“Karena kita teman dekat sekarang, bagaimana kalau kita bermain di luar bersama? Apakah tidak apa-apa jika aku memperkenalkan Latifa kepada yang lain, Sara onee-chan?”
Tanya Vera setelah dia puas dengan seberapa mereka bermain bersama.
“Tentu, silakan saja. Tapi ingat kalau ada anak-anak yang tidak mengerti bahasanya, kalian harus membantunya. Mengerti?” Kata Sara, memberikan izin setelah menyatakan satu syarat.
“Tentu saja!” Vera menimpali.
“Baik! Ayo pergi. Aku ingin main kena-kenaan!” tambah Arslan.
Vera dan Arslan mengambil tangan Latifa dan menariknya ke arah pintu masuk. Begitu mereka berada di luar, mereka berlari ke arah Rio, Ursula, dan Orphia yang baru saja kembali dari pelajaran seni roh mereka. Melihat Rio membuat ekspresi Latifa menyala dalam sekejab.
“Ah, Onii-chan! Selamat datang kembali!”
“Wahoo, apakah ini kakak Latifa? Dia sangat keren!” Vera menatap wajah Rio lalu tersenyum.
“Hoho, heboh sekali.” kata Ursula.
“Ah, kepala tetua! Selamat siang.”
“Halo, kepala tetua.”
Arslan mengangguk sopan pada Ursula, Vera mengikutinya.
“Apa kamu ingin bermain di luar, Latifa?” Tanya Rio.
“Yup. Kami ingin bermain di luar. Boleh?” Kata Latifa, sedikit takut.
“Tentu saja boleh. Aku senang. Aku akan membuat makanan malam dan menunggumu, jadi bermain sesukamu. Terima kasih telah memperlakukan Latifa dengan baik, kalian berdua.”
Setelah memberikan izin agar Latifa pergi, Rio menoleh ke Vera dan Arslan.
“Begitu, ya ... Jadi kakak Latifa adalah manusia yang datang dari luar desa. Aku sudah mendengar ceritanya dari Sara onee-chan. Senang bertemu denganmu.”
Vera menyapa Rio dengan sopan, sedangkan Arslan mengangguk gugup.
“Se-Senang bertemu denganmu.”
“Terima kasih. Senang bertemu denganmu juga. Aku harap kalian berteman baik dengan Latifa.”
“Tentu saja!”
“Iya!”
Rio membalas salam itu, yang membuat Vera dan Arslan mengangguk dengan antusias.
“Jika kamu mengizinkannya, Sara dan aku akan menemani mereka.”
“Kami serahkan sisanya padamu, Rio. Orphia.”
Sara dan Alma pergi mengawasi Latifa dan yang lainnya.
“Oke! Kami akan minum teh sejenak lalu menyiapkan makan malam. Selamat bersenang-senang.”
Orphia menatap grup itu pergi bersama Rio dan Ursula.
“Tentu saja. Kami akan segera kembali, Hei! Tunggu! Jangan lari-larian!”
Sara mengejar Latifa dan yang lainnya dengan tergesa-gesa.
“Hohoo ... Mereka sangat bersemangat.” gumam Ursula sambil tersenyum.
Mulut Rio pun terangkat, membentuk bulan sabit, menampilkan senyum damai.
∆∆∆∆
Dan begitulah, beberapa bulan berlalu sejak memulai kehidupan mereka di desa. Banyak hal yang harus dipelajari, hari-hari yang sibuk itu berlalu dengan sangat cepat.
Di suatu hari, setelah Rio dan Latifa terbiasa hidup di desa ....
Rio berada di tengah-tengah pelatihannya bersama Ursula dan Orphia, lalu Latifa datang sambil berlari ke arah mereka dengan kecepatan yang luar biasa.
“Onii-chan!”
Dia tergelincir berhenti sesaat sebelum bertabrakan dengan Rio, lalu menguncinya. Kemudian, dia melingkarkan lengannya di lehernya dan memanjat punggungnya, sampai ia dapat mengintip dari balik bahu Rio.
“A-Ada apa?”
Tanya Rio, sedikit merasa tidak seimbang. Pada saat yang sama, Vera dan Arslan muncul, diikuti oleh Sara.
“Apa yang kamu lakukan, Latifa?”
Rio kembali bertanya kepada Latifa saat mengusap pipinya ke wajah Rio dengan polos.
“Sara tidak memberikanku waktu istirahat. Dia bilang aku tidak bisa bertemu dengan Onii-chan!”
“Jangan bohong, Latifa. Penyataanmu menyesatkan; Aku bilang kamu bisa bertemu dengan Rio setelah kamu selesai belajar. Aku marah karena kamu menyelinap keluar sebelum kamu selesai.” jawab Sara pada kata-kata tidak menyenangkan Latifa secara logis.
Latifa mengembungkan pipinya, cemberut.
“Tapi belajar setiap hari itu membosankan! Aku juga mau belajar spirit art.”
“Kamu masih punya banyak hal yang harus dipelajari. Lagipula, kamu juga sudah mulai belajar spirit art, ‘kan?”
“Tapi aku ingin bersama Onii-chan.”
“Kamu tidak boleh egois begitu.” kata Sara dengan gelengan keras kepalanya.
“Aku tidak mau! Hmph, Sara tukang marah-marah!”
Latifa bergumam pelan. Mulut Sara tenganga kaget.
“Apa ... Latifa! Duduklah di sana!”
“Aku tidak mau!”
“Kuh, anak ini ...”
Tubuh Sara gemetar saat meledek, menjulurkan sedikit lidahnya. Telinga juga ekornya yang imut dan lembut berkedut dengan cara yang mengancam.
“Sa-Sara, tidakkah menurutmu Latifa hanya kesepian?”
Setelah melihat dalam diam sampai sekarang, Orphia dengan cepat masuk untuk menenangkan Sara.
“Itu benar, Sara onee-chan. Latifa hanya ingin melihat kakaknya saja. Dia sudah belajar lebih banyak daripada kita, jadi dia perlu istirahat! Bukankah begitu?”
Vera mencoba untuk berpadu dengan dukungannya, tetapi tiba-tiba ....
Dengan suara kepakkan yang cukup bising, sesosok berbentuk manusia turun dari langit.
“Ada apa? Sepertinya ada keributan di sini ....” itu adalah Werebeast bersayap, Uzuma.
Dia melihat sekeliling ke arah orang-orang yang berkumpul dan melebarkan matanya ketika melihat Ursula dan Rio. Dia segera berlutut di depan mereka.
“Ke-Kepala tetua dan Rio-sama. Selamat siang ....”
“Hum. Lama tidak bertemu.” Ursula mengangguk.
“Ha-Halo, Uzuma-sana.”
Rio mengembalikan salam rakyat roh dengan agak canggung. Itu membuat Uzuma menoleh ke arah Rio dengan sedikit terkagum.
“Kamu sudah belajar bahasa Seirei no Tami?”
“I-Iya, setidaknya itu pada level yang cukup mudah. Aku ... Tapi aku masih belum terbiasa. Aku belajarnya bersama ... Aku belajar bersama Latifa.”
Rio menjawab pertanyaan Uzuma dengan kaku.
“Aku terkejut. Dan, Yah ... Maafkan aku atas apa yang terjadi di masa lalu.”
“ ... Oh, tidak. Aku masih belum terbiasa dengan bahasa Seirei no Tami, jadi izinkan aku menggunakan bahasa Strahl dari sini ... Mengenai apa yang terjadi, aku sudah mendengar jika kamu dimasukkan ke dalam tahanan rumah. Tolong jangan biarkan dirimu terganggu dengan insiden itu lebih jauh lagi. Semua telah aku maafkan.”
Pada awalnya, Rio tidak begitu yakin mengapa dia meminta maaf, jadi dia mengambil waktu sejenak untuk merespons.
“Uzuma, lama tidak bertemu. Kapan tahanan rumahmu berakhir?”
Sara menanyai Uzuma, bergabung dengan pembicaraan.
“Lama tidak bertemu, Sara-san. Itu baru saja berakhir pagi ini.”
“Begitu, ya. Apa kamu akan mulai kembali bekerja hari ini?”
“Tidak, aku masih harus istirahat dari tugas ksatriaku. Hal pertama yang ingin aku lakukan setelah diizinkan keluar adalah meminta maaf kepada Rio-sama ...” kata Uzuma, ekspresinya tertutup rasa bersalah.
Rio tersenyum tegang lalu mengangkat bahunya.
“Tidak usah khawatir.”
“Jadi kamu tidak punya hal lain untuk dikerjakan, Uzuma?”
Menyadari udara canggung antara Rio dan Uzuma, Sara mengganti topik pembicaraan.
“Iya, tidak ada.”
“Begitu, ya ... Kalau begitu, apa kamu ingin tanding? Sudah lama bukan?”
“O-Oh, tentu. Aku tidak keberatan... ”
Uzuma mengangguk pelan.
“Ooh! Uzuma dan Sara bertanding?! Aku ingin melihatnya!”
“Lakukan yang terbaik, onee-chan!”
Mendengar kata ‘Tanding’ membuat Arslan dan Vera melompat kegirangan.
“Siapa yang lebih kuat?”
Tanya Latifa pada kedua temannya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Tentu saja Uzuma.”
“Sara onee-chan, pasti!”
Arslan dan Vera menjawab bersamaan, tapi dengan jawaban yang berbeda.
“Tidak, tidak ... Uzuma adalah kepala ksatria. Sara memang kuat, tapi dia belum bisa mengalahkannya.”
“Itu tidak benar!”
“Kamu hanya mendukung keluargamu, Vera!”
“Grrr!”
Arslan dan Vera bertengkar seperti penonton yang berisik.
“Tapi aku pikir Onii-chanku adalah yang terkuat!”
Latifa menimpali, tidak tahan lagi mendengarkan dengan diam.
“Maaf mengatakan ini tentang Rio, tapi onee-chanku adalah yang terkuat.”
“Uzuma jelas lebih kuat dari yang lainnya!”
Vera dan Arslan segera menjatuhkan pernyataan Latifa, tetapi Latifa menolah untuk menyerah.
“Itu tidak benar. Onii-chan mengalahkan kerumunan setengah naga sendirian!”
“Kerumunan setengah naga, katamu ....”
“Mengesankan seperti biasa.”
Baik Uzuma dan Ursula bergumam kagum. Sara dan Orphia pun memberikan pandangan hormat pada jalan Rio.
“Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Aku masih dalam pelatihan juga.” balas Rio dengan kesederhaan yang tidak nyaman.
“Umm, Rio. Bagaimana kalau bertanding denganku sekali? Aku selalu melihatmu mengayunkan pedang setiap pagi dan malam, jadi aku ingin mencoba bertarung denganmu.” pinta Sara, dengan rendah hati.
“Onii-chan, lakukan yang terbaik!”
“Kamu juga, kak! Ini kesempatan sempurna untuk menunjukkan kepada semua orang siapa yang terkuat!”
Latifa dan Vera bersorak sebelum Rio bahkan dapat berbicara. Jelas, mereka sudah memutuskan pertandingan Rio dan Sara.
Atau lebih tepatnya, mereka hanya senang memiliki alasan keluar dari banyaknya kegiatan belajar mereka.
“Kalau begitu, kita akan memulainya?”
Rio tidak cukup berani untuk mengkhianati harapan murni dari dua gadis muda.
“Iya, silakan!”
Sara mengangguk senang.
Setelah itu, Uzuma naik ke udara dan membawa senjata latihan mereka.
Berita tentang pertandingan mereka sudah menyebar bahkan sebelum mereka menyadarinya. Tak lama kemudian, kerumunan berkumpul, membuat sesi tanding mereka lebih seperti acara kecil-kecilan. Mereka menarik sedotan untuk memutuskan siapa yang lebih dulu bertanding dan hasilnya adalah Rio dan Uzuma.
Setelah mereka memutuskan untuk membatasi spirit art hanya dengan menggunakan peningkatan tubuh, Rio mengambil pedang panjangnya dan berdiri di seberang alun-alun, Uzuma mencengkeram tombak pendeknya dengan erat. Sara akan menjadi wasit mereka.
“Mulai!”
Pertandingan akhirnya dimulai dan Uzuma menyerang Rio bergitu sinyal diberikan. Kekuatan dorongan sayapnya membuatnya melesat kencang seperti panah. Kecepatannya yang luar biasa berhasil menutup jarak dalam satu kedipan mata dan dia melepaskan tusukan tajam ke arah Rio, seolah-olah untuk mengujinya.
Rio dapat melihat serangan Uzuma dengan mudah, menggunakan gerakan minimum untuk menggeser tubuhnya lalu mengindari serangan Uzuma.
“Oooh!”
Para penonton bersorak.
Sementara itu, Uzuma terus melancarkan tusukan tajam berulang kepada Rio, yang menangkis mereka secara efisien dengan gerakan halusnya. Ekspresi terkejut melintas di wajah Uzuma dan dia mengambil posisi rendah lalu menyiapkan tombaknya, bergerak ke depan bersamaan dengan tubuhnya yang dekat dengan tanah lalu membidik dada Rio dari bawah. Rio menerima serangan langsung, tetapi Uzuma berusaha dengan brutal memaksakan tombaknya menembus pertahan Rio. Begitu tubuh Rio terangkat, dia memfokuskan kekuatannya pada tangan lalu maju dengan kuat, mengepakkan sayapnya untuk terbang ke udara.
[ Begitu, ya. Kekuatan gilanya tidak berubah. ]
Pikir Rio saat ia diterbangkan ke udara, terkesan oleh kekuatan fisik Uzuma.
Tentu saja, Rio sudah meningatkan tubuhnya sendiri dengan spirit art, tetapi ada perbedaan antara kekuatan alami manusia dengan Werebeast. Perbedaan itu semakin ditekankan ketika tubuh mereka ditingkatkan dengan spirit.
“Hah!”
Dengan teriakan kuat, Uzuma terbang ke udara lalu memberikan serangan lanjutan kepada Rio. Dia mengincar anggota tubuh Rio di udara, menusuk tombaknya empat kali dalam satu napas dengan presisi.
Rio memutar tangan dan kakinya di sekitar tubuhnya untuk menghindari serangan, yang sangat tipis setipis kertas. Kemudian, sebelum Uzuma menarik tombaknya, Rio meraih batangnya menggunakan tangan kiri lalu menarik ke arahnya.
Rio mengayunkan pedang padanya secara horizontal, mengincar batang tubuh Uzuma. Uzuma segera melepaskan tumbak dari genaggamannya dan terbang ke atas, memposisikan dirinya di luar jangkauan pedang Rio.
Dengan tangan kirinya, Rio menyesuaikan cengkeramannya pada tombak dan mengayunkannya ke arah Uzuma di atasnya, tetapi ujung tombak itu dengan sia-sia memotong ruang kosong. Akan sulit untuk menangkapnya di udara.
Keduanya kembali mendarat di tanah, menjaga jarak, sampai Uzuma menutup jarak sekali lagi. Dengan santai Rio melemparkan tombak ke arah Uzuma.
“Kuh!”
Senjata khusus Uzuma dikembalikan secara sukarela kepadanya sebelum dia bisa mencurinya kembali, memperlambat reaksinya sedikit. Pada waktu dia mengambil dengan buru-buru menangkap tombak, Rio melihat celah dan maju ke depan.
Keadaan berbalik.
Uzuma mencoba mundur untuk mendapatkan kembali keseimbangannya, tetapi Rio terus mendekat hingga ia tidak dapat melarikan diri, sekarang jaraknya sudah sangat dekat hingga ia tidak dapat mengayunkan tombaknya. Dia berkelok-kelok melalui celah pertahanannya dengan tajam, memotong pedangnya.
“Guh ....”
Uzuma berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Terkesima oleh faktor-faktor yang bekerja melawannya, dia hanya nyaris berhasil memblokir serangan Rio, tidak memiliki waktu untuk menyerang. Jika Rio menggunakan pedang sungguhan, dia pasti sudah tertutupi oleh luka yang tak terhitung jumlahnya.
Rio memberikan dorongan saat Uzuma berhasil mengambil posisinya dengan kekuatan besar, mengayunkan pedangnya dalam serangan terkuatnya. Tombak itu diterbangkan, menyebabkan Uzuma tersandung mundur dari posisinya. Dia melompat mengejar tombak, menangkapnya di udara.
“ ... Aku mengakui jika kemampuanmu layak menjadi seorang ksatria. Tampaknya aku harus menganggap ini serius.”
Aura Uzuma tiba-tiba berubah saat dia mendarat di tanah.
Rasa dingin merambat di punggung Rio. Itu seperti menatap mata binatang yang kelaparan.
Detik berikutnya, Uzuma menutup jarak antara mereka dan mengarahkan tusukan keras ke tubuh Rio. Tekanan mencekik membuat Rio melangkah ke samping segera. Namun, pada saat yang sama, dia bisa merasakan kehadiran yang buruk mengapitnya, jadi dia mengambil langkah mundur.
Beberapa saat kemudian, tombak Uzuma menusuk tempat Rio berpijak sebelumnya dengan suara udara yang terkoyak.
“Heh, kamu dapat menghindarinya. Mari kita lihat apakah kamu bisa menghindarinya kali ini!”
Uzuma berkata dengan gembira saat dia dengan kuat melangkah maju dan mengayunkan tombaknya dengan sekuat tenaga.
[ Berat sekali! ]
Rio mencoba untuk menerima serangan itu dengan pedangnya, tetapi dia dapat merasakan perbedaan kekuatan mereka dan mengharuskannya melompat ke belakang untuk meniadakan kekuatan tombak.
“Bukankah ini terlalu berlebihan hanya untuk latih tanding biasa?”
Kata Rio dengan senyum kecut, tetapi dia juga bersenang-senang.
“Kamu harus memaafkanku! Aku belum pernah bertemu dengan musuh yang layak beberapa bulan terakhir!”
Teriak Uzuma dengan senyum ganas.
Tampaknya seolah-olah Uzuma sedikit pecandu pertempuran ...
Pikiran itu membuat sudut mulut Rio meringkuk samar. Dia jelas bukan orang yang bisa bicara. Memang bagus melakukan pertarungan sederhana dan langsung seperti ini kadang-kadang, di mana tidak ada lawan yang terlalu memikirkan hal-hal.
Paling tidak, Rio bisa merasakan dirinya menjadi panas karena bisa berdebat dengan seseorang yang bisa dia hadapi dengan sekuat tenaga.
Sementara dia tidak kalah dalam hal kemampuan, sebagai Werebeast, Uzuma jauh memimpin dalam hal kemampuan fisik. Pada tingkat ini, pertarungan akan menjadi berat sebelah.
Mau tidak mau Rio harus mengikuti permainannya.
Dengan keputusan itu, Rio melepaskan sejumlah besar Ode dari dalam tubuhnya. Kemudian, dia memadatkannya dan menuangkan semuanya ke dalam peningkatan fisiknya. Dalam menggunakan peningkatan fisik melalui spirit art, kemampuan fisik ditingkatkan secara proporsional dengan lapisan Ode yang terselubung di sekitar tubuh, jadi jika kekuatan dasarnya lebih rendah dari Werebeast, yang harus ia lakukan adalah memperkuat peningkatan seni rohnya ...
Setidaknya itulah yang dipikirkan Rio.
“Mm ... Ode yang sangat padat.”
Mata Ursula melebar saat melihatnya. Sara dan Orphia, yang mengawasi di sampingnya. Penduduk desa yang berkumpul karena penasaran berada dalam kondisi yang sama.
Jawaban yang diajukan Rio itu sederhana, tetapi bukan sesuatu yang bisa dilakukan siapa pun. Bahkan jika sebagian besar Ode dilepaskan, mengendalikannya adalah masalah yang benar-benar berbeda. Kondensasi sejumlah besar Ode untuk menyelubungi tubuh membutuhkan keterampilan pengendalian yang besar; tidak heran jika penonton terkejut.
“Sepertinya kamu juga tidak menganggap ini serius.” kata Uzuma sambil tersenyum.
“Tidak, aku sudah serius. Meskipun aku belum menggunakan kekuatan penuhku.”
“Begitu, ya. Tetapi, kamu masih terlihat jauh dari batasmu ...”
Uzuma mendekati Rio sambil berbicara, mengayunkan tombaknya.
“Tidak, aku juga cukup kesulitan di sini.”
Rio menerima serangan langsung. Kali ini, dia tidak dalam pertarungan kekuasaan.
“Tapi kamu bisa mengatakan itu dengan wajah datar seperti itu? Ha!”
Uzuma mendorong tombaknya ke depan dengan liar, tetapi Rio menggerakkan tangannya dengan cepat untuk mencegat setiap gerakan.
Senjata mereka beradu berkali-kali, jika mereka menggunakan senjata logam, percikan api pasti berterbangan di udara. Pertukaran pukulan mereka tampaknya merupakan kontes yang dekat, tetapi Uzuma perlahan-lahan didorong mundur. Sementara Rio tidak bergerak satu langkah pun, Uzuma telah bergerak untuk menyerang dari semua sudut. Akhirnya, napas Uzuma menjadi pendek.
“Luar biasa. Tidak peduli bagaimana aku menyerangmu, aku tidak merasa dapat mendaratkan pukulan sama sekali!”
Kata Uzuma dengan gembira dan dalam upaya keras kepala untuk membuat Rio bergerak, mendorong tombaknya dari sudut yang lebih rendah, menempatkan semua kekuatannya dalam satu dorongan. Rio mengambil setengah langkah ke samping dan menghindarinya dengan elegan.
Kemudian, dia melancarkan serangan balasan berupa irisan berayun pada Uzuma. Pedangnya di arahkan tepat pada tubuhnya, berhenti tepat sebelum melakukan kontak langsung.
Menilai bahwa hantaman itu adalah pukulan yang pastinya dia tidak bisa mengelak ...
“Aku mengaku kalah. Maafkan aku, aku menjadi terbawa suasana.”
Secara singkat, ekspresinya berubah menjadi frustrasi, tetap dia menerima kekalahan dengan tenang dan membungkuk sopan.
“Tidak, aku juga bersenang-senang. Aku ingin bertanding sekali lagi suatu hari nanti.”
“Iya, aku sangat menantikan saat itu tiba!”
Rio menawarkan tangannya, yang langsung diraih oleh Uzuma.
Tampaknya mereka sampai pada pemahaman. Udara canggung yang muncul dari sebelum pertandingan menghilang, meninggalkan ekspresi santai pada keduanya. Para penonton dari pertempuran sengit mereka menyaksikan dengan takjub tercengang.
Sementara itu, Latifa membusungkan dadanya yang sederhana dengan bangga.
“Lihat? Arslan? Vera? Aku sudah bilang! Onii-chan adalah yang terkuat!”
“Be-Benar. Rio benar-benar luar biasa.”
Arslan menjawab kata-kata Latifa dengan ekspresi bingung.
“Onee-chanku belum bertarung! Kakakku sangat kuat!”
Meskipun terguncang, Vera membual demi kakaknya dengan sekuat tenaga dan menatap Sara dengan mata penuh harap.
[ Ve-Vera, jangan menaikkan harapan mereka! Aku bahkan belum pernah menang melawan Uzuma sekali pun! ]
Ketika dia berada di ujung penerima harapan murni adik perempuannya, Sara bekeringat deras.
∆∆∆∆
Beberapa hari setelah pertandingan antara Rio, Uzuma, dan Sara ....
Setiap pagi, di saat yang lain masih tertidur, Rio dan Sara melakukan tanding kecil. Setelah dia merasakan kekalahan oleh Rio, Sara meminta Rio untuk melatihnya.
“Gerakanmu semakin tumpul. Apa kamu ingin istirahat?”
“A-Aku baik-baik ... Saja ...! Aku ingin setidaknya mendaratkan satu serangan!”
Tidak seperti napas tenang Rio, Sara terengah-engah. Nada suaranya juga sedikit lebih kasar dari biasanya. Bahkan kemudian, dia memegang pisau kayunya lalu menyerang Rio.
“Semua ksatria di desa memiliki kemampuan fisik yang luar biasa, tetapi gerakan mereka tidak efisien. Hal yang sama juga berlaku untukmu, Sara. Kamu banyak melakukan gerakan yang tidak perlu.”
Rio menghindari serangan Sara sambil memberikan saran.
Mungkin itu karena isolasi mereka jauh di dalam hutan, hidup damai di antara jenis mereka sendiri, jadi gaya pertempuran ksatria desa sepenuhnya khusus menghadapi makhluk-makhluk dari dunia luar.
Karena mereka tidak akan pernah bertarung di antara mereka sendiri, latihan yang mereka dapat dari bertarung dengan orang lain seperti mereka adalah melalui pertandingan latihan.
Terlebih, karena kemampuan fisik individual mereka sangat maju, itu tidak mengharuskan mereka mengasah kemampuan bertarung mereka melawan orang lain. Karena itu ketika datang saat di mana mereka bertarung, gaya mereka hanya bermodalkan kegigihan dan keberanian, untuk membuatnya terdengar lebih baik ...
Ceroboh dan bodoh, untuk terus terang. Daripada memikat lawan untuk menurunkan pertahanan mereka, mengubah kecepatan serangan mereka untuk mengguncang lawan, atau mengandalkan gerakan teknis, mereka lebih memilih bertarung dengan kekuatan dan kecepatan yang sederhana.
Preferensi itu juga berlaku untuk Sara.
“A-Aku tahu itu!” Kata Sara, menerjang, menusuk Rio dengan ayunan besar.
Rio meraih tangannya dengan mudah, membuatnya terjatuh dan melemparkannya ke samping. Sara membalik di udara dan mendarat di tanah.
“Untuk seorang yang tenang, kamu ternyata sangat kompetitif.” kata Rio dengan senyum kecil.
Tiba-tiba—
“Selamat pagi, kalian berdua. Apa aku boleh bergabung denganmu, Rio?”
“Pagi! Aku juga ingin melakukannya!”
“Aku akan memeriksa formulir yang aku ajarkan padamu kemarin, jadi ayo perlahan-lahan pelajari gerakannya.”
Mereka semua menuangkan keringat mereka ke dalam pelatihan sampai Orphia selesai menyiapkan sarapan dan datang untuk memanggil mereka.
∆∆∆∆
Setelah latihan pagi mereka, Rio dan yang lainnya duduk di kursi geladak dan makan sandwich yang disiapkan Orphia untuk sarapan.
“Ugh ... Aku tidak bisa mendaratkan satu pun serangan ke Rio ... Ah, ini lezat.” gumam Sara dengan kepala menunduk rendah, mengunyah sandwichnya dengan sedih.
Telinga serigalanya terkulai sedikit lebih dari biasanya.
“Sara dikalahkan dengan sangat luar biasa.” kata Alma, membuat telinga serigala Sara mengibaskan sebagai balasan.
“A-Alma, kamu bukan orang yang bisa bicara begitu! Kamu berada di posisi yang sama denganku.”
“Tapi aku tidak sembrono sepertimu.”
“Ugh ....”
Sara tidak berada di posisi untuk keberatan, karena Rio berkali-kali melakukan pengamatan serupa.
“Aku suka pendekatan langsung Sara. Kita akan berusaha untuk memperbaiki kebiasaannya yang sembrono dan membuat gerakan yang sama berulang-ulang.”
Rio tersenyum tipis dari tempatnya duduk, menawarkan kata-kata penyemangat. Sara terkejut sekejap.
“B-Baik ... Tolong.”
Dia melihat ke bawah, pipinya merona karena malu. Mengambil sandwich dengan kedua tangannya, dia mengunyah dengan mulut kecilnya.
“Sara, wajahmu merah.” kata Alma, manatap wajah Sara dengan jahil dari sampingnya.
Sara terkejut.
“A-apa—Itu tidak benar!”
“Kamu tahu, kan, bukan ‘Suka’ itu yang dia maksud!”
Bisik Alma di telinga Sara, cukup pelan yang tidak akan bisa di dengar oleh Rio dari tempat duduknya di seberang meja.
“Te-Tentu saja bukan?! A-apa yang kamu maksudkan?!” Pipi Sara semakin memerah.
“Fufu, apa yang kamu bicarakan, Sara?”
Tanya Orphia dengan senyum menggoda, dia duduk di seberang meja, di sebelah Rio.
“Or-Orphia, kamu kan Elf! Kamu pasti dapat mendengarnya dengan jelas, kan?!”
“Fufu, siapa yang tahu? Ya, kan, Rio? Latifa?” Kata Orphia, menatap mereka, menanti tanggapan.
Rio tidak dapat mendengar percakapan mereka saat itu, jadi dia memiringkan kepalanya dengan bingung. Tapi Latifa, yang duduk di antara Rio dan Sara di sisi lain meja, membuka mulutnya.
“Kamu tahu, Sara sebenarnya—“
“La-Latifa!”
Sara berdiri dengan panik, menutupi mulut Latifa dengan tangan.
“Mmph!”
“Bu-Bukan apa-apa, Rio! Sama sekali bukan apa-apa!”
Rio mengangguk, kewalahan oleh tatapan Sara yang mengancam.
“Ba-Baiklah. Tapi Latifa terlihat kesakitan, jadi tolong lepaskan dia.” kata Rio, tersenyum kecut.
Atas perintah Rio, Sara buru-buru melepaskan tangannya dari mulut Latifa dan meminta maaf.
"M-Maaf."
“Ya ampun!”
Latifa menggembungkan pipinya karena marah.
Orphia dan Almamaaftawa di tempat kejadian. Rio juga tertawa pelan, dan Latifa mulai tertawa dengan tawa bernada tinggi juga.
Sara adalah satu-satunya yang memerah.
“Oh, iya. Rio, apa kamu tahu tentang Festival Roh Agung yang akan dilaksakan dua bulan lagi?”
Tiba-tiba Orphia berbicara setelah tertawa sejenak.
“Iya, aku pernah mendengarnya.”
“Tentang itu ... Baru-baru ini, masakanmu dipuji oleh para anggota dewan desa.”
“Sungguh?” Mata Rio terbuka lebar. Itu pertama kalinya dia mendengar hal itu.
“Iya. Aku sebelumnya membuat makan siang untuk dewan tetua menggunakan resep yang aku pelajari darimu. Sepertinya mereka sangat menyukainya.”
“Begitu, ya. Tapi apa hubungannya dengan Festival Roh Agung?”
“Ada perjamuan yang diadakan setelah Festival Roh Agung, jadi aku berpikir membuat beberapa makanan dari resepmu. Jadi, Rio ... Aku tahu ini sedikit merepotkanmu, tapi bagaimana jika kamu mempertimbangkan untuk mengajarkan resepmu pada para gadis di desa?”
“Tentu, aku tidak keberatan. Dengan senang hati aku akan membantu.” Rio menyetujuinya.
“Terima kasih banyak! Kalau begitu aku akan membuat kelas masak dalam waktu dekat. Aku akan mengabari detailnya di kemudian hari.”
Ekspresi Orphia cerah karena gembira, senyumnya seperti bunga yang mekar.
∆∆∆∆
Makanan dari semua sudut benua Euphelia dibudidayakan di desa Seirei no Tami. Seirei no Tami sendiri pernah tersebar di seluruh dunia, sebelum dianiaya oleh manusia dan dipaksa bermigrasi ke desa dari waktu ke waktu.
Sebagai bagian dari migrasi, mereka membawa makanan dari berbagai daerah, menghasilkan kondisi pertanian saat ini.
Seirei no Tami memiliki teknologi pertanian canggih, dan Dryas, sang roh pohon raksasa, mengawasi hutan besar; tanahnya yang subur adalah surga bagi kehidupan tanaman. Ini memungkinkan tanaman untuk tumbuh di bawah kondisi terbaik.
Desa itu benar-benar surga makanan.
Rio memanfaatkan berkat itu sejak ia mulai tinggal di desa, menggunakan pengetahuannya dari kehidupan sebelumnya untuk dengan susah payah menciptakan makanan dari setiap daerah, baik itu Jepang, Barat, atau China.
Terlebih, Orphia lah yang sangat antusias memasak dibandingkan gadis-gadis lainnya, dia sedang belajar bagaimana membuat makanan tradisional Seirei no Tami. Dia sangat tertarik dengan jenis makanan yang bisa dibuat Rio dan mereka menghabiskan waktu bersama untuk saling mengajari resep mereka masing-masing.
Jadi, di sini, di rumah Rio dan yang lainnya tinggal, makanan dari Bumi dan Seirei no Tami dihidangkan setiap harinya. Kadang-kadang, mereka mengundang Ursula dan kepala tetua lainnya untuk mencicipi masakan Rio. Akhirnya, desas desus mulai menyebar dan Orphia berakhir memberikan makanan para dewan Tetua menggunakan resep yang ia pelajari dari Rio.
Balasannya sangat menguntungkan dan hasilnya, semuanya ingin Rio mengadakan kelas memasak. Rio menerima permintaan mereka dan diputuskan jika ia akan mengajarkan resepnya kepada para gadis desa.
Sebagian besar peserta adalah gadis yang lebih muda; meskipun spesies mereka memiliki rentang hidup lebih lama (mereka berkembang pada tingkat yang sama dengan manusia hingga pertengahan remaja mereka, dari mana penuaan mereka melambat secara dramatis), penampilan mereka tidak cukup sesuai dengan usia mereka yang sebenarnya. Ada lebih dari lima puluh dari mereka yang hadir.
Pada saat itu, aroma yang menggugah selera menghambur dari ruang persiapan makanan di balai kota, yang dipenuhi dengan suara-suara ceria dari para gadis wanita yang mengenakan celemek. Meskipun sudah setuju dengan semua ini, ada jauh lebih banyak peserta daripada yang dia harapkan, yang membuat Rio merasa canggung sebagai satu-satunya pria di ruangan itu.
Selain itu, Rio tidak bisa mundur setelah menerimanya, jadi dia menggunakan topeng tanggung jawab dan mengabdikan dirinya untuk memainkan peran sebagai guru.
Setelah membagikan lembar resep ke masing-masing kelompok, dia melakukan setiap langkah persiapan sambil memberikan saran tentang cara menangani bahan-bahan dan seberapa besar api yang harus dinyalakan.
Selanjutnya, masing-masing kelompok akan menyiapkan makanan mereka sendiri, mengikuti resep dan langkah-langkah Rio yang baru saja mereka amati. Rio dan Orphia sebagai asistennya, berpisah dan berjalan di sekitar meja masing-masing kelompok, melihat murid-murid mereka yang sedang bekerja.
Begitu mereka mulai memasak, kelompok-kelompok mulai mengajukan pertanyaan dan hambatan, jadi dia juga akan membantu masalah itu.
Dia melihat satu kelompok seperti itu sekarang.
“Sara, Alma, bukankah saus tomat ini sedikit terlalu asam?”
Tanya Latifa, menjilati sendok teh saus yang telah dia ambil.
“Mm, itu benar ....”
“Rasa asamnya terlalu kuat.”
Ekspresi Alma dan Sara mendung begitu mereka mencicip saus.
“Bleh, yang dibuat Rio jauh lebih lebih lembut.”
Vera juga menjilat sausnya, sebelum menggerakkan telinga dan ekornya. Saat itulah Rio muncul.
“Biarkan mendidih di api kecil untuk sementara waktu dan tahan di atas air. Setelah mendidih, tambahkan air untuk menyesuaikan ketebalan. Pastikan untuk sering mencicipinya. Jika tidak membaik, tambahkan kaldu dan didihkan lebih lama.”
Sarannya setelah mencicip saus dengan sendok teh.
“Begitu, ya ... Jadi masih belum cukup matang.”
“Lagipulan tomat kehilangan keasamannya saat mereka dipanaskan. Itu mengurangi rasa dan memunculkan rasa manis. Juga, jika kamu menambahkan terlalu banyak kaldu, kamu akan kehilangan rasa saus tomatnya, jadi pastikan untuk menambahkannya sedikit saja.”
Rio menambahan penjelasannya sedikit, membuat Alma mengangguk mengerti. Latifa dan Vera mengobrol dengan ribut di samping mereka.
“Ehehe, kita bisa makan telur dadar keju dan ayam yang direbus dengan saus tomat. Ayo kita tukar dengan mereka nanti.”
“Ooh, aku tidak sabar menunggu!”
Kelas memasak berlanjut dengan lancar setelah itu. Setelah beberapa waktu, hidangan yang lengkap mulai muncul di antara kelompok.
“Baiklah, aku yakin semuanya sudah lapar sekarang, jadi ayo pindahkan hidangan yang sudah siap ke ruang makan dan sajikan sebelum dingin. Satu-satunya hal yang tersisa setelah makan adalah bersih-bersih, jadi silakan luangkan waktumu.”
Atas perintah Rio, kelompok-kelompok dengan hidangan mereka mulai pindah ke ruang makan. Kelompok-kelompok dengan gadis yang lebih berpengalaman lebih dulu selesai, meninggalkan kelompok-kelompok yang sebagian besar terdiri dari gadis-gadis muda. Namun, mereka tampaknya tidak terlalu ketinggalan. Rio berjalan mengitari meja sambil membersihkan apa yang dia bisa, lalu mengambil semua bahan sisa. Tanpa perlu asisten lagi, ia mengirim Orphia untuk bergabung dengan kelompok Latifa, lalu mengambil kesempatan untuk membuat makanan untuk dirinya sendiri.
Dia melemparkan mentega dan bawang ke wajan, menambahkan beberapa paha ayam cincang halus lalu menumisnya. Setelah bawang menjadi transparan, ia menambahkan saus tomat dan mencampurnya. Kemudian, dia menambahkan sisa nasi mentega lalu menggorengnya sampai longgar dan tidak lengket. Nasi ayam selesai dalam waktu singkat.
Selanjutnya, dengan beberapa gerakan cepat dan berani, namun tepat, Rio memindahkan wajan di tangannya dan membuat telur dadar. Dia menempatkan telur dadar yang telah matang di atas nasi ayam dan memotong bagian tengahnya, menambahkan sedikit saus tomat di atasnya untuk sentuhan akhir. Dengan itu, telur dada yang tebal dan halus itu selesai.
Dengan beberapa bahan yang tersisa, dia memutuskan untuk membuat Omurice dan menyelesaikannya tepat ketika dua kelompok terakhir membungkus masakan mereka. Salah satunya adalah kelompok Latifa, yang datang berlari.
“Onii-chan, ayo makan bersama!”
“Sara dan lainnya makan dengan kelompok lain, kan? Aku tidak apa-apa, jadi kamu makan bersama mereka saja.” jawab Rio dengan ekspresi bermasalah ke arah senyum Latifa yang riang.
Kelompok lain terdiri dari gadis-gadis yang tidak pernah berinteraksi dengan Rio sebelumnya, jadi dia pikir yang terbaik adalah menghindari keterlibatan sebagai orang luar.
“Eeeh ... Apa yang akan kamu lakukan, Onii-chan?”
“Aku akan makan sendiri.”
“Tidak, aku ingin makan bersama Onii-chan!”
Latifa membuat ulah.
Seorang gadis manusia kucing yang namanya tidak diketahuinya memanggil dari samping.
“Itu benar. Ayo makan bersama, Rio ... Kumohon?”
“Umm, kamu yakin?”
“Tentu saja! Kamu sudah tinggal di desa hampir setengah tahun, tapi kamu hanya bergaul dengan kelompok Sara-san. Aku juga selalu ingin berbicara denganmu. Bukan begitu, semuanya?”
Kata manusia kucing tersebut, menatap kelompoknya di belakang. Sekelompok gadis tiba-tiba terbentuk di belakangnya, mengangguk dengan antusias. Semua orang tampak berusia pertengahan remaja; mungkin lebih tua dari Rio.
“Aku mengerti. Aku senang kalau begitu.”
Tidak dapat menolak tawaran mereka, Rio menerima tawaran untuk makan bersama kelompok Sara dan gadis-gadis yang lebih tua. Mereka semua pindah ke ruang makan, melapisi hidangan lengkap mereka di sepanjang meja.
Semua hidangan berlalu dalam hal penampilan. Aroma yang menggugah selera melayang di udara, tapi tatapan para gadis itu tidak melihat hidangan mereka sendiri, tetapi lebih fokus pada Omurice yang dibuat Rio.
“Nee, Rio. Hidangan apa ini? Kami tidak pernah berlatih membuatnya.”
Gadis manusia kucing tersebut bertanya dengan penasaran.
“Ini Omurice!”
Latifa menjawab atas nama Rio. Omurice adalah favoritnya.
“Apakah ini salah satu resep yang ada di Strahl juga?”
“Iya, meskipun namanya bervariasi setiap daerah.”
Rio berbohong, melirik Latifa.
“Kalau Latifa menyebutnya Omurice. Aku membuatnya cukup banyak, jadi silakan dicicipi.”
Latifa membuat suara ucapan samar-samar sebelum memberikan senyum canggung. Rio menghela nafas kecil dan mengalihkan pandangan darinya.
“Yay. Terima kasih, Rio!”
Gadis manusia kucing tersebut tiba-tiba memeluk erat tangan Rio. Semua orang yang hadir memandang dengan mata melebar.
“A-Anya, bagaimana kalau kita mulai makan sekarang? Makanannya keburu dingin.” kata Sara sedikit panik.
Gadis manusia kucing itu rupanya bernama Anya.
“Yup, aku tidak ingin semua makanan ini sia-sia. Ayo makan.”
Anya dengan senang hati meninggalkan lengan Rio dengan anggukan. Dia mengambil kepemimpinan dan mulai membagikan piring makanan. Rio tersenyum tegang. Dia memiliki kesan bahwa dia adalah tipe orang yang aneh dan tanpa hambatan.
“Aku akan melayani bagianmu, Onii-chan!”
Latifa meraih bagian Rio sebelum dia bisa bergerak.
“Memiliki adik perempuan yang setia dan imut pasti luar biasa, Rio." Kata Anya sambil tersenyum.
“Iya, benar. Dia terlalu imut untukku.” Rio menyetujui tanpa malu-malu.
“Ehehe, satu-satunya anak laki-laki yang menyebutku imut hanya Onii-chan.” Latifa merespons dengan malu-malu.
Akhirnya, makanan dibagi merata antara semua orang dan mereka akhirnya mulai makan.
“Fuwawah! Omurice ini sangat lezar!”
Vera mencicipi Omurice Rio dan memberikan pendapat yang agak berlebihan.
“Benar, kan? Sudah kubilang masakan Onii-chan sangat lezat!” Kata Latifa.
“Yup! Tidak mengejutkan, mengingat itu Rio!”
“Terima kasih, kalian berdua.”
Rio mengucapkan terima kasih kepada Latifa dan Vera karena memuji keterampilan memasaknya.
“Yup, yup. Rio benar-benar persis seperti yang dijelaskan Sara-san dan yang lainnya.” kata Anya, nengangguk dengan tulus.
“Seperti apa mereka menjelaskannya, kalau aku boleh tahu? Aku sedikit penasaran.” tanya Rio.
“Oh, yah ... Kamu sopan, kamu baik, kamu keren, kamu kuat, kamu sangat pintar karena dapat belajar bahasa kami dengan cepat, dan kamu juga sangat pandai dengan spirit art. Itu semua pujian, sungguh!” Anya menjawab dengan jelas.
“A-Anya!”
Sara, Orphia, dan Alma semuanya memerah karena malu; Sara, khususnya, tidak bisa berkata-kata. Memiliki citra Rio yang terbuka seperti ini pasti membuat mereka merasa malu.
“Ahaha. Aku senang mendengarnya, meskipun itu hanya sanjungan.”
Rio menafsirkan kata-kata Anya sebagai sanjungan dan menepisnya.
“Tidak, Rio, itu bukan hanya sanjungan.”
Tampaknya Anya sedikit jengkel.
Suasana semarak berlanjut setelah itu, memungkinkan Rio untuk memperdalam hubungannya dengan para gadis melalui obrolan biasa.