Side Story : A Day with Tino
"Heeh? Pengawal?"
Tanya Tino dengan mata melebar.
Tino baru saja bersiap untuk pergi ke reruntuhan harta karun yang ditugaskan kepadanya oleh mentornya sebagai bagian dari pelatihannya. Master tercintanya berdiri di hadapannya, tersenyum dengan senyuman bersalah. Masternya itu adalah Krai Andrey, seorang pemburu dengan salah satu level tertinggi di Ibukota. Saat matahari sudah tinggi di langit, tidak ada orang lain yang hadir di ruang tunggu klan. Hal ini bukanlah pemandangan biasa. Pemburu kebanyakan bekerja pada siang hari. Krai berpakaian terlalu santai untuk pekerjaannya, tanpa alat pelindung apapun.
Namun, setelah diperiksa lebih dekat, master Tino itu membawa Relik dalam jumlah yang tidak masuk akal. Bukan rahasia lagi bahwa hampir semua yang masternya itu kenakan—rantai di ikat pinggangnya, kalung peraknya, dan kancing manset di lengan bajunya—adalah Relik. Rumornya, kebiasaan itu membuat masternya mendapat julukan Thousand Trick. Saat Tino memperhatikan masternya dengan tatapan kosong, Krai menolak untuk menatapnya.
"Ya, aku ingin pergi ke toko Relic hari ini. Tadinya aku mau bertanya pada Liz atau yang lain, tapi aku tidak bisa menemukan mereka, jadi...."
Krai berhenti di sana, tertawa agak memaksa.
"Aku akan menemanimu." Kata Tino.
"Yah, aku tahu ini merepotkan, tapi menurutku kamu akan belajar satu atau dua hal dengan melihat beberapa Relik. Sebenarnya kamu harus mempunyainya. Hal ini akan sangat bermanfaat bagimu dan juga bagi— Tunggu, sungguh?" Kata Krai.
"Yup." Balas Tino.
Krai tampak terkejut ketika Tino dengan cepat mengemas bahan referensinya dan berdiri dari tempat duduknya. Meskipun penting bagi Tino untuk mempersiapkan misi hidup atau mati di masa depan, permintaan masternya jauh lebih penting. Satu-satunya alasan Tino ragu-ragu adalah pilihan kata-kata masternya itu : "Pengawal". Baginya, itu tidak masuk akal. Tino telah menerima pujian yang tinggi atas keahliannya, namun Tino tetaplah seorang pemburu Level 4. Tino memandang masternya dengan mata anak anjing yang setia.
"Tapi, master, aku hanyalah setitik debu dibandingkan denganmu. Aku ragu aku akan berguna bagimu." Kata Tino.
"'Setitik debu yah' pasti jadi kalimat favoritmu, Tino. Aku pernah mendengar kamu menggunakannya lebih sering daripada gabungan kata lain." Kata Krai.
Tino masih bertanya-tanya bagaimana dia bisa bertugas sebagai pengawal padahal dia jauh lebih lemah dari orang yang akan dia lindungi. Jika Krai bertanya kepada mentor Tino seperti yang Krai inginkan, hal itu tidak akan terlalu mengada-ada. Stifled Shadow, Thief seperti Tino, jauh melampaui Tino dalam deteksi ancaman dan pertempuran. Terlebih lagi, pengawal hampir tidak diperlukan dalam keamanan Ibukota. Krai mempertahankan senyumnya yang biasa.
"Oh, itu akan baik-baik saja. Kita mungkin tidak akan diserang, dan, anggap saja ini sebagai kencan atau semacamnya." Terus Krai.
"Kencan?!"
Tino menatap Krai. Tino telah mengidolakan masternya selama bertahun-tahun. Setidaknya sebagian kecil dari pengabdiannya dipicu oleh perasaan romantis. Masalahnya adalah mentornya memuja Krai dengan sepenuh hati. Bersaing untuk mendapatkan kasih sayang Krai tidak terpikirkan. Bagi Tino, Krai jauh di luar jangkauannya. Tino bisa mengandalkan masternya itu untuk memberikan perhatiannya saat Tino memintanya, namun Tino tidak berani memintanya terlalu sering.
Tino tidak peduli bahwa toko Relik bukanlah tempat paling romantis di kota, atau bahwa masternya menyeret siapapun yang bisa diajaknya untuk menemani hobi masternya itu. Tino bahkan bisa mengabaikan peran kedua setelah mentornya. Tino mengevaluasi pakaiannya : jaket kulit yang mengorbankan gaya berpenampilan demi perlindungan, celana pendek yang dioptimalkan untuk ketangkasan, dan sepatu bot tempur hitam dengan sol baja. Belati besar dan botol potion di ikat pinggangnya melengkapi penampilan pemburu harta karunnya. Tino tidak terlihat buruk sama sekali, namun pakaiannya sangat polos untuk kencan. Faktanya, Tino berpakaian untuk medan pertempuran namun berkencan adalah medan pertempuran yang benar-benar baru bagi Tino. Sebagai satu-satunya murid Liz Smart, Tino tidak boleh mempermalukan mentornya, namun Tino juga tidak boleh kalah darinya.
"Aku akan ganti baju." Kata Tino dengan ekspresi muram. Dia bergerak untuk berdiri, namun Krai menangkap lengannya.
"Apa?! Tidak, itu tidak perlu— Hei, Tino...." Kata Krai.
"Maafkan aku, master. Aku tidak bisa berpenampilan seperti ini! Aku mungkin tidak pernah cukup memiliki penampilan bagus untuk berada di sisimu, tapi ini adalah masalah harga diri seorang perempuan!" Kata Tino.
"Jangan seperti itu, Tino! Aku akan merasa tidak enak, jadi ayo pergi!"
Saat Tino berbalik untuk melarikan diri, Krai tanpa perasaan melepaskan Hounding Chain miliknya.
***
"Kamu orangnya kejam, kejam sekali, master." Gerutu Tino.
Pada akhirnya, Tino tidak diizinkan mengganti pakaiannya. Dengan Hounding Chain yang menahannya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan Tino. Jalanan Ibukota ramai seperti biasanya. Tino berjalan, dengan tingkat kewaspadaan yang cukup tinggi, di samping masternya yang tersenyum. Saat Tino melakukannya, dia bertanya-tanya apa, bagi orang yang lewat, dia dan Krai terlihat sedang berkencan. Mungkin tidak. Paling mungkin, seseorang mungkin melihat mereka sebagai rekan sesama pemburu. Jika Tino berhasil mengganti pakaiannya, dia mungkin bisa mendapatkan hasil berbeda. Bagaimanapun, ini adalah pukulan yang lebih baik daripada yang dia lakukan saat itu. Tino tidak berusaha menyembunyikan betapa tidak puasnya dia.
Krai menepuk lengan gadis.
"Kamu tidak perlu terlalu marah seperti itu, Tino. Jangan khawatir. Kamu sudah terlihat sangat...." Kata Krai, sebelum terhenti.
"Sangat?"
Ulang Tino penuh harap.
Krai berseri-seri.
"Sangat kuat."
"Kamu harus belajar memperlakukan perempuan sedikit lebih baik, master." Kata Tino.
Kuat? Bukankah mereka sedang berkencan?
"Aku bercanda, aku bercanda. Di sini, jika kita berpegangan tangan, kita akan terlihat seperti sedang berkencan." Kata Krai.
Masternya tertawa terbahak-bahak dan meraih tangan Tino. Tino memutuskan untuk menerima penebusan masternya dan memaafkannya atas semua kecerobohan masternya itu sejauh ini.
"Senang kamu begitu mudah untuk menyenangkan hati, Tino. Kamu gadis yang baik."
Krai mengacak-acak rambut Tino, membuat Tino meleleh karena sentuhan masternya itu. Tidak masalah baginya bahwa dia sedang bermain-main dengan tangan masternya; ini terasa seperti kencan sungguhan.
"Master, memujiku seperti itu paling banyak hanya akan memberimu sepuluh ribu Gild."
Kata Tino. Jumlah itu tabungan hidup Tino saat ini. Menjadi seorang murid memiliki banyak biaya pengeluaran.
"Itu bahkan tidak akan memberiku satu Relik pun."
Kata Krai dengan ekspresi datar.
"Kamu tidak berguna, Tino-chan." Lanjut Krai.
"Kamu tahu aku bercanda, kan, master? Iya, kan?" Balas Tino.
Pasangan ini keluar dari jalan utama yang ramai—tujuan romantis yang populer—mengambil gang yang mengarah ke samping. Krai membawa Tino melewati labirin gang-gang sempit sampai mereka tiba di toko Relic dengan eksterior yang agak tenang. Harapan Tino untuk bisa berkencan secara normal pupus ketika dia membaca tanda di atas pintu. Ini bukan pertama kalinya masternya menyeretnya ke toko Relik. Faktanya, Tino telah menemani masternya ke toko Magi’s Tale ini beberapa kali. Rupanya toko itu telah berdiri selama lebih dari seratus tahun dan merupakan permata tersembunyi di Ibukota. Tino mengerutkan keningnya melihat bel yang tergambar di papan itu.
"Master, apa aku ini hanya tiket masuk bagimu?" Kata Tino dengan muram.
"Uh-huh." Balas Krai.
"Aku sangat sedih, aku merasa sakit hati." Kata Tino.
"Uh-huh." Kata Krai.
Master Tino telah sepenuhnya menghilangkan Tino di pikirannya. Tino mencengkeram lengan masternya karena terkejut, namun masternya itu tidak menunjukkan tanda-tanda memperhatikannya saat mereka melangkah melewati pintu. Udara dingin Relik mendinginkan pipi Tino. Berbeda dengan etalase toko yang kumuh, interior tokonya terlihat rapi. Rak-rak itu dipenuhi dengan banyak Relik yang disusun berdasarkan bentuknya. Relik jauh lebih berharga daripada kebanyakan permata.
Seorang penjaga keamanan bersenjata lengkap mengangkat alisnya ketika Krai dengan santai berjalan masuk dengan Tino menempel di lengannya, namun penjaga itu segera mendapatkan kembali ekspresi tenangnya ketika dia mengenali kalau itu Krai. Tino tahu masternya adalah pelanggan tetap di toko ini, telah membeli setidaknya sepuluh Relik di sini—dan hanya itu yang diketahui Tino. Tetap saja, mata masternya itu berbinar karena kegembiraan saat melihat barang dagangan itu. Tino curiga masternya telah lupa kalau mereka sedang berkencan.
"Tidak banyak." Kata Krai.
"Aku rasa aku terlalu sering datang ke sini. Apa masih ada Safety Ring yang tersedia? Kurasa tidak." Lanjut Krai.
"Aku pikir kamu kehabisan uang, master." Kata Tino.
Relik adalah sumber daya alam dan hanya sampai ke rak-rak toko seperti ini oleh para pemburu yang menjualnya. Oleh karena itu, inventarisnya jarang berubah.
Aku ingin es krim, master. Jika tidak ada Relik baru, mengapa kamu tidak kembali lagi di lain waktu? Camilan itu akan menjadi traktiranku.
Tino tidak pernah mengucapkan kata-kata itu dengan lantang. Meskipun Tino sangat antusias untuk berkencan dengan masternya, Tino tidak begitu tertarik pada Relik. Mentornya telah memperingatkan bahwa masih terlalu dini dalam pelatihannya baginya untuk menggunakan Relik, dan Tino memberikan sebagian besar Relik yang dia temukan kepada masternya. Itu sebabnya Tino sangat miskin. Ada juga alasan lain mengapa Tino tidak senang berada di sini. Setelah membaca sekilas rak-rak itu, Krai menghela napas dan pergi ke konter yang kosong.
Sambil membenturkan tangannya ke permukaan, Krai berteriak,
"Hei, Matthis! Aku membawa Tino! Tino ada di sini!"
Seorang laki-laki berusia enam puluhan atau tujuh puluhan muncul. Dia memiliki rambut putih penuh dan kerutan dalam di wajahnya. Matthis adalah penjaga toko Magi’s Tale—seorang ahli dalam bidangnya yang telah menilai Relik selama lima dekade. Matanya menatap Krai, membuat lelaki tua itu memberikan kesan keras kepala. Dia mendecakkan lidahnya.
"Kau lagi." Katanya dengan jengkel.
"Itukah caramu menyapa salah satu pelanggan terbaikmu?" Krai membalas.
Tino awalnya menganggap sikap Matthis sebagai penghujatan, namun Tino menyadari bahwa sikap Matthis juga wajar. Saat Tino berdiri di sana dengan wajah kaku, masternya mencengkeram bahunya dan mendorongnya ke konter. Matthis adalah seorang pedagang yang terampil dengan koneksi yang baik dan beragam pilihan barang dagangan, namun dia tidak menjual kepada orang-orang yang tidak dia setujui. Banyak pemburu di Ibukota menghindari Magi’s Tale karena alasan tersebut. Ekspresi tidak puas Matthis ini bergetar hampir tanpa terasa saat dia memperhatikan Tino. Entah mengapa, lelaki tua itu menyukainya.
"Lihat?" Krai menyatakan dengan keras.
"Aku membawa Tino. Bawa aku ke belakang, atau kau tidak akan pernah melihatnya lagi." Lanjut Krai.
"Master, apa kamu baru saja menjualku?"
Tanya Tino hanya setengah bercanda.
"Uh-huh." Jawab Krai.
Inilah sebabnya mengapa Tino benci datang ke sini—dianggap sebagai tiket ke belakang. Bagian belakang toko adalah tempat kerja Matthis, penuh dengan Relik yang tidak dinilai dan disembunyikan dari pandangan publik. Pertama kali Tino ikut, masternya diizinkan lewat di belakang konter. Setelah menemukan tiket emasnya, Krai mulai sering mengajaknya. Tino tidak terluka sama sekali, dan dia tidak membenci penjaga toko dengan tatapan mematikan itu. Tetap saja, Tino tidak bisa menahan perasaan sedih setiap saat. Tino jelas bukan pengawal majikannya, apalagi teman kencannya. Matthis tampak sangat terlihat pahit memikirkan gagasan mengizinkan orang luar masuk ke dalam tempat kerja sucinya itu.
"Tidak ada apapun di sana yang membuatmu tertarik." Kata Matthis.
"Yah, aku benar-benar berharap bisa menunjukkan kepada Tino beberapa Relik...."
Bahkan Tino pun tahu itu bohong. Melihat Matthis masih belum yakin, Krai mendorong Tino selangkah lebih dekat ke penjaga toko. Dengan enggan, Tino memutuskan untuk memainkan peran tersebut. Meskipun Tino merasa bersalah pada Matthis, Tino tidak bisa menolak perintah masternya.
Sebagai bentuk protes kecil, Tino tetap bersikap tanpa ekspresi dan monoton saat dia berkata, "Tolong.... tunjukkan padaku semua yang kamu punya, kakek."
Saat Matthis tersedak, Krai mengacak-acak rambut Tino. Tempat kerja di belakang konter jauh lebih besar daripada toko di depan, namun ruangannya tampak lebih sesak karena tumpukan tak tertata yang mendominasi ruangan. Buku-buku yang dijilid cemerlang namun pudar memadati rak buku di dinding dan meluap ke tumpukan yang tersebar di sekitar tempat kerja itu. Peralatan asing berserakan di atas meja logam. Tino menduga itu digunakan untuk menilai Relik. Peti yang tak terhitung jumlahnya menutupi lantai, masing-masing berisi Relik yang belum pernah Tino lihat sebelumnya. Kemungkinan besar, semuanya adalah barang bekas. Relik adalah gema dari masa lalu yang gemilang, diciptakan kembali dengan material mana. Relik-relik tersebut tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan bertentangan dengan kepercayaan umum, sebagian besar Relik sama sekali tidak berguna.
Relik bekas tidak memiliki efek sedikit pun, meskipun dapat diisi dengan mana. Namun, membedakan apa sebuah Relik adalah barang bekas atau bukan bukanlah tugas yang mudah bagi seorang pemburu. Segala bentuk Relik terkenal atau yang menghasilkan efek nyata dapat dengan mudah dibedakan, namun menganalisis Relik yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut memerlukan pengetahuan mendalam tentang peradaban masa lalu. Apa yang sekilas tampak seperti bekas Relik ternyata berguna setelah diperiksa lebih jauh. Karena satu Relik yang kuat dapat membeli sebuah Mansion, para pemburu biasanya mengambil apapun yang menyerupai Relik dan menilai masing-masing Relik tersebut. Tino tidak melihat manfaatnya, namun dia tahu bahwa beberapa pemburu mencari nafkah hanya dengan mengambil Relik yang tidak diketahui. Itu suatu bentuk perjudian, pikirnya. Tino duduk di kursi yang ditawarkan kepadanya dan mengayunkan kakinya saat dia melihat masternya dan Matthis asyik berdiskusi. Tino melihat mata Krai berbinar saat melihat Relik di atas meja. Masternya itu tidak terlalu memperhatikannya.
Aku pikir kita sedang berkencan, master.
Tino ingin mengatakannya. Tino telah menurunkan ekspektasinya sejak dia menyadari bahwa mereka akan pergi ke toko Relik, namun diabaikan sama sekali tetap saja menyakitkan. Untuk sesaat, Tino bertanya-tanya apa yang akan dilakukan mentornya di saat seperti ini, namun dia segera mengusir pemikiran itu dari benaknya. Jika dia berharap terlalu banyak, dia bisa kehilangan segalanya. Masternya sepertinya tidak menyadari tatapan tajamnya saat dia menceritakan sesuatu yang tidak dipahami Tino, dan mengidentifikasi Relik tersebut melalui penglihatannya.
Segera, masternya itu berkata,
"Hmm, jangan bilang kau mulai berkarat, Matthis."
"Berani juga kau mengatakan itu, bocah." Geram Matthis.
"Aku tidak mengontrol apa yang dibawa oleh para idiot ini!" Terusnya.
Tino tidak bisa mengikuti percakapan mereka berdua (dia lebih suka menendang daripada menggunakan Relik), namun dia bersumpah untuk mempelajari istilah Reliknya sebelum masternya mengundangnya untuk menemaninya lagi. Tentunya, ini bukan pertama kalinya dia mengucapkan sumpah ini, namun ini adalah sumpah yang sulit dipenuhi dalam waktu singkat antara pelatihan dan penjelajahan reruntuhan harta karun. Krai akhirnya selesai memeriksa beberapa yang ada di atas meja. Ternyata, tidak ada yang bagus baginya. Tino sangat gembira, mengetahui bahwa mereka akhirnya bisa pergi. Jika Tino bertanya dalam perjalanan pulang, masternya mungkin akan membawanya ke suatu tempat yang menyerupai tempat yang tepat untuk berkencan. Namun, cahaya di ujung terowongan itu dengan cepat padam saat masternya mulai mengguncang peti berisi Relik bekas.
Tino tidak bisa menahan lidahnya lebih lama lagi.
"Umm, master....."
"Oh, maaf. Sedikit lagi, oke? Sial! Hanya ada sampah. Semuanya tidak ada yang bagus." Kata Krai.
"Sedikit lagi?!" Seru Tino.
"Berapa lama lagi?!" Lanjutnya.
Ada sejumlah peti di lantai dan bahkan lebih banyak lagi yang bertumpuk tinggi di sepanjang dinding. Pasti ada total sekitar seratus, dikemas penuh dengan bekas-bekas yang terlihat jelas. Ketika Relik tidak berbentuk sesuatu yang berguna, kemungkinan besar itu adalah sampah yang tidak berguna.
Matthis memandang Tino yang membeku.
"Hei, jangan abaikan gadis itu. Apa kau tidak merasa kasihan padanya?! Itulah yang kudapat karena membiarkan seorang pecandu Relik masuk."
"Hmm.... Uh-huh."
Krai mengeluarkan sesuatu dari peti dan melemparkannya ke Tino, yang menangkapnya dengan kedua tangan dan dengan takut-takut mengamatinya. Benda itu adalah cincin baja berwarna abu-abu, jelas murahan dan tidak berguna. Tino tampak bingung seperti biasanya.
Matthis mengangkat alisnya.
"Shooting Ring adalah sampah—sampah tak berharga yang menembakkan peluru sihir yang tidak menimbulkan kerusakan. Dan itu menghabiskan mana sebanyak aslinya. Pelurunya bahkan tidak cukup terang untuk membuat pengalihan." Katanya.
"Apa yang kamu ingin aku lakukan dengan ini, master?"
Bahkan Tino dapat mengetahui dengan mendengarkan bahwa Relik itu adalah sampah yang tidak berguna. Master tercintanya menjawab tanpa melihat ke atas dari peti.
"Aku agak sibuk. Mengapa kamu tidak berlatih menggunakan Shooting Ring itu. Mintalah Matthis mengajarimu." Kata Krai.
"Heeh?"
Seru Tino sambil hampir melompat berdiri.
Matthis menarik napas, siap meninggikan suaranya. Mata Krai tetap terpaku pada Relik bekas yang tampak seperti donat kayu yang dipilin.
"Oh, benar. Jika kamu terbiasa memakainya, aku akan memberimu yang tepat. Jika aku mempunyai sisa uang. Oke?" Kata Krai.
"Y-Ya, aku akan mencobanya!"
Seru Tino sambil berbalik memohon kepada Matthis.
"Tolong ajari aku!" Pinta Tino kepadanya.
"Uh, tentu. Aku punya target latihan di belakang. Apa kau yakin tentang ini?"
Matthis memandang dengan kasihan pada Tino yang tiba-tiba antusias, namun Tino tidak keberatan. Selama dia keluar dari sini dengan cincin yang dibelikan masternya itu pada kencan mereka, Tino tidak peduli apa yang harus dia tanggung. Tino tidak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Tino belum pernah menggunakan Shooting Ring sebelumnya, namun dia tahu itu adalah salah satu Relik yang paling mudah untuk ditangani. Itu berarti kegagalan bukanlah suatu pilihan. Segala rasa ketidakpuasan lenyap dari diri Tino seiring dengan berkobarnya semangat bersaingnya. Sambil melirik masternya, yang melanjutkan perburuan Reliknya itu, Tino mengepalkan tangannya.
***
Shooting Ring terbukti sulit untuk dipelajari. Tino tidak bisa merasakannya. Dia tahu bahwa mengendalikan Relik apapun adalah tugas yang sulit, namun dia tidak menyangka akan sesulit ini. Pada awalnya, Tino bahkan tidak bisa mengaktifkan cincinnya. Saat dia menatap dengan bingung pada cincin di jarinya, Matthis memandunya untuk menjalani prosesnya. Setelah satu jam berlatih dengan Relik itu, yang melelahkan di bawah pengawasan Matthis, Tino akhirnya melepaskan tembakan. Bola cahaya samar seperti kabut bulat muncul di ujung jari telunjuknya, terbang ke langit-langit, dan menghilang tanpa suara. Tino berdiri sambil berkedip ke langit-langit.
Matthis dengan sepenuh hati bertepuk tangan untuknya.
"Kerja bagus. Dibutuhkan bakat untuk menguasai Relik dalam satu jam, bahkan untuk Shooting Ring sederhana seperti itu. Mungkin Relik itu cocok untukmu."
"Terima kasih."
Kata Tino pelan. Dia belum pernah mengaktifkan Relik sebelumnya dalam hidupnya. Meskipun dia telah mendapatkan beberapa Relik dari reruntuhan, Tino tidak pernah berpikir untuk mencoba dan menggunakannya. Mentornya telah menyuruhnya untuk menunggu—bahwa dia harus melatih tubuh dan pikirannya sebelum berlatih menggunakan Relik.
"Liz-chan tidak cocok dengan Relik." Kata mentornya. "Lebih cepat untuk menghajar mereka. Liz-chan hampir tidak bisa membuatnya berfungsi. Liz-chan tidak dapat dibayangkan bagaimana Krai-chan bisa membawa lusinan benda itu ke mana-mana." Kata-kata itu belum pernah dirasakan Tino sampai sekarang. Tampaknya lebih cepat dan mudah untuk menendang wajah musuh dibandingkan menggunakan sesuatu seperti Shooting Ring ini. Relik melatih bagian lain dari dirinya, dan Shooting Ring adalah salah satu Relik yang lebih mudah digunakan. Tino dapat dengan mudah melihat bagaimana penguasaan setiap Relik membutuhkan waktu yang sangat lama dan mengapa seorang pemburu yang memiliki beberapa Relik akan sangat langka. Tino akan berhenti menggunakannya untuk sementara waktu.
Melihat Tino kelelahan hanya karena satu jam latihan, Matthis tertawa.
"Langkah selanjutnya adalah membidik sesuatu, tapi itu akan menjadi mudah karena kau sudah berhasil melakukannya. Kebanyakan Shooting Ring menembak lurus. Mau istirahat dulu?"
"Tidak. Aku akan terus melanjutkannya."
Tino tidak merasa ingin berlatih lebih jauh, namun dia punya tujuan yang ingin dicapai. Memaksa pikirannya yang lelah untuk terus maju, dia mengingat bagaimana masternya menggunakan Shooting Ring dan mengarahkan jarinya ke sasaran.
Saat itu, Tino merasakan tatapan mata masternya yang tercinta ke arahnya. Tino memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Dia tidak gugup. Seperti yang Matthis katakan, mencapai target seharusnya tidak sulit. Tino sudah memiliki keterampilan melempar belati yang luar biasa, serta penglihatan dan kesadaran spasial yang hebat. Menyerang target begitu dekat dengan pisau atau batu seharusnya mudah. Meskipun peluru sihir ditembakkan dengan mekanisme berbeda, bola yang terbang lurus membuatnya lebih mudah mengenai sasaran. Krai tidak merinci bahwa Tino hanya punya satu kesempatan, namun Tino sangat ingin membuktikan dirinya. Berkonsentrasi, Tino membuka matanya. Tino mengulurkan tangannya ke arah sasaran dan menembakkan peluru sihir. Pelurunya, yang bersinar cukup lembut hingga menghilang di udara tipis, terbang tepat ke sasarannya.
Saat Tino menghela napas lega, masternya memberi selamat dengan tepuk tangan.
"Kerja bagus, Tino. Aku tahu kamu bisa melakukannya."
Kata-kata sederhana itu cukup membuat hati Tino berdebar kencang, meski menurutnya dirinya sendiri, dia tidak bekerja terlalu keras, mempertimbangkan semua hal. Tino menahan senyumnya dan dengan dingin berkata,
"Ini semua berkat kakek Matthis."
Matthis mengerutkan wajahnya seolah dia malu, setelah memandu Tino menjalani proses selama satu jam penuh.
"Aku tidak melakukan apapun selain mengajarinya dasar-dasarnya. Sisanya adalah kerja kerasnya sendiri." Katanya.
Matthis bersikap rendah hati, namun Tino tahu dirinya tidak akan pernah bisa mengaktifkan Shooting Ring sendirian. Tino berhutang banyak padanya. Mungkin lain kali dia datang, dia akan membawa tanda terima kasihnya. Tino menatap masternya dengan penuh semangat. Dia telah melakukannya. Dia tidak hanya mengaktifkan Shooting Ring, namun dia juga mengenai target. Mengenai target yang lebih jauh juga sama mudahnya. Shooting Ring hadir dalam berbagai bentuk dan material. Beberapa berwarna perak; beberapa di antaranya emas; beberapa diwarnai atau berhiaskan berlian. Harga sangat bervariasi berdasarkan kemampuan cincin tersebut. Namun Tino tidak peduli dengan kemampuan Relik itu. Tino berharap masternya akan memilihkannya benda yang bagus, namun Tino akan dengan senang hati menerima apapun yang dipilihkan masternya itu untuknya. Sementara Tino menunggu kata selanjutnya, Krai menoleh ke Matthis sambil memegang kantong kulit kecil.
Umm, di mana cincinku, master?
Tino bertanya-tanya.
"Omong-omong, Matthis, aku menemukan ini di salah satu peti." Kata Krai.
"Hmm? Kau menemukan sesuatu seperti ini." Jawab Matthis.
Tino sudah tidak sabar untuk memilih cincinnya, namun dia cukup sabar untuk menuruti obsesi masternya itu saat ini. Segala sesuatu yang ada di dalam peti itu seharusnya adalah barang bekas, dan Matthis sangat memperhatikan Relik. Tino ragu apapun di sana memenuhi standar masternya.
"Itu adalah Magic Bag yang rusak. Aku tidak dapat menemukan cara untuk menggunakannya." Kata Matthis.
Alis Tino berkedut saat menyebutkan tipe Relik yang terkenal itu. Magic Bag memiliki kemampuan untuk memperluas ruang. Sederhananya, Magic Bag dapat menampung lebih banyak dari yang terlihat. Meskipun fitur itu sendiri dapat direplikasi dengan sihir modern, banyak Magic Bag yang ditemukan di reruntuhan harta karun dilengkapi dengan fitur tambahan. Magic Bag adalah Relik pertama yang terlintas di benak banyak orang ketika memikirkan sebuah benda yang dijual dengan harga sangat tinggi, bergantung pada kapasitas dan keunikannya. Relik seperti itu jarang ditemukan dan sangat berguna, menjadikannya sangat berharga. Tino dengan gugup bertanya-tanya seperti apa Magic Bag yang rusak itu. Terlihat malu, Matthis akhirnya mengaku.
"Kau hanya bisa memasukkan coklat ke dalamnya." Katanya.
Maaf? Apa?!
Untuk sesaat, Tino melupakan semua tentang cincinnya itu.
"Benda itu bisa memuat banyak coklat dan membuatnya tidak bertambat berat."
Kata Matthis, melanjutkan.
"Tapi lubangnya terlalu kecil untuk memuat sesuatu yang penting, dan kau tidak bisa mengeluarkan semuanya sekaligus.... Ya, benda itu pasti sampah. Benda itu mungkin adalah rekreasi tas permen anak-anak dari peradaban yang maju dalam sihir."
Benar-benar tumpukan sampah. Penemu asli tas itu pasti sangat kecewa. Pasti mereka mengira telah menemukan Magic Bag itu, namun ternyata tas itu adalah tempat menyimpan permen. Tas itu adalah karya yang aneh, namun Tino ragu bahkan masternya pun akan tertarik pada benda itu.
Krai, sebaliknya, memasang ekspresi muram.
"Apa benda ini hanya cocok menyimpan coklat?"
"Hanya coklat saja." Jawab Matthis.
"Tidak ada ruang untuk kue atau es krim?" Lanjut Krai.
"Tidak. Dengan Relik seperti ini, aku meluangkan waktu untuk memeriksanya. Benda itu hanya cocok untuk menyimpan coklat." Matthis tampak sangat kecewa.
Relik yang tidak berguna!
Tino menyaksikan dengan napas tertahan, dengan sabar menunggu hadiahnya. Krai berdiri sambil mengerang, dengan tangan bersilang.
Setelah beberapa waktu, Krai mengangguk dan berkata,
"Itu terdengar bagus."
Tidak mungkin, master....
Tino hanya bisa meratap.
***
"Suatu hari nanti kau akan masuk neraka, Krai." Kata Matthis.
"Mengapa?"
Inilah yang luar biasa! Aku tidak mengharapkan penemuan seperti itu dari peti-peti Relik bekas itu. Inilah inti dari berbelanja Relic!
Setelah mengabaikan kekesalan khas milik Matthis itu, Tino dan aku meninggalkan Magi’s Tale. Pengawalku mengikutiku dengan muram seperti hantu.
"Terima kasih atas pinjamannya, Tino. Aku akan segera membayarmu kembali."
"Tidak apa-apa, master. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa." Kata Tino.
Magic Bag tetaplah Magic Bag. Aku telah membawa uang tunai dalam jumlah yang cukup, namun itu masih belum cukup. Aku hanya kekurangan sedikit, jadi aku meminjam kekurangannya dari Tino. Untungnya, semuanya beres.
Sekarang setelah aku menghabiskan uangku, aku berencana untuk kembali ke rumah klan dan mengisi temuan baruku dengan tumpukan coklat.... Yah, setidaknya benda itu harus muat coklat batangan.
Ini sempurna. Malam yang luar biasa.
Saking semangatnya, bisa saja aku menari sepanjang perjalanan pulang, namun langkah Tino terasa berat. Tino pasti lelah karena berlatih menggunakan Shooting Ring. Aku sudah memberinya pujian, namun pujian lain tidak ada salahnya.
"Kerja bagus, Tino. Kamu dapat menggunakan Shooting Ring kapan saja sekarang."
"Ya.,.. meskipun aku tidak memilikinya. Aku tidak punya...."
Kata Tino dengan sangat muram dan sedih.
"Ada apa dengan suasana surammu itu, Tino? Yah, menurutku Shooting Ring tidak akan banyak gunanya bagimu. Relik itu tidak sekuat itu. Relik itu sebagian besar untuk pemburu yang tidak memiliki dampak kerusakan." Kataku.
"Aku.... Aku membencimu, master!"
Teriak Tino. Dengan itu, dia melesat pergi. Aku bahkan tidak punya waktu untuk memanggilnya. Tino pergi sebelum aku tahu apa yang terjadi. Tino bisa berlari cepat. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang Thief. Aku ditinggalkan sendirian di jalan, tercengang. Orang-orang yang lewat menatapku dengan kasihan karena seorang gadis lari dariku sambil menangis. Aku menyipitkan mataku ke arah Tino lari, namun aku tidak punya kesempatan untuk mengejarnya. Aku tidak bisa menggunakan Relik dengan baik, atau semacamnya. Tino biasanya tenang dan penurut, jadi sangat mengejutkan melihatnya seperti itu. Aku mengingat kembali kejadian hari itu dalam pikiranku.
Kupikir aku baru saja membawanya ke toko Relik sebagai pengawalku seperti biasa. Yah, kurasa aku sudah terlalu lama mengabaikannya. Kami tiba di toko pada siang hari, dan sekarang matahari hampir terbenam. Mengecewakannya mungkin juga bukan ide yang paling cerdas. Mungkin aku terlalu bergantung padanya karena dia selalu menjadi anak yang baik. Aku akan berhati-hati lain kali, dan aku akan meminta maaf padanya saat aku bertemu dengannya lagi. Aku bahkan mungkin akan menebus kesalahanku.
Setelah menjanjikan hal ini pada diriku sendiri, aku berjalan pulang sendirian saat matahari terbenam di kota.
***
Kemudian, saat Tino dikirim ke Sarang White Wolf, latihan Shooting Ring miliknya itu akan berguna, namun itu untuk cerita lainnya....