Tubuhku berkedut karena terkejut lalu aku menatapnya. Dia terlihat sangat keren, seperti seorang ...
Kakak laki-laki. Dia tersenyum lembut, seolah dia ingin menenangkanku.
“Apa kamu salah naik bus?”
“Eh? Ah, tidak ... Aku melewatkan perhentianku ....”
“Oh, begitu, ya. Di mana kamu seharusnya turun?”
Aku terdengar sedikit terkejut ketika menjawabnya, tetapi laki-laki itu dengan tenang terus bertanya padaku.
“Ta-Taman di distrik ketiga ....”
“Mengerti. Kalau begitu ayo kita turun di halte berikutnya. Aku akan menghantarkanmu ke halte terdekat dengan rumahmu.”
“ ... O-Oke.”
Sementara aku diajarkan di rumah dan di sekolah agar tidak mengikuti orang asing, aku tidak ragu untuk mempercayai orang ini sepenuhnya.
Aku sangat bersemangat tentang bagaimana dia terlihat seperti pahlawan dari Manga Shoujo, muncul entah dari mana untuk menyelamatkan, sang karakter utama.
Tapi ....
“Ah, aku tidak punya ... Uang lagi ....”
Aku langsung teringat jika aku tidak memiliki uang.
“Tidak apa-apa.” kata dia, tersenyum dan dengan lembut menggelengkan kepalanya.
Begitu kami turun di halte bus selanjutnya, dia membayarkan biaya perjalananku dan kami berdua turun. Lalu, dia menuju ke halte yang berlawanan dan melihat jadwal. Aku sangat gugup, jadi aku diam-diam memperhatikan punggungnya.
“Bus selanjutnya akan segera tiba, jadi ayo kita tunggu bersama.”
“O-Oke!”
Kalau dipikir-pikir, seharusnya aku berterima kasih karena telah membayar bagianku. Tapi saat itu aku sangat gugup, jadi aku melupakannya. Pada akhirnya, aku tetap diam dan menatap lantai saat jantungku berdegup kencang—
“Kamu seharusnya benar-benar tidak boleh mengikuti orang dewasa yang aneh di mana pun, tapi ini darurat. Maafkan aku.” Laki-laki dewasa itu tiba-tiba berbicara dengan tegang.
Dia mungkin mengira kesunyianku yang terus-menerus karena kecurigaan terhadapnya.
“Ti-Tidak! Itu ... Bukan itu!”
Aku mencoba segera menyangkalnya, tetapi rasa gugupku malah menguatkannya. Tak lama kemudian, laki-laki dewasa itu terus berbicara kepadaku hingga aku tidak merasa canggung lagi. Itu pertimbangannya ... tapi aku sangat malu, aku hanya terus memberikan jawaban saja.
Dengan begitu, waktu berlalu dan kami tiba di halte dekat rumahku.
“Apa kamu baik-baik saja dari sini?”
“Eh? Ah ....”
Itu seperti mantra telah terangkat, menjatuhkanku kembali ke kenyataan.
[ Apa ini ... Perpisahan? ]
Tidak.
[ Aku masih belum mengucapkan terima kasih— ]
Orang sering bilang jika aku memiliki kepribadian lemah lembut, tapi aku tidak pernah merasakannya lebih kuat daripada ini. Karena itu ....
“A-Aku! Aku harus berterima kasih kepadamu! Untuk biaya naik bus!” ucapku tanpa sadar.
“Tidak apa-apa—tidak usah dipikirkan. Selamat tinggal.”
Dia menggelengkan kepalanya seolah-olah menyatakan jika pekerjaannya berakhir di sini.
“Ah ... Tidak ....”
Melihat laki-laki dewasa itu pergi, aku meremas suaraku yang diambang tangis. Masih banyak hal yang ingin kusampaikan kepadanya, tetapi aku belum mengatakan sepatah kata pun dari semua itu kepadanya.
“Ah ... Umm. Kurasa aku akan menerima terima kasihmu?” katanya, dengan sedikit panik melihatku hampir menangis.
“Te-Terima kasih ba-banyak ...!”
Aku berusaha menjawab dengan tergesa-gesa dan tersandung kata-kataku sendiri karena gugup.
Lalu, ia tertawa ... Aku benar-benar sangat malu.
“Te-Terima kasih banyak ....”
Aku Mengulanginya sekali lagi, tersipu malu.
Kali ini aku tidak gagap.
“Sama-sama.”
“I-Iya. Mari ... Sebelah sini.” kataku, menuntunnya ke rumahku.
Satu menit berjalan dari halte bus. Begitu kami sampai, aku membunyikan bel rumah yang tak asing. Ibuku segera keluar.
“Selamat datang ke rumah, Suzune ... Ada apa?” Ibu melihat antara aku dan laki-laki dengan bingung.
“Ibu! Kita ... Kita harus berterima kasih kepadanya! Dia menyelamatkanku, dan ...!”
Karena kewalahan, aku mengeluarkan serakan kata-kata yang membuat Ibu semakin bingung.
“Sebenarnya ....”
Dia menggantikanku untuk menjelaskan situasinya kepada Ibu.
“Ya ampun, kami pasti telah merepotkanmu. Terima kasih banyak.”
Ibu menundukkan kepalanya dalam-dalam dan berterima kasih kepadanya.
“Tidak, aku senang dapat mengantarkannya dengan selamat sampai sini. Kalau begitu aku akan kembali ....”
Laki-laki itu dengan sopan meminta maaf.
“Oh, maukah kamu minum teh dulu sebentar?” Ibu memanggilnya.
[ Bagus, Ibu!— ]
Aku bersukacita dengan tenang di benakku.
“Maafkan aku, tapi aku memiliki jam kerja sekarang. Aku sangat menghargainya. Terima kasih.”
Dia memiliki hal lain setelah ini dan harus segera pergi. Ibu kembali ke rumah sebentar untuk mengambil uang untuk biaya naik bus, lalu mencoba menawarkannya sedikit lagi. Dia mencoba untuk menolaknya dengan penuh hormat, tetapi pada akhirnya ibu menyerahkannya secara paksa. Dia berterima kasih dengan nada meminta maaf lalu pergi.
“Pria yang baik sekali.” ucap Ibu, melihatnya yang tengah berjalan pergi.
“Iya ....”
Bukan hanya itu. Dia juga sangat keren.
“Dan dia sangat keren juga, ya, kan, Suzune?” ucap Ibu, seolah dia sudah membaca pikiranku.
“Iya ... Eh?”
Digantung, aku mengangguk tanpa berpikir.
Aku menatap Ibu dengan panik melihat dia menyeringai ke arahku. Tentu saja, aku pun tersipu kembali.
“Fufufu, kamu harus menjelaskan secara detail apa yang terjadi.”
Tidak ada yang bisa aku sembunyikan dari Ibu jadi aku mulai menjelaskan dari apa yang terjadi di bus.
“Apa kamu mau naik bus mulai sekarang?” kata Ibu setelah aku buru-buru menyelesaikan ceritaku.
“Eh? Bo-Boleh?”
“Tentu. Amakawa Haruto, kan? Akan lebih baik jika kamu bisa lebih dekat dengannya.” katanya, tertawa pada dirinya sendiri bagaimana suaraku naik satu oktaf lebih tinggi ketika aku menjawab.
Satu tahun kemudian, di hari musim panas tertentu ....
Aku menghadiri kelas renang yang diadakan di sekolah saat musim panas. Kelas berakhir saat siang hari dan aku segera pergi ke halte bus.
[ Yay! Dia di sini juga hari ini! ]
Aku naik bus yang mengarah ke rumahku dan melihatnya duduk di dalam, membuatku berorak senang di kepalaku. Kesenanganku hampir membuatku tersenyum lebar, yang saat ini aku berusaha untuk menahannya.
Laki-laki dewasa itu bernama Amakawa Haruto. Mahasiswa universitas keren yang menyelamatkanku setahun yang lalu, ketika aku bingung untuk pulang ke rumah. Dia sering naik bus pada jam seperti ini.
Hanya antara kamu dan aku ...
Alasan aku kenapa memutuskan untuk mengambil kelas renang ketika aku tidak pandai dalam olahraga karena sehabis kelas renang adalah jam di mana aku bisa melihatnya.
Yah, Ibu langsung menyadarinya.
Tapi selain itu, mungkin karena musim panas ...
Bus lebih kosong dari biasanya. Haruto duduk di tempat biasanya—baris keempat dari belakang, di sebelah jendela kiri—dan aku duduk di tempat biasanya, di sebelah jendela baris terakhir.
Sayangnya, aku tidak berbicarra dengannya sejak hari dia menyelamatkanku. Yang paling biasa aku lakukan hanyalah melihat profilnya dari belakang secara diagonal. Aku tahu ini sedikit kasar bagiku, tapi berkat itu, aku belajar banyak hal.
Contohnya: dia suka melihat ke luar jendela, dia sering menghela napas kecil, dan dia selalu berekpresi sedih.
[ Apa dia mengkhawatirkan sesuatu? ]
Aku sangat ingin tahu tentang ceritanya sehingga tanpa aku sadari, aku tertarik padanya. Hari itu, ketika aku terus menatapnya ...
Dia menyadari tatapanku lagi.
Sesekali atau lebih tepatnya, sangat sering hingga akhir-akhir ini—
Dia menyadari jika aku memperhatikannya. Aku merasa dia akan berbalik untuk menatapku, jadi aku menunduk dengan tergas-gesa lalu memalingkan mata.
Kemudian, ketika aku perlahan mengangkat kepalaku lagi untuk mengintipnya, aku melakukan kontak mata dengan gadis sekolah menengah atas yang duduk dua baris di belakang Haruto. Dia adalah gadis yang sangat cantik dan tampak sangat dewasa. Dia dengan cepat berbalik menghadap ke depan, tetapi dia tersenyum diam-diam pada dirinya sendiri, seolah-olah dia telah melihat sesuatu yang lucu. Tapi itu tidak dengan cara jahat ...
Dia memiliki semacam udara lembut tentang dirinya.
Sebenarnya, gadis itu juga sering naik bus pada jam ini. Dan—
Aku mungkin salah, tapi—
Aku merasa jika dia sering melihat Haruto.
[ Apa mungkin gadis itu juga menyukainya? Jika begitu, aku tidak akan kalah darinya—]
Pikirku dalam tekad.
Pada detik itu, bus tiba-tiba menyetak. Aku merasa seperti melayang sejenak, sebelum rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhku. Pandanganku menjadi buram dan aku tidak dapat melihat apa pun di depanku.
Kemudian...
[ Apa ...? ]
Tanpa menyadari apa yang terjadi, aku kehilangan kesadaran.