Chapter 3 : At the End of Day of the Blessed Birth for "Lastiara"

 

"Baiklah. Waktunya telah tiba."

Suara Hine-san menyadarkanku dari mimpiku. Kami berada di depan jembatan menuju Katedral. Mungkin karena kilas balik berlalu begitu cepat, aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi di dalamnya kecuali potongan-potongan adegan itu. Satu-satunya hal yang pasti adalah perasaan kalau aku akan mempercayainya.

 

"Ah, uh, ok!"

Aku mengejarnya dan bergerak ke sampingnya, mencuri pandang ke wajahnya dari samping. Apa yang aku lihat di wajahnya yang tampan dengan senyuman.

 

Melalui energi sihirnya, aku bisa mengintip sedikit ke dalam keadaan yang memotivasi dirinya, tapi itu tidak berarti aku belum mengerti arti sebenarnya dari senyumannya. Aku hanya menyadari, samar-samar, kalau ingatan lama memicunya.

Kami melewati kerumunan yang menunggu upacara dan melangkah ke jembatan. Setelah kami melewati garis itu, para Ksatria penjaga bergegas ke arah kami, dan sebagai tanggapan, kami mulai merapalkan mantra kami.

 

"Spellcast : Dimension : Calculash. Spellcast : Frezee."

 

"Wynd Breath. Wynd Draw."

Aku mengerahkan bola sihir pendeteksi beberapa meter dalam radius, memadukan Dimension dengan sihir esku. Itulah persiapan yang aku butuhkan untuk dapat meluncurkan sihir baruku kapan saja. Udara dingin mulai keluar dari tubuhku, dan tanah yang kupijak membeku.

 

Hine-san, sementara itu, membuat angin melilit di sekelilingnya. Dia juga menyebarkan gumpalan angin yang tak terhitung jumlahnya di sekitar kami. Saat melihat itu, para Ksatria yang mendekat memucat. Salah satu dari mereka meninggikan suaranya kepada Hine-san.

 

"Hine.... Hine-san, apa yang sebenarnya—"

 

"Aku minta maaf. Aku sedang terburu-buru."

Hine-san memindahkan salah satu gumpalan angin, meniup Ksatria itu menjauh dari tepian. Ksatria itu terbang ke samping dan jatuh dari jembatan gantung. Lalu datang suara percikan air.

 

Ekspresi Ksatria lainnya hampir tidak berubah setelah pertunjukan itu. Mereka mencoba menghunus pedang yang tersarung di pinggang mereka, tapi sekarang giliranku. Sebelum mereka bisa, aku menutup celah dan mengurangi salah satu dari mereka dengan seluruh kekuatanku. Ksatria itu bergabung dengan yang sebelumnya di sungai. Yang lain akhirnya menghunus pedang mereka dan berusaha untuk mencegat kami yang datang entah dari mana untuk melakukan tindakan kekerasan brutal di depan Katedral suci mereka.

Mereka semua sangat lambat. Mereka bahkan tidak punya waktu untuk mengangkat pedang mereka. Gumpalan angin Hine-san terbang dengan liar, dan para Ksatria tercebur ke sungai satu demi satu. Aku melemparkan orang yang lolos dari serangan angin kencang Hine-san, dan Ksatria itu juga bertemu rekan-rekannya di sana.

 

Jeritan bernada tinggi terdengar di belakang kami. Tidak diragukan lagi seseorang di kerumunan berteriak sebagai tanggapan atas tindakan pengecut kami. Tapi rekanku tetap tenang.

 

"Ayo kita lari." Katanya.

 

"Tinggalkan musuh yang ada di dataran tinggi kepadaku. Aku tidak akan membiarkan mereka membunyikan bel atau mengirim sinyal asap apapun."

 

"Oke."

 

Para Ksatria yang menunggu di belakang jembatan menyadari ketidakteraturan itu, dan mereka mengerumuni kami seperti begitu banyak semut. Hine-san dan aku berlari ke arah mereka tanpa perlu berunding. Aku merasakan kekuatan sihirnya membengkak saat dia berlari di sampingku. Salah satu cincin yang dia kenakan retak, mengeluarkan mantra yang sama seperti sebelumnya.

 

"Sehr Wynd!"

Angin kencang yang ditembakkan dari tangannya menghempaskan sebagian dari Ksatria yang berkerumun itu. Aku berlari melewati celah yang telah dibuat oleh badai itu dan merasakan kekuatan sihirnya semakin membengkak.

 

"Pergilah, nak! Sehr Wynd!"

Namun lebih banyak angin badai. Hembusan angin yang mengamuk menyerempet pipiku sebelum menghempaskan para Ksatria di depanku dan menghancurkan gerbang kisi di depan. Serangan itu telah membuka jalan menuju halaman interior Katedral.

 

"Kau ingin aku pergi tanpamu?!"

 

"Ya! Dengarkan aku—Kaulah yang akan menyelamatkannya! Kau dapat membiarkanku menangani semua orang di belakangmu!"

 

Hine-san bersikeras kalau akulah orangnya. Aku lebih suka dia tidak terpaku pada hal itu, namun matanya begitu serius dan bertekad sehingga aku tahu dia tidak akan pernah mundur bagaimanapun caranya. Didorong oleh kekuatan kehendaknya, aku mengangguk.