Kingdom of Lies – Extra Story

 

 

Derai Hujan, dibawah Payung Bersama

 

Pada tahun 996 Era Suci.

         

Setelah kelas usai di akademi kerajaan Beltrum, sebagian besar murid sekolah dasar sudah kembali ke rumah mereka. Rio, yang berusia dua belas tahun kala itu, memanfaatkan sepinya halaman sekolah untuk berlatih pedang sendiri di alun-alun belakang menara perpustakaan. Dia menggerakkan anggota tubuhnya, mengayunkan pedang dan meniru bentuk dasar.

          

Selama dia memiliki waktu, dia memastikan tidak pernah melewatkan berlatih dan terus menyempurnakan tubuhnya dan teknik dalam diam; tanpa emosi. Karenanya, gerakannya terasah dan sangat alus. Kilau keringat berkobar di dahi Rio, dan napasnya keluar agak kasar saat dia berlatih.

          

Berdiri di lantai atas menara perpustakaan adalah seseorang yang memperhatikan Rio. Itu Flora. Dia datang ke perpustakaan setelah kelas untuk belajar dan kebetulan melihat sosok Rio yang berlatih di luar jendela. Dia benar-benar menangkap tatapannya.

         

“Bolehkah aku bertanya apa yang sedang kamu lihat, Putri Flora?”

          

Seseorang memanggil Flora dari belakangnya, membuatnya berbalik dengan kebingungan. Itu Christina dan pelayannya Roanna, yang keduanya telah menemaninya ke perpustakaan.

          

“A-Ah, tidak, bukan apa-apa. Aku hanya berpkir langitnya mendung, jadi mungkin hujan akan turun saat kita kembali.” ucap Flora dengan senyum yang tak nyaman menempel di wajahnya.

 

Christina perlahan melangkah maju dan mendekati jendela.

          

“O-Onee-sama!”

          

Flora mencoba menghentikannya, tetapi sudah terlambat. Christina menatap ke bawah dan melihat Rio yang sedang berlatih. Alisnya berkerut sedikit, dan dia mendesah lelah.

          

“Flora, kamu ....”

          

Roanna juga mendekati jendela dengan santai. Dia segera menyadari apa yang dilihat Flora, dan ekspresi yang bertentangan muncul di wajahnya. Flora merasa bersalah, menatap kakinya.

          

Gerakan nyaris artistik Rio telah menarik ketiga tatapan mereka. Mereka menonton diam-diam selama beberapa detik.

          

“Ara, bukankah itu ... Celia sensei?” Kata Roanna, menunjuk sosok yang berjalan ke Rio dan memulai percakapan dengannya.

 

Rio membalas kata-kata Celia dengan senyum lembut di wajahnya.

          

Melihat sekilas ekspresi pada Rio sejauh ini—ekspresi dari dirinya yang tidak pernah ia tunjukkan di akademi—membuat Flora dan Roanna membelalakkan mata mereka karena terkejut. Christina tetap acuh tak acuh.

          

“Ah ... Hujan.” Gumam Flora.

          

Tetes, tetes. 

 

Tetesan air mulai jatuh dari langit.

          

“Kita harus pergi.” ucap Christina dengan suara pelan.

 

Dia berbalik lalu berjalan menjaduh dari jendela.

          

“Baik, Yang Mulia.” ujar Roanna, segera mengikuti setelahnya.

         

Tetapi Flora tampak enggan melakukan hal yang sama, tetap membeku di jendela. Pandangannya tertuju pada percakapan intim Rio dan Celia, mengikuti mereka ketika mereka mulai berjalan keluar dari hujan bersama.

          

“Ayo, Flora. Kamu ingin kami membantumu belajar, bukan?”

          

“Iya ....”

          

Menyadari bahwa jika nada suaranya merupakan indikasi, Christina tidak akan menerima jawaban tidak, Flora ragu-ragu menyeret kakinya ke arah mereka. Melihat itu membuat Roanna mendesah kecil, lesu.

          

Sementara itu, Rio telah membuka payung yang dibawanya setelah melihat laporan cuaca dan mengundang Celia untuk bergabung dengannya. Keduanya berjalan berdampingan, bahu mereka bertabrakan satu sama lain.

          

“Ka-Kayaknya tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Gimana kalau istirahat di lab-ku dulu?” tanya Celia dengan suara sedikit melengking, wajahnya memerah.

          

“Oke, aku akan datang berkunjung setelah ganti. Tapi, aku akan menemanimu sampai ke menara perpustakaan terlebih dahulu, sensei. Ayo pergi.” Rio mengangguk dengan senyum dan mulai berjalan santai.

          

Payung itu agak terlalu kecil untuk menutupi keduanya, jadi Rio menyesuaikan posisi payung ke tengah di atas Celia.

          

“R-Rio, aku tidak keberatan basah, jadi kamu bisa memegang payungnya di tengah. Kamu akan masuk angin kalau begitu.” Menyadari Rio mulai basah, Celia dengan samar-samar menggeser tubuhnya ke samping.

          

“Aku akan segera menggantinya, jadi tidak masalah. Seorang wanita seharusnya tidak membiarkan tubuh atau pakainnya basah, sensei. Tolong mendekatlah ke sini.” Kata Rio, melangkah lebih dekat ke Celia.

          

“A-Aku baik-baik saja, ini bukan apa-apa!”

         

Pada sentuhan ringan ke bahunya, Celia menggelengkan kepalanya dengan gugup. Dia menjaga jarak dari Rio dengan wajah malu.

          

“Kamu seharusnya tidak melakukan itu.”

          

“A-Ahaha.”

          

Rio berusaha untuk menutup jarak di antara mereka sekali lagi, tetapi Celia terus mundur darinya dengan langkah-langkah canggung.

          

“Maafkan aku, apa karena aku bau keringat? Aku baru saja berolahraga lagipula.”

          

“Ti-Tidak! Bukan itu! Yang ada, aroma mau ena—tunggu, apa yang aku katakan?! Aku terdengar seperti orang mesum! Bukan itu maksudku, Rio!” Dengan wajahnya yang memerah, Celia menggelengkan kepalanya dengan marah. Rio terkekeh padanya.

          

“Kalau begitu maukah kamu datang ke bawah payung? Jadi kamu tidak akan basah.”

          

“O-Oke ... Apakah ini baik-baik saja?”

          

Celia mengangguk untuk menyembunyikan pipinya yang merah. Dia melangkah mundur di bawah payung dan menempel lebih dekat ke Rio, seolah-olah menyatakan dia tidak bau sama sekali.

          

“Ayo pergi.”

          

Sementara dia agak terlalu dekat kali ini, Rio terus menemaninya sampai ke menara perpustakaan seperti pria sejati.

 

Pesta Teh Sore Hari

 

Tersebar di tanah Royal Academy of Beltrum adalah beberapa ruang minum teh yang digunakan untuk bersosialisasi. Setelah kelas mereka, banyak murid perempuan akan berkumpul di dalam ruangan itu dan menjadi tuan rumah pesta teh.

          

Suatu hari di Tahun 996 dari Era Suci, beberapa putri bangsawan telah berkumpul di salah satu kamar teh di Akademi. Tuan rumahnya adalah putri bangsawan berpangkat tinggi di tahun kelima, dan ada sekitar sepuluh orang yang hadir—termasuk Flora, yang diberi kursi kehormatan sebagai individu peringkat tertinggi yang hadir.

          

Karena pesta teh adalah pertemuan sosial bagi putri bangsawan untuk bersosialisasi, percakapan kaku dan formal pada umumnya dihindari. Diskusi biasanya dimulai dengan ulasan tentang makanan penutup yang dibawa, komentar tentang aksesori yang dipakai, dan obrolan ringan yang tidak berbahaya lainnya. Mereka masing-masing akan menampilkan pengetahuan dan pendidikan mereka, mengomentari pakaian atau pernak-pernik satu sama lain, membuat suasana hangat dan akrab sebelum pindah ke masalah pribadi.

          

“Jadi ... Putri Flora. Aku mendengar kamu bergabung dengan Yang Mulia, Putri Christina, untuk pelatihan di luar kerajaan yang akan datang. Banyak yang bilang jika murid berprestasi berkumpul di kelompok itu.” Setelah beberapa saat, putri bangsawan yang bertindak sebagai tuan rumah pesta teh mengangkat topik latihan di luar kerajaan.

          

“Aku juga mendengar rumor yang sama. Lady Roanna dari keluarga Fontaine, Lord Stewart dari keluarga Huguenot, dan Lord Alphonse dai keluarga Rodan akan hadir.”

          

“Ara! Bukankah itu semua yang berbakat murni. Aku harus mengatakan aku sangat iri.”

          

Satu demi satu, putri-putri lain mengaitkan topik itu sebelum Flora bahkan bisa menjawab.

         

“Terlebih, aku mendengar orang itu akan ada di sana juga.” kata putri tuan rumah dengan sugestif, mengisyaratkan berat partisipasi orang tertentu.

          

“Jangan bilang ... Orang itu, yang kamu maksud orang itu?” seorang putri bangsawan yang berbeda terkejut dan dibebani pertanyaan.

 

Putri tuan rumah memberi anggukan tunggal.

          

Sementara itu, Flora dan gadis-gadis lain menunjukkan ekspresi yang agak bingung di wajah mereka.

          

“Kamu bicara tentang siapa?” tanya Flora sambil memiringkan kepalanya.

          

“Siswa kelas enam, Lord Rio, tentu saja.”

          

Pada jawaban putri tuan rumah, semua wanita lain di meja mengeluarkan suara melengking yang menyenangkan.

          

“Memangnya apa yang salah dengan Lord Rio?” Flora bertanya dengan suara agak melengking, kaget dengan reaksi para gadis.

          

"Bukannya ada sesuatu yang salah, tapi bukankah dia memiliki pertarungan hebat di turnamen tempo hari? Sampai-sampai aku menahan napas tanpa kusadari.”

          

“Aku juga. Seolah-olah aku sedang melihat tarian yang sangat indah ... Wajahnya juga tampan, tipe yang akan menarik perhatian bahkan dari jauh.”

          

“Setuju. Dan nilainya pun bagus. Sekarang setelah dia membuktikan kemampuannya di turnamen, jalannya sebagai seorang ksatria sudah terjamin, bukan begitu?”

         

“Mungkin dia sudah menerima tawaran.”

         

Para wanita terus-menerus memuji dan bergosip tentang Rio selama beberapa waktu.

          

[ Sejak kapan Rio menjadi sangat populer ...? ]

          

Tidak banyak perhatian telah jatuh pada Rio dalam lima tahun terakhir ini, dan dia juga belum mendengar banyak desas-desus tentangnya. Terkejut melihat betapa cepat gadis-gadis itu mengalihkan sikap mereka tentang Rio demi kepentingan diri mereka sendiri, Flora membelalakkan matanya.

          

“Kalau dipikir-pikir, bukankah Lord Rio mendaftar ke akademi ini sebagai hadiah karena menyelamatkan Putri Flora?”

          

Putri tuan rumah memandang ke arah gadis yang dimaksud, dan semua wanita lain melompat ke topik baru.

          

“Ara, indah sekali! Itu terdengar seperti dongeng.”

          

“Iya, aku sangat penasaran tentang bagaimana keduanya ditakdirkan bertemu.”

          

“Putri Flora, tolong ceritakan lebih banyak tentang peristiwa yang terjadi saat itu.”

          

Benar saja, putri-putri itu dengan gembira bereaksi terhadap kata-kata tuan rumah dan mendesak Flora dengan lebih banyak pertanyaan.

          

“Peristiwa yang terjadi saat itu ...? Ah ... Aku tidak sadar hampir sepanjang waktu, jadi aku tidak bisa mengingatnya dengan sangat rinci. Tapi jika kamu masih tertariik, terlepas dari itu ....”

Flora mengingat kembali ingatannya saat itu dan dengan ragu-ragu mulai berbicara tentang bagaimana dia bertemu Rio.