Blessing of the Spirits – Chapter 5 : 「Salah Paham」

 

Sara dan Seirei no Tami lainnya membawa Rio dan Latifa yang tak sadarkan diri kembali ke desa mereka. Rio ditahan dengan artefak sihir dan dibawa ke sel penjara yang jarang digunakan di balai desa, sementara kelompok Sara membawa Latifa ke kamar tamu di gedung yang sama.

 

Seorang Tetua manusia rubah menunggu mereka di ruangan itu untuk mendengar laporan mereka tentang kejadian. Sebagai perwakilan dari kelompok tersebut, Sara menjelaskan situasinya kepada Tetua terlebih dahulu.

 

“ ... Hmm. Tidakkah kamu berpikir sedikit berlebihan, Uzuma sayang?”

 

Tetua itu menatap Uzuma dengan dingin setelah mendengar laporan itu.

 

“Ta-Tapi itu adalah situasi darurat ....”

 

“Yah, mungkin itu memang benar ... Namun, anak ini ... aku tidak pernah melihatnya di sekitar sini dan aku tidak mengingat gadis kecil secantik ini.”

 

“Iya. Sehubungan dengan itu, kami menemukan persediaan di tenda mereka yang kami yakini sebagai perlengkapan perjalanan milik gadis ini. Mungkin saja dia memang bukan salah satu dari penduduk desa ...”

 

Sara menjelaskan dari samping dengan wajah pucat.

 

“Orphia. Alma. Bawa  anak laki-laki yang ditangkap ke sini segera.”

 

Ekspresi wajah Tetua berubah seketika dan dia memberi perintah dengan nada agak dingin.

 

Orphia dan Alma dengan patuh mematuhi perintah Tetua dan bergegas keluar ruangan.

 

Latifa membuka matanya tak lama setelah itu.

 

∆∆∆∆

 

Latifa membuka mata lalu mendapati dirinya berada di kamar yang tak dikenalnya. Dia berada di atas kasur yang nyaman dan lembut, di bawah selimut yang hangat. Dibandingkan saat berkemah di luar, ini sangat jauh lebih nyaman. Tetapi—

 

“ ... Onii-chan?” gumam Latifa, melihat sekitar dengan liar.

 

Orang yang berharga baginya tidak ada di sana, di mana seharusnya dia berada. Sebaliknya, dia dikelilingi oleh orang asing: Manusia serigala perak Sara, Werebeast bersayap Uzuma, dan manusia rubah—

Seperti seperti Latifa—

Yang lebih tua. Mereka bertiga duduk di kursi saling berhadapan, bercakap-cakap dengan ekspresi yang saling bertentangan di wajah mereka yang segera terhenti ketika mereka menyadari bahwa Latifa sudah bangun.

 

“Hmm, sepertinya kamu sudah sadar. Selamat pagi, saudaraku. Bagaimana keadaanmu?”

 

Tetua manusia rubah tersenyum, berbicara menggunakan bahasa Seirei no Tami. Namun, Latifa tidak mengerti satu kata pun.

 

“ ... Apa yang kamu katakan? Onii-chan ... Di mana Onii-chan?”

 

Dia memiringkan kepalanya dan berbicara dengan bahasa umum di Strahl. Ekspresi sedih jatuh di wajah Sara dan Tetua.

 

“Bahasa manusia. Tetua Ursula, gadis ini benar-benar ....”

 

“Sepertinya begitu. Gadis ini bukan dari desa ini.” 

 

Sara dan Tetua berbicara satu sama lain dengan yakin.

 

Latifa, di sisi lain, tidak mengerti apa yang mereka berdua katakan dan dengan hati-hati melihat ke sekeliling ruangan. Dia mengedutkan hidungnya, dalam diam mengenduskan aroma Rio untuk menemukannya.

 

Tiba-tiba, hidung Latifa menangkap aroma samarnya.

 

[ Tidak salah lagi, ini aroma Onii-chan ]

 

Karena sudah tidak tahan lagi, Latifa melompat dari tempat tidur dan berlari.

 

“Ah, hei! Berhenti!”

 

Pegantian peristiwa membuat Sara telah mengambil keputusan, memungkinkan Sara untuk menyelinap dan masuk ke lorong.

 

“Augendae Corporis!”

 

Setelah sampai di lorong, dia melantunkan satu-satunya mantra sihir yang dapat ia gunakan. Tubuhnya langsung menjadi ringan, kekuatan mengalir dalam tubuhnya sambil berlari ke sumber aroma Rio. Sara dan Uzuma mengejarnya.

 

“Humm. Sepertinnya ini semakin memburuk.” gumam Ursula, ekspresinya semakin gelap.

 

∆∆∆∆

 

Beberapa saat sebelumnya, sebelum Latifa membuka matanya ....

 

Rio tersadar kembali di ranjang kumuh di kamar yang tidak dikenalnya. Pikirannya kabur, bertanya-tanya ada di mana dia sekarang; tubuhnya terasa lamban, seolah-olah dia masuk angin. Dalam upaya untuk menilai situasinya, dia bergerak untuk duduk di tempat tidur, ketika rasa sakit yang tajam tiba-tiba menusuk daerah perutnya.

 

Menerima kekalahannya, dia menyerah dan jatuh kembali.

 

Dia menggerakkan tangannya ke perutnya untuk mengobati dirinya sendiri dengan sihir, lalu dia menyadari ada belenggu yang menahan tangannya.

 

[ Ini ... Rantai Penyegelan yang diperkuat, ya. Mereka bahkan cukup hati-hati dengan mengikat leher dan kakiku. ]

 

Rio menggertakkan giginya. Rantai Penyegelan yang Diperkuat adalah artefak yang mengekang esensi sihir pemakainya. Biasanya, sudah cukup memasang satu saja, tapi mereka bisa rusak tergantung pada kemampuan pemakainya. Karena itu, penyihir kelas atas akan dibuat memakai lebih dari satu rantai.

 

[ Untuk mengelola esensi sihir saja sulit, apalagi menyembuhkan diri sendiri. Sial ....]

 

Rio mengerutkan kening sambil menatap langit-langit. Cahaya bulan yang redup dan angin bertiup masuk dari jendela besi di sudut ruangan.

 

Pada suatu titik, mereka telah melepas perlengkapan dan pakaiannya; Rio hanya mengenakan pakaian tipis. Suhu ruangan itu sendiri kurang dari sepuluh derajat ...

Dia hampir dipastikan masuk angin.

 

Dia lebih suka bergerak sedikit dan menghangatkan dirinya sebanyak mungkin, tetapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Rio mengalami rasa sakit yang menusuk di perutnya dan fokus pada pemulihan secara alami.

 

Lalu, beberapa saat kemudian ....

 

Rasa dingin di kulitnya sudah melewati batasnya, membuat perasaan yang tidak menyenangkan datang. Akhirnya, pikirannya mulai tertidur dalam kegelapan. Rio tahu jika tidur tidak menyelesaikan masalah, tetapi dia tidak menemukan kekuatan lain untuk tetap membuka matanya.

 

Lalu, beberapa menit setelah Rio sepenuhnya kehilangan kesadaran, dia menemukan dirinya di dalam ruang putih. Dia tidak tahu tengah berada di mana, atau apa yang terjadi.

 

“Haruto ...” suara yang jelas nan indah terdengar.

 

Rio menatap sekitar dengan heran. Sebelum dia menyadarinya, gadis yang tak dikenal berdiri di hadapannya.

 

Rambut panjang keemasan berkibar di belakangnya sambil menatap wajah Rio dengan mata seperti batu delima. Tidak ada emosi dalam ekspresinya, tetapi wajahnya sangat halus.

 

“Kamu ...” gumam Rio.

 

Dia merasa seperti telah melihat wajahnya entah di mana, namun apakah dia benar-benar lupa akan wajah seseorang yang sangat cantik, wajah yang memancarkan aura ilahi seperti itu?

 

“Kamu siapa?”

 

“Aku? Siapa aku ... Aku juga ingin tahu.”

 

Gadis itu memiringkan kepalanya ke samping.”

 

“Kamu tidak tahu?” tanya Rio.

 

“Iya ...” gadis itu mengangguk sedih.

 

“Tapi kamu tahu siapa aku, kan?”

 

“Haruto? Haruto ... Haruto ... Adalah Haruto.”

 

“Itu tidak terlalu memberikan banyak jawaban. Oke, kalau begitu dari mana kamu tahu aku?”

 

Jawabannya yang agak filosofis namun berlebihan membuat Rio tersenyum tegang dan mengubah garis pertanyaannya. Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Rio dengan lembut dan, setelah berdetak, meremas tangannya.

 

Rasanya sangat alami baginya untuk melakukan itu ...

Rio hanya berdiri di sana dan mengulurkan tangannya seperti yang diinginkannya.

Tangannya terasa sangat tidak nyata, hampir kehilangan daya hidup—

Namun pada saat yang sama, itu terasa hangat.

 

“Aku ... Terhubung dengan Haruto.”

 

“Terhubung denganku?”

 

Rio tidak mengerti apa yang gadis itu katakan.

 

“Iya. Tapi sekarang bukan saatnya ... Haruto, aku hanya milikmu dan aku akan selalu berada di sisimu. Kelemahanmu, kekuatanmu, segalanya tentangmu. Aku akan menerima semuanya. Jadi jangan menyerah. Jangan takut. Dan percayalah pada dirimu sendiri.”

 

“Ke .. Kenapa ...?”

 

Ekspresi tecengang datang ke wajah Rio; dia nyaris tidak bisa menemukan suaranya. Gadis itu tersenyum seolah-olah telah mendapatkan kembali sebagian emosinya yang hilang.

 

“Karena kamu satu-satunya yang tersisa untukku ... Untuk ... Untuk apa?” katanya, berkedip dengan ekspresi sedikit kebingungan.

 

Lalu, gadis itu melebarkan matanya sambil menghela napas menyadari sosoknya mulai memudar.

 

“ ... Maaf. Sepertinya ... Waktuku habis.”

 

“Waktu?” tanya Rio pada gadis tersebut, tapi dia tidak menjawabnya.

 

“Maaf. Aku hanya bisa ... Melakukan ini ... Untukmu. Mimpi yang ... Indah ....”

 

Dia memeluk Rio dengan lembut. Matanya dengan lamban berusaha untuk tetap terbuka, seolah-olah kesadarannya memudar. Rio juga mengikutinya ke dalam kegelapan itu segera.

 

Kemudian, tak lama setelah itu, suara lain muncul—

 

“Haru-kun.”

 

Dia pikir dia mendengar suara yang dikenalnya. Seorang gadis. Rio tahu suara gadis ini ...

Tidak, Amakawa Haruto tahu suara gadis ini. Kenangan yang dengan susah payah ia coba sembunyikan sejak lama datang dengan cepat kembali kepadanya, seolah-olah itu baru terjadi kemarin.

 

“Bangun, Haru-kun!”

 

Teman masa kecil Haruto—

Ayase Miharu—

Mengguncang bahunya.

 

“ ... Aku bangun.”

 

“Ah! Akhirnya Haru-kun bangun!”

 

Haruto mengedipkan matanya beberapa kali pada kilau cahaya untuk melihat yang tersenyum padanya. Senyum Miharu ...

Hanya dengan melihat itu saja sudah membuat Haruto senang, mengisi hatinya dengan kehangatan.

 

“Ada apa ...? Aku masih sangat mengantuk.”

 

Dia melirik jam. Sekarang masih sangat pagi.

 

“Jangan begitu! Hari ini kita mau Darmawisata, kan! Kamu harus bangun pagi!”

 

[ Darmawisata? Kenapa kita jalan-jalan di usia ini? Tunggu, itu benar! Hari ini darmawisata pertama di kelas satu ]

 

Haruto membuka matanya saat mengingatnya. Namun setelah beberapa saat meragu ....

 

“Hmm. Selamat malam, Mii-chan.” kata Haruto, bersembunyi di balik selimutnya, meski sudah lebih dari terbangun sekarang.

 

Dia sebenarnya sangat menantikan darmawisata—

Karena itu dia tidak bisa tidur nyenyak semalam. Tapi karena suatu alasan, dia ingin menghabiskan waktunya hanya dengan Miharu. Namun, Miharu sendiri juga sangat menantikan darmawisata, jadi dia merengek seperti anak kecil yang barang berharga diambil darinya.

 

“Ka-Kamu tidak boleh melakukan itu! Kita sudah janji duduk bersebelahan di bus dan pergi bersama!”

 

[ Oh, itu memang sangat menarik ]

 

Pikir Rio, tetapi tidak membuatnya meninggalkan selimut. Ingin melihat reaksi Miharu, dia sedikit menggodanya kembali.

 

“Ayolah, Haru-kun, bangun. Aku mohon?” Miharu mengguncang Haruto dengan lembut.

 

“Mmph ...”

 

Haruto menggeurut sebagai balasan. Kemudian, di suatu tempat di samping tempat tidur, Miharu mulai gelisah dengan sesuatu.

 

[ Kurasa aku harus bangun sekarang. ]

 

Pikir Haruto, tetapi saat dia ingin melakukannya—

 

“Duh! Aku pasti akan membangunkanmu!” Kata Miharu, melompat di atas selimutnya.

 

“Whoa, eh?! Tunggu! Sebentar, Mii-chan! Aku menyerah! Aku akan bangun!”

 

Haruto muncul kembali dari selimutnya dengan tergesa-gesa lalu menemukan Miharu tersenyum puas padanya.

 

“Fufu! Selamat pagi, Haru-kun.”

 

Jujur saja, keimutan itu tidak adil ... Namun Haruto tidak akan membiarkannya begitu saja.

 

“Sini!”

 

Haruto dengan nakal menyeret Miharu ke selimut bersamanya.

 

“W-Wah! Haru-kun!”

 

Miharu tersipu malu karena dipeluk begitu erat olehnya di bawah selimut.

 

“Apa kamu ingin aku lepas?”

 

Haruto bertanya dengan malas. Miharu ada di depannya. Itu sudah cukup untuk membuatnya sangat bahagia.

 

“Uugh ... Ada apa, Haru-kun? Hari ini kamu sangat berani.”

 

“Itu karea aku mencintai Mii-chan. Gimana? Apa kamu ingin aku lepas?”

 

Dia benar-benar berani hari ini, Haruto berpikir tanpa ekspresi ketika dia berbicara.

 

“Ka-Kamu jahat, Haru-kun. Tidak mungkin aku ingin kamu melepaskannya.”

 

Miharu tersipu lebih jauh lagi sambil bergumam.

 

“Sungguh ... Kalau begitu tidak apa-apa jika kita tetap seperti ini sedikit lebih lama?”

 

[ Setidaknya, hanya untuk sekarang. ]

 

Pikir Haruto sambil memeluk Miharu.

 

Untuk sesaat, rasanya seolah-olah Miharu akan melayang di suatu tempat yang jauh ...

 

Haruto terus mengganggu Miharu untuk mengalihkan dirinya dari kekhawatiran.

 

“Ya.”

 

Miharu mengangguk dengan senyum kecil.

 

Haruto dengan lembut menyapu helaian rambut Miharu, lalu dengan lembut membelai pipinya.

 

... Tapi tangannya tiba-tiba menolak untuk bergerak, seolah-olah mereka telah dikendalikan oleh sesuatu.

 

Sebelum dia menyadarinya, kehangatan Miharu menghilang.

 

“Tolong bangun.”

 

Haruto—

Tidak, Rio—

Kembali ke dunia nyata, terbangun karena suara seseorang. Itu suara yang tak dikenalnya, terdengar seperti gadis muda, tapi jelas bukan Miharu.

 

[ Biarkan aku tidur, aku ingin melihat mimpi itu lebih lama ...  ]

 

Rio sangat mengharapkan itu dari lubuk hatinya. Tetapi, kesadarannya tidak akan membiarkan itu sekarang karena dia sudah bangun.

 

“Um, tolong bangun.”

 

Rio terbangun dengan kedipan. Kemudian, ekspresinya segera berubah menjadi salah satu kehancuran. Tentu saja, karena bukan Miharu di sisinya—

Melain gadis Elf Orphia dan gadis Dwarf Alma.

 

[ Apa tadi itu ... Mimpi? ] 

 

Pikir Rio karena rasa lelah yang berlebih dan demam.

 

Perasaan kehilangan yang tak terlukiskan mengiris hatinya, membuat air mata terjatuh dari matanya secara tiba-tiba.

 

Amakawa Haruto sudah mati dan dia tidak akan pernah bertemu dengan Miharu lagi. Karena itu dia melakukan yang terbaik untuk tidak mengingat Miharu. Pikiran dan perasannya sekarang mengalir keluar bersama dengan air matanya.

 

Rio masih memiliki perasaan penyesalan terhadap Miharu di dalam dirinya, mimpinya barusan menekankan hal itu dengan sangat tajam. Namun, meskipun dengan kesadaran itu, Miharu tidak ada di dunia ini.

 

Kenyataan sangatlah kejam.

 

“Erm ... Selamat pagi.” kata Orphia, ragu-ragu saat Rio dengan sedih menitikkan air matanya.

 

“Selamat ... Pagi ...” jawab Rio secara reflek, tetapi tidak melihat Orphia maupun Alma sama sekali.

 

Dia menggigit bibirnya untuk menahan emosinya.

 

Tiba-tiba, sepertinya seseorang memasangkan selimut di tubuhnya. Mereka mungkin tidak tahan melihat seorang anak seumuran mereka hanya mengenakan pakaian tipis, meskipun bukan dari jenis mereka. 

 

[ Yah, siapa yang peduli tentang itu. ]

 

Pikir Rio dengan tidak sopan.

 

Keheningan canggung jauh di rungan itu—

Lebih tepatnya pada Orphia dan Alma. Saat itulah pintu terbuka dengan keras.

 

“Onii-chan!”

 

Latifa muncul di pintu. Beberapa saat kemudian, Sara dan Uzuma pun masuk. Segera setelah Latifa memasuki ruangan, dia menangis dan memeluk Rio.

 

“ ... Kenapa kamu menangis, Latifa?”

 

“Karena kamu tidak ada, Onii-chan. Aku tidak ingin itu ... jangan tinggalkan aku. Tetap bersamaku, kumohon?”

 

“Aku ada di sini, bukan?” kata Rio, dengan suara dan senyum lembut.

 

Melihat Latifa menangis entah mengapa membuatnya menjadi sedikit tenang, perasaan emosianal sebelumnya menghilang.

 

“Kalau begitu apa kamu akan selalu bersamaku? Kamu tidak akan pernah pergi, kan?” Tanya Latifa, memeluk Rio lebih erat lagi.

 

“Bisakah kamu memelukku sedikit lebih lembut? Itu sakit.” kata Rio dengan wajah gelisah, menghindari pertanyaan itu.

 

Dia tidak dapat menjawab Iya. Jika dia melakukannya, mungkin itu akan menjadi kebohongan. Rasanya sedikit memalukan berbohong secara langsung ke seorang gadis kecil yang mengaguminya.

 

“Eh, kamu sakit? Kenapa—Apa ini?!”

 

Latifa akhirnya menyadari borgol di sekitar tangan dan kaki Rio. Dia mencoba membongkar mereka dengan paksa, tetapi itu sia-sia.

 

“Tidak usah khawatir. Apa mereka melakukan sesuatu yang buruk padamu, Latifa?”

 

“Iya. Mereka menyakiti Onii-chanku.” jawab Latifa segera, membuat Rio berkedip dengan ekspresi kosong.

 

“Kalau begitu semuanya baik-baik saja.” Kata Rio yang tertawa kecil.

 

“Nuh-Uh! Itu tidak benar. Siapa yang melakukan ini padamu?”

 

Latifa menggelengkapan kepalanya dengan marah saat air mata masih menggenang di kelopak matanya. Lalu, dia melihat ke sekitar dan menatap Sara, Orphia, Alma, dan Uzuma—

Empat orang yang kemungkinan memiliki jawaban yang dia inginkan. Dia melirik dengan curiga, dalam diam meminta mereka untuk menjelaskan apa yang terjadi.

 

“U-Umm ....”

 

Tidak yakin harus mulai dari mana, wajah Sara memucat saat dia membuka mulut. Tiga lainnya memakai ekspresi yang sama.

 

Tiba-tiba—

 

“Ya ampun, bisakah kalian berjalan lebih pelan? Aku akhirnya sampai.”

 

Ursula akhirnya tiba. Begitu dia melihat Latifa menempel pada Rio, dia menundukkan kepalanya dan menghela nafas.

 

“Memang benar. Anak manusia, terimalah permintaan maafku. Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang gadis itu. Apa kamu mau bekerja sama dengan kami? Tentu saja kami akan memilih tempat yang lebih baik untuk berbicara.”

 

“Siapa yang peduli dengan itu! Apa kamu salah satu yang melakukan ini pada Onii-chan? Jawab aku.”

 

Sebelum Rio dapat menjawab pertanyaan Ursula, Latifa memotong dan mengajukan permintaan yang sangat tidak bersahabat.

 

“Itu benar ... Hm?! Ini ... Aura membunuh yang tajam.”

 

Saat Ursula mengkonfirmasi tuduhan Latifa, Latifa mengambil sikap protektif atas Rio. Matanya setajam anjing penjaga, memelototi penghuni ruangan.

 

“Kamu melakukan hal kejam pada Onii-chan. Aku tidak akan memaafkanmu.”

 

Sebelum mereka mengetahuinya, udara tebal yang mengintimidasi menembus ruang redup. Itu diarahkan ke semua orang di ruangan itu. Semua orang kecuali Rio. Kelompok Sara semuanya menegang sekaligus, berkeringat gugup.

 

Manusia bersayap, Uzuma, melangkah maju dan mengambil efek penuh dari tatapan tajam Latifa.

 

“Hentikan, Uzuma.”

 

“Kamu juga, Latifa. Aku senang kamu merasa seperti itu, tapi hentikan. Aku baik-baik saja, jadi dengarkan apa yang ingin mereka katakan.”

 

Ursula dan Rio turun tangan, tidak ingin situasi menjadi tidak terkendali.

 

“Jika Onii-chan mengatakan begitu, maka ...”

 

Latifa dengan enggan mundur.

 

“Terima kasih. Sebelum kita pindah, izinkan aku untuk melepaskan borgol itu. Di mana kuncinya, Uzuma?”

 

“ ... Aku memberikannya pada Lady Sara.” jawab Uzuma dengan suara kaku.

 

“Kalau begitu, Sara. Lepaskan borgol itu segera.”

 

“Ba-baik! ... Permisi.”

 

Sara mengangguk, berlari ke arah Rio dengan tergesa-gesa. Borgol di leher, tangan, dan kakinya dilepas satu persatu.

 

“Terima kasih banyak.”

 

“Ti-Tidak! Kitalah yang seharusnya meminta maaf kepadamu! Terimalah permintaan maaf kami yang paling dalam!”

 

Sara menundukkan kepalanya dengan bingung setelah Rio berterima kasih kepadanya.

 

“Kalau begitu, mari kita segera pindah. Ikuti aku.”

 

“Tentu saja ... Tapi bisakah anda memberikanku sedikit waktu? Aku ingin menyembuhkan diri terlebih dulu.”

 

Saat Rio hendak berdiri dan mengikuti Ursula, rasa sakit yang tajam menusuk perutnya. Wajahnya memilin kesakitan sambil meminta izin untuk menyembuhkan diri.

 

“Hm? Apa mereka menyakitimu? Itu tidak bisa dimaafkan. Biarkan aku menyembuhkanmu segera.” jawab Ursula, menatap dingin ke arah Sara dan yang lainnya.

 

“Tidak, Aku bisa melakukannya sendiri. Kumohon, tidak usah merepotkan diri anda untuk hal ini.” tolak Rio dan mulai menyembuhkan dirinya.

 

“Itu ... Spirit Art. Begitu, ya, jadi kamu orang dari Yagumo. Sangat tidak biasa ....”

 

“Jadi ini adalah spirit art?” gumam Ursula untuk pemahamannya, membuat Rio mengajukan pertanyaan.

 

Dia lebih dari sadar bahwa dia menggunakan kemampuan yang tidak biasa yang mirip, namun tidak seperti sihir. Dia telah mencoba untuk meneliti identitasnya di perpustakaan akademi kerajaan dan sebagai hasilnya, dia telah menemukan sebuah buku tentang teknik yang mirip bernama “Spirit Art”.

 

Namun, tidak ada rincian selain namanya dan penelitiannya berhenti tanpa menerima kejelasan lain tentang kemampuannya.

 

“Dari kelihatannya, kamu tampaknya tidak terlalu mengerti tentang spirit art. Dari mana kamu mempelajarinya?”

 

“Tiba-Tiba aku dapat menggunakannya pada suatu hari.”

 

“ ... Apa?”

 

Kebenaran jujur Rio membuat mata Ursula melebar.

 

“Apa itu tidak biasa?”

 

“Hum. Manusia memiliki bakat yang lebih kecil terhadap spirit art dibandingkan dengan Seirei no Tami ... Untuk mempelajarinya dalam satu hari itu mustahil. Setidaknya, dalam keadaan normal. Jangan bilang ...” kata Ursula, sebelum menatap Rio dengan penuh arti.

 

“Apa ada masalah?”

 

“Tidak, tidak ada masalah ... Itu seharusnya tidak mungkin. Jika mungkin, aku ingin mendegar lebih banyak tentang itu. Aku berjanji akan menjawab segala pertanyaanmu tentang kami.”

 

“Baiklah. Juga, aku akan sangat menghargai jika anda meminjamkan sesuatu untuk aku kenakan.” ucap Rio, melirik sekilas tubuhnya yang berpakaian sangat tipis di bawah selimut.

 

Ursula menghela napas dalam-dalam.

 

“ ... Aku minta maaf sekali lagi. Mereka akan segera membawakannya segera. Bawakan obat juga, karena kemungkinan kamu sudah sakit. Orphia, Alma. Siapkan semua itu, sekarang.”

 

“Ba-Baik!”

 

Orphia dan Alma mengangguk serempak dan bergegas keluar dari ruangan.

 

∆∆∆∆

 

Setelah Rio berganti, pindah kamar, dan memperkenalkan diri, dia menjelaskan alasan dia bersama Latifa. Dia menjelaskan jika ia sedang melakukan perjalanan dari Strahl ke Yagumo, lalu dia diserang oleh Latifa, seorang budak yang dikendalikan oleh Kerah Kepatuhan dan Latifa memutuskan untuk mengikutinya setelah Rio membebaskannya, dan seterusnya.

 

Latifa—

Satu-satunya yang bisa membuktikan cerita tersebut—

Mungkin karena lelah dan bosan dengan obrolan ringan, ia tertidur di pangkuan Rio saat Rio sendiri masih menjelaskan. Namun, keterikatannya dengan Rio adalah bukti terbesar yang bisa mereka tawarkan.

 

Ketika diskusi berlangsung, Rio menjelaskan alasan mengapa mereka menginjakkan kaki ke hutan besar yang memiliki desas desus dihuni oleh Seirei no Tami.

 

Yaitu, fakta jika ia ingin Seirei no Tami merawat werebeast—

Latifa dan melindunginya.

 

“Uzuma.  Karena tindakan tergesa-gesamu, kamu telah melakukan penghinaan terbesar pada dermawan yang berusaha melindungi salah satu dari kita. Apa kamu ada sesuatu untuk dikatakan?”

 

Setelah mendengarkan keseluruhan cerita, Ursula berbalik menatap Uzuma dengan tatapan tajam.

 

“Umm ... Ketika aku mendengar Latifa-san dibuat tidur dengan seni roh, aku mengira manusia itu ... Pasti menculiknya dan aku langsung menyerangnya karena emosi.”

 

Uzuma menjelaskan sisi ceritanya dengan wajah gusar, berkeringat deras.

 

“Dari apa yag aku dengar, kamu menyerangkan saat dia masih berada di tengah-tengah negosiasi tanpa mendengarkan apa yang dikatakan Rio-sama. Kenapa kamu tidak menunggu sampai dia selesai berbicara?”

 

“Ak-Aku terlalu terbawa emosi saat itu ... Dan ada kemungkinan penculikkan, jadi aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk dan segera menyelamatkan Latifa-san ...”

 

Uzuma meringkuk ketika dia berbicara, menyusut kembali dalam ketakutan.

 

Mengingat betapa mendesakkanya situasi ini, tindakan Uzuma tidak dapat dihapuskan sepenuhnya. Siapa pun akan melompat ke kesimpulan penculikan jika mereka bertemu dengan orang asing bersenjata masuk tanpa izin di wilayah mereka, dengan seorang gadis muda dari spesies mereka sendiri dibuat tidur 

 

Selain itu, ada bahaya Latifa digunakan sebagai sandera jika mereka bergerak terlalu lambat ...

Dan jika Rio benar-benar penculik, itu akan lebih dari mungkin.

 

Tetapi bukan berarti karena Uzuma tidak melakukan hal yang sepenuhnya salah dia telah melakukan hal yang benar. Realitas tidak memiliki solusi yang jelas seperti rumus numerik.

 

“To-Tolong maafkan aku, Kepala Tetua! Aku akan menerima hukuman yang diberikan kepadaku jika perlu!”

 

Tidak dapat menahan tekanan di ruangan dan rasa bersalahnya sendiri, Uzuma akhirnya retak dan berbalik untuk meminta maaf.

 

“Hmph. Tidakkah kamu berpikir kamu keliru dengan siapa seharusnya kamu meminta maaf?”

 

“Rio-sama! Aku benar-benar minta maaf ....”

 

Uzuma tiba-tiba berlutut di tanah, menempatkan dahinya di lantai.

 

Dengan kata lain, Dogeza.

 

[ Jadi Seirei no Tami juga memiliki budaya Dogeza ... ]

 

Mata Rio sedikit kaget saat itu.

 

Sementara dia tidak yakin apakah tindakannya memiliki bobot yang sama dengan dogeza di Jepang, niat meminta maafnya jelas.

 

“Mo-Mohon terima permintaan maafku juga. Rio-sama, aku benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi!”

 

Mengikuti Uzuma, Sara, Orphia, dan Alma semua berlutut hampir bersamaan.

 

“ ... Aku akan berbohong jika aku mengatakan tidak terganggu, tapi aku menerima permintaan maafmu. Aku juga mungkin kurang memiliki pertimbangan saat aku melangkah ke wilayah kalian tanpa pikir panjang.”

 

Merasa tak nyaman melihat seorang gadis seusianya dan yang lebih tua menundukkan kepalanya, Rio memutuskan untuk menerima permintaan maaf mereka dan menyelesaikan masalah. Itu bukan ide yang baik untuk merusak hubungan mereka mulai dari sekarang..

 

“Rio-sama, tolong terima permintaan maafku juga.. Aku berjanji Uzuma akan bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Gadis-gadis di sana juga akan menghadapi omelan dariku.” kata Ursula, membuat Sara dan lainnya terdiam.

 

“Baik, aku mengerti. Jadi kumohon, semuanya, angkat kepala kalian. aku akan bingung jika kalian tetap seperti ini.” kata Rio dengan senyum yang dipaksakan di saat yang lainnya masih membungkuk di lantai.

 

“Rio-sama. Para tetua desa akan berkumpul besok pagi dan akan menawarkan permintaan maaf resmi. Kamu pasti lelah malam ini. Tolong istirahatlah bersama Latifa-san di ruangan ini.” usul Ursula sambil melirik gadis-gadis yang perlahan-lahan bangkit berdiri.

 

“Kalau begitu aku dengan senang hati menerima tawaran itu.”

 

“Bagus. Aku juga akan menyiapkan orang untukmu juga. Jadi tidak usah ragu untuk memberitahu kami jika memerlukan sesuatu.”

 

“Tidak, tidak ada. Terima kasih atas pertimbangan anda.”

 

“Tentu saja. Sekarang, aku harus menyiapkan beberapa rencana, jadi aku izin meninggalkan ruangan. Ayo ikut, kalian.”

 

Gadis-gadis itu semua mengikuti Ursula keluar dari kamar.

 

Dalam perjalanan keluar, Uzuma dan ketiga gadis itu membungkuk dalam-dalam, mendorong Rio untuk dengan ringan menganggukkan kepalanya kepada mereka.

 

Tepat sebelum dia meninggalkan ruangan, Ursula mengirim Latifa tatapan penuh kasih sayang. Kemudian, Rio menggeser Latifa dari pangkuannya ke tempat tidur, sebelum berbaring di sebelahnya.

 

∆∆∆∆

 

Tak lama setelah Rio tidur ....

 

Para tetua desa berkumpul di ruang dewan lantai paling atas balai desa mereka.

 

“ ... Dan itulah ringkasan umum kejadian ini. Aku percaya akan sangat pantas menawarkan Rio-sama permintaan maaf resmi dan hadiah untuk menunjukkan rasa terima kasih kita karena telah menyelamatkan Latifa-san dan melindunginya. Apa ada keberatan?”

 

Setelah Ursula menjelaskan peristiwa yang terjadi, dia melihat sekitar pada para tetua lain dari tempatnya duduk. Ada dua tetua lain di ruangan itu, duduk di sebelah kiri Ursula. Mereka mengenakan ekspresi yang bertentangan.

 

“Aku tidak percaya akan ada yang menolak permintaan maaf dan hadiah. Tapi, karena kita tidak tahu bagaimana budaya manusia, mungkin akan sedikit tidak cocok. Apa yang harus kita minta maaf dan berterima kasih padanya adalah masalah lain yang harus dipertimbangkan.” kata kepala tetua Elf. Seorang lelaki tua yang duduk di tengah tiga kursi bersama Ursula

 

Karena mereka semua spesies yang berbeda dari manusia sepenuhnya, ada perbedaan signifikan dalam hal nilai-nilai fundamental mereka. Pada kenyataannya, perbedaan nilai itulah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari manusia selama ini. Itulah sebabnya mereka ingin menghindari mengungkapkan rasa terima kasih mereka dengan cara yang salah dan menyebabkan semacam ketidaksenangan.

 

“Kalau begitu kenapa kita tidak tanya pada anak itu sendiri? Kita akan memberikan apapun yang dia inginkan, selama itu masih dalam batas kemampuan kita.”

 

Kepala tetua dwarf menyarankan dari tempat dia duduk di sebelah kanan.

 

“Tidakkah menurutmu itu terlalu sombong, Dominic?” kata seorang elf laki-laki.

 

Dia menatap dwarf, Dominic, di sampingnya.

 

Yang dimaksud Dominic adalah memberikan cek kosong pada Rio untuk menulis apa yang diinginkannya. Tetapi jika itu adalah jumlah yang mereka tidak mampu, mereka akan berada dalam masalah dengan tampil lebih kasar dan tidak bersyukur terhadapnya.

 

Ruangan itu menjadi sunyi.

 

“Meski begitu, kita tidak bisa mengekspresikan rasa terima kasih kita hanya dengan kata-kata. Kita sudah berhutang banyak Kepada Lord Rio, selagi kita sendiri memperlakukan dia dengan tidak hormat. Aku percaya apa yang dikatakan Dominic dapat diterima.” kata Ursula, memandangi tetua lainnya.

 

Elf tua itu mengangguk dengan anggun.

 

"Yah ... Kurasa."

 

Para tetua lainnya di ruangan tersebut pun menyuarakan persetujuan mereka. Semua orang yang hadir mengakui bahwa memang benar untuk membayar kembali Rio dalam beberapa bentuk atau lainnya, tetapi alasan mengapa mereka begitu waspada terhadapnya sebagian besar disebabkan oleh prasangka mereka tentang manusia.

 

Terdapat masalah antara spesies mereka yang mengakar dalam sejarah mereka, ini adalah satu hal yang tak dapat dihindari.

 

“Ya ... Hindari manusia dengan segala cara. Aku mengerti mengapa kalian merasa waspada, tapi dia sudah cukup baik dengan menyelamatkan salah satu saudara kita dan menuntunnya sampai ke kita dari wilayah Strahl. Dari apa yang aku dengar, kita membalas budi dengan perilaku buruk. Dia bukanlah tipe anak nakal yang menuntut agar kita menawarkan budak ... Benarkan, Ursula?”

 

“Benar, aku dapat menjamin itu. Dia adalah anak yang penuh kasih sayang dan rasional." kata Ursula tegas pada pertanyaan Dominic.

 

“Jadi bagaimana dengan itu, Syldora?”

 

“ ... Baiklah. Apa ada yang keberatan?”

 

Kepala tetua elf Syldora mengangguk dan memandangi Tetua lainnya, tidak ada yang melangkah maju dan proposal itu disetujui.

 

“Kalau begitu untuk menunjukkan rasa terima kasih kita, kita akan menggunakan ide dari Dominic. Apakah ada orang lain yang punya poin lain untuk diajukan?”

 

“Hmm. Kalau begitu bolehkan aku menambahkan sesuatu?”

 

Ursula mengangkat tangannya.

 

“Tentu saja. Kamulah yang paling terlibat dengan masalah ini di luar dewan tetua.”

 

Syldora menyambutnya dengan angukkan.

 

“Aku ingin membahas tentang topik Latifa-san. Meskipun aku tidak sepenuhnya  yakin, aku yakin karena dia dibesarkan sebagai budak memberikan apa yang aku anggap kerapuhan mental. Kerapuhan itu telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk ketergantungan kepada Rio-sama. Jika kita ingin menerimanya dalam komunitas kita, kita juga harus meminta Rio-sama untuk tinggal di desa juga, setidaknya sampai dia tenang.”

 

“Ah ... Dalam hal itu, persiapan diperlukan untuk menyiapkan penginapan dan pengasuh. Kita juga akan menjelaskan kepada penduduk desa ... Dan tentu saja jika mendapat persetujuan anak itu.”

 

Dominic menggaruk kepalanya karena kata-kata Ursula; Syldora dan Ursula membuka mulut mereka tanpa henti.

 

“Kita bisa menyerahkan pengasuhan kepada gadis kuil yang sedang dalam masa pelatihan. Untungnya, mereka sudah bertemu dengannya. Itu juga bisa menjadi bayaran karena telah mengganggu pelindung saudara kita.”

 

“Hm. Sehubung dengan penginapan, aku punya rumah kosong. Mereka bisa tinggal di sana. Aku menawarkan diri untuk menjadi wali mereka sementara itu.”

 

Dan begitulah, diskusi berjalan lancar, sampai ....

 

“Hei. Apa kalian punya waktu?”

 

Suara indah menggema dengan jelas di seluruh ruang dewan. Tiba-tiba, seorang wanita muncul di tempat yang kosong. Dia merupakan wanita yang sangat cantik dan mengenakan gaun yang dihiasi pola bunga yang indah.

 

Rambut hijaunya cukup panjang untuk menyentuh lantai dan mata berwarna zamrudnya berkilau memancarkan keanggunan. Wajahnya begitu indah, hampir tampak tanpa kehidupan, namun ia juga memancarkan aura hangat di sekitarnya.

 

“Ya-Yang Mulia ....”

 

Begitu mereka melihat dia, semua tetua di ruangan itu langsung berlutut sekaligus.

 

“Yang Mulia Dryas-sama, Festival Roh Agung masih agak lama. Apa yang membuat anda datang hari ini?” tanya Ursula dengan hormat.

 

“Iya, aku memikirkan sesuatu. Jadi aku datang untuk bertanya kepada kalian tentang itu.”

 

“Begitu, ya. Bagaimana kami dapat membantu anda?”

 

“Baru saja, aku merasakan roh yang asing di area ini. Tampaknya kelas yang cukup tinggi, tapi segera menghilang. Aku hampir yakin jika itu adalah roh kontrak seseorang, tapi aku tidak tahu siapa. Apa ada yang tahu?”

 

Tanya Dryas, melihat ke sekeliling ruang dewan.

 

“ ... Iya, itu benar.” jawab Ursula.

 

“Oh, benarkah? Di mana itu?”

 

“Aku percaya dia sedang beristirahat dengan anak yang dikontraknya saat ini. Kami berencana membawanya ke ruangan ini besok pagi. Apa yang ingin anda lakukan, Yang Mulia?”

 

Jawaban Ursula membuat Tetua lainnya membuka mata karena terkejut. Satu-satunya anak laki-laki yang dia maksud adalah Rio.

 

“Eh ... Jadi dia akan berada di ruangan ini? Lalu apa aku boleh duduk di sini juga?”

 

“Tentu saja, Yang Mulia. Namun, anak tersebut sebenarnya adalah manusia ....”

 

“Ara ... Sangat jarang. Manusia mengunjungi desa ini?”

 

Dryas sedikit terkejut mendengarnya.

 

“Iya, ada keadaan khusus yang terlibat ...”

 

Ursula ragu, ia memasang ekspresi bermasalah.

 

“Hmm. Yah, itu bukan urusanku. Aku akan datang lagi besok. Sampai jumpa.”

 

“Baik, Yang Mulia.” jawab Ursula dengan hormat.

 

Pada saat yang sama, wujud Dryas menghilang menjadi debu, Dia benar-benar roh yang riang, muncul dan menghilang sesuka hatinya.

 

“ ... Dan begitulah. Aku tidak menyangkan beliau akan muncul seperti itu. Itu buruk untuk jantungku ...”

 

Ursula menghela napas dengan lelah. Para tetua lainnya menunjukkan reaksi yang sama.

 

“Gahaha! Bagaimanapun, beliau adalah roh tingkat tinggi yang hebat. Kita jarang bertemu dengannya selain di acara festival roh agung. Ayo kita anggap ini sebagai keberuntungan.” kata Dominic.

 

“Itu mungkin benar ... Tapi, Ursula, apa yang kamu bicarakan sebelumnya? Apa itu benar?”

 

Syldora setuju dengan kata-kata Dominic sebelum menyipitkan matanya pada Ursula.

 

“Hm. Kata-kata Yang Mulia Dryas-sama baru saja menguatkan teoriku. Rio-sama telah membuat kontrak dengan roh. Meskipun aku sedikit khawatir dia tidak menyadarinya.”

 

“Begitu, ya ... Satu demi satu ... Aku tidak pernah membayangkan semua ini. Malam ini benar-benar sangat penting.” kata Syldora, menempelkan senyum tegang di wajahnya.

 

“Benar sekali. Yang paling penting dalam hidupku.”

 

Dominic mengangguk setuju.

 

∆∆∆∆

 

Pagi berikutnya, Rio terbangun lalu mendapati Latifa tidur di tangannya. Kemarin dia merasakan gejala pilek, tapi sekarang dia sudah sehat dan itu semua berkat obat Elf yang diberikan Ursula padanya. Saat dia membelai rambut Latifa saat tidur nyenyaknya, ketukan bergema dari pintu.

 

“Iya? Aku sudah bangun.”

 

Rio mengambil posisi duduk dan membalas, lalu melihat pintu kamar terbuka perlahan. Di sana berdiri tiga gadis, manusia serigala perak Sara, gadis Elf Orphia, dan Dwarf Alma.

 

“Selamat pagi, Rio-sama.”

 

Mereka bertiga berseru sebelum membungkuk serempak.

 

“Selamat pagi. Apa ada masalah?”

 

Rio menundukkan kepalanya untuk membalas salam mereka sebelum meminta mereka bertiga memasuki ruangan.

 

“Persiapan untuk sarapan sudah siap, jadi kami datang untuk memanggilmu. Apa yang ingin kamu lakukan?”

 

Sara menjawab atas nama mereka bertiga. Dia adalah yang tertua di kelompok itu dan sering kali bertindak sebagai pemimpin mereka.

 

“Itu tawaran yang sangat menarik, tapi aku ingin menunggu sampai Latifa bangun. Dia akan marah kalau aku makan duluan.”

 

Rio tersenyum lembut, menggelengkan kepalanya.

 

Ekspresi gadis-gadis itu sedikit mendung. Melihat betapa Latifa tertidur nyenyak ketika dia menempel pada Rio membuat mereka merasa lebih bersalah tentang apa yang telah mereka lakukan karena kesalahan penilaian mereka.

 

“ ... Dimengerti.” kata Sara, membungkuk sopan.

 

“Oh! Bagaimana kalau segelas teh, Rio-san?”

 

Orphia menepuk tangan saat ide itu muncul di kepalanya.

 

“Kalau tidak merepotkan, silakan, Orphia-san.”

 

“De-Dengan senang hati! Mohon tunggu di sini sebentar.” 

 

“Ah, aku akan membantumu, Orphia!”

 

Tanpa penundaan, Alma dengan semangat mengikuti Orphia keluar. Tidak lama sampai hanya Rio dan Sara yang tersisa di ruangan itu.

 

“A-Ah, Umm ....”

 

Sara hampir mempertimbangkan untuk membantu mereka juga, tapi pikiran rasionalnya menyadari bahwa tiga orang tidak perlu menyiapkan teh.

 

Dia berhenti berjalan, merasa agak canggung ditinggal sendirian dengan orang dari spesies yang berbeda dan juga seusia. Kesalahpahaman egois mereka sendirian menyebabkan begitu banyak masalah bagi Rio.

 

“Te-Terima kasih ” ucap Sara, membungkuk tanpa berpikir.

 

Kemudian, dia menyadari betapa tidak berartinya tindakannya lalu tersipu. Sara menunduk, telinga dan ekornya berkedut gelisah. Mau tidak mau mata Rio tertarik pada gerakan mereka.

 

[ Apa mereka bergerak atas kemauan sendiri? ] 

 

Rio bertanya-tanya sambil memiringkan kepalanya.

 

“U-Umm, Rio-san?” tiba-tiba berbicara dengan gugup, membuat Rio menegang karena reflek.

 

“Iya, ada apa?”

 

“Umm. Apa kamu tahu apa yang terjadi dengan Latifa saat dia masih menjadi budak, Rio-san?”

 

Tanya Sara dengan ekspresi bertentangan, tidak yakin saat mengajukan pertanyaan yang sulit.

 

“Tidak. Tapi aku bisa membayangkan perilaku seperti apa yang ia terima. Aku tidak ingin mencari tahu terlalu dalam karena tidak ingin memicu kenangan buruk.”

 

“ ... Begitu, ya. Kalau begitu, umm, jika kamu tidak keberatan, Rio-san ... Bisakah kamu menceritakan segala yang kamu ketahui?”

 

“Itu bukan cerita yang menarik. Kamu sudah tahu itu, kan?”

 

Itu bukan sesuatu untuk ditanyakan karena penasaran, kata-kata Rio tersirat.

 

“ ... Iya, aku tahu. Tapi aku ingin mendengarnya.”

 

Sara menatap Rio, kemauannya yang kuat membakar jauh di dalam matanya.

 

“Baiklah.”

 

Rio mulai menceritakan pada Sara detail teori tentang bagaimana Latifa diperlakukan. Bagaimana Latifa tidak memiliki emosi saat pertama kali mereka bertemu dan bagaimana dia membawa trauma yang mendalam yang terkadang terbentuk dalam perubahan suasana hati.

 

Bahwa mungkin dia menjalani pelatihan tempur yang sangat keras dan dia merupakan pembunuh yang dirkirim untuk membunuh Rio. Dan fakta dia tidak pernah makan yang layak dalam hidupnya ....

 

Kebenaran yang besar dan mengejutkan membuat Sara benar-benar tidak bisa berkata-kata. Tetapi setelah Rio selesai berbicara, darahnya mendidih dengan kemarahan sampai dia gemetar untuk menahannya.

 

“Latifa ... Jauh lebih lebih luar biasa daripada kita semua! Memikul semua itu ....”

 

“Iya, aku benar-benar setuju. Dia benar-benar luar biasa.”

 

Rio bersimpati dengan frustrasi Sara yang terpendam; sebagai anggota spesies yang memiliki rasa kekeluargaan yang kuat di antara mereka sendiri, dia secara alami akan merasakan lebih banyak kemarahan daripada dirinya.

 

“ ... Tapi aku tidak bisa mengatakan jika menguping adalah hobi yang bagus.”

 

Rio mengarahkan kata-kata itu ke sisi lain pintu.

 

Kata-katanya membuat Sara terkesiap lalu berputar ke arah pintu. Di sana berdiri Ursula, Orphia, dan Alma.

 

“Kamu menyadari kami, ya? Maafkan aku. Aku juga penasaran dengan gadis itu.”

 

Ursula meminta maaf, sambil memasang ekspresi bingung di wajahnya.

 

“Apakah ada masalah dengan Latifa?”

 

Tanya Sara, sedikit takut.

 

“Ini hanya dugaanku saja, tapi ... Latifa mungkin adalah keturunanku.”

 

Kata-kata Ursula membuat semua orang yang ada di ruangan terkejut. Dia memberikan senyum pahit dan tak berdaya, dengan hati-hati memilih kata-katanya sambil terus berbicara.

 

“Lebih dari sepuluh tahun lalu, seorang kerabatku mengatakan putri mereka melarikan diri dari rumah. Dia adalah gadis yang bebas dan sulit dikendalikan. Awalnya, aku pikir dia bosan dengan desa dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar, tapi dia tidak pernah kembali ke rumah. Dia menghilang tanpa jejak, jadi kami meyakini dia diserang monster atau hewan buas ....”

 

Ursula memandangi sosok Latifa yang tengah tertidur sambil menempal pada Rio.

 

“A-apa itu  benar?! Tetua Ursula”?

 

Tanya Sara, terperangah.

 

“Hmm. Itu terjadi sebelum kamu lahir, Sara. Aku tidak yakin, tetapi melihat Latifa membuatku merasa nostalgia. Aku ingin menanyakan nama ibunya, tapi pada saat yang sama aku takut melakukannya. Ibunya sudah tidak ada, kan?”

 

Kata Ursula dengan ekspresi sedikit sedih.

 

“Sayangnya, aku dengar ibu Latifa sudah tidak ada di dunia ini ....”

 

“Begitu, ya ....”

 

Pandangan sedih datang ke wajah Ursula.

 

“Mm ... Onii-chan? Pagi ...”

 

Latifa terbangun oleh percakapan yang terjadi tepat di sampingnya.

 

“Selamat pagi. Sepertinya sarapan sudah siap. Apa kamu ingin makan?”

 

“Iya, aku mau!”

 

Latifa mengangguk dengan penuh semangat. Senyumnya yang damai tidak menunjukkan tanda-tanda masa lalu yang kejam yang harus ditanggungnya. Saat ini, dia hanyalah gadis bahagia yang sesuai dengan usianya.

 

“Rio-sama, aku benar-benar berterima kasih padamu.”

 

Ursula berterima kasih pada Rio dengan tulus.

 

“Tidak, aku ...”

 

Ekspresi Rio menjadi mendung sambil menggelengkan kepalanya dengan rasa bersalah.

 

[ Aku hanya melakukan untuk keuntunganku saja ... ] 

 

Rio menelan kata-kata itu.

 

“ ... Hm. Rio-sama belum sarapan, kan? Aku pun juga belum. Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku makan bersamamu?”

 

Ursula menyarankan untuk mengubah suasana serius ruangan.

 

“Tentu saja. Ya, kan, Latifa?”

 

“Um ... Tentu. Jika Onii-chan baik-baik saja dengan itu.”

 

Latifa meraih pakaian Rio dan mengangguk malu-malu.

 

“Bagus, itu akan membuat semuanya lebih mudah. Aku akan mengenalkan Rio-sama pada dewan tetua pagi ini. Kalian, siapkan makanan. Bawa porsi kalian sambil melakukannya.”

 

Ursula tersenyum lebar dalam kebahagiaan.

 

“Iya, segera! Kami akan membawanya ke sini. Ayo pergi Sara, Alma.”

 

Orphia mengambil inisiatif dan bergerak lebih dulu. Dia berlari menuju pintu.

 

“Setuju. Ayo, atau kamu akan ketinggalan, Sara.”

 

Alma mengejarnya segera, lalu memanggil Sara yang terlihat masih terdiam.

 

“A-Aku tahu.”

 

Sara tersentak dari linglung sesaat dan berlari keluar ruangan dengan tergesa-gesa.

 

∆∆∆∆

 

Setelah meninggalkan Latifa dalam perawatan Sara dan Alma, Rio dipandu oleh Ursula dan Orphia ke lantai teratas balai kota, di mana para tetua desa berkumpul.

 

Balai kota tersebut merupakan sebuah rumah pohon yang dibangun di atas pohon besar yang berada di tengah desa, bangunan yang sama tempat Rio bermalam. Rio menaiki tangga spiral yang membentang di luar rumah pohon, menghadap ke bangunan desa di bawah.

 

Orang-orang desa telah sepenuhnya mengintegrasikan gaya hidup mereka dengan alam, membangun rumah dari kayu, batu, dan tanah liat di hutan. Itu adalah pemandangan yang menghipnotis untuk dilihat.

 

Begitu mereka mencapai titik teratas dari pohon-pohon lain di desa, mereka dapat melihat satu pohon yang sangat besar menjulang di atas segalanya.

 

“Itu ....”

 

“Fufu. Itulah Pohon Dunia, di mana Yang Mulia Dryas-sama, roh dari pohon raksasa, berada. Dikatakan telah ada di sini jauh sebelum kita datang ke tanah ini. Sangat besar, bukan?”

 

Orphia menjelaskan dengan bangga pada Rio yang terbelalak.

 

“Iya. Aku datang ke sini karena melihat pohon itu.”

 

“ ... Luar biasa. Sebuah penghalang sihir ilusi yang hebat membentang di sekitar Pohon Dunia, jadi tidak mungkin dapat dilihat tanpa pelatihan keras dalam spirit art.”

 

Komentar kasual Rio membuar Orphia terkejut.

 

“Begitukah?”

 

Rio tampak tidak sepenuhnya yakin. Karena dia belum pernah bertemu dengan pengguna spirit art lain sampai sekarang, dia tidak bisa membandingkan kemampuan spirit art nya.

 

Namun, dia menyadari jika kemampuannya untuk secara bebas meniru sebagian besar mantra sihir hanya dengan menghancurkan aliran esensi dalam formula itu secara tak adil menguntungkannya, bahkan untuk dirinya.

 

“Hm. Rio-sama, kamu bilang kamu tidak belajar spirit art dari siapa pun. Apa itu benar?”

 

Tiba-tiba Ursula bertanya saat mereka berjalan.

 

“ ....... Benar. Aku hanya mendapat sedikit dorongan untuk melakukannya........ Tapi sebagian besar aku mempelajarinya sendiri.”

 

Pada awalnya Rio ragu untuk menjawabnya, tetapi dia akhirnya setuju.

 

“Begitu, ya. Sepertinya kamu memang memiliki bakat yang besar. Mungkin ...”

 

Kata Ursula dengan ekspresi termenung di wajahnya, terhenti sebelum menyelesaikan kalimatnya.

 

Tak lama, mereka tiba di lantai paling atas.

 

“Kita sudah sampai, Rio-sama. Kamu juga masuk, Orphia.”

 

Ursula membuka pintu dan memberi isyarat agar mereka masuk.

 

Rio masuk terlebih dahulu, Orphia mengekorinya. Di dalam, berbagai tokoh Tetua duduk di kursi mereka sambil menunggu.

 

“Rio-sama, silakan duduk di sana. Orphia, duduk di sebelah Yang Mulia dan penuhi segala kebutuhannya.”

 

Ursula mengarahkan Rio ke sebuah kursi di dekat pintu dan Orphia ke sudut ruangan. Di sana berdiri seorang wanita muda.

 

“ ... Eh?”

 

Untuk sesaat, Orphia meragukan matanya. Wanita muda itu adalah eksistensi yang jauh lebih unggul daripada dirinya sendiri sebagai kerabat darah anggota dewan di desa: roh dari pohon raksasa, Dryas, yang baru saja dikatakannya pada Rio.

 

Dalam keadaan normal, dia tidak akan menunjukkan wujudnya di tempat seperti ini, tapi—

 

“Ada apa? Cepatlah.”

 

Ursula tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu saat dia dengan santai memerintahkan Orphia.

 

“A-Ah, tentu saja!”

 

Orphia mengangguk canggung dan menuju ke Dryas. Ketika Dryas melihat Orphia, dia memeluknya dengan gembira. Tapi Orphia gelisah, membuat satu titik agitasi di ruang damai.

 

Para Tetua lainnya di dewan tetap diam dan tersenyum puas pada mereka.

 

Setalah duduk terlebih dahulu, Rio melihat Dryas dan Orphia dengan rasa ingin tahu, tetapi langsung mengalihkan pandangannya ke depan.

 

Di depannya ada tiga kursi untuk tiga kepala Tetua: Elf tingkat tinggi Syldora, pemimpin Dwarf Dominic, dan manusia serigala Ursula.

 

“Sekarang setelah semua persiapan selesai, aku akan memulai pertemuan dewan Tetua. Karena kita telah mengundang seorang manusia sebagai tamu kita pada kesempatan ini, kita akan menggunakan bahasa manusia.” kata Syldora, menyatakan dimulainya pertemuan.

 

Hanya untuk pertemuan ini, mereka menggunakan bahasa umum wilayah Strahl, yaitu manusia, sebagai pertimbangan untuk Rio.

 

“Sekarang, Rio-sama. Aku ingin menyampaikan permintaan maaf karena telah memanggilmu ke sini hari ini. Dan terima kasih sedalam-dalamnya atas kehadiranmu.”

 

“Seharusnya aku yang mengucapkan kalimat tersebut. Aku merasa sangat terhormat karena diundang ke sini.”

 

Rio membungkuk ringan dari tempatnya duduk.

 

“Aku Syldora, salah satu tetua dari Seirei no Tami. Di sampingku adalah kepala Tetua. Aku yakin kamu sudah mengenal Ursula. Dwarf ini adalah—“

 

Syldora berdiri dan mulai mengenalkan Dominic.

 

“Aku Dominic. Senang bertemu denganmu, bocah manusia.”

 

Dominic menyela, langsung memperkenalkan dirinya.

 

“ ... Seperti yang bisa kamu lihat, dia sedikit kasar. Aku minta maaf jika dia menyinggungmu dengan cara apa pun. Aku akan mengenalkan tetua lainnya padamu di kesempatan lain.”

 

Syldora tersenyum pahit dengan senyum kecil.

 

“Terima kasih atas pertimbangan anda. Senang bertemu dengan semuanya, namaku Rio.”

 

Rio berdiri dan menunduk dalam-dalam dengan pengenalan diri sederhana.

 

“ Tidak perlu merendahkan diri, Rio-sama. Kamu adalah tamu dan dermawan kami. Atas masalah yang disebabkan saudara saudaraku karena kesalahpahaman mereka, juga karena melepaskan salah saudara kami dari perbudakan, aku mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf yang paling dalam. ”

 

Kata Syldora, mendorong semua tetua di ruangan tersebut untuk berdiri dan menundukkan kepala mereka pada Rio.

 

Dari sikap tulus mereka, Rio menilai bahwa kata-kata terima kasih dan permintaan maaf mereka asli.

 

Namun, melihat orang-orang dengan pengalaman hidup yang lebih jelas daripada dia semua membungkuk kepadanya sekaligus membuatnya merasa tidak nyaman, dan dia tersenyum pahit.

 

“Aku menerima kata-kata permintaan maaf dan terima kasih kalian. Sehubung dengan permintaan maaf itu, aku juga bersalah karena menginjakkan kaki ke wilayah kalian tanpa izin. Aku tidak menerima kerusakan permanen atau jangka panjang, jadi selama kesalahpahaman ini terselesaikan, aku tidak percaya itu menjadi masalah. Mari saling memaafkan dan melupakan kecelakaan yang tidak menguntungkan. Aku mohon, angkat kepala kalian.” kata Rio dengan sikap tenang dan sopan.

 

Para tetua menelan nafas terpesona pada bagaimana dewasa Rio bertindak, bertentangan dengan penampilannya yang tidak diragukan lagi muda dan polos.

 

“Kami dengan tulus berterima kasih atas sikap tidak mementingkan dirimu sendiri.”

 

Syldora memulai dengan anggukan kepalanya.

 

“Namun tetap saja kami akan membalas budi yang kami terima darimu dengan perlakuan buruk. Karena itu, kami ingin melakukan sesuatu untukmu atas balasan penyesalan kami. Apakah ada sesuatu yang kamu inginkan, Rio-sama?”

 

Lanjutnya, sedikit sulit menyuarakan kata-katanya. Tatapan para tetua berkumpul di Rio.

 

“Keinginan ... Kata anda?”

 

Pandangan bingung muncul di wajah Rio pada topik yang tiba-tiba.

 

Ursula menambahkan penjelasan dengan menghela nafas.

 

“Kamu bisa menyebutkan apa saja. Karena kita berbeda spesies, kita tidak yakin bagaimana cara berterima kasih kepadamu. Meskipun ada beberapa yang takut dengan apa yang kamu minta.”

 

Ursula berbicara dengan senyum tegang. Ekspresi sedikit bersalah muncul di wajah para tetua ketika Rio mengangguk mengerti.

 

“Begitu, ya ... Kalau begitu, bisakah aku meminta agar kalian menerima Latifa dalam desa? Tujuan awalku adalah menuju Wilayah Yagumo yang terletak di Timur dari sini.”

 

Pandangan serius muncul di wajah Rio ketika dia menundukkan kepalanya ke arah Syldora, yang duduk di depannya. Para Tetua tampak agak terkejut.

 

“Hmm ... Tapi Rio-sama, itu salah satu keinginan kami. Jika ada, itu harus sesuatu yang harus kami minta darimu, bukan sebaliknya. Kamu boleh meminta sesuatu yang lebih ...”

 

Ursula menghela napas, membiarkan tawa masam lolos. Rio menggelengkan kepalanya perlahan.

 

“Anda mungkin mengatakan itu, tapi aku adalah orang yang tidak bertanggung jawab saat mencoba untuk mengambil hidup orang lain ke dalam perawatanku.”

 

“Rio-sama ....”

 

“Itu sebabnya, jika mungkin ... Jika ini bukan angan-anganku saja, tapi saat ini Latifa ... Dia melekat padaku, aku percaya. Karena itu—“

 

“Aku mohon, Rio-sama. Jangan katakan lagi. Setidaknya, biarkan kami yang mengajukan permintaan. Bagaimana dengan itu? Apakah kamu ingin tinggal di desa bersama Latifa sementara waktu?”

 

Rio kesulitan menemukan kata-katanya, jadi Ursula mengambil alih.

 

“Itu ... Sudah jauh melebih harapanku. Apakah itu baik-baik saja?”

Kata Rio, menyiratkan bagaimana keberadaan manusia dapat menyebabkan masalah.

 

“Jangan khawatir. Kami mendiskusikan semuanya kemarin dan semua tetua yang ada di sini sudah menyetujuinya. Kami akan sangat senang jika kamu ada di sini, untuk anak itu juga.”  Tegas Ursula.

 

“Betul sekali! Tidak perlu menahan diri. Aku tertarik denganmu, nak. Ursula memberitahu kami tentang siapa kamu sebenarnya, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa kamu katakan tanpa bertemu seseorang secara langsung. Dan nak, aku setuju! Kamu adalah pria yang bahkan lebih besar daripada yang aku dengar, nak.”

 

Dominic tertawa terbahak-bahak, menyambut Rio.

 

“Memang, seperti yang dikatakan Ursula dan Dominic. Kami berusaha sebaik mungkin untuk mengurus masa tinggalmu di desa dan memastikannya nyaman. Jika kamu memerlukan sesuatu kapan saja, jangan ragu memberitahu kami.”

 

“Betul. Kamu boleh meminta sesuatu selain barang materi, seperti salah satu gadis desa ke pernikahan. Karena kamu terlihat tampan ... Jika kamu bingung, bagaimana dengan Alma-ku?”

 

Dominic membual, menambahkan kata-kata Syldora dengan humor yang bagus.

 

“Dominic, jangan terlalu terbawa suasana. Apa kamu mabuk?”

 

“Gahaha!”

 

Dominic tertawa terbahak-bahak setelah Ursula menegurnya. Tertawa di antara para Tetua lainnya, langsung mencerahkan suasana ruangan.

 

“Ya ampun. Tapi begitulah, Rio-sama. Tidak perlu sungkan. Cobalah cari sesuatu selama kamu berada di desa. Maafkan aku, tapi aku harus bersikeras mengungkapkan rasa terima kasihku entah bagaimana.”

 

“ ... Aku mengerti.”

 

Rio tertawa, berpikir sejenak sebelum akhirnya menyatakan apa yang diinginkannya.

 

“Kalau begitu, aku ingin meminta dukungan kalian dalam mengajariku spirit art dan tata cara hidup selama aku tinggal di desa.”

 

“Tentu ... Seharusnya tidak ada masalah sama sekali.”

 

“Hm. Kami akan menyiapkan guru yang berbakat untukmu.”

 

Ursula dan Syldora mengangguk.

 

“Baiklah! Sekarang setelah pembicaran kalian selesai, bolehkan aku melanjutkan urusanku?”

 

Suara cerah Dryas menggema di seluruh ruangan. Semua mata di ruangan bergeser ke arahnya.

 

“Tentu saja, Yang Mulia Dryas-sama. Tapi, jika boleh, bisakah aku perkenalkan Yang Mulia kepada Rio-sama terlebih dahulu?” tanya Ursula.

 

“Tentu, silakan.”

 

Dryas mengangguk dengan mudah sebagai jawaban.

 

“Rio-sama, yang duduk di sana adalah roh dari pohon raksasa, Yang MuliaDryas.-sama. Orphia membicarakan beliau sebelumnya, jika kamu ingat.”

 

“Umm ... Roh?”

 

Mata Rio melebar karena terkejut. Dryas telah mengeluarkan aura dunia lain, tetapi penampilannya sangat humanoid ...

 

Sulit untuk percaya bahwa dia adalah roh.

 

“Aku Dryas. Senang bertemu denganmu, Rio. Mari kita akrab, oke?”

 

Dengan senyum polos, Dryas melayang di udara menuju Rio.

 

“Aku juga sangat senang bertemu dengan anda.”

 

Rio membalas salam dengan wajah bingung ketika Dryas tiba-tiba menjabat tangannya.

 

“Hmm ... Aku tahu itu. Meskipun sangat samar, aku bisa merasakan kehadiran roh di dalam dirimu. Apa mungkin sedang tertidur, ya?”

 

“ ... Roh? Dalam diriku?” Tanya Rio, bingung.

 

“Iya. Apa ada yang terlintas dalam pikiranmu? Seharusnya kamu sudah membuat kontrak dengannya.”

 

“Kontrak? Tidak, aku tidak bisa mengingatnya ...”

 

Rio menggelengkan kepalanya dari kiri ke kanan, bingung. Dia tidak memiliki ingatan membuat kontrak dengan roh sepanjang hidupnya.

 

“Sungguh? Aneh ... Ah, tapi tidak usah khawatir. Aku bilang kontrak, namun tidak ada kewajiban menjengkelkan yang terlibat. Sebaliknya, itu lebih bermanfaat bagimu.”

 

Tidak dapat mengikuti kata-katanya, Rio mengeluarkan sikap linglung.

 

“Heh ...”

 

“Nee, apa kamu keberatan jika aku memeriksanya? Itu tidak akan merusak tubuhmu, jadi kamu tidak usah khawatir.”

 

Setelah ragu sesaat, Rio mengangguk sekali.

 

" ... Ya, silakan."

 

“Kalau begitu, permisi ...” ucap Dryas, dengan lembut meraih wajah Rio.

 

Tiba-tiba, Rio merasakan sensasi aneh dari suatu yang asing baginya, tetapi dia menerima semua itu tanpa perlawanan.