The Dragon’s Disciple – Chapter 1 : 「Kenangan Yang Hilang, Perasaan Yang Berlarut-larut」

 

Dua kekuatan di luar pemahaman manusia bertabrakan satu sama lain. Salah satunya adalah gelombang pasang bumi yang mengguncang daratan.

Dan yang lainnya adalah gelombang cahaya yang menelan guncangan tanah itu. Yang pertama dilepaskan oleh roh bumi kelas atas yang merasuki Erica, sedangkan yang kedua dilepaskan oleh kekuatan gabungan Rio dan Aishia. Tidak ada pihak yang seharusnya memiliki keunggulan dibandingkan yang lain. Kedua kekuatan itu hampir setara.

 

Namun, ada sesuatu yang aneh terjadi. Sesuatu yang tidak normal. Fenomena dengan skala yang tidak masuk akal telah terjadi di sana, namun semua jejaknya hilang. Pemandangannya benar-benar normal, seolah-olah bencana itu tidak pernah terjadi sama sekali.

Tidak ada tanda-tanda turbulensi di ode dan mana di udara juga. Namun, tidak ada yang penting bagi kelompok itu, yang saat ini berdiri dengan rasa tidak nyaman yang ekstrim.

 

"Tunggu..... Siapa yang bertarung di sana?"

Latifa bertanya dengan gelisah.

 

Petarungan itu adalah sumber dari perasaan tidak nyaman yang dialami semua orang. Mereka tidak ingat pertarungan siapa yang baru saja mereka tonton;  mereka tidak memiliki ingatan tentang itu.

 

Siapa yang sedang bertarung, dan mengapa?

 

Mereka semua tidak meningatnya. Faktanya, mereka bahkan tidak tahu apakah seseorang telah bertarung sejak awal. Mereka bahkan tidak tahu apakah mereka lupa, atau apakah mereka tidak tahu.

 

Suatu saat, mereka menyaksikan dua kekuatan bertabrakan satu sama lain di kejauhan. Pada saat berikutnya, seolah-olah tidak ada yang terjadi sama sekali.

 

"............"

Celia, Miharu, Liselotte, Satsuki, Sara, Orphia, Alma, Charlotte, Gouki, Kayoko, dan Aria semuanya tidak dapat menjawab pertanyaan Latifa. Bahkan jika mereka menginginkannya, mereka tidak bisa mengetahui apa yang sedang bertarung di sana.

 

Mereka tidak dapat mengingat ingatan mereka sebelum pertarungan dimulai. Ketika mereka mencoba mengingat apa yang telah terjadi, mereka mendapati pikiran mereka kosong seperti kanvas.

Seolah-olah waktu telah berhenti—tidak, seolah-olah waktu telah melompat ke depan.

 

Kelompok itu berdiri di tepi danau, tidak mampu memahami apa yang baru saja mereka saksikan.

 

[ Mengapa.....? ]

Mereka semua bertanya-tanya pada diri mereka sendiri.

 

Mereka telah melihat kekuatan itu saling bertabrakan di kejauhan, jadi seharusnya ada seseorang yang bertarung, tapi yang bisa mereka ingat hanyalah semburan cahaya yang menelan tsunami bumi sebelum semuanya menghilang. Dan pada titik waktu yang tepat, sebagian dari ingatan mereka telah terhapus dengan bersih........ Atau begitulah tampaknya.

 

Sepertinya mereka sedang melihat mimpi, lalu terbangun karena tidak dapat mengingat detailnya.

 

"............." Semua orang memasang ekspresi frustrasi di wajah mereka.

 

[ Mengapa? ]

Mereka tidak tahu siapa yang bertarung, namun mereka tidak bisa menghilangkan momen itu dari pikiran mereka. Sesuatu yang jauh di lubuk hati mereka memprotesnya. Mereka ingin tahu siapa orang itu.

 

Itulah mengapa, kaki mereka bergerak dengan sendirinya. Setiap orang dalam kelompok mulai berjalan menuju tempat tatapan mereka terkunci sebelumnya, seolah-olah mereka sedang dipancing ke depan.

 

"Berhenti." Perintah Raja Francois, secara tersirat mempertanyakan niat mereka.

 

"............."

Kelompok itu berbalik, tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Sebagian alasannya adalah karena Francois adalah seorang raja, namun semua orang bergegas untuk bergerak bahkan tanpa melihat satu sama lain. Untuk beberapa alasan, mereka semua merasakan dorongan untuk pergi ke tempat pertarungan terjadi itu. Mereka tidak bergerak secara rasional.

 

"Kita perlu menyelidiki apa yang terjadi di sana. Masuk akal untuk mengirim orang-orang terampil yang berkumpul di sini." Kata Charlotte, menjelaskan motif mereka kepada ayahnya dengan cerdik.

 

"Itu mungkin benar, tapi......"

Francois menyadari perlunya untuk menyelidiki situasinya. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi di sana.

Alasan mengapa dia menghentikan mereka adalah karena dia merasa tidak nyaman mengirim mereka semua ke tempat yang tidak diketahui. Tidak ada jaminan pertarungan itu telah selesai. Dia tidak bisa memberikan perintah untuk maju dengan mudah.

 

Jika mereka mengirim tim investigasi, lebih baik memilih segelintir ahli. Tidak perlu mengirim orang tanpa kemampuan bertarung. Orang pertama yang muncul di benak Francois adalah Gouki dan Kayoko, tapi—

 

"Tolong beri kami izin anda untuk pergi."

 

"Silakan!"

 

Yang pertama melangkah maju adalah Celia dan Miharu. Mereka memiliki ekspresi putus asa di wajah mereka, ingin sekali pergi secepat mungkin.

 

"Hmm....." Francois ragu-ragu. 

Dia tahu bahwa Celia adalah penyihir yang hebat, namun jika dia harus membuat pilihan, dia lebih suka mengirim Gouki dan Kayoko sebagai pengintai. Tentu saja, Miharu benar-benar keluar dari pertanyaan.

 

"Aku juga akan pergi!"

 

"Kami juga."

Latifa juga menawarkan permintaannya. Sara, Orphia, dan Alma saling bertukar pandang sebelum membuat keputusan yang sama.

 

"Tolong biarkan kami pergi, Yang Mulia."

Sang hero, Satsuki, juga minta untuk pergi.

 

"Hmm......."

Dari posisinya sebagai raja, Francois jelas tidak ingin mengirim sang hero yang berharga setelah pertempuran. Tidak ada yang tahu bahaya apa yang ada di depan mereka. Namun jika dia benar-benar percaya itu, lalu mengapa Satsuki ada di sini?

 

[ Aku pasti membawa Satsuki-dono ke sini atas permintaannya..... Tunggu, apa benar itu alasannya? Apa yang sudah terjadi? Apa tidak ada alasan lain...? ]

Francois tidak dapat mengingat alasan mengapa dia membawa Satsuki ke medan pertarungan lagi.

Karena itu, dia ragu-ragu untuk membuat keputusan yang rasional.

 

Namun, dia sama bingungnya dengan yang lainnya dengan situasi yang terjadi seperti itu secara tiba-tiba.

Dia tidak bisa mengingat hal-hal yang seharusnya dia ingat. Namun demikian, dia memiliki firasat samar bahwa sesuatu yang penting telah terjadi—perasaan yang sama yang mendorong yang lain untuk bertindak.

 

"Ini permintaan pribadi sang hero, ayah."

Tambah Charlotte, berharap bisa membujuk Francois.

Seorang bangsawan yang cerdas seperti Charlotte tahu betul bahwa kata-kata seperti itu tidak memiliki kekuatan persuasif. Dia juga tahu betapa kecilnya kebutuhan untuk mengirim semuanya ke sana untuk menyelidiki.

Namun meskipun begitu—

 

"Untuk beberapa alasan, aku merasakan dorongan untuk pergi ke sana juga. Aku ingin tahu alasannya. Bisakah kamu memberi kami izin untuk pergi?"

Charlotte sepenuhnya berniat untuk pergi juga. 

 

Kata "Kami" yang dia gunakan dalam permintaan sebelumnya sebenarnya mencakup semua orang yang ada di sana.

 

"Apa yang kamu..."

Sebagai sosok yang harus dilindungi, Charlotte tidak lebih dari penghalang. Kata-kata untuk mengabaikan kekonyolannya ada di ujung lidah Francois—namun mulutnya tidak mau bergerak. Permintaannya jelas konyol, namun untuk beberapa alasan, dia tidak bisa mengabaikannya.

 

"Liselotte aku yakin kamu juga meminta yang sama."

 

"Heh?"

 

"Kecantikanmu mungkin terletak kepada kemampuanmu untuk tetap anggun setiap saat, tapi kamu juga ingin pergi, bukan? Dalam hal ini, kamu harus berbicara juga." Kata Charlotte, melihat apa yang dipikirkan Liselotte dalam kesunyiannya.

 

"Ya, aku juga ingin pergi."

Liselotte mengangguk dengan tegas, mengungkapkan tekadnya yang kuat. Dia biasanya orang yang paling rasional di antara mereka semua, namun di sini dia mencoba untuk bertindak tidak rasional—sama seperti semua orang yang ada di sana.

 

Ini tidak rasional. Tapi kenapa? Mungkin emosi yang bertahan bahkan setelah ingatan mereka menghilang.

Namun, orang yang bersangkutan tidak mengetahuinya.

 

Emosi adalah keadaan sementara. Mereka akhirnya memudar seiring waktu. Mungkin kepanikan yang dirasakan semua orang adalah karena mereka secara naluriah mengetahuinya. Mereka takut emosi mereka yang paling penting akan meninggalkan mereka, jadi mereka mencoba untuk bergegas menuju ke mana emosi mereka mengarahkan mereka.

 

Dan tampaknya Francois tidak terkecuali di kelompok itu. Sebagai raja, dia harus menjadi orang paling rasional yang hadir, namun dia mempertimbangkan untuk mengirim semuanya sebagai pengintai. Dia ingin menghormati keinginan mereka, namun dia tidak memiliki bukti bahwa hal itu adalah pilihan terbaik.

 

Pada akhirnya.......

"Baiklah..... Pastikan kalian sangat berhati-hati."

 

Dengan helaan napas berat, Francois mengizinkan semuanya untuk menyelidiki situasinya.

 

◇◇◇◇

 

Hanya satu sampai dua menit yang lalu, di pinggiran Greille, ibukota wilayah Duke Gregory di Kerajaan Galarc, satu kilometer dari danau tempat kapal sihir pasukan Galarc yang berlabuh....

 

[ Dia mati. Kali ini sudah pasti..... ]

Pedang yang ditusuk Rio ke jantung Erica telah menghilang. Pedang itu telah berubah menjadi partikel cahaya seperti roh yang kembali ke bentuk rohnya.

 

"Whoa!"

Dengan lenyapnya pedangnya, mayat Erica jatuh ke depan. Dia mencoba menangkapnya tubuhnya dan menompangnya, namun dia di ambang jatuh bersama dengan tubuh Erica.

 

"Haruto."

Aishia berubah ke wujud humanoidnya, menopang tubuh Rio dari belakang.

 

"Maaf. Aku tiba-tiba kehilangan kekuatanku."

Rio bergegas meluruskan postur tubuhnya, memegang Erica di lengannya. Tapi Aishia menarik tubuhnya kembali ke arahnya, membuatnya bersandar padanya untuk mendapatkan dukungan. Dia melingkarkan lengannya di pinggangnya dengan hati-hati.

 

"Jangan memaksakan diri."

 

"Aku baik-baik saja, aku hanya sedikit lelah."

Jawab Rio dengan lembut, tidak ingin Aishia khawatir.

 

"Itu mungkin dampak karena aktifnya kekuatan transcendentmu. Tubuhmu menerima banyak beban."

Kata Aishia. Wajahnya yang cantik terlihat dengan ekspresi gelap.

 

"Trancendent..... ya. Tapi aku baik-baik saja, sungguh."

Rio dibingungkan oleh istilah yang tidak dikenalnya untuk sesaat, lalu dengan lembut mengulangi kepada Aishia bahwa dia baik-baik saja.

 

"Aku minta maaf. Seharusnya itu adalau tugasku untuk mengurangi bebanmu, tapi......."

 

"Aku tidak terlalu mengerti, tapi beban di tubuhku berkurang berkatmu, kan? Bisakah kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?"

Rio memanggilnya dengan nada yang lebih cerah setelah melihat ekspresinya yang menyedihkan.

 

"Aku mau melakukannya. Tapi......"

 

"Apa ada yang salah?"

 

"Lebih baik tidak bertemu dengan yang lainnya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Aku akan menjelaskannya nanti."

Aishia menyarankan dengan agak ragu.

 

"Aku mengerti...... Apa yang lain akan berada dalam bahaya jika kita pergi?"

 

"Tidak. Bahayanya sudah berakhir untuk saat ini. Hal ini akan menjadi masalah yang lebih besar jika kita bertemu dengan semuanya sekarang."

 

Rio berpikir sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum.

 

"Oke. Ayo pergi."

Dia punya firasat samar bahwa ada alasan yang tak terhindarkan untuk itu.

 

"Bisakah kamu bergerak?"

Aishia bertanya, khawatir tentang bagaimana Rio hampir jatuh tadi.

 

"Ya. Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Tapi sebelum itu......" Dengan Erica di lengannya, Rio melangkah maju, menopang berat badannya sendiri.

Dia kemudian menggunakan spirit art untuk membekukan mayat Erica.

 

"Conditum."

Katanya untuk mengaktifkan gelang penyimpanan ruang dan waktu. Balok es padat berisi tubuh Erica tersedot ke tempat lain, menghilang di hadapan mereka.

 

"Apa yang akan kamu lakukan?"

 

"Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja..... Aku cukup yakin dia sudah mati kali ini, tapi aku akan mengawasinya sebentar sebelum aku menguburkannya di negaranya asalnya. Aku telah berjanji kepadanya."

 

Rio yakin Erica sudah mati, tapi dia tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk kehadiran misterius lainnya di dalam dirinya. Dia pikir akan lebih baik untuk menyimpan mayatnya dan mengawasi tanda-tanda kebangkitan Erica sekali lagi.

 

"Semuanya akan tiba ke sini."

Kata Aishia sambil melihat ke arah danau. Pandangan mereka terhalang oleh awan debu di udara, tapi dia bisa melihat kelompok itu mencoba berlari ke sini di kejauhan. Mereka baru saja mulai bergerak. Orphia telah memanggil Ariel, jadi mereka membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk tiba.

 

"Ayo pergi."

Sara dan orang-orang dari desa roh dalam kelompok itu akan menyadari kehadiran Aishia dalam wujud rohnya.

Rio mengaktifkan spirit artnya dan mulai terbang.

 

"Aku akan menghilang."

Aishia berubah menjadi bentuk rohnya dan masuk ke dalam tubuh Rio. Rio lalu melesat pergi, lari dari kelompok yang mendekat itu.

 

Saat itu, esensi sihir mulai membengkak beberapa meter dari mereka. Sumber esensinya adalah batu seperti kristal berwarna agak gelap yang tergeletak di tanah. Warnanya telah menyembunyikannya dari kehadiran Rio sampai mengeluarkan cahaya yang menyilaukan—

 

"Ap.....?!"

Rio dan Aishia segera menjauhkan diri dari sumber esensi sihir itu. Cahaya itu meluas semakin jauh dalam waktu itu, sampai akhirnya, cahaya yang keluar dari batu itu membentuk sebuah pilar, membentang ke arah langit.

 

◇◇◇◇

 

Saat melihat pilar cahaya raksasa melesat ke udara, kelompok yang menuju ke lokasi Rio dan Aishia mau tidak mau berhenti tak lama setelah kepergian mereka.

Miharu, Celia, Charlotte, dan Liselotte yang naik di atas punggung Ariel saat terbang di ketinggian rendah.

 

"T-Tunggu! Apa yang telah terjadi?!"

Terguncang oleh pergantian peristiwa yang tiba-tiba, Satsuki menutupi wajahnya dengan satu tangan dan memanggil Divine Armsnya dengan tangan lainnya.

Yang lain juga mempersiapkan diri untuk bertarung dengan hati-hati.

 

Namun, berbeda dengan skala fenomena, tidak ada perubahan pada lingkungan fisik mereka. Tidak ada angin kencang, tidak ada gelombang panas, tidak ada kerusakan tanah. Hanya ada pilar cahaya raksasa yang berdiri dengan tenang.

 

"Apa itu..... Sihir teleportasi?"

Orphia, yang telah melemparkan penghalang esensi untuk melindungi semuanya secara mendadak, mendeteksi fluktuasi ode dan mana yang unik untuk sihir ruang dan waktu itu.

 

"J-Jangan khawatir! Itu bukan fenomena yang merusak!"

Sara berteriak kepada semuanya.

 

"Seperti yang dikatakan, itu adalah kekuatan yang luar biasa......" Alma menutupi pandangannya dengan tangannya. Dia hampir tidak bisa membuka matanya.

Tidak ada cara baginya untuk memastikan apa yang terjadi di sumber cahaya seperti ini.

 

Setelah beberapa waktu, pilar cahaya itu memudar.

 

"Apa sudah menghilang?" Kata Satsuki.

 

"Hmm....."

Menganggap bahaya telah berlalu untuk saat ini, Gouki dan Kayoko menyarungkan senjata mereka.

Namun karena mereka masih tidak tahu apa yang sedang terjadi, mereka tetap waspada. Mereka mengawasi lingkungan mereka dengan hati-hati, siap bereaksi terhadap apapun yang mungkin terjadi.

 

Sementara itu......

"Pilar cahaya yang tadi itu......."

 

Di antara kelompok itu ada orang-orang yang bereaksi seolah-olah fenomena itu sudah tidak asing lagi: Celia, Liselotte, Charlotte, dan Aria.

 

"Pernahkah kamu melihatnya itu sebelumnya?"

Miharu bertanya kepada Celia, mereka berdua ada di punggung Ariel.

 

"Pilar itu mirip dengan pemanggilan hero..... Tidak, pilar itu memang terlihat sama. Warna pilarnya berbeda dari yang aku lihat di ibukota, tapi....."

 

Apa yang pernah disaksikan Celia adalah pilar cahaya yang muncul saat Rui Shigekura dipanggil ke Kastil Beltrum.

"Ya. Aku melihat fenomena yang sama ketika Satsuki-sama dipanggil." Kata Liselotte, menjelaskan.

 

"Lalu...... Hero baru telah dipanggil?"

 

"Mungkinkah?"

Satsuki dan Latifa bertukar tataan dengan bingung.

 

"Sara, Alma. Kehadiran roh yang terdeteksi sebelumnya telah menghilang."

Lapor Orphia, melihat kembali ke Ariel di belakangnya.

 

Makhluk yang mendeteksi kehadirannya adalah roh kontraknya, Ariel. Kehadiran yang terdeteksi, tentu saja, adalah Aishia.

 

"Benar...... Sepertinya roh itu menghilang tepat sebelum pilar cahaya itu muncul."

Sara meletakkan tangannya di dadanya dan menutup matanya sebelum berbicara. Dia pasti sedang berbicara dengan roh kontraknya, Hel.

 

Roh kontrak dari para gadis desa roh—Hel, Ariel, dan Ifritah—adalah roh kelas menengah yang tidak dapat berbicara dalam bahasa manusia, namun mampu menyampaikan pikiran mereka. Mereka terhubung dengan partner kontrak mereka pada tingkat spiritual.

Alma melakukan gerakan serupa saat dia berkomunikasi dengan roh kontraknya, Ifritah.

 

"Ayo pergi dan periksa apa yang terjadi. Bagaimanapun juga kita harus menuju ke sana."

Kata Charlotte, mengarahkan.

 

Dengan demikian, kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka menuju tujuan mereka. Gouki, Kayoko, dan Aria memimpin, berjalan dengan cepat namun sangat berhati-hati.

 

"Ah! Ada seseorang di sana—mereka ada dua orang!"

Seru Latifa sambil menunjuk. Tatapan semuanya mengikuti jarinya untuk melihat seorang anak laki-laki dan perempuan berdiri bersama.

 

"Bukankah berdua itu......"

Begitu awan debu mengendap dan mereka semakin dekat, mereka bisa melihat kedua sosok orang itu dengan lebih baik.

 

"Heh? Bukankah mereka itu.....?!"

Begitu Satsuki melihat wajah mereka dengan jelas, mata Satsuki melebar.

 

"Kenapa.....?"

Miharu, yang masih berada di punggung Ariel, juga jelas terkejut. Dua orang yang berdiri di depan kelompok itu sangat akrab dengan mereka.

 

Bocah laki-laki itu khususnya sudah lama mengenal Miharu dan Satsuki.

"Masato?!" Seru Latifa.

 

Itu benar, berdiri di tempat pilar cahaya yang muncul adalah Sendo Masato, anak laki-laki berusia dua belas tahun yang telah berpisah dari Miharu setelah perjamuan, pindah ke Kerajaan besar Centostella di selatan Galarc.

Di sampingnya adalah Putri pertama Kerajaan itu, Lilianna Centostella. Masato dan Lilianna tampak terguncang, tidak yakin bagaimana memproses situasi yang ada. Mereka melirik sekeliling mereka dengan ketidakpastian.

 

Namun, mereka segera melihat Miharu dan yang lainnya mendekati mereka. Awalnya, Masato menghunus pedang di tangannya, berdiri di depan Lilianna untuk melindunginya. Tapi kemudian...