Chapter Five : The Grieving Soul

 

Rudolph Davout pernah memiliki keyakinan mutlak pada kemampuannya. Setelah bergabung dengan Ksatria Kekaisaran, dia berlatih dengan darah, keringat, dan air matanya untuk menguasai tombak. Kehebatannya hanya meningkat setelah dia beralih karier ke berburu harta karun dan menyerap banyak material mana. Dibandingkan dengan keterampilan barunya sebagai pemburu, keterampilan sebelumnya sebagai pengguna tombak teratas dalam Ordo Ksatria tidak ada apa-apanya jika dibandingkan.

Saat ditenagai oleh Rudolph, yang bisa mematahkan balok baja menjadi dua dengan tangan kosong, Relik tombak yang dia pegang, Soaring Dragoon, bisa menembus perisai logam tebal. Siapapun yang berhasil memblokir serangan itu akan terkoyak oleh hembusan angin yang dihasilkan oleh kemampuan Relik tersebut. Meski begitu, sebagai mantan Ksatria, keahlian Rudolph yang sebenarnya adalah pertahanan. Armornya, meskipun bukan Relik, dapat bertahan tanpa tergores terhadap serangan sebagian besar phantom. Dikombinasikan dengan perisai di tangan kirinya, Rudolph adalah tembok besi. Dia yakin dirinya bahkan bisa menandingi pertahanan mutlak legendaris dari Grieving Soul. Di Level 5, Rudolph adalah pemburu yang relatif tidak berpengalaman, namun dia berada di jalur yang tepat untuk mendapatkan julukan itu.

 

Meskipun anggota party-nya tidak setara dengannya, mereka semua adalah pemburu berbakat. Kepercayaan diri Rudolphlah yang membuatnya menerima misi ini. Karena Sarang White Wolf dua level lebih rendah dari daftar reruntuhan harta karun mereka yang biasa mereka masuki, dia tidak merasa khawatir dengan tugas mereka. Party tersebut juga telah mempersiapkan diri dengan matang, meskipun level reruntuhan itu jauh lebih rendah dari biasanya. Pada awalnya, perjalanan berjalan mulus, dengan Rudolph dan party-nya mengatasi phantom demi phantom. Kemudian, tiga hari kemudian, mereka melihat adanya perubahan. Phantom yang muncul di jalur mereka tiba-tiba menjadi lebih kuat. Perubahannya hampir tidak terlihat pada awalnya, namun perubahan itu segera menjadi jauh lebih mengancam daripada apapun yang diharapkan dari Sarang White Wolf. Malah, party Rudooph terlalu kuat. Bahkan dengan satu orang yang kalah, mereka benar-benar mengungguli para phantom dari sarang yang baru dan lebih baik. Kekhawatiran awal mereka dengan cepat mereda. Betapapun anehnya kekuatan para phantom untuk tumbuh dengan cepat, party tersebut tidak peduli selama mereka masih bisa menangani para binatang buas itu.

 

Ksatria serigala bertopeng tengkorak dengan bulu perak telah geram dengan mereka, namun bahkan para serigala itu tidak memberikan banyak tantangan terhadap Rudolph, Relik, dan rekan-rekannya. Pada titik ini, tidak dapat disangkal betapa tidak normalnya keadaan mereka. Tetap saja, party tersebut masih memiliki banyak kekuatan yang tersisa, dengan hanya satu hari tersisa dalam rencana penjelajahan awal mereka.  Rudolph telah mempertimbangkan pilihannya namun segera memutuskan untuk melanjutkan. Pada hari yang seharusnya menjadi hari terakhir mereka di reruntuhan, Rudolph menemui sesuatu yang bahkan lebih aneh—seorang Ksatria serigala pendek yang mengenakan topeng tengkorak penuh : inkarnasi dari dendam Silver Moon terhadap kemanusiaan.

 

***

 

Setelah semua orang sadar dan cukup istirahat, kami memulai perjalanan pulang kami yang berbahaya. Bahkan dalam perang, mundurnya pasukan adalah saat di mana korban paling banyak terjadi. Dengan separuh dari kami terluka dan reruntuhan harta karun jelas-jelas rusak, nasib kami berada di luar kendali kami. Greg-sama sedang mengangkat dua pemburu yang lebih besar, bocah Gilbert salah satu pemburu laki-laki, dan Rhuda gadis paling ringan di party Rudolph. Para pemburu yang kami selamatkan mungkin bisa berjalan sendiri jika dipaksakan, namun lebih baik menyimpan kekuatan mereka ketika mereka benar-benar membutuhkannya. Karena Rudolph memiliki peluang terbaik untuk berguna dalam pertarungan, aku menghabiskan setiap tetes mana di Healing Faith untuk membuatnya berjalan sendiri. Dia jauh dari keadaan normal namun berhasil melangkah maju dengan armornya yang besar dan kuat, menggunakan tombaknya sebagai tongkat. Kami berjalan di bawah pengawasan Tino. Karena aku tidak punya kekuatan atau daya tahan, aku benar-benar beban, meskipun aku memiliki level tertinggi di antara kami semua. Meskipun dia tampak seperti berada di ambang pingsan lagi, Rudolph berbicara dengan jelas.

 

"Jika boss itu muncul, aku akan menahannya. Aku akan mengulur waktu sebanyak yang aku bisa." Katanya.

 

"Kami tidak akan meninggalkanmu."

Jawab Tino, terdengar semakin seperti seorang pemburu sejati. Rudolph mendengus dengan menyesal, tidak mengakui tanggapannya.

 

"Jaga mereka. Bawa mereka ke Zebrudia. Tolong...." Kata Rudolph.

Jika diberi pilihan antara bakat dan keberuntungan, pemburu mana pun akan memilih yang kedua. Seringkali pemburu level tinggi yang diberkati dengan bakat menghilang dalam semalam. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dilakukan Rudolph dan party-nya di sarang ini, namun sepertinya mereka sudah memainkannya dengan cukup aman. Nasib buruk telah membuat mereka terlibat dalam kekacauan ini.

 

Kemungkinannya besar menimpa kami. Bahkan jika kami bertemu dengan salah satu serigala perak raksasa itu—belum lagi serigala yang bertopeng tengkorak penuh—kemungkinannya kecil untuk kami semua bisa keluar hidup-hidup. Rudolph pasti lebih menyadari fakta itu dibandingkan orang lain. Tim penyelamat yang kelelahan selalu menjadi orang pertama yang tertinggal. Kebanyakan pemburu tidak mencapai Level 5 tanpa harus menyaksikan beberapa rekannya mati.

"Jangan khawatir." Kata Tino singkat.

 

"Master tidak akan membiarkan apapun terjadi pada kita." Lanjutnya.

Besarnya kepercayaan yang Tino berikan padaku sungguh luar biasa hebat. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah lari. Night Hiker adalah kendaraan satu orang, namun aku mungkin bisa terbang membawa seseorang. Untungnya, Tino cukup kecil untuk aku bawa. Skenario terburuknya, aku siap untuk meninggalkan tim penyelamat dan anggota party Tino lainnya dan terbang keluar dari sana. Tentunya, aku akan berusaha mengeluarkan semua orang hidup-hidup. Aku akan berusaha semaksimal mungkin, namun prioritasku juga sudah jelas. Rudolph menoleh padaku dan membungkuk rendah. Namun berdoa kepadaku tidak akan menghasilkan apa-apa. Aku ini bukan dewa. Rudolph terus berbicara saat kami melintasi jalan sempit, seolah-olah dia sedang mencoba mengalihkan perhatian dari teror yang mengintai di tikungan.

 

"Kami hanya bertahan karena mereka mempermainkan kami." Katanya.

 

"Mempermainkan kalian?" Bocah Gilbert bertanya.

 

"Phantom itu memiliki pedang, dan phantom itu sangat mahir menggunakannya. Pedangnya itu menangkis serangan terbaikku. Setiap serangannya merobek perisai, armor, daging, dan tulangku. Tidak ada keraguan tentang itu; jika phantom itu menginginkan kami mati, kami akan mati dalam hitungan detik. Phantom ini melukai kami semua dan meninggalkan kami, kemungkinan besar akan melemahkan kami dan menyiksa kami sampai mati. Atau phantom itu hanya ingin membuat kami mati kelaparan. Phantom itu lebih pintar, lebih kuat, dan lebih kejam dari phantom mana pun yang pernah aku lihat." Kata Rudolph, menceritakan itu.

Bahkan bocah Gilbert mendengarkan dengan ekspresi muram. Phantom menjadi lebih kuat dan lebih cerdas jika semakin banyak mana yang mereka ambil. Di reruntuhan level rendah, phantom hampir tidak bisa dibedakan dari binatang buas, namun di level atas, bukan hal yang aneh bagi mereka untuk memahami bahasa kita. Namun, phantom yang seperti itu tidak mungkin muncul di reruntuhan seperti ini.

 

"Aku pernah ke reruntuhan Level 6 sekali saja." Lanjut Rudolph.

 

"Hahh, aku berbalik dan lari dari tempat bahkan tanpa menyelesaikan misinya. Phantom yang kami lihat di sini jauh melampaui apapun yang aku lihat saat itu, hal itu tidak diragukan lagi." Terusnya.

Itu konyol. Tidak mungkin reruntuhan Level 3 menjadi jauh lebih sulit karena sedikit perubahan lingkungan. Phantom yang kuat bisa saja muncul melalui mutasi, namun aku belum pernah mendengar phantom yang lebih menakutkan dari yang seharusnya.

 

"Aku tahu ini sulit dipercaya." Kata Rudolph.

 

"Tapi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kami tidak punya peluang. Teknik berpedangnya sangat kuat, bahkan bisa...."

Wajah Rudolph berkerut ketakutan dan tubuhnya sedikit gemetar.

 

"Teknik berpedangnya itu bahkan bisa menandingi Protean Sword." Lanjutnya.

 

"Protean Sword?!"

Greg-sama sangat terkejut, dengan mata melebar. Tidak ada seorang Swordman yang belum pernah mendengar tentang julukan orang itu. Bocah Gilbert mendengarkan dengan penuh perhatian. Sementara itu, Tino terus melirik ke arahku. Tino tidak terlalu khawatir. Protean Sword adalah julukan dari seorang Swordman yang dikabarkan sebagai yang terbaik di Ibukota. Dia telah mempelajari teknik berpedang tradisional di bawah bimbingan Sword Saint dan menggunakan dasar itu untuk mempelajari hampir semua teknik berpedang yang ada. Swordman yang ahli ini (Alias "Orang aneh" yang aku kenal) tidak lain adalah Luke Sykol—anggota Grieving Soul. Sungguh lucu sekali.

 

Aku pasti satu-satunya orang di sana yang tidak terguncang oleh penyebutan julukan itu. Berbeda denganku, gelar Luke bukan sekadar hiasan. Dalam pertarungan pedang, dia benar-benar yang terbaik dari yang terbaik. Bahkan Ark tidak akan menjadi tandingan Luke. Aku menolak untuk percaya bahwa phantom yang disebutkan Rudolph ini mendekati level Luke. Namun, jika phamtom seperti itu memang ada, Luke pasti sudah menghabisinya. Meskipun demikian, Rudolph tampak sangat bersungguh-sungguh. Ketakutannya mungkin ikut berperan, namun setidaknya dia meyakinkanku bahwa phantom itu sangat kuat. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menghindari phantom itu. Tidak diragukan lagi Tino tidak bisa mengatasinya.

 

Sialan. Aku tahu aku seharusnya menunggu Ark.

Pikirku. Raungan serigala bergema berulang kali dari luar lorong, hampir membuatku terkena serangan jantung setiap saat. Lebih buruk lagi, raungannya di dinding sarang membuat mustahil untuk menghitung jarak antara kami dan mereka—tidak seperti aku bisa melakukan hal semacam itu. Andai saja Red Alert bisa menangkap para serigala menakutkan di sekitar, namun Relic itu cukup terpukul dan meleset.

 

"Singkatnya." Rudolph melanjutkan.

 

"Kurang dari setengah ukuran Ksatria serigala bertopeng setengah dan jauh lebih kuat dari mereka." Terusnya.

 

Greg-sama menghela napas panjang.

"Bukankah ini hari sial kita?"

 

Aku sendiri tidak bisa mengatakannya dengan lebih baik. Aku ingin sekali minum-minum bersama Greg-sama itu—tentunya, jika kita berhasil melewati ini. Rudolph telah mengalahkan beberapa phantom dalam perjalanannya ke dalam, namun party tersebut tidak membiarkan phantom yang tidak terduga itu mengguncang mereka. Rupanya, mereka telah berurusan dengan beberapa phantom yang bertopeng setengah dan baru saja bersiap untuk pergi ketika phantom yang lebih pendek menyerang. Mengingat tidak adanya jejak apapun di sini, mereka akan ditemukan tewas jika kami tidak datang. Orang yang dibantu oleh bocah Gilbert bergumam seolah mengigau.

"Rudolph datang sejauh ini untukku—"

 

"Helian." Rudolph menggeram.

Dari kedengarannya, party Rudolph punya barang bawaannya sendiri. Apapun bebannya, kedengarannya menyedihkan. Aku tidak dapat menangani hal seperti ini lagi saat ini, jadi aku mengangkat bahuku.

 

"Kau bisa membicarakannya sesukamu—setelah kita kembali ke Ibukota." Kataku.

 

"B-Benar." Jawab Rudolph.

 

"Master memang luar biasa. Master itu maha tahu. Master itu dewa." Kata Tino.

Jika aku itu dewa, aku akan menghancurkan reruntuhan harta karun ini dengan guntur dan kilat dan membakarnya hingga rata dengan tanah. Kami melanjutkan perjalanan dengan lamban, secepat yang bisa dilakukan tim penyelamat. Mungkin kami sudah setengah jalan kembali ke pintu masuk. Pada saat itu, Greg-sama mengerutkan alisnya dan mengungkapkan apa yang kami semua pikirkan.

 

"Ini tidak bagus, kan?" Kata Greg-sama.

 

"Apa yang sedang terjadi?"

Bocah Gilbert bertanya dengan gugup. Raungan itu semakin sering terjadi. Saat kami memulai perjalanan menuju pintu keluar, kami berhenti setiap kali mendengar suara lolongan. Sekarang, kami menghabiskan lebih banyak waktu berjalan di tengah gema lolongan daripada dalam keheningan. Sesuatu sedang terjadi—kami tidak tahu apa.

 

Tujuh belas Safety Ring-ku telah dikurangi menjadi lima. Itu berarti aku akan mati pada serangan nomor enam, dan aku hampir tidak punya Relik yang bisa digunakan. Hounding Chain-ku belum kembali. Shooting Ring-ku masih bisa menembak, namun para serigala itu sudah melihat tipuannya. Menembakkan dengan cicin itu lagi tidak akan memperlambat para phantom itu. Aku memang punya satu benda yang berisi sejumlah muatan, namun adikku telah mengisinya dengan mantra yang akan meratakan seluruh area. Tentunya, itu adalah pilihan terakhirku. Aku hanya punya satu kesempatan, dan mantra AOE kurang kuat dibandingkan dengan mantra yang fokus pada satu target. Aku ragu apa itu akan berdampak pada perkiraan phantom Level 8.

Apa aku mengacau? Aku merasa seperti aku mengacau. Bukankah aku membawa Relik yang tepat untuk hal itu?

 

Semuanya tidak terduga. Aku tidak menyangka reruntuhan ini memiliki phantom yang tidak dapat ditangani oleh Tino, dan party Rudolph juga tidak dapat bertahan. Merupakan kejutan yang menyenangkan bahwa teman-teman satu party Tino bertarung lebih baik dari yang aku duga, namun setiap kejutan lainnya pada hari ini juga menyebalkan. Terlebih lagi, aku telah datang ke sini dan kehilangan sebuah Relik. Mungkin karma sedang bekerja. Saat itu, Tino berhenti di depanku.

 

"M-Master, sesuatu yang besar akan datang."

Tino tampak sangat lemah, dipenuhi rasa gugup yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang kemudian membuatku punya naluri melindungi yang kuat.

 

Bocah Gilbert tersadar, menurunkan orang yang diselamatkan dari bahunya dan meletakkannya di dekat dinding. Rudolph mengangkat tombaknya, keringat dingin mengucur di wajahnya yang kasar. Semua orang siap bertarung. Aku bisa merasakan ketegangan di udara mengencang di sekitar bahuku. Aku tidak punya pilihan. Aku menarik Tino ke belakangku dan berdiri di hadapannya. Jangan biarkan siapapun mengatakan kalua aku tidak punya sedikit pun harga diri.

"M-Master?!" Kata Tino.

 

"Mundur. Ini berbahaya." Kataku.

Baiklah. Aku akan menunjukkan kepada mereka rudal manusia terbaik yang pernah ada. Night Hiker hampir kehabisan mana, namun aku yakin Relik itu cukup untuk mendorong diriku maju. Bahkan para iblis perak itu tidak menyangka ada manusia yang terbang ke arah mereka dengan kecepatan sangat tinggi, jadi aku punya satu kesempatan..... kurasa. Aku pernah menghancurkan armor mereka untuk pertama kalinya, namun dengan keajaiban, aku bisa menghancurkan kepala mereka. Tentunya, serangan itu akan menghabiskan salah satu nyawaku, jadi mau bagaimana lagi.

 

Aku sangat takut, detak jantungku mulai melambat. Rupanya itulah yang terjadi. Terlintas dalam benakku, jika phantom ini sekuat Luke, aku akan dibantai sebelum aku bisa meneriakkan adios(selamat jalan). Aku menyipitkan mataku ke lorong yang remang-remang dan ke tikungan di depan. Kemudian sosok itu muncul. Rudolph tersentak. Dia berada beberapa langkah di belakangku, tak bisa berkata-kata dan berwajah pucat karena ketakutan. Di depan kami berdiri sesosok phantom humanoid, seluruh wajahnya tertutup tengkorak manusia. Tingginya hanya setengah dari Ksatria serigala, kira-kira setinggiku, namun phantom itu memancarkan aura yang sangat mengintimidasi sehingga menghadapi para Ksatria serigala itu tampak seperti permainan anak-anak dibandingkan dengan menghadapi ini. Penampilan phantom tersebut juga jauh lebih mirip manusia, terutama pada bentuk kepala dan rambutnya, meskipun jika dilihat dari samping, phantom itu tampak memiliki telinga taring. Sosok itu mundur perlahan, dengan pedang hitam pekat di tangannya.

 

"Makhluk apa itu?" Bocah Gilbert berbicara, dengan gemetar.

Phantom itu kuat. Memang sangat kuat. Red Alert mulai memanas. Bahkan jika aku tahu betapa kuatnya phantom ini, bocah Gilbert pasti merasakannya di tulangnya. Tidak ada keraguan betapa mematikannya ancaman yang ditimbulkan oleh sosok ini.

 

Kemudian tiket menuju di peti mati kami yang lainnya tiba : siluet seukuran manusia lainnya. Yang ini terlihat lebih periang, memakai tengkorak yang sedang tersenyum. Sosok yang ini tidak memakai armornya namun mengenakan sepasang sepatu bot setinggi lutut berwarna metalik. Saat sosok itu dengan santai mendekati phantom pertama, aku melihat sepasang Relik familiar di genggamannya : Hounding Chain dan Silent Air. Aku hanya bisa berkedip dan menatapnya saat aku menatap kedua Relik itu.

"Dua dari mereka?!" Greg-sama tersentak.

 

"Tidak.... apa yang akan kita lakukan, Krai?"

Rhuda bertanya, semua harapan hilang dari nada bicaranya. Bahkan Rudolph, yang terkuat di antara kami, membeku saat menghadapi musuh ini. Namun Tino menunjukkan reaksi yang paling mendalam. Dia berteriak, hampir menangis, dan memeluk lenganku dengan ketakutan.

 

"M-Master. Tolong bantu aku. Aku tidak ingin mati. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku akan mencoba yang terbaik. Aku akan melakukan apa saja. Tolong, apapun kecuali itu. Tolong aku, master." Pinta Tino.

Kepanikan Tino, yang sangat kontras dengan ketenangannya yang biasa, membuat anggota party sementaranya dan Rudolph tercengang. Dengan kelambatan yang menakutkan, tengkorak yang tersenyum itu menoleh ke arahku. Matanya, tidak seperti mata Ksatria serigala, sama gelapnya dengan jurang maut; lengkungan giginya yang melengkung membentuk senyuman aneh yang menyesali keadaan dunia. Aku tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Aku tidak dapat mempercayai mataku. Aku mengacak-acak rambut Tino untuk menenangkannya, namun membuat semua orang berada di ambang keputusasaan. Lalu aku mengatakan hal pertama yang terlintas dalam pikiranku.

 

"Hei, itu Liz." Kataku.

Apa yang dia lakukan di sini?

 

***

 

Kelimpahan material mana yang sangat besar menjadikan keberadaan Sarang White Wolf. Pikirannya terbangun; sinapsis ditembakkan di otaknya, dan dia memperoleh kesadaran. Emosi pertama yang dialami bukanlah kebencian, melainkan kegembiraan.

Kelima indranya mulai bekerja, mengirimkan informasi yang berlebihan ke otaknya. Dia bisa melihat jauh ke dalam kegelapan dan mengidentifikasi suara di antara gema gua yang jauh. Kekuatan mengalir melalui kerangkanya, dan dia sudah tahu bagaimana cara menggunakan pedang di ikat pinggangnya dengan mahir. Makhluk tersebut, secara metaforis, dapat digambarkan sebagai raja Silver Moon : produk dari kebencian dan penghalaan spesies yang tak terbatas terhadap umat manusia. Raja sangat mirip dengan manusia namun sangat berbeda dengan manusia. Namun, dia masih memakai tengkorak manusia di moncongnya—perwujudan identitasnya sebagai serigala.

Kelimpahan material mana yang terkumpul di sarang merekonstruksi Red Moon menjadi makhluk yang lebih tinggi. Banyak Ksatria serigala perak muncul, cerdas dan memegang senjata. Mereka adalah antek-anteknya : para Ksatria setia dan kuat yang mengabdi pada raja mereka. Lebih dari satu dekade setelah setiap jejak Silver Moon kecuali kutukan dendam mereka punah, sarang tersebut telah kembali ke keadaan semula. Jika Silver Moon sekuat para phantom ini, mereka tidak akan pernah diburu. Para serigala ini kuat. Lima pemburu yang baru-baru ini menyerbu sarang lebih mengancam daripada mereka yang datang untuk memburu Silver Moon demi keuntungan, namun mereka bukanlah tandingan para phantom. Bahkan sekelompok manusia terkuat sekalipun, yang memiliki tombak, terbukti tidak menjadi ancaman terhadap kawanan serigala perak. Setiap serangan dengan tombaknya pasti cukup kuat untuk menembus armor mereka, namun tombak itu bahkan belum mengenai sang raja.

 

Raja para serigala mengungguli para pemburu—mengungguli seluruh umat manusia—dalam hal kekuatan, ketangkasan, dan bahkan kecerdasan. Namun tidak seperti serigala lainnya, raja tidak memiliki rasa permusuhan terhadap manusia. Yang dirasakan hanyalah kegembiraan. Dia menikmati setiap momen hiburan yang disediakan manusia saat mereka berjuang mati-matian melawan musuh yang tak dapat diatasi, dan menikmati kegembiraan dari semua harapan yang terkuras dari ekspresi mereka. Raja sangat menikmati perburuannya sehingga membiarkan para pemburu "Melarikan diri" ke dalam lorong tanpa jalan keluar. Sarang White Wolf adalah tempat berburu. Hanya ada satu jalan keluar dari gua bagi mangsa menyedihkan yang berkeliaran di dalamnya : kematian. Tidak ada yang lolos dari pedang raja. Penderitaan para penyusup bodoh—membunuh mereka, menyudutkan mereka, menggantungkan harapan untuk melarikan diri di hadapan mereka hanya untuk mengambilnya—akan meredakan kekosongan yang menyakitkan dalam diri para serigala. Pada akhirnya, mereka akan memperluas sarang mereka, namun hanya ketika jumlah mereka bertambah. Raja dengan sengaja menjauh dari ruang boss, tempat para pemburu pasti akan kembali, dan sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang ketika mendengar lolongan kesakitan dari kerabatnya. Kemudian dia bertatap muka dengan salah satu anggota Grieving Soul yang memakai topeng tengkorak tertawa.

 

***

 

Itu seperti angin kencang, bayangan, sambaran petir, semburan api—atau badai yang mengamuk.

 

"Hah?"

Bocah Gilbert berbicara dengan suara yang terdengar bodoh. Aku tidak berkedip atau semacamnya, namun sepertinya phantom boss itu telah diledakkan. Pada saat boss itu memantul di tanah dan berhenti, orang dengan topeng tengkorak yang tertawa itu sudah tampak tepat di depan mataku.

 

"Apa.....?!"

Di sampingku, mata Rudolph terbuka dengan lebar. Gagang tombaknya bergemerincing di tanah. Dia memiliki tatapan kosong yang mengatakan dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada yang bisa mengikuti apa yang telah terjadi. Sebelum para pemburu berpengalaman di sisiku dapat mengangkat satu jari pun di antara mereka, orang dengan topeng tengkorak yang tertawa itu meluncur lebih dekat ke arahku, rambut merah muda cerah tergerai di balik topengnya.

 

Suara sopran imut keluar dari belakang topeng itu, sedikit teredam.

"Liz-chan hanya ingin memastikan sesuatu, Krai-chan."

 

Tino, yang masih memegang erat lenganku, berusaha bersembunyi di belakangku. Orang dengan topeng tengkorak yang tertawa itu tidak memedulikannya namun menggunakan ibu jarinya untuk menunjukkan boss di ujung lain terowongan.

"Apa itu bukan rekrutan baru kita?" Tanyanya.

 

Suara Liz tetap santai seperti biasanya, dan aku merasa lega karena dia bertingkah sama seperti biasanya. Raja serigala itu bangkit dengan satu lutut lalu berdiri, menatap tajam ke belakang si pemakai topeng tengkorak yang tertawa itu. Aku tentunya tidak ingat pernah mengenal manusia serigala yang kejam seperti itu, meskipun aku mengenal banyak manusia yang jauh lebih menakutkan daripada makhluk itu. Setiap pemburu kecuali aku lebih takut pada pemakai topeng tengkorak yang tertawa itu. Yang terburuk adalah Tino. Aku memaksakan diri untuk tersenyum.

"Tidak. Mari kita perbaiki kesalahanpahaman itu, oke?"

 

"Itulah yang Liz-chan pikir. Fiuh. Menurut Liz-chan itu bukan itu masalahnya, tapi itu memakai topeng dan sebagainya. Oh, Liz-chan menemukan ini. Benda ini milik Krai-chan, benar?"

Liz bertanya dengan nada manis yang nyaris menakutkan. Dengan itu, dia membawakan Silent Air dan Hounding Chain. Dia sedang kesal. Hal itu tidak diragukan lagi. Liz secara dramatis meraih topeng itu dan melepasnya. Tidak ada orang lain yang bergerak sedikit pun. Bahkan boss serigala yang berdiri diam di belakangnya. Rambut panjang berwarna merah muda tergerai bebas di udara. Kulitnya yang memerah, bibirnya yang kecil, hidungnya yang simetris, dan yang terpenting, matanya yang cemerlang dan berwarna persik membentuk gambaran yang menggemaskan, namun aku bisa merasakan panasnya ledakan yang akan terjadi di bawah tampilannya itu.

 

Rhuda menelan ludahnya.

"Seorang manusia? Apa yang sedang terjadi?"

 

"Tidak mungkin!"

Greg-sama mundur selangkah, takut dengan apa yang dilihatnya itu. Karena dia mengenali Liz, mungkin Great-sama adalah penggemarnya. Pada titik ini, Liz sepertinya memperhatikan para pemburu lainnya untuk pertama kalinya.

 

"Apa? Jangan bilang kalian tidak tahu siapa kami?"

Mata Liz bersinar berbahaya, dan senyuman palsunya tidak menyembunyikan apapun.

 

"Kalian para hama rendahan menyebut diri kalian itu pemburu? Seriusan? Kalian masih tidak tahu, meskipun Krai-chan ada di sini? Liz-chan tidak percaya ini. Benar-benar menyebalkan. Liz-chan tidak berpikir ada orang tersisa di Ibukota yang tidak mengenal Grieving Soul."

Liz membiarkan topeng tengkorak yang tertawa, simbol Grieving Soul, jatuh ke tanah dan tertawa dengan meremehkan.

 

***

 

Itu seperti angin kencang, bayangan, sambaran petir, semburan api—atau badai yang mengamuk. Setiap elemen mewakili Liz Smart. Tubuh mungilnya penuh dengan energi seperti matahari itu sendiri. Pertanyaannya adalah, mengapa dia ada di sini? Sejauh yang aku tahu, ini pasti dia dari wajah dan sikapnya. Pikiranku penuh dengan pertanyaan, dan yang lain hanya terdiam.

 

"Maafkan Liz-chan, Krai-chan."

Bisik Liz tanpa sedikit pun ketulusan. Bibirnya bergetar seolah dia berusaha menahan luapan emosi. Dia hampir tampak seperti akan menangis, namun aku tahu lebih baik untuk tidak mengharapkannya.

 

"Liz-chanmu ini sungguh sedih. Liz-chan berlari kembali setelah menyelesaikan Night Palace, tapi Krai-chan tidak ada di sana. Lalu Liz-chan dengar Krai-chan pergi ke reruntuhan harta karun...." Kata-katanya gagal dimengerti.

Liz mulai memerah, matanya menyala-nyala dengan nyala api. Udara di sekelilingnya terdistorsi oleh panas. Panas yang muncul dari Liz mulai meresap ke dalam dinginnya udara gua. Pergi ke reruntuhan harta karun itu pasti membuatnya gusar. Merupakan hal yang lumrah jika material mana dengan kepadatan tinggi membuat pemburu mengalami perubahan suasana hati yang drastis. Meski begitu, mau tak mau aku berpikir bagaimana Night Palace tidak berada dalam jarak dekat dari tempat kami berada.

 

"Liz-chan sedih. Sangat sedih. Dan sangat, sangat malu!"

Liz menggeram. Alisnya berkerut; matanya menyipit; dan dia mengertakkan giginya.

 

"Aku mempercayaimu. 'Pasti ada suatu kesalahan'. Liz-chan pikir. Liz-chan pikir Krai-chanku bersikap terlalu protektif lagi. Liz-chan tidak pernah menyangka murid Liz-chan akan membuat masalah kepada Krai-chanku seperti ini!"

Semua pemburu terguncang melihat raut wajah Liz. Tino tampak di ambang kematian. Aku bisa merasakan giginya bergemeletuk melalui cengkeramannya yang erat di punggungku. Bicara tentang membesar-besarkannya secara tidak proporsional. Ini tidak seperti Liz akan membunuhnya.

 

"A-Apa-apaan ini—"

Bocah Gilbert mencoba berkata, namun saat kata-kata itu keluar dari bibirnya, bocah itu terhempas ke dinding.

 

"Hah? Diamlah brengsek! Tidak bisakah kau melihat Liz-chan sedang meminta maaf sekarang?!" Kata Liz.