Blessing of the Spirits – Chapter 2.5 : 「Kenangan Latifa」

 

Setelah aku—

Endo Suzune—

Pingsan di dalam bus, aku terbangun lalu menyadari jika berada di ruangan gelap yang terbuat dari batu, terbaring di lantai.

 

Ada hawa dingin di udara, membuatku menggigil dan dengan cepat membangkitkan indraku; Ruangan itu terasa seperti ruangan ber-AC yang sejuk di tengah musim panas. Aku memakai satu lapisan tipis pakain yang terasa kaku juga kasar dikulitku. Selain itu, aku hanya memiliki selimut tipis. Tidak heran aku kedinginan.

 

Leherku terasa sangat berat, ada kerah logam dan rantai di sekitarnya.

 

[ Apa ... Ini? ]

 

Dinginnya es menusuk tulang punggungku saat aku menarik selimut lebih kencang ke sekelilingku. Aku meringkuk, berusaha mempertahankan kehangatan. Kemudian, ketika tubuh kecilku menggigil, aku dengan takut melihat sekeliling ruangan.

 

[ Di mana ... Aku? ]

 

Itu adalah ruang suram tanpa perabot atau jendela. Tidak ada ruang seperti ini dalam ingatanku, namun karena suatu alasan, ada hal yang terasa aneh. Seolah-olah aku telah melihat ini sebelumnya, tetapi tidak ...

Seperti perasaan deja-vu yang tak terlukiskan.

 

Pada saat itu, pintu terbuka dengan bunyi khasnya. Pada saat itu, pintu terbuka dengan suara klak. Tubuhku yang menggigil tersentak. Dengan ragu aku mengalihkan pandanganku ke pintu yang kokoh lalu melihat seorang bocah kecil berdiri di sana. Dia tampaknya berada dalam suasana hati yang buruk, karena wajahnya ditandai oleh ekspresi agresif.

 

Tanpa sengaja aku menjerit.

 

"Eek!"

 

Karena aku—

Tidak, aku yang lain dalam diriku—

Mengenal anak itu. Namanya adalah Stewart.

 

Kami tidak memiliki hubungan darah, namun dia membuatku memanggilnya, “Kakak” dan memperlakukanku seperti hewan peliharaan, dengan dalih disiplin.

 

“Hm? Apa? Apa ini?”

 

Melihat reaksiku, ekspresi Stewart berbinar gembira. Kemudian, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, dia datang kepadaku dengan setengah berlari.

 

“Eek! Me-Menjauhlah!”

 

Secara tiba-tiba, aku berbicara bukan menggunakan bahasa Jepang; itu bukanlah bahasa  yang aku ketahui sebagai siswi sekolah dasar. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar cadel dan aneh dalam pengucapan.

 

“Hei, ada apa denganmu hari ini? Kenapa kau bertingkah sangat semangat.”

 

Stewart bertanya kepadaku dengan senyum cerah, membuatku meringkuk secara refleks ke posisi defensif.

 

“Ja-Jangan ... Pukul aku ... Kumohon!”

 

Untuk tidak menolah perintah orang ini sudah tertanam dalam diriku pada tingkat naluriah.

 

“Wow, kau tidak pernah bicara sebanyak ini. Kau harus seperti ini setiap hari ... Aku bisa memperlakukanmu sedikit berbeda, setidaknya.”

 

Stewart tertawa sambil menyeringai, lalu menarik rantai itu dari kerahku.

 

“Kya!”

 

Aku kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.

 

“Hei, Latifa. Perlihatkan wajahmu dengan benar.”

 

Latifa. Itulah bagaimana Stewart memanggilku sambil menarik rantai dan wajahku dibawa ke depan matanya. Dia tampak sangat bersemangat, napasnya keluar secara kasar membuat seluruh tubuhku merinding.

 

“Eek ... Ti-Tidak ...”

 

Aku menangis dan menggelengkan kepala. Wajah Stewart turun dengan perasaan tidak senang.

 

“Kenapa kau berbicara dengan tidak sopan? Bagimu aku ini apa?”

 

“Ka-Kakakku.”

 

“Itu benar. Jadi apa yang harus kamu lakukan sekarang?”

 

“Ma-maafkan aku! Tolong maafkan aku!”

 

“Kau benar-benar banyak berbicara hari ini. Aku biasanya harus memerintahkanmu terlebih dulu sebelum kau berbicara. Apa ada yang salah denganmu?” Tanya Stewart padaku, tapi itulah yang ingin aku tanyakan.

 

“A-Aku tidak ... Tahu!”

 

Namaku tidak diragukan lagi Latifa ...

 

Tapi pada saat yang sama, aku juga Endo Suzune.

 

“ ... Hmm. Yah, terserah.”

 

Stewart memeriksa wajahku untuk melihat reaksi, namun segera kehilangan minat. Kelegaan menyapuku, tapi kata-kata selanjutnya mendorongku ke dasar keputusaan sekali lagi.

 

“Aku datang karena merasa kesal, tapi aku sekarang sudah berubah pikiran. Aku akan bermain denganmu hari ini.”

 

Memahami niat buruk di balik kata-katanya, wajahku secara naluriah terpelintir dalam kesengsaraan. Stewart mengukir senyum mengancam di wajahnya. Semakin banyak ekspresiku yang muncul ke permukaan, semakin banyak kebahagian yang akan dia dapat dari menyiksaku.

 

Diriku yang lain—

Latifa—

Sudah menyadari itu. Itulah sebabnya Latifa benar-benar menekan pikirannya sendiri.

 

Tapi Endo Suzune berbeda.

 

Ya ...

 

Endo Suzune yang merupakan sebagian dari diriku menolak dan membenci kenyataan jika aku adalah budak.

 

Sejak hari itu dan seterusnya, mimpi burukku akan kenyataan dimulai.