Forget-Me-Not of Rebirth – Chapter 5 : Duel dan Hasil

 

Malam itu, setelah duel melawan Satsuki, Rio memberitahu Miharu dan Satsuki kalau dia akan keluar sebentar. Kemudian, Rio pergi ke ruangan Takahisa, Aki, Masato dan Lilianna berada.

 

Alasan Rio tidak mengajak Satsuki dan Miharu adalah karena dia merasa kalau dia harus berbicara dengan Takahisa dan Aki sendirian.

 

Maka Rio tiba di sebuah ruangan yang sedang dijaga oleh dua Ksatria Lilianna. Namun, kedua Ksatria itu tidak tampak seperti orang dewasa, melainkan gadis muda. Salah satunya adalah si Alice mungil, yang tampaknya berusia sekitaran sepuluh hingga lima belas tahun. Yang satunya adalah Kiara, yang tampaknya seumuran dengan Rio.

 

"Oh, bukankah kamu ini adalah anak laki-laki yang sangat kuat itu. Wahh, kalau kamau aku lihat dari dekat terlihat lebih keren. Ah benar juga, namaku Alice. Aku putri kedua dari Duke Kerajaan Centostella." 

Gadis mungil itu, Alice, memperkenalkan dirinya dengan nada yang sangat santai. Meskipun dia adalah salah satu Ksatria yang melindungi keluarga kerajaan, kepribadiannya agak liar.

 

"Hei, Alice!" Kiara segera menegurnya.

 

"M-Maafkan aku, Kiara Senpai!" 

Alice meminta maaf dengan suara kosong.

 

"Kamu seharusnya bukan minta maaf kepadaku. Mohon maafkan atas perilakunya, Amakawa-dono." 

Kiara menghela napas lelah dan menundukkan kepalanya ke arah Rio.

 

"Tidak, itu tidak masalah. Sebaliknya, akulah yang harus meminta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Aku ingin berbicara dengan Takahisa-sama. Bisakah kamu menyampaikan pesan ini kepadanya?"

 

".....Dimengerti. Tolong tunggu sebentar. Ikutlah denganku Alice." 

Kiara berpikir sejenak dan kemudian memasuki ruangan bersama Alice.

 

"Selamat datang. Silakan masukkan." 

Kurang dari satu menit kemudian, Ksatria yang selalu bersama Lilianna, Frill, mengundangnya masuk. Rio memasuki ruangan di depannya.

 

"Permisi." 

Begitu dia masuk, Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam setelah meletakkan tangannya ke dadanya. Takahisa, Aki, Masato dan Lilianna sedang duduk di sofa kelas atas yang ada di ruang tamu.

 

"Selamat datang, Haruto-sama."

Sapa Liliana, menyambutnya.

 

"Terima kasih banyak telah menerima kunjunganku meskipun sudah larut malam." 

Rio menoleh ke Lilianna dan menundukkan kepalanya sekali lagi.

 

"Aku mendengar kalau ada urusan dengan Takahisa-sama."

 

"Ya — sebenarnya, dengan Aki dan Masato juga. Jika kamu mau, kamu juga bisa berpartisipasi, Lilianna-sama."

Rio berbicara dengan hormat.

 

"......Untuk apa kau datang?" 

Takahisa bertanya dengan hati-hati.

 

"Untuk melanjutkan percakapan yang kita berenam lakukan hari ini. Setelah duel, Satsuki-sama memberitahuku beberapa hal. Aku datang ke sini untuk memberitahumu tentang pemikiran dan pendapatku untuk masa depan."

 

Jawaban Rio membuat Lilianna memejamkan mata dan berpikir sejenak. 

".....Kalau begitu, kita bisa menggunakan ruangan di sebelah sana."

 

Sangat mungkin Takahisa akan memberitahunya detailnya setelah mereka selesai berbicara. Mengesampingkan kehidupan masa lalu Rio, Lilianna akan mengetahui tentang rencananya untuk masa depan mereka.

 

"Aku sangat berterima kasih atas pertimbanganmu." 

Rio menundukkan kepalanya untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.

 

"Apa yang kalian tunggu? Ayo pergi." 

Masato bangun lebih dulu dan mengucapkan kata-kata itu kepada Takahisa dan Aki kemudian mendesak mereka untuk pindah.

 

"...Ya. Ayo pergi, Onii-chan. " 

Maka, mereka berempat menuju ke kamar sebelah, di mana ketiga Sendou bersaudara itu tidur. Kamar itu memiliki tiga tempat tidur, satu meja, dan empat lemari.

 

"Ayo duduk. Aku akan duduk di sebelahmu, Haruto An-chan." 

Masato duduk di salah satu kursi.

 

"Ya. Permisi kalau begitu."

Rio tersenyum dan duduk di sebelah Masato. Takahisa dan Aki duduk di depan mereka. Begitu Rio memastikan kalau semuanya telah duduk, dia mulai berbicara.

 

"Pertama, aku ingin memberitahumu tentang pemikiranku akan tetap sama seperti yang aku katakan pada pertemuan kita sebelumnya. Namun, aku tidak lagi memiliki keengganan seperti sebelumnya. Selama setiap orang memiliki jawaban, aku sangat ingin menghormatinya."

 

"....Apa yang kau maksud?" 

Takahisa membuat ekspresi ragu.

 

"Jika Miharu-san dan Masato ingin tetap dalam penjagaanku, maka aku tidak akan mencoba menghentikan mereka lagi. Jika mereka tetap berpegang teguh pada pikirannya setelah mendengarkan pikiranku, maka mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan." 

Rio menjawab dengan ekspresi yang aneh.

 

".....K-Kau harus menghentikan mereka! Kau harus menolaknya! Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau tidak ingin mereka ikut denganmu? Kau masih berpikir dengan cara yang sama, kan!? Mengapa kau berubah pikiran begitu tiba-tiba? Kau harus menolaknya dengan lebih tegas! Berhenti mencuri keluargaku!" 

Takahisa berteriak karena terkejut. Sejak Rio telah menyatakan niatnya untuk menerima Miharu dan Masato, perasaan negatif yang dia tekan sampai sekarang meledak.

 

"Onii-chan....."

Melihat kepribadian kakaknya yang tiba-tiba berubah, Aki menunjukkan ekspresi muram.

 

"Aku tidak bisa." Kata Rio.

 

".....Kenapa?" Takahisa bertanya dengan kesal.

 

"Apa penolakanku akan mengubah mereka? Dan jika aku terus melakukannya, apa mereka berdua akan menerimanya dengan senang hati? Pada akhirnya, aku tidak akan menghargai pendapat mereka. Itulah alasannya."

Jawab Rio tenang. Masato tersenyum dengan ekspresi yang agak bahagia.

 

".....Pengecut." Kata Takahisa. 

"Kau pengecut. Meskipun kau tidak ingin Miharu tinggal bersamamu, kau tidak punya niat untuk menolaknya – itu adalah tindakan seorang pengecut! Bagaimana bisa kamu menyebutnya menghormati pendapat mereka jika kau melakukan hal seperti itu?"

 

"Kamu ada benarnya. Aku juga berpikiran sama. Namun, menolak atau tidak, maka setidaknya aku ingin menunjukkan kepada mereka kalau aku bersedia menerimanya. Itu jauh lebih baik daripada melarikan diri dan memberitahu mereka kalau aku tidak ingin mereka ikut denganku — itulah yang Satsuki-san katakan padaku. Jadi aku memutuskan untuk menghadapi mereka secara langsung."

Rio menjelaskan keputusannya dengan nada tenang.

 

"Tapi itu—" 

[ Itu hanya cara aman hanya untukmu! ]

Takahisa nyaris menjawab dengan cara itu, tetapi menahan.

 

".....Lalu, bukankah itu bisa dikatakan kalau kamu juga melarikan diri dariku, Haruto-san? Jika kamu membiarkanku pergi ke Centostella, bukankah itu sama dengan mencoba menghindar?" 

Aki menimpali dengan nada agresif.

 

"Aku tidak berniat melakukan itu. Itulah mengapa aku datang ke sini sendirian. Aku ingin menghadapimu tanpa kehadiran Miharu-san atau Satsuki-san. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin berbicara denganmu sendirian." 

Rio menjawab tanpa ragu-ragu.

 

"......." Aki tidak bisa berkata-kata.

 

"Aki!" 

Takahisa memanggilnya secara reflek dengan nada memohon. Apakah orang ini juga berniat mencuri Aki darinya? Dia harus menghindarinya dengan segala cara.

 

".....Karena Miharu Onee-chan dan aku mengenal Amakawa Haruto, kami melihatmu sebagai Amakawa Haruto dan akhirnya kami menganggap dirimu tumpang tindih dengan dirinya. Itu yang kamu katakan, bukan?"

 

"Ya, itulah yang aku katakan."

 

"Apa kamu tidak suka dianggap mirip dengannya?"

 

"Itu...... Tidak sepenuhnya benar. Yang tidak aku inginkan adalah mereka menempatkan posisiku sama dengannya dan membandingkan diriku sepenuhnya dengannya." 

Karena dengan begitu, Rio akan mengecewakan mereka. Mereka akan menyesal tinggal bersamanya. Itu sebabnya Rio ingin mengungkapkan jati dirinya dan menjauhkan diri dari mereka sebelum itu terjadi. Bahkan sekarang, dia ingin menjauhkan diri dari mereka.

 

"Bisa dibilang kalau itu 'dia orang yang berbeda' hanyalah alasan untuk melarikan diri dari kita, itu hanya sebuah alasan untukmu." 

Aki memelototi Rio dengan kebencian.

 

"Tapi itulah kebenarannya. Kami berdua adalah orang yang sangat berbeda. Aku melakukan hal-hal yang tidak akan pernah dilakukan oleh Amakawa Haruto. Tindakan yang Amakawa Haruto sangat menentangnya untuk dilakukan, aku akan lakukan tanpa mengedipkan mata."

 

".....Apa contohnya?" 

Aki bertanya dengan ekspresi ragu.

 

"Membunuh orang." 

Rio menyatakan dengan tenang, apa yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang normal di Bumi.

 

"........"

Aki tidak bisa berkata-kata. Takahisa juga dalam kondisi yang sama. Hanya Masato yang tampak sedikit lebih tenang dari mereka, meski benar dia juga terkejut.

 

"Ketika dalam pertarungan, aku lebih dari bersedia untuk membunuh lawanku. Jika aku hanya bisa melindungi diriku sendiri dengan membunuh, jika dalam sebuah pertarungan hanya bisa berakhir dengan kematian, maka aku tidak punya pilihan selain membunuhnya. Aku sudah menerima itu. Bahkan saat ini, ada seseorang yang ingin kubunuh." 

 

Karena mengetahui moral dari orang Jepang, Rio ingin menjauhkan diri dari Miharu dan yang lainnya. Rio masih menganggap kalau moral orang Jepang di kepalanya itu hal penting yang tidak boleh dihapuskan.

Padahal, pada saat-saat tenang kepribadiannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dari Amakawa Haruto, namun nilai-nilai yang sama itu lenyap sama sekali ketika ia harus menjadi kejam dan keji.

 

"Apa kau pernah membunuh seseorang sebelumnya?" 

Takahisa bertanya dengan ekspresi jijik.

 

"Ya."

Jawab Rio tanpa rasa malu. Yang terbaik adalah menjawab secara langsung.

 

"Jadi kau ini seorang pembunuh....."

Takahisa menggumamkan kata-kata itu.

 

"Itu benar."

 

".....Membunuh karena itu perlu atau tidak itu bukanlah tindakan benar. Membunuh adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan manusia, itu adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Aku tidak bisa meninggalkan Miharu dan Masato kepada orang sepertimu."

Setelah menemukan alasan untuk membenarkan dirinya sendiri, Takahisa berbicara dengan ketenangan yang dingin.

 

"Oi, Aniki!" Masato mencoba campur tangan.

 

"Diam! Seolah aku akan membiarkan begitu saja meninggalkan saudaraku kepada seorang pembunuh!" 

Takahisa mulai berteriak.

 

"......Kamu bertindak terlalu jauh."

Masato menggumamkan kata-kata itu. Bahunya gemetar karena amarah.

 

"Jika Miharu tetap bersamamu, dia tidak akan pernah bahagia. Aku adalah seorang pahlawan, akan lebih baik jika dia tetap bersamaku. Aku yang akan menjaganya." 

Takahisa berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau dialah yang paling cocok untuk peran itu.

 

"Heh? Tidak mungkin kamu bisa mengalahkan Haruto An-chan, Aniki." Masato mengejeknya.

 

"H-Haruto-san, kau juga merasakan hal yang sama ketika kau memberitahu Miharu jika lebih baik dia menjauh darimu, bukan?"

 

"....Ya." Rio mengangguk.

 

"Jika begitu.... Kau hanyalah seorang pengecut! Jika kau sudah tahu itu, maka kau adalah seorang pengecut karena tidak ingin menolak Miharu! Miharu ingin bersamamu karena dia tidak tahu kalau kau adalah pembunuh. Dia mungkin melihatmu sebagai orang yang sama. Tapi kalau dia mengetahui hal ini dia pasti akan jijik padamu."

Jawab Takahisa, berbicara dengan galak.

 

"......Dia sudah tahu."

 

"Apa?" 

Pernyataan tenang Rio menyebabkan Takahisa kehilangan semua kekuatannya.

 

"Miharu-san tahu kalau aku adalah seorang pembunuh. Miharu-san dan Satsuki-san sudah mengetahui segalanya."

 

"Apa....."

Dan Miyaru ingin tetap bersamanya meskipun begitu ?! Apa Miharu rela pergi dengan seseorang yang begitu egois? Belum lagi, bahkan Satsuki, Senpai yang sangat dia hormati.....

 

"Dia bohong? Miharu Onee-chan....."

Aki berbicara dengan nada tidak percaya. Namun, itu berarti mereka tidak lagi punya alasan untuk menghentikan Miharu.

 

"Apa kau benar-benar berniat menerima Miharu dengan cara ini? Ada kemungkinan dia akan menyesali segalanya.... Tidak, dia pasti akan menyesalinya!"

Takahisa sepertinya memiliki pendapat yang sama dengan Aki karena dia berteriak dengan panik.

 

"Jika dia ingin ikut denganku meskipun begitu, aku tidak akan menghentikannya lagi. Meskipun begitu, aku tidak tahu apakah aku bisa menjawabnya sebagai Amakawa Haruto....."

Meski dia memasang ekspresi agak bersalah, Rio menyatakan pendapatnya dengan jelas.

 

"......Aku tidak bisa menerimanya."

Takahisa berbicara dengan kata-kata itu dan kemudian mengangkat suaranya. 

 

"Aku tidak akan pernah menerimanya! Seolah seperti aku akan meninggalkan Miharu kepada orang sepertimu!" 

Hatinya sudah terpojok, jadi Takahisa telah memasuki keadaan putus asa. Namun, dia tidak bisa menyerah.

 

".....Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" 

Rio tahu kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Dia datang ke sini dengan sudah siap dengan semuanya.

 

"Berduel denganku. Jika aku menang, kau harus menolak keinginan Miharu. Aku akan menang dan membuktikan kebohonganmu itu. Tunggu saja!" 

Dari semua hal yang bisa dia pilih, Takahisa memutuskan untuk menantangnya berduel. Terlepas dari alasan di baliknya, itu adalah permintaan untuk melawannya.

 

".....Menurutku, yang kamu inginkan adalah Miharu-san melakukan apa yang kamu inginkan."

Rio menunjukkan detail itu.

 

"A-Apa kau mencoba untuk membenarkan dirimu sendiri?!" 

Takahisa berteriak dengan nada bersalah.

 

"Tidak, tidak sama sekali. Jika kamu ingin berduel denganku untuk memperlakukan Miharu-san sebagai suatu taruhan, maka aku tidak akan kalah. Setidaknya, aku tidak akan memaksa Miharu-san melakukan apa yang aku mau. Itu saja." 

Rio menjawab dengan tenang.

 

".....Maafkan aku, tapi aku ada di pihak Haruto An-chan." Masato menimpali.

 

"Apa?!" 

Takahisa mengerutkan keningnya dan menoleh ke Masato.

 

"Aku juga bertaruh untuk itu. Jika Haruto An-chan kalah, aku akan melakukan apa pun yang kamu minta. Bagaimana?" 

Masato kembali menatapnya.

 

"H-Hentikan, kalian berdua....."

Aki menyaksikan saat hubungan antara kedua saudaranya perlahan-lahan terurai.

 

Masato mengerutkan keningnya saat dia melihat ke arah Aki dan tiba-tiba berdiri. 

".....Ayo pergi, Haruto An-chan. Ini larut malam, jadi kamu harus bersiap untuk duel besok pagi. Maaf, tapi bisakah aku tinggal di kamarmu? Aku tidak berpikir aku bisa tidur di sini malam ini. "

 

{ TLN : Walau Masato agak mesum tapi dia lebih anggap Rio kaya kakaknya sendiri daripada kakak aslinya wkwkwk }

 

".........."

Takahisa sepertinya menerima tantangan Masato karena dia tidak berusaha menghentikannya. Dia hanya duduk di sana dalam diam. Dia tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan.

 

"......Tentu. Ayo." 

Setelah menghela napas, Rio bangkit dan meninggalkan kamar di sebelah Masato sambil menepuk bahunya.

 

"........."

Saat dia mereka berdua pergi, Aki sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya tidak bergerak. Maka, Rio dan Masato pergi ke ruang tamu dan melihat Lilianna, yang sedang duduk di salah satu sofa dengan ekspresi frustrasi.

 

"Mohon terima permintaan maafku yang tulus ini karena telah menyebabkan keributan pada malam² begini." 

Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam. Meskipun Lilianna tidak mendengar percakapan itu, dia seharusnya mendengar semua terikan yang datang dari ruangan itu.

 

"Tidak, jangan pikirkan itu......"

Lilianna menggelengkan kepalanya pelan.

 

"Dan juga, aku tahu kalau aku sangat egois, tapi Takahisa-sama dan aku telah memutuskan kalau besok pagi kami akan berduel, sama seperti hari ini dengan Satsuki-sama. Tentu, aku bersedia menolaknya, jika kamu memiliki keberatan." 

Dengan kepalanya yang menunduk, Rio menjelaskan kesimpulan dari pembicaraannya dengan Takahisa.

 

"Selama itu adalah keinginan Takahisa-sama, aku tidak akan menghentikannya. Jika memungkinkan, aku ingin  penjagaan Masato-sama kepadamu untuk malam ini. Mengenai duel itu, aku akan mengatur semuanya secepat mungkin dan aku juga akan meminta izin Yang Mulia." 

Lilianna sedikit menurunkan pandangannya. Wajah cantiknya secara bertahap menjadi gelap.

 

".....Aku sangat berterima kasih untuk itu. Kalau begitu, aku permisi." 

Rio meletakkan tangannya di dadanya, dan setelah menundukkan kepalanya sekali lagi, dia kembali ke ruangan Satsuki dengan Masato.

 

◇◇◇◇

 

Keesokan paginya, di arena yang berdekatan dengan Kastil, cukup jauh dari lapangan pawai.....

 

Rio menghadapi Takahisa. Dibandingkan duel dengan Satsuki sebelumnya, tempat duel mereka benar-benar berbeda – untuk mencegah duelnya berubah menjadi tontonan seperti kemarin, penonton hanya terdiri dari beberapa orang terpilih.

 

Di antara mereka adalah, tentu saja ada Miharu, Satsuki, Masato, Aki, Lilianna, Charlotte, dan bahkan Liselotte.

 

Namun, Aki tidak duduk bersama dengan Miharu, Satsuki dan Masato, gadis itu duduk di sebelah Lilianna di tempat yang agak jauh dari yang lain. Matanya terus tertuju pada Takahisa.

 

Sementara itu, Miharu dan Satsuki telah diantar ke arena setelah diberitahu tentang bagaimana hasil percakapan kemarin berakhir.

 

"Masato-kun. Kenapa bisa berakhir seperti ini?" 

Duduk di sampingnya, Miharu mengajukan pertanyaan kepada Masato.

 

"Karena Aniki-ku itu idiot. Yah, anggap saja ini sebagai perkelahian antar pria. Saat duel selesai, kamu bisa bertanya sendiri kepada Haruto An-chan untuk detailnya." 

Kemarin malam, Rio kembali ke ruangan Satsuki bersama Masato, yang langsung tertidur. 

Setiap kali Miharu bertanya padanya apa yang terjadi, dia hanya menjawab seperti itu. Miharu tahu kalau Rio pergi untuk berbicara dengan keluarga Sendou dan mungkin padahal akhirnya mereka bertengkar satu sama lain. Namun, Rio menghindari membicarakannya, jadi Miharu tidak tahu persis apa yang terjadi.

 

"Haruto-kun mungkin mencoba berkomunikasi dengan kita dengan caranya sendiri, bukan begitu? Ada hal-hal yang tidak akan bisa kamu pahami sampai kamu menghadapinya secara langsung, jadi aku yakin suatu saat dia akan melakukan hal yang sama denganmu, Miharu-chan. Jadi sekarang mari kita lihat bagaimana ini berakhir. Percayalah padanya." 

Satsuki juga tidak tahu detail tentang pertengkaran Rio dan Takahisa, tetapi bibirnya melengkung menjadi senyuman ramah. Dia telah merahasiakan percakapannya dengan Rio setelah duel, tetapi Miharu curiga kalau percakapan itu telah sangat memengaruhi banyak hal.

 

".....Baik." 

Miharu mengangguk sambil menghela napas.

 

"Yah, setidaknya kita tidak perlu khawatir tentang hasil  ini. Tidak mungkin Haruto An-chan bisa kalah. Jika dia berpikir dia bisa menang bahkan setelah menonton pertarungan kemarin, maka dia terlalu naif!" 

Masato berkata demikian.

 

"Sepertinya mereka akan memulainya." 

Satsuki sepertinya setuju dengan Masato saat dia mengangguk dan mengembalikan pandangannya ke tengah arena. Wasit pun mulai menjelaskan aturan mainnya.

 

"Satu-satunya senjata yang diizinkan adalah pedang pelatihan ini. Kemenangan akan ditentukan hanya dengan kemampuan berpedang kalian. Hero, Takahisa-sama, dapat menggunakan Divine Arms-nya untuk meningkatkan fisiknya dan Amakawa-dono dapat melakukan hal yang sama dengan pedang sihirnya. Pertandingan akan diputuskan jika salah satu dari kalian berhenti sebelum melakukan serangan terakhir atau jika kalian melakukan serangan di area vital selain area wajah. Harap mencegah serangan yang mencapai tingkat yang mematikan. Tidak bersenjata tidak akan dihitung sebagai kekalahan. Apa kalian setuju dengan aturan ini?" 

Seorang Ksatria muda yang bertindak sebagai wasit duel adalah laki-laki muda bernama Kyle.

 

"Iya!" 

Takahisa mengangguk dengan penuh semangat sementara Rio menundukkan kepalanya dan menerima aturan dengan tenang.

 

"Dimengerti."

 

"Kedua belah pihak tolong jaga jarak kalian dan siapkan senjata kalian."

Wasit mengangkat tangannya ke udara dan begitu mereka berdua cukup jauh, dia memastikan keduanya telah mempersiapkan senjata mereka.

 

"Mulai!" 

Menurunkan tangannya, wasit memulai pertandingan.

 

"Hah!" 

Takahisa berteriak marah dan mendekati Rio, karena kekuatan tubuh dari Divine Arms-nya, kecepatannya dengan mudah melampaui batas manusia. Meskipun tidak terlalu jelas, gerakannya menunjukkan kalau dia telah berlatih dengan pedang. Namun, dari sudut pandang Rio, dia penuh dengan celah.

 

Rio bisa mengakhiri duel ini dalam sekejap, tapi..... Mengalahkannya dengan mudah tidak akan cukup untuk mengurangi rasa permusuhan dari Takahisa. 

Rio harus membuatnya menyerah setelah memaksanya menggunakan semua yang dipunya. Memutuskan hal itu, Rio menghadapi serangan sengit lawannya secara langsung.

 

"Raaaagh!" 

Takahisa meluncurkan serangan yang tak terhitung jumlahnya ke arah Rio. Rio bergerak sesuai dengan setiap serangannya dan menggunakan pedangnya untuk menangkis tusukan yang dikirim ke arahnya. Keduanya menghabiskan sepuluh detik seperti itu.

 

"Kuh......"

Takahisa merasa serangannya tidak berpengaruh sama sekali – dia bahkan tidak merasa seperti menyerang Rio. Dia melakukan kontak dengan tatapan dengan Rio dan tanpa sadar melangkah mundur untuk menjauhkan diri darinya. Namun, Rio hanya berdiri diam, menunggu serangan Takahisa selanjutnya. Sebagian untuk menahan diri dan tidak secara sengaja mengakhiri duel secara tiba-tiba.

 

"Apa kau hanya akan berdiri diam sepanjang waktu?!" 

 

[ Sombong sekali! ]

Takahisa menggunakan kemampuan fisiknya yang telah ditingkatkan sepenuhnya untuk membuat Rio kehilangan keseimbangan. Meski begitu, Rio tidak bergerak untuk menyerangnya. Takahisa berlari berputar-putar di sekitar Rio sebelum melancarkan serangan mendadak dari belakang.

 

"Gwah?!" 

Seolah-olah Rio memiliki mata di punggungnya. 

Tanpa melihatnya, Rio berbalik dan mengayunkan pedangnya, menghalangi pedang Takahisa. Momentum tersebut membuat Takahisa mundur. Setelah melakukan kontak dengan tatapan dingin Rio, Takahisa memasang ekspresi terhina.

 

[ Ada apa dengan matanya itu ?! ]

[ Apa dia sedang memandang rendahku, meskipun dia hanya seorang pembunuh ?! ]

[ Dia hanya membual tentang bagaimana dia mencoba untuk menghormati pendapat Miharu, sungguh munafik! Tidak...... Aku tidak akan membiarkan pembunuh itu memandang rendahku! ]

[ Bagaimana bisa aku meninggalkan Miharu kepada seorang pembunuh sepertinya ?! Tidak... Miharuku.....! ]

Tidak terpikirkan kalau ada seseorang yang akan mencuri Miharu darinya. Memikirkan hal itu, Takahisa diliputi oleh rasa paranoid yang luar biasa.

 

Dia ingin menang. Di pertarung ini – dan menang. Melawan orang ini..... Orang Munafik ini! Dia harus membuat Miharu melihat kalau dia lebih kuat dari Rio, namun itu tidak mungkin. Selama dia menang, selama dia muncul sebagai pemenang dari pertempuran ini, Miharu akan tetap bersamanya, itulah yang dia pikirkan. Takahisa sangat yakin akan hal itu. Tidak, keyakinan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap berdiri. Namun—

 

"Sial, kalau begini terus.....!"

 

Dia tidak mungkin menang. Takahisa memiliki sedikit firasat lemah seperti itu.

 

Tapi dia juga tidak mau kalah. Dia tidak bisa kalah. Itu menunjukkan tekad yang dia miliki, dia datang ke medan pertempuran ini dengan niat mempertaruhkan nyawa dan harga dirinya.

 

"Haaaah!" 

Takahisa meningkatkan fisiknya lagi dengan Divine Arms-nya dan menyerang langsung ke arah Rio, dia bergerak dengan kecepatan panah terbang.

 

Namun, hasrat Takahisa telah membuatnya melakukan kesalahan. Baik dirinya dan Rio yang telah meningkatkan kemampuan fisik mereka sehingga serangan sari pedang latihan itu akan membuat seseorang kesakitan, tetapi tanpa membahayakan nyawa satu sama lain.

 

Namun, kecepatan Takahisa saat ini menciptakan energi kinetik yang cukup untuk mengabaikan penguatan tubuhnya. Serangannya itu bisa menyebabkan luka yang fatal.

 

[ Dengan kecepatan ini, aku bisa melakukannya! ]

Takahisa yakin akan kemenangannya dan bersukacita. Tanpa ragu-ragu lagi, dia memusatkan semua kekuatannya pada pedang di tangannya dan mengayunkannya ke arah Rio. Tapi—

 

"Apa.....?!" 

Pedangnya hanya membelah udara kosong, membuatnya tidak bisa berkata-kata. Tidak ada perlawanan sama sekali, bahkan tidak ada jejak Rio yang bisa ditemukan. 

[ Mengapa ?! ]

Takahisa mengalami rasa ragu yang perlahan berubah menjadi amarah. Pada saat itu—

 

"Guh!" 

Sebuah hantaman kecil mengenai punggungnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Takahisa telah didorong oleh Rio, tetapi serangan itu berhasil dia tahan. Serangan itu tidak cukup kuat untuk dianggap sebagai pukulan mematikan. Wasit juga hanya terdiam.

 

"Apa?!" 

Takahisa dengan panik berbalik dengan pedangnya saat dia berteriak. Namun, Rio tidak bisa ditemukan.

 

"Bidang pandanganmu terlalu sempit."

Suara tenang Rio bergema dari belakang Takahisa.

 

"Wah!" 

Takahisa mengayunkan pedangnya dengan panik.

 

"Dalam pertarungan di mana emosi menguasaimu, meningkatkan kecepatanmu melebihi batas hanya akan membuatmu kehilangan targetmu. Inilah kenapa bidang penglihatanmu semakin pendek. Hal yang sama berlaku untukmu dan Miharu-san....."

Rio melangkah mundur dengan gerakan santai, menghindari serangan Takahisa sambil berbicara.

 

".....Apa kau sedang menghinaku? Kau punya hak untuk mengatakan itu!" 

Takahisa melontarkan kata-kata itu dengan kebencian.

 

"Mungkin."

Rio mengangguk dengan mudah. 

 

Bagi Takahisa, Rio menunjukkan perbedaan antara kemampuannya melalui sikapnya yang santai. Itu membuatnya kehilangan kesabaran, sebagai akibatnya dia menyerang lawannya dengan membabi buta.

 

"Kau tidak layak bersama Miharu!"

 

"Aku tahu."

 

"Kau hanya seorang pembunuh munafik!"

 

"Aku juga tahu itu."

 

"Aku tidak akan membiarkanmu!"

 

"Apa aku memerlukan izinmu?"

Itu adalah kesombongan murni.

 

"Itulah sebabnya aku akan memenangkan pertandingan ini!" 

Mengatakan itu, Takahisa mengayunkan pedangnya, Pedang itu di gerakan melengkung di udara ke arah lawannya.

 

"Apa?!" 

Dari semua hal yang bisa dia lakukan, Rio menancapkan pedangnya secara vertikal ke tanah. Namun, Takahisa tidak bisa lagi menghentikan serangannya sendiri. Dia mungkin akhirnya membunuh Rio, itulah ketakutan yang muncul dalam dirinya.

 

Tiba-tiba, Rio mengambil langkah ke depan.

 

Tapi bukan berarti Rio ingin mati. Memanfaatkan sedikit keraguan dalam gerakan Takahisa, Rio menghentikan bilah pedang di antara kedua telapak tangannya.