roh tingkat atas berpotensi mencuri kendali atas tubuh mereka."
"Jadi selama mereka tidak berakhir dalam pertarungan yang berbahaya, Miharu dan Satsuki akan baik-baik saja berada di dekat satu sama lain."
"Yup."
"Bisa di bilang, menjauhkan para hero dari medan perang hanya akan menunda masalah ini. Untuk menyelesaikan masalah pada intinya, kita harus menyelesaikan kemarahan dari roh-roh tingkat atas, bukan?"
"Yup.... Itu akan menjadi pilihan yang ideal."
"Tapi roh peringkat atas di dalam diri Erica melihat Miharu dan dirimu sebagai Lina dan mencoba melampiaskan amarahnya kepada kalian berdua?"
"Ya, karena Lina adalah masa lalu Miharu. Dan....."
"Dan dirimu di masa lalu juga?"
"Aku rasa begitu."
Hal itu tidak salah. Namun, hal itu juga tidak sepenuhnya benar. Aishia mengangguk untuk menyampaikan nuansa itu, lalu menambahkan :
"Roh peringkat tinggi berpikir Lina mengkhianati mereka bersama dengan Enam Dewa Bijaksana."
"Dikhianati..."
Apa yang terjadi antara Lina dan Dewa Bijaksana lainnya?
"Jika tidak ada hal lain yang ingin kamu ketahui, aku akan menjelaskan mengapa roh tingkat atas membenci Tujuh Dewa Bijaksana secara detail, bersamaan dengan kejadian lain di masa lalu."
"Kalau begitu, tolong lakukan."
"Oke. Semuanya dimulai seribu tahun yang lalu—atau lebih tepatnya, lebih lama dari itu. Ada satu dewa di dunia, yang memiliki empat belas transcendent sebagai pengikutnya. Raja Naga, Enam Roh Agung, dan Tujuh Dewa Bijaksana."
Kata Aishia mengawali ceritanya.
"Raja Naga......"
Rio bereaksi terhadap kata yang akrab. Saat dia melawan Erica, orang lain di dalam Erica memanggilnya seperti itu.
"Kamu adalah Raja Naga."
Kata Aishia dengan ekspresi datar.
"Aku....." Rio tersandung dalam kata-katanya.
"Sama seperti bagaimana Amakawa Haruto adalah kehidupanmu di masa lalu, kehidupan masa lalu Amakawa Haruto adalah sebagai Raja Naga."
"Begitukah...."
Kehidupan lampau ke kehidupan terlampau terdengar sangat meragukan. Tapi Rio tidak akan pernah meragukan kata-kata Aishia. Selain itu, dia telah diberi tahu bahwa kehidupan masa lalu Miharu adalah Dewa Bijaksana Lina, dan dengan kehidupan masa lalunya sendiri sebagai Amakawa Haruto, tidak aneh jika Amakawa Haruto juga memiliki kehidupan masa lalu.
Jadi, Rio tidak terlalu terkejut.
"Dewa menciptakan dunia, lalu mengaturnya bersama dengan para transcendent. Tapi suatu hari, dewa menghilang dari dunia. Hanya empat belas yang transenden yang tersisa. Tapi dewa meninggalkan perintah untuk para transcendent itu sebelum pergi, dan ada juga beberapa aturan yang tersisa untuk memenuhi perintah itu."
"Teruskan."
"Setelah dewa menghilang dari dunia, para transcendent itu mematuhi aturan itu dan bekerja sama satu sama lain untuk mengelola dunia menggantikan dewa. Namun, ketegasan mereka dalam memanajemen sangat berbeda dari saat dewa masih ada."
"Bagaimana bisa?"
"Ketika masih ada dewa, dewa akan mengganggu umat manusia dengan sesekali memberikan ramalan dan hukuman suci. Dewa memutuskan jalan yang akan dilalui umat manusia dan struktur masyarakat mereka, dan manusia hidup dengan menaati dewa. Ketika manusia mengabaikan ramalan dan melakukan perbuatan jahat, tuhan akan menghentikan mereka sejak awal dengan hukuman suci. Dengan begitu, dunia berjalan ke arah yang diinginkan dewa. Hal tersebut adalah utopia di mana setiap kehidupan dalam harmoni. Hal itu saat terjadi saat para dewa pergi."
Namun, dewa meninggalkan utopia itu dan menyerahkan pengelolaannya kepada para transcendent.
[ Mengapa dewa meninggalkan dunia.....? ]
Itulah pertanyaan yang ada di dalam kepala Rio, tapi dia tetap diam agar tidak mengganggu Aishia yang sedang berbicara.
"Dan kemudian datanglah apa yang terjadi setelah dewa meninggalkan dunia. Para transcendent diberikan peran sebelum dewa pergi. Mereka diperintahkan untuk membatasi pengelolaan dunia mereka seminimal mungkin. Tanpa bimbingan dewa, umat manusia memulai perjalanannya sendiri. Akibatnya, pendapat orang-orang bentrok, menciptakan perbedaan nilai individu. Apa yang dulunya merupakan satu kumpulan massa pecah menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil, menciptakan kesenjangan dalam status sosial dan kekayaan, dan perang pecah di antara umat manusia."
Kedengarannya seperti hasil yang tak terhindarkan. Bahkan, itu terdengar tidak berbeda dari dunia saat ini. Manusia adalah makhluk dengan kehendak bebas mereka sendiri.
Setahu Rio, tidak ada cara untuk menyatukan nilai-nilai kemanusiaan dan menghilangkan konflik. Jika hal seperti itu mungkin terjadi, tidak perlu ada perang. Dia tidak tahu bagaimana dewa berhasil mencapai hal itu.
"Dunia jauh lebih kacau dibandingkan saat dewa masih ada. Tapi para transcendent berpegang teguh pada perintah dewa dan menonton dalam diam. Mereka hanya mengganggu dunia ketika sesuatu yang tidak dapat mereka abaikan terjadi—untuk memenuhi peran mereka."
"Jadi tidak jauh berbeda dengan dunia saat ini, ya?"
"Terlepas dari keberadaan para transcendent. Ada keseimbangan antara Kerajaan-Kerajaan besar saat ini, tapi hal itu tidak terjadi di masa lalu. Ada lebih banyak perang dan kematian, dan beberapa transcendent meratapi dunia yang telah jatuh. Beberapa bahkan merasa putus asa."
Mengapa dewa pergi? Dewa yang mahatahu dan mahakuasa seharusnya tahu bahwa hal ini akan terjadi kepada dunia—bahwa dunia akan menjadi tidak adil.
Itulah yang mungkin mereka pikirkan. Setelah membantu dewa dalam mengelola utopia secara langsung, para transcendent semakin frustasi.
"Itulah mengapa mereka berharap ketidakadilan hilang dari dunia. Mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu sebagai para transcendent yang telah diberikan peran oleh dewa." Aishia berhenti sesaat.
"Dan itu adalah awal dari segalanya."
"Yang ingin melakukan sesuatu adalah Tujuh Dewa Bijaksana. Mereka ingin mengembalikan dewa yang telah menghilang ke dimensi lain, dan mulai mencari cara untuk membuka lubang antar dimensi."
Kata Aishia, melanjutkan.
"Hal itu sulit bahkan dengan kemampuan para transcendent. Menggunakan sihir luar ruang dan waktu tidak mungkin — Hal itu benar-benar membutuhkan peran dewa untuk menyelesaikannya. Namun, mereka benar-benar mencapai beberapa hasil. Mereka tidak dapat menemukan ke mana dewa itu pergi, namun mereka berhasil mengamati keberadaan dimensi lain."
Semua itu untuk membawa dewa kembali ke dunia ini.
"Setelah itu, Tujuh Dewa Bijaksana mulai bereksperimen dengan cara membuka lubang antar dimensi. Meskipun penelitian mereka sulit, mereka mengatasi setiap masalah satu per satu dan bergerak maju. Tujuh Dewa Bijaksana tidak sepenuhnya bersatu. Meskipun mereka berbagi tujuan keseluruhan untuk membawa dewa kembali ke dunia, niat dan pemikiran mereka yang sebenarnya berbeda. Semuanya selain Lina telah kehilangan semua harapan agar ketidakadilan umat manusia dibatalkan. Itulah mengapa mereka mencoba membuka lubang itu meski mengetahui bahaya yang bisa ditimbulkannya. Lina berusaha menghentikan mereka, tapi gagal. Mereka memenjarakannya dan menjadi Enam Dewa Bijaksana."
"Terus lanjutkan....."
Ada banyak hal yang ingin Rio tanyakan, namun hal itu akan menyebabkan Aishia menyimpang dari ceritanya. Rio tidak menginginkan hal itu.
"Dengan ditahannya Lina, Enam Dewa Bijaksana melanjutkan eksperimen mereka. Kemudian, mereka akhirnya berhasil membuka lubang ke dimensi pilihan mereka. Hal itu terjadi seribu tahun yang lalu."
"Sekitarnya waktu itu, hmm....."
Jika hal itu seribu tahun yang lalu, maka.... Rio mengingat peristiwa sepanjang sejarah di kepalanya.
"Yup, awal dari perang suci. Enam Dewa Bijaksana berhasil dalam percobaan mereka, menghasilkan hal tersebut."
"Rasanya seperti aku baru saja mendengar sesuatu yang tidak terpikirkan "
Rio menghela nepasnya, bersandar di kursinya dengan berat. Sebagian dari dirinya ingin meminta lebih banyak waktu untuk membantunya mengatur pikirannya, namun sekarang setelah mereka sampai sejauh ini, dia pasrah mendengarkan sisanya. Dia mencondongkan tubuh ke depan untuk mendengarkan Aishia sekali lagi.
"Akibat lubang dimensi itu, pasukan iblis mulai menyerang dari dunia lain. Lokasinya berada di ujung barat wilayah Strahl. Dunia lain memiliki makhluk yang setara dengan para transcendent, dan yang terpenting, jumlah monster itu sangat banyak."
Jelas bahwa umat manusia akan menderita sebagai akibatnya.
"Untuk melawan kekuatan dari dunia lain, Enam Dewa Bijaksana mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia. Mereka juga menghasilkan artefak sihir yang kuat di luar teknologi saat itu. Itu membantu menghentikan perang untuk sementara waktu, namun mereka tidak memiliki faktor penentu. Saat itulah mereka mencari bantuan dari roh tingkat atas dan Raja Naga. Mereka bahkan pergi ke Lina untuk meminta bantuan."
Perang suci sudah cukup menjadi alasan bagi roh tingkat atas dan Raja Naga untuk bertindak.
"Masalahnya adalah Enam Dewa Bijaksana telah kehilangan kepercayaan dari Lina. Jika mereka memberitahu roh tingkat atas dan Raja Naga kebenaran tentang apa yang terjadi, mereka akan berisiko menimbulkan kemarahan mereka. Jadi, Enam Dewa Bijaksana melepaskan Lina lebih dulu."
Mereka mencari kerja sama Lina dalam menjelaskan rangkaian peristiwa kepada roh tingkat atas dan Raja Naga, dan meminta bantuan mereka. Karena itu, mereka mengirim Lina sebagai utusan ke roh tingkat atas dan Raja Naga.
"Upaya mereka untuk menghilangkan ketidakadilan telah mengundang lebih banyak ketidakadilan ke dunia. Lina merasa sangat menyesal karena tidak mampu menghentikan pemicu perang suci. Itu sebabnya dia menerima peran sebagai pembawa pesan dan menuju ke roh tingkat atas dan Raja Naga untuk meminta maaf, dan meminta kerja sama mereka. Jadi, tempat pertama yang dia kunjungi adalah para roh."
Pada saat itu, roh-roh tingkat atas semuanya berkumpul di alam liar. Para penduduk desa roh telah mendirikan desa mereka di sana, hidup dengan tenang tanpa kontak dari manusia seperti yang mereka lakukan sekarang.
"Roh peringkat atas marah, namun mereka menuju ke Strahl dengan para roh murid mereka untuk menghilangkan ancaman eksternal. Para penduduk desa roh juga bergabung dalam perang itu ketika mereka menyadarinya. Lina kemudian pergi untuk mencari Raja Naga."
Kekuatan tambahan seharusnya memberi dunia ini keuntungan dalam perang......
"Saat itulah masalah baru muncul. Tak lama setelah roh tingkat atas meninggalkan alam liar, sementara Lina pergi untuk membujuk Raja Naga, pasukan dari dunia lain muncul di bagian Yagumo."
....Tapi mereka tampaknya telah diteleportasi dari Strahl.
"Itu pasti situasi yang cukup sulit......."
"Dan itu belum semuanya. Pada saat Lina meyakinkan Raja Naga untuk bergabung dalam perang, enam roh tingkat atas yang menuju Strahl telah menghilang—tepatnya, mereka telah dimasukkan ke dalam inti dari sistem pemanggilan hero oleh Enam Dewa Bijaksana. Lina mencoba membebaskan mereka, tapi gagal. Itu sebabnya roh tingkat atas percaya Lina telah mengkhianati mereka bersama dengan Enam Dewa Bijaksana. Mereka menganggap Tujuh Dewa Bijaksana dan Lina sebagai musuh mereka dan membenci mereka."
"Begitu ya....." Dengan ini, Rio akhirnya mengerti apa yang terjadi seribu tahun yang lalu.
"Sejak saat itu, Lina bersatu dengan Raja Naga. Mereka membersihkan pasukan musuh di wilayah Yagumo, lalu menuju ke Strahl untuk mengakhiri perang suci."
"Aku merasa kamu melewatkan beberapa cerita di sana.... Seperti bagaimana mereka mengakhiri perang, atau apa yang terjadi pada Enam Dewa Bijaksana."
"Sebenarnya, aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak tahu bagaimana perang berakhir juga. Aku tidak tahu apakah itu karena aku tidak memiliki ingatan untuk itu, atau aku hanya tidak bisa mengingatnya. Semuanya terasa agak kabur......" Frustrasi oleh perasaan itu, Aishia menyentuh dahinya dengan tangan kanannya.
“Yang aku tahu adalah Raja Naga menghabiskan begitu banyak kekuatannya, nyawanya dalam bahaya. Lina juga telah menghabiskan segalanya, dan dia melihat ramalan yang mengganggu dalam keadaan seperti itu. Itulah mengapa dia mencoba bereinkarnasi dan menciptakanku—semuanya untuk mengembalikan kekuatan Raja Naga ke dirinya yang bereinkarnasi......"
Mencari melalui ingatannya yang terkubur saat dia berbicara, Aishia menatap ke atas dengan mata tidak fokus.
"Apa yang aku tidak mengerti adalah bagian di mana Miharu adalah reinkarnasi Lina, sementara dirimu juga adalah Lina juga.....? Kamu bilang Lina menciptakanmu, tapi....." Rio mengajukan pertanyaan baru kepada Aishia untuk membangkitkan ingatannya.
"Ya.... Aku adalah roh humanoid yang Lina ciptakan sendiri. Tepat sebelum dia bereinkarnasi, dia memberiku kekuatan yang dibutuhkan Raja Naga untuk..... untuk....."
Aishia menekan kepalanya ke tangannya seolah-olah untuk menahan sakit kepala.
"Kamu tidak perlu memaksakan dirimu untuk mengingatnya."
Rio meyakinkannya dengan ekspresi bingung.
"Kenangan di dalam diriku adalah salinan ingatan Lina dari seribu tahun yang lalu.... Ketika dia menciptakanku, Lina hampir mati.... Itu sebabnya Lina memberitahuku..."
Pada saat itu, mata Aishia terpaku kepada Rio, namun dia tidak melihatnya. Sebaliknya, apa yang dia lihat tidak lain adalah dirinya sendiri.
◇◇◇◇
[ Mengapa? ]
"Aku minta maaf. Waktuku sudah habis. Dia akan mati sebelum aku bisa menyalin semuanya. Aku harus menyerahkan semuanya kepada kalian berdua untuk seribu tahun ke depan."
Dengan tangan berdarah, dia menggambar lingkaran sihir yang rumit di lantai. Di depannya berdiri Aishia dengan tatapan kosong.
"Dia orang yang sangat lembut, jadi tolong jaga dia..... Karena aku akan benar-benar tidak berdaya saat bereinkarnasi."
Dia mengarahkan tatapan buramnya ke tengah lingkaran. Ada seorang laki-laki terbaring di sana, di ambang hembusan nafas terakhirnya. Untuk beberapa alasan, dia secara naluriah tahu laki-laki itu adalah Raja Naga.
"..........." Aishia mengangguk dengan tatapan bingung.
Pada saat itu, semuanya ingatan itu berakhir. Ingatan itu bukanlah ingatan Aishia.
Ingatan itu milik Lina.
"Aku harus memicu proses reinkarnasi sebelum dia mati. Aku akan mengaktifkan ikatan roh. Sekarang, saatnya bagimu untuk beristirahat di dalam dirinya....."
Lina mengubah kekuatan hidupnya menjadi esensi sihir, mengaktifkan mantra para dewa yang lebih besar. Dan dengan itu, Aishia.....
"Aishia.....? Aishia?" Rio memanggil dirinya.
◇◇◇◇
"Aishia? Aishia!"
"Ya....?" Aishia akhirnya mengedipkan matanya, yang terbuka lebar, tersadar kembali.
"Kamu terdiam sebentar di sana. Apa kamu baik-baik saja?" Rio bertanya dengan cemas.
".........."
Tanpa memberikan jawaban, Aishia tiba-tiba menghilang. Dia telah kembali ke bentuk rohnya....
"Heh?"
.....Hanya untuk muncul kembali di samping Rio dalam wujud humanoidnya. Dia kemudian memeluk Rio dengan penuh kasih sayang.
"Heeh..... Aishia?" Rio bingung dengan tindakannya yang tiba-tiba. Dia memanggil namanya dengan prihatin, bertanya-tanya ada apa.
"Aku ingat mengapa ingatanku begitu terpecah. Aku menerima salinan ingatan Lina yang tidak lengkap. Makanya banyak yang aku tidak ketahui."
Kata Aishia, masih memeluk erat Rio.
"Aku mengerti."
"Aku punya ingatan Lina, tapi aku bukanlah Lina. Miharu juga—dia reinkarnasi Lina, tapi dia bukan Lina itu sendiri."
"Ya, aku tahu itu. Aku merasakan hal yang sama."
Sejujurnya, mendengar bahwa Miharu adalah reinkarnasi Lina tidak menimbulkan emosi khusus.
Miharu adalah Miharu. Aishia adalah Aishia. Itulah yang benar-benar dirasakan Rio tentang mereka.
"Kenangan yang kumiliki seribu tahun yang lalu tidaklah sempurna, tapi ada satu hal yang kutahu: Lina dan Raja Naga memiliki sesuatu yang ingin mereka capai apapun yang terjadi. Bahkan jika mereka harus bereinkarnasi untuk melakukannya." Kata Aishia dengan pasti.
Kemudian, Aishia menambahkan :
"Tapi Haruto adalah Haruto—dan juga Rio. Miharu adalah Miharu. Kalian bukanlah Raja Naga atau Dewa Bijaksana, Lina. Itu mengapa kalian berdua tidak perlu terikat oleh kehidupan masa lalu kalian."
"Memang, itu mungkin benar."
Sementara Rio masih bisa berhubungan dengan Amakawa Haruto, dia sejujurnya tidak merasakan apa-apa terhadap Raja Naga yang tidak dia ingat, yang tampaknya merupakan kehidupan masa lalu dari kehidupan masa lalunya.
"Tapi aku reinkarnasi dari Raja Naga itu, benar? Aku tidak hanya memiliki jiwanya, namun aku juga memiliki kekuatannya."
Paling tidak, Rio tidak menolak kehidupan masa lalunya sebagai Raja Naga.
"Haruto tidak perlu terbebani dengan hal ini. Hal yang sama berlaku untuk Miharu."
Aishia berusaha memikul seluruh beban itu sendirian.
Itulah yang dikatakan oleh raut wajahnya. Bagaimana jika kali ini, Rio yang didorong ke ambang kematian?
Apa yang terjadi dalam kenangan milik Lina bisa terjadi padanya. Aishia tampak sangat cemas saat dia bersikeras bahwa Rio dan Miharu berbeda dari Raja Naga dan Dewa Bijaksana, Lina.
"Itu benar. Aku tidak dapat membayangkan diriku hidup sebagai Raja Naga, dan aku tidak berencana untuk melakukannya. Tapi hal yang sama berlaku untuk untukmu juga, bukan? Aishia adalah Aishia. Ingatanmu tidak penting."
"Lina memberiku tugas untuk dipenuhi....."
Ini adalah sesuatu yang harus Aishia lakukan. Dia mencoba memikul beban itu sendirian.
"Kalau begitu aku akan membantumu. Mari berbagi beban itu bersama." Rio menawarkan tanpa ragu.
"Tapi..... Hal itu bisa sangat berbahaya. Bahkan Raja Naga yang kuat didorong ke ambang kematian seribu tahun yang lalu."
"Itu sebabnya kamu ingin melakukan ini sendirian. Apa itu yang kamu pikirkan?"
Rio bertanya, melihat langsung ke pikiran Aishia.
"Aku tidak ingin kamu mati."
Aishia mengakui dengan cemas.
Mendengar itu, Rio tertawa pelan.
"Aku merasakan hal yang sama. Aku juga tidak ingin kamu mati—itulah sebabnya aku tidak bisa membiarkanmu membawa beban itu sendirian. Lagipula aku satu-satunya yang bisa menggunakan kekuatan Raja Naga, benar?"
Kemudian, Rio memeluk Aishia kembali. Tindakannya itu adalah ekspresi tekadnya untuk tidak membiarkan Aishia membawa bebannya sendirian.
"..........." Aishia jelas ragu apakah dia bisa memeluknya kembali lebih keras.
"Kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, jadi daripada memikirkannya terlalu dalam, mari kita melakukannya bersama." Rio menepuk punggungnya seolah sedang menenangkan seorang anak.
"Ya...." Aishia terdengar seperti menangis saat dia mengangguk, membenamkan wajahnya di dada Rio.
◇◇◇◇
Berapa lama waktu berlalu setelah itu? Nampaknya tidak terlalu lama.
Bahkan mungkin tidak satu menit pun.
"..........." Aishia perlahan mengangkat wajahnya dari dada Rio untuk menatapnya.
"Apa kamu baik-baik saja sekarang?"
"Yup."
"Itu bagus. Lalu....."
Rio baru saja akan melanjutkan percakapan mereka ketika dia ingat betapa eratnya mereka. Posisi mereka saat ini adalah Rio duduk di kursi dengan Aishia duduk di memeluknya.
"Bagaimana kalau kamu duduk dulu sebelum kita bicara?" Rio menyarankan dengan canggung.
Dia berdiri dan membawa tubuh mungil Aishia, memindahkannya untuk duduk di kursi di sampingnya sebelum duduk sendiri di kursi aslinya.
"Aku sudah memberitahumu semua yang aku ingat. Apa ada hal lain yang ingin kamu ketahui?"
"Aku ingin tahu lebih banyak tentang peraturan yang ditetapkan dewa, kurasa. Saat ini, semuanya telah melupakanku. Kamu bilang aku tidak boleh bertemu mereka lagi—apa hal itu ada hubungannya dengan peraturan itu?"
"Ya."
"Apa kamu ingat peraturan macam apa itu?"
"Ya. Para transcendent adalah yang bertugas mengatur dunia menggantikan dewa. Tapi mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk menghancurkan dunia jika mereka menginginkannya. Itulah sebabnya dewa menetapkan aturan untuk mencegah individu atau kelompok menggunakan atau menerima kekuatan dari para transcendent untuk keuntungan mereka sendiri."
"Setiap kali para transcendent menggunakan kekuatannya, dunia melupakan mereka." Kata Aishia.
"Apa mereka lupa segala sesuatu yang berhubungan dengan para transcendent?"
"Yup. Informasi apapun yang dapat mengidentifikasi para transcendent dihapus dari ingatan mereka."
"Tapi legenda Enam Dewa Bijaksana dan roh tingkat atas masih ada di seluruh dunia."
"Bahkan jika kamu tidak dapat mengidentifikasi siapa para transcendent, kamu masih dapat menyadari bahwa ada transcendent di dunia ini, dan membaca catatan tentang apa yang telah mereka lakukan. Kamu tidak dapat mempertahankan ingatan tentang siapa para transcendent itu sebagai individu."
Akibatnya, para transcendent kebanyakan diperlakukan sebagai cerita rakyat.
"Jadi begitu ingatannya hilang, ingatan itu tidak bisa kembali lagi? Bagaimana jika memberitahu seseorang yang lupa alasan mengapa ingatannya menghilang?"
Rio bertanya, mencari celah.
"Aku pikir mereka akan lupa lagi saat kamu memberitahu mereka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka kehilangan ingatan berulang kali, jadi aku tidak bisa merekomendasikannya. Selain itu, sulit bagi transcendent untuk hidup normal. Bahkan jika kamu menghubungi mereka sambil menyembunyikan identitasmu, tidak ada yang tahu kapan mereka akan tiba-tiba melupakanmu lagi."
"Apakah hal itu semacam sihir? Atau spirit art? Tidak, sepertinya tidak mungkin melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi seluruh dunia....."
"Hal itu mungkin karena itu adalah kehendak dewa."
"Betapa mengerikannya....."
Skala dari apa yang terjadi begitu besar, Rio hampir tidak bisa mengeluarkan kata-katanya.
"Apa itu satu-satunya peringatanmu tentang peraturan itu?" Rio bertanya.
"Masih ada peraturan lain....." Tapi Aishia sepertinya enggan menjelaskannya lebih detail.
"Kamu tidak perlu khawatir — beri tahu aku."
Rio sudah siap mendengarnya, ekspresinya menegang saat dia mendesaknya untuk melanjutkan.
"Bahkan jika kamu tidak menggunakan kekuatan transcendentmu, kamu tidak boleh memberikan dukungan atau bantuan kepada kelompok atau individu tertentu. Seseorang transcendent harus menggunakan kekuatannya demi dunia. Namun, kepentingan dunia terkadang dapat tumpang tindih dengan kepentingan kelompok atau individu—ini merupakan pengecualian dari aturan tersebut. Pengecualian lain termasuk pembelaan diri yang sah dan memenuhi tugas seseorang sebagai transcendent. Seorang transcedent juga tidak bisa melupakan transcendent lainnya."
"Bagaimana jika transcendent menggunakan kekuatannya untuk seseorang di luar pengecualian itu?"
"Maka transcendent itu akan menjadi orang yang melupakan siapa yang mereka bantu."
Aturan kedua yang disebutkan Aishia memiliki harga yang tidak dapat diterima dengan mudah, bahkan dengan pengetahuan sebelumnya. Kehilangan ingatan seseorang tentang seseorang yang ingin mereka bantu berarti melupakan mengapa mereka ingin membantu seseorang itu sejak awal.
Kekuatan transcendent begitu besar sehingga mereka dapat dengan mudah mengganggu keseimbangan kekuatan dunia. Dengan demikian, ini adalah aturan yang sangat masuk akal untuk dibuat oleh dewa, namun hal itu sangat kejam.
"Jadi itu sebabnya aku harus menjauh dari semuanya."
"Ya....." Aishia berkata dengan sedih, menundukkan kepalanya sebagai konfirmasi.
"Mendukung seseorang juga tidak akan segera mengaktifkan aturan."
Aishia menambahkan, mengkhawatirkan Rio.
“Aku tidak tahu apakah itu untuk menilai perlunya tindakanmu, tapi ada sedikit jeda waktu sebelum peraturan itu diterapkan. Dengan demikian, terus-menerus tinggal bersama seseorang pada akhirnya dapat menyebabkan aturan itu berlaku."
"Jadi tidak ada cara untuk mengetahui seberapa jauh aku bisa pergi sebelum aku kehilangan ingatanku. Memang, itu berarti aku tidak boleh mendekati yang lain dengan sembarangan."
"Ya...."
"Hal ini mungkin tidak perlu dikatakan lagi, namun hanya untuk mengkonfirmasi — aku adalah seorang transcendent sekarang.... benar? Jadi aturan itu saat ini berlaku untukku."
"Yup. Sejak kamu menggunakan kekuatan, kamu telah menjadi transcendent. Karena aku berasimilasi denganmu, dunia juga melihatku jadi satu. Saint Erica juga dianggap satu dalam peraturan itu sebelumnya."
Dengan kata lain, jika Rio ingin mengganggu apapun di masa depan, dia harus siap kehilangan semua ingatannya tentang semuanya.
"Begitukah... Terima kasih, aku mengerti sekarang."
Suara Rio terdengar pelan dan bergetar—dia mungkin takut melupakan semuanya.
[ Satu-satunya yang harus dilupakan adalah diriku. ]
Itulah kata-kata yang diucapkan Aishia sebelum menghentikan roh yang mengamuk sendirian.
Tapi dia tidak hanya terancam dilupakan—dia juga bisa melupakan semuanya. Mungkin dia seharusnya memikul beban itu sendirian. Pikiran seperti itu dari masa lalu memenuhi kepalanya pada tahap akhir ini, membuat Aishia menundukkan kepalanya dengan serius.
"Tidak apa-apa. Aku tidak menyesali apapun."
Kata Rio dengan senyum lembut, menebak apa yang Aishia sedang pikirkan.
"Aku senang kamu tidak harus berakhir dengan dilupakan seorang diri." Kata Rio dengan tulus.
"............"
"Mari kita pikirkan tentang apa yang harus dilakukan di lain hari. Mungkin tidak nyaman harus menghindari semuanya, tapi setidaknya kita tidak akan melupakan satu sama lain. Aku benar-benar senang memilikimu di sisiku, Aishia." Kata Rio sambil mengusap kepala Aishia dengan ringan.
"Karena peraturannya, para transcendent jarang muncul di depan orang di masa lalu. Tapi itu sebabnya para transcendent boleh memiliki murid."
Kata Aishia, tiba-tiba memunculkan istilah baru.
"Murid.....?"
"Para murid itu juga tidak dapat melupakan para transcendent. Mereka terikat oleh aturan yang sama dan berfungsi sebagai lengan dan kaki dari para transcendent untuk mencegah mereka teridentifikasi."
"Jadi aku juga punya murid juga?"
"Seribu tahun yang lalu.... Aku yakin itu."
"Apa kamu tahu sesuatu tentang para murid Raja Naga?"
"Tidak ada kenangan itu dari Lina yang tinggalkan untukku. Aku tidak tahu apapun."
"Begitu ya.... Lagipula, ini sudah seribu tahun berlalu."
Sulit dipercaya mereka masih hidup. Bahkan jika memang demikian, tidak mungkin bagi Rio untuk mengetahui di mana mereka berada, karena dia tidak memiliki ingatan tentang Raja Naga. Apakah para murid akan mengenalinya sebagai Raja Naga?
"Ada hubungan khusus antara para transcendent dan murid mereka. Itulah mengapa kamu seharusnya bisa memanggil mereka untukmu......."
"Bagaimana caranya memanggil mereka?"
"Aku tidak tahu....."
Lagipula, Raja Naga sudah mati. Ada kemungkinan tidak ada koneksi yang tersisa di antara mereka.
"Apakah aku hanya mengatakan 'Kemarilah, murid-muridku!' atau sesuatu seperti itu? Hahaha."
Apapun patut dicoba sekali. Rio mengulurkan tangannya dan mengucapkan kata-kata pertama yang muncul di benaknya. Dia tertawa dengan malu-malu setelah itu, malu dengan kata-katanya sendiri.
Tapi terjadi sesuatu setelah itu. Ruang di depan tangannya muncul lengkungan dimensi, seolah sihir ruang dan waktu telah diaktifkan.
"Heh....?"
Seorang gadis muda muncul. Gadis itu tampak berusia kurang dari sepuluh tahun — siswa kelas dua atau tiga di sekolah dasar di jepang. Pakaiannya bukan gaya Strahl, tapi gaya yang sering terlihat di wilayah Yagumo.
"Ini aku, murid sang raja naga agung! Lama tidak bertemu, tuanku! Aku sangat merindukanmu!"