Claudia berteriak begitu keras dan kasar hingga mungkin tenggorokannya robek. Aku hampir tidak percaya teriakan itu berasal dari gadis tomboi yang sama yang kukenal. Rasa sakit macam apa yang harus dia rasakan saat ini hingga dia berteriak seperti itu? Aku bahkan tidak bisa membayangkannya.
Astrid memberi perintah singkat kepada salah satu maid, yang langsung berlari keluar ruangan seperti ditembakkan dari meriam.
"Ayah, ini—"
Astrid memulai.
"Ya, aku tahu."
Kata Duke Dragonaut, memotongnya dengan ekspresi sedih sambil menatap kami.
"Para tamu yang terhormat, aku minta maaf atas kejadian mengejutkan yang baru saja kalian saksikan. Sepertinya Claudia terlalu bersemangat hari ini."
Setelah meminta maaf lagi, sang duke menyuruh kami kembali ke kamar. Mereka akan membawakan makan malam kami begitu kami semua masuk. Tentunya, kami menuruti permintaannya. Aku ragu ada di antara kami yang masih punya nafsu makan untuk melanjutkan makan setelah melihat Claudia seperti itu. Lagipula, jelas sang duke sedang berusaha mengusir kami. Tanpa dokter atau pendeta di antara kami, kami jelas tidak akan bisa membantu. Dan aku masih ragu apa aku bisa menggunakan kekuatanku untuk membantu Claudia.
Saat para maid bergegas membersihkan piringnya dari lantai, rombonganku bergegas meninggalkan ruang makan.
"Master, ada sesuatu yang ingin kulaporkan."
Kata Lunamaria muram begitu kami kembali ke kamar.
Seele dan Suzume punya kamar sendiri, jadi karena Lunamaria menunggu sampai kami sendirian, mungkin ini hanya bisa dibicarakannya denganku. Dan itu saja sudah cukup bagiku untuk menyadari bahwa apapun yang akan dia katakan, itu bukanlah kabar baik. Sambil menguatkan diri, aku mendesaknya untuk melanjutkan.
"Saat kalian semua berbelanja, sang duke menanyakan sesuatu kepadaku. Dia bertanya apa buah Jirai Ao Ochs bisa menghilangkan racun dari tanaman tanashia."
"Tanaman tanashia? Maksudmu tanaman kematian itu? Oh, jadi begitu. Jadi itu yang mereka gunakan padanya."
Aku familier dengan tanaman obat—atau tanaman beracun, sebenarnya—yang disebut tanashia. Tanaman itu disebut sebagai analgesik, tapi sebenarnya efeknya adalah mematikan kemampuan seseorang untuk merasakan sakit, memungkinkan seseorang meninggal dengan tenang daripada menderita. Duke dan Astrid pasti memberikannya kepada Claudia sebagai upaya terakhir untuk menekan rasa sakit Claudia itu.
Tapi itu tidak berbeda dengan seseorang yang hampir mati kelaparan melahap anggota tubuhnya sendiri untuk bertahan hidup. Jika Lunamaria mengatakan ini padaku sebelum makan malam kami malam ini, aku mungkin akan sangat marah. Tapi setelah mendengar jeritan seperti itu datang dari gadis malang itu, aku tidak bisa menyalahkan mereka berdua.
"Dan apa yang kamu katakan pada sang duke?"
"Masih banyak yang belum kami ketahui tentang buah ini atau apa sebenarnya efeknya, jadi aku tidak bisa memberinya jawaban pasti. Tapi, meskipun Jirai Ao Ochs dapat sepenuhnya menghilangkan racun dari ramuan tanashia, buah itu tidak dapat membalikkan kerusakan yang telah terjadi pada tubuh Claudia-sama. Setiap kali Claudia-sama meminum ramuan itu, tubuhnya semakin dekat dengan kematian. Tidak ada penawar yang dapat mengubahnya. Dan meskipun aku merasa tidak enak untuk melakukannya, aku sudah menceritakannya kepada sang duke."
Elf hutan dan sang sage itu tampak sedih saat dirinya berbicara. Mungkin lebih sulit baginya untuk mengatakan semua ini dengan lantang setelah melihat rasa sakit yang dialami Claudia barusan.
Claudia perlu meminum ramuan itu untuk menahan rasa sakitnya, tapi setiap kali dia meminumnya, dia semakin dekat dengan kematiannya. Itu adalah kenyataan yang bahkan Jirai Ao Ochs tidak dapat ubah. Tentu saja, buah itu akan mengurangi efek buruk tanashia seminimal mungkin, sehingga setidaknya dapat memperpanjang hidupnya sedikit. Namun, semakin lama dia hidup, penderitaannya akan semakin panjang.
Tanpa sadar aku menggigit bibirku karena kesal.
"Jadi, begitulah rasanya melawan kutukan. Kalau aku tahu ini akan terjadi, aku pasti sudah meneliti kutukan jauh lebih dalam sebelum datang ke sini. Kalau dipikir-pikir, kamu kan pengguna roh. Apa mata tajammu mendeteksi sesuatu yang aneh?"
"Sayangnya, belum ada yang konkret saat ini. Tapi, ada satu hal yang kusadari."
"Kamu menyadarinya? Apa itu?"
"Ya, tepat sebelum Claudia-sama jatuh kesakitan, aku merasakan... sensasi yang menyesakkan di telingaku."
"Sensasi yang menyesakkan? Maksudmu kamu mendengar suara aneh?"
"Itu bukan suara, sebenarnya... mari kulihat. Master, apa kamu tahu apa itu peluit anjing?"
"Ya, itu benda yang digunakan para penjinak, kan?"
Benda itu seperti seruling yang bisa dibilang hanya bisa didengar oleh anjing dan serigala. Menurut rumor, seorang penjinak yang sangat terampil bisa mengendalikan sekawanan serigala hanya dengan benda itu. Astrid juga sempat menyebutkan dalam salah satu percakapan kami bahwa para penjinak naga menggunakan benda serupa yang disebut peluit naga untuk mengendalikan binatang buas dan memanggil mereka dari jauh. Tapi rupanya detailnya adalah rahasia, karena dia tidak mau memberitahuku lebih dari itu.
Ngomong-ngomong, Lunamaria memberitahuku bahwa sensasi yang dia rasakan di dekat telinganya sangat mirip dengan seseorang yang meniup peluit anjing di dekatnya.
"Aku tidak yakin itu ada hubungannya dengan kelainan Claudia-sama."
Jelas Lunamaria.
"Tapi, jika memang ada hubungannya, aku merasa aneh karena itu tidak membuat semua orang di ruangan itu merasakan hal yang sama."
"Setuju. Tapi kurasa terlalu dini untuk menganggapnya tidak berhubungan. Seele juga memiliki pendengaran yang luar biasa, jadi kita akan bertanya padanya apa dia mendengar sesuatu yang aneh."
"Dimengerti. Kalau begitu aku akan segera memanggil Seele ke sini."
"Tidak, jangan dulu."
Aku menghentikan Lunamaria sebelum dia bisa meninggalkan ruangan. Dia tampak bingung, tapi aku memanggilnya kembali. Itu membuatnya semakin bingung, tapi dia menghampiriku dengan patuh. Aku meraih bahu rampingnya.
"Kita akan mengujinya sekarang."
"Me-Mengujinya... sekarang?"
"Benar. Aku ingin melanjutkan dengan lebih hati-hati, tapi sekarang aku sadar kita tidak punya waktu untuk berlama-lama."
Tentu saja, aku sedang membicarakan tentang menguji apa aku bisa mentransfer sebagian jiwaku ke orang lain. Bisa dibilang, meskipun berhasil dengan Lunamaria, ada kemungkinan itu tidak akan berhasil pada manusia biasa. Tapi Seele adalah setengah binatang dan Suzume adalah ras demonkin. Aku tidak punya waktu untuk kembali ke Ishka dan mengujinya pada Miroslav.... atau Iria di Merte. Jadi, Lunamaria adalah pilihan terbaikku. Sekalipun tidak ada metode khusus untuk itu, mendapatkan gambaran umum saja sudah cukup.
Aku menduga Lunamaria akan menolak mentah-mentah setelah diberitahu bahwa dia akan menjadi kelinci percobaanku, tapi elf berambut emas itu sama sekali tidak menolaknya. Dia mengendurkan bahunya dan menatap mataku. Di iris berwarna zamrudnya itu, terbayang bayanganku yang sedikit terkejut.
"Kamu mau yang bagaimana? Sebutkan saja, dan aku akan melakukan apapun yang kubisa."
"Er.... seperti biasa saja tidak masalah."
Setelah itu, Lunamaria memejamkan mata dan menunggu. Dan, seolah menutupi kebingunganku atas jawabannya, aku menutup bibirnya dengan bibirku.
2
"Ugh, aku mau muntah."
Keesokan paginya, aku keluar dari mansion sendirian, menutup mulut dengan tangan kanan sambil bergumam lemah. Kepalaku sakit sekali, mual, kedinginan, dan sendi-sendiku terasa nyeri. Gejalaku begitu parah sampai aku bahkan tidak bisa berjalan tegak. Kalau ada yang melihatku sekarang, mereka mungkin akan mengira aku seperti mayat berjalan. Para penjaga jelas memperhatikanku dengan cemas saat aku lewat.
Rasanya seperti terserang flu berat, dan biasanya, aku akan tinggal di mansion untuk beristirahat. Tapi sendi-sendiku terasa sangat sakit sampai-sampai seperti terkoyak, dan aku bahkan tidak bisa tidur karena rasa sakitnya. Berjalan pun terasa sangat sakit, tapi keluar untuk menghirup udara segar sepertinya pilihan yang lebih baik daripada berdiam diri di tempat tidur seharian. Jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan di ibukota kerajaan sebentar dan melihat bagaimana perasaanku setelahnya.
"Guh... aku tidak menyangka reaksinya akan separah ini."
Tentunya, yang kumaksud adalah reaksi tubuhku terhadap eksperimenku tadi malam : menyumbangkan sebagian jiwaku kepada Lunamaria. Eksperimen itu sendiri sukses—bahkan sangat sukses. Setelah menerima sebagian jiwaku, Lunamaria naik level dari 19 menjadi 20.
Itu berarti aku sekarang memiliki kemampuan untuk meningkatkan level orang lain sesukaku. Dan tidak perlu kujelaskan betapa dahsyatnya kemampuan itu. Jika aku mengumumkan secara terbuka bahwa aku mampu melakukan hal seperti itu, membayangkan keributan yang akan terjadi saja sudah membuatku merinding.
Sejujurnya, awalnya aku gembira. Semakin tinggi level seseorang, semakin tinggi pula kualitas jiwanya. Dengan kata lain, aku bisa meningkatkan level Lunamaria, lalu memakan jiwanya untuk meningkatkan levelku sendiri, lalu membilas dan mengulanginya lagi untuk mesin gerak abadi.
Aku akan menjadi tidak terkalahkan!
Atau begitulah yang kupikirkan saat itu. Namun ketika aku memeriksa levelku sendiri, kegembiraanku langsung mereda. Entah kenapa, meskipun aku sudah mencapai Level 9 setelah melahap jiwa Iria, levelku kembali ke 8. Sakit kepala, mual, merinding, pegal-pegal, dan gejala demam lainnya yang menggangguku saat ini tampaknya berasal dari beban fisik akibat turunnya level.
Jiwa adalah wadah exp yang sangat ampuh. Namun, tetap saja dibutuhkan energi jiwa yang sangat besar bagiku untuk naik level. Jika kalian membandingkan jumlah exp yang dibutuhkan Lunamaria untuk mencapai level 20 dan jumlah yang kubutuhkan untuk mencapai level 9, levelku pasti lebih tinggi. Sudah ada ketidakseimbangan yang sangat besar antara exp yang dibutuhkan Lunamaria dan milikku, namun level Lunamaria justru naik dan milikku justru turun!
Aku ingin berteriak marah, tapi akulah yang melakukan eksperimen itu sejak awal, jadi kesalahan sepenuhnya ada padaku. Aku hanya akan mengarahkan semua keluhan dan teriakan kemarahanku pada diriku sendiri. Bagaimanapun, fakta sederhananya tetap bahwa sebagai hasil dari eksperimen donasi jiwaku, Lunamaria naik satu level dan aku turun satu level. Dan tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima kenyataan.
"Yah, setidaknya sekarang aku tahu bagaimana aku bisa menyelamatkan Nona Tomboi itu."
Rasa sakit yang menyerang Claudia kemungkinan besar adalah akibat dari jiwanya yang terkuras. Jadi, jika aku mengisi wadahnya dengan energi jiwa yang lebih besar daripada yang bocor—dengan kata lain, menaikkan levelnya—aku bisa meniadakan efek kutukannya, atau setidaknya, mengurangi rasa sakitnya secara drastis.
Dan itu belum semuanya. Aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi level seseorang adalah ukuran potensi mereka. Wadah level 10 tidak bisa diisi lebih dari itu, tapi seiring naiknya level seseorang, kapasitas wadahnya pun ikut naik. Sederhananya, wadah seseorang tumbuh seiring levelnya, dan aku berencana memanfaatkannya. Dengan menaikkan level Claudia, aku bisa menutup lubang di wadahnya. Tentu saja tidak sepenuhnya, tapi aku bisa berharap kutukan itu akan jauh lebih kecil.
Jika aku berhasil melakukan ini, aku akan berada di jalur yang tepat untuk menyelesaikan masalah gadis itu sepenuhnya. Menaikkan levelnya dua atau tiga kali lipat mungkin cukup untuk menyembuhkannya selamanya. Tentunya, levelku sendiri kemungkinan akan turun menjadi 7 atau bahkan 6 sebagai gantinya... tapi aku masih bisa mendengar jeritannya saat makan malam tadi malam di benakku.
Kudengar kutukan itu mulai memengaruhinya setahun yang lalu. Itu berarti dia sudah berjuang melawan rasa sakit itu selama setahun penuh. Seorang gadis berusia dua belas atau tiga belas tahun telah berjuang selama itu melawan rasa sakit yang bisa menyerangnya kapan saja, namun semangatnya belum patah.
Jika ada kemungkinan gadis yang luar biasa tangguh itu tidak perlu berteriak dan menangis kesakitan seperti itu lagi, kehilangan beberapa level adalah harga yang kecil untuk dibayar! Aku hanya punya satu hal lagi yang bisa kuumumkan dengan bangga kepada ibuku yang sedang beristirahat di makamnya begitu aku kembali ke pulau. Lagipula, aku selalu bisa mendapatkan kembali level yang telah hilang!
Namun, aku hanya meneriakkan semua ini keras-keras dalam hatiku untuk meyakinkan diri bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Sebenarnya, ada bagian diriku yang enggan menyerahkan jiwaku demi Claudia. Saat ini, prioritas tertinggiku adalah menjadi sekuat mungkin, dan bagian jiwaku apapun yang kuserahkan akan semakin menjauhkanku dari tujuanku. Aku bahkan merasa ragu untuk menyelamatkannya. Dan mungkin itu hanya imajinasiku, tapi setiap kali aku berpikir untuk membantu Claudia, aku merasa mendengar auman binatang buas yang tidak puas datang dari suatu tempat.
"Tetap saja, aku sudah memutuskan. Aku akan membantunya... Blegh!"
Merasa ingin muntah, aku kembali mengangkat tanganku ke mulut. Biasanya, aku akan langsung menuju Claudia, tapi sulit bagiku untuk berjalan dalam keadaan seperti ini. Aku ragu bisa berhasil mentransfer jiwaku kepadanya seperti ini. Bahkan, aku hampir yakin itu akan gagal jika aku mencoba. Jadi untuk saat ini, aku harus memprioritaskan pemulihanku sendiri.
Menurut apa yang kudengar saat aku berangkat, tanaman tanashia telah berhasil meredakan rasa sakit Claudia. Setelah beberapa waktu berlalu dan rasa sakitnya yang paling parah telah berlalu, mereka akan menggunakan Jirai Ao Ochs untuk menghilangkan efek samping tanaman tanashia.
Saat ini, kondisi gadis itu stabil. Proses ini berulang setiap kali rasa sakitnya kambuh, dan sejauh ini dia telah pulih secara bertahap. Namun, tidak ada jaminan hal itu akan terjadi kali ini. Jika rasa sakitnya benar-benar bisa kembali dengan ganas dan menyerangnya kapan saja, aku tidak bisa lalai.
Aku harus melakukan apapun yang kubisa untuk pulih agar aku berada dalam kondisi yang tepat untuk mentransfer energi jiwaku kepada Claudia. Karena itu, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke kota hari ini untuk mencari semacam ramuan atau sihir penyembuhan kuil yang mungkin dapat menyembuhkanku.
Singkat cerita, tidak ada satu pun yang terbukti efektif. Rupanya, ini adalah kondisi yang tidak dapat disembuhkan yang disebabkan oleh pendonoran jiwaku. Dengan kata lain, aku hanya harus bertahan sampai tubuhku pulih secara alami.
Kurasa terlalu berlebihan berharap pada sesuatu yang semudah itu.
Pikirku sambil menghela napas.
Saat aku berbalik ke arah mansion, sebuah kecapi penyanyi mencapai telingaku.
"Um.... sebelum Claudia-sama pingsan, katamu, master?"
"Ya. Lunamaria bilang dia mendengar suara aneh tepat sebelum Claudia-sama jatuh ke meja. Apa kamu memperhatikan atau mendengar sesuatu saat itu?"
Sekembalinya ke mansion, aku menghampiri Seele untuk bertanya tentang apa yang telah kubicarakan dengan Lunamaria. Aku ingin bertanya padanya kemarin, tapi aku merasa sangat bersalah setelah sesi transfer jiwa sehingga aku bahkan tidak terpikir untuk menanyakannya.
Seele mengerutkan alisnya sambil mencoba mengingatnya.
"Itu tepat sebelum suara piring pecah di lantai, kan? Kamu tahu master.... sekarang setelah kamu menyebutkannya, kupikir aku mendengar suara seperti orang menangis."
"Benarkah?"
"Ya, dan kedengarannya seperti suara perempuan. Telingaku... sebagai seorang ocelot sangat sensitif, jadi aku sering mendengar suara dari rumah-rumah tetangga dan jalan-jalan di sekitar. Dan suara melengking perempuan atau bayi terdengar sangat jelas diterpa angin, jadi aku mendengarnya bahkan dari jauh."
Kepala Seele tertunduk meminta maaf, seolah-olah dia malu pada dirinya sendiri karena tidak memiliki informasi yang kubutuhkan. Tentu saja, aku tidak akan menyalahkannya untuk itu, jadi kukatakan padanya untuk mengangkat kepalanya dan tidak mengkhawatirkannya.
Lagipula, informasi yang Seele berikan memang menarik. Jika yang dia dengar hanyalah suara tangisan, maka dia pasti benar, dan itu adalah sesuatu yang bisa kuabaikan. Tapi Lunamaria, seorang elf, mendengar suara yang tidak biasa pada saat yang bersamaan, dan rasa sakit yang hebat langsung menyerang Claudia setelahnya. Karena itu, aku merasa "suara perempuan" yang didengar Seele ini penting.
Beberapa monster undead memiliki kemampuan untuk melukai musuh mereka dengan jeritan mereka. Aku tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa undead telah menyebabkan kutukan itu. Tapi, mengapa jeritan monster itu tidak melukai siapapun di ruangan itu? Keraguan itu membuatku ragu, tapi kemungkinannya cukup untuk membuatnya layak diselidiki.
Untungnya—kalau bisa disebut beruntung—aku sedang sakit saat itu, dan tubuhku butuh waktu untuk pulih. Jadi, sambil menunggu donasi jiwa bisa dilakukan lagi, aku memutuskan untuk meluangkan sedikit waktu lagi menjelajahi ibukota.
3
"Kenapa aku bermain alat musik di tempat seperti ini, tanyamu? Hehe, mungkinkah kau punya hobi bertanya hal-hal aneh?"
Kakek tua yang memetik kecapinya tanpa beban di sudut pemakaman umum itu menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. Tidak ada niat jahat atau permusuhan dalam nadanya yang acuh tak acuh; namun, sorot matanya saat menatapku tajam, seperti jarum.
"Kenapa kau peduli apa yang dilakukan kakek tua ini di waktu luangnya atau di mana kakek tua ini berada? Bukankah seharusnya tindakanku sama sekali tidak kau perhatikan, tamu dari Keluarga Dragonaut?"
Kakek tua itu memetik kecapinya dengan jarinya beberapa kali sambil berbicara.
Ketika Claudia menyapa kakek tua itu kemarin, kakek tua itu hanya sekilas melihat ke arah kami. Kami bahkan belum memperkenalkan diri kepadanya, namun sepertinya kakek tua itu ingat wajahku.
"Memang bukan urusanku, tapi kemarin kudengar tugasmu adalah membimbing jiwa-jiwa yang tersesat di pemakaman ini menuju nirwana. Kenapa kau mau melakukan hal yang begitu mulia seperti itu, padahal tidak seorang pun memintamu melakukannya sejak awal? Itulah yang membuatku penasaran."
Kakek tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Begitu ya, kau pasti bertanya pada gadis itu tentangku. Dia percaya ocehan kakek tua ini tanpa bukti, padahal kebanyakan orang akan mengabaikan ucapanku, sungguh gadis yang jujur."
Sambil berbicara, kakek tua itu memetik kecapinya dengan cekatan seperti biasa.
"Kurasa aku juga pernah bilang pada gadis itu bahwa setiap kali aku melihat jiwa yang mengembara, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku memang kakek tua yang pikun sekarang, tapi dulu aku membawa tongkat dan menenangkan roh jahat. Mungkin itu sisa-sisa dorongan dari masa itu." Katanya, tertawa.
"Sebenarnya, aku juga punya pertanyaan lain untukmu. Apa kau keberatan?"
"Silakan saja."
"Tadi malam, apa ada orang atau roh aneh yang mengunjungi kuburan ini?"
Yang kumaksud dengan "tadi malam" adalah saat Claudia pingsan di meja makan.
Kakek tua itu memiringkan kepalanya, seolah tidak mengerti maksud pertanyaanku.
"Aku tidak melihat hal seperti itu. Tunggu.... kalau dipikir-pikir, ada satu orang yang tampak mencurigakan di sini."
"Oh? Siapa itu?"
"Tentu saja, kakek tua bodoh di depanmu ini."
Katanya sambil menyeringai.
"Berada di kuburan pada jam segini, memainkan alat musik aneh, apa yang lebih mencurigakan dari itu?!" Dia tertawa lagi.
Meskipun dia tertawa, ekspresiku tetap tidak merasa geli sama sekali. Dia jelas-jelas sedang mengolok-olokku, yang berarti aku membuang-buang waktuku berbicara dengannya. Aku berbalik tanpa sepatah kata pun.
"Kau khawatir tentang kutukan yang menimpa gadis itu, kan?"
Suara kakek tua itu sampai ke telingaku, menghentikan langkahku.
Dengan ekspresi waspada, aku berbalik menghadapnya.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Bukankah sudah jelas? Kau menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang orang-orang aneh yang memasuki pemakaman di malam hari, dan kau penasaran dengan pergerakan roh-roh yang tidak biasa. Apa lagi yang bisa kau lakukan selain mencari asal-usul kutukan? Dan kau menemani gadis yang menderita kutukan itu. Jadi hanya ada satu jawaban."
"Mengesankan."
"Hehehe. Yah, aku menghargai pujiannya. Sebagai ucapan terima kasih, aku akan memberimu sedikit kebijaksanaan dari seorang kakek tua. Sejak tiba di kota ini setahun yang lalu, aku telah belajar beberapa hal."
"Aku ingin sekali mendengar nasihat apapun yang bisa kau berikan."
Kataku sambil membungkuk padanya.
Saat aku membungkuk, cahaya tajam muncul di mata kakek tua itu. Suaranya tidak lagi acuh, melainkan sebaliknya. Dia berbicara dengan serius.
"Bukan roh yang perlu kau khawatirkan. Manusia jauh lebih menakutkan daripada roh jahat mana pun. Jika kau mencari cara untuk menghilangkan kutukan itu, kusarankan kau berhenti mencari roh dan carilah manusia saja."
"Dengan kata lain, seharusnya aku tidak mencari 'apa' yang memberikan kutukan itu padanya, tapi 'siapa'?"
"Benar. Ketika orang-orang berkumpul, sifat asli mereka terungkap. Mereka mendambakan orang lain, dan hati mereka yang terluka bermanifestasi sebagai kecemburuan. Setinggi apapun mereka, mereka tidak bisa lari dari bayangan mereka. Sekalipun yang menjadi sasaran kecemburuan mereka adalah teman lama atau anggota keluarga yang disayangi, bayangan itu akan selalu menampakkan diri."
"Lalu... maksudmu orang yang mengutuk Claudia-sama adalah seseorang yang dekat dengannya?"
"Kedengarannya mustahil, kan, nak? Tapi begitulah manusia. Di seluruh dunia, ada terlalu banyak kisah pembunuhan ayah atau bayi hingga tidak terhitung jumlahnya. Dan dalam keluarga berpengaruh seperti Dragonaut, ikatan kuat antar kerabat sedarah itu bisa menciptakan bayangan yang lebih gelap lagi."
"Hmm..."
"Sang duke memiliki dua putri yang sangat dia sayangi : sang putri sulung, Astrid, dan yang bungsu, Claudia. Aku kebetulan mendengar bahwa putri bungsu akan dinikahkan dengan putra mahkota sebagai ratu berikutnya, sementara yang sulung akan tetap di sini untuk mewarisi keluarga. Tapi tidak ada alasan putri bungsu tidak bisa mewarisi keluarga. Dan itu berarti putri sulung pada akhirnya harus tunduk pada yang bungsu. Terpaksa dalam keadaan seperti itu, bukankah akan muncul bayangan-bayangan buruk? Setidaknya, itu hanya pendapat kakek tua ini."
"Maksudmu Astrid-sama mengutuknya?"
"Maksudku, orang yang paling mudah dikutuk adalah orang-orang terdekatmu. Bukankah mudah bagi Astrid itu untuk menanamkan sesuatu di dalam tubuh Claudia tanpa sepengetahuannya? Dan aku jadi bertanya-tanya, ketika dia pingsan kemarin, apa kakaknya yang paling dekat dengannya?"
"Setelah kau sebutkan itu, Astrid-sama duduk tepat di sebelah Claudia-sama saat itu, kan?"
"Aku sudah mengembara di benua ini selama bertahun-tahun, nak, dan aku belum pernah mendengar kutukan yang tidak bisa dihilangkan dengan obat atau keajaiban apapun. Karena itu, asal mula kutukan gadis itu pastilah bayangan yang bersembunyi di dalam tubuh kakaknya."
Kata kakek tua itu sambil memetik beberapa senar biwa-nya.
Mendengar kesimpulan itu, aku mengangguk setuju, memastikan untuk tidak lupa menatapnya dengan kagum. Mungkin senang dengan reaksiku, kakek tua itu mulai menceritakan pertemuan pertamanya dengan Claudia tanpa bertanya apa aku ingin mendengarnya atau tidak.
"Meskipun kedudukannya tinggi, gadis itu bahkan tidak ragu untuk menghampiri seorang kakek tua renta compang-camping sepertiku dan mulai berbicara denganku. Dia tidak hanya mendengarkan semua yang kukatakan, tapi tidak ada sedikit pun keraguan dalam ekspresinya. Sebaliknya, dia berterima kasih kepadaku karena telah bekerja keras untuk menyucikan tempat peristirahatan ibunya. Bahkan sekarang, sosok dan suaranya masih jelas dalam ingatanku."
Kata kakek tua itu sambil menatap langit.
"Aku sudah hampir ke mana pun di benua ini, tapi aku belum pernah bertemu orang seperti dia sebelumnya. Dan jika bukan karena dia yang meyakinkan penjaga makam untuk mengizinkanku tinggal, aku pasti sudah diusir jauh sebelumnya. Baik manusia maupun binatang, semua orang harus membalas kebaikan."
Pada saat itu, kakek tua itu mulai memetik senar dengan sangat cepat, seolah-olah untuk menyampaikan penutup yang megah. Kemudian dia membungkuk dalam-dalam kepadaku.
"Aku telah membantu semampuku. Sisanya terserah padamu. Tolong, selamatkan gadis itu dari kutukannya."
"Jangan khawatir. Itulah yang ingin kulakukan."
Jawabku. Ketika aku datang ke pemakaman umum ini, aku tidak menyangka akan belajar banyak. Tapi aku mendapatkan petunjuk yang lebih baik dari yang pernah kuduga.
"Satu pertanyaan sebelum kau pergi, nak : Apa kau dan aku pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya?"
"Sebelum kemarin, maksudmu? Tidak, kurasa tidak—meskipun jika kau pernah mengunjungi Ishka beberapa tahun terakhir, kita mungkin pernah berpapasan."
"Tidak, aku belum pernah ke Ishka. Maaf, wajahmu terlihat sangat familiar, tapi itu pasti hanya imajinasiku."
4
Setelah kembali ke mansion, Lunamaria dan aku meminta audiensi dengan Astrid. Tentunya, bukan untuk menanyakan apa kecurigaan kakek tua itu benar. Tubuhku akhirnya cukup pulih untuk melakukan transfer jiwa pada Claudia. Aku bisa saja memilih untuk melenyapkan sumber kutukannya, tapi karena aku belum yakin apa aku benar-benar bisa menang, aku memutuskan untuk fokus menyembuhkan Claudia terlebih dahulu. Dan bahkan jika aku mengusulkan metodeku kepada Duke Dragonaut, aku ragu dia akan benar-benar mempercayaiku. Jadi rencanaku adalah membujuk Astrid terlebih dahulu, lalu membuat Astrid meyakinkan ayahnya.
Namun, entah baik atau buruk, ketika aku pergi untuk berbicara dengan Astrid, aku diberitahu bahwa Astrid sedang berbicara dengan ayahnya. Mungkin kondisi Claudia semakin memburuk. Setelah mereka memberi Lunamaria dan aku izin untuk masuk, aku memutuskan tidak perlu formalitas atau basa-basi yang licik dan langsung ke intinya.
"Kau ingin tahu apa ada pendeta di daerah ini yang mampu menggunakan Sense Lie?"
Tanya sang duke, tampak bingung.
"Tentu saja ada, tapi kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Karena aku ingin kalian berdua percaya apa yang akan kukatakan."
"Hm... dengan kata lain, ini sesuatu yang sangat berlebihan sampai kau pikir kami tidak akan mempercayainya kecuali kau punya bukti tidak terbantahkan seperti Sense Lie."
"Tepat sekali."
Aku membungkuk untuk menunjukkan rasa terima kasihku kepada sang duke karena begitu cepat tanggap. Tatapan sang duke masih menyiratkan kecurigaan, tapi sekali lagi, hal yang sama bisa dikatakan tentang Astrid yang berdiri di sampingnya, begitu pula Lunamaria di belakangku. Itu tidak mengejutkan, karena aku belum memberitahu Lunamaria alasan kami ada di sini.
Merasakan keraguan mereka, aku melanjutkan.
"Aku tahu waktu sangat penting bagimu saat ini, dan setiap saat yang kau habiskan untuk berbicara denganku adalah waktu yang terbuang sia-sia. Aku juga tahu bahwa meminta kalian berdua untuk mengundang seorang pendeta ke sini sementara kalian berdua begitu sibuk dengan Claudia-sama adalah hal yang sangat tidak sopan, dan aku minta maaf, tapi meskipun begitu, aku harus meminta persetujuanmu untuk masalah ini."
"Tidak, tidak, tidak perlu seformal itu."
Kata sang duke sambil melambaikan tangannya.
"Kau dan rombonganmu adalah dermawan kerajaan ini—dan juga keluarga kami. Dan secara pribadi, aku sangat berterima kasih karena telah memberiku lebih banyak informasi tentang indigo wyvern. Setidaknya aku bisa membalas budimu dengan mendengarkanmu, tapi..."
Duke Dragonaut melirik Astrid sekilas, yang mengangguk setuju dengan ayahnya, lalu menatapku dengan tatapan serius.
"Aku sependapat dengan ayah. Dan perlu aku tambahkan, bahkan tanpa menggunakan Sense Lie, aku tidak bermaksud meragukan seseorang yang sangat kami hargai. Jika ada yang ingin kamu sampaikan kepada kami, mengapa tidak langsung saja mengatakannya?"
"Benarkah? Oke, kalau begitu, aku akan langsung ke intinya : Aku telah menemukan cara untuk menyelamatkan Claudia-sama, dan aku ingin izin kalian sebelum melakukannya. Itulah yang ingin aku tanyakan."
Menanggapi saran Astrid, aku mengatakan apa yang ingin aku katakan. Sebagai tanggapan, baik Astrid maupun ayahnya tampak tercengang. Namun sang duke pasti langsung tersadar, karena dia mengerutkan keningnya secara refleks. Dia pasti telah mendengar hal yang sama dari begitu banyak orang yang berbeda pada saat ini, menaruh harapannya pada mereka, dan harapan itu selalu dikhianati.
"Apa kau yakin?"
Tanya sang duke, suaranya dipenuhi kewaspadaan.
"Yah, setidaknya aku bisa menjamin itu pilihan yang lebih baik daripada menggunakan tanaman tanashia untuk menutupi rasa sakitnya. Sekarang aku tahu pertanyaanmu selanjutnya adalah 'Bagaimana rencanamu?' Jadi aku akan langsung menjawabnya : Aku akan meningkatkan level Claudia-sama. Dan tentu saja, tidak perlu membawanya keluar dari mansion. Aku akan melakukan prosedurnya di sini."
"I-Itu..."
"Tidak masuk akal? Aku tidak menyalahkanmu karena berpikir begitu. Faktanya, sampai beberapa hari yang lalu, aku sendiri tidak pernah membayangkan hal seperti itu mungkin terjadi."
Aku menunjuk Lunamaria di belakangku.
"Lunamaria di sini bisa menjaminku. Tadi malam, aku meningkatkan levelnya satu level. Tapi, aku sadar bahwa kesaksian dari seorang budakku tidak cukup sebagai bukti, itulah sebabnya aku ingin membawa seorang pendeta dengan Sense Lie ke sini."
Keheningan panjang menyelimuti ruangan itu. Lamanya keheningan menunjukkan betapa terkejutnya—atau mungkin ragu—Duke Dragonaut. Akhirnya, Astrid angkat bicara, suaranya terdengar tegang.
"Aku belum pernah mendengar sihir apapun, baik mantra maupun benda, yang mampu meningkatkan level seseorang. Bagaimana caranya kau melakukannya?"
"Singkatnya, dengan menawarkan sebagian jiwaku padanya. Sejujurnya, aku juga tidak mengerti cara kerjanya secara spesifik, tapi faktanya tetap saja aku berhasil meningkatkan level Lunamaria. Dan jika aku bisa meningkatkan levelnya, seharusnya aku juga bisa meningkatkan level Claudia-sama. Dugaanku, semakin tinggi levelnya, semakin kuat Claudia-sama akan mampu melawan kutukannya."
"Dan kamu bilang itu akan menyelamatkan adikku? Bagaimana jika kukatakan aku tidak mungkin mempercayakan adikku padamu dengan alasan yang begitu rapuh?"
"Kukatakan ini pada kalian, aku tidak akan menyalahkan kalian. Wajar jika kalian ragu menyerahkan nyawa anggota keluarga kalian yang berharga di tangan seseorang yang baru kalian kenal. Kalau begitu, aku akan pergi dan kembali ke Ishka. Lagipula, aku tidak pernah berniat tinggal lama di ibukota."
Kataku, mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya sambil membungkuk.
Daripada Astrid, sang duke yang menjawab.
"Angkat kepalamu, Sora-dono."
"Baik, Duke Dragonaut."
"Sejujurnya, berita ini sangat mengejutkan, dan aku masih belum yakin aku mempercayai semuanya. Tapi sebagai seorang duke dan sebagai pengikut keluarga kerajaan, aku telah bertemu banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat hingga saat ini, dan setidaknya aku bisa tahu bahwa kau tidak berusaha menipu kami dengan kata-katamu. Lebih penting lagi, orang seperti itu tidak akan pernah bisa menjinakkan indigo wyvern sepertimu." Katanya, menyeringai di akhir komentarnya.
Sama seperti ketika sang duke menanyakan semua yang dia bisa tentang Claimh Soras, sepertinya ketika indigo wyvern disebutkan, sikap sang duke langsung berubah lebih santai dan ramah. Atau mungkin dia hanya mencoba menipuku. Kata-katanya selanjutnya membuktikan tebakanku benar.
"Oleh karena itu, pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu karena telah membocorkan rahasia itu demi putriku. Jika ada orang lain yang mengetahui bahwa kau memiliki kemampuan seperti itu, kau tidak akan pernah bisa hidup damai lagi. Tapi, menyadari risikonya, kau siap membantu Claudia, yang kurang lebih sama sekali asing bagimu. Aku sungguh menghargai kemurahan hatimu."
"Kata-katamu sangat dihargai."
"Tapi, yang tidak kumengerti adalah mengapa kau bertindak sejauh itu. Aku sendiri sudah mengatakannya beberapa saat yang lalu, tapi kau baru bertemu kami, para anggota Keluarga Dragonaut, dalam beberapa hari terakhir. Jadi mengapa kau melakukan semua ini untuk kami?"
Seandainya aku petualang biasa, mungkin aku bisa berkata, "Agar aku bisa menjalin koneksi dan membuat diriku diperhatikan oleh para bangsawan", dan sang duke pasti akan menerima penjelasan itu. Tapi, aku sudah menjinakkan seekor indigo wyvern, membunuh dua jenis Lord, menyelamatkan Ishka, dan dipuji atas prestasiku di istana kerajaan. Rasanya tidak masuk akal bagiku untuk membocorkan rahasiaku hanya demi mendapatkan hubungan baik dengan pihak duke.
Memperkenalkan mereka kepada Jirai Ao Och saja sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka berhutang budi padaku. Lalu, apa alasan sebenarnya aku bersusah payah menyelamatkan anggota keluarga mereka? Itulah yang ditanyakan sang duke. Dan aku tidak perlu memikirkan bagaimana menjawabnya. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan.
"Kau telah bersusah payah membantuku dalam insiden Suzume. Dan meskipun mungkin lancang bagiku untuk mengatakannya, aku sangat tersentuh oleh kemurahan hati dan keramahan yang kau, Astrid-sama, dan Claudia-sama tunjukkan selama beberapa hari terakhir. Terlebih lagi, jika aku melihat seorang gadis yang lebih muda dariku menderita kesakitan akibat kutukan di hadapanku, dan aku tahu aku memiliki kekuatan untuk membebaskannya dari rasa sakit itu, orang macam apa aku jadinya jika aku tidak menolongnya?"
Claudia kira-kira seusia dengan Suzume; dengan kata lain, sekitar dua belas atau tiga belas tahun, dan seusia denganku ketika aku diasingkan dari pulau itu. Seorang gadis seusia itu, menderita dan menjerit kesakitan akibat kutukan yang tidak pantas diterimanya? Apa aku benar-benar butuh alasan untuk ingin menyelamatkannya? Namun, jika aku terpaksa mengatakannya, ada satu alasan yang terlintas di benakku:
LAHAP SEMUANYA.
Ya. Aku ingat. Di tempat yang terasa bukan mimpi maupun kenyataan itu, aku teringat apa yang kupikirkan saat itu. Sebuah pikiran yang seakan melahap seluruh diriku. Jika aku bukan petarung yang tangguh dan tidak bisa melindungi siapapun yang kusayangi, maka aku akan makan. Memakan segalanya. Melahap semuanya.
Jadi apa yang menghentikanku untuk melahap satu atau dua kutukan juga? Mengapa aku tidak bisa melahap kutukan yang membuat gadis malang ini merintih kesakitan?
ITU MENJENGKELKAN. ITU MENGGANGGU.
Maka aku akan menyelamatkannya. Dan dengan mengorbankan jiwaku sendiri, jika perlu.
Aku tidak memberitahu Duke atau Astrid hal ini karena hanya akan memperumit keadaan, tapi bahkan jika mereka menolakku menyembuhkan Claudia, aku akan menyelinap ke kamarnya di malam hari dan meminta izin pada gadis itu sendiri.
Duke Dragonaut dan Astrid mendengarkan dengan saksama apa yang kukatakan, memperhatikan perilakuku dengan saksama, dan memikirkannya. Akhirnya, Duke perlahan memberikan jawabannya.
5
Saat aku membuka pintu dan terhanyut oleh suasana ruangan itu, aku refleks mengerutkan kening. Udara terasa begitu manis hingga hampir menyesakkan. Mungkin aroma dari tanaman tanashia, dan aromanya seolah menyebar ke setiap inci ruangan.
Claudia Dragonaut ada di dalam, terbaring di tempat tidur. Wajahnya meringis kesakitan, dan sesekali erangan kesakitan keluar dari tenggorokannya. Penderitaannya tampak jauh lebih ringan daripada tadi malam, tapi meskipun begitu, itu sudah cukup membuatku tidak tega melihatnya. Dalam keadaan seperti itu, dia takkan pernah bisa pulih, betapa pun lamanya dia tidur. Kemarin jiwanya tampak sedikit pulih berkat pertemanannya dengan Suzume, tapi sekarang dia kembali menghilang. Yang berarti aku harus ekstra hati-hati dengan jiwanya, bahkan lebih daripada yang kulakukan dengan Lunamaria.
Mata Claudia terbuka dengan mengantuk. Mungkin dia merasa seseorang telah memasuki ruangan itu. Sambil mengangkat tubuhnya kesakitan, dia menatap ke arahku, dan ketika melihatku, matanya melebar kaget.
"S-Sora-dono? Kenapa kamu ada di sini?"
Suara Claudia serak, nyaris seperti bisikan. Mungkin kesadarannya masih samar.
Aku berbicara padanya selembut mungkin.
"Aku datang ke sini untuk menyelamatkanmu." Kataku.
"Maukah kamu mengizinkanku untuk mendekat?"
"A-Aku tidak bisa. Udara di ruangan ini..."
"Maaf, aku tidak bisa mendengarmu."
Aku berjalan ke tempat tidurnya meskipun dia menjawab. Lalu aku berlutut di sampingnya dan menatap matanya.
Claudia tertawa kecil dengan senyum pahit.
"Kalau kamu memang tidak mau mendengarkanku, kenapa kamu meminta izin sejak awal?"
"Maaf soal itu. Lain ceritanya kalau kamu memang tidak ingin aku di sisimu, tapi bukan itu yang akan kamu katakan, kan? Kamu tadinya hendak memperingatkanku untuk tidak masuk karena udara di ruangan ini beracun. Benar, kan?"
Kalau begitu, Claudia tidak perlu khawatir. Jika itu yang menjadi kekhawatiranku, aku tidak akan pernah datang ke sini untuk menemuinya. Aku ingin sekali menjelaskan sebanyak itu padanya, tapi mengingat kondisinya saat ini, tidak ada waktu untuk disia-siakan. Jadi, aku memutuskan untuk menyimpan penjelasan itu untuk nanti dan langsung ke intinya. Dengan kata lain, aku mengatakan padanya bahwa aku datang untuk membebaskannya dari kutukannya.
Mendengar itu, Claudia membuka matanya sedikit lebih lebar. Lalu dia tersenyum, senyum lemah yang tampak bahagia sekaligus sedih. Mungkin dia berpikir aku hanya berusaha membuatnya merasa lebih baik.
"Itu akan menyenangkan... tapi bagaimana caranya?"
"Yah, aku harus menempelkan bibirku di bibirmu dan mentransfer sebagian jiwaku padamu."
"Heeeh... menciumku, maksudmu? Apa itu... benar-benar perlu?"
"Ya, aku yakin itu satu-satunya cara. Tapi daripada ciuman, ini lebih seperti memberikan pernapasan darurat kepada seseorang yang hampir tenggelam di sungai. Bibir perawanmu akan tetap murni, jadi jangan khawatir."
"Papa... kurasa tidak terlalu senang dengan saran ini, kan?"
"Dia sangat marah sampai hampir menebasku di tempatku berdiri."
Kataku dengan tatapan serius.
Mendengar itu, Claudia berhasil tersenyum tulus untuk pertama kalinya.
"Hehe... aku ingin sekali melihatnya... tapi kamu akan memberikan jiwamu kepadaku, ya? Kenapa... kamu mau sejauh itu... untuk orang sepertiku?"
"Aku ini laki-laki. Bukankah wajar bagiku untuk ingin menyelamatkan seorang gadis yang menderita di depan mataku? Lagipula, Claimh Soras memintaku."
"Claimh Soras... wyvern itu?"
"Ya. Wyvern itu menyuruhku menyelamatkan gadis yang namanya sama denganku."
Tentu saja, aku menyinggung apa yang dikatakan Claudia kepada wyvern di kandang sebelumnya. Dan dia pasti menyadarinya, karena matanya melebar seperti piring. Lalu dia menyeringai senang.
"Hehe... kalau begitu, kurasa aku tidak bisa menolak, kan?"
"Kalau begitu, mari kita langsung saja."
"Apa yang kamu... Mmpphh?!"
Begitu aku mendapat izinnya, aku menutup bibirnya dengan bibirku. Aku khawatir jika aku ragu, dia mungkin akan gugup. Lebih baik segera selesaikan ini sebelum dia berubah pikiran. Dan saat aku mulai menuangkan jiwaku ke dalam dirinya...
"Mmmm?!"
Tubuhnya yang lemah tersentak ke atas.
Saat ini, Claudia merasakan kenikmatan yang sama seperti yang kurasakan di gua ketika aku pertama kali membunuh belatung-belatung itu dengan Shinsou-ku. Bahkan, mengingat jumlah jiwa yang dia terima dan kepadatannya, sensasinya mungkin sepuluh kali lebih kuat. Dan menurut Lunamaria, yang telah kuuji kemampuannya ini, kenikmatan yang berlebihan terasa sangat menyakitkan. Bahkan sekarang, Claudia masih menggunakan kedua tangannya untuk menekan dadaku dengan kuat. Mungkin sensasi itu membuatnya ingin mendorongku menjauh. Mata ungunya dipenuhi kepanikan dan kebingungan saat menatapku. Tapi aku sengaja mengabaikan usahanya untuk melawan.
Maaf, Claudia.
Jika aku berhenti di tengah jalan seperti yang diinginkannya dan mencoba lagi nanti, aku mungkin akan turun dua level, bukan satu. Dengan kata lain, aku akan mengorbankan dua level hanya untuk menaikkan Claudia ke satu level, yang akan bermasalah. Jadi aku meraih pinggangnya dengan tangan kananku dan menggunakan tangan kiriku untuk membetulkan rahangnya sambil terus mentransfer energi jiwa padanya, menggunakan kekuatanku untuk menekan tubuhnya yang bergetar.
Setelah entah berapa lama, Claudia terkulai lemas di pelukanku, seolah-olah dia sudah menyerah untuk melawan sepenuhnya. Lalu aku merasakan reaksi baru darinya. Reaksi yang sama yang kurasakan dari Lunamaria kemarin, dan rupanya Claudia juga merasakannya, karena matanya yang lesu terbuka lebar. Biasanya, aku akan menganggap pekerjaanku selesai saat ini.
Tapi aku masih agak ragu bahwa hanya naik satu level saja sudah cukup untuk menyembuhkannya. Jadi aku menuangkan lebih banyak jiwaku ke dalam dirinya dan menunggu reaksi kedua. Setelah reaksi itu datang, akhirnya aku melepaskannya.
"Seharusnya berhasil."
Kataku, akhirnya puas.
"'Seharusnya berhasil?!' Apa kamu serius?!"
Claudia meledak marah.
"Ma-Maksudku, aku tahu aku sudah menyetujuinya! Aku sudah memberimu izin! Tapi meski begitu, ada aturan yang harus kamu patuhi dengan semua ini! Setidaknya kamu bisa sedikit lebih lembut!"
Wajahnya merah padam saat dia menutup mulutnya dengan tangan kanannya, terengah-engah seperti kehabisan napas. Dilihat dari caranya memelototiku, sepertinya tindakanku telah membuat Putri Tomboi ini kesal.
Bukannya aku bisa menyalahkannya.
Pikirku sambil mengamatinya.
"Kamu berhak marah padaku. Aku akan minta maaf kepadamu sampai kamu puas nanti, tapi pertama-tama, periksa dulu."
"Periksa?! Apa yang mungkin kamu inginkan dariku— Oh, benar, levelku. Hmph... aku hampir lupa, gara-gara seseorang melakukan ini dan itu padaku."
Claudia memelototiku sambil menunjukkan levelnya.
"Wow! Levelku benar-benar naik! Dua level?!"
"Bagus sekali, itu yang ingin kudengar! Lalu, bagaimana perasaanmu? Sepertinya kamu setidaknya cukup bersemangat untuk meninggikan suaramu dan marah padaku."
"Heeh? Tunggu sebentar! Ini semua terlalu berat untuk kuterima sekaligus... aku bisa menggerakkan tangan dan kakiku seperti biasa lagi! Mati rasa aneh yang kurasakan selama ini hilang!"
"Aku mengerti. Apa ada yang lain?"
"Oh, dan kepalaku terasa... jernih! Lebih jernih dari sebelumnya! Dan juga..."
"Ya?"
"I-Itu... b-bukan apa-apa. Bukan apa-apa."
Claudia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu tapi kemudian melambaikan tangannya sebagai tanda tidak peduli.
Saat itu, suara aneh mencapai telingaku. Suara yang terdengar hampir seperti keroncongan perut. Sedih rasanya melihat Claudia, yang tampak seperti ingin meleleh ke lantai karena malu, ketika mendengarnya, aku akhirnya bisa rileks. Jika dia punya nafsu makan, itu berarti tubuhnya ingin memulihkan energinya. Itulah bukti terbesar bahwa kami telah menghindari hasil terburuk.
Aku mengamati jiwanya. Sejauh yang kulihat, tubuhnya penuh dengan energi jiwa. Hanya waktu yang akan menjawab apa efek kutukan itu akan muncul lagi, jadi aku tidak bisa memastikan kutukan itu benar-benar hilang, tapi aku ragu dia akan merasakan efeknya setidaknya selama beberapa hari ke depan. Bahkan jika seseorang menghujaninya dengan kutukan baru, tubuhnya dalam kondisi prima saat ini sehingga setidaknya mampu melawan. Dan mengetahui hal itu sungguh melegakan.
Saking leganya, aku sampai jatuh ke lantai. Efek samping dari transfer jiwaku langsung terasa. Aku sudah mengalaminya dengan Lunamaria, tapi belum sehari penuh sejak saat itu, dan kali ini aku telah memberikan jiwaku dua level, jadi dampaknya jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Claudia memanggil namaku dengan panik, tapi aku bahkan tidak punya tenaga tersisa untuk merespons. Bagaikan jatuh dari tebing bersuhu sembilan puluh derajat, kesadaranku langsung tenggelam dalam kegelapan.
6
Saat cahaya bulan yang cemerlang menyinari menara istana kerajaan malam itu, kediaman Dragonaut masih diliputi kegembiraan. Putri sang duke, Claudia, yang telah lama menderita kutukan, secara ajaib sembuh dan pulih dengan sangat cepat. Tidak perlu dikatakan lagi, sang duke, putri sulungnya, dan para pelayannya sangat gembira.
Mereka masih sedikit khawatir tentang penyelamat Claudia, yang pingsan tidak lama setelah melakukan mukjizat tersebut, tapi para tabib istana dan sang sage elf Lunamaria meyakinkan mereka bahwa penyemat Claudia itu hanya kelelahan akibat prosedur tersebut dan akan pulih dengan istirahat yang cukup. Mendengar hal itu, sang duke, Astrid, dan Claudia merasa sangat lega.
Setelahnya, diadakan perjamuan sederhana. Namun, itu hanyalah perjamuan dalam artian menu makan malamnya sedikit lebih mewah dari biasanya. Tidak ada alkohol yang disajikan demi Sora yang sedang masa pemulihan, tapi dari skala perayaannya, terlihat jelas betapa Claudia dicintai oleh semua orang di kediaman itu.
Ayah dan kakak perempuannya, tentunya, yang paling gembira. Selama setahun terakhir, kecemasan mereka terhadap kutukan yang menimpa Claudia telah menggerogoti pikiran dan tubuh mereka, jadi bagi mereka berdua, hari ini benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan. Dan para pelayan serta ksatria yang melayani sang duke merasakan hal yang sama.
Meskipun perjamuan itu sendiri sederhana, kegembiraan dan kegirangan mereka begitu melimpah sehingga pesta berlangsung hingga larut malam. Jika hari itu berakhir seperti itu, tanpa insiden, maka hari itu pasti akan diabadikan sebagai tanggal yang baik dalam sejarah Keluarga Dragonaut.
Namun, pada malam yang sama, malapetaka menimpa ibukota kerajaan.
"Maaf menyela, tapi kita sedang ada keadaan darurat!"
Saat Astrid mendengar suara itu, dia kembali ke persona ksatrianya. Hari sudah dini hari, dan Claudia sudah kembali ke kamarnya. Astrid baru saja mulai berpikir untuk tidur, tapi ketika melihat ekspresi prajurit itu, dia langsung mengurungkan niat untuk tidur sepenuhnya. Dilihat dari wajah prajurit itu dan kepanikan dalam suaranya, orang akan mengira prajurit itu baru saja disergap.
"Apa yang terjadi?"
Tanya Astrid, tetap tenang sambil bangkit dari kursinya.
Prajurit itu adalah salah satu prajurit yang sayangnya ditugaskan menjaga gerbang malam itu dan karenanya tidak dapat ikut bergembira. Astrid tahu itu karena dia sendiri yang pergi dan mengantarkan makanan kepada para prajurit itu tadi malam. Prajurit itu, yang pipinya merona merah muda saat menerima makanan dengan ramah, kini tampak muram. Wajahnya sangat pucat, menyerupai mayat.
"Kita diserang! Monster-monster undead bangkit dari pemakaman umum dan mengamuk, menyerang permukiman di ibukota! Dan mereka menuju ke sini! Sebentar lagi mereka akan sampai!"
"Monster undead?"
Ulang Astrid, mengerutkan keningnya.
Astrid sudah menduga laporan prajurit itu akan serius, tapi dia tidak menyangka akan seperti ini. Di Horus dan kota lain di kerajaan yang cukup besar untuk memiliki pemakaman umum, kuil-kuil selalu memasang penghalang di sekitar makam untuk mencegah para necromancer membuat kekacauan. Temple of Law and Order telah menggunakan lebih dari seratus pendeta mereka yang paling taat untuk membuat penghalang ini di setiap pemakaman kerajaan.
Agar seseorang bisa menghancurkan penghalang itu, mereka membutuhkan lebih dari seratus necromancer.
Pikir Astrid, tepat ketika suara lain berbicara dari sampingnya.
"Apa itu? Undead terlihat di ibukota?"
Itu Pascal, ayahnya. Beberapa saat yang lalu, dia meneteskan air mata kebahagiaan, tapi sekarang dia berwajah seperti seorang komandan ksatria yang berpengalaman.
"Ya, pak! Seorang lelaki tua yang berlari ke sini dari pemakaman memberitahuku, dan aku melihat pada undead itu dengan mata kepalaku sendiri! Banyak dari mereka sudah mengerumuni jalan utama!"
"Berapa banyak tepatnya?"
"Tentu saja bukan hanya seratus atau dua ratus. Menurut perkiraanku, mungkin ada lebih dari seribu! Dan jika mereka tidak hanya berkeliaran di jalan, tapi di seluruh ibukota, kita mungkin menghadapi lebih banyak lagi!"
"Terima kasih atas laporanmu. Segera kembali ke posmu dan beritahu yang lain untuk menjaga gerbang. Kami akan segera datang untuk membantu."
"Dimengerti, pak!"
Prajurit itu berlari kembali ke gerbang.
Saat itu, semua orang di kediaman telah menunda suasana pesta dan menunggu perintah sang duke. Karena merasa prioritas utamanya adalah memeriksa situasi di luar, sang duke meninggalkan mansion, ditemani para pelayan dan putrinya. Begitu melangkah keluar, dia menyadari situasinya bahkan lebih gawat daripada yang dia duga. Kulitnya merinding. Udara terasa sangat dingin, begitu pula bau busuk. Meskipun seharusnya musim panas, gelombang dingin muncul dari tanah seolah-olah musim telah kembali ke musim dingin.
Astrid merengut.
"Ayah, ini—"
"Ya. Sihir yang menghasilkan hawa dingin yang menusuk, hampir seperti miasma. Dan bau busuk ini... tidak diragukan lagi. Musuh kita seorang necromancer."
Sang duke tampak muram. Mereka bajingan yang mempermainkan orang mati, dan untuk bisa sekuat ini, pastilah bukan necromancer sembarang. Justru karena sang duke yakin akan hal ini, dia tampak begitu khawatir.
Pada saat itu, sebuah suara memanggil mereka berdua, datang dari arah mansion.
"Papa, Onee-sama!"
"Clau?!"
Teriak Astrid, terdengar terkejut. Memang, Claudia berada di depan pintu masuk mansion padahal seharusnya dia sedang beristirahat di kamarnya.
Kenapa dia keluar ke sini?
Adalah pikiran pertama Astrid, tapi kemudian dia menggelengkan kepala. Mengetahui kepribadian Claudia, jawabannya sudah jelas.
"Clau, kamu harus tetap di—"
"Jangan berani-beraninya kamu bilang aku harus kembali ke kamarku! Papa harus pergi ke istana kerajaan dari sini, dan kamu juga harus pergi agar kamu bisa melindungi kota bersama para ksatria lainnya! Itu artinya tugasku lah untuk mempertahankan rumah kita!"
Claudia pasti sudah mendengar tentang situasi itu dari salah satu maid di dalam, karena dia sudah tahu apa yang sedang terjadi. Dan ketika melihat lebih dekat, Astrid melihat bahwa Claudia bahkan membawa pedang di pinggangnya.
Terlebih lagi, Claudia benar. Sang duke memiliki tugas untuk membantu melindungi keluarga kerajaan, dan Astrid memiliki tugasnya sebagai wakil kapten para ksatria naga. Astrid dan ayahnya bertukar pandang. Mereka pasti mencapai kesimpulan yang sama, karena mereka berdua menghela napas serempak.
Saat sang duke dan para ksatrianya tiba di gerbang, keributan di jalan utama sudah cukup dekat hingga terdengar. Jeritan manusia dan lolongan undead terbawa angin. Beberapa kebakaran juga telah terjadi, dan cahaya merah menyala dapat terlihat di sana-sini, menghanguskan langit malam. Untungnya, tidak ada yang sangat besar, tapi karena amukan undead membuat siapapun sulit untuk datang dan memadamkan api, ada kemungkinan angin malam akan menyebarkan bara api dan menciptakan kebakaran besar yang cukup besar untuk membakar seluruh kota.
"Waktu sangat penting! Singkirkan undead yang berkeliaran di kota, dan padamkan api sebanyak mungkin! Beberapa dari kalian juga pergi ke pemakaman! Jika para undead itu benar-benar datang dari sana, kemungkinan besar dalang operasi ini juga ada di sana!"
Astrid mengangguk.
"Ya, tapi prajurit kita saja tidak akan cukup. Ayah, kamu terbang ke istana kerajaan dengan wyvern dan minta Yang Mulia Raja mengirim pengawal kerajaan. Sementara itu, aku akan menggunakan wyvern-ku sendiri untuk terbang ke pemakaman dan mencari pelakunya."
"Ide bagus. Hati-hati saja, Astrid. Jika musuh mampu melakukan sebanyak ini, mungkin ada lebih dari satu atau dua necromancer."
"Jangan khawatir. Aku tahu. Clau, kamu jaga rumah selama aku pergi."
"Serahkan padaku!"
Jawab Claudia sambil mengangguk lebar.
"Hehehehe! Suara itu... sikap itu! Sepertinya kau benar-benar sudah pulih sepenuhnya, gadis kecil!"
Mendengar suara yang familiar, Astrid berbalik. Di sana, di depan matanya, seorang kakek tua duduk bersandar di dinding mansion dengan sebuah biwa di tangannya. Melihat kakek tua itu menyeringai geli meskipun situasinya gawat, sang duke mengerutkan keningnya. Putri-putrinya, yang keduanya mengenal kakek tua itu, hanya tampak bingung.
"Tuan? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Tanya Claudia, hampir refleks.
"Clau. Siapa orang ini?"
Tanya ayahnya.
"Er... aku bertemu dengannya di pemakaman umum. Dia selalu ada di sana, memainkan lagu-lagunya agar orang mati bisa meninggal dengan tenang."
"Pemakaman? Begitu ya. Jadi kurasa itu membuatmu menjadi lelaki tua yang datang ke sini untuk melarikan diri dari pemakaman itu; yang disebutkan pengawalku."
"Hehe, itu benar. Tapi lebih tepatnya, aku tidak melarikan diri; aku datang ke sini untuk menyerang. Kau keliru membiarkanku masuk ke sini dengan anggapan aku melarikan diri, Pascal Zimm Dragonaut."
Pada saat itu, kakek tua itu memetik biwa-nya dengan keras, dan suara aneh terdengar di telinga sang duke. Sang duke meringis, bukan hanya karena orang asing itu menyapanya tanpa basa-basi. Para prajurit di sekitarnya, bagaimanapun, tampak jauh lebih kesal dengan kekasaran kakek tua itu dan mengepung pendatang baru itu dengan tatapan marah. Tapi kakek tua itu bahkan tampaknya tidak menganggap mereka sebagai ancaman, karena sikapnya tidak berubah.
Astrid tanpa sadar meraih pedangnya.
"Menyerang? Menyerang kami, maksudmu? Apa aku benar jika berasumsi bahwa kaulah dalang semua ini?"
"Kau memang benar untuk itu, Astrid Dragonaut. Tugasku adalah menenangkan para dewa jahat dan roh-roh pendendam dengan musikku, membantu mereka untuk meninggal dengan tenang. Tapi di saat yang sama, tugasku adalah menghasut para dewa yang tenang dan mencemari orang mati yang tertidur nyenyak dengan kutukan. Mayat hidup yang kalian lihat menguasai ibukota sekarang... itu semua ulahku."
Duke Dragonaut menatap kekek tua itu dengan tatapan tajam.
"Sungguh tidak masuk akal. Sehebat apapun dirimu, kau harap aku percaya hanya satu orang yang mampu menembus penghalang di sekitar pemakaman? Aku tahu musisi gelandangan sepertimu harus berbohong sesekali untuk sandiwara, tapi meski begitu, ada waktu dan tempatnya. Dan apa yang kau katakan tadi bisa saja membuatmu dipenjara."
"Hehehe! Penghalang, katanya! Sebuah penghalang! Benar, memang, ada cukup banyak mana yang terkumpul di sana, kalau tidak salah ingat. Tapi pada akhirnya, itu dibuat oleh para pendeta di benua ini. Sekitar seratus pendeta di Level 20 atau 30 tidak bisa menghentikanku. Aku Level 73, tahu?"
"Apa kau sudah gila?!"
"Hehehehehehehe! Pada akhirnya, Raikou legendaris, Pascal Zimm Dragonaut, tidak istimewa, ya? Dia bahkan tidak menyadari bahwa seseorang yang jauh lebih kuat darinya ada tepat di depan matanya. Jika orang seperti itu adalah yang terkuat yang dimiliki kerajaan, Kanaria sudah tamat!"
Bukan sang duke sendiri yang meledak marah mendengar pernyataan itu, melainkan semua orang di sekitarnya. Mereka tentu saja tidak mencoba menebas kakek tua renta itu, tapi mereka tampak lebih dari rela menghajarnya saat mereka semua mengangkat pedang mereka yang masih terbungkus sarung. Menanggapi hal itu, bibir kakek tua itu melengkung, dan dia memetik nada melengking dari kecapinya. Tiba-tiba...
"GAAHHH!"
Para prajurit berteriak, menutupi tangan mereka dengan telinga mereka, lalu ambruk di tempat. Kakek tua itu memetik instrumennya beberapa kali lagi, membuat para prajurit yang ambruk itu kejang-kejang setiap kali memetik meskipun mereka masih menutupi telinga mereka. Tidak lama kemudian, cairan merah tua menyembur dari telinga mereka.
Setelah memastikan bahwa kakek tua itu adalah musuh mereka, sang duke dan Astrid beraksi bersamaan. Astrid berada di Level 37 dan sang duke Level 49. Mereka berdua menebas kakek tua itu dengan niat membunuh, tapi...
"Bangkitlah, benteng yang tak tertembus! Fortress!"
Sebuah dinding hitam menjulang di sekeliling kakek tua itu untuk melindunginya, menangkis sepenuhnya kedua serangan mereka.
Sang duke berteriak kaget.
"F-Fortification?! Tidak mungkin! Itu mantra Kategori 8!"
"Dan dia bahkan menghilangkan mantranya."
Kata Astrid dengan muram.
"Hehehe, apa kalian tidak mendengar apa yang kukatakan pertama kali? Ada seseorang yang berdiri di depan kalian yang jauh lebih kuat dari kalian berdua. Bahkan melemparkan wyvern berharga kalian padaku pun tidak akan membuatku terluka sedikit pun."
Kakek tua itu memetik kecapinya dengan sangat keras hingga tampak seperti sedang mencoba memutuskan senarnya. Namun, sangat kontras dengan penampilannya yang riuh, nadanya kepada semua orang yang hadir terdengar lembut dan halus.
"Inilah requiemku untuk kalian semua. Sebuah hadiah kematian dariku untuk kalian. Nikmatilah sepuasnya."
Mana kakek tua itu meningkat pesat setiap detiknya, membengkak menjadi aura mengerikan. Astrid dan yang lainnya harus mengertakkan gigi hanya untuk menahan kekuatan kakek tua itu. Dan sementara itu, mereka mendengar suaranya bergema keras dan jelas.
"Shinsou Reiki! Menangis dan menjeritlah, Shizuka!"