Side Story : Liz Loves Being Touchy Feely

 

"Krai-chann!" Liz memanggil.

 

"Kamu selalu terlihat ceria, Liz." Kataku.

Liz melemparkan dirinya ke arahku, dan seperti biasa, aku menangkapnya dalam pelukanku. Pipi kami bersentuhan, dan Liz mengusap kulitnya yang hangat dan lembut ke tubuhku. Liz memancarkan aroma yang agak manis dan menyenangkan. Aku mungkin bisa mengenali Liz hanya dari aromanya saja. Tidak ada lemak berlebih di anggota tubuh Liz, dan dia tampak lentur seperti binatang buas, namun ketika dia begitu dekat denganku sehingga aku bisa mendengar detak jantungnya, tubuhnya terasa lembut saat disentuh. Aku mengulurkan tanganku dan mengusap kepalanya. Dia mengeluarakn suara gembira sambil membenamkan wajahnya di leherku.

 

Liz Smart senang menjadi orang yang disentuh. Sitri sepertinya juga tidak membencinya, namun Liz akan menyerangku setiap ada kesempatan. Liz terkadang mencoba memelukku meskipun tidak ada kesempatan. Anggota lain party-ku biasanya pergi dan sibuk dengan pelatihan mereka, jadi sejak dulu, peranku adalah untuk memeluknya. Liz mengusap hidungnya ke tubuhku dan mengusapkan bibirnya ke leherku. Seolah menjawab rasa sayang yang menggebu-gebu, aku melingkarkan lenganku di punggungnya dan meremasnya erat-erat. Sentuhan Liz semakin hari semakin ekstrem, dan meski awalnya aku merasa gugup, aku sudah terbiasa. Sekarang, aku hanya merasa sedikit gugup. Meskipun hal itu jarang terjadi, aku memastikan untuk memberitahunya bahwa dia tidak boleh menempel padaku saat dia telanjang. Dia akan terasa kurang sopan.

 

"Ayo, Krai-chan. Ayo lanjutkan." Rengek Liz.

 

"Bisa ya, ya? Liz-chan mohon?"

Tino, yang tertinggal, menutup mulutnya dengan tangan, pipinya memerah saat dia melihat mentornya menciumku.

 

"O-Onee-sama, kamu tidak bisa bersikap tidak tahu m-malu be-begitu...." Kata Tino.

 

"Mmm...."

Kata Liz dengan manis. Tampaknya kata-kata muridnya tidak didengarkan.

 

"Dia pasti lelah akhir-akhir ini." Kataku. “

 

"ni bukannya tidak tahu malu atau apapun, tapi ini hanya cara efektif untuk memberikan perawatan terhadap kesehatan mentalnya." Lanjutku.

 

"Heeh?" Tanya Tino, dengan suara kaget.

Tindakan Liz tentunya tidak bersifat seksual. Kami sangat dekat sehingga kami bisa merasakan suhu tubuh satu sama lain, dan orang luar mungkin mengira kami adalah sepasang kekasih, namun Liz dan aku tidak memiliki hubungan seperti itu. Aku bisa merasakan napas hangatnya menggelitik leherku. Telinganya memerah, Liz mempercayakan seluruh tubuhnya padaku sambil aku mengusap punggungnya dengan gerakan memutar. Aku menjelaskan diriku pada Tino yang kaget.

 

"Menjadi pemburu adalah pekerjaan yang sulit. Kalian selalu di luar sana mempertaruhkan hidup kalian, dan itu berdampak buruk pada kesehatan mental kalian. Aku melakukan ini untuk menenangkan seseorang agar mereka tidak marah." Kataku.

 

"B-Begitukah?" Tanya Tino.

 

"Aku belum pernah mendengar apapun tentang hal itu sebelumnya." Lanjutnya.

 

"Tapi itulah kenyataannya. Itu juga tertulis di buku loh. Aku yakin Liz bisa melakukan hal seperti ini dengan kekasihnya saat dia mendapatkannya, tapi sebelum saat itu datang, aku akan memperlakukannya dengan dengan cara seperti ini." Kataku.

 

"A-Aku rasa Onee-sama tidak akan pernah...."

Kata Tino sebelum berhenti di tengah-tengah ucapannya.

 

Liz, muridmu bersikap sangat kasar.

Meskipun benar bahwa Liz adalah orang yang kejam dan mudah marah, dia juga punya banyak kelebihan. Merasa kasihan padanya, aku membuka kancing pita yang mengikat rambutnya dan menyisir rambut pirang berwarna merah mudanya yang indah dengan tanganku. Meskipun Liz selalu bertarung, rambutnya halus seperti sutra, dan ujung jariku tidak kusut. Liz menyukainya ketika seseorang menyisir rambutnya. Menyentuh kepalanya saja sudah cukup membuatnya gemetar saat dia memelukku lebih erat lagi. Aku pasti bisa menyisir rambutnya dengan benar jika aku punya alat untuk melakukannya, namun dia harus puas dengan jariku untuk saat ini.

 

Liz pertama kali mulai menempel padaku saat dia berumur sepuluh tahun. Liz memutuskan untuk menjadi pemburu dan baru saja memulai pelatihannya. Saat itu, kemampuan fisik kami pada dasarnya sama, dan tidak ada kesenjangan yang mencolok dalam hal bakat. Kami masing-masing menemukan master kami sendiri untuk belajar dan memulai pelatihan. Di antara kelompok kami, master Liz adalah yang paling ketat dalam hal pelatihan. Kampung halaman kami adalah kota kecil, dan orang yang menjadi master Liz itu bukanlah orang yang berlevel tinggi, namun masternya telah memberinya pelatihan yang sangat sulit dan keras. Kami tidak bisa membayangkan seorang anak kecil mengalami semua itu. Bagian terburuknya adalah metode tanpa ampun ini tidak dilakukan atas dasar cinta—tidak, latihan yang dilakukan Liz terlalu kasar. Liz bahkan tidak diajari teknik yang diperlukan untuk menjadi Thief.

Dari matahari terbit hingga terbenam, Liz berlari berkeliling, melatih ototnya, dan dipaksa melakukan pertarungan simulasi. Ketika Liz pulang ke rumah setelah hari pelatihannya selesai, aku tidak tega melihatnya terlihat begitu letih. Dibandingkan dengan cara konyol yang harus Liz lalui itu, pelatihan yang Liz berikan kepada Tino menunjukkan kasih sayangnya. Aku mencoba menghentikan Liz beberapa kali. Pelatihan hariannya tidak masuk akal, tidak peduli bagaimana kalian melihatnya. Tidak ada anak yang boleh dipaksa menderita seperti ini. Namun, Liz yang berpikiran kuat tidak mendengarkan kata-kataku dan terus melanjutkan. Saat itulah aku menyadari bahwa setiap orang hanya melihat ke arah masa depan. Satu-satunya orang yang punya waktu luang adalah aku—aku telah diusir di gerbang depan oleh setiap orang yang kutemui dan diberi tahu bahwa aku kurang berbakat. Aku satu-satunya yang mempunyai waktu luang yang tidak ada artinya. Jadi, aku segera mencari apa yang bisa aku lakukan.

 

Aku menemukan satu buku. Buku itu mencantumkan metode untuk menenangkan pikiran dan jiwa seseorang; kelihatannya cukup mudah sehingga aku merasa bisa mengikuti langkah-langkah yang tertulis di dalamnya. Aku masih ingat pertama kali aku memeluk tubuh Liz yang compang-camping. Liz menangis. Liz sangat lelah sehingga dia hampir tidak bisa bergerak lagi, dan air mata mengalir dari matanya saat dia menjawab pelukanku. Sejak itu, Liz suka sekali bersentuhan dengan orang lain.

Liz tidak menyerah. Liz terus menjalani latihan berat, dan memeluk tubuhnya yang kelelahan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Master Liz itu yang tidak baik hanya tahu cara membuat orang lelah dan tidak mengajari Liz satu teknik pun, namun Liz dengan cepat melampaui masternya itu yang buruk itu dalam waktu satu tahun. Faktanya, Liz setengah membunuh masternya itu dalam pertarungan simulasi dan dengan cepat dialihkan ke yang baru. Satu-satunya hal yang Liz pelajari dari mantan masternya itu adalah bersikap tanpa ampun, dan justru itulah yang telah memukul mereka setengah mati. Aku hanya bisa menemukan ironi dalam situasi ini.

 

Jarang sekali Liz menjadi sangat lelah akhir-akhir ini, namun dia tetap suka disentuh penuh kasih seperti ini. Hal ini menyebabkan orang yang tidak berbakat sepertiku salah membaca situasi dan berpegang teguh pada keyakinan salah bahwa aku pun bisa melakukan sesuatu yang berguna. Inilah sebabnya aku bekerja keras segera setelah Luke menjadikanku pemimpin.

Seharusnya aku membaca saja bukunya dan tidak punya pemikiran yang lucu. Dunia ini tempat yang sulit.....

 

Namun karena hal ini pada akhirnya menguntungkan Liz, aku tidak punya banyak ruang untuk mengeluh. Liz sama sekali tidak terlihat marah saat aku memainkan rambutnya. Pipinya diwarnai merah muda dan dia memberiku senyuman lebar. Bagiku, Liz adalah seorang perempuan dengan kekuatan super, namun dia tidak memelukku sampai mati. Ada banyak kasus dimana seorang pemburu yang kuat secara tidak sengaja mengerahkan terlalu banyak kekuatan dan melukai pasangannya yang normal, namun pelukan kami juga merupakan cara bagi Liz untuk mengendalikan kekuatannya.

Atau begitulah yang dikatakan buku itu kepadaku.

 

"Krai-chan.... Ayo, teruskan itu...." Pinta Liz.

 

"Ada yang lebih dari itu?!" Seru Tino.

 

"Caranya adalah mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang." Jawabku.

 

"Lakukan ini padanya saat aku tidak ada di sini, oke, Tino?" Lanjutku.

 

"Tidak mungkin aku bisa melakukan itu! Uh.... Master?" Kata Tino.

Aku mengangkat Liz, lengannya masih memelukku, dan berbaring di sofa sambil menghadap langit-langit. Mata lembab Liz menatapku. Aku mendorong poninya, dan Liz meletakkan telapak tanganku dan menempelkan pipinya ke tanganku.

 

"Karena Liz punya kebanggaan dan punya pengendalian diri, kamu harus memujinya dengan baik." Jelasku pada Tino yang tertegun dan diam-diam menonton.

 

"Dengar, kalau Liz menunjukkan perutnya seperti ini padaku, itu berarti dia menunjukkan kasih sayangnya." Lanjutku.

Aku menunjuk perut Liz yang lembut dan terbuka. Kulitnya kecokelatan, dan hal itu membuatnya tampak memikat.

 

"Master..... umm, buku apa yang kamu baca itu?" Tino bertanya dengan hati-hati.

 

"Hmm? Menurutku itu buku itu berjudul The One Who Traverses Paradise volume 2."

Jawabku kepada Tino.

 

"M-Master, itu hanya sebuah novel. Dan mengapa kamu hanya membaca yang volume 2?" Tanya Tino, terlihat bingung.

 

"Itulah satu-satunya volume yang terjual. Selain itu, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari novel." Balasku.

Buku itu adalah novel tentang petualangan di mana tokoh utamanya adalah seorang pemburu. Aku tahu bahwa cerita itu adalah karya fiksi, namun penuh dengan kesengsaraan dan pertumbuhan, dan aku belajar banyak dari buku tersebut. Aku suka membacanya, namun ketika aku mulai sibuk, aku hanya berhasil membaca volume kedua. Beberapa strategi palsu yang aku sampaikan kepada Luke sebenarnya didasarkan pada buku itu.

 

"Aku terutama berpikir bahwa ikatan kepercayaan antara karakter utama dan rekannya sangat ideal." Kataku.

 

"Aku bisa meminjamkan buku itu kepadamu lain kali, meskipun aku hanya punya yang volume 2." Lanjutku, menawarkan itu.

 

"T-Tidak, terima kasih." Jawab Tino.

 

"Aku sebenarnya memiliki bukunya dan membaca keseluruhan serinya. Umm, rekan dalam cerita itu...." Lanjut Tino.

Aku memandang Tino dengan heran. Rasanya seperti suatu kebetulan besar bahwa Tino mengetahui tentang novel tersebut; novel itu ditulis lebih dari satu dekade yang lalu. Aku melirik perut Liz yang terbuka dan mengusap kulitnya yang lembut dan lentur itu. Liz mengeluarkan suara nyaring dan menggeliat, namun jelas dia menyukainya. Novel tersebut menggambarkan bahwa sinyal pasangannya tidak perlu diabaikan. Liz sedang dalam suasana hati yang baik hari ini, dan aku mengangguk puas sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya. Aku mengeluarkan bumerang yang terbuat dari tulang dari laci mejaku.

 

"Er, master...." Kata Tino dengan suara pelan.

 

"Rekan tokoh utama dalam The One Who Traverses Paradise adalah Reanne. Dan jika ingatanku benar, dan aku bisa saja salah.... bukankah Reanne itu serigala?"

 

"Apa?" Aku bertanya, kaget.

Aku terkejut mendengar kata-kata itu dan bumerang itu pun terlepas dari genggamanku. Liz terengah-engah gembira saat dia melompat ke depan dan menangkap mainan itu, menunjukkan kemampuan reaksinya yang luar biasa.

 

"Krai-chan, Liz-chan tidak mengerti pelatihan ini sama sekali."

Liz cemberut sambil memutar boomerang itu di jarinya.

 

"Liz-chan tidak menyukainya. Mungkin itu akan berguna saat itu, tapi kelincahan Liz-chan sudah sangat bagus, bukan? Liz-chan merasa ini tidak akan menghasilkan apapun bagi Liz-chan sama sekali. Liz-chan lebih suka Krai-chan lebih sering memanjakkan Liz-chan." Lanjutnya.

 

Berbeda dengan novel itu, Liz, seperti biasa, tidak suka bermain-main.

Tunggu, serigala? Seriusan? Itu tidak mungkin....

 

"Tapi serigala itu bicara." Desakku.

 

"Er, aku yakin tokoh utama punya kemampuan khusus untuk memahami perkataan serigala...." Jawab Tino dengan mata tertunduk. Aku membuang wajahku dan menoleh ke Liz, yang sedang menatapku dengan mata lembab.

 

Seriusan? Maksudku, uh, ada yang menyebutkan tentang ekor yang bergoyang-goyang, tapi menurutku serigala itu adalah manusia, seperti gadis setengah binatang atau semacamnya. Aku cukup yakin volume 2 tidak secara jelas menyatakan bahwa rekannya itu adalah serigala, dan dia lebih kuat dari karakter utama dan cukup cerdas.

 

"Novel itu adalah cerita petualangan antara serigala betina besar yang sangat cerdas dan seorang anak laki-laki yang bisa memahami kata-kata serigala, bukan?"

Tanya Tino kepadaku.

 

Sekarang dia menyebutkannya itu....

Ada beberapa hal aneh yang terjadi. Reanne sering menjilat wajah tokoh utama setiap kali mereka berpelukan, dan ada kalanya dia digendong. Saat adegan mandi, seluruh tubuhnya digosok dengan cermat, dan dia digunakan sebagai bantal saat mereka tidur. Aku memang mengira mereka mungkin terlalu dekat satu sama lain, namun aku hanya berasumsi bahwa para pemburu memang seperti itu. Aku telah menipu diriku sendiri. Aku rasa karakter utamanya sama sekali tidak terlihat gugup atau malu bersama rekannya karena dia adalah orang yang baik.

 

Tunggu, seriusan? Seekor serigala? Jadi sikap sayangku terhadap Liz selama lima tahun terakhir adalah sesuatu yang ditunjukkan kepada serigala?! Seriusan?! Huwahh, aku sangat bodoh!

Liz bangkit dan mengusap tubuhnya ke tubuhku. Aku memeluknya dan mengusap kepalanya. Kemilau bulumu sungguh indah!

 

"A-Aku tahu itu, tentuny." Kataku dengan tergagap.

 

"Aku hanya baru saja mengujimu, Tino." Lanjutku.

 

"B-Benar, tentu saja!" Jawab Tino.

 

"Kamu mengejutkanku sejenak! Tapi aku tidak mengira kamu tidak membaca serial favoritku. Reanne adalah gadis yang baik dan sangat menggemaskan! Aku mengerti mengapa dia adalah rekan yang ideal! Dan karakter utama melihat Reanne seperti manusia meskipun rekannya itu serigala." Lanjut Tino.

 

"Mhm, uh-huh. Reanne benar-benar imut.... meskipun dia serigala." Kataku.

 

Aku selalu mengira Liz adalah anak yang lebih nakal daripada Reanne. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan?

Untuk menyembunyikan kepanikanku, aku menyalin apa yang kubaca dari buku itu dan mulai menggaruk belakang telinga Liz.

 

"Krai-chan." Bisik Liz di telingaku.

 

"Ayo kita lanjutkan ini di bak mandi, hmm? Sudah kita tidak melakukannya, jadi bisakah Krai-chan membasuh punggung Liz-chan? Liz-chan mohon, ya, ya?" Pintanya.

 

"Kamu bisa melakukannya sendiri, bukan?" Balasku.

 

"Kamu harus lebih rendah hati. Lagipula, kamu itu bukan serigala."