"Benar, pakaianmu memang terlihat usang. Tapi aku bukan bangsawan."
"O-Oh, begitu."
"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini?"
Renji bertanya kepada gadis yang sedikit cemberut itu.
Ketika gadis itu menyadari kalau Renji bukanlah seorang bangsawan, dia mengendurkan kewaspadaannya dan menghela napasnya dengan ringan. Dengan sikapnya yang agak berubah, gadis itu menanyainya dengan cara yang tidak terlalu formal.
"Itulah yang seharusnya aku tanyakan.... Haha. Siapa kamu ini?"
"Aku seorang pengembara."
"Seorang pengembara......"
Gadis itu menatap Renji dengan tatapan meragukan.
"Tidak perlu curiga padaku. Aku di sini bukan untuk melakukan hal buruk."
"Hmm..... Jadi apa yang kau inginkan dari desa kami? Oh, apa kau datang ke sini karena kamu melihat pilar cahaya itu?"
Gadis itu masih menatap Renji dengan tatapan tidak percaya, tapi kemudian dia memikirkan kemungkinan alasan mengapa Renji datang berkunjung dan menanyakannya hal itu.
"Pilar cahaya?"
Renji memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Pilar cahaya itu menghilang segera, tetapi ada pilar cahaya yang menakjubkan di langit sekarang."
"Ah..... Cahaya yang itu ya. Baiklah. Aku memang melihatnya dari kejauhan dan pergi ke arah ini. Aku tidak benar-benar memiliki tujuan, jadi aku hanya mengikuti cahaya itu."
Renji dengan cepat mencocokkan ceritanya dengan kata-kata dari gadis itu.
"Aku tahu itu. Jika itu memang pilar cahaya yang kamu ikuti, pilar cahaya itu berasal dari hutan. Semua orang di desa terkejut dan membuat keributan karena hal itu. Beberapa orang pergi ke hutan untuk menyelidiki, tetapi mereka akan segera kembali."
Gadis itu menjelaskan dengan penuh semangat.
[ Berdasarkan situasinya, pusat kawah tempatku berdiri sebelumnya bisa menjadi titik pilar cahaya itu, kan? Jadi cahaya itulah yang memanggilku ke dunia ini. ]
"Aku mengerti."
Renji mengangguk sambil menganalisis situasi di dalam kepalanya.
"Jika kamu ingin mendengar lebih banyak tentang itu, aku bisa mengantarkanmu kepada ketua."
Gadis itu menawarkan dengan ramah.
"Tidak.... Meski aku juga tertarik dengan itu, tapi aku punya sebuah permintaan lain."
"Sebuah permintaan?"
"Aku tidak punya tempat untuk pergi. Bisakah aku tinggal di desa ini?"
"Heh.....?"
"Bolehkah? Kalau tidak, aku akan tidur di luar."
"Kau bisa menanyakannya kepada kepala desa."
"Kalau begitu, tolong tanyakan kepadanya."
"Heh? Kenapa aku? Aku hanya akan menunjukkan jalannya kepadamu, jadi kau bisa bertanya padanya sendiri." Kata Gadis itu, mengerutkan keningnya.
"Baiklah. Sepertinya memang aku yang harus melakukannya."
Kata Renji, setuju dengan mengangkat bahunya.
[ Sungguh orang yang aneh. Warna rambutnya juga..... Terlalu aneh, dan warna hitam bukanlah yang pernah kulihat di desa ini. Wajahnya tidak terlalu terlihat cantik, tapi terlihat agak muda? ]
[ Tetap saja, dia sombong dan tidak tahu malu. Aku kira semua anak laki-laki seperti ini. ]
Teman masa kecil gadis itu muncul di benaknya saat dia membandingkan sikap Renji dengan sikap teman masa kecilnya itu, membuatnya menghela napas pelan.
"Ayo kita pergi, kalau begitu."
Gadis itu mendorongnya untuk mengikutinya
"Baiklah."
"Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"......Namaku Renji."
Ketika gadis itu menanyakan namanya, Renji menjadi ragu-ragu sebelum menjawabnya. Alasan mengapa jawabannya tertunda adalah karena dia takut menyebutkan nama jepangnya akan terdengar dipertanyakan. Namun, Renji adalah nama yang bahkan dikenal di luar negeri, jadi dia pikir dia bisa menggunakannya secara terbuka di sini.
"Aku mengerti. Namaku Rhea. Senang bertemu denganmu."
Beginilah cara Renji dan Rhea pertama kali bertemu.
◇◇◇◇
Malam itu, di rumah Rhea.....
"Ugh, kenapa dia harus tinggal di sini? Aku seorang perempuan muda lajang yang hidup sendiri....."
Rhea berkata kepada dirinya sendiri dengan bibirnya yang cemberut saat dia memasak di dapur.
"Kaulah yang menyetujuinya." Kata Renji canggung.
"Jujur, mengapa aku harus menyetujuinya?"
Rhea telah mengantarkan Renji kepada kepala desa, tetapi kepala desa itu telah menyatakan ketidaksetujuannya dalam menyediakan tempat untuk Renji menginap.
"Serius deh. Kau siapa sih?"
"Aku sudah bilang kalau aku adalah pengembara yang sedang mengembara."
"Tapi kau sangat tidak biasa....."
Renji menolak untuk menjelaskan latar belakangnya dengan benar. Karena dia mencoba menyembunyikan pemanggilannya ke dunia ini, dia tidak bisa menahan kekurangannya untuk latar belakangnya, tetapi sebagai hasilnya, semua penduduk desa — termasuk kepala desa — memandangnya dengan tatapan tidak percaya.
Jika dia bukan seorang bangsawan, mengapa dia memiliki pakaian bersih seperti itu? Jika dia seorang pengembara seperti yang dia katakan, mengapa dia tidak membawa pedang bersamanya? Mengapa dia bepergian tanpa uang atau alat? Selain itu, dia ingin para penduduk desa menunjukkannya ke kota terdekat.
"Yah, memang itu benar, jadi aku tidak bisa membantahnya."
Kata Renji dengan berani, dia meninggalkan kesan buruk kepada kepala desa.
Kepala desa telah mengungkapkan ketidaksenangannya karena membiarkan orang luar yang tidak dikenal tinggal di desa. Tetapi orang yang menghentikan kepala suku adalah Rhea.
"Malam hari sangat dingin; akan terlalu menyedihkan untuk membuatnya tidur di luar....."
Itu adalah kata-kata yang memulai pertengkaran antara Rhea dan kepala desa tentang bagaimana "orang yang tidak memiliki sopan santun ini." dan "Bukan berarti kita bisa membiarkan dia tidur di luar." dan seterusnya.
Pada akhirnya, kepala desa berkata :
"Jika kau begitu ngotot dengan hal itu, maka tampung dia di rumahmu sendiri. Aku hanya akan mengizinkannya sebanyak itu."
Dan dengan izin Rhea, diputuskan kalau Renji akan tinggal di rumahnya.
"Yah, aku berterima kasih kepadamu karena aku tidak harus tidur di luar. Maaf karena itu."
Renji meminta maaf dengan canggung, merasa tidak enak atas semua yang telah Rhea lakukan.
"Tidak masalah. Tapi kamu akan pergi saat seorang pedagang datang, oke?" Rhea menekankan hal itu.
Renji tinggal di rumahnya dengan syarat dia akan pergi dengan pedagang berikutnya yang datang dari desa, yang paling lama satu bulan lagi.
"Ya, aku tahu itu. Sebagai imbalan untuk tinggal di sini, aku akan membantu dengan pekerjaan apapun yang aku bisa."
"Itu sudah seharusnya." Kata Rhea sedikit kesal.
Gadis itu kembali ke masakannya dan berkata dengan singkat : "Aku meninggalkan baju ganti, jadi gunakan yang aku letakan di sana."
"Kau hidup sendiri karena orang tuamu meninggal, kan? Lalu, baju siapa ini?" Renji bertanya kepadanya.
"Almarhum kakak laki-lakiku."
Jawab Rhea dengan lancar.
"Hmm..... Begitukah."
Renji terkejut, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, jadi dia dengan ringan menepisnya.
".........."
Rhea tidak mengatakan apa-apa selain itu, dia tetap fokus mengerjakan memasaknya. Maka dimulailah kehidupan sementara Renji dan Rhea bersama.
◇◇◇◇
Larut malamnya, ketika semua penduduk desa tertidur lelap.....
"Mm......."
Renji sedang tertidur di ranjang yang dipinjamkan Rhea untuknya. Saat itu, dia sedang bermimpi, namun kesadarannya tercampur sepenuhnya.
[ Ada di mana aku? ]
Sebelum dia menyadarinya, dia berada di ruangan berwarna putih yang kosong. Ruangan itu terus memiliki luas yang tak ada ujungnya.
(Hero.)
Suara laki-laki yang tidak dikenalnya tiba-tiba bergema di kepala Renji.
[ Siapa di sana?! ]
Renji melihat sekeliling dengan waspada.
(Hero. Hero yang terpilih.)
[ Hero.....? Apa yang dia maksud itu aku? ]
(Aku memberikan kepadamu pengetahuan tentang cara menggunakan Divine Arms Es yang telah diberikan kepadamu. Terimalah.)
[ Apa? Ap.....?! ]
Di saat berikutnya, pengetahuan muncul di kepala Renji. Itu adalah pengetahuan tentang senjata yang disebut Divine Arms, yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Tiba-tiba, dia mengerti apa itu Divine Arms, apa yang bisa senjata itu lakukan, dan bahkan bagaimana menggunakannya.
[ Ini..... ]
Renji terkejut dengan mimpinya.
(Divine Arms ini akan menanggapi permintaanmu, memberikanmu kekuatan. Kamu adalah Hero. Kamu adalah eksistensi pilihan yang istimewa. Ketahuilah itu.)
[ Gah! Apa-apaan itu?! Siapa kamu?! suaramu terdengar sepihak! ]
Renji menanyai pemilik suara itu.
Pemilik suara itu berbicara kepada Renji tanpa mengakui yang lain. Tidak ada percakapan yang harus dilakukan. Lalu—
(Ini adalah saran terakhirku untukmu. Sampai saatnya tiba: bertahanlah.)
Pemilik suara meninggalkan kata-kata itu dan menghilang dari kesadaran Renji.
[ O-Oi, tunggu! Apa kau pergi?! Siapa kau sebenarnya?! Apa kau adalah orang yang membawaku ke dunia ini? Kenapa kau melakukan itu?! ]
Renji memanggil dengan tergesa-gesa, tetapi tidak ada jawaban. Saat berikutnya, Renji tersentak bangun dalam tidurnya.
"Ah?!"
Jantungnya berdebar kencang, mungkin karena kegembiraan.
"Hah...... Hah.... Apa itu..... Mimpi? Tidak....."
Renji menelan gugupnya.
[ Bayangkan itu. Divine Arms yang aku dapatkan. ]
Menurut informasi di kepalanya, Divine Arms akan terwujud dalam bentuk senjata yang dibayangkan oleh penggunanya. Renji memejamkan mata dan memfokuskan pikirannya, mengulurkan tangan kanannya.
Setelah beberapa saat, partikel cahaya yang samar-samar melayang di udara, berkumpul di sekeliling tangan kanannya, di saat berikutnya membentuk tombak di tangannya. Tombak itu lebih tinggi dari tinggi Renji, dengan desain yang rumit dan artistik.
"Aku berhasil......"
Kata Renji, tersenyum.
"Menurut apa yang aku pelajari, Divine Arms ini memiliki kekuatan es. Sepertinya, jika aku menyebutkannya, kesanku tentang senjata itu akan memperkuat dan mempercepat terwujudnya..... Es, ya? Hmm, kalau begitu mungkin..... Cocytus."
Cocytus adalah nama dunia es di lapisan terakhir neraka. Meskipun dia merahasiakannya dari orang-orang di sekitarnya, Renji sebenarnya adalah seorang kutu buku dalam hal seperti itu, jadi dia memiliki banyak pengetahuan yang tidak berguna.
"Menghilang."
Senjatanya yang dia beri nama Cocytus menghilang dalam sekejap.
"Benaran menghilang. Baiklah, Cocytus."
Kali ini dia mencoba mewujudkannya. Mungkin karena dia yang menamakannya, tapi tidak ada jeda waktu sama sekali dalam memanggilnya.
"Rasanya agak familiar di tanganku. Tombak ini tidak berat sama sekali. Sepertinya memang benar kalau tubuh dan kemampuan fisikku telah meningkat juga."
Tombak itu panjangnya kira-kira dua meter. Dia tidak tahu terbuat dari bahan apa tombak itu, tapi tombak itu adalah benda logam yang seharusnya cukup berat. Namun, untuk beberapa alasan, rasanya dia bisa menggunakannya dengan bebas.
"Aku ingin mencoba mengayunkannya......"
Renji tidak bisa menahan keinginan dalam dirinya untuk menguji dan mengayunkan Cocytus. Dia memiliki ekspresi bersemangat dari seseorang yang baru saja membeli game baru untuk dimainkan.
"Mungkin aku bisa menyelinap keluar secara diam-diam dan mencobanya......"
Penduduk desa semua tertidur, termasuk teman serumahnya. Mereka seharusnya tidak memperhatikan jika Renji menyelinap keluar rumah. Dengan pemikiran itu, Renji menyelinap keluar dari rumah Rhea.
Bulan purnama hampir tiba. Aku seharusnya bisa berjalan dalam kegelapan seperti ini. Tidak ada lampu yang terlihat dari salah satu rumah, jadi para penduduk desa pasti sudah tertidur lelap. Satu-satunya sumber cahaya adalah bulan, tetapi sel batang mata manusia dapat melihat dengan cukup jelas di bawah cahaya bulan tanpa bantuan lampu yang ada di jalan.
Wilayah tempat Renji tinggal di jepang telah dikelilingi oleh lahan pertanian tanpa lampu buatan juga, jadi dia tidak takut dengan kegelapan sebanyak ini.
"Sejauh ini, seharusnya baik-baik saja."
Renji tiba di lokasi yang cukup jauh untuk mengawasi rumah-rumah di desa dan mulai menghabiskan beberapa menit melakukan peregangan ringan untuk mengendurkan otot-otot tubuhnya. Kemudian—
"Cocytus."
Dia memanggil nama Divine Arms yang telah dia hilangkan sebelumnya dan mewujudkannya di tangannya. Kemudian dia mencoba memegangnya dengan kedua tangan.
"Aku tidak tahu apa ini cara yang tepat untuk digunakan, tapi..... Ha!"
Renji mengandalkan kekuatan tubuhnya yang ditingkatkan untuk mengayunkan Cocytus secara horizontal dengan sekuat tenaga.
"Hm..... Mmph! Haa!"
Renji mengayunkan tombak untuk kedua dan ketiga kalinya untuk memahami perasaan itu.
"Aku mengerti."
Renji tersenyum puas dan mulai mengayunkan Divine Arms-nya tanpa suara. Secara horizontal, vertikal ke bawah, vertikal ke atas, memutarnya di atas kepalanya...... Dia dengan gesit melakukan semua gerakan rumit yang dianggapnya keren. Gerakannya itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang normal.
Setelah itu, dia beralih dari pegangan dua tangan ke pegangan satu tangan, mengayunkan Cocytus berkali-kali untuk mengerakkan pola yang dia inginkan.
"Aku sudah bisa merasakannya sekarang."
Renji mengayunkan tombaknya ke bawah untuk terakhir kalinya, berhenti hampir sebelum menggores tanah. Dia kemudian mengangkatnya dan meletakkan pegangannya di bahu kanannya, sambil tertawa.
"Tetap saja, aku telah mengayunkan senjata yang begitu besar secara mudah dan aku juga tidak kehabisan napasku. Masuk akal karena aku berada di dunia lain, ya?"
Berkat semua novel dan cerita dunia lain yang dia baca saat terobsesi dengan bermacam genre, Renji entah bagaimana bisa menerima situasi yang diterimanya dengan cukup lancar. Namun, karena dia tidak tahu apa-apa tentang bagaimana cara kembali ke bumi saat ini, dia masih memiliki kekhawatiran.
".....Sudah waktunya untuk kembali."
Renji menatap ke langit, tenggelam dalam pikirannya, sebelum kembali ke rumah Rhea.
◇◇◇◇
Keesokan paginya, saat sarapan.....
"Rhea."
"Apa?"
"Apa kau tahu tentang para hero?" Renji bertanya.
"Ya, tapi..... Apa kau sedang mengolok-olokku karena aku berasal dari pedesaan?"
Rhea memasang ekspresi jengkel, seolah-olah tidak mungkin dia mengetahuinya.
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu......"
Renji menggaruk pipinya, mengerutkan keningnya.
"Kami mendengar tentang mereka dalam dongeng, jadi bahkan anak-anak pun mengetahui tentang mereka. Mereka adalah murid dari Enam Dewa Bijaksana yang menyelamatkan dunia, benar?"
"Ya, itu benar..... Aku hanya ingin tahu apakah ada perbedaan dengan dongeng yang aku ketahui. Aku hanya penasaran. Seperti apa dongeng yang diceritakan di desa ini?"
Renji bertanya, segera menyesuaikan kata-katanya agar sesuai dengan balasannya.
Rhea menatap langit-langit untuk mencari ingatannya tentang cerita itu.
"Hmm. Aku ragu akan ada banyak perbedaan, tapi..... Ceritanya cukup panjang, jadi untuk menyimpulkannya, raja iblis jahat yang bisa mengendalikan monster muncul seribu tahun yang lalu. Untuk menyelamatkan dunia, Enam Dewa Bijaksana memberikan kebijaksanaan kepada kita manusia. Pertarungan dengan iblis semakin intensif, sehingga Enam Dewa Bijaksana memanggil enam pahlawan dari dunia para dewa demi umat manusia. Para hero bisa melenyapkan ribuan monster dalam satu ayunan. Enam Dewa Bijaksana dan para hero bekerja sama untuk mengalahkan pasukan iblis, membawa perdamaian ke dunia. Dan mereka hidup bahagia selama lamanya. Apa itu terdengar familiar bagimu?"
"Aku mengerti. Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan cerita yang aku ketahui."
"Yah, itu adalah kisah yang tertulis dalam kitab suci. Jika ada yang mencoba memutarbalikkan kebenaran, mereka akan dinyatakan sesat dan dicela."
"Ya, kamu benar."
Hero adalah makhluk religius, rupanya.
[ Jika itu pengetahuan yang bahkan seorang anak kecil pul mengetahuinya, maka aku tidak bisa bertanya terlalu banyak tentang itu. Jika tidak, kurangnya pengetahuanku akan membuatku terungkap. ]
Dengan pemikiran itu—
"Apa menurutmu hero itu ada?" Renji bertanya.
"Mereka adalah para hero yang sangat hebat, jadi akan menjadi masalah besar jika mereka muncul, bukan begitu?" Rhea menjawab dengan tertawa geli.
"Kamu benar. Dan bahkan jika mereka muncul, tidak mungkin ada orang yang akan mempercayai mereka."
Kata Renji dengan penuh arti, lalu tidak berbicara lagi tentang hero kepada Rhea setelah itu.
◇◇◇◇
Lima hari telah berlalu sejak Renji tiba di dunia ini.
Dia mulai terbiasa dengan kehidupannya di rumah Rhea, tetapi dia masih tidak cocok di desa.
Dia telah benar-benar membiasakan diri dengan kehidupannya di rumah Rhea, tetapi semua penduduk desa menganggapinya dengan dingin karena menjadi orang luar yang mencurigakan.
Renji diperlakukan seperti musuh oleh teman masa kecil Rhea lebih dari siapa pun; teman masa kecil Rhea adalah seorang anak laki-laki yang datang kepadanya sehari setelah Renji pertama kali tinggal di rumah Rhea dan menyuruh Renji untuk meninggalkan desa.
Pada saat itu, Rhea berdiri di sisi Renji saat bertindak sebagai mediator, yang menyebabkan Renji tersenyum dan membuat teman masa kecilnya menjadi marah. Renji segera meningkatkan fisiknya dengan kekuatan Divine Arms-nya untuk menghindari semua pukulan anak itu dengan mudah, terus berlanjut sampai anak laki-laki itu kehabisan stamina untuk bergerak. Itu bahkan hampir tidak cocok disebut sebagai perkelahian.
Beberapa penduduk desa yang menyaksikan kejadian itu takut akan kekuatan Renji, menyebarkan desas-desus sampai Renji menjadi benar-benar terisolasi.
Penduduk desa tidak memiliki perasaan sakit terhadap Rhea, tetapi mereka tidak mencoba mendekatinya saat dia sedang bersama Renji. Selain tinggal di rumahnya, Renji selalu menemaninya bekerja di luar, sehingga suasana tidak nyaman mengelilingi desa.
"Teman masa kecilmu memelototiku lagi."
Kata Renji kepada Rhea saat makan malam.
"Setelah apa yang kau perbuat, itu wajar saja."
Kata Rhea, memarahinya.
"Asal kau tahu saja, apa yang aku lakukan adalah pembelaan diri yang sah." Kata Renji dengan tenang.
Akan lebih akurat untuk mengatakan kalau Renji sengaja menciptakan situasi di mana tindakan membela diri akan terlihat sah, tetapi Renji tidak memiliki niat sedikit pun untuk menunjukkan belas kasihan kepada seseorang yang begitu memusuhinya, jadi perilakunya itu benar-benar tidak lebih dari tindakan balas dendam. Rhea memang tidak melihat senyuman memprovokasi yang Renji kirimkan kepada teman masa kecilnya.
"Tapi dengan kekuatanmu, bukankah kau bisa mengalahkan Yoran dengan mudah?"
Rhea bertanya secara tidak langsung.
"Jangan bodoh. Aku tidak punya waktu luang untuk melakukan hal seperti itu. Teman masa kecilmu adalah orang terkuat di desa ini, bukan? Dan aku juga jauh lebih pendek darinya."
"Itu memang benar, tapi......"
Pada saat itu, Renji tampak sangat senang diserang oleh Yoran. Kenyataannya, Renji ingin menguji bagaimana peningkatan kekuatan fisiknya terhadap Yoran, jadi kesan yang diterima Rhea tidak salah.
Namun, Rhea tidak berpikir kalau Renji adalah orang jahat. Karena Renji blak-blakan dan tidak komunikatif, dan terkadang berbicara dengan sikap arogan, tetapi ketika mereka tinggal bersama membuat Rhea menyadari sisi baiknya yang tak terduga.
Renji membawakan barang-barang berat untuknya ketika dia sedang bekerja, dan Renji juga membantunya di sekitar rumah. Laki-laki lain di desa tidak memiliki perlakuan seperti itu.
"Apa laki-laku itu jatuh cinta padamu?"
Renji bertanya, memperhatikan reaksi Rhea.
"Huh? Apa yang kau katakan itu?"
"Dia benar-benar berkata kasar padamu. Itu sebabnya, aku bertanya-tanya mungkinkah dia....."
"Kumohon. Kami hanya teman masa kecil. Dia telah menjelek-jelekkanku sejak sebelum kau belum datang ke desa ini. Aku tidak tahu mengapa dia begitu marah sekarang." Kata Rhea sambil menghela napas lelah.
"Hmm. Lalu apa kau jatuh cinta padanya?"
Tidak peduli bagaimana Renji melihatnya, jelas kalau anak laki-laki itu menyukai Rhea, tapi laki-laki itu memutuskan untuk tidak menunjukkan hal itu.
"......Kau pasti bercanda. Apa kau ingin ku pukul?"
"Jadi begitu."
Rhea telah mengirim tatapan tajam padanya, tapi Renji hanya menepisnya dengan tawa ceria.
"Ini tidak seperti ada orang yang mau menikah denganku. Aku sudah ditakdirkan untuk menjadi tua sendirian di rumah yang sepi ini."
Kata Rhea, menunjukkan ekspresi tidak senang.
"Eh, kau bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan sangat baik. Aku yakin ada banyak orang di luar sana yang menginginkanmu sebagai pengantinnya. Wajahmu juga tidak terlalu buruk." Kata Renji.
"H-Heh......?! Apa yang kau katakan itu?!"
Rhea berkedip beberapa kali sebelum berubah wajahnya berubah menjadi memerah karena malu.
"Aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan saja."
"Tadi kau bilang kau berpikir wajahku tidak terlalu buruk..... Apa itu berarti kau berpikir aku ini imut?"
Rhea menatap Renji dengan rona merah di pipinya.
"Seperti yang kamu ketahui, aku adalah seorang pengembara...... Seorang imigran, pada dasarnya. Aku juga belum pernah ada bersama dengan perempuan di sekitarku, dan aku belum pernah melihat wajah perempuan di desa lain, jadi aku tidak bisa memberikan pendapat yang objektif."
Renji mengalihkan pandangannya dan menghindari pertanyaan itu. Dia bersekolah di SMP dan SMA yang khusus untuk anak laki-laki, jadi dia merasakan pesona dari Rhea yang dengan berbeda. Mungkin itu sebabnya, dia mengatakan sesuatu untuk memujinya, tetapi tidak bisa jujur dan menyebutnya imut di depan wajahnya.
"Dan aku bertanya-tanya yang sedang kau pikirkan sekarang."
"Aku baru saja mengatakannya. Wajahmu tidak terlalu buruk."
"Kalimat itu lagi......"
Rhea memasang ekspresi cemberut, menatap Renji dengan nada mencemooh.
"Apa?" Renji berbalik dan bertanya.
"Kau selalu bersikap arogan, Renji. Itu sebabnya kau akhirnya memusuhi semua orang di desa."
Kata Rhea terus terang.
"Aku? Yang arogan adalah penduduk desa. Terutama kepala desa dan teman masa kecilmu."
"Aku tidak akan menyangkal hal itu. Tetapi kau juga memiliki sikap merendahkan ketika kau berbicara kadang-kadang. Ketika kau datang untuk meminta tinggal di desa ini, segalanya akan menjadi lebih baik jika kau telah menjelaskan semuanya sebelum mengajukan permintaanmu. Kami memiliki banyak pengembara yang tinggal di desa di masa lalu."
"Tapi mereka juga diperlakukan dingin oleh penduduk desa karena mereka juga orang luar, bukan?"
"Yah, kami memang menjaga jarak untuk melihat apa yang mereka lakukan, tetapi tidak ada yang secara aktif menghindari mereka seperti yang mereka lakukan padamu sekarang."
"............"
Renji menjadi terdiam.
"Aku tahu kalau kau bukanlah orang jahat, jadi aku yakin mereka akan berubah pikiran jika mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya."
Kata Rhea, menatap Renji sekali lagi.
"Apa ada keharusan untuk mengubah pikiran mereka?"
"Kau bilang kalau dirimu pengembara, tapi apa kau punya tujuan untuk perjalananmu?"
Rhea menjawab pertanyaan Renji dengan pertanyaannya sendiri.
Renji berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Tidak..... Secara khusus."
"Hmm...... Lalu bagaimana kalau kau tinggal di desa ini untuk sementara waktu?"
Rhea tiba-tiba menyarankan hal itu.
".......Mungkin aku akan mencobanya."
Renji menghindari pertanyaan itu.
"Aku berpikir kamu akan sangat membantu desa jika kaku tetap tinggal. Kamu kuat."
"Para penduduk desa sudah tidak suka orang luar tinggal di sini untuk terlalu lama. Akan lebih buruk jika aku terus menetap di sini."
"Itu tidak benar. Kami pernah memiliki orang² yang pindah ke desa sebelumnya. Setiap orang akan berubah ketika mereka diberi kesempatan yang tepat untuk melakukannya."
"Aku penasaran tentang itu. Ditambah lagi, aku tidak punya tempat tinggal."
"......Kau bisa terus tinggal di sini."
"Bukankah kesepakatan kalau aku hanya bisa tinggal sampai pedagang keliling berikutnya datang?”
Dengan kata lain, bisa paling lama sebulan, atau paling cepat besok. Renji menatap Rhea dengan sedikit terkejut.
"Jika kau bersikeras tinggal di desa ini, maka aku tidak keberatan, tahu? Membosankan tinggal di rumah ini sendirian, dan sedikit menakutkan di malam hari. Aku satu-satunya di desa ini yang hidup sendirian......"
"Apa kau merasa kesepian?"
Renji bertanya, memperhatikan ekspresi Rhea.
"Tidak seperti benar² kesepian, tapi..... dengan memiliki seseorang untuk diajak bicara dan makan bersama di rumah itu sangat menyenangkan, itu saja." Kata Rhea.
Mungkin itu sebabnya tatanan hidup yang telah gadis itu lawan pada awalnya tidak tampak begitu buruk lagi. Dia tidak lagi harus melihat penduduk desa lainnya kembali ke keluarga mereka di akhir hari kerja dengan rasa iri.
"Apa kau tidak kesepian bepergian sendirian, Renji?"
Rhea bertanya dengan hati-hati kepadanya.
"Aku....."
Renji tersandung oleh kata-katanya dalam pikirannya.
Kata²nya adalah kebohongan kalau dia bepergian sendirian. Namun, dia bisa mengerti bagaimana rasanya sendirian. Kenyataannya, ketika dia hidup bersama Rhea di rumah mungil ini jauh lebih menyenangkan daripada ketika dia mengurung diri di dalam kamarnya setiap kali dia masuk sekolah. Ada bagian dari dirinya yang setuju dengan perkataan Rhea.
"Tapi bukankah akan bermasalah bagi seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah untuk hidup bersama? Tatanan hidup kita saat ini cukup dipertanyakan....."
Renji mengungkapkan keraguannya, menanyakan pertanyaannya dengan cara yang tidak jelas.
"Bagaimana kalau kita menikah saja?"
{ TLN : Eaaaa wkwkw }
".....Sudah lima hari sejak kita bertemu. Benar?"
Renji berkata dengan canggung, matanya melebar. Dia cukup terkejut dengan pernyataan Rhea yang tiba² itu.
".....B-Benar. Itu semua karena kau mengatakan hal-hal aneh seperti itu dari awal. Memanggilku imut dan semacamnya."
Kata Rhea, menenangkan dirinya dan berbicara dengan wajah yang memerah cerah.
"Aku tidak ingat pernah menyebutmu imut....."
Renji terdiam, tidak bisa memberikan penyangkalan yang jelas. Setelah datang ke dunia lain dan hidup bersama dengan seorang gadis, suasana hatinya sangat bersemangat tanpa dia sadari.
Dalam sepuluh tahun kehidupannya yang aneh, dia tidak pernah mengalami perasaan diinginkan oleh orang lain selain keluarganya, sehingga perasaan Rhea bergema dalam di hatinya.
◇◇◇◇
Sore berikutnya, Renji dan Rhea sedang beristirahat dari pekerjaan mereka dan kembali ke rumah untuk makan siang, ketika seorang pengunjung muncul.
"Oi, Rhea. Ikutlah denganku."
Pengunjung itu adalah teman masa kecil Rhea, Yoran.
Yoran berjalan ke meja makan dan memelototi Renji sebelum mengabaikannya untuk berbicara dengan Rhea seorang.
"Apa yang kau inginkan?"
"Kepala desa memanggilmu. Dia memiliki sesuatu yang penting untuk didiskusikan tentang masa depan desa."
"Kepala desa.....? Apa yang kau maksud dengan 'penting' itu?"
Rhea bertanya, menatapnya dengan waspada.
"Aku tidak bisa memberitahumu di depan orang luar."
Jawab Yoran, ketika dia menatap Renji.
"......Apa itu berarti melibatkan Renji?"
Rhea bertanya dengan ekspresi cemberut.
"E-Entahlah ya? Aku hanya disuruh membawamu ke sana." Kata Yoran, nadanya kasar karena canggung.
"Pergilah, Rhea. Jangan khawatirkan aku."
Renji tersenyum kepada Yoran dengan santai saat berbicara dengan Rhea.
"Ya....."
Rhea tampak tidak senang karena dipanggil untuk alasan yang tidak jelas, dia dengan enggan menganggukkan kepalanya hanya setelah mendengar kata-kata dari Renji.
"Grr..... Ayo."
Yoran mengepalkan tinjunya dan meninggalkan rumah Rhea. Kemudian, Rhea mengikutinya, menuju rumah kepala desa.
◇◇◇◇
Yoran membawa Rhea ke rumah kepala desa.
"Apa yang ingin kau diskusikan, Kepala....."
Ketika Rhea melihat kepala desa setelah dia memasuki rumahnya dan mulai mempertanyakan alasannya mengapa dia dipanggil dengan nada agresif.
Namun, dia terhenti di tengah kalimatnya. Ada orang² yang bukan berasal dari desanya — total ada delapan orang. Mereka semua bersenjata dan mengenakan seragam militer yang tampak mahal. Yang berpakaian paling bagus di antara mereka adalah seorang pria gemuk yang ditempatkan di kepala ruangan.
"Apa kau adalah gadis yang tinggal dengan laki-laki bernama Renji?"
Pria gemuk berseragam militer memelototi Rhea.
"U-Umm....." Rhea benar-benar sangat bingung.
"Jawab pertanyaannya. Apa kau gadis yang tinggal bersama laki-laki bernama Renji?"
Pria gemuk itu berkata dengan nada mengancam.
"E-Eek!"
Pria gemuk itu adalah seorang bangsawan. Begitu Rhea merasakan status sosial pihak lain, dia mengangguk ketakutan.
"Aku akan menanyaimu tentang laki-laki itu. Jawablah dengan semua yang kau ketahui."
Setelah pria gemuk itu berbicara lagi, dia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepada Rhea. Pertanyaan² itu seperti, apakah rambutnya benar-benar hitam, apakah dia membuat pernyataan ideologis, di mana kau bertemu Renji, apakah kau tahu alasan mengapa dia datang ke desa ini, apakah dia mengatakan sesuatu tentang danau di hutan, dan sebagainya. Rhea menjawab setiap pertanyaan itu dengan jujur.
"Aku mengerti. Jadi kau tidak tahu apapun yang berguna. Kalau begini, aku tidak punya pilihan selain menyelidikinya secara langsung."
Kata Bangsawan, gemuk itu menghela napasnya dengan kesal.
"U-Umm, kenapa kamu menyelidiki Renji?"
Rhea dapat dengan mudah memprediksi kalau Renji adalah "dia" yang dimaksud oleh bangsawan itu, jadi dia mempertanyakan alasannya dengan gugup.
"Danau di dekat desa ini benar-benar kering. Danau itu adalah salah satu tempat suci Kerajaan ini, dan laki-laki bernama Renji itu diduga yang mengeringkan danau itu. Jika memang benar, maka itu adalah kejahatan yang pantas dihukum mati." Kata bangsawan gemuk itu.
"M-Mohon tunggu sebentar! Renji tidak akan melakukan hal seperti itu.....!"
Tidak mungkin dia melakukannya.
"Itulah yang aku selidiki. Ayo pergi. Pimpinlah jalan, kepala desa."
"Y-Ya, Tuan."
Bangsawan itu tidak memedulikan perkataan Rhea dan berdiri, kemudian pergi dengan para Ksatria yang ada di ruangan itu.
[ A-Apa yang harus aku lakukan.....? ]
Rhea memperhatikan punggung mereka yang pergi di depannya dengan takut sebelum tersadar kembali dan mengikuti mereka.
◇◇◇◇
Beberapa menit kemudian, di rumah Rhea.....
Dari pintu masuk, dia bisa melihat Renji duduk berhadapan dengan bangsawan gemuk itu di belakang rumahnya. Dua Ksatria berdiri di belakang bangsawan, dan Rhea berdiri lebih jauh di belakang mereka di dekat pintu masuk. Ada lebih banyak Ksatria yang bersiaga di luar rumah Rhea, bersama dengan sekelompok penduduk desa yang juga penasaran.
"Apa artinya ini?"
Renji bertanya dengan tidak senang, menatap bangsawan dan Ksatria yang menerobos masuk ke dalam rumah Rhea.
"Namamu Renji, benar? Orang yang datang ke desa ini enam hari yang lalu?"
"Kalau memang itu aku, memangnya kenapa?"
Sikap Renji tidak berubah bahkan ketika dia berada di depan bangsawan. Dia menanyai bangsawan sebagai balasannya dengan cara berbicara yang sama.
Pria gemuk itu mengerutkan alisnya karena tidak senang saat dia berbicara.
"Aku seorang interogator dari Kerajaan Vilkis. Aku dikirim ke sini dari ibukota untuk menyelidiki pilar cahaya yang muncul enam hari yang lalu. Setelah aku menanyai penduduk desa, aku memutuskan kalau kau telah dicurigai mengeringkan danau di dekat hutan."
Renji berhenti sesaat, berpura-pura tenang.
".....Apa yang kau bicarakan itu?"
"Danau itu adalah tempat suci bagi Kerajaan. Enam hari yang lalu, pada hari di mana kay datang ke desa ini, sebuah pilar cahaya naik ke langit. Apa itu sesuatu yang ada hubungannya denganmu? Pengeringan danau adalah perbuatanmu, bukan?”
"Kau mencurigaiku tentang hal itu tanpa memiliki bukti apapun?"
Tampaknya penduduk desa telah menyampaikan informasi tentangnya setelah para bangsawan tiba di desa. Renji sampai pada kesimpulan itu dan mencari pengungkapan bukti.
"Aku tidak diharuskan untuk menunjukkan apapun kepadamu. Apa tujuanmu datang ke desa ini?"
"Kalau begitu, aku tidak perlu memberitahumu apapun."
Renji memberikan senyum mencemooh sebagai balasannya. Tindakannya itu membuat bangsawan gemuk itu mengerutkan kening secara jelas.
Di tingkat ini, Renji akan menimbulkan ketidaksenangan bangsawan dan dibunuh. Rhea berwajah pucat saat dia mengintip melalui pintu masuk dan memanggil Renji.
"Renji! Kau sedang berbicara dengan bangsawan! Cepatlah minta maaf dengan segera atau kau akan terbunuh!"
"Aku tidak punya alasan apapun untuk meminta maaf."
Jawab Renji dengan cemberut.
"Aku tidak peduli jika kau tidak menjawab. Kau akan dikirim ke lokasi yang sesuai untuk kejahatanmu yang telah mengeringkan danau."
Kata bangsawan itu dengan nada dingin.
"Aku tidak melakukannya."
Renji bersikeras pada jawabannya.
"Kalau begitu, kau bisa membuktikannya dengan menjawab pertanyaanku. Jika orang yang mencurigakan dengan warna rambut yang tidak biasa dan pakaian yang tidak biasa mengunjungi desa segera setelah pilar cahaya naik ke atas langit, wajar untuk merasakan ketidakpercayaan tertentu, bukan begitu? Kau mengaku sebagai seorang pengembara, namun kau tidak membawa apapun. Kau mengatakan kalau kau telah kehilangan barang-barangmu, tetapi di mana kau kehilangannya?"
Bangsawan gemuk itu tidak kehilangan kesabaran atas sikap Renji yang tidak sopan, malah mengamatinya dengan cermat saat dia mengajukan pertanyaan dengan nada datar.
"Aku datang ke desa dari jalan di seberang hutan. Aku benar-benar melewati gerbang dari sana dan bertemu Rhea yang ada di tanah pertanian di sana. Aku tidak pergi ke dekat hutan. Barang-barangku hilang di suatu tempat di sepanjang jalan itu. Karena aku menghilangkannya, jelas saja aku tidak mengingatnya."
Tampaknya Renji tidak tahan dengan situasi saat ini, saat dia berbicara dengan tegas.
"Hmm. Jika itu jalan yang berlawanan dengan hutan, maka maksudmu kau datang dari jalan barat? Itu berarti kau mungkin telah kehilangan barang-barangmu di lembah yang tidak jauh dari jalan. Daerah itu berbatu-batu dan sulit untuk dilalui."
Bangsawan gemuk itu menebak seolah-olah dia sedang berpikir keras.
"Ya, itu benar." Kata Renji dengan segera.
"Hmm..... Itu aneh. Sangat aneh. Aku salah ingat sekarang, dan seharusnya tidak ada lembah di jalan barat sama sekali."
Bangsawan gemuk itu menyipitkan matanya.
"Apa.....?"
Wajah Renji membeku.
Bangsawan itu tiba-tiba memasang ekspresi serius.
"Apa kau benar-benar datang ke desa melalui jalan barat?"
".........."
Tatapan Renji goyah saat dia terdiam.
"Mengapa kau berbohong? Dari mana asalmu? Kau benar-benar berada di hutan, bukan? Kau pasti tahu sesuatu tentang danau yang mengering — atau mungkin kau adalah pelaku di baliknya......"
Setelah menyimpulkan kalau Renji berbohong, bangsawan gendut itu menatapnya dengan tajam.
Seperti yang diharapkan dari seorang interogator, seorang siswa SMA biasa seperti Renji menjadi sangat mudah terpojok.
"......Aku tidak tahu apapun."
Renji menggelengkan kepalanya, menjari goyah.
"Apa menurutmu kata-kata seseorang yang berbohong selama interogasi dapat dipercaya?"
Bangsawan gemuk itu bertanya dengan nada tajam.
"Guh......"
Renji akhirnya merasakan bahaya dan bangkit dari tempat duduknya. Saat berikutnya, para Ksatria di belakang interogator bergerak ke kiri dan ke kanan untuk mengepung Renji.
"Jangan bertindak gegabah. Ini sudah tugasku untuk mengungkapkan kebenaran. Namun, jika seorang tersangka berjuang atau mencoba melarikan diri, aku tidak dapat menjamin kalau kau akan tetap hidup."
Interogator gemuk itu memperingatkannya dengan nada yang sangat tajam.
".........."
Renji memelototi kedua Ksatria yang mendekatinya secara berurutan untuk menjaga mereka tetap terkendali.
"Tangkap dia."
Atas perintah interogator gemuk itu, kedua Ksatria itu segera mendekati Renji. Mereka menyerbu ke depan dengan kekuatan penuh untuk menangkap Renji, yang telah mundur sampai ke tembok.
Dua Ksatria yang telah menjalani pelatihan militer, versus Renji yang baru saja menjadi seorang siswa SMA biasa beberapa hari yang lalu. Perbedaan fisik mereka terlihat jelas seperti siang hari, dan hanya masalah waktu sebelum Renji yang lebih pendek dari rata-rata ditangkap, tidak peduli seberapa keras dia berjuang.
"Oh, tidak!"
Rhea memejamkan matanya untuk tidak melihat pemandangan yang memilukan itu. Namun, saat berikutnya, sesuatu hal terjadi dan tidak bisa diprediksi oleh siapa pun selain Renji.
"Haaah!"
Renji, yang telah terpojok di tembok, tiba-tiba menyerang salah satu Ksatria yang maju.
"Ugh..... Guh.....!"
Ksatria yang mendekat dari kanan menerima dorongan kuat Renji dan dikirim terbang menuju dinding. Ksatria itu terus menabrak kayu tipis dan jatuh ke luar.
"Ap....."
Mereka yang telah menyaksikan adegan itu semuanya membeku dan tidak bisa berkata-kata apapun. Di saat berikutnya, Renji menggunakan kesempatan itu untuk mengirim Ksatria yang mendekat dari kiri terbang dengan sekuat tenaga juga.
"Nngh?!"
Ksatria yang dikirim terbang menabrak dinding seperti ksatria lainnya. Kejadiannya begitu tak terduga, seluruh tempat itu menjadi sunyi.
Semua orang memperhatikan Renji, membeku.
"Haa..... Haa...."
Renji pasti sangat panik, karena napasnya berat saat dia melihat tangannya dengan matanya yang memerah.
"R-Renji.....?"
Dalam keadaan shock, Rhea memanggil namanya dengan suara gemetar.
"........."
Renji perlahan mengangkat wajahnya dan menatap pintu masuk tempat Rhea berada.
"Eek!"
Rhea menjauhinya, jelas merasa ketakutan.
Renji menelan gugupnya.
"......Ini bukan salahku. Aku tidak melakukan kesalahan apapun!" Dia berteriak sambil berlari menuju tembok yang hancur.
"J-Jangan biarkan dia kabur! Bunuh dia jika perlu!"
Bangsawan gemuk itu berteriak kepada para Ksatria yang menjaga di luar.
Para Ksatria bersiaga tinggi setelah tembok rumah hancur dan menghadang Renji di tembok yang rusak. Mereka semua memiliki pedang terhunus di tangan mereka.
"Ayo, Cocytus!"
Renji mewujudkan Divine Arms-nya yang berbentuk tombak setelah dia keluar dari rumah. Para Ksatria itu membeku untuk sesaat, sebelum mereka semua melafalkan mantra untuk meningkatkan kekuatan fisik mereka dan mengayunkan pedang mereka ke arah Renji secara bersama-sama.
"Augendae Corporis!"
"Raaargh!"
Renji mengayunkan tombaknya dengan putus asa ke arah para Ksatria yang mendekatinya. Gerakannya benar-benar amatir, tapi dia memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Kepala kapak di ujung tombak mengiris tubuh para Ksatria itu seperti pisau menembus kertas.
"Ap....."
Bangsawan gemuk yang terlambat muncul dari tembok yang telah hancur menyaksikan Renji bertarung, dan kehilangan kata-katanya. Dari mana dia mendapatkan tombak itu? Mengapa para Ksatria berpengalaman dibantai bahkan tanpa melakukan perlawanan.....?
"U-Urgh....."
Ketika Rhea dan para penduduk desa melihat pemandangan itu, mereka menekan tangan mereka ke mulut mereka untuk menahan rasa mual yang mereka rasakan.
"K-Kau adalah monster! Ignis Iecit!"
Bangsawan gemuk itu mengarahkan tongkat yang tergantung di pinggangnya ke arah Renji dan melafalkan mantra yang akan membunuh manusia biasa ketika mengenainya. Lingkaran sihir segera muncul di ujung tongkatnya, membentuk bola api berukuran lebih dari satu meter yang ditembakkan ke arah punggung Renji.
"R-Renji!" Rhea langsung berteriak ke arahnya.
"Apa?!"
Renji segera berbalik dan menggunakan momentumnya untuk mengayunkan tombaknya. Kemudian, tombak es yang kokoh melesat keluar dari di ujungnya. Tombak es itu menembus bola api dengan mudah, melewati tubuh bangsawan gemuk di belakangnya dengan mulus.
"Guh...?"
Dengan tongkatnya masih terangkat, bangsawan gemuk itu melihat ke bawah ke rongga di perutnya. Di saat berikutnya, dia jatuh ke depan dengan bunyi gedebuk. Semua orang yang ada di sana melihatnya telah mati seketika. Masih ada tiga Ksatria yang tersisa.
"Aaahhh!"
Mereka semua melarikan diri secepat mungkin, meninggalkan mayat bangsawan gemuk itu dan Ksatria lainnya.
"Haa..... Haa...… Hah.....”
Renji terengah-engah, membeku dalam posisinya setelah mengayunkan tombaknya. Keheningan jatuh untuk waktu yang lama.
"S-Sial. Apa yang telah kau lakukan? Kau telah membunuh seorang bangsawan yang mengunjungi desa. Ini b-buruk. Sangat, sangat buruk....."
Kata kepala desa dengan ekspresi pucat, setelah menerima pemandangan di depannya sebagai kenyataan.
Tepat di sampingnya adalah teman masa kecil Rhea, Yoran, yang melangkah maju.
"A-Apa yang telah kau lakukan?! Apa kau mencoba membawa desa ini kepada kehancuran?!"
"Y-Yoran!"
Rhea mencoba menahan Yoran dengan bingung.
"Diamlah, Rhea! Ini semua dimulai karena kau telah membiarkan monster itu tinggal di desa ini! Sekarang ada bangsawan yang mati! Apa yang akan kau lakukan dengab itu ?!"
Kata Yoran, ketika melihat-lihat mayat² yang tergeletak di tanah.
"A-Aku tidak...... Itu......"
Rhea menjadi pucat saat dia berjuang untuk mencari kata-katanya dengan bergelinang air mata di wajahnya.
"Bukan kaulah yang bersalah. Ini semua salah orang yang ada di sana!"
Darah seolah mengalir deras ke kepala Yoran, saat dia menunjuk Renji dan berteriak histeris.
"............." Renji memelototi Yoran.
"A...... Apa, apa kau akan membunuhku juga?"
Yoran berteriak ketakutan.
".........."
"Bagaimana dengan itu? Hah? Hah?! Jangan hanya diam, katakanlah sesuatu!"
Keheningan Renji membuat Yoran lebih percaya diri. Akhirnya, dia cukup didorong untuk bergerak lebih dekat, mencengkram bahu Renji dan mengguncangnya. Kemudian, kecuali Rhea, semua penduduk desa mulai menatap Renji dengan tatapan amarah.
{ TLN : Entah itu bangsawan atau penduduk desa kata gini buat emosi aja wkwkwk }
"H-Hei! Hentikan itu, Yoran!"
Rhea memintanya untuk berhenti, tetapi kemarahan Yoran semakin meningkat.
"Aku tidak berhenti! Ini semua salah bajingan ini!"
"............"
"Oi— Bangsat!"
"Jangan sentuh aku!"
"Gah?!"
Marah atas kebisuan Renji yang terus berlanjut, Yoran akhirnya mengangkat tinjunya, tapi Renji meninjunya kembali dan membuatnya berguling-guling di tanah.
Dia tidak menggunakan kekuatan sebanyak ketika dia mengirim para Ksatria itu terbang sebelumnya, tetapi mulut Yoran mengeluarkan darah.
"Hah......?"
Yoran menatap wajah Renji seolah bertanya mengapa dia telah dipukul.
"Jangan mencoba mengambil kesempatan ini untuk terlihat keren bedebah. Apa yang aku lakukan adalah pembelaan diri yang sah."
[ Itu sebabnya aku tidak bersalah. Aku tidak melakukan hal buruk. ]
Renji menatap Yoran, menekankan maksudnya.
"Renji......"
Rhea memanggil namanya dengan ekspresi sedih.
"Aku....."
Renji membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.
[ Aku tidak bersalah. Karena itulah, aku ingin kau ikut denganku! ]
Renji terdorong oleh dorongan untuk meneriakkan perkataan itu dan mencoba meraih tangan Rhea.
Namun, Renji menarik tangannya kembali. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya dari Rhea dengan perasaan yang bersalah.
"Jika kalian mencoba menyerangku, aku tidak akan menahan diri."
Kata Renji, menatap balik pada para penduduk desa yang menontonnya dengan tatapan permusuhan.
"Oh......."
Para penduduk desa mundur karena ketakutan.
"............."
Renji menggigit bibirnya dan mulai berlari meninggalkan desa itu. Di luar sana adalah danau tempat Renji berdiri ketika dia pertama kali datang ke dunia ini, dan lebih jauh di sana adalah negara musuh yaitu Kerajaan Vilkis dan Kerajaan Rubia.