Side Story : Tino’s Hot Spring Nightmare

 

"Tidak, Onee-sama, kamu tidak boleh masuk!"

 

"Haah? Memangnya siapa T itu dengan berani memerintah Liz-chan?"

 

Liz mengenakan yukata merah muda dan melotot ke arah Tino. Tatapan Liz itu mengintimidasi, namun Tino entah bagaimana mengepalkan tangannya dan menenangkan diri. Di belakang Tino ada pintu yang mengarah ke pemandian terbuka. Bencana dengan naga itu mengakibatkan hancurnya pemandian utama, namun karena tempat ini adalah penginapan mewah, setiap kamar dilengkapi dengan pemandian terbuka pribadinya sendiri.

 

Tino telah mencoba pemandian di kamarnya. Pemandian itu menyenangkan dan cukup lebar sehingga banyak orang bisa masuk dan masih memiliki banyak ruang. Pemandian itu tidak sebesar pemandian utama, namun tidak kekurangan fitur apapun dan tidak akan ada lagi penampakan naga. Semua itu cukup untuk membuat Tino merasakan kemewahan. Jika Liz ingin mandi di sumber air panas, itu tidak masalah. Yang tidak dipahami Tino adalah mengapa Liz itu bersikeras pada pemandian ini. Tino hampir tidak bisa mendengar alunan lagu yang disenandungkan di suatu tempat di belakangnya. Tino merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan menghalangi jalan Liz.

 

"Master sedang mandi! Jadi, tolong gunakan bak mandi di kamarmu saja!"

Teriak Tino kepada Liz.

 

Mengapa Liz ingin datang jauh-jauh ke sini padahal dia bisa mandi di kamarnya sendiri? Tino sama sekali tidak mengerti. Tidak, Tino mengerti. Liz sangat menyukai Krai dan Liz bukan tipe orang yang menahan dorongan hatinya. Namun, itu tidak berarti Tino akan menyerah. Tino ada di sini karena suatu alasan. Tino telah mengganti yukata yang diberikan Krai dan sekarang kembali mengenakan pakaiannya yang biasa. Berdiri di depan pintu, Tino menarik napas dalam-dalam.

 

"Onee-sama, aku harus memberitahumu bahwa Master menyuruhku untuk berjaga!"

Kata Tino, membuat alasan itu.

 

Ada energi yang membara di mata Liz.

"Hmm? Kalau begitu, lakukan saja. Sekarang, minggirlah."

 

"Aku sudah bilang pada Master kalau kamu tidak akan melakukan hal yang kurang ajar seperti itu!"

 

Bagi kepekaan Tino, menerobos masuk ke kamar mandi lawan jenis adalah hal yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika keadaan darurat naga memaksanya, Tino sangat malu hingga mengira dirinya bisa mati kapan saja karena rasa malu. Namun, tidak sulit membayangkan Liz melakukan hal seperti itu; Liz selalu bergantung pada Krai. Namun, Tino percaya pada mentornya. Tino mempercayainya. Tino tidak mengira akan dikhianati pada hari pertamanya bekerja. Dengan jengkel, Liz meletakkan tangannya di pinggulnya dan tersenyum. Jubahnya sangat cocok dengan bentuk tubuhnya yang ramping dan Apex Roots tampaknya siap sedia. Yukata tidak mudah untuk bergerak. Lagipula, yukata tidak dibuat untuk pertempuran. Liz mungkin lebih suka bertelanjang kaki, bahkan dalam keadaan darurat.

 

"Merasa malu? Apa T benar-benar akan mengatakan pada Liz-chan bahwa T tidak bisa melihat laki-laki telanjang? Bagaimana jika T diserang oleh laki-laki yang telanjang? Apa T akan terlalu takut untuk bertarung?"

 

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan! Master memintaku untuk berdiri di sini dan melindunginya!"

 

Jika ada laki-laki seperti itu menyerang, Tino bisa melawannya. Tino bahkan bisa menyergap laki-laki di kamar mandi jika harus. Namun, orang yang dimaksud bukanlah seorang penyerang. Liz tampak tidak yakin. Bahkan, Liz menatap Tino seolah-olah Tino itu telah kehilangan akal sehatnya.

 

"Hmm. Yah, terserahlah. Sekarang, Liz-chan katakan ini sekali lagi. Bisakan T minggir? Liz-chan akan membasuh punggung Krai-chan."

 

"Tidak! Onee-sama, tolong pahami posisiku."

 

"Krai-chan dan Liz-chan adalah bagian dari party yang sama. Kami telah bersama sejak kami masih kecil dan kami pernah mandi bersama sebelumnya. Jangan khawatir, Liz-chan akan memberitahu Krai-chan bahwa T telah melakukan tugas T itu."

 

Tino diam-diam mengambil posisi.

 

"Jangan khawatir." Lanjut Liz.

 

"Krai-chan pasti hanya akan mengatakan sesuatu seperti, 'Yah, lagipula tidak ada yang bisa menghentikan Liz '."

 

Tino melangkahkan kaki kanannya ke depan, menurunkan punggungnya, dan mengatur napasnya. Tino menyadari bahwa matanya memohon belas kasihan, namun meskipun begitu, Tino tetap menatap mata mentornya. Bahkan jika gerakan Liz dibatasi oleh yukata, Liz masih terlalu kuat untuk ditahan Tino. Liz unggul dalam kecepatan, stamina, dan hampir semua aspek lainnya. Liz memiringkan kepalanya.

"Hmm. Apa T menjadi lebih kuat?"

 

Tanya Liz sambil menyingsingkan lengan bajunya dan menggenggam tangannya.

 

"Liz-chan tidak menyangka akan melihat hari di mana T melawan Liz-chan."

 

"I-Itu berkat latihanmu."

Bagi Tino, perintah Krai adalah prioritas nomor satu. Perintah itu juga prioritas nomor dua. Dan nomor tiga dan empat. Tino mengamati sekelilingnya. Tidak mengherankan, tidak ada yang bisa Tino gunakan sebagai senjata dan Tino tidak ingin mengacaukan kamar Krai. Yang harus Tino gunakan hanyalah tubuhnya sendiri.

 

Tino teringat kembali saat dirinya mengenakan topeng itu. Emosinya memuncak, namun tubuhnya masih ingat bagaimana dirinya bergerak saat itu. Jika Tino melawan sekuat tenaga, dia mungkin bisa menahan Liz. Menatap matanya, Tino tahu mentornya itu tidak main-main. Liz mengerutkan dahinya, namun kemudian menghela napas pelan dan mengatakan sesuatu yang tidak terduga.

 

"Apa T ini bodoh? Jika T ingin mematuhi perintah Krai-chan, setidaknya T bisa membiarkan Liz-chan membasuh punggung Krai-chan."

 

"Heeh?"

 

"T masih bisa berjaga dari dalam pemandian, bukan? T harus berpikir lebih keras tentang hal-hal ini. Ah. Liz-chan mengerti. T, ikut Liz-chan. Hal ini seperti mendapat dua burung dengan satu batu. Kita bisa membangun ketahanan T terhadap laki-laki telanjang dan Liz-chan bisa menunjukkan cara membasuh punggung seseorang."

 

Pergi bersamanya? Ke mana? Membasuh punggung seseorang? Punggung siapa?

Butuh beberapa saat bagi Tino untuk menyadari apa yang Liz maksud, namun pikirannya langsung kosong saat dirinya menyadarinya. Jantungnya berdebar kencang dan Tino menjadi gelisah. Tino mengatupkan bibirnya, menyadari bahwa wajahnya mungkin memerah.

 

Punggung Master? Tidak. Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu.

Bahkan jika masternya memerintahkannya, Tino mungkin tidak akan sanggup melakukannya. Tino akan mati karena malu. Tino goyah sesaat, namun itu saja yang dibutuhkan Liz untuk menutup celah itu. Liz meraih pergelangan tangan Tino dan berjalan santai melewati pintu, dengan muridnya di belakangnya.

 

"Krai-chan, Liz-chan yakin Krai-chan kesepian di sini! Liz-chan akan membasuh punggung Krai-chan!"

 

"Tidak, Onee-sama! Master, tolong larilah!"

Uap air menyapu pipi Tino. Dengan tangannya yang bebas, Liz membuka selempang jubahnya. Yang bisa dilakukan Tino hanyalah memejamkan mata dan memeluk Liz untuk menahannya.

 

***

 

"Ke-Kenapa kamu di sini, Sitri Onee-sama?! Ini kamar Master!"

 

Sitri menatap Tino dengan rasa penasaran. Tak perlu dikatakan lagi, mereka berada di depan pintu menuju pemandian terbuka Krai.

 

"Itulah yang ingin kutanyakan padamu. Apa yang sedang kamu lakukan, T?"

Sitri mengenakan yukata berwarna biru dingin yang sangat cocok untuknya dan memegang kain putih di tangan kanannya. Matanya tidak memancarkan api seperti mata Liz, namun sebaliknya, mata Sitri itu menawarkan sekilas kecerdasannya. Sitri berpikir sejenak, sebelum menempelkan jari di bibirnya.

 

"Mungkin kamu mencoba mengintip?"

Tanya Sitri dengan nada tenang.

 

"T-Tidak! Master menyuruhku untuk berjaga di sini!"

 

"Oh, lega rasanya. Jika kamu melakukan sesuatu yang buruk, maka aku harus menghukummu."

 

Tino merasakan getaran di tulang punggungnya. Nada bicara Sitri terdengar seperti bercanda, namun matanya sangat serius. Tino bahkan tidak pernah berpikir untuk mengintip, namun siapa tahu apa yang mungkin terjadi padanya jika Tino mencoba? Tino sekali lagi teringat betapa menakutkannya Sitri itu, meskipun dengan cara yang berbeda dari Liz. Liz memang kasar, namun tidak pernah menaruh curiga terhadap Tino. Di sisi lain, Sitri lembut, namun tetap waspada terhadap siapapun, kawan atau lawan, yang mungkin mencoba mendekati Krai.

 

"Kalau begitu, selamat bekerja."

Dengan senyum menawan, Sitri mulai berjalan melewati Tino. Gerakannya sangat alami sehingga reaksi Tino tertunda. Namun, Tino berhasil menangkap lengan Sitri. Jika itu Liz, Tino mungkin tidak akan berhasil tepat waktu.

 

"T-Tunggu! Apa yang kamu lakukan? Master sedang mandi sekarang!"

 

"Ya, aku tahu itu. Dan aku akan pergi membasuh pun—"

 

"Heeeh?!"

 

Sitri melakukan hal yang sama seperti Liz dan tanpa sedikit pun rasa penyesalan. Dengan mengencangkan cengkeramannya dan memutar tubuhnya, Tino berhasil menarik Sitri menjauh dari pintu. Tino tidak bisa lengah, bahkan sedetik pun. Setelah apa yang terjadi dengan Liz, baginya wajar saja jika Krai akan mempercayakan Tino untuk menjaga pintu.

 

"Tidak, itu tidak boleh! Sitri Onee-sama, itu tidak senonoh! Master menyuruhku untuk tidak membiarkan siapapun melewati pintu ini!"

 

Untungnya, Sitri bukan tipe yang bertarung di garis depan; Tino lebih kuat darinya. Selama Tino tidak melamun untuk kedua kalinya, dia akan baik-baik saja.

 

Sitri berkedip dan memiringkan kepalanya.

"Tidak senonoh? T, kurasa kamu salah paham."

 

"Heeh?"

Salah paham?

 

Saat Tino mulai rileks, Sitri tertawa, pipinya sedikit memerah.

 

"T, apa kamu pikir aku akan telanjang di depannya? Ternyata T itu gadis nakal ya."

Kata Sitri, menggodanya.

 

Sepanjang jalan sampai ke telinganya, wajah Tino terasa seperti terbakar. Tino memang sedang memikirkan itu. Sitri adalah orang yang lembut, namun dia tidak menghargai ruang pribadi seperti saudara perempuannya. Sitri mungkin akan melakukan apa saja jika Krai memintanya.

 

"Heeh? Kamu tidak?"

 

"Jelas tidak. Aku tidak punya sifat mesum sepertimu, T. Lihat, aku membawa baju renang."

 

Sambil tersenyum, Sitri membentangkan kain putih yang dipegangnya. Apa yang Tino kira sebagai handuk itu sebenarnya adalah baju renang. Kain yang longgar dan tipis itu samar-samar mengingatkannya pada yukata.

 

"Lihat? Aku bisa memakai ini dan mambasuh punggung Krai tanpa memperlihatkan kulitku." Kata Sitri.

 

"B-Begitu ya."

 

"Aku tidak seperti Onee-chan, aku tidak mudah memperlihatkan kulitku."

Kata Sitri, tertawa kecil.

 

"Maaf. Aku salah mengambil kesimpulan."

Tino tidak pernah menyadari bahwa itu adalah pilihan. Membiarkan Sitri yang punya ide secerdas itu. Tino hanya tahu bahwa sumber air panas adalah tempat di mana orang bisa mandi tanpa busana dan hal itu mengaburkan penilaiannya. Saat Tino menundukkan kepalanya, Sitri berjalan melewatinya. Pintu tertutup tanpa suara di belakangnya. Tino menarik napas dalam-dalam dan menenangkan pikirannya.

 

"Hmm?"

Seketika, Tino merasa melupakan sesuatu. Tino berkedip beberapa kali. Lalu sekali lagi. Dia berbalik ke arah pintu dan menatapnya sejenak. Lalu mulai menggedornya dengan panik.

 

"Sitri Onee-sama?! Itu bukan masalahnya! Tidak peduli apa kamu memakai pakaian renang atau tidak! Kamu tetap tidak boleh masuk ke sana!"

 

Pakaian yang tipis, dan putih, akan menjadi transparan jika basah. Lebih tepatnya, bahkan mungkin tidak perlu basah. Tentunya, Sitri menyadari hal ini. Ini adalah kejahatan yang direncanakan sebelumnya. Sitri mengatakan dirinya tidak mudah memperlihatkan kulitnya, namun itu adalah pernyataan yang meragukan saat Sitri itu sudah akan membasuh punggung Krai.

 

"Maaaster! Larilah!"

Tino ragu-ragu, namun dia dengan cepat mengatasi keraguannya. Ini semua salahnya dan Tino harus memenuhi harapan Krai. Tino harus melindungi masternya dari Sitri!

 

Tino memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan menerobos pintu.

 

***

 

Perintah masternya itu mutlak, namun Tino merasa tekadnya mulai runtuh. Pertama Liz, lalu Sitri. Seberapa populernya pintu menuju pemandian terbuka ini? Lagipula, bukankah biasanya laki-laki lah yang mengintip? Bukan berarti Krai benar-benar orang seperti itu. Mata Tino terbuka lebar. Sosok baru yang tak terduga telah muncul. Sosok itu mengenakan yukata, berbeda dengan jubah hitamnya yang biasa. Kontras antara kulit porselen dan rambut hitamnya yang berkilau sungguh menakjubkan. Kesan lemah dan cepatnya itu sama sekali tidak seperti Liz dan bahkan Sitri.

 

"L-Lucia Onee-sama? Kamu juga?!" Teriak Tino.

 

"Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Lucia.

 

"Lupakan itu. Tapi, um, ini kamar Master. Dan dia sedang mandi sekarang...."

Tino mengenal semua orang di Grieving Soul, dan tentu saja termasuk Lucia, namun aura Lucia yang halus itu membuatnya agak sulit didekati oleh Tino.

 

Setelah beberapa saat kebingungan, Lucia duduk di sebelah Tino, melipat kakinya di bawahnya. Rambut hitamnya terurai di atas jubah putihnya.

 

Lucia berdeham dan berkata :

"Aku tahu. Itu sebabnya aku datang ke sini. Berjaga-jaga dalam situasi seperti ini biasanya adalah tugasku. Jadi, mengapa kamu di sini, T?"

 

"Master memintaku untuk berjaga-jaga."

 

"Dia itu, mempermainkanmu seperti hewan peliharaan."

 

"Itu tidak benar. Aku melakukan ini karena aku mau!"

 

Lucia mengerutkan keningnya, namun tidak mengatakan apa-apa dan malah menjentikkan jarinya. Dua bantal terbang datang dari suatu tempat dan mendarat di sebelah Tino dan Lucia. Berikutnya datang sebuah teko, yang secara otomatis mengisi dua cangkir teh yang terbang bersamanya. Ketika pertama kali melihatnya, Tino terkejut dengan sihir Lucia itu, namun sekarang Tino sudah terbiasa dengan mantra Lucia yang tidak biasa itu.

 

"Te-Terima kasih banyak."

 

"Jangan pikirkan itu. Sekarang aku di sini, kamu bisa pergi dan bersenang-senang."

Kata Lucia sambil membuka buku di pangkuannya. Lucia siap untuk berada di sini untuk waktu lama. Namun Tino adalah seorang pemburu yang setia; Tino tidak bisa meninggalkan Lucia sendirian.

 

"Tidak, ini adalah sesuatu yang diperintahkan Master kepadaku."

Kata Tino, mengepalkan tangannya.

 

"Begitukah? Kalau begitu, kita bisa berjaga bersama."

 

"Kedengarannya sempurna!"

Jawaban Tino yang bersemangat sempat mengejutkan Lucia, namun kemudian tawa kecil keluar dari bibir Lucia.

 

***

 

Tino menemukan sesuatu yang menyenangkan tentang kehangatan samar di punggungnya dan sisir yang mengalir di rambutnya. Tino telah membuka pita-pitanya dan membiarkan Lucia menyisir rambutnya. Lucia memegang sisir dengan sangat lembut, membuat Tino merasa nyaman.

 

"Bahkan dengan material mana, pemburu tetap perlu merawat rambut mereka."

Kata Lucia dengan suara lembut.

 

"Aku tahu. Aku ingin memanjangkan rambutku sepertimu, tapi itu sulit." Jawab Tino.

 

Rambut panjang berkilau Lucia adalah sesuatu yang akan membuat gadis mana pun iri. Namun rambut panjang bisa menjadi penghalang bagi sebagian besar pemburu.

 

"Bagi Magi, rambut menjadi katalisator mana yang mudah digunakan. Tapi bagi seorang Thief, kecuali kamu bisa percaya diri dengan gerakanmu seperti Liz, kamu mungkin ingin menyerah pada rambut panjang."

 

"Oke."

 

"Dan meskipun kamu bisa mendapatkan kembali anggota tubuhmu, bahkan Ansem tidak bisa membantumu jika kepalamu terpenggal."

 

"Mmm. Dan rambut panjang itu mengganggu pertarungan jarak dekat. Tapi begitu aku menjadi lebih kuat, aku pasti akan menumbuhkannya seperti milikmu."

 

"Dan merawatnya butuh banyak kerjaan...."

Kata Lucia dengan suara pelan. Dia meraih beberapa helai rambut Tino dan menyisirkannya ke pipi Tino. Mereka berdua berambut hitam, namun rambut Lucia itu agak tebal.

 

"Rambut yang serasi. Itu mungkin menyenangkan."

 

"Menurutmu begitu?!"

Kata Tino dengan mata berbinar.

 

Lucia tertawa kecil dan mengikat pita Tino. Sungguh gadis yang baik. Tino tahu bahwa begitu pitanya terpasang, dia seharusnya berhenti bersandar pada Lucia, namun Tino tidak bisa memaksa dirinya untuk melakukannya.

 

"Yang satu akan datang." Kata Lucia.

 

"Mereka tidak pernah belajar."

Mata Lucia tajam, hampir tidak bisa dikenali dari mata lembut yang menatap Tino sebelumnya. Sebelum Tino bisa mengatakan apapun, pintu terbuka, dan masuklah salah satu dari dua Smart bersaudari—yang energik.

 

Liz tidak menyangka akan bertemu dengan orang lain selain Tino. Sebelum Tino bisa pulih dari kebingungannya, Liz melesat maju, dan, hampir seperti sihir, mulai berlari di sepanjang langit-langit, jubahnya berkibar liar.

"Krai-chan! Liz-chan akan membasuh punggung Krai-chan!"

 

"Liz Onee-sama?! Master saat ini—"

 

Liz mengabaikan Tino sepenuhnya. Sebelum Tino bahkan bisa berdiri, Liz ditarik dari langit-langit dan jatuh ke tanah. Yukata-nya mulai berubah warna. Menjadi abu-abu.

 

"Berubah menjadi batu."

Kata Lucia dengan suara dingin.

 

"Apa yang Lucia-chan lakukan?!" Teriak Lizzy.

 

Tino belum pernah melihat mantra itu sebelumnya. Hal itu membuatnya takut. Pakaian Liz sekarang sepenuhnya berubah menjadi batu, Liz berbaring di tanah, melotot ke arah Lucia.

 

"Itu yang ingin kutanyakan padamu." Kata Lucia.

 

"Aku tidak bisa mengerti bagaimana kamu itu bisa begitu keras kepala."

 

"Itu bukan urusan Lucia-chan! Sekarang minggirlah!"

 

"Memadat."

Liz mencoba menerobos pakaian yang membatu itu. Namun, yang mengejutkan Tino, tinju yang dapat menembus beberapa logam itu tidak berpengaruh pada batu itu.

 

"Ah! Oke, oke, Liz-chan mengerti! Lucia-chan bisa ikut! Dan T juga." Teriak Liz.

 

Alis Lucia berkedut.

"Pergilah."

 

***

 

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Luke?" Tanya Lucia.

 

Ketegangan itu terasa nyata.

 

"Ah, masalahnya, Lucia, ini tentang sumber air panas ini. Tidak ada air terjun."

Jawab Luke, dia sangat serius.

 

Apa yang harus mereka lakukan dalam situasi yang aneh seperti itu?

 

"Aku tidak bisa berlatih seperti ini, jadi kupikir aku akan meminta metode pelatihan alternatif kepada Krai. Apa Krai ada di sana?"

Tanya Luke. Baik matanya yang berwarna merah maupun nada suaranya tidak menunjukkan bahwa dirinya sedang bercanda.

 

Dalam beberapa hal, Tino menganggap Luke sebagai pengunjung yang paling sulit dihadapi. Tino telah dipercayakan dengan tugas untuk memastikan tidak ada seorang pun yang masuk ke pemandian terbuka. Namun, Luke dan Krai berjenis kelamin sama. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa itu berarti Luke boleh masuk. Bagaimanapun, kamar mandi utama dibagi berdasarkan jenis kelamin dan Luke mungkin tidak akan tinggal di sana setelah selesai berbicara dengan Krai. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, Tino menatap Lucia, yang tampaknya tidak begitu putus asa.

 

"Baiklah."

Kata Lucia sambil menghela napas kecil.

 

"Aku akan membuatkanmu air terjun, jadi silakan tinggalkan kami."

 

"Buat air terjun yang panas."

 

"Ya, sesuai keinginanmu."

 

***

 

Longsoran naga biru langit menyerbu melalui pintu.

 

"Raaawr!"

 

"Apa?!"

Kawanan naga yang bersemangat itu langsung menerjang ke arah Tino.

 

"Lucia Onee-sama, mengapa ada kawanan naga di sini?! Mengapa?!"

Teriak Tino, benar-benar bingung harus berbuat apa.

 

Lucia tetap tidak tergoyahkan dan hanya mengucapkan mantra.

"Pergilah, kalian semua."

 

***

 

Dengan langkah kaki yang menggelegar, raksasa abu-abu masuk melalui pintu yang hancur. Raksasa abu-abu itu adalah Killiam dan Smart lainnya berada di atas punggungnya. Melalui lubang di kantong kertas, dua mata menatap Lucia.

 

"Hehe, kurasa kamu pasti lelah setelah merapal begitu banyak mantra, Lucia."

 

"Sitri Onee-sama?! Apa naga-naga itu ulahmu?!" Teriak Tino.

 

Sitri menyeringai puas. Tino telah melihat banyak penjahat, namun seringai Sitri itu tetap membuatnya merinding. Killiam melihat sekeliling dengan mata marah. Killiam adalah makhluk sihir yang kuat, lebih dari yang bisa ditangani Tino sendiri. Sekarang setelah sampai pada titik ini, yang bisa dilakukan Tino hanyalah bergantung pada Lucia.

 

"Pergilah." Kata Lucia.

 

"Hehe, mantramu tidak akan berguna. Kamu tahu, aku telah mengambil sejumlah tindakan pencegahan Anti-Lucia. Kurasa kamu tidak bisa menyingkirkanku dengan mudah."

 

Sitri mengangkat botol kosong. Tino tidak tahu pasti apa isinya, namun tampaknya aman untuk berasumsi botol itu berisi ramuan yang meningkatkan ketahanan sihir. Tino menganggap perilaku Sitri sangat kekanak-kanakan dibandingkan dengan sikapnya yang biasa. Lucia mengerutkan keningnya saat Killiam mulai mendekat perlahan.

 

"Jangan khawatir, aku tidak seperti akan membunuh Krai, aku hanya mau membasuh punggungnya. Oh, Lucia, jangan ragu untuk memanggilku kakak ipar."

 

Lucia berdiri dan menatap tajam ke arah Sitri. Mana terpancar dari tubuh Lucia. Ekspresi Lucia itu membuat Tino mundur beberapa langkah.

 

"Baiklah. Kamu benar-benar ingin melakukan ini? Aku akan menghajarmu, seperti yang selalu kulakukan, Sitri!"

 

***

 

"Ryuu-ryuu."

 

Tamu hari ini terdengar manis dan tampak cukup rupawan. Tamu ini juga seorang Troglodyte.

 

"Master, apa penting mereka manusia atau tidak?"

Tino bertanya-tanya dengan suara keras.

 

"Ryu-u?"

 

Pola seperti lingkaran menghiasi bagian atas kepalanya. Dengan kata lain, jika Sitri benar, Troglodyte ini adalah sang tuan putri. Dia berkedip beberapa kali, ekspresinya sangat mirip manusia. Rupanya, makhluk-makhluk ini memiliki kecerdasan yang setara dengan manusia.

 

"Master itu bukan Troglodyte! Huuus! Huuus!"

 

"Ryuu-u-ryu-u!"

Sepertinya kata-kata tidak akan berhasil, jadi Tino membuat gerakan menghindar. Sang tuan putri mengangguk dan mulai berjalan menuju pintu—hanya membuat Tino melompat ke arahnya.

 

"Kamu tidak boleh masuk! Aku sudah diberitahu untuk tidak membiarkan siapapun masuk!"

 

"Ryuu!!!"

Dengan lengan melingkari sang tuan putri, Tino terkejut menemukan bahwa kulit abu-abunya sebenarnya lembut seperti kulit manusia. Troglodyte itu menggeliat-geliat rambutnya dalam upaya untuk mendorong Tino, namun dia memegangnya erat-erat.

 

Tino tidak peduli lagi apa tuan putri itu manusia atau bukan. Hal ini adalah tantangan yang harus Tino atasi dan Tino tidak akan membiarkan siapapun lewat.

 

"Ryu-u-ryu-u!"

 

Pintu terbuka dan lima Troglodyte lainnya masuk dengan cepat. Mereka pasti merasakan tuan putri mereka dalam bahaya. Jumlahnya tidak sebesar kawanan yang diperintahkan Krai, namun lebih dari yang bisa dilawan Tino.

 

"Tidak! Tidaaak! Master, lari!"

 

Para Troglodyte itu menyerang Tino dan sang tuan putri, membanting pintu. Tanpa suara keras, pintu itu perlahan roboh.

 

***

 

Ini tidak akan berhasil. Tino sendiri tidak cukup untuk memastikan masternya bisa menikmati mandi. Pikirannya tenang, Tino mengeluarkan pilihan terakhirnya—Relik yang dirinya terima dari masternya. Evolve Greed akan mengeluarkan kekuatan tersembunyinya. Super Tino, begitulah masternya memanggilnya dalam keadaan itu, seharusnya bisa melawan penyusup potensial. Tino tidak pernah berpikir akan perlu menggunakannya di luar pertempuran. Tidak, ini pertempuran. Ini perang.

 

"Apa waktuku akhirnya tiba? Aku telah menunggu sangat lama."

Kata topeng itu. Tino selalu membawa topeng itu bersamanya, namun tidak dengan maksud untuk menggunakannya. Tidak ada artinya dalam kekuatan yang diberikan dengan mudah. ​​Namun sekarang bukan saatnya untuk pilih-pilih.

 

"Tidak dapat disangkal kekuatan yang aku bawa keluar dalam dirimu. Tidak diragukan lagi, kau bisa melindungi kekasihmu."

 

"Kekasih?!"

 

"Jangan lupa, aku hanyalah alat. Musuhmu yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri."

 

Apa yang dibicarakan topeng ini? Tidak, itu tidak masalah, Tino telah memutuskan. Tino akan melindungi masternya, bahkan jika itu berarti harus memakai topeng ini. Tino tidak akan mengeluarkannya jika tidak. Sekali lagi, Tino menyerahkan dirinya pada topeng itu dan menjadi Super Tino. Kekuatan mengalir melalui dirinya. Perasaan mabuk dan gembira menguasainya. Darahnya membara, napasnya seperti api. Pakaiannya terasa lebih ketat. Topeng itu melakukan lebih dari sekadar mengeluarkan kekuatan terpendamnya. Tino tumbuh lebih tinggi, dadanya membesar, dan bentuk tubuhnya membaik secara keseluruhan.

 

Perasaan yang Tino rasakan ini adalah perasaan mahakuasa. Inilah kekuatan. Liz, Sitri, bahkan sang tuan putri tidak dapat melawannya. Tino meremas dadanya. Dadanya sudah sedikit lebih besar dari Liz, namun sekarang perbedaannya tidak dapat disangkal. Sensasi kenikmatan mengalir di tengkuknya. Dia berbalik ke pintu yang telah dia lindungi sejauh ini. Dia bisa menang. Dalam keadaan ini, dia bisa merayu Krai. Dada Liz itu kecil. Sitri adalah orang yang jahat. Namun, Tino itu setia, memiliki tubuh yang bagus, dan masih muda. Dia tidak bisa kalah.

 

Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa berpikir seperti itu. Itu hanya ilusi topeng ini.

Tino tidak akan tertipu. Dia kuat. Meskipun saat ini tampaknya itu ide yang bagus, dia tahu dia akan menyesalinya nanti. Jalan paling pasti menuju kemenangan adalah dengan membangun kepercayaan secara bertahap. Tino menarik napas dalam-dalam dan memuji dirinya sendiri karena tidak hanyut oleh dorongan sesaat.

 

Kemudian Tino menyadari tangannya bergerak sendiri, melepaskan pakaiannya. Dia membuka tali bahunya dan perlahan-lahan melepaskan atasannya yang seperti kamisol. Tino terbakar dengan perasaan bebas dan bersalah. Tidak peduli seberapa keras dirinya mencoba, tangannya tidak akan berhenti. Tino berhenti berbohong kepada dirinya sendiri. Tino tahu dirinya melakukan ini atas kemauannya sendiri.

 

Tidak apa-apa.

Bisik Tino lainnya—Evil Tino. Tino telah memperhatikan Krai selama ini. Krai cukup baik untuk tetap berteman dengan Liz. Krai pasti akan memaafkan Tino, kali ini saja. Lalu Tino tersadar. Tino bisa membasuh punggung Krai. Tino harus mengucapkan terima kasih atas semua yang telah Krai lakukan untuknya. Sekali ini saja dan tidak akan pernah lagi. Tino akan membuat kenangan dan ini adalah satu-satunya kesempatan yang akan dirinya dapatkan. Tino terbakar oleh kesedihan. Suaranya putus asa, seperti yang telah terjadi pada setiap insiden sejauh ini.

 

"Master, lari. A-Aku masuk."

Kata Tino dengan suara kecil dan diam-diam masuk melalui pintu.

 

***

 

Di depan pintu pemandian terbuka, Tino berdiri dengan tangan terentang untuk menghalangi penyusup. Namun, penyusup itu tidak menghiraukannya dan hanya melangkahinya. Tino berteriak frustrasi.

 

"Ribbit. Ribbit."

Kata Tino yang menjadi katak dengan suara serak.

 

***

 

Kemudian Tino terbangun. Sungguh mimpi yang mengerikan. Tino bermimpi tentang melindungi keselamatan masternya, namun terlalu tidak berdaya untuk melaksanakan tugasnya. Tino kalah dari Liz, Sitri, bahkan dirinya sendiri. Namun, mimpinya berakhir. Sekarang setelah dia terbangun, kali ini dia akan melindungi masternya. Dengan tekad baru, dia bangkit berdiri. Tino berada di kamar Krai, kamar yang telah dilihatnya berkali-kali dalam mimpinya.

 

Di depannya, Liz dan Sitri sedang bertarung. Bantal-bantal dilempar dan kaki-kaki diayunkan. Ramuan-ramuan digunakan. Killiam hadir. Suasana menjadi kacau. Tino akhirnya ingat. Dia pingsan. Dan dia tidak dipercaya untuk melindungi Krai. Ketika Tino benar-benar memikirkannya, tidak masuk akal jika Krai mengandalkannya untuk berjaga. Krai bukanlah tipe orang yang akan kehilangan akal hanya karena Liz atau Sitri masuk ke kamar mandinya. Tentu saja, Tino juga tidak akan membuat Krai terganggu.

 

Dengan perasaan tercerahkan, Tino mengetuk pintu lalu masuk, memastikan para Smart  besaudari yang sedang berkelahi itu tidak memperhatikannya.

"Master, mereka berdua mengamuk. Tolong lakukan sesuatu pada...."

 

"Rawr?"

Dalam wujud naga biru langit, masternya memiringkan kepalanya dan menatapnya dengan mata rusa betina.