"Penginapan ini bukanlah tempat yang bisa dikunjungi seorang putri dengan santai, kan?"
"Apa kau tidak ingin aku datang ke sini?"
"Tidak ada yang seperti itu. Aku hanya tidak bisa memberimu sambutan yang layak."
"Oh? Aku terkejut kau bisa memahami konsep menyambut seorang tamu." Kata Sylvie dengan riang.
"Menurutmu aku ini memangnya apa? Yah, terserahlah. Aku belum melihat wajahmu akhir-akhir ini, jadi aku cukup penasaran tentang apa yang kau lakukan juga."
Kata Renji, menghela napas lelah ketika dia bertanya tentang perkembangan terakhir Sylvie.
"Belum lama ini, ada perjamuan di Kerajaan Galarc tempat para Hero dari setiap Kerajaan berkumpul. Aku berada jauh dari ibukota untuk sementara waktu karena aku diundang sebagai perwakilan dari Kerajaan ini. Lalu ada berbagai hal yang harus ditangani begitu aku kembali juga."
Jawab Sylvie, rasa letihnya terlihat samar di wajahnya.
"Kau bertemu para hero dari setiap Kerajaan....?"
Renji bertanya.
"Ya. Aku berbicara dengan mereka sedikit."
Jawab Sylvie sambil memperhatikan wajah Renji.
"Seperti apa mereka?"
Desas-desus kalau para hero telah dipanggil di seluruh wilayah Strahl juga telah mencapai Kerajaan Rubia, yang sudah diketahui oleh Renji. Dia juga belum memberitahu kepada siapapun tentang statusnya sebagai hero, tetapi dia tampaknya tertarik pada hero lainnya.
"......Mereka adalah anak laki-laki dan perempuan yang seumuran denganmu dan diriku."
Jawab Sylvie dengan singkat setelah jeda singkat.
"Aku mengerti..... Selain itu, apa Estelle baik-baik saja?"
Renji sepertinya merasa canggung menyembunyikan status hero-nya sendiri, jadi dia tidak bertanya lebih lanjut tentang para hero tersebut. Sebagai gantinya, dia mengubah topik pembicaraan menjadi adik perempuan Sylvie, yaitu Putri Kedua – Estelle.
Terakhir kali Renji diundang ke Kastil, dia menghabiskan beberapa waktu untuk berinteraksi dengan Estelle.
Berbeda dengan Sylvie, seorang perempuan gagah yang dikenal sebagai Putri Ksatria, adik perempuannya adalah gadis yang biasa dan sopan. Karena itulah mereka sering dikatakan memiliki kepribadian yang berlawanan untuk saudara kandung.
"......Estelle sedang memulihkan diri saat ini."
Terdapat bayangan menutupi wajah Sylvie saat dia berbicara.
[ Hal ini adalah masalah rahasia Kerajaan. Aku tidak bisa memberitahunya kalau Estelle disandera sebagai alat diplomasi. ]
Itulah yang dipikirkan Sylvie.
"Apa dia sakit?"
"Yah, kemungkinan begitu."
"Jika kau membutuhkan tanaman obat, aku bisa mendapatkannya."
"Tidak perlu repot². Dia seharusnya akan pulih seiring berjalannya waktu, jadi jangan khawatirkan itu. Dia pasti bisa melihatmu lagi suatu hari nanti. Ketika hari itu tiba, mari kita bawa dia ke penginapan ini."
Kata Sylvie sambil tersenyum untuk meredakan kekhawatiran Renji.
"Begitu ya......"
Untuk sesaat, mata Renji terpikat oleh senyuman Sylvie, tapi dia segera tertawa dan berbicara lagi.
"Tapi Estelle adalah seorang putri. Akan lebih baik bagiku yang pergi ke Kastil."
"Hei..... Apa maksudmu yang mengatakan kalau dia adalah seorang Putri? Lalu bagaimana denganku? Aku juga seorang Putri, tahu!"
Kata Sylvie, berkedip sesaat, kemudian keberatan dengan ekspresi tidak puas.
"Ya, kau adalah Putri Ksatria."
"Hentikan itu. Aku tidak suka dengan julukan itu.”
"Kaulah yang memperkenalkan dirimu sebagai Putri Ksatria saat pertama kali kita bertemu. Kita bahkan bertarung setelah itu, apa kau ingat?"
"Kupikir memperkenalkan diri seperti itu akan menghasilkan pertarungan yang lebih alami."
Suasana bersahabat melalui obrolan keduanya tidak terpikirkan kalau seorang Putri Pertama dan seorang petualang belaka. Waktu berlalu saat keduanya mengobrol dengan menyenangkan.
"Sangat menyenangkan bisa berbicara denganmu seperti ini; tidak perlu terlalu kaku dengan itu. Obrolan ini cukup menenangkan." Kata Sylvie.
"Ada apa denganmu berbicara seperti itu tiba-tiba?"
"Tidak ada. Aku baru saja harus menjaga sikapku akhir-akhir ini. Aku hanya berpikir betapa berharganya untuk datang mengunjungimu, karena aku merasa sangat lelah."
"Apa kau terlalu banyak bekerja? Bukan seharusnya aku mengatakan hal ini sebagai seorang petualang yang hidup dengan santai, tapi bekerja terlalu keras adalah sebuah masalah. Kau juga harus meluangkan waktumu untuk bersantai juga."
Kata Renji, menyarankan.
Pada saat itu, suara ketukan pintu kamar terdengar sebelum dibuka.
"Sylvie-sama, apa kamu punya waktu luang?"
Orang yang masuk adalah Ksatria wanita yang ada di bawah komando Sylvie, Elena Broman. Dia telah berjaga-jaga di luar ruangan sementara Sylvie dan Renji mengobrol.
".......Aku menyuruhmu untuk menunggu di luar ruangan sampai aku keluar, bukan?"
Sylvie bertanya dengan nada memarahi kepadanya.
"Ya, tapi — Jean Bernard meminta pertemuan denganmu."
Elena dengan ragu-ragu menyebut nama pengunjung itu. Jean Bernard adalah nama alias duta Kekaisaran Proxia, Reiss, ketika dia berada di Kerajaan Rubia.
"Bertemu denganku? Baiklah. Aku akan segera kembali ke Kastil. Maaf, Renji, mari kita sudahi dulu di sini untuk hari ini—"
Sylvie mengakhiri obrolannya dengan Renji dengan senyuman di wajahnya ketika Elena memotongnya perkataannya untuk menghentikannya.
"Sylvie-sama. Mengenai itu..... Jean Bernard benar-benar datang ke sini....."
"Ke sini? Ngh, bagaimana dia bisa tahu...?"
Ekspresi Sylvie berubah semakin pahit.
[ Apa dia tahu tentang Renji? Karena Renji adalah seorang petualang terkenal, jadi tidak aneh jika dia mengetahuinya...... Tapi, apa yang dia inginkan? ]
Segala macam kemungkinan datang ke dalam pikirannya.
Renji melihat raut wajah Sylvie dan memiringkan kepalanya dengan ekspresi curiga. Saat itu, Jean Bernard yang telah disebutkan sebelumnya — atau juga yang dikenal sebagai Reiss — muncul di samping Elena di depan pintu.
"Maafkan gangguanku yang tiba-tiba."
Reiss meletakkan tangan di dadanya dan menundukkan kepalanya dengan hormat kepada Sylvie dan Renji.
[ Aku belum pernah melihatnya sebelumnya..... ]
[ Dan belum pernah mendengar namanya juga. Bukankah tidak sopan bagi seseorang untuk bertemu seorang putri yang sedang menyamar tanpa adanya peringatan apapun? ]
Renji memikirkan hal-hal seperti itu sambil memperhatikan Reiss dengan seksama.
".....Apa yang kau inginkan?"
Sylvie bertanya dengan nada tidak senang.
"Aku dengar kalau kamu ada di sini, jadi aku datang berkunjung. Sebelum aku menyatakan urusanku, bolehkah aku terlebih dahulu memberi salam kepada Renji-sama sang penyendiri?"
Reiss menatap Renji dengan senyuman ceria yang nyaris menyeramkan.
"Yah, aku tidak keberatan. Tapi kau telah mengambil waktu pribadiku sekarang. Urusanmu sebaiknya menjadi hal yang lebih penting."
Renji bersandar di sofa, menyilangkan kakinya saat dia berbicara dengan nada mengancam.
"Ya, kemungkinan besar begitu. Kalau begitu, jika boleh aku memberi perkenalan singkat: Namaku Jean Bernard, seorang bangsawan dari Kerajaan ini yang tidak layak dari berperingkah terendah."
"Aku belum pernah mendengar nama atau keluargamu."
Renji tidak tertarik kepada bangsawan Kerajaan Rubia, jadi hal itu wajar. Seorang bangsawan normal akan merasa tersinggung oleh kata-kata Renji saat ini, tapi—
"Memang, karena kami berada di posisi paling bawah dari status sosial. Merupakan kehormatan besar untuk bertemu dengan sang penyendiri yang terkenal."
Reiss menghindari topik itu dengan senyuman yang benar-benar menyenangkan.
".........."
Renji memperhatikan Reiss dengan mata menyipit.
[ Sungguh laki-laki yang menyeramkan. Ekspresi aneh di raut wajah Sylvie menggangguku juga. ]
Dia mencoba melihat apakah ada perubahan ekspresi dari laki-laki itu, tapi sepertinya laki-laki itu memakai topeng. Ada sesuatu yang aneh dengan dirinya.
"Oi. Apa artinya ini, Bernard?"
Sylvie menyela dalam nada jengkel.
"Aku punya sesuatu untuk didiskusikan dengan Yang Mulia tentang Estelle-sama yang menggemaskan. Bukankah sudah waktunya kamu pergi menemuinya?"
"......Apa maksudmu itu?"
"Maksudku persis seperti yang baru saja kukatakan....."
Reiss memiringkan kepalanya dengan tenang.
"......Aku bisa melihatnya?"
"Ya. Itulah kesepakatan kita sebelumnya, bukan? Kalau kamu akan melihatnya lagi. Namun, aku sendiri agak sibuk dan akan merasa tidak nyaman jika ada sesuatu yang aneh menghalangi, jadi jika kamu ingin melihatnya, sekarang adalah waktu terbaik."
"......Baiklah."
Setelah merasa ragu-ragu untuk waktu yang lama, Sylvie mengangguk setuju.
"Ada yang terjadi, Silvie? Bukankah Estelle sedang memulihkan diri?" Renji bertanya dengan ragu.
"Aku akan pergi ke tempat dia beristirahat. Maaf, tapi aku akan pergi sekarang. Aku akan mengunjungimu lagi suatu saat, Renji."
Sylvie memasang aura tenang dengan senyum sekilas dan berdiri.
"Oke, kalau begitu....."
Renji menatap Sylvie, tidak sepenuhnya yakin. Namun, Sylvie sudah setengah jalan keluar dari pintu sebelum Renji bisa berbuat apa-apa.
"Pimpin jalan, Bernard."
Kata Sylvie kepada Reiss.
"Seperti yang kamu inginkan, Yang Mulia."
Reiss memasang senyuman di wajahnya, kemudian berbalik untuk keluar dari ruangan dan menyusuri koridor Sylvie mengikutinya keluar. Tepat sebelum Reiss pergi, dia menatap Renji. Dia melontarkan senyuman aneh yang mencurigakan sebelum menghilang di luar pintu.
[ Cara Sylvie bertingkah..... Apa ada sesuatu yang aneh terjadi? Orang itu benar-benar mencurigakan..... ]
Naluri Renji terasa meningkat. Senyuman mencurigakan dari Reiss melintas di benaknya, memberinya perasaan tidak enak saat dia melihat ke luar jendela di pintu masuk penginapan di bawahnya. Reiss dan Sylvie sama-sama menaiki kereta kuda. Ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka berdua.
[ Aneh. Haruskah aku mengikuti mereka dan menyelidikinya? ]
Dengan keputusan itu, Renji dengan segera menyiapkan barang-barangnya dan melangkah keluar dari penginapan.
◇◇◇◇
Sementara itu, di dalam kereta yang dinaiki oleh Sylvie dan Elena......
Tidak ada yang tahu sudah berapa lama sejak mereka berangkat. Keheningan yang mencekik berlanjut di dalam gerbong kereta kuda.
"Oi, Reiss. Siapa orang ini?"
Sylvie menanyakan identitas pihak ketiga yang duduk secara diagonal di seberangnya di gerbong kereta yang sempit.
Mata kiri orang itu tersembunyi di balik penutup mata berwarna hitam legam, lengan kirinya terbungkus oleh perban dengan semacam formula mantra tertulis di atasnya. Ada aura haus darah yang mengkhawatirkan yang memancar darinya.
"Dia pengawalku, karena akan menakutkan bagi seseorang yang tidak berdaya sepertiku untuk bepergian sendirian. Namanya adalah Lucius. Dia sedang dalam mood yang sedikit kesal saat ini, jadi jangan mencoba mengatakan sesuatu yang aneh. Aku tidak bisa menjamin hidupmu jika kamu melakukannya."
Jawab Reiss dengan tampilan segar, ketika dia mengangkat bahunya.
"Lucius?"
"Oh, apa kamu tahu tentang dirinya?"
"Jika dia adalah Lucius yang merupakan komandan dari Celestial Lion, maka aku pernah mendengar namanya. Namun, aku tidak ingat pernah melakukan apapun yang bisa membuatnya mengeluarkan rasa haus darah yang sangat besar itu kepadaku. Rasanya seperti membuatku ingin menebasnya sebelum aku diserang lebih dulu."
Kata Sylvie, menatap tajam kepada Lucius.
"Haha!" Lucius tiba-tiba tertawa senang.
"Apa yang lucu?" Sylvie mengerutkan alisnya.
"Rasa haus darah ini tidak ditujukan kepadamu, tahu? Bajingan yang ingin aku bunuh ada di tempat lain. Nyatanya, aku tidak ingin apapapun selain pergi dan membunuhnya sekarang juga."
Kata Lucius dengan tatapan kosong dan gelap.
"Oi, Reiss. Apa orang ini gila atau semacamnya?"
Sylvie menyipitkan matanya karena curiga dan menanyai Reiss. Tapi Reiss hanya mengangkat bahunya tanpa menjawab.
"Oi, Putri."
"..........."
Lucius telah memanggilnya, tetapi Sylvie dengan tegas mengabaikannya.
"Bayangkanlah ini. Adikmu — Estelle, bukan? Seorang perempuan yang cantik itu dijadikan disandera. Apa kau benar-benar berpikir kalau dia masih aman sekarang?"
"K-Kau!"
Sylvie bereaksi dengan keras ketika keselamatan adik perempuannya diangkat, urat nadinya menonjol di dahinya.
"Hee." Lucius mencibir.
"Apa pernyataan barusan adalah pernyataan kalau kau tidak memperlakukannya sandera sebagai sandera? Jika demikian, semuanya berakhir di sini."
Sylvie meraih sarung pedang di pinggangnya.
"Apa kau berencana menggunakan benda itu di tempat yang begitu sempit seperti ini?"
Bertentangan dengan kata-katanya, senyuman muncul di wajah Lucius yang menunjukkan kalau dia ingin juga menantikan hal itu.
"Apa menurutmu aku tidak mampu memotongmu dan pelat besi gerbong ini secara bersamaan?"
Kata Sylvie dengan nada membentak.
Suasana tegang memenuhi gerbong kereta itu. Selain Sylvie, Elena juga beralih untuk bersiap menghadapi pertarungan yang terjadi dengan ekspresi muram. Dia bersiap untuk bertindak jika sesuatu terjadi.
Lucius bersandar ke belakang dengan arogan, terus memprovokasi mereka dengan tatapannya. Pada tingkat ini, seseorang akan mengharapkan pertarungan akan terjadi kapan saja, tetapi Reiss campur tangan dengan ekspresi muak.
"Hentikan itu. Kami bertindak secara resmi atas nama negeri kami. Kami tidak sama dengan bandit atau tentara bayaran, jadi kami tidak akan melakukan apapun untuk menyakiti sandera yang kami punya. Putri Estelle benar-benar tidak terluka."
Kata Reiss kepada Sylvie.
"Bertindak secara resmi untuk negertimu? Maksudmu negeri yang tercipta dari tentara bayaran?"
Sylvie menjadi mendidih karena marah, mengerutkan keningnya saat dia membantahnya.
"Aneh sekali. Itu karena kamu menganggap kami sebagai negara resmi sehingga kamu telah menyetujui aliansi rahasia ini, bukan?"
"Kata² yang tak tahu malu untuk seseorang yang menyandera Estelle sebelum memaksakannya sebagai negosiasi....."
"Itu pernyataan aneh lainnya. Sandera telah digunakan dalam negosiasi lintas Kerajaan sejak zaman kuno, bukan? Bahkan untuk politik internal, tidak jarang para bangsawan mencari sandera dari pengikut mereka sebagai jaminan kepatuhan......"
Kata Reiss kepadanya dengan santai.
"Jangan berpikir kalau sebuah negeri yang menyandera seseorang akan benar² dipercaya dalam aliansi."
"Aku akan mengingatnya. Namun, perjanjian adalah sebuah perjanjian. Kami akan berusaha dalam hal lain selain sandera untuk membentuk hubungan yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, pihakmu juga harus memperhatikan untuk tidak merusak hubungan saling percaya. Yah, beberapa keluhan di sana-sini dapat diabaikan."
Jawab Reiss dengan tenang pada tatapan yang dikirim Sylvie kepadanya.
".........."
Sylvie bergeram pelan dan menahan diri untuk tidak berbicara lebih jauh. Meskipun enggan, itu adalah tanda dalam yang menyetujui kata-kata Reiss. Beberapa menit kemudian, gerbong kereta berhenti.
"Haruskah kita meninggalkan gerbongnya sekarang?"
Kata Reiss, menyarankan. Sylvie dan Elena turun lebih dulu, dengan Reiss dan Lucius mengikuti mereka.
[ Jadi kami dibawa keluar dari ibukota, ya? ]
Untuk memastikan keselamatan Estelle, sebelum naik ke dalam gerbong kereta, Sylvie telah menyetujui dengan syarat kalau tujuan mereka tidak akan diungkapkan sampai mereka tiba.
Jendela gerbong itu telah ditutup saat mereka berangkat, jadi Sylvie tidak mengetahui rute apa yang telah mereka ambil, tetapi dia memiliki kecurigaan kalau mereka sedang menuju ke luar Ibukota.
Ibukota Kerajaan Rubia adalah wilayah Sylvie, dan Reiss tidak cukup bodoh untuk membiarkannya bersatu kembali dengan Estelle di wilayah mereka.
Tepatnya, lokasi mereka saat ini berada di sepanjang jalan yang membentang dari ibukota, cukup jauh untuk melihat Kastil Kerajaan tertinggi di ibukota di kejauhan.
"Aku tidak melihat Estelle."
Kata Sylvie, melihat sekelilingnya.
Tidak ada tanda-tanda siapapun di jalan selain mereka, dan mereka dikelilingi oleh padang rumput tak berpenghuni di kedua sisi jalan. Tampaknya rumput-rumput itu kekurangan nutrisi, karena warnanya yang buruk dan panjangnya pendek. Ada batu-batu besar yang cukup besar untuk menyembunyikan seseorang yang berserakan di tempat itu.
"Tolong, lewat sini."
Reiss memberi isyarat dengan tangannya dan mengundangnya keluar dari jalan. Meninggalkan gerbong kereta dan pengemudi di jalan, dia memimpin jalan ke depan.
"Sylvie-sama, aku akan berada di belakangmu."
"Ya."
Sylvie yang pertama kali mengikuti Reiss, dengan Elena yang berjalan di belakangnya. Lebih jauh di belakangnya adalah Lucius, dan mereka berempat berjalan dengan membentuk satu baris. Sylvie dengan waspada memperhatikan Reiss di depannya, sementara Elena dengan waspada memperhatikan Lucius di belakang saat mereka sedang berjalan.
"Kamu memberitahu bawahanmu yang lain kalau kamu akan pergi bersamaku ketika kita berangkat dari penginapan, jadi tidak perlu terlalu waspada. Selama kamu tidak mencoba memulainya sendiri, itu saja."
Reiss tertawa ketika dia berbicara dengan dua orang yang berjalan di belakangnya.
"Aku tidak berniat melakukan apapun selama aku bisa memastikan keamanan Estelle. Namun, aku harap kau siap untuk yang terburuk jika aku menemukan kalau Estelle telah disakiti."
"Kalau begitu, kita berdua tidak perlu khawatir. Tolong berhenti di sini."
Kata Reiss, menunjuk ke batu besar di depannya.
Tiga orang menggunakan jubah yang menutupi wajah mereka dan seorang gadis muncul dari balik batu besar itu. Sepertinya gadis itu mengenakan kerah penyegel sihir, tapi tidak ada tanda-tanda cedera.
Dia memiliki ekspresi sedih di matanya, ketika gadis itu melihat kakak perempuannya yang berada seratus meter di depannya.
"Estelle!"
Sylvie secara refleks berlari. Namun—
"Ah, tolong jangan lebih dekat dari ini."
Reiss menghalangi jalannya.
"Ngh......."
"Seperti yang dijanjikan, kamu telah memastikan keselamatannya, bukan? Sudah waktunya kita kembali."
Kata Reiss dengan kejam, ekspresinya dingin.
Sylvie mengirimkan tatapan membunuh ke arahnya.
"Apa?! Aku hanya bisa melihat wajahnya! Dan dari sejauh ini!"
"Tapi kamu sudah melihatnya, bukan? Kamu telah mencapai tujuanmu untuk memastikan keselamatannya, bukan?"
"Seolah-olah aku bisa yakin kalau dia tidak terluka hanya dengan melihatnya. Setidaknya biarkan aku berbicara dengannya."
Kata Sylvie, meminta dengan putus asa.
"Kami akan menerima risiko yang agak tinggi jika aku mengizinkannya.... Tapi, baiklah. Salah satu alasan mengapa pertemuan ini diatur adalah untuk memastikan kalau rasa stresmu tidak mendorongmu untuk bertindak di luar batas."
Kata Reiss, meletakkan tangannya di mulutnya seperti sedang berpikir.
"Lalu......"
"Namun, ada satu syarat yang harus kamu terima. Jika kamu menerima syarat itu, aku akan mengizinkanmu untuk melakukan berbicara dengannya tanpa gangguan selama beberapa detik."
"Apa syaratnya?"
Meski hanya untuk beberapa waktu yang sangat singkat, pemikiran untuk bisa berbicara dengan Estelle sudah cukup bagi Sylvie untuk setidaknya mendengarkan syarat dari Reiss.
"Yang Mulia harus menyerahkan pedang sihir itu kepada Ksatria pengawalmu."
".....Apa itu sudah semuanya?"
Sylvie bertanya dengan heran. Dia mengharapkan syarat yang lebih menuntut dari Reiss di saat yang seperti ini.
Pedang sihir yang digunakan oleh Sylvie merupakan harta nasional dari artefak kuno. Dia tidak akan membiarkan Reiss atau Lucius memegangnya, dan bahkan dibandingkan dengan partner aliansi yang tidak dapat dipercaya itu, dia hampir tidak bisa mempercayakan pedang sihirnya itu kepada pengawal terdekatnya Elena.
"Ya. Untuk seseorang yang sekuat Putri Ksatria, aku lebih suka menempatkan banyak penyegel sihir kepadamu, tapi aku akan menaruh kepercayaanku kepadamu. Anggap ini sebagai tindakan untuk memperdalam kepercayaan kita satu sama lain."
Kata Reiss, meminta dengan nada serius yang aneh untuk sekali.
"Oke..... Elena, tolong pegang ini sebentar."
Sylvie melepaskan sarung pedang di pinggangnya dan menyerahkannya kepada Elena.
"Aku akan menjaganya dengan sangat hati-hati."
Elena berlutut dan menerima pedang sihir itu dengan hormat.
"Pergilah." Kata Reiss, meminta.
Sylvie berjalan menuju Estelle. Estelle sendiri telah dibebaskan sementara dan mulai bergerak ke arah Sylvie dengan takut-takut. Semakin dekat mereka berdua, semakin cepat kaki mereka bergerak.
"Apa kamu tidak terluka, Estelle?"
"Iya. Aku sangat menyesal atas semua masalah yang telah aku sebabkan, Sylvie Nee-sama."
Keduanya memegang tangan satu sama lain dan bertukar kata² reuni. Sylvie tersenyum gembira karena melihat adik perempuannya baik-baik saja, tapi ekspresi Estelle terlihat muram karena kenyataan kalau keberadaannya sendiri sekarang menjadi ketidaknyamanan bagi kakak perempuannya dan Kerajaannya.
"Jangan biarkan hal itu mengganggumu — kamu tidak bersalah di sini. Jangan gegabah dan melakukan sesuatu yang aneh."
Sylvie memegang tangan Estelle dengan erat.
"Baik......"
Estelle mengangguk dengan senyuman yang lemah.
"Apa mereka melakukan sesuatu yang aneh kepadamu?"
"Tidak Nee-sama. Aku telah ditempatkan ke dalam sel, tetapi kondisi hidupku tidak jauh berbeda saat aku masih tinggal di Kastil."
"Aku mengerti..... Apa ada hal lain yang sedang mengganggumu?"
"Tidak ada. Aku yakin keadaanmu jauh lebih buruk daripada diriku. Jika perlu, tolong buang aku."
"Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. Tidak pernah."
Kata Sylvie, ekspresinya tegang.
"Terima kasih....."
Estelle meletakkan tangannya di dadanya dan menundukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Waktunya telah habis."
Reiss mendekati Sylvie dari belakang, ditemani oleh Elena dan Lucius.
"Baiklah."
Sylvie berbalik sambil menghela napasnya dan mendekati Elena, yang berdiri di samping Reiss.
"Ambil ini, Sylvie-sama."
"Oke."
Elena berlutut di tanah, mengembalikan pedang sihir itu kepada Sylvie. Saat dia melakukannya, dia bisa melihat dengan baik sosok Estelle yang tidak terluka dan menghela napas leganya.
"Sekarang, Estelle-sama. Silakan kembalilah ke orang-orang di sana." Kata Reiss, melihat ketiga orang berjubah di dekat batu.
"Baik."
Estelle mengangguk. Dia memisahkan dirinya dari Sylvie dan yang lainnya dan mulai berjalan kembali.
Kemudian, dari sebuah batu yang terletak secara diagonal di samping Estelle dan para orang² berjubah itu, sesosok tubuh melompat keluar dengan kecepatan super. Sosok itu berlari untuk memotong jarak antara Estelle dan para penculiknya, dan ada siluet senjata seperti tombak di tangannya.
Sosok misterius itu mengangkat senjata panjangnya dengan mudah dengan satu tangannya, menghalangi jalan para orang² berjubah itu dan membanting senjata itu ke tanah.
"Ap.....?!"
Dinding es raksasa muncul di antara Estelle dan orang² berjubah itu. Tingginya sekitaran beberapa meter dan muncul tepat di depan Estelle, membuatnya mundur karena kaget. Sylvie dan Elena juga tampak terkejut.
Tetapi di sisi lain......
[ Hehe. Seperti yang dikatakan rumor, dia tampaknya adalah anak laki-laki dengan karakter yang pasti. Berkat itu, aku telah diselamatkan dari kesulitan untuk menemukan di mana dia bersembunyi. ]
Reiss menyeringai menakutkan ketika dia melihat bagian belakang sosok yang berdiri di depan Estelle.
◇◇◇◇
Sosok misterius yang tiba-tiba berdiri di antara tiga orang berjubah dan Estelle yang telah menciptakan dinding es untuk memisahkan mereka.
"R-Renji?!"
Hero yang bisa mengendalikan Divine Arms bernama Cocytus: Kikuchi Renji.
"Oh? Apa artinya ini, Sylvie-sama?"
Reiss memasang tawa di mulutnya dan segera menanyai Sylvie yang ada di sampingnya.
"T-Tidak, ini....."
Sylvie menjadi panik, mengira kalau Renji telah mengikuti mereka dari penginapan, di saat—
"Aku yang seharusnya mengatakan itu."
Renji membawa tombaknya ke bahunya saat dia mendekat. Kemudian, dia berdiri seolah melindungi Estelle dari Reiss dan yang lainnya.
"Renji......."
Estelle berkedip berulang kali ketika menatapnya.
"Wah, wah, bukankah ini Renji-sama sang Penyendiri. Kita baru saja bertemu sebelumnya. Kalau begitu, aku akan bertanya kepadamu: Apa artinya ini?"
Reiss bertanya dengan senyuman tak kenal takut.
"Apa kau tidak mendengarku? Seharusnya aku yang menanyakan itu. Sylvie mengatakan kalau Estelle sedang memulihkan diri. Mengapa dia diperlakukan seolah-olah dia adalah sanderamu? Apa kau punya sesuatu hal yang mau kau katakan tentang itu."
Kata Renji, mengerutkan keningnya ketika dia membalas tatapan Reiss.
"Kenapa? Itu karena dia memang seorang sandera."
Reiss mengakui tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Oh? Jadi kau bahkan tidak membuat alasan apapun? Kau memiliki cukup keberanian."
"Itu karena aku tidak perlu membuat alasan apapun dari awal. Kamulah yang mengganggu kami tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, mencoba untuk mengambil kendali seolah-olah kamulah yang menguasai situasinya. Bukankah kamu yang cukup memiliki keberanian di sini?"
"Pemahamanku tentang situasinya sudah cukup. Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, kah menggunakan Estelle sebagai sandera untuk mengendalikan Sylvie. Itulah yang telah kau akui sendiri."
Kata Renji, membantah perkataan dari Reiss.
"Itu benar. Kamu telah berada di seluruh adegan penyanderaan terjadi."
"Dasar sampah..... Sylvie, Elena, kemarilah. Estelle aman sekarang, jadi tidak ada alasan untuk mematuhi mereka lagi."
Renji menatap Reiss dengan tatapan jijik.
"Apa kamu yakin akan itu?" Kata Reiss, tertawa puas.
"Aku tidak bertanya padamu."
"Begitukah. Tetapi apa kamu pikir kami akan mengabaikannya secara pasif?"
Reiss bertanya kepadanya.
Tiga orang berjubah itu muncul dari kedua sisi dinding es yang telah dibuat Renji; pedang mereka terhunus dan siap untuk bertarung.
[ Aku membuat dinding itu dengan tujuan menjebak mereka di dalamnya, tapi kurasa mereka menghindarinya di saat² terakhir, ya? ]
[ Sepertinya mereka cukup gesit. Selain itu, kenapa Sylvie dan Elena terlihat sangat ketakutan? ]
Renji mengamati orang-orang di sekitarnya dengan cepat.
"Jika kau tidak ingin menjadikanku musuh, yang disebut sebagai sang penyendiri dan Ice Emperor, kau sebaiknya tidak melakukannya. Aku tidak tahu siapa dirimu atau dari mana kamu berasal, kamu juga tidak ingin mati di tempat seperti ini, bukan?"
Kata Renji kepada Reiss, yang berdiri di barisan serangannya.
"Provokasi yang murahan."
"Aku tidak ingat memprovokasi siapapun."
"Aku mengerti. Jadi kamu adalah orang bebal, ya?"
"Sepertinya kau ingin menjadikanku musuh....."
Untuk mengintimidasi Reiss, Renji menunjukkan tombaknya dan memegangnya dengan posisi siap bertarung.
"Ya, ya, aku mengerti. Sepertinya kamu bahkan lebih egois daripada rumor yang beredar tentang dirimu. Ceroboh, tergesa-gesa, dan sombong. Tipe kepribadian yang tidak cocok untuk bernegosiasi, namun kamu tampaknya memiliki bakat yang pas untuk itu."
Tanpa tanda-tanda terlihat mundur, Reiss memuji Renji dengan ekspresi tidak peduli.
"Apa kau sedang meremehkanku?"
"Aku memujimu loh. Caramu menunjukkan kekuatan luar biasamu untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan secara sepihak persis seperti cara Kerajaan besar yang berurusan dengan Kerajaan kecil. Keberanian yang kamu miliki dalam memaksa segala sesuatu berjalan sesuai keinginanmu benar-benar sangat luar biasa."
"Dia hanya seorang idiot yang tidak punya pengetahuan tentang bagaimana dunia bekerja, maksudmu?"
Lucius menyela dengan tawa mengejek.
"Kedengarannya orang di sana ingin mati duluan."
Renji mengangkat tombaknya dengan satu tangan, mengarahkan ujungnya ke arah Lucius.
"Oi, Reiss. Bisakah aku membunuh bocah kurang ajar ini?" Lucius bertanya kepadanya.
Reis tertawa.
"Apa minatmu akhirnya bangkit lagi?"
"Apa kau baru saja memanggilku bocah nakal?"
Kata Renji, mengerutkan keningnya dengan ekspresi tidak senang.
Ada lebih sedikit orang yang meremehkannya dengan menyebutnya pendek atau nakal saat ini, tetapi hal semacam itu telah terjadi secara sering ketika dia pertama kali menjadi seorang petualang. Jadi, bagi Renji, kata-kata menghina seperti "bocah nakal" adalah hal yang tabu. Dia telah memberi pelajaran semua orang yang memandang rendah dirinya seperti itu dengan cara yang menyakitkan, tanpa kecuali.
"Aku tidak peduli siapa kau, dan bagaimanapun aku melihatnya, kau hanyalah bocah nakal. Terutama bagian di mana kau melebih-lebihkan dirimu sendiri hanya karena kau mendapatkan sedikit hal sebagai seorang petualang."
Kata Lucius, mencemooh Renji dengan jijik.
"Aku telah memberi pelajaran kepada semua orang yang memandang rendah penampilanku. Kau mungkin berakhir di tempat yang sama dengan mereka."
"Jadi, kau dipandang rendah karena penampilan dan sikapmu. Betapa menakutkannya. Maaf tentang itu, bocah kecil yang egois."
"Teruslah bicara....."
Renji mendidih karena amarah yang cukup untuk menyerangnya kapan pun, dia memelototi Lucius dengan tatapan membunuh.
"T-Tunggu, Renji. Jangan bertindak gegabah."
Sylvie memanggilnya dengan tergesa-gesa.
"......Apa yang kau katakan itu, Sylvie? Orang² ini telah menyandera Estelle dan karena itu kau tidak bisa melawan mereka, kan?"
Renji bertanya dengan nada tegas.
"Itu........"
Sylvie terdiam dengan ekspresi yang bertentangan.
[ Memang benar kalau situasi ini mungkin tampak menguntungkan. Namun, Kerajaan Rubia yang sekarang tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan Kekaisaran Proxia. ]
[ Jika aku mengikuti arus dan memihak Renji, Kekaisaran Proxia mungkin akan mulai menyerang kami sebagai pembalasan. Jika itu terjadi, Kerajaan kami akan jatuh dalam hitungan bulan. ]
[ Jika fakta tentang aku yang membantu Kekaisaran Proxia pada perjamuan sebelumnya beredar, kami bisa terisolasi dari Kerajaan² di sekitar kami. Akan berbeda jika penyelamatan dilakukan secara rahasia, tapi situasi yang terjadi saat ini...... ]
Mungkin saja Sylvie terlalu memikirkannya, tapi bagaimana jika situasi ini adalah jebakan yang telah dibuat oleh Reiss?
Perhatiannya telah sepenuhnya terfokus pada reuninya dengan Estelle, tetapi ketika dia melihat kembali sekarang, dia punya banyak alasan untuk takut kalau percakapannya di penginapan sebelumnya dibuat untuk membujuk Renji agar mengikuti mereka.
Jika demikian, situasi saat ini sudah diatur oleh Reiss untuk memastikan niat Sylvie yang sebenarnya. Itu adalah asumsi alami yang dibuatnya. Meskipun masih terguncang oleh situasinya sekarang, Sylvie dengan putus asa memeras otaknya.
"Apa yang salah? Tolong katakan sesuatu, Sylvie."
Kata Renji dengan sedikit cemas.
"Hehe. Sepertinya hubungan yang kita punya sudah cukup kuat untuk menahan sesuatu yang sederhana seperti memindahkan sandera."
Jawab Reiss atas nama Sylvie.
"Apa.....?"
Kata Renji, mengerutkan keningnya.
Renji sudah bisa membayangkan kalau hal itu karena mereka mengancamnya dengan alasan lain.
"Renji. Aku menghargai tindakan yang kamu lakukan demi diriku, tetapi ini adalah masalah Kerajaan kami. Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan aku yang kembali begitu saja ke Kerajaan saat ini."
Estelle, yang diam di samping Renji sampai sekarang, akhirnya mengambil keputusan dan angkat bicara. Ekspresi dan kata-katanya sama-sama lembut, tetapi pada saat yang sama memiliki rasa putus asa.
"Lihat? Inilah sebabnya aku menyebutmu sembrono, tergesa-gesa, dan sombong. Kamu sudah melangkah ke masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan kekuatanmu." Kata Reiss, mencemoohnya.
"Aku juga telah mengatakannya. Kalau kau hanyalah seorang idiot yang tidak mengerti caranya dunia bekerja."
Kata Lucius, mengejek Renji dengan tertawa menghina.
".........."
Renji berdiri di tempatnya, gemetaran karena marah. Setelah membuat pernyataan dramatis tentang niatnya untuk menyelamatkannya, sandera itu sendiri menolak untuk diselamatkan. Hal itu pastilah pemandangan yang sangat lucu bagi mereka.
".....Jangan meremehkanku."
Kata Renji setelah beberapa jeda singkat.
"Oh?" Lucius menjawab tanpa minat yang jelas.
"Apa menurutmu kekuatanku tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini?"
Renji bertanya kepada Reiss dan Lucius dengan kilatan kemarahan yang tidak ada arah di matanya.
"Bwahaha, kah benar-benar bocah nakal. Mengapa kamu tidak beralih dari seorang petualang menjadi badut masa pelatihan?"
Lucius berkata sambil menahan tawanya.
"Aku akan mengatakan ini sekali lagi: jangan meremehkanku."
"Bagaimana jika aku melakukannya?"
"Kau hanya punya dua pilihan: tundukkan kepalamu ke tanah dan minta maaf padaku melalui darah yang mengalir di dahimu dan bersumpah untuk menjauh dari Sylvie dan Estelle, atau dibunuh olehku di sini. Putuskanlah sekarang."
"Aku yakin akan ada lebih banyak pilihan yang tersedia daripada itu."
"Oh?"
Suasana mencekam antara Lucius dan Renji seperti menginjak es.
"Renji! Berhentilah! Jangan lakukan hal bodoh!"
Sylvie mencoba menghentikannya dengan terburu-buru, Namun—
"Maaf, tapi ini bukan masalahmu lagi. Ini masalahku juga sekarang. Aku tidak bisa memaafkan siapapun yang memandang rendahku. Aku harus menyelesaikan ini dengan cara petualangku — terutama melawan Tuan penutup mata di sana. Apa kau siap?"
Meremehkan adalah kekalahan. Itulah yang dimaksudkan ketika menjadi seorang petualang, karena itulah, dia menolak untuk mendengarkan lebih lama lagi. Kepalanya sudah dipenuhi dengan kemarahan terhadap Lucius dan Reiss sekarang.
"Yah, aku juga tidak bermaksud membiarkanmu pulang dengan tenang sekarang setelah kamu menyaksikan kejadian ini. Yang artinya....."
Reiss menunjukkan tatapannya kepada Lucius, yang menemaninya sebagai penjaga. Lucius mengangkat bahunya dengan ringan sebelum meletakkan tangannya di gagang pedang yang disarungkan di pinggangnya.
"Mohon tunggu, Reiss! Aku akan membicarakannya sendiri dengan Renji."
Kata Sylvie, mencoba untuk menyelesaikan sesuatu dengan damai.
"......Apa menurutmu aku akan kalah dari orang-orang ini, Sylvie?" Renji bertanya dengan nada pahit.
"Aku tahu betul kalau kau adalah petualang yang tak terkalahkan di sini. Namun, bahkan jika kau membunuh mereka, hal itu akan menjadi masalah bagi kami juga. Tolong mengertilah." Kata Sylvie, memintanya.
"Hoo.... luar biasa. Tak terkalahkan di sini, ya?"
"Tolong jangan memprovokasi Renji!"
Kata memarahi Lucius karena ejekannya.
"Meski kau mengatakan itu, tapi dia sudah siap untuk bertarung loh."
"Ya, karena aku tidak mengikuti perintah siapa pun."
Kata Renji, menyatakan kalau dia akan memulainya.
"Ngh....." Sylvie menghela napas dengan putus asa.
"Hmm. Tampaknya Sylvie-sama memiliki pendapat yang cukup tinggi tentang kemampuan sang penyendiri. Yang menjadikan ini kesempatan sempurna bagi kami untuk menunjukkan kemampuan kami sebagai partner kerja yang sama. Jadi, jika aku boleh memberi saran — bagaimana kalau bertaruh?"
Kata Reiss, seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah ide bagus.
"Bertaruh?"
Sylvie mengerutkan keningnya, bertanya-tanya apa yang Reiss rencanakan dalam situasi seperti ini.
"Seharusnya ini bukanlah kesepakatan yang buruk bagimu, Sylvie-sama. Kita akan melakukan duel satu lawan satu antara penjagaku, Lucius dengan sang penyendiri yang di sana, dan yang kalah harus menerima syarat dari pemenang. Hmm..... Jika sang penyendiri yang menang, aku berjanji untuk melepaskan Estelle-sama tanpa syarat. Dan aku akan mengabaikan apa yang terjadi di sini."
"Kenapa kau tiba-tiba membuat keputusan itu....?"
Sylvie bertanya dengan tatapan waspada.
"Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Karena aku sangat menghargai fakta kalau kamu tidak mengkhianati kami ketika sang penyendiri ikut campur. Sebagai bukti kalau hal itu sangat berkontribusi pada hubungan saling percaya kita, aku hanya ingin memberikan sesuatu yang sesuai."
"Kalau begitu, aku yang akan bertarung—"
"Tidak, akulah yang bertarung."
Renji berbicara dengan keberatan ketika Sylvie mengajukan dirinya dalam duel tersebut.
"Renji......"
"Seperti yang aku katakan, ini adalah pertarunganku sekarang. Aku tidak punya niat untuk mundur setelah diremehkan sejauh ini."
"Kalau begitu, sudah diputuskan."
Kata Reiss, tersenyum senang.
"Aku tidak keberatan dengan taruhan ini karena pertarungan ini adalah milikku. Tapi aku ingin syarat tambahan."
"Sesuai keinginanmu."
Reiss setuju dengan mudah ketika Renji meminta untuk menambahkan syaratnya. Ekspresi wajah Sylvie berubah menjadi pahit.
"Hmph. Tapi sebelum aku menyatakan syaratku, aku ingin mendengar syaratmu jika tuan penutup mata menang." Kata Renji.
"Aku hanya punya satu permintaan jika Lucius menang: sejak saat itu, kamu akan menjadi bawahanku dan mengikuti perintahku. Misalnya, jika aku menyuruhmu untuk melawan seseorang yang aku tunjuk." Kata Reiss.
".....Baiklah. Sebagai imbalannya, jika tuan penutup mata kalah dariku, kau akan memberiku semua uangmu dan menjadi budakku."
"Hehehehe, baiklah. Sudah diputuskan kalau begitu. Jika kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu katakan sebelum duelnya di mulai silakan saja. Kamu juga dapat membawa Estelle-sama untuk sementara waktu."
Jelas kalau syarat dari Renji lebih kuat daripada syarat yang Reiss buat, tapi Reiss langsung setuju dengan senyuman tak kenal takut. Kemudian, dia mulai berjalan keluar dari jangkauan pendengaran percakapan Sylvie dan menuju Lucius.
"Oi, Reiss." Kata Lucius di belakang punggung Reiss dengan nada tidak senang.
"Oh? Apa kau meragukan kemampuanmu untuk menang?"
"Bukan itu."
"Yakinlah. Bahkan jika kau menang, aku tidak akan melakukan apapun seperti menggunakan yang sang penyendiri untuk menuangkan air untuk rasa hausmu untuk membalas dendam. Aku akan kecewa jika kau kalah, jadi aku bermaksud memberimu banyak cadangan untuk itu."
Kata Reiss, menambahkan sambil mengangkat bahunya, merasakan kalau Lucius tidak puas.
"Aku bilang aku tidak butuh cadangan itu."
Mungkin karena mereka sedang membicarakan Rio sekarang, tapi atmosfer Lucius sekarang benar-benar berubah. Suaranya terdengar sedingin es tanpa setetes pun kehangatan.
"Oh? Tapi mata dan lenganmu itu adalah produk dari cadanganku yang paling berdedikasi, kan? Apa kau mengatakan kalau kau akan melakukan balas dendam tanpa menggunakannya?"
".......Diam."
Lucius memancarkan lebih banyak kemarahan pada sikap riang yang Reiss buat.
"Menyedihkan. Benar-benar orang yang aneh. Namun, kau perlu menemukan lokasi anak itu, bukan? Aku akan menghargainya jika kau lebih memercayaiku."
"Aku mengenalmu dengan baik. Kau tidak punya masalah dengan berbohong di depan orang lain — kemudian mengkhianati mereka dengan mudah setelah mendapatkan kepercayaan dari mereka.”
"Betapa kejamnya."
"Tapi aku tidak peduli dengan orang macam apa kau, itu di luar urusanku bajingan itu. Jadi cepatlah dan beritahu aku ada di mana dia sekarang."
"Aku sudah memberitahumu berkali-kali, lokasinya sedang aku diselidiki. Aku belum bisa memahami pergerakanya setelah dia mengantarkan Putri Pertama Kerajaan Beltrum ke Restorasi. Lagipula, dia tipe orang yang berkeliaran di mana-mana."
Kata Reiss sambil menghela napas lelah.
"Kalau begitu, aku tidak punya alasan untuk tetap bekerja sama denganmu."
Kata Lucius, menyiratkan kalau dia bebas untuk bertindak sendiri.
"Aku punya rencana. Dan metodeku harus sesuai dengan keinginanmu. Aku yakin itu akan jauh lebih efisien daripada mencari sendiri. Tidak masalah jika kau tidak menemaniku, tetapi jika kau tidak menemaniku maka aku harus mengecualikanmu ketika aku sedang bergerak, bukan?"
"Apa itu deklarasi perang kepadaku?"
"Aku terluka mendengarnya. Aku bahkan menyiapkan pertarungan ini untukmu sebagai awalan dari pertarunganmu dengan anak kesayanganmu. Kau baru saja sembuh akhir² ini, jadi indra pertarunganmu sedikit tumpul, bukan?"
".....Aku kehilangan minat untuk ini."
Memang benar kalau keterampilan Lucius telah tumpul setelah masa penyembuhannya yang lama. Karena alasan ini, dia berpikir menghancurkan Renji akan menjadi pengalih perhatian yang baik. Namun, ketika dia mengetahui tentang bagaimana perkembangan ini sepenuhnya direncanakan oleh Reiss, minatnya langsung berkurang drastis.
"Sekarang, jangan bahas itu. Tolong gunakan pertarungan ini untuk menguji kemampuan mata dan lengan itu. Jika kau kalah, kita akan menjadi budaknya, loh." Kata Reiss, tertawa senang.
"Apa kau mengatakan kalau aku akan kalah?"
"Hampir tepat. Selama dia belum menjadi Hero tingkat lanjut, tidak ada kemungkinan sedikit pun kalau kau akan kalah darinya."
"Hmph. Waktunya untuk menyelesaikan ini dengan cepat. Sepertinya mereka juga sudah siap."
Lucius menghentikan langkahnya dan berbalik saat dia berbicara. Renji juga telah selesai mengatakan apa yang perlu dia katakan kepada Sylvie dan Estelle. Mereka sedang memperhatikan Lucius dan Reiss dengan tatapan tajam.
"Kalau begitu, bisakah kita memulainya?"
Reiss dan Lucius mendekati Renji sekali lagi.
◇◇◇◇
Renji dan Lucius saling menatap tajam satu sama lain saat mereka berdiri di padang rumput liar yang dipenuhi dengan batu-batu besar. Di samping mereka ada Reiss dan Sylvie, dan beberapa puluh meter lagi di kejauhan ada Estelle, Elena, dan tiga orang berjubah.
"Baiklah, untuk beberapa aturan sederhananya. Kemenangan akan ditentukan dengan membuat lawan menyerah atau membuat mereka tidak bisa bertarung lebih jauh. Membunuh secara teknis akan melanggar aturan, tetapi sebenarnya tidak ada hukuman untuk melakukannya. Apa kalian keberatan?"
Kata Reiss, menjelaskan secara singkat.
"Oh? Kemampuanku tidak cocok untuk membuat lawanku pingsan, tetapi kau bilang tidak masalah jika aku akhirnya membunuhnya? Sungguh mudah."
Renji tersenyum, suasana hatinya cerah yang akhirnya membungkam orang di depannya. Renji sama sekali tidak meragukan kemampuannya sendiri untuk menang, yang anehnya bisa menenangkan amarahnya dan meningkatkan semangatnya. Tidak diragukan lagi kalau saat ini Renji berada dalam kondisi terbaiknya.
"Aku tidak keberatan jika kau mendatangiku dengan niat untuk membunuhku. Gunakanlah kekuatan tombakmu itu sesukamu. Jangan coba² menahan diri."
Jawab Lucius dengan berani.
"Itulah niatku dari awal...... Setelah semua omong kosongmu, sebaiknya kau bisa selamat dari serangan pertamaku. Aku sudah bosan menghabisi semua musuhku dalam satu tembakan."
Kata Renji, mengeluh dengan dramatis.
"Tentu. Aku nantikan itu."
Lucius mencabut pedang hitam di pinggangnya dengan tangan kirinya saat dia berbicara. Kemudian, dia melepas penutup matanya. Di baliknya ada bola mata berwarna sangat gelap yang menyelimuti segalanya. Tidak ada perbedaan antara pupil, iris, atau konjungtiva. Seolah-olah bola matanya itu memiliki kegelapan pekat menggantikan mata kirinya.
[ Tangan kiri, ya..... Lengan kirinya yang dibalut dengan perban yang terlihat aneh..... Apa dia menderita sindrom anak kelas delapan versi dunia lain? Belum lagi pedang hitamnya itu..... Dan ada apa dengan mata hitam yang menyeramkan itu? Bisakah dia melihat dengan itu? ]
Renji menatap Lucius dengan jijik.
"Oi, kenapa kau hanya diam? Kakimu membeku karena merasa takut?" Lucius bertanya sambil mencemoohnya.
"Tidak, aku sedang melihat mata, lengan kirimu, dan pedangmu itu. Mereka semua terlihat sangat mencolok, jadi semua itu hanya akan menjadi bahan tertawaan yang nyata jika mereka Cuma untuk penampilan saja."
Kata Renji, tertawa mengejek.
"Hentikan obrolan di sana. Saat batu kerikil yang aku lemparkan ini menyentuh tanah, duel ini akan dimulai. Sekarang, ambillah posisi kalian masing². Kami akan mundur juga."
Kata Reiss, berjalan ke tempat Estelle bersama Sylvie.
Begitu Reiss berada sekitar dua puluh meter jauhnya, dia melemparkan batu seukuran telapak tangannya. Batu itu terbang dalam garis parabola, mendarat di antara Renji dan Lucius. Saat batu itu mendarat, Renji menutup jarak sepuluh meter dari Lucius dalam sekejap mata, mengayunkan tombaknya ke bawah dengan kekuatan besar.
Lucius bereaksi terhadap kecepatan itu dengan bergerak mundur dengan jarak minimal. Bilah pisau pada ujung tombaknya tidak mengenai wajah Lucius yang hanya berjarak selebar sehelai rambut.
"Hmm, jadi kau bisa bereaksi dengan baik dengan kecepatan ini." Kata Renji seolah dia terkesan.
"Tapi sekarang saatnya kau mati."
Seketika, area sepuluh meter di depannya membeku, menciptakan balok es setinggi beberapa meter yang menelan Lucius.
"Hmph. Sepertinya kalian hanya bisa membual...."
Kata Renji, melampiaskan amarahnya yang terpendam.
Renji menuangkan esensi sihir ke dalam Divine Arms miliknya untuk meningkatkan kekuatan fisiknya dan mengayunkan tombaknya ke balok es dengan sekuat tenaga.
"Haaa!"
Serangan itu adalah tindakan yang terlalu bersemangat. Dampaknya menyebabkan suara retakan yang luar biasa, tombak itu mengeluarkan bongkahan es tanpa henti, mengirimkan serbuk es ke mana-mana.
Renji memejamkan matanya dan tersenyum, membawa tombaknya untuk bersandar di bahu kanannya.
"Ini sudah berakhir. Setelah semua ocehan yang harus aku dengarkan, kau tidak berbeda dari rata-rata sampah yang ada di Guild petualang.... Sungguh mengecewakan. Akan lebih menarik jika kau benar-benar meminta maaf dan menjadi budakku."
Kata Renji, seolah-olah yakin akan kemenangannya. Namun—
"Aku tidak bisa membayangkan kalau ada orang bodoh yang begitu sangat bodoh."
Suara seseorang yang seharusnya tidak ada di sana bisa terdengar. Dia seharusnya sudah mati.
"A-Apa.....?" Renji berbalik.
Gedebuk. Suara sesuatu yang menghantam lantai tanah.
Di saat berikutnya, Renji merasa seperti sisi kirinya menjadi lebih ringan dengan cara yang aneh. Dia berbalik untuk melihat Lucius berdiri dengan pedang hitam di tangannya.
"Kau sangat mengecewakan, aku benar-benar kehilangan minat. Ini bahkan tidak bisa disebut sebagai pemanasan untuk pertarunganku dengan bajingan itu."
Kata Lucius dengan tatapan bosan.
Renji menatap Lucius dengan ekspresi tidak percaya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke tanah di mana suara itu berasal. Ada sebuah lengan jatuh di tanah mengenakan pakaian yang terlihat sangat familiar baginya. Apa artinya ini?
".....Sebuah lengan? Tunggu..... Lengan kiriku?"
Renji sangat bingung saat dia melihat di mana lengan kirinya seharusnya berada. Namun, lengan kirinya tidak ada di sana. Sebaliknya, sejumlah besar cairan merah menyembur keluar, mengalir ke tanah.
"RENJI!"
Satu detik kemudian, suara jeritan seorang gadis yang dikenalnya bisa terdengar di kejauhan. Renji mendongak untuk melihat Sylvie yang terlihat sangat pucat, Reiss dan tiga orang berjubah menghalanginya untuk berlari ke arahnya.
"Oi."
Lucius mencengkeram leher Renji dengan tangan kanannya, dengan mudah mengangkat tubuh kecilnya ke udara.
"Gah....." Renji mengerang kesakitan.
Berjuang untuk bernapas, dia akhirnya menyadari kenyataan dari apa yang telah terjadi.
"Apa yang bisa kau lakukan hanya dengan satu tangan? Haa?"
"Gngh..... Ugh....."
Lucius mengencangkan cengkeramannya yang membuat ekspresi Renji memelintir dengan kesakitan. Kehilangan kekuatannya, tombak di tangannya jatuh ke tanah dengan suara keras.
"Apa kau frustrasi? Harusnya begitu. Aku sangat mengerti. Aku selalu bisa melihat wajah bajingan itu setiap kali aku melihat lengan kiriku ini. Itu sebabnya, aku tidak akan puas hanya dengan mengambil lengan kiri bajingan itu. Aku tidak akan puas hanya dengan mencongkel mata kirinya. Aku tidak akan menerimanya jika dia mati langsung mati karena itu. Karena itulah, aku akan mengambil semuanya darinya, tepat di depan matanya. Aku akan membunuhnya setengah mati dan menyeretnya berkeliling, lalu menyeret semua orang yang berharga baginya dan membuatnya melihatnya."
Lucius mengoceh akan dendamnya dengan matanya yang memerah karena marah.
"Uhh..... Ah...... Ugh......"
Kesadaran Renji perlahan memudar, cahaya di matanya melemah seketika.
"Melihat ekspresimu barusan mengingatkanku kepada bajingan itu lagi. Itu mengapa aku menggunakanmu sebagai contoh dari hal yang nyata — jadi jangan berpikir aku akan membiarkanmu pingsan dengan mudah. Oi, apa kau mendengarkan? Untuk apa kau pingsan?!"
Lucius meneriaki Renji dengan keras, lalu melemparkan tubuhnya ke dalam lubang yang telah tercungkil karena balok es miliknya. Balok es yang melemah itu hancur dan menghujani Renji dari atas.
".........."
Ada keheningan total selama beberapa detik, tetapi setelah beberapa saat, tombak Renji menghilang dari tempatnya yang tergeletak di tanah.
"Bangsat.... Kau....!"
Renji melompat keluar dari es. Tombaknya terkepal di tangan kanannya saat dia menyerang Lucius, dia kehilangan dirinya sendiri dalam kemarahannya.
"Hmph."
Meskipun masih ada jarak di antara mereka, Lucius mengayunkan pedang di tangan kirinya. Renji kemudian kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.
"Guh?!"
Renji mencoba untuk bangkit, tapi dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke depan. Dia mencoba berdiri lagi, tetapi jatuh sekali lagi.
Seolah-olah dia tidak bisa mendapatkan pijakan sama sekali. Kaki Renji telah terputus di lututnya.
"Coba lihatlah kakimu." Kata Lucius, mencemoohnya.
Renji melihat ke arah tubuh bagian bawahnya.
"K-Kapan ini....?! Gah!"
Segera setelah itu, Lucius berdiri di depannya dan menendang wajahnya dengan semua kekuatannya. Tubuh Renji terbang beberapa meter ke udara.
"Oii! Sebaiknya ini bukanlah menjadi semua yang kau punya!"
Lucius memotong di bawah Renji dan meluncurkan tendangan tajam ke atas ke tubuhnya yang jatuh.
"Gnghh.....!"
Tubuh Renji terbang ke udara sekali lagi. Dia bisa melihat sosok Lucius semakin jauh di bawahnya, tetapi sebelum dia menyadarinya, Lucius telah menghilang. Atau begitulah yang dia pikirkan—
"Sedang melihat ke mana kau?"
Suara Lucius datang dari atas kepalanya, diikuti oleh hantaman keras di punggungnya. Lucius telah mendaratkan Axe Kick dengan sekuat tenaga.
{ TLN : Axe Kick itu gerakan taekwondo }
"Ap.....?!"
Tubuh Renji dipercepat ke bawah. Dia jatuh ke tanah, tidak mampu menahan benturan keras itu. Tombaknya jatuh dari tangan kanannya sekali lagi. Saat tubuhnya memantul kembali ke atas karena hantaman keras itu, Lucius muncul di hadapannya.
"Yo."
Katanya dengan riang, mencengkram leher Renji dengan tangan kanannya. Lalu dia mengencangkan cengkeramannya.
"Aah....."
Pada saat itu, rasa takut memenuhi mata Renji untuk pertama kalinya. Seolah-olah untuk mendukung itu, Cocytus menghilang dari tempatnya yang tergeletak di tanah. Lucius juga tidak gagal untuk memperhatikan itu.
"Sepertinya kau memilih melawan orang yang salah, ya?" Kata Lucius, melemparkan tubuh Renji ke tanah.
"Ugh.... Urgh.... A-Aku menye.... Gah?!"
Berbaring dengan wajah menghadap ke bawah, Renji menggunakan tangan kanannya untuk merangkak mati-matian menjauhkan diri dari Lucius saat dia mencoba mengatakan dia menyerah. Namun, Lucius menginjak punggung Renji sebelum dia bisa melakukannya.