Chapter Four : The Real Boss

 

"Mmm. Tidak seperti yang kuharapkan."

Kata Luke sambil memainkan Relik Key of the Land itu.

 

"Sang putri mungkin baik-baik saja dengan itu, tapi apa gunanya penjahat kalau aku tidak bisa menebasnya?"

 

"Ya. Liz-chan seperti, menantikannya, tapi Liz-chan rasa itu tidak akan menguji kita atau semacamnya."

 

"A-Apa yang kalian rencanakan padaku?"

 

Luke bosan, Liz terlihat depresi, dan Putri Murina tersentak ketakukan seperti biasa. Mereka semua menunjukkan reaksi yang unik, namun tidak ada yang tampak senang.

 

"Oh. Ya, uh-huh."

Tambahku.

 

Melihat koran, tampaknya kejahatan di Kota Kreat mulai menurun. Aku percaya bahwa semua akan baik-baik saja jika berakhir baik, namun aku masih bertanya-tanya mengapa insidennya lebih sedikit jika teman-temanku tidak melakukan apapun. Rencanaku adalah agar ini menjadi pelepas stres dan serangan pendahuluan untuk mencegah penjahat. Apa ada kekuatan aneh yang bekerja? Pikiran-pikiran itu terpotong oleh Sitri, yang datang membawa nampan berisi set teh.

 

"Krai, aku punya kue yang enak!"

Tidak seperti ketiga orang lainnya, Sitri tampak sangat ceria. Sudah biasa baginya untuk tersenyum, namun sorot matanya berbeda. Sebagai teman masa kecilnya, aku tahu bahwa dia sedang merasakan sesuatu yang terlalu kuat untuk dibendungnya.

 

"Apa ada sesuatu yang bagus terjadi?"

Tanyaku padanya.

 

"Oh, hampir ti—ini, biar aku tuangkan teh untukmu."

Sahabatku itu dengan bersemangat menuangkan secangkir untukku. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi. Dia selalu melakukan hal-hal baik untukku, namun dia tidak sering membawakanku kue. Bahkan, ini adalah tindakan yang hanya dia lakukan ketika ada sesuatu yang terjadi. Itu seperti sinyal yang dia berikan.

 

Sitri segera menyiapkan set teh, lupa membuka kotak kue, dan berputar di belakangku. Tangannya yang dingin menyentuh pangkal leherku dan aku menyadari dia tidak mengenakan jubahnya yang biasa.

 

"Biar aku memijat bahumu."

Kata Sitri. Dan kemudian daripada memijatku seperti yang dia tawarkan itu, dia melingkarkan lengannya di tubuhku dan bersandar padaku. Menempel di punggungku, aku bisa merasakan detak jantungnya.

 

"Krai, bolehkah aku meminjamimu uang?"

Bisik Sitri di telingaku.

 

Aku membeku mendengar itu.

 

"Sebaliknya."

Lanjut Sitri, langsung ke intinya.

 

"Aku ingin itu. Kamu akan memberikannya padaku, bukan? Aku percaya padamu."

 

Aku bersedia memberinya apapun yang dia inginkan, namun aku takut. Takut karena aku tidak tahu apa yang dia maksud. Sitri dengan lembut membelai tubuhku dan menempelkan bibirnya ke belakang telingaku. Aku merasakan getaran kenikmatan dan teror.

 

"Kapan kamu mendapatkannya?"

Tanya Sitri.

 

"Bagaimana kamu mendapatkannya? Kamu mendapatkannya untukku, kan?"

 

"Apa yang kamu bicarakan?"

 

"Yang itu. Aku akan memastikan untuk menjaganya dengan baik. Jadi, jika kamu bersedia. Kumohon, Krai."

Kata Sitri dan mengeluarkan suara batuk.

 

Jauh di lubuk hatinya, Sitri adalah orang yang pemalu, jadi aku terkejut dengan kesediaannya untuk bertindak sejauh ini. Dan aku merasa ngeri karena aku tidak tahu apa yang dia maksud. Apa yang baru saja aku dapatkan? Apa yang bisa kumiliki yang tidak bisa didapatkan Sitri bahkan dengan kantongnya yang tebal?

 

"Menjauhlah, Yuttri-chan! Waktu habis!"

Teriak sebuah suara melengking.

 

Liz kemudian melemparkan vas bunga, mengenai kepala saudara perempuannya tepat di kepala. Saat Sitri mundur, Ansem, yang berjalan di belakangnya, mengangkat Sitri dengan mencengkeram tengkuknya.

 

Omong-omong, siapa Yuttri ini? Apa itu ada hubungannya dengan si tree dan ku tree?

 

"Tidaaak, lepaskan aku!"

Sitri merengek sambil menggerakkan anggota tubuhnya.

 

"Aku mau menikahi Krai!"

 

Sitri kembali menjadi anak kecil. Aku akan memberikannya padamu. Apapun yang kamu inginkan, jadi tolong tenanglah.

 

"Kita bisa mengubahnya menjadi batu jika saja Lucia-chan ada di sini."

Kata Liz, menghela napasnya

 

Ansem mengeluarkan suara gemuruh tanda persetujuan.

 

"Ansem-chan, lempar Sitri-chan itu. Seperti Ansem-chan membuang sesuatu. Sitri-chan itu bisa gila jika tidak tenang."

 

Sambil mengeluarkan suara bergemuruh, Ansem membuka jendela dan melemparkan adik perempuannya keluar, teriakan Sitri itu semakin jauh saat dia jatuh.

 

Apa mereka menyadari kita berada di lantai empat? Kurasa hal itu tidak seberapa bagi seorang pemburu. Tapi apa yang merasuki Sitri?

 

***

 

"Ini tidak ada gunanya. Krai, aku terus mencoba, tapi aku tidak bisa mengisinya!"

Teriak Luke dengan frustrasi.

 

Matahari telah terbenam sejak lama. Sitri telah mendapatkan kembali kewarasannya (meskipun dia masih menatapku dengan penuh kerinduan). Aku akhirnya mendapatkan sedikit kedamaian, namun aku tidak bisa tidak memikirkan betapa gaduhnya teman-temanku.

 

Luke memegang Key of the Land di hadapanku, Relik yang telah kupinjamkan padanya. Luke adalah seorang Swordsman murni, namun itu tidak berarti dia sama sekali tidak memiliki mana. Dia telah menguji hampir setiap Relik tipe pedang dalam koleksiku. Tidak sepertiku, Luke tidak bergantung pada Lucia untuk melakukan pengisian daya ulang Relik, jadi Luke punya cukup mana untuk setidaknya mengisi sebagian besar pedang. Dan jika Luke tidak punya cukup mana, dia akan berlatih sampai dia punya cukup mana. Itulah tipe orang bernama Luke Sykol ini.

 

Tidak sering fanatik pedang sepertinya ini menyerah seperti ini. Relik itu pasti membutuhkan banyak mana jika belum menunjukkan tanda-tanda mencapai batas maksimal. Aku mengambil pedang itu darinya dan menariknya keluar dari sarungnya.

 

"Key of the Land. Key of the Land?"

Kataku.

 

Bilah misterius itu tajam seperti penggaris dan penuh pola. Kekuatan apa yang dimilikinya jika membutuhkan cukup mana untuk membuat Luke menyerah? Koran tidak menyebutkan apapun tentang kemampuan Relik ini, namun nama bisa menjelaskan banyak hal.

 

Dengan gerutuan, Luke mengepalkan tangannya dan berseru keras,

"Jika aku tidak bisa menggunakan pedang dengan benar, maka aku perlu lebih banyak latihan! Tapi aku tidak punya siapapun untuk ditebas!"

 

Dia mulai lagi, mengatakan lebih banyak omong kosong.

 

"Kau tidak bisa menggunakannya karena itu bukan pedang."

Kataku dalam upaya untuk terdengar tenang.

 

"Ini kunci.”

 

Aku menegakkan postur tubuhku dan menatap mata Luke. Aku membuat diriku tampak serius dan mengarang omong kosong.

"Luke, apa kau tahu apa yang dibutuhkan setiap kunci? Jawabannya lebih sederhana dari yang kau kira."

 

Sebagai Swordman kelas satu, Luke melampauiku dalam hampir setiap aspek kecuali akal sehat. Namun, satu hal yang lebih aku kuasai adalah pengetahuan tentang Relik. Luke memikirkannya sejenak, lalu berkata dengan ragu,

"Jadi, kita butuh lubang kunci?"

 

Aku berharap dia akan membiarkanku mengatakan itu. Berusaha untuk tidak menunjukkannya, aku menghela napas dan berkata,

"Benar. Dengan kata lain, ini adalah kunci. Kunci masa depan! Hal-hal buruk akan terjadi jika cakar kejahatan mendapatkannya."

 

"A-Apa?! Cakar kejahatan?! Apa itu cakar kejahatan?!"

 

"Itu, uh, kau tahu? Ah, benar, mereka adalah musuh dunia."

 

"Musuh dunia?! Di mana mereka? Bolehkah aku menebasnya?!"

 

Kenapa kau begitu bersemangat? Aku hanya mengarang cerita. Hal-hal yang kupikir akan kau nikmati.

 

Lucia berpaling dari bukunya dan tampak benar-benar muak. Aku sudah terlalu jauh dengan cerita-cerita itu dan Luke mempercayai semuanya. Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Luke itu.

 

"Itu seperti, kau tahu."

Kataku setelah ragu sejenak.

 

"Bencana alam dan semacamnya."

 

Bencana. Alam."

Kata Luke, ekspresinya terlihat bertanya-tanya.

 

"Tapi itu pun bisa dipotong oleh Swordman terbaik!"

Seruku.

 

Berfluktuasi antara kaget dan kecewa membuat Luke sangat sibuk.

 

Aku mendapatkan Relik itu karena kesalahpahaman, jadi sudah seharusnya aku mengembalikannya sebelum pulang. Namun karena aku sudah mendapatkannya, akan sia-sia jika tidak mencobanya sekali sebelum mengembalikannya. Aku tidak punya hal lain untuk dilakukan sampai Supreme Warrior Festival itu dimulai. Aku menguap dan meletakkan Key of the Land itu di depan Lucia.

 

***

 

Para White Fox. Para bos. Sejauh yang Sora ingat, dia telah diajari tentang tokoh-tokoh sangat mengerikan ini. Selama pelajarannya, doa-doa hariannya, bahkan dalam lagu pengantar tidur yang dinyanyikan kepadanya saat dia masih kecil, dia telah diajari tentang kebijaksanaan, keberuntungan, karisma, dan kehati-hatian para White Fox itu. Selain sifat-sifat mulia ini, Sora juga menyadari bahwa Para White Fox itu memiliki kapasitas kekejaman yang menyaingi para dewa.

 

Setelah lahir dari badan intelijen negara yang sudah lama berlalu, organisasi tersebut telah tumbuh dengan setiap generasi berkat keahlian para bos itu yang beragam. Mereka bertempur, menaklukkan, menjalin aliansi, dan perlahan tapi pasti menancapkan taring mereka ke setiap negara yang mereka bisa.

 

Topeng rubah hanyalah simbol belaka. Para Maiden, yang menyembah dewa rubah, kagum dengan topeng pertama yang diklaim oleh bos mereka tersebut. Simbol pemersatu dibutuhkan untuk memperkuat fondasi organisasi dan sekarang setelah mereka memilikinya, Nine-Tailed Shadow Fox telah terbentuk sepenuhnya.

 

Topeng berwarna putih adalah bukti status bos. Pewaris topeng ditentukan berdasarkan kekuatan, bukan garis keturunan, yang memastikan persaingan yang sengit dan konstan. Jadi, siapapun yang berdiri di puncak tidak diragukan lagi adalah yang terkuat dalam organisasi tersebut. Dengan dukungan dana, pengaruh, dan teknologi dari Fox, bahkan seorang pemburu level tinggi pun tidak dapat melawan bos tersebut.

 

Tokoh yang mengerikan yang sama dengan gambarak bos itu sekarang memerintahkan Sora untuk membuat tahu goreng.

"Cepat. Buat lebih banyak."

 

"B-Baik, bos."

Sora tidak mengerti mengapa dirinya melakukan ini. Kata-kata seperti "kebingungan" tidak lagi cukup untuk menggambarkan keadaan pikirannya. Itu adalah satu kejutan demi kejutan. Jika dia terkejut mengetahui bahwa bos yang asli dan yang palsu saling kenal, dia juga terkejut mengetahui bahwa mereka menginginkan hal yang sama darinya.

 

Siapa yang teman? Siapa yang musuh? Apa yang benar? Apa yang seharusnya Sora lakukan?

 

Bos yang mengambil wujud seorang gadis muda itu. Entah bagaimana, entah karena takdir, gadis muda itu memancarkan aura hangat saat melihat Sora bekerja di penggorengan. Sora fokus pada pekerjaannya, menambahkan sepotong tahu baru ke dalam minyak. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga dia pikir jantungnya akan meledak. Sora yakin jika dia berhenti menggerakkan tangannya, dia akan terbunuh. Itu tidak masuk akal, namun itulah yang dikatakan tatapan tajam bos yang asli itu padanya.

 

Kalau dipikir-pikir, Sang White Fox palsu itu cukup baik. Dia telah memberi Sora perintah namun tidak memaksanya atau mengancamnya. Sedangkan bos yang asli sangat berbeda. Satu demi satu, balok tahu goreng yang sudah jadi menghilang ke dalam mulut bos yang asli itu. Sora merasa tidak tahan lagi.

 

Bos yang asli itu dengan cuek menjilati piringnya sebelum melotot ke Sora dan berkata,

"Kita tidak akan bisa menguasai dunia seperti ini. Buat lagi."

 

Wahai Sang White Fox Palsu, kumohon kembalilah!

Kedua bos itu memberi Sora perintah yang sama persis, namun bos yang ini tidak dapat disangkal adalah yang asli.

 

"M-Maafkan aku, tapi bagaimana tahu goreng bisa membuat kita—"

 

"Pemuda yang tidak berhati-hati itu seharusnya sudah memberitahumu. Kita akan membuat bento inarizushi."

 

"K-Kalian berdua bercanda, kan?"

 

"Cepat. Lebih banyak tahu. Jika tidak, kamulah yang digoreng."

Suara bos yang asli itu menunjukkan bahwa dirinya serius.

 

Ini tidak mungkin. Sora tidak bisa terus seperti ini. Dia tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Selain itu, menguasai dunia dengan bekal makan siang adalah hal yang mustahil! Dan bekal makan siang itu tidak akan pernah selesai jika gadis muda ini terus memakan setiap potong yang sudah jadi!

 

Dari tempat yang tampaknya tidak diketahui, bos yang asli itu memunculkan sebuah sofa entah dari mana dan duduk, mengayunkan kakinya sambil mengutak-atik Smartphone-nya. Dia tidak terlihat termotivasi sedikit pun..

 

"Cepat."

Kata White Fox yang asli.

 

"Jangan menontonku. Teruslah bekerja."

 

"Eh. Bos, bukankah kamu datang ke Kota Kreat untuk membantu operasi?"

 

Sora tidak tahu banyak tentang operasi saat ini, namun pasti ada sesuatu yang luar biasa tentang hal itu jika seseorang yang begitu sibuk meluangkan waktu untuk berkunjung. Sora seharusnya tidak punya waktu untuk berjualan, atau lebih tepatnya, membuat tahu goreng.

 

"Itu tidak masalah."

Jawab bos yang asli itu.

 

"Sekarang, teruslah memasak."

 

"Hasil dari operasi ini dapat mengubah arah organisasi kita!"

Protes Sora.

 

"Mmm. Itu hangus. Delapan puluh tiga poin."

 

Sora sudah tamat. Gadis muda ini lebih tumpul daripada Sang White Fox Palsu itu. Sora bersedia mengakui bahwa Sang White Fox Palsu itu adalah orang yang mengagumkan. Namun bagaimana Sora bisa membawa Fox ke tempat yang begitu tinggi? Apa tujuan di balik tahu goreng itu? Mengapa seorang pendeta sepertinya dipaksa untuk memasak? Apa ini bentuk hukuman? Apa dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penggorengan karena dia telah ditipu untuk membuat tahu goreng?

 

Neraka adalah tempat yang nyata dan Sora ada di dalamnya. Jika mereka berencana untuk mengeksekusinya, dia berharap mereka akan segera melakukan itu. Saat pikiran-pikiran ini terlintas di benaknya, pintu terbuka lebar, dan masuklah sumber masalahnya. Pemuda itu tidak mengenakan topengnya, jadi dia bahkan tidak bisa disebut sebagai Fox, namun itu tidak penting lagi.

 

"Wahai White Fox Palsu, aku sudah menunggu kedatanganmu!"

 

"Menungguku?! Memangnya ada apa?"

 

Sora tidak peduli lagi. Sora lebih baik bersama dengan Sang White Fox Palsu itu. Sora tidak ingin berurusan dengan gadis muda penggila tahu goreng itu. Maiden mana yang bisa bangga pada dirinya sendiri jika dirinya berbau minyak? Sora berlari ke arah White Fox Palsu itu dan pemuda itu memperhatikan Sora dengan ekspresi yang terlihat bodoh.

 

Untuk pertama kalinya, Sora merasakan sedikit rasa hormat pada White Fox Palsu itu. Dalam duel verbal antara yang asli yang menginginkan jiwa dan yang palsu yang berkepala kosong, yang asli dikalahkan dengan satu serangan balasan.

 

"Pemuda yang tidak berhati-hati, kamu pasti tidak punya rasa waspada jika berani menentangku." Kata White Fox yang asli.

 

"Tidakkah kamu merasa bersalah karena telah membuat Sora bekerja keras?!"

Kata White Fox Palsu itu, membantah.

 

"Jika kamu sangat menginginkan tahu goreng, buatlah sendiri!"

 

KAMULAH yang menyuruhku membuat tahu goreng sejak awal!

 

White Fox yang asli itu mundur. Dia kemudian menepuk tangannya sendiri seperti menyadari sesuatu dan mendorong Sora agar dia bisa meraih bahan-bahannya. Dia mengambil sepotong tahu dan mulai menggorengnya.