Her Crusade – Chapter 6 : 「Invasi Diam-Diam」

 

Wilayah Duke Gregory terletak di ujung paling utara Galarc. Keluarga Cretia di selatan, dan Keluarga Gregory di utara; sejak awal sejarah, kedua Keluarga Duke ini mendukung Kerajaan dari satu ujung ke ujung lainnya.

Namun, peristiwa yang akan terjadi di wilayah Gregory hari ini belum pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah.

 

Sore hari itu, sebelum tiga pertandingan dilaksanakan...

Sekelompok orang yang dipimpin oleh Saint Erica yang tinggal di Greille, ibukota wilayah Duke Gregory. Erica mengumpulkan kelompok itu di ruang penginapan petani untuk menyapa mereka semua.

 

"Semuanya, apa pendapatmu tentang kota ini setelah berkeliling kemarin?" Erica bertanya dengan riang, melihat sekeliling ke wajah teman-temannya.

 

"Maksud anda.....?" Para sahabat saling bertukar pandang bingung satu sama lain.

 

"Kita akan merebut kota ini dan memulai invasi kita ke Kerajaan Galarc. Kalian semua akan merebut kota ini bersamaku. Bukan karena aku menginginkannya, namun karena kalian ingin melakukannya atas kemauan kalian sendiri. Itulah mengapa, aku ingin mendengar tentang apa yang kalian lihat, di mana kalian berada, ke mana kalian pergi, dan apa yang kalian rasakan. Aku menyuruh kalian melihat-lihat kota sendirian untuk tujuan ini." Erica menjelaskan, melihat sekeliling ke wajah semuanya sekali lagi.

 

"Kota ini adalah kota yang sangat besar."

Seorang pemuda akhirnya berkata.

 

"Jauh lebih besar dari ibukota negara kita. Jika kota pinggiran sudah sebesar ini, maka ibukotanya pasti lebih besar........"

Seorang wanita seumuran yang duduk di dekatnya berbicara setelah dirinya. 

 

"Apa kita benar-benar dapat merebut kota sebesar ini hanya dengan diri kita saja....?" Dia bertanya dengan cemas. Jumlah total kelompok mereka, termasuk Erica, adalah sepuluh orang.

 

Mengesampingkan Erica, biarpun mereka meningkatkan kemampuan fisik mereka, sembilan lainnya masing-masing hanya memiliki kekuatan setara dengan Ksatria paling banyak. Bagaimana mereka bisa menyerbu kota sebesar itu dan menguasainya? Mereka mungkin khawatir tentang hal itu.

 

"Apa yang membuatmu berpikir lemah begitu? Kita memiliki Divine Beast Saint Erica-sama di pihak kita!"

 

"Itu benar. Jika Divine Beast itu mengamuk sedikit, kota ini akan jatuh dalam sekejap!"

Ada orang lain yang percaya diri untuk merebut kota.

Mereka percaya kepada divine beast milik Erica. Namun.....

 

"Kalian tidak boleh salah paham di sini. Kita memang menyerang Kerajaan ini. Namun, musuh kita adalah Keluarga Kerajaan dan bangsawan yang memerintah negara ini, bukan orang yang tidak bersalah di negeri ini. Memanggil divine beast di dalam kota akan menjadi bencana. Aku tidak bisa mengorbankan orang-orang di negeri ini tanpa alasan yang tidak jelas."

Kata Erica, mengungkapkan keengganannya untuk memanggil divine besst itu untuk merebut kota.

 

"Jadi kita harus mengambil alih kota ini tanpa menggunakan divine beast.....?"

 

"Benar."

 

"Bagaimana cara kita bisa melakukannya?"

Bisakah mereka mengusai kota dengan hanya sepuluh orang?

 

"Dengan Saint Erica-sama di pihak kita, kita tidak perlu takut kepada pasukan mereka."

 

"Benar. Bahkan tanpa divine beast, kita masih bisa mengambil alih kota dengan mudah."

 

"Tapi jumlah kita hanya sepuluh orang. Saint Erica-sama tidak bisa menggunakan kekuatan penuhnya sambil menjaga agar penduduk tidak terluka, dan jika ada seseorang sekuat laki-laki yang menyerang ibukota kita di sini........"

 

"Hmm....."

Orang-orang optimis yang percaya pada kekuatan Erica terdiam. Mereka mungkin mengingat Rio, yang telah bertarung dengan divine beast sebelumnya. Jika orang seperti itu muncul, bahkan Erica akan bertarung melawan banyak lawan sekaligus.

 

"Memang, akan sedikit merepotkan jika seseorang seperti dirinya muncul. Tapi aku tidak punya niat untuk kalah." Jawab Erica.

 

"Tempat ini bukanlah medan perang di mana kita melemparkan semua kekuatan kita satu sama lain. Kita menyusup ke wilayah musuh, mengambil langkah pertama dalam perang lokal. Ada banyak cara untuk memenangkannya."

 

"Ooh.....!"

Kelompok itu menatap Erica penuh harap.

 

"Apa yang harus kami lakukan?"

 

"Haruskah kita menambah jumlah sekutu terlebih dahulu?"

 

"Meningkatkan sekutu? Maksudmu kita harus memanggil bala bantuan dari negara kita?"

 

"Tidak, sudah ada banyak sekutu di kota ini."

 

"Apa regu lain dikirim bersama kita.....?"

Rombongan itu tampak terkejut. Mereka belum pernah mendengar hal seperti itu.

 

"Tidak. Aku berbicara tentang orang-orang yang tinggal di kota ini."

 

"Orang-orang...... yang tinggal di kota ini......?"

Sembilan dari mereka membuat wajah yang mengatakan mereka tidak pernah memikirkan itu.

 

"Seperti yang aku katakan sebelumnya, musuh kita adalah Keluarga Kerajaan dan bangsawan yang memerintah Kerajaan ini. Tidak perlu memusuhi penduduk yang tidak bersalah di negeri ini. Mereka adalah korban yang telah ditindas oleh para penguasa, sehingga mereka akan bergabung dengan kita." 

Erica memberi mereka senyuman suci.

 

"Tentu...."

 

"Ya, itu benar sekali!"

 

"Mereka akan menjadi sekutu kita!"

Satu demi satu, kelompok mengangkat suara mereka dengan setuju. Mereka percaya bahwa orang-orang di kota ini akan setuju dengan ajaran Erica, sama seperti ketika dia pertama kali muncul di hadapan mereka.

 

"Ada beberapa alasan kenapa aku memilih kota ini sebagai titik awal invasi kita. Pertama, karena terletak tepat di sepanjang perbatasan, dibangun dengan cara yang sangat mudah dipertahankan. Selain itu, tempat ini diatur oleh salah satu bangsawan tertinggi Kerajaan, menjadikannya ukuran yang sangat besar. Semakin banyak orang yang tinggal di sini, semakin banyak sekutu potensial yang tersedia bagi kita. Jika semuanya berjalan lancar, kita akan bisa mendapatkan markas yang kuat dan banyak sekutu sekaligus."

 

Masalahnya adalah apakah semuanya akan berjalan dengan baik atau tidak. Tapi baik atau buruk, orang-orang di sini semua memiliki kepercayaan penuh kepada Erica.

 

"..........." Mereka semua melihat kemenangan mereka yang akan segera terjadi. Bahkan mereka yang sebelumnya tidak yakin terlihat percaya diri sekarang.

 

"Kerajaan dan bangsawan bangsa kita juga digulingkan oleh kekuatan mayoritas. Jika setiap orang yang tinggal di kota ini menjadi sekutu kita, Kerajaan Galarc tidak akan berdaya. Mereka tidak mungkin membunuh mereka semua. Apa kalian tidak setuju?"

 

"Ya!"

Suara semuanya tumpang tindih satu sama lain.

 

"Kalau begitu, untuk menyelamatkan rekan-rekan kita dari tirani para bangsawan, pertama-tama mari bawa mereka ke pihak kita."

 

◇◇◇◇

 

Erica dan rombongannya meninggalkan penginapan dengan semangat tinggi dan berjalan ke alun-alun yang terhubung ke jalan utama kota. Namun......

 

"Benar-benar ada begitu banyak orang di sini....."

Mungkin karena mereka semua adalah penduduk pedesaan yang belum pernah meninggalkan negara kecil mereka sebelumnya. Saat dihadapkan pada hiruk pikuk jalanan yang jauh lebih semarak dari ibukota negara sendiri, mereka merasa gentar.

 

"Tidak ada yang perlu ditakuti."

Erica adalah satu-satunya yang berbaris melalui alun-alun tanpa ragu sedikit pun. Di belakangnya, anggota kelompok lainnya mengangguk satu sama lain sebelum mengikuti jejaknya dengan tekad. Erica berhenti di depan air mancur di alun-alun. Adapun apa yang dia lakukan di alun-alun di mana begitu banyak orang berkumpul—

 

"Perhatian semuanya!"

Perkataannya itu adalah penarik perhatian. Erica mengangkat suaranya cukup keras untuk terdengar di alun-alun yang bising, memanggil orang-orang yang lewat.

 

"............."

Orang-orang berhenti, berpaling kepadanya dalam diam. Mereka menatapnya dengan tatapan penasaran.

Sebelum dia kehilangan perhatian mereka, Erica melanjutkan.

 

"Tidakkah kalian semua berpikir ini aneh? Kita membayar begitu banyak pajak kepada kelas bangsawan, namun mereka tidak melakukan apa pun untuk kita. Jika ada, mereka memandang rendah kita seolah kita pantas membayar pajak kepada mereka. Mereka menganggap kiat sebagai rakyat jelata yang kotor." Erica melihat sekeliling ke wajah orang-orang terdekatnya, menyampaikan pendapat radikalnya kepada mereka.

 

Seorang wanita tak dikenal tiba-tiba memulai pidato di sudut kota. Suaranya yang keras menarik beberapa tatapan, beberapa di antaranya tidak menghiraukannya.

Namun.....

 

"Berkat pajak yang kita bayarkan, kelas bangsawan tinggal di rumah mewah dan perkebunan mewah, memakai pakaian mewah, makan makanan enak, memiliki pakaian hangat, dan tidur di ranjang empuk. Namun kita terpaksa hidup sederhana di rumah kita yang sempit."

Erica tidak mempedulikan tatapan meragukan mereka, terus maju dengan presentasi teorinya. Pidatonya sepenuhnya ekstremis dalam masyarakat kelas bawah yang diperintah oleh Keluarga Kerajaan dan bangsawan.

 

Tapi karena isi pidatonya berkaitan dengan gaya hidup masyarakat, banyak yang mendengarkan meski agak curiga. Mungkin mereka tidak senang harus membayar pajak setinggi itu juga, dan hanya menahan lidah karena takut kepada kelas bangsawan.

 

"Kita dipaksa tunduk mutlak oleh kelas bangsawan. Kita harus mematuhi setiap perintah mereka, tidak peduli seberapa keterlaluannya. Kita harus terus hidup dalam ketakutan, berdoa agar kita tidak menjadi sasaran bangsawan yang tidak benar. Meskipun kita semua adalah manusia yang sama..... Apa yang membuat mereka sangat berbeda dengan kita?"

 

Saat Erica menanyakan itu, ada cukup banyak orang yang mendekat, entah itu karena ketertarikan atau empati. Dia telah mengatakan hal-hal yang tidak bisa mereka katakan sendiri.

 

"Nona muda." Seorang laki-laki tua menimpali.

 

"Ya, pak?"

 

"Kau tahu kita tidak bisa menentang para bangsawan. Aku mengerti persis apa yang kau katakan, namun kau harus membiarkannya demi kebaikanmu sendiri. Para prajurit akan segera datang."

Pria tua itu menyatakan keprihatinannya atas kesejahteraan Erica. Dalam kelad masyarakat, tidak ada kebebasan bagi rakyat jelata untuk mengkritik posisi kekuasaan. Menghasut antipati kelas bangsawan seperti memohon hukuman.

 

Erica menatap mata lelaki tua itu dan tersenyum lembut.

"Kamu orang yang sangat baik."

 

Saat itu, setelah mendengar keributan itu, tentara datang berlarian — seperti yang diharapkan lelaki tua itu.

 

"Apa yang terjadi di sini?!"

 

"Apa yang sedang kau lakukan?!"

Mereka adalah anggota tentara pribadi Duke Gregory, disewa untuk sebagai petugas di sana. Tugas itu adalah tugas tuan untuk menjaga ketertiban umum di dalam wilayahnya.

 

"Eek!"

Reaksi orang-orang yang berkumpul sangat cepat. Saat mereka menyadari para prajurit, mereka berhamburan menjauh dari Erica.

 

"Aah!" Seseorang berteriak. Dia adalah seorang gadis kecil yang didorong oleh gelombang orang yang melarikan diri dan jatuh ke tanah.

 

"Ouch...." Gadis kecil itu pasti terseret di tanah saat dia terjatuh. Ada darah mengalir dari lututnya.

 

"Ah, malangnya." Erica segera mendekati gadis kecil itu.

Dia kemudian mewujudkan Divine Arms-nya dan membawa ujungnya ke lututnya yang terluka. Ujungnya bersinar dengan cahaya penyembuhan, menutup lukanya.

 

"Ooh....."

Orang-orang yang berserakan ribut dengan peristiwa yang terjadi saat tongkat itu menyembuhkan luka itu yang biasanya tidak pernah mereka saksikan. Mereka menjauhkan diri dari Erica karena takut kepada para prajurit, tapi sekarang mereka memberinya lebih banyak perhatian daripada sebelumnya.

 

"Pergilah sekarang."

 

"O-Oke. Terimakasih Onee-chan!"

Gadis kecil itu membungkuk gugup sebelum berlari.

 

"Oi, kau yang di sana. Tongkat apa itu?"

Prajurit yang datang berlari terkejut dengan apa yang terjadi dan menanyai Erica tentang tongkatnya. Tapi prajurit lain di sampingnya menyela dengan terengah-engah.

 

"Permisi nyonya. Apa anda seorang bangsawan?"

Dia bertanya dengan sopan. Alasan pertanyaannya adalah tongkatnya—hanya para bangsawan dan petualang kelas atas yang memiliki artefak sihir yang mengandung ilmu sihir. Pakaian yang Erica kenakan tidak terlalu mewah, tapi bersih dan berkualitas baik. Akan berakibat buruk bagi mereka jika Erica seorang bangsawan. Itulah yang mungkin dia pikirkan.

 

Sebagai catatan, bangsawan yang memiliki wilayah—seperti Duke Gregory—cenderung memiliki banyak pengikut tanpa pangkat istana. Para prajurit yang bekerja di daerah tersebut umumnya berasal dari keluarga kelas bawahan. Mereka diperlakukan sebagai semi bangsawan dan menjamin gaya hidup yang lebih baik daripada rata-rata rakyat jelata.

 

"Tidak, aku bukan bangsawan."

 

"Atau mungkin seorang petualang terkenal?"

Para petualang kelas atas cenderung memiliki hubungan dengan para bangsawan berpangkat tinggi, jadi prajurit biasa harus berhati-hati dengan cara mereka memperlakukannya. Namun, Erica secara terbuka mengungkapkan bahwa dia bukanlah keduanya.

 

"Tidak. Aku adalah warga negara biasa yang tidak berbeda dengan orang lain di sini."

 

"Ap.....?" Para prajurit bertukar pandang bingung, mengira mereka sedang berhadapan dengan seseorang dengan status sosial penting.

 

"Di mana kau menyembunyikan tongkat itu? Tidak — mengapa kau memiliki barang seperti itu? Aku belum pernah mendengar tentang artefak sihir yang mengandung sihir penyembuhan."

Dengan perubahan sikap yang jelas, prajurit yang berbicara dengan sopan kepada Erica dengan kasar menanyainya tentang tongkat itu.

 

"Tongkat itu milikku. Apa ada masalah?" Erica memiringkan kepalanya dengan rasa penasaran.

 

"Dari mana kau mendapatkan tongkat itu?"

 

"Mengapa kau ingin tahu itu?"

 

"Karena tongkat itu jelas merupakan barang yang berharga. Tidak mungkin orang biasa memiliki hal seperti itu."

 

"Apa kau mengatakan kalau kau tidak percaya tongkat itu milikku, sungguh?"

 

"Itu benar."

 

"Tongkat ini milikku."

 

"Kalau begitu buktikan."

 

"Bagaimana?"

Prajurit itu mencibir seolah mengejek kebodohannya.

 

"Jika kau tidak bisa membuktikannya, maka tongkat itu jelas bukan milikmu."

Terbukti dari sikapnya bahwa dia telah menentukan bahwa tongkat itu bukan miliknya.

 

"Kurasa aku tidak punya pilihan. Bagaimana dengan ini—aku bisa membuatnya muncul dan menghilang sesuka hati. Apa itu berfungsi sebagai bukti?"

Erica bertanya. Dia kemudian membuat Divine Arms miliknya menghilang dan muncul kembali.

 

".........." Para prajurit tidak bisa berkata apa-apa; Hal itu seharusnya menjadi bukti yang cukup meyakinkan.

Namun.....

 

".......Tidak." Mereka menyangkal.

 

"Kenapa tidak?"

 

"Gubernur harus membuat keputusan akhir."

 

"Keputusan untuk apa?"

 

"Seseorang mungkin bisa membuat tongkat itu muncul dan menghilang juga. Dia akan menjadi hakim untuk itu." Jawab prajurit itu, suaranya pecah.

 

"Maukah kau mencoba sendiri, kalau begitu?"

Erica menawarkan tongkatnya kepada para prajurit.

 

".........."

Salah satu prajurit dengan ragu menerimanya.

Dia menatapnya dengan saksama, seolah terpikat oleh pemandangan itu, dan gugup karenanya. Dia tahu bahwa tongkat itu adalah barang yang jauh lebih baik daripada tongkat baja mana pun yang disediakan oleh tentara.

 

"Bagaimana cara menghilangkannya?"

Tanya prajurit itu, matanya terpaku pada tongkat itu.

 

"Tidak ada yang istimewa. Aku mengatakannya untuk menghilang di kepalaku dan menghilang. Hal yang sama ketika aku ingin itu muncul kembali."

 

"Apa.....?"

Prajurit yang memegang tongkat itu mendengus. Dia mungkin memikirkan kata "menghilang" di kepalanya, tapi tongkat itu tidak menunjukkan tanda-tanda menghilang.

 

Akhirnya, prajurit yang memegang tongkat itu memerah karena marah. 

"Aku tidak bisa melakukannya!" Dia berteriak.

 

"Itu karena kau bukan pemilik tongkat itu."

Erica mencibirnya.

 

"Guh..... Gubernur tetap akan menilai itu. Kami akan berpegang pada itu."

 

"Kau juga ikut."

Para prajurit memberi Erica vonis mereka.

 

"Tidak  Aku tidak ingin pergi denganmu."

Erica menolak mereka dengan datar. Caranya dengan jelas menyatakan pendapatnya sendiri terhadap orang-orang yang berkuasa pasti memuaskan untuk ditonton, karena ada banyak penonton yang penasaran di sekitar mereka.

 

"Apa katamu?"

 

Manusia adalah makhluk yang menanggapi harapan yang dikhianati dengan amarah. Pembangkangan Erica langsung memperburuk suasana hati para prajurit.

 

"Kembalilah tongkatku." Katanya.

Tongkat di tangan prajurit itu menghilang.

 

"Oi! Kembalikan itu!"

Prajurit itu berteriak dengan bingung.

 

"Ini lucu. Mengapa aku harus mengembalikan sesuatu yang menjadi milikku?"

 

"Masih belum ada bukti itu milikmu!"

Prajurit itu membentak tidak rasional.

 

"Semuanya! Menurut kalian siapa yang salah di sini: Aku, atau prajurit ini? Mereka mencoba mencuri barang dari orang biasa hanya karena kelihatannya berharga. Tidak diragukan lagi mereka bermaksud mengklaimnya untuk diri mereka sendiri, dengan alasan apa pun yang mereka bisa untuk menyitanya. Apakah hal ini tampak adil bagi kalian semua?"

Erica berbicara kepada para penonton yang telah menonton seluruh adegan dari awal, meminta pendapat mereka.

 

"B-Berhentilah berkata sesuatu!"

Bantah para prajurit, bingung bagaimana dia menunjukkan motif tersembunyi mereka.

 

"Apakah begitu? Yah, aku yakin apa pun yang kau katakan pasti benar."

Erica menatap para prajurit dengan dingin.

 

"Kau kurang ajar..... Cukup! Kembalikan tongkatnya!"

 

"Aku menolak. Sebenarnya......" Sejak awal percakapan, nada suara Erica sangat tenang.

 

"Apa kau punya bukti bahwa aku membuat tongkatnya menghilang sejak awal?" Dia bertanya.

 

"Kau mengatakannya sendiri! Tongkat itu menghilang saat pemiliknya menginginkannya!"

 

"Oh, kalau begitu, apa kau sudah mengakui fakta bahwa aku adalah pemiliknya?"

 

"Tidak! I-Itu hanya kata kiasan!"

Prajurit itu berteriak dengan tatapan panik.

 

"Dia menghilang ketika aku ingin menghilang, padahal aku bukan pemiliknya? Apa kau punya bukti? Tolong tunjukkan bukti bahwa tongkat yang menghilang bahkan ketika seseorang yang bukan pemiliknya menginginkannya menghilang."

Kata-katanya pasti pembalasan atas cara para prajurit menuntut bukti darinya sebelumnya. Para penonton yang telah melihat semuanya sejak awal segera mengetahuinya.

 

"Hahaha!" Seseorang di antara para penonton tertawa keras kegirangan.

 

"Kalau itu.....!"

Mereka telah dipermalukan di hadapan publik. Wajah para prajurit memerah saat emosi mereka menguasai mereka, dan mereka membuka mulut untuk berdebat.

Tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Mereka mungkin bingung harus berkata apa. Akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan argumen verbal.

 

"Cukup! Kau ditahan karena mengganggu ketertiban umum!" Para prajurit mengeluarkan tongkat mereka dan bersiap untuk menekan Erica atas pembangkangannya.

 

"Heh heh." Erica terkekeh, dan pertarungan dengan para prajurit dimulai.

 

◇◇◇◇

 

Lebih dari sepuluh menit berlalu dalam waktu singkat. Erica masih terkunci dalam pertarungan dengan para prajurit. Tapi prajurit yang dia lawan saat ini bukanlah orang yang sama yang awalnya menghadapinya — keduanya tergeletak di suatu tempat di alun-alun ini.

Seluruh alun-alun ditutupi oleh lebih dari lima puluh prajurit, semuanya dikalahkan oleh Erica seorang diri. Para penonton yang bersemangat berkumpul di salah satu sudut alun-alun, bersama dengan kelompok yang mengikuti Erica dari Kerajaan kecil mereka.

 

"Heh heh heh."

Tidak peduli berapa banyak prajurit yang dia kalahkan, lebih banyak bala bantuan datang. Tapi Erica menghadapi mereka semua dengan ekspresi dingin.

 

"Brengsek!"

 

"Apa pasukan utama gubernur masih belum datang ke sini?!" Sementara itu, para prajurit yang mengepungnya, ekspresi mereka tampak agak pucat. Sekutu mereka telah terkalahkan satu demi satu, jadi hal itu wajar saja.

Mereka mungkin ingin melarikan diri.

 

[ Ini sebanyak yang aku harapkan. Seperti yang kupikirkan, tidak ada yang sekuat anak itu. ]

Erica berpikir sambil melirik para prajurit yang meringkuk. Dia telah mewaspadai sosok seseorang yang sekuat Rio, namun sejauh ini tidak ada lawannya yang mengancam.

 

"Lewat sini!"

Saat itu, kelompok baru berlari datang ke alun-alun. Ada sekitar tiga puluh orang penunggang kuda. Menyadari bala bantuan, Erica mengarahkan pandangannya pada mereka.

 

[ Oh? Para prajurit ini terlihat sedikit lebih kuat. ]

Pasukan itu jelas mengenakan perlengkapan yang lebih baik daripada prajurit lainnya. Seragam mereka menyerupai seragam Ksatria militer Kerajaan. Mereka semua adalah bagian dari pasukan pribadi Duke Gregory — unit elit dari prajurit terbaik.

 

Para penonton berteriak-teriak melihat penampilan gubernur, yang memerintah kota atas nama Duke Gregory.

 

"Oi, mereka adalah pasukan pribadi tuan tanah!"

 

"Gubernur juga ada di sini!"

 

"Apa perempuan itu akan baik-baik saja?"

Para pasukan elit itu turun dari kuda mereka dari kejauhan dan turun ke tanah menuju arah Erica. Namun seorang laki-laki tetap duduk di atas kudanya. Dia adalah putra kedua Duke Gregory, Maxim Gregory.

Putra tertua keluarga itu bekerja di ibukota.

 

"Oi, perempuan! Kaulah yang pasti menyebabkan keributan ini."

Teriak Maxim, memelototi Erica dari atas kudanya.

 

"Kau salah." Jawab Erica, menjawabnya dengan berani di hadapan tiga puluh anggota pasukan.

 

"Keributan ini dimulai oleh dua bawahanmu, bukan aku yang memulainya. Aku yakin mereka pingsan di suatu tempat di alun-alun ini."

 

"Betapa beraninya tindakanmu ini..... Kau seharusnya menyesali tindakanmu ini."

Maxim memandangi keadaan bencana di alun-alun dengan jijik. Dia secara terbuka bertarung dengan prajurit yang melayani bangsawan. Hal itu hampir sama dengan membawa aib bagi bangsawan itu sendiri. Apa pun situasinya, situasi ini tidak dapat diterima.

 

"Aku mengizinkan penggunaan kekuatan kalian. Gunakan mantra peningkatan kemampuan fisik kalian dan tangkap perempuan itu."

 

"Augendae Corporis!"

Atas perintah Maxim, semua pasukan elit itu melafalkan mantra secara serempak. Begitu mereka selesai mempersiapkan diri untuk pertarungan...

 

"Tangkap dia!"

Mereka diberi perintah untuk menangkap Erica. Tiga prajurit segera mendekati Erica, mengepungnya dari berbagai sisi. Ketiganya dipersenjatai tongkat polisi.

 

Pasukan elit telah dikerahkan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di sini. Mayoritas penonton di alun-alun memikirkan itu. Namun......

 

"Ap......?!"

Harapan mereka ditentang. Dalam satu ayunan dari kiri ke kanan, Erica mengalahkan mereka bertiga.

 

"Guh....."

Mereka tidak mati, namun luka mereka sama sekali tidak dangkal. Orang-orang yang telah terserang menggeliat, mengerang kesakitan.

 

Maxim tersentak kaget saat melihatnya.

"Apa yang dia.....?"

 

Tapi Maxim segera tersentak kembali ke akal sehatnya.

"Semua unit!" Dia berteriak.

 

Sebelum dia bisa memerintahkan mereka untuk maju, Erica berlari menuju pasukan elit itu. Dia menyelinap tepat ke tengah-tengah mereka.

 

Setelah itu, yang terjadi adalah adegan kebrutalan sepihak. Terhadap para prajurit yang ragu-ragu untuk mengangkat serangan mereka karena takut akan serangan dari Erica, Erica mengayunkan tongkatnya tanpa memikirkan apapun. Beberapa pasukan berusaha memblokir serangan dengan tongkat mereka, tapi mereka bukanlah tandingan kekuatan Erica dengan hanya peningkatan kemampuan fisik mereka.

 

"Wh-Whoa......"

Kesembilan bawahan yang menemani Erica bergabung dengan penduduk kota untuk menonton dengan napas tertahan saat pasukan tuan tanah itu ditekan tanpa daya. Para bangsawan yang mereka takuti sepertinya tidak terlalu menakutkan saat ini.

 

"K-Kalahkan dia! Kalahkan dia! Kalahkan dia....!"

Perintah Maxim, menyuruh kudanya mundur agar dia bisa menjauhkan diri dari Erica. Tapi meski dia melakukan itu, jumlah bawahannya yang tidak terluka berkurang dari waktu ke waktu.

 

Apa yang dicari orang dalam fiksi bukanlah kehidupan yang membosankan dan biasa. Mereka menginginkan kisah-kisah yang tidak nyata dan luar biasa.

Misalnya, seorang hero muncul untuk menghukum para bangsawan jahat..... Sebuah kisah tentang keadilan yang puitis. Sesuatu yang sederhana dan mudah untuk berempati. Begitulah caranya merebut hati rakyat.

 

Akhirnya, semua Ksatria dan prajurit selain putra Duke Gregory telah jatuh.

 

"Wooooooooo!"

Para penonton meraung kegirangan, memuji Erica saat mereka memandang rendah para bangsawan.

 

Keputusan Maxim sangat cepat. Dia dengan cepat menarik kendali, memerintahkan kudanya untuk mengubah arah dan melarikan diri.

 

"Kau tidak akan bisa kabur."

Erica membanting ujung tongkatnya ke tanah. Dinding tanah setinggi beberapa meter menjulang di depan Maxim.

 

Kudanya meringkik dan terguling karena terkejut.

"Ngh.....!"

 

Jatuh dari kudanya, Maxim berguling-guling di tanah dan mengerang. Erica berjalan ke arahnya.

"Guh.....!" Maxim mencoba mundur kembali.

 

"Tidak perlu takut. Aku hanya ingin mengkonfirmasi sesuatu. Jika kau menjawabnya dengan jujur, aku akan menghindarkanmu dari rasa sakit apa pun."

 

"A-Aku akan menjawab!"

 

"Baiklah. Jika aku tidak salah, kau adalah gubernur kota ini?"

 

"I-Itu benar."

 

"Tuan tanah sedang tidak ada sekarang, jadi hal itu membuatmu menjadi kepala kota ini, benar?"

 

"Y-Ya. Sebagai putra kedua, aku bertanggung jawab atas kota saat ayahku tidak ada."

 

"Begitu ya. Lalu ada sesuatu yang aku ingin kau lakukan."

Erica tersenyum manis, mulutnya menyeringai.

 

 "A-Apa itu.....?"

 

"Atas nama Saint Erica, aku membuat pernyataan. Mulai saat ini, kota ini akan menjadi wilayah Republik Demokratik Suci Erica. Ini adalah deklarasi perang ke Kerajaan Galarc. Katakan hal itu kepada Raja Galarc untukku."

Pada saat ini, negara bagian Republik Demokratik Suci Erica telah dibuat. Peristiwa itu terjadi hanya beberapa saat sebelum Rio memenangkan pertandingannya melawan William dan Gilbert.