Chapter 1 : The Dragonnewt in the Moonlight
Keheningan hutan darkwood itu bagaikan penghalang yang mencegah siapapun untuk masuk. Namun, di tengah-tengahnya meletus gemuruh yang menggelegar, hiruk-pikuk angin yang bertiup kencang, dan cahaya yang begitu terang sehingga akan membakar mata seseorang hanya untuk melihatnya.
Tepat setelah Suimei dan Hatsumi mengalahkan Jenderal Iblis Vuishta, dragonnewt Eanru tiba-tiba muncul dan melepaskan auman naganya. Auman itu adalah sumber gangguan, dan akibatnya, pepohonan di hutan itu berubah menjadi abu. Yang tersisa hanyalah api yang membara di sana-sini. Pemandangan itu sama sekali tidak dapat dikenali dari beberapa saat yang lalu, dan ledakan api itu bergelombang di bawah langit malam seperti gelombang merah fajar.
Hanya dua hal yang tersisa berdiri adalah Suimei dan Hatsumi. Segala sesuatu yang lain telah terhempas oleh kekuatan auman naga itu. Bahkan reruntuhan ritual pemanggilan pahlawan yang dicari Suimei pun terbakar tanpa jejak.
Kedua tatapan mereka jatuh pada Eanru, yang berdiri di atas api. Dari penampilannya, Eanru tampak seperti seorang laki-laki muda. Mungkin bahkan seperti terlihat seperti orang intelektual. Dia memiliki tubuh ramping, elegan, dan poni bergaya yang jatuh ke bahunya. Dia bisa dengan mudah disangka sebagai seorang bangsawan yang tidak tahu apa-apa tentang cara bertarung, namun sebenarnya, dia memiliki kekuatan yang cukup di tangannya untuk menghancurkan sekelompok iblis dan kakinya tertanam kuat di tempat seperti akar pohon besar dan kuno.
Kekuatan dan semangat bertarungnya itu memungkiri penampilannya itu. Eanru hanya memancarkan kekuatan, memberikan tekanan yang mengintimidasi pada semua yang ada di sekitarnya. Hatsumi mengarahkan pedangnya ke kepalanya saat api yang menari-nari menjilati rambut berwarna keemasannya. Tanpa mengurangi sedikit pun kewaspadaannya, Hatsumi menajamkan mata berwarna hijaunya seperti pisau dan menanyai Eanru.
"Kau berharap aku ikut denganmu....?" Tanya Hatsumi.
"Itu benar. Aku belum bisa mengungkapkan alasannya, tapi aku membutuhkan kekuatanmu." Kata Eanru.
"Maaf, aku harus memberitahumu bahwa kekuatan seorang gadis sepertiku tidak seberapa." Balas Hatsumi.
"Itu mungkin benar jika kita hanya berbicara tentang kekuatanmu. Tapi, kau memiliki kekuatan lain di dalam dirimu, bukan?"
Kedengarannya seperti Eanru itu menyiratkan divine blessing yang dianugerahkan kepada para pahlawan. Namun untuk apa Eanru membutuhkan kekuatan seorang pahlawan....?
"Berdasarkan bagaimana keadaan sebelumnya." Kata Hatsumi.
"Sepertinya kau tidak membutuhkannya untuk mengalahkan para iblis, bukan?"
"Tentu saja. Para iblis itu benar-benar sekunder. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, mereka memang ditakdirkan untuk segera menghilang."
Eanru berbicara tanpa rasa takut. Meskipun dia mengaku membutuhkan kekuatan seorang pahlawan, tampaknya tujuannya tidak ada hubungannya dengan mengapa para pahlawan dipanggil sejak awal.
"Terus terang saja, kau terlalu mencurigakan." Kata Hatsumi.
"Apa maksudmu dengan mengancam akan membawaku bersamamu terlepas dari baik aku menyetujuinya atau tidak?" Lanjut Hatsumi.
"Karena bagi kami, itu perlu." Kata Eanru.
"Tidakkah menurutmu membangun kepercayaan lebih dulu adalah hal yang normal?"
Kata Hatsumi, membalasnya.
"Aku tidak pernah berkhayal tentang membujukmu untuk ikut denganku. Jangan salah paham; Aku tidak berniat memperlakukanmu dengan sopan. Aku tidak peduli baik kau setuju atau tidak." Kata Eanru.
"Jadi kau akan menculikku? Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan padaku?"
Kata Hatsumi, bertanya tentang itu.
"Sudah kubilang aku tidak bisa mengungkapkan detailnya.... tapi, sungguh, itu tidak penting. Kami punya kegunaan untukmu, dan kami berencana melakukan hal itu—memanfaatkanmu." Balas Eanru.
"Cih, memperlakukan orang seperti objek...." Kata Hatsumi.
Mendengarkan Eanru berbicara, ekspresi jijik merayap di wajah Hatsumi. Siapapun akan merasa bulu kuduknya berdiri karena diberi tahu begitu terang-terangan bahwa mereka akan dimanfaatkan. Sementara itu, Suimei—yang berdiri di depan Hatsumi untuk melindunginya—menatap langsung ke arah Eanru dengan mata merahnya yang tajam dan menyela pembicaraan mereka.
"Bukankah kau seharusnya menyimpan hal-hal yang meragukan itu untuk dirimu sendiri dan setidaknya mencoba mengatakan sesuatu untuk membuatnya ikut denganmu atas kemauannya sendiri? Bukankah itu taktik yang terencana?" Kata Suimei.
"Memang, kau benar untuk itu. Tapi faktanya adalah kami akan menggunakan pahlawan itu dengan satu atau lain cara. Aku tidak bermaksud membuatmu percaya sebaliknya." Balas Eanru.
"Terang-terangan sekali...." Kata Suimei.
Meskipun dengan jelas mengumumkan bahwa Eanru itu tidak akan mengungkapkan motivasinya, dia secara mengejutkan jujur tentang niatnya. Suimei mengerutkan dahinya pada percakapan yang entah bagaimana tidak masuk akal ini.
"Meskipun sebelum itu..... kau yang pertama."
Kata Eanru, menoleh ke arah Suimei seolah-olah pahlawan itu hanyalah tujuan sampingan baginya.
"Manusia berbaju hitam, aku ingin mendengar namamu." Lanjut Eanru.
"Namaku?" Kata Suimei.
"Itu benar. Nama orang yang dengan hebat bertahan melawan aumanku.... aku harus mengetahui namanya."
Kata Eanru. Matanya yang tak tergoyahkan berkilau seperti zamrud saat menatap langsung ke arah Suimei.
"Begitukah?" Kata Suimei.
"Menanyakan nama lawan adalah tata krama yang diperuntukkan bagi yang kuat. Jangan bilang kau berencana memberiku jawaban membosankan seperti, 'Aku tidak punya nama yang layak disebutkan'." Kata Eanru.
Saat Eanru menyiratkan bahwa jawaban seperti itu akan sangat mengecewakan, dia melepaskan semburan semangat bertarung yang mengamuk. Namun, sebagai seorang magician, Suimei terbiasa dengan etiket yang tepat sebelum bertarung. Dan karena Suimei tidak punya alasan untuk menolak, dia memperkenalkan dirinya.
"Magician dari Society, Yakagi Suimei.... meskipun kurasa kalian akan memanggilku dengan Suimei Yakagi?" Kata Suimei.
Untuk beberapa alasan, alis Eanru berkedut saat mendengar kata-kata itu.
"Apa kau baru saja mengatakan Suimei Yakagi?"
"Uh, benar?"
Bingung dengan reaksi Eanru, Suimei bertanya-tanya apa yang salah dengan namanya. Eanru, di sisi lain, tiba-tiba menghilangkan aura kekuatan luar biasa yang terpancar dari tubuhnya.
"Begitu. Jadi kaulah yang melakukannya pada Romeon itu...." Kata Eanru.
"Apa?" Kata Suimei.
"Kurasa aku berutang ucapan terima kasih dan permintaan maaf pada kalian berdua. Melakukan hal itu saat bersiap untuk bertempur adalah hal yang tidak pantas."
Kata Eanru. Sepertinya tidak ada sedikit pun semangat bertarung yang tersisa di dalam diri Eanru itu saat dia berbicara. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Suimei.
"Maaf, mungkin aku salah dengar, tapi apa kau baru saja mengatakan Romeon?"
Kata Suimei, menanyakan itu.
"Benar. Si Elf Romeon. Orang yang bertugas sebagai pustakawan di Perpustakaan Universitas Kekaisaran. Maksudku, orang yang kau maksud itu." Kata Eanru.
Eanru membenarkan kecurigaan Suimei yang membingungkan. Hatsumi sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun bahkan Suimei—yang mengenal Romeon—tidak tahu apa yang dimaksud Eanru.
"Ucapan terima kasih dan permintaan maaf.... atas orang itu?" Kata Suimei.
"Insiden yang disebabkan Romeon di Kekaisaran.... kudengar kau yang menanganinya. Jadi, karena telah mengakhiri kebejatan sesama anggota organisasi tempatku bergabung, aku ingin mengucapkan terima kasih atas nama semua orang."
Kata Eanru, membalasnya.
Dan kemudian, dengan anggukan kepala yang ringan....
"Kami berutang budi padamu." Kata Eanru.
"....Dengan kata lain, orang itu adalah salah satu rekanmu?" Tanya Suimei.
"Benar sekali. Dia adalah seorang rekan yang memiliki cita-cita yang sama dengan kami semua. Atau lebih tepatnya, memang begitu." Kata Eanru.
Eanru sudah menganggap persahabatannya dengan Romeon sebagai masa lalu. Namun, mendengar nama Romeon disebut-sebut, ketidakpercayaan Suimei terhadap Eanru semakin kuat. Suimei tahu bahwa Romeon memiliki keinginan yang tulus sebelum dia tersentuh oleh kegelapan, namun....
"Aku tidak begitu mengerti, tapi jika itu yang kau rasakan, kau seharusnya mencegahnya lebih baik. Tidak ada cara yang baik untuk mengatakan ini. Tapi orang itu tidak bisa diselamatkan, kau tahu?" Kata Suimei.
"Kau benar sekali. Aku tidak bisa mengatakan apapun untuk membela kami. Keinginannya— Tidak, kegagalan kami untuk melihat bahwa dia telah dirasuki oleh kegelapan adalah kelalaian belaka dari pihak kami." Kata Eanru.
"Berdasarkan cara bicaramu itu, keributan itu bukanlah tujuanmu yang sebenarnya, kan?" Kata Suimei.
"Pada umumnya, memang seperti yang kau katakan. Meskipun, tentunya, yang kumaksud adalah kerugian yang menimpa gadis muda itu, bukan apa yang terjadi di kota." Kata Eanru.
Dengan kata lain, insiden di Kekaisaran adalah sesuatu yang bisa Eanru—tidak, dari cara bicaranya, itu adalah "Mereka"—dapat untung. Kedengarannya seperti apa yang terjadi pada semua orang kecuali Liliana dan Rogue itu....
"Sepertinya aku terlalu banyak bicara." Kata Eanru.
"Sejujurnya, aku tidak keberatan jika kau terus melanjutkannya." Kata Suimei.
"Aku harus menahan diri. Intuisimu terlalu tajam. Bahkan di tengah kepanikan, kau masih cerdik." Eanru menatap tajam ke arah Suimei saat berbicara.
Sepertinya Eanru sudah benar-benar memahami Suimei. Namun kemudian Eanru menghela napas dan menggelengkan kepalanya seolah-olah menyesali sesuatu yang disesalkan.
"Awalnya kami akan mengurus Romeon itu sendiri. Tapi, sebelum kami bisa bergerak, kau akhirnya mengalahkannya. Kami bahkan tidak bisa membalasmu."
Kata-kata itu terdengar seperti alasan belaka setelah sekian lama, namun dengan caranya menghela napas.... kedengarannya dia benar-benar malu dan malu dengan kekurangannya sendiri. Namun, ada hal lain yang menggelitik minat Suimei.
"Aku mengerti apa yang kau katakan tentang apa yang terjadi pada Romeon itu, tapi bagaimana kau tahu bahwa aku yang mengalahkannya? Seharusnya tidak ada seorang pun yang hadir mengamati kami di perpustakaan malam itu." Kata Suimei.
"Katakan saja itu karena kemampuan kami untuk mengumpulkan informasi memang sebaik itu." Kata Eanrtu.
Itu kata-kata yang berani. Namun, seperti yang dikatakannya, jelas tidak ada keraguan mengenai kekuatan jaringan intelijen mereka. Suimei tahu lebih baik daripada siapapun bahwa hampir tidak ada bukti tentang apa yang terjadi malam itu di perpustakaan. Namun, setelah mendengar cukup banyak, Suimei mengangkat bahunya dengan ringan sambil berbicara sekali lagi.
"Baiklah, jika kau sangat berterima kasih atas apa yang kulakukan, bisakah kau pergi saja dari sini?" Kata Suimei.
"Aku menolak. Tidak hanya ada pahlawan yang harus diselamatkan, tapi sekarang aku juga tertarik padamu. Pada kekuatan yang kau miliki yang membuat Romeon itu kewalahan setelah dia jatuh ke dalam kegelapan." Kata Eanru.
"Ugh, ayolah.... jangan ganggu aku." Kata Suimei.
Eanru menyeringai ganas pada Suimei seperti predator yang telah menemukan mangsanya. Sama seperti Graziella—atau mungkin bahkan lebih darinya—Eanru adalah tipe yang menemukan kesenangan dalam pertempuran. Sebagai Dragonnewt. Seorang maniak pertempuran. Dia adalah tipe orang yang paling tidak disukai Suimei untuk dihadapi, tepat di belakang orang gila. Melihat Suimei meringis seperti sedang menggigit sesuatu yang pahit, Eanru menyipitkan matanya dan mengamatinya dengan rasa ingin tahu.
"Aku tidak begitu mengerti, tapi apa yang membuatmu begitu takut? Jika kau memiliki kekuatan sebesar itu, maka seharusnya tidak ada alasan untuk bersikap pengecut seperti itu. Itu aneh sekali." Kata Eanru.
"Urus saja urusanmu sendiri. Aku punya urusan sendiri yang harus kuurus."
Balas Suimei kepadanya.
"Begitukah....? Baiklah. Bagaimanapun juga, sudah saatnya kita mulai. Sekarang, bagaimana kau akan melakukannya? Aku tidak keberatan jika kalian berdua menyerangku bersama-sama, kau tahu." Kata Eanru.
"Jadi sudah pasti kita akan bertarung?" Kata Suimei.
"Berdasarkan obrolan singkat kita, jelas bahwa pahlawan muda itu tidak berniat untuk ikut diam-diam denganku. Jika begitu, bukankah sudah jelas bahwa aku sekarang harus membawanya dengan paksa?" Kata Eanru.
"......."
"Tidak perlu memasang ekspresi muram seperti itu. Jika kau tidak menyukainya, maka yang harus kau lakukan adalah menang melawanku. Sederhana bukan?"
Eanru memberikan jawaban yang cukup datar terhadap cemberut Suimei, lalu sekali lagi dengan berani melepaskan semangat bertarungnya.
★★★★
Meskipun seluruh cobaan itu berpusat padanya, pertukaran antara Suimei dan Eanru telah sepenuhnya meninggalkan Hatsumi di belakang. Yang bisa Hatsumi lakukan hanyalah menahan amarah di hatinya dengan cara yang sama seperti dia menahan bilah pedang di tangannya, yang terus dia arahkan ke musuh baru yang berdiri di depannya.
Musuh itu adalah dragonnewt bernama Eanru. Dragonnewt itu dengan jelas menuntut agar Hatsumi ikut dengannya, meskipun dragonnewt itu tidak mau mengatakan alasannya, dan akibatnya berubah menjadi pertarungan. Namun, orang yang menanggung beban penuh dari semangat bertarung dragonnewt itu adalah Suimei. Suimei berkeringat dingin saat Eanru muncul. Suimei tampak seperti tiba-tiba berhadapan dengan seseorang yang tidak ingin dia temui lagi. Suimei tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kecemasan dalam pertarungan mereka dengan Vuishta, namun Hatsumi dapat melihat hal itu mendominasi hati Suimei sekarang. Jari telunjuk dan jari tengahnya bergesekan dengan gelisah saat Suimei terus menatap Eanru.
"Yakagi, aku yang akan memimpin."
Kata Hatsumi dari belakang.
Jika mereka tidak bisa menghindari pertempuran, menurutnya strategi mereka harus tetap sama. Hatsumi akan membuat Suimei berperan sebagai pendukung di garis belakang sementara dia bertindak sebagai garda depan. Itu adalah rencana yang solid untuk magician dan pengguna pedang seperti mereka. Namun, Suimei tampaknya berpikir sebaliknya.
"Tidak. Tidak kali ini. Mundurlah."
Kata Suimei dengan tajam tanpa menoleh untuk menatapnya.
"Apa yang kamu katakan itu? Bukankah kamu bersikap seperti ini justru karena dia lawan yang menakutkan? Jadi, bukankah lebih baik kita bertarung bersama?"
Kata Hatsumi, memprotes hal itu.
"......"
"Yakagi!" Kata Hatsumi.
"....Ya, dia memang lawan yang menakutkan. Tipe yang membangkitkan kenangan terburuk bagiku." Kata Suimei.
Setelah berteriak di telinga Suimei karena kesal, Hatsumi menyadari sesuatu dari suara Suimei yang gemetar. Suimei tidak menggosok-gosokkan jari-jarinya karena gelisah. Tidak, itu karena rasa takut yang mendalam.
"Apa kamu setakut itu?" Kata Hatsumi.
"Ya, aku takut. Kamu tahu, itu juga naga pada saat itu."
"Tunggu, maksudmu saat ayahmu...." Kata Hatsumi.
"Itu benar. Kami menang hari itu, jadi kupikir aku tidak akan pernah mengalami ini lagi, tapi aku naif. Dan hanya dengan memikirkan bahwa aku mungkin kehilangan orang yang berharga bagiku lagi, aku tidak bisa berhenti gemetar." Kata Suimei.
Alasan Suimei berkeringat dan gemetar ketakutan bukanlah karena dia berhadapan dengan lawan yang kuat. Hal itu karena dia berhadapan dengan rasa takut kalah yang mendalam. Daripada takut kalah, Suimei takut dengan apa yang akan dia tanggung dari kekalahan itu. Namun Hatsumi berpikir bahwa itu adalah alasan yang lebih tepat bagi mereka untuk bertarung bersama. Dan saat Hatsumi diam-diam menyampaikan pikiran itu kepada Suimei.....
"Tidak, itu tidak apa-apa. Serahkan saja padaku. Orang ini berbeda dari iblis itu. Dia berada di level yang sama sekali berbeda. Jika kamu masih memiliki ingatan, hal itu akan menjadi masalah. Tapi jika kamu tidak dapat mengeluarkan semua teknik Kuchiba dan dharani dari kedalaman pikiranmu, orang ini akan terlalu berat untuk kamu tangani." Kata Suimei kepadanya.
"Tapi meskipun begitu....." Kata Hatsumi.
"Aku hanya bertarung melawan para iblis itu sebelumnya, tapi kamu telah bertarung sepanjang hari, bukan? Ada insiden di benteng, dan kamu harus melindungi dirimu sendiri sepanjang waktu saat kamu mundur. Jadi meskipun kamu berpikir dirimu baik-baik saja, konsentrasimu sudah habis." Kata Suimei.
"Itu tidak...."
Hatsumi mencoba membantahnya.
"Benar."
Itulah yang akan Hatsumi coba katakan, namun Suimei memotongnya.
"Itulah yang ingin kukatakan. Sekarang, seriusan, sudah berapa lama sejak kamu mengalihkan pandanganmu darinya?" Kata Suimei.
Hatsumi baru menyadarinya setelah Suimei mengatakan itu—dia benar-benar fokus pada pembicaraan mereka. Jika Eanru bergerak saat mereka berbicara, Hatsumi akan lambat bereaksi. Hatsumi bahkan mungkin akan jatuh karena pukulan pertama pertarungan itu. Dan fakta sederhana bahwa Hatsumi tidak bisa lagi menjaga kewaspadaannya dengan baik memberitahunya bahwa Suimei benar. Sambil menggigit bibirnya, Hatsumi mengalah. Tanpa mengatakan apapun lagi, Suimei melangkah maju. Suimei tampak seperti seorang ksatria berbaju zirah berkilau yang siap melindungi Hatsumi.
Hatsumi masih punya banyak hal untuk dikatakan, namun kata-kata itu hampir tidak bisa keluar dari mulutnya. Begitu Hatsumi hendak berbicara, bibirnya tanpa sadar tertutup rapat. Pemandangan anak laki-laki di depannya itulah yang telah mencuri suaranya. Sosok jantan yang melindunginya dari pertarungan itu tampak seperti yang telah dilihatnya berkali-kali dalam mimpinya. Sosok itu jauh, jauh lebih kecil saat itu. Namun, meskipun begitu, sosok itu selalu tampak jantan bagi Hatsumi. Dan hal itu tidak berubah.
"Ah...."
Memang, ini seperti mimpinya—kenangan yang akan Hatsumi ingat saat dirinya tidur. Sosok itu selalu melangkah maju untuk melindunginya dari ancaman yang datang. Suimei adalah anak laki-laki yang sama yang Hatsumi mimpikan itu. Anak laki-laki itu tersenyum lembut padanya saat melawan anjing itu. Itu adalah tindakan kebaikan kecil, namun sangat berharga di matanya. Dan mengingatnya kembali, Hatsumi teringat sesuatu yang penting.
Aku benci menjadi orang yang selalu dilindungi. Bukankah itu sebabnya aku menjadi lebih kuat?
"U-Urgh...."
Mendengar rasa sakit yang tiba-tiba di kepalanya, lutut Hatsumi menjadi lemas. Ada suara seperti guntur di benaknya, dan hal berikutnya yang dia dengar adalah suara lututnya menghantam tanah. Mungkin tiba-tiba mengingat sebagian ingatannya telah membuat pikiran dan tubuhnya tegang. Namun pertanyaan yang menyebabkan keterkejutan itu telah lenyap begitu saja. Hal berikutnya yang Hatsumi tahu, Suimei sedang berbicara padanya.
"Hatsumi? Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?"
Kata Suimei dengan khawatir.
"Y-Ya, aku tidak apa-apa." Kata Hatsumi.
"Kalau begitu mundurlah.... aku mohon padamu."
Suara Suimei yang memohon, meskipun pelan, sangat membebani Hatsumi. Bukan kata-kata Suimei yang sangat meyakinkan, melainkan nada suaranya yang putus asa. Hatsumi tidak bisa membantahnya. Sambil mengangguk pelan, Hatsumi mundur. Saat Hatsumi melakukannya, Suimei akhirnya tampak sedikit lega. Dan setelah Hatsumi menjauh, Suimei mengalihkan perhatiannya kembali ke Eanru.
"Kau benar-benar menunggu kami dengan sabar." Kata Suimei.
"Tidak menarik untuk menghabisimu dengan serangan kejutan setelah semua persiapan ini, bukan? Untuk benar-benar menikmati pertarungan, sudah sepantasnya menunggu pertarungan dimulai dengan adil." Kata Eanru.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu. Meskipun memiliki misi yang tampaknya sangat kau tekuni, kau sama sekali mengabaikannya." Kata Suimei.
"Tidak peduli pertempuran apa yang mungkin harus dihadapi seorang petarung, pertarungan itu sendiri harus dilakukan dengan gaya seorang petarung—tidak peduli berapa pun biayanya. Bukankah hal itu juga sama padamu?"
Eanru berbicara dengan nada berwibawa, namun Suimei tetap bersikap provokatif.
"Magician selalu mencoba dan mengejutkan lawan mereka. Menguji satu sama lain adalah satu hal, tapi dalam pertarungan sampai mati, tidak ada yang namanya adil dan jujur." Kata Suimei.
"Jadi menyerang musuh yang tidak waspada adalah gayamu, bukan? Tentu saja, itu mirip dengan para penyihir yang tidak dapat bertarung secara langsung. Tapi, apa itu sesuatu yang harus kau ungkapkan sebelum pertarungan?" Kata Eanru.
"Pikir saja sendiri. Waspadalah terhadap apapun dan semua yang datang dariku."
Saat Suimei mulai gemetar dari hatinya hingga memamerkan taringnya, hal-hal aneh mulai terjadi. Mungkin sebagai bukti ketidakstabilan ekstrem hukum fisika di sini, udara di sekitarnya berderak dengan kilatan cahaya biru di sana-sini. Puing-puing dan jelaga melayang ke udara dan menghilang saat busur listrik memantul di antara mereka. Dan kemudian semuanya mulai bergetar. Hatsumi secara naluriah berjongkok ke tanah seperti yang akan dia lakukan saat gempa bumi hebat. Namun, Suimei berdiri tegak di tengah semua kekacauan itu.
"Archiatius overload."
Tanpa tenggelam oleh guncangan yang menggelegar, sebuah rapalan dengan gema misterius bergema di udara. Beberapa saat kemudian, aliran mana meledak dari tubuh Suimei. Gelombang kejut yang kuat mengikutinya, seolah-olah ada ledakan yang sebenarnya.
Hatsumi menusukkan ujung pedangnya ke tanah dan menggunakannya untuk menopang dirinya sendiri saat dia menahan ledakan itu. Dari matanya yang menyipit, dia bisa melihat Suimei melompat ke langit. Mungkin Suimei menggunakan sihir yang membuatnya bisa terbang, karena dia tampak bisa mengendalikan gerakannya dengan bebas di udara. Setelah menstabilkan dirinya seperti mengepakkan sayap imajinernya di angin beberapa kali, dari apa yang bisa dilihat Hatsumi, Suimei berhenti.
Melihat semua ini juga, Eanru tersenyum, tampaknya senang dengan teknik yang begitu menarik itu. Bahkan dengan lawannya yang mengklaim keunggulan udara atas dirinya, dia masih tampak memiliki banyak ketenangan. Setiap petarung biasa akan berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan dalam keadaan seperti itu, namun seperti yang dikatakan Suimei, Eanru berada pada level yang sama sekali berbeda. Akal sehat tidak berlaku di sini.
"Mana yang luar biasa. Terakhir kali jantungku berdebar kencang adalah saat melawan Man-Eating Evil." Kata Eanru.
Dia menyeringai, dan kemudian, seolah-olah mereka berdua telah mengaturnya sebelumnya, mereka berdua memanggil satu sama lain.
"Ini dia!" Kata Suimei.
"Majulah!" Kata Eanru.
Saat suara Eanru dan Suimei saling tumpang tindih, tirai pertempuran mereka pun terbuka. Hal pertama yang dilihat Hatsumi adalah bahwa Suimei benar-benar menentang ekspektasinya. Berdasarkan cara mereka bertarung bersama sebelumnya, Hatsumi berasumsi bahwa Suimei akan mencoba menjaga jarak dan membuat ini menjadi baku tembak jarak jauh. Hal itu akan menjadi hal yang paling aman dan paling cerdas bagi seorang penyihir.
Namun, itu bukanlah strategi yang dipilih Suimei. Meskipun Suimei dapat dengan mudah menargetkan Eanru dari udara dengan sihir, Suimei mendekati Eanru sebelum melepaskan satu mantra. Suimei membuang semua keuntungan yang dimilikinya. Meskipun memiliki lebih banyak pengalaman bertarung daripada Suimei, Hatsumi tidak dapat memahami apa yang ada di kepala Suimei itu.
Hal itu seperti Suimei hanya melesat di udara dengan cara acak ke sana kemari. Suimei bahkan akan mendarat secara tidak teratur, namun kemudian segera melompat ke udara lagi dan melakukannya lagi. Suimei akan tiba-tiba mengubah arah di udara, terbang sebentar di tempat sebelum melesat ke arah yang berbeda tanpa alasan. Hal itu seperti dia mencoba membingungkan lawannya.
Sementara itu, Eanru bersikap tenang. Dengan kecepatan seperti ini, dia bisa diserang dari arah mana saja kapan saja. Mengetahui hal itu, dia tetap waspada. Setiap kali Suimei memasuki salah satu titik butanya, Eanru akan segera menghindar. Selain itu, Suimei terus menyerangnya dengan sihir berdaya rendah untuk mencoba menahan lawannya di tempat, namun tampaknya tidak ada pengaruhnya. Bahkan ketika Suimei menyerangnya secara langsung, hampir tidak ada perubahan dalam ekspresinya.
Dan kemudian ada serangan baliknya. Menunggu Suimei, yang terus-menerus melepaskan sihir jarak pendek dan semakin mendekat, Eanru akan melompat ke arahnya saat Suimei mendarat. Eanru bergerak dengan semua ketajaman burung pemangsa yang menukik ke sasarannya. Dia akan datang dari atas seperti kilatan petir hijau, hanya mendapatkan kembali bentuk manusia tepat sebelum dia akan menyerang. Rasanya seperti dia itu semacam dewa badai. Pertukaran ini berulang berkali-kali, dan akhirnya, petir hijau itu tampak seperti akan menangkap Suimei.
"Tch!"
Saat Suimei mendecak lidahnya, dia menjentikkan jarinya. Udara di depan petir yang mendekat meledak, namun petir itu menembusnya tanpa hambatan. Sebelum serangan Eanru yang terlalu cepat, Suimei tidak punya waktu untuk merangkai kata-kata. Dan bahkan tanpa mantra pelindung untuk melindunginya, Suimei menerima telapak tangan Eanru yang terbuka tanpa pertahanan sama sekali.
Seperti yang diharapkan, kekuatan penghancurnya luar biasa. Suimei, seperti bola pinball yang diluncurkan oleh pendorong berpegas, terlempar jauh ke barisan pepohonan yang jauh yang tidak dihancurkan oleh raungan pembuka Eanru.
Melihat semua ini, Hatsumi tersentak. Jika Suimei tidak mendarat dengan benar, hal itu bisa berakibat fatal. Namun, ada yang lebih dari sekadar serangan Eanru. Saat Suimei jatuh ke tanah, pepohonan darkwood di sekitarnya dan bahkan tanah di bawahnya berubah menjadi bubur.
"Ini pasti bohong...."
Hatsumi hampir tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin anak laki-laki yang selalu menyelamatkannya tanpa gagal bisa dikalahkan dengan mudah? Dengan keras kepala menolak untuk menyerah pada keputusasaan, Hatsumi menatap tajam ke awan debu dan tanah yang telah ditendang oleh benturan tempat Suimei mendarat. Namun bahkan ketika hal itu mereda, hanya ada kehancuran yang terlihat.
"YAKAGI!" Hatsumi berteriak.
"Jangan berteriak seperti itu. Aku masih hidup."
Kata Suimei, membalasnya.
"Heeh....?"
Menanggapi teriakan dirinya yang hampir menangis itu, Hatsumi mendengar suara tak terduga datang dari arah yang tak terduga. Ketika Hatsumi menoleh ke arah suara itu, berdiri di sana sambil memegangi perutnya dan sedikit mencondongkan tubuh ke depan.... adalah Suimei. Sepertinya Suimei menggunakan sihir untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Keringat mengalir dari alisnya, dan cahaya hijau pucat keluar dari tangan yang dia letakkan di atas perutnya.
"Hmph. Kupikir aku berhasil mengalahkanmu dengan itu." Kata Eanru.
"Seperti yang diharapkan, kau bisa menggunakan dragonic eye, ya...?"
Kata Suimei, sebagai tanggapan.
"Kalimat 'seperti yang diharapkan'-mu itu seharusnya menjadi kalimatku. Mengetahui hal itu, kau bergerak untuk mencoba melarikan diri dari pandanganku. Meskipun, bukankah agak ceroboh bagimu untuk berhenti menyembuhkan lukamu di tengah pertempuran?"
Eanru dengan berani memberikan kata peringatan, namun Suimei tampak tidak peduli.
"Aku bertanya-tanya. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu."
"Ngh—?!"
Saat Suimei mencibir Eanru, entah mengapa, Eanru mengeluarkan erangan bingung. Dia terhuyung, lalu menggelengkan kepalanya seolah berusaha menyingkirkan sesuatu dari kepalanya. Hatsumi tidak tahu apa yang telah terjadi. Jika ada, sepertinya Eanru itu terserang pusing mendadak atau vertigo. Namun saat Eanru mencoba mencari tahu, dia tiba-tiba menyadari sesuatu.
"Gambar mata?"
Di tanah tepat di sebelah Suimei, berbeda dari yang dia gunakan saat mereka mengalahkan Vuishta, ada gambar sederhana berbentuk mata. Namun jika diperhatikan dengan saksama, ada salinan gambar yang sama di seluruh tanah.
"Itu adalah nazar bonjuk, jimat penangkal evil eye. Karena asal usul dragonic eye didasarkan pada konsep mata jahat, jimat ini akan menangkalnya. Aku tidak akan bertarung sembarangan di sini, tahu?" Kata Suimei.
"Sungguh mengejutkan. Memikirkan bahwa ada cara untuk bertahan melawannya.... mungkinkah aku telah masuk ke dalam pertarungan yang tidak menguntungkan?"
Meskipun Eanru berkata demikian, dia menahan tawanya. Melihat bahwa Eanru itu sedang benar-benar bergurau, Suimei mengerutkan kening padanya.
"Diamlah. Sungguh tidak adil bahwa aku tidak bisa bertarung dengan benar kecuali aku menggunakan waktuku untuk melakukan sesuatu seperti ini." Kata Suimei.
"Mungkin. Tapi, meskipun musuh-musuhku jarang mampu menutupi perbedaan di antara kami, kau cukup cepat dalam menggunakan teknik yang seharusnya tidak diketahui manusia." Kata Eanru.
"Seorang manusia dari dunia ini, maksudmu." Kata Suimei.
"Aha, jadi begitu! Kau adalah penghuni dunia lain. Tidak heran sihir yang kau gunakan berbeda dari sihir yang digunakan di sini. Itu pasti alasan mengapa kau begitu dekat dengan sang pahlawan juga." Kata Eanru.
"Itu juga sebabnya aku tidak akan membiarkanmu membawa Hatsumi bersamamu."
Kata Suimei, membalasnya.
"Kalau begitu, aku mengerti perasaanmu. Tapi, aku punya alasan untuk membawanya bersamaku, apapun yang terjadi."
Eanru berhenti sejenak di sana dan perlahan-lahan mengambil kuda-kuda lagi.
"Aku tidak akan meminta maaf. Aku sangat sadar bahwa aku akan dibenci atas apa yang akan kulakukan." Lanjutnya.
"Terserahlah. Setelah terlibat sedalam ini, aku tidak akan mengeluh dan menggerutu. Tapi, itu tidak akan menghentikanku untuk mengatakan apapun yang kuinginkan."
Suimei kemudian dengan berani menjulurkan lidahnya dan menyeka keringat ketakutan dari alisnya yang menolak untuk berhenti mengalir. Melihatnya seperti itu, Eanru menyeringai.
"Itu bagus. Aku sudah terlalu terbiasa mendengar orang bodoh mencoba membantah kekalahan mereka yang tak terelakkan saat ini." Kata Eanru.
"Maaf, aku bukan tipe orang yang memainkan perasaan seseorang."
Kata Suimei, membalasnya.
"Kurasa itu tidak benar, karena mulutmu itu merepotkan." Kata Eanru.
"Diamlah."
Dengan itu, Suimei menjentikkan jarinya. Suara udara yang meledak menandai pembukaan babak kedua dari pertempuran mereka yang semakin ganas seperti pistol starter yang ganas.
★★★★
Setelah menyegel salah satu gerakan Eanru, seperti yang diharapkan, serangan Suimei menjadi lebih intens dari sebelumnya. Seperti yang Suimei katakan itu, dia sekarang telah menyelesaikan persiapannya dan akhirnya bisa bertindak sesuka hatinya. Suimei masih melesat di langit sambil mendarat sebentar-sebentar, namun sihir yang dia tembakkan jauh lebih kuat, dan kecepatan dan frekuensinya meningkat dua kali lipat. Semua ini adalah tentang apa yang diharapkan Eanru, jadi bukan itu yang benar-benar menarik perhatiannya.
Sejauh yang Eanru ketahui, Suimei benar-benar pantas dipuji hanya karena tahu cara bertarung melawan dragonnewt. Suimei bahkan tampak lebih berpengetahuan tentang masalah ini daripada Eanru sendiri. Setiap kali Suimei mendekat, dia akan tetap menjaga jarak yang cukup jauh untuk menghindari jangkauan tinju Eanru. Hampir mustahil untuk mengukur jarak itu hanya dengan mata, namun Suimei benar-benar menghindari jangkauan ancaman Eanru yang sebenarnya.
Biasanya, ketika Eanru mengayunkan tinjunya, gelombang angin yang mengikutinya akan cukup untuk menerbangkan semua yang ada di jalurnya—sama seperti yang telah dia lakukan terhadap para iblis itu. Namun Suimei bergerak seolah-olah dia telah melihat sepenuhnya serangan itu dan tahu persis apa yang harus dilakukan untuk menghindarinya. Dan kemudian ada masalah gelombang lolongan yang dilepaskan Eanru tepat saat mereka bertemu. Suimei menyebutnya auman naga, namun Suimei tampaknya memahami sifat dan kekuatan dahsyatnya dengan sempurna. Jika Suimei hanyalah manusia biasa yang tidak tahu apa-apa tentang dragonnewt, dia akan berdiri tercengang di sana saat Eanru mengaum. Namun, Suimei merasakan apa yang akan dilakukan Eanru saat dia bersiap, dan segera memainkan kartu pertahanannya.
Dan itu bukan satu-satunya hal yang tampaknya Suimei ketahui sebelumnya. Ada juga dragonic eye. Mengetahui bahwa Eanru memiliki teknik untuk menghancurkan semua yang ada dalam jangkauan pandangannya hanya dengan melihatnya, Suimei telah melompat dan bergerak cepat untuk menghindari tetap berada dalam jangkauan penglihatan Eanru untuk waktu yang lama. Selain itu, Suimei diam-diam telah mempersiapkan teknik untuk melawannya sepanjang waktu.
Semua kekuatan Eanru mematikan. Dan mengetahui tentang Eanru saja belum tentu cukup untuk melakukan apapun terhadapnya. Kekuatan itu sulit dipahami dalam situasi yang panas, dan bahkan lebih sulit untuk dilawan. Rata-rata orang—bahkan mengetahui apa yang akan terjadi—tetap akan dihancurkan oleh kekuatannya. Namun, tidak demikian dengan Suimei. Suimei telah melewati semuanya, dan masih terus melakukan perlawanan.
"Hehe... hehe...."
Tanpa sadar, tawa mulai keluar dari bibir Eanru. Di hadapannya ada seorang anak laki-laki yang terus-menerus menggunakan sihir. Yang harus dilakukan Suimei hanyalah mengetuk tanah, lingkaran sihir yang berbeda dari yang sudah ada di tanah akan muncul di belakangnya. Lingkaran sihir yang terus muncul itu tampaknya merupakan pengganti dari mantra. Setiap lingkaran melepaskan mantranya sendiri. Atribut yang setiap lingkaran sihir itu gunakan bervariasi, dan jenis serangan yang sama sekali tidak diketahui memenuhi bidang pandang Eanru hingga penuh saat serangan itu menyerbu ke arahnya.
Sekarang, sama seperti saat dia tiba, semua harapannya dikhianati satu demi satu. Kecepatan dan hasil merapal mantra Suimei bagus, namun Eanru tidak dapat memahami bagaimana Suimei melakukannya tanpa henti. Eanru tahu bahwa ada cara untuk meningkatkan kecepatan merapal mantra, jadi dia tidak terlalu terkejut bahwa Suimei dapat merapal mantra lebih cepat daripada penyihir pada umumnya. Yang membingungkannya adalah bahwa Suimei bahkan tampak tidak mengambil napas di antara mantranya itu saat dia merapal mantra.
Ketika sihir digunakan secara berurutan, mana dikeluarkan dari tubuh perapal mantra. Mana yang dikeluarkan dengan cara seperti itu juga akan meningkatkan panas tubuh. Tubuh secara alami mengacaukan ini dengan pengerahan tenaga fisik, dan akan membuat perapal mantra kehabisan napas. Biasanya, karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk merapal mantra, sebagian besar penyihir tidak akan pernah menemukan diri mereka dalam keadaan seperti itu. Namun semua orang tahu bahwa seorang penyihir harus mengambil napas setelah merapal terlalu banyak mantra secara berurutan.
Namun tidak dengan Suimei. Meskipun wadah jiwanya tidak lebih dari tubuh manusia yang rapuh, Eanru bahkan tidak dapat mendengar suara Suimei yang menghirup dan mengembuskan napas saat Suimei terus merapalkan mantranya. Yang dapat Eanru lihat sesekali hanyalah uap putih murni yang terbuat dari mana yang dikeluarkan dari mulut Suimei itu. Eanru menduga bahwa mungkin ada semacam organ aneh di dalam tubuh manusia Suimei itu yang bertanggung jawab atas semua ini.
Penggunaan sihir Suimei secara berturut-turut merupakan ancaman nyata, namun dalam arti tertentu, serangan cepatnya juga merupakan bentuk pertahanan. Dari hujan api, petir, dan sihir cahaya yang dia kirimkan, hal itu seperti dia sedang menyerang. Namun serangannya yang tak henti-hentinya juga dapat diartikan sebagai cara untuk menahan Eanru. Hal itu akan menjelaskan mengapa Suimei belum melepaskan mantra yang sangat kuat dalam upaya untuk memberikan pukulan terakhir.
"Jika kau tidak akan mendekat, maka akulah yang akan bergerak."
Dengan itu, Eanru menghentakkan kaki ke tanah. Hal itu seperti ledakan yang terjadi. Permukaan tanah terbelah dan membuat gumpalan tanah beterbangan. Namun, itu semua adalah pertanda untuk melesat maju. Eanru berhasil lolos dari serangan Suimei dan tiba tepat di depannya. Eanru bisa melihatnya menelan ludah saat Suimei berdiri di sana dengan gemetar.
"Sialan, kau bergerak terlalu cepat!"
Suimei Yakagi menjerit mengeluh tiba-tiba. Seperti yang diduga, Suimei terlihat cukup gugup. Mungkin karena beberapa pengalaman buruk di masa lalu, Suimei sangat takut pada Eanru—tidak, pada naga.
Namun, hal itu bukan masalah bagi Eanru. Menargetkan rahang bawah Suimei, Eanru melepaskan tendangan. Untuk menghindari serangan yang datang dari bawah, Suimei menukik ke samping. Tepat saat Eanru mengira dia hanya menjatuhkan diri ke tanah, kekuatan terbangnya muncul. Ditarik oleh kekuatan tak terlihat, tubuhnya mengambil jalur yang tidak wajar di udara, dan Eanru mengejarnya dengan tinju terbalik.
Suimei telah mengantisipasi pukulan serius dari gelombang kekuatan yang dia rasakan akan datang, namun dia tidak dapat menghentikannya. Kekuatan itu mengenai kakinya, dan ketika itu terjadi, Eanru dapat mendengar suara tulang patah yang tidak salah lagi. Namun sesaat setelah Suimei membuat ekspresi kesakitan, sebuah lingkaran hijau dengan huruf dan angka tertulis di dalamnya terbentuk di sekitar kakinya yang patah. Itu adalah sihir pemulihan. Setiap kali Suimei mengalami luka serius, dia akan menggunakannya untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan demikian, Suimei dan Eanru seperti menemui jalan buntu. Tidak ada yang benar-benar dapat menyerang satu sama lain. Saat pikiran meremehkan diri itu terlintas di kepala Eanru, sebuah mantra api menyerangnya.
"Ini menyebalkan!" Ejek Eanru.
"Rasakan ini!" Teriak Suimei.
Suimei terdengar seperti bermaksud menghabisi Eanru dengan serangan ini, namun ternyata tidak demikian. Mantra api besar yang menyapu Eanru hanyalah tabir asap. Sebuah kedok. Hanya satu inci di depan kepala Eanru, sebuah lingkaran sihir kecil terbentuk.
"Tch—"
Serangan itu terlalu dekat. Saat pikiran Eanru mengatakan kepadanya bahwa dia tidak akan lolos begitu saja jika terkena serangan itu, tubuhnya secara refleks mengambil tindakan menghindar. Namun, saat Eanru menjauhkan diri dari lingkaran sihir kecil pertama, lingkaran sihir lain terbentuk. Dan, satu demi satu, lingkaran sihir mengejarnya. Tidak peduli seberapa cepat dia bergerak, berapa kali dia mengubah arah, baik dia terbang ke langit atau tidak, lingkaran sihir kecil itu membentuk garis yang mengejarnya. Eanru mengira lingkaran sihir itu tampak seperti mainan anak-anak yang aneh saat mereka membentuk bentuk seperti akordeon di udara, namun saat itulah mereka akhirnya memperlihatkan taring sihir mereka.
"Chain Explosion."
Ketika Suimei mengucapkan kata kunci tersebut, ledakan beruntun meletus. Dalam sekejap mata, ledakan itu mengenai wajah Eanru.
"Guh—ah!"
Eanru mengambil tindakan mengelak, namun dia terlalu dekat untuk menghindari gelombang kejut. Kekuatan itu setara dengan serangan dari kekuatan super Jillbert. Eanru tidak bisa menerimanya tanpa terpengaruh, dan kekuatan serangan itu menendang kepalanya ke belakang. Namun Eanru tidak akan membiarkan hal itu menghentikannya. Namun, setelah menggelengkan kepalanya dengan ringan, Eanru bisa melihat cahaya biru laut turun dari langit malam yang berbintang.
Apa dia mengatur serangan ini sebelumnya?
Saat Eanru merasakan krisis yang akan datang, Suimei mulai merapalkan mantra.
"Illustre carmen ad operationem simplicem. Armat ad centum et passive diducit, invocato Augoeides. Strategic Bombing."
[Mantra terkemuka dalam operasi yang disederhanakan. Persenjatai dari satu hingga seratus dan sebarkan secara acak, panggil Augoeides. Strategic Bombing.]
Dengan itu, hujan cahaya jatuh dari langit. Cahaya sihir yang turun mengingatkan Eanru pada bintang jatuh yang pernah dilihatnya di Kekaisaran, namun itu bukanlah mantra yang sama. Setelah kehilangan kesempatan untuk menghindar, Eanru membanjiri seluruh tubuhnya dengan mana dan mengambil posisi bertahan. Mantra itu tidak akan bertahan lama, namun....
"Ini bukanlah akhir dari semuanya."
Dengan kata-kata itu, Suimei mulai mempersiapkan tindakan selanjutnya. Sebelum Eanru sempat menyadarinya, Suimei melompat mundur dan sudah merapalkan mantranya saat dia menyentuh tanah.
"O flammae, legito. Pro venefici doloris clamore. Parito colluctatione et aestuato. Deferto impedimentum fatum atrox."
[Wahai api, berkumpullah. Seperti teriakan kebencian sang magician. Berikan bentuk pada penderitaan kematian dan terbakarlah. Berikan takdir yang mengerikan kepada orang yang menghalangiku.]
Beberapa lingkaran sihir merah kini terbentuk di udara, dan di kaki Suimei Yakagi, sebuah lingkaran sihir besar mengembang. Lingkaran itu terisi dengan kata-kata di bagian tengah, dan mulai berputar ke arah yang berlawanan dengan lingkaran sekunder di sekelilingnya. Tanah di sekitarnya menyemburkan api yang terpantul di mata Suimei. Kecemerlangan merah membara itu memiliki tujuan yang bersemangat. Dan saat Eanru terpikat oleh semuanya.....
"Itaque conluceto. O Ashurbanipalis fulgidus lapillus!"
[Bersinarlah. Wahai permata Ashurbanipal yang mempesona!]
Suimei menghancurkan permata cahaya di tangan kanannya. Saat permata itu hancur berkeping-keping, kobaran api keluar dari lingkaran sihir besar itu. Api sisa yang masih menyala dari sebelumnya semuanya dilahap oleh api superior Suimei. Tanah mendidih dan menggelembung seperti besi cair. Eanru mengira bahwa dragonnewt sepertinya kebal terhadap api adalah hal yang wajar, namun firasat buruk merayapi tulang punggungnya. Dan daripada akal sehat—yang sering kali tidak berguna di medan pertempuran—dia lebih memercayai perasaan itu. Sebelum tanah yang mendidih itu mencapai kakinya, sebelum api yang seperti ular itu melilitnya, dia mengerahkan seluruh tenaganya ke kakinya dan melompat mundur dengan cepat.
Eanru berhasil lolos dari serangan itu, namun panas terik yang menyebar di udara membakar tubuhnya. Rasa sakit berdenyut aneh yang dia rasakan di kulitnya adalah sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya dalam hidupnya. Seperti yang dia duga, api itu bukan sekadar api biasa. Kemungkinan besar, bukan sekadar semburan api, ada kutukan yang menimpanya. Tepat saat Eanru menilai bahwa akan buruk untuk menghadapi api seperti itu secara langsung, bel alarm mulai berbunyi di kedalaman pikirannya.
Menembus api itu tepat di depannya.... adalah Suimei. Tepat saat Eanru dilanda kebingungan saat melihat seorang penyihir mendekatinya seorang diri, penyihir di depannya berubah menjadi asap dan menghilang. Melihat itu, Eanru sekali lagi menyeringai. Sebelum Eanru bisa memastikan ke mana asap yang tersebar itu pergi, dia bisa merasakan kehadiran di belakangnya. Saat dia buru-buru berbalik, Suimei berdiri tepat di depannya dengan lingkaran sihir kecil di telapak tangannya.
"OOOOOOOOOH!"
"HAAAAAAAAA!"
Keduanya melepaskan semangat bertarung mereka pada saat yang sama. Mereka berteriak. Menanggapi Suimei yang mengulurkan telapak tangannya yang bertuliskan sihir, Eanru melemparkan tinjunya. Segera setelah benturan kekuatan itu, gelombang kejut yang meledak dilepaskan yang membuat Eanru terbang. Saat Eanru memperbaiki postur tubuhnya dan melihat ke atas, dia melihat bahwa Suimei juga telah terpental—kemungkinan besar oleh gelombang kejut yang sama.
Seberapa besar pertarungan ini akan membuat jantungnya menari? Eanru belum pernah mengalami pertarungan yang begitu menarik sejak dia lahir. Memikirkan bahwa dia akan diberkati sekarang dengan pertarungan yang luar biasa dan tak berujung yang telah dia cari selama ini....
"Apa yang lucu?" Kata Suimei.
"Hmm? Apa aku tertawa? Aah, tidak, itu hanya karena pertarungan seperti ini... bukankah itu membuatmu senang juga?" Kata Eanru.
"Oke.... kau memang orang seperti itu, ya?" Kata Suimei.
Suimei Yakagi berkata dengan pelan tentang "Maniak Pertarungan" dengan jengkel. Hal itu adalah cara yang tepat untuk menggambarkan Eanru, dan meskipun Suimei melontarkan kata-kata seperti itu dengan menjijikkan, itu adalah pujian yang tidak salah lagi di telinga Eanru. Dianggap sebagai musuh yang tangguh oleh lawan yang kuat memberi makna pada cara dia menjalani hidupnya sampai sekarang. Hal itu melegakan.
Karena itu, pertarungan ini memiliki arti penting. Itulah alasan utama Eanru. Satu-satunya penyesalannya adalah bahwa hal itu terjadi sekarang. Hal itu adalah kebetulan belaka bahwa dia terlibat dalam pertarungan seperti itu di tempat yang tidak terduga. Namun, karena Eanru sedang menjalankan misi, dia tidak punya waktu luang untuk bertarung sepuasnya. Hal itu membuatnya sedih.
"Aah, itu di luar kendaliku...." Kata Eanru.
Sepertinya helaan napas Eanru yang pelan dan meratap sampai ke telinga Suimei. Suimei mengerutkan keningnya, mungkin bingung dengan perubahan nada yang terjadi pada dragonnewt yang tadinya bersemangat itu. Namun, entah mengapa, Suimei tidak menembakkan sihir apapun. Meskipun Suimei telah menembak tanpa henti sampai sekarang dan tidak menunjukkan tanda-tanda kehabisan napas, dia tampaknya sedang beristirahat sejenak.
Mungkin saja Suimei hanya mempersiapkan trik lain, namun menyimpulkan bahwa Eanru akan menghadapi apapun itu, dia melangkah maju. Eanru melepaskan serangkaian serangan beruntun, namun penyihir di hadapannya tampak terbiasa dengan pertarungan jarak dekat. Suimei dengan terampil menangkis pukulan Eanru. Bagi seorang penyihir, menyerang dari jarak jauh seperti ini berakibat fatal. Namun tidak bagi Suimei. Suimei bahkan tidak mengedipkan mata, membuat Eanru sekali lagi tercengang.
Namun bahkan jika Suimei menangani situasi dengan kompeten, dia tidak cocok untuk Eanru yang ahli dalam pertarungan jarak dekat seperti itu. Tentunya, manusia tidak akan pernah bisa menandingi kekuatan fisik dragonnewt. Lengan yang digunakan Suimei untuk menangkis serangan Eanru menjadi merah dan memar dalam sekejap mata.
"Urgh...."
Sambil mengerang, Suimei menjauhkan diri darinya. Ketika Eanru menahan diri untuk tidak mengejarnya, Suimei menoleh ke belakang dengan tatapan bingung.
"Rasanya sangat luar biasa terlibat dalam pertempuran yang sulit." Kata Eanru.
"Hah?"
Kata Suimei dengan bingung.
"Bukankah, begitu? Jika lawanmu sulit dihadapi, pertarungan akan berlangsung lebih lama. Dan kemudian, kau bisa menguji semua teknik yang telah kau kembangkan."
Kata Eanru, membalasnya.
"....Menyihir orang lain dengan teknik dan mendapatkan balasan yang sama tentu menyenangkan. Hanya saja tidak dalam situasi seperti ini." Kata Suimei.
"Aku setuju. Astaga, bukankah kita ini mirip?" Kata Eanru.
"Tidak, keluhanku berbeda darimu. Itu sudah jelas." Kata Suimei.
"Hal semacam itu sepele." Kata Eanru.
"....Itu urusanmu, bukan? Kau termasuk orang yang cepat melupakan semua hal yang tidak kau minati, bukan? Kau itu benar-benar sesuatu, sungguh." Kata Suimei.
"Hmph." Balas Eanru.
Sambil menghibur diri dengan percakapan mereka, bahkan sekarang, keringat dingin mengalir di dahi Suimei. Namun harus dikatakan bahwa mungkin lebih sedikit dari sebelumnya. Kemungkinan besar Suimei juga menjadi lebih kuat demi mencapai tujuannya dalam pertarungan yang sedang dihadapi. Meskipun Suimei berbicara sebaliknya, percakapan mereka sampai saat ini berada pada gelombang yang sama, jadi sepertinya dia agak masuk ke dalam elemennya.
Bahkan jika mereka mencoba untuk sampai di sana karena alasan yang berbeda, tujuan mereka sama. Puncak yang tinggi yang tidak dapat dicapai oleh siapapun, dan mimpi yang merangsang keinginan itu.... mereka berdua menatap hal yang sama—mimpi mereka.
"Sungguh, sulit untuk dicapai, ya? Kau memiliki jenis pancaran yang berbeda dari orang itu." Kata Eanru.
"......?"
Sama seperti cahaya dalam kegelapan yang lebih menyilaukan daripada apapun, Suimei sangat cemerlang. Jillbert tentunya benar dalam hal itu.
"Bagaimanapun, kau itu memang banyak bicara ya." Kata Suimei.
"Sejujurnya, aku bahkan mengejutkan diriku sendiri. Meskipun berbicara di tengah pertempuran adalah puncak kebodohan— Aah, bukankah begitu? Itulah yang terjadi. Hal yang membuatmu menjadi terlalu bersemangat dan mulai berbicara saat kau kelelahan, kan?" Kata Eanru.
Percakapan kosong seperti itu di tengah panasnya pertempuran adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan Eanru sebelumnya. Namun, alasan mengapa Eanru tidak dapat berhenti meskipun dia tidak mau adalah karena sulit baginya untuk memahaminya. Hal itu membuatnya penting. Dan jika Eanru terlalu sering terpapar, dia tidak akan ingin menghancurkannya lagi. Tanpa sadar, Eanru mungkin telah mempertimbangkannya. Namun karena Eanru bertarung demi kehancuran, hal ini adalah kontradiksi yang luar biasa baginya.
Kemudian, tampaknya Suimei telah selesai dengan istirahatnya. Eanru menyaksikan pohon-pohon tumbang tersapu dan terlempar ke udara dengan suara gemuruh. Batang pohon darkwood itu tebal dan kokoh. Jika manusia tertabrak olehnya, hal itu akan mengerikan. Untung saja Eanru bukan manusia.
"Mainan seperti itu bahkan tidak akan menggangguku."
Seperti yang tersirat, Eanru bisa melihat bayangan Suimei melesat di antara pepohonan raksasa. Eanru menghancurkan salah satunya dengan tinjunya untuk mengejarnya, namun Suimei menggunakan celah itu untuk menyerang. Sambil memegang pedang perak, Suimei menyerang dengan tusukan, namun....
"Itu tidak akan ada gunanya." Kata Eanru.
Ujung bilah pedang perak itu mencapai dada Eanru, namun hanya bisa menembus pakaiannya. Tidak mungkin bilah pedang yang dibuat oleh manusia bisa menembus kulit dragonnewt. Jadi siapa yang lebih unggul di sini?
"Aku akan mengambil lengan itu." Kata Eanru.
Menggunakan tangannya seperti bilah, Eanru memotong lengan kanan Suimei Yakagi. Kehilangan lengan dominannya adalah harga yang harus Suimei bayar karena berani bertarung jarak dekat dengan seoarang dragonnewt tanpa persiapan. Lengan kanan Suimei terlepas, dan darah mulai mengalir keluar dari tunggul yang tertinggal.
Dari kejauhan, Eanru bisa mendengar pahlawan perempuan itu berteriak. Dan di hadapannya, Eanru bisa melihat wajah Suimei berubah karena kesakitan. Meskipun begitu, Suimei tidak goyah atau mundur. Justru sebaliknya. Suimei melangkah maju seolah-olah dia punya celah untuk menyerang. Namun, hal ini pun masih dalam ranah ekspektasi Eanru. Menyerang lebih dulu dan mengorbankan sebagian dirinya untuk mendapatkan celah adalah taktik yang cukup umum. Namun, apa yang dilakukan Suimei selanjutnya membuat Eanru bingung. Suimei menggerakkan tunggul lengan kanan yang tersisa.
Hal itu bahkan tidak akan pernah mencapainya untuk mengenainya. Hal itu tidak cukup jauh. Apa Suimei itu salah membaca jarak? Tidak, itu pasti tindakan putus asa belaka. Hal itu adalah kelemahan manusia. Daripada memikirkan semuanya dengan benar, mereka memprioritaskan untuk menyerang. Namun pada saat itu, Suimei dengan tenang membuka mulutnya.
"Ini dia."
Lengan kanan yang terputus yang berjatuhan di udara tiba-tiba berubah arah dan melompat ke arah Eanru. Melihat itu, dia tidak bisa menahan seringainya.
"Haha! Jadi itu bisa sampai seperti ini?"
Ada kegembiraan dalam kata-kata Eanru itu. Hal ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama bahwa sebuah teknik benar-benar mengejutkannya. Namun, kejutan itu tidak berhenti di situ. Lengan itu terbang kembali ke Suimei dan mengenai tempat yang terputus.
"HYAAAAAH!"
Segera setelah itu, sebuah lingkaran sihir terbentuk di antara lengan dan tunggul itu, dan berputar dengan cahaya hijau cemerlang. Suimei kemudian menghentakkan kakinya, menancapkannya dengan kuat di tanah. Tanah hancur di bawah dan ada gelombang kejut angin dan mana. Dari sana, Suimei melepaskan serangan.
"U-Urgh!"
Tinjunya mengenai wajah Eanru. Eanru tidak pernah sekalipun berpikir bahwa manusia akan memiliki kekuatan destruktif seperti itu di tinjunya. Tanah di bawah kakinya tidak mampu menahan kekuatan dari pukulan itu, dan tanah itu hampir runtuh di bawahnya saat dia didorong mundur.
Tetap tegak, Eanru meletakkan tangan di rahangnya saat dia akhirnya berhenti. Seolah ingin menyelidiki kerusakan yang terjadi, dia menjulurkan dan mematahkan lehernya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Eanru melompat maju dan mendekati Suimei dengan cepat.
"Seriusan? Itu hampir tidak berpengaruh...." Kata Suimei.
"Sayangnya, aku ini makhluk yang cukup tangguh." Kata Eanru.
"Meskipun kau memiliki bentuk humanoid, tidak ada kerusakan pada otakmu itu? Itu curang sialan. CURANG." Keluh Suimei.
Baik keluhan itu maupun rasa sakit yang Eanru itu terima terasa menyenangkan baginya. Eanru mendorong lehernya dengan tangannya dan memutarnya sambil terus memeriksanya. Orang yang telah memberinya pukulan tak terduga itu sudah melakukan langkah selanjutnya, namun Eanru tidak bisa menahan diri untuk menyerah pada sensasi menyenangkan yang mengalir dalam dirinya yang sudah lama tidak dia rasakan. Saat Suimei melepaskan mantra, Eanru menendang tanah, menciptakan awan debu yang besar.
"Dasar brengsek! Kau meniru manusia sekarang?!" Kata Suimei.
"Sama sekali tidak. Tabir asap adalah teknik yang berharga."
Kata Eanru. Awan debu itu benar-benar menyembunyikan Eanru. Eanru tidak bisa melihat, namun dengan ini dirinya juga tidak bisa terlihat. Meninggalkan semua pikiran yang tidak perlu, dia mencurahkan seluruh indranya untuk membaca kehadiran di sekitarnya. Lawannya adalah seorang penyihir yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Jika dia mengikuti mana, dia dapat secara akurat menemukan Suimei bahkan tanpa matanya.
Atau, dia akan mampu melakukannya jika Suimei itu tidak tiba-tiba berlipat ganda.
"Dia terbelah? Tidak, berlipat ganda?" Kata Eanru.
"Ini disebut Fast Replication."
Bukan hanya kehadiran mana-nya yang berlipat ganda. Eanru dapat mulai melihat banyak sosok melalui debu. Seolah-olah beberapa Suimei tiba-tiba muncul. Dan beberapa saat setelah Eanru mendengarnya berbicara, tanah tiba-tiba bergeser dan terbelah.
"Apa—"
Eanru terhuyung. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan saat dia memutar ulang situasi itu dalam benaknya, dia tidak tahu dari mana mantra itu berasal. Tanah yang telah direbus oleh sihir api Suimei tidak begitu rapuh dan mudah hancur begitu saja.
Saat Eanru segera memfokuskan pandangannya tepat di bawah kakinya, dia bisa melihat cahaya mana. Kapan lingkaran sihir itu terbentuk? Saat Eanru mendongak, dia bisa melihat Suimei menyeringai.
Jadi begitu ya, mantra cahaya sebelumnya itu....
Itu pasti efek dari hujan cahaya itu. Suimei tidak hanya menyerang dengan itu. Suimei menabur lingkaran sihir di tanah.
Sebelum pertarungan dimulai, Suimei dengan jelas memberitahu Eanru bahwa itu adalah gaya magician untuk mengejutkan lawan. Tentunya, rangkaian serangan tak terduga ini adalah taktik yang hebat. Eanru sama sekali tidak terluka oleh tanah yang bergeser di bawahnya, namun dia sekarang dipaksa untuk menguatkan diri dan kehilangan mobilitasnya. Dan seperti itu, Eanru menjadi sasaran empuk serangan Suimei selanjutnya. Tanah mulai bangkit di sekelilingnya. Melilit seperti pusaran, tanah membentang ke langit lalu menghantamnya. Eanru pikir pasti Suimei tahu lebih baik daripada mengira serangan seperti ini akan berhasil padanya, namun Eanru akan terkejut lagi. Serangan itu bukan serangan yang sebenarnya.
"Ground Seal."
Yang bisa Eanru lihat hanyalah longsoran tanah yang tak henti-hentinya. Dan tak lama kemudian, tanah itu menutupinya sepenuhnya.
★★★★
Saat awan debu yang membubung mereda, tanah jatuh dengan mulus ke dalam bentuk seperti pusaran air. Melihat Eanru tenggelam di bawah mantra Ground Seal, Suimei bisa mendengar Hatsumi berteriak kegirangan atas kemenangan mereka yang nyata.
"Kamu berhasil!"
Kata Hatsumi dengan gembira.
"Belum."
Terlalu cepat untuk menyatakan ini sebagai kemenangan. Namun, Hatsumi agak bingung dengan perbedaan antara apa yang dilihatnya dan apa yang dikatakan Suimei. Suimei mengangkat tangannya dan mendesak Hatsumi untuk mundur, dan tepat saat Suimei melakukannya, pusaran tanah meledak dengan suara gemuruh. Yang membubung ke langit dari bawah tidak lain adalah Eanru.
"Ketika aku mendengarmu mengatakan bahwa kau suka menyerang orang saat pertahanan mereka lengah, kupikir yang kau maksud adalah serangan mendadak. Tapi sekarang aku tahu ini yang kau maksud, bukan?"
Memuji Suimei, Eanru berbicara dengan nada menyegarkan seolah-olah dia tidak terluka sama sekali. Diam-diam menggertakkan giginya melihat lawannya seperti itu, Suimei menjawab dengan ringan.
"Itu hanya perbedaan antara kepengecutan dan keeleganan." Kata Suimei.
"Astaga, aku telah belajar banyak darimu. Karena sudah menjadi standar bagi para penyihir untuk merapal mantra dan menembak, tindakanku tiba-tiba menjadi sangat monoton dan membosankan, tampaknya. Tapi.... menyegarkan juga untuk terkejut sesekali, kau tahu." Kata Eanru.
"Yah, sama-sama."
Nada suara Suimei memperjelas bahwa yang sebenarnya dia katakan adalah "Tutup mulutmu". Eanru menatapnya penuh tanya, kilatan berbahaya di mata zamrudnya.
"Kau baru sadar aku tidak kalah dari itu, kan? Kenapa kau tidak menyiapkan hal lain untuk menindaklanjutinya?" Kata Eanru.
"Entahlah ya?" Kata Suimei.
"Kupikir kau bukan tipe orang yang akan melewatkan kesempatan seperti itu. Sama halnya ketika sihirmu berhenti secara tidak wajar tadi. Kalau begitu.... pasti ada alasan mengapa kau tidak bisa menembak." Kata Eanru.
"......."
"Dari kelihatannya, sepertinya aku tepat sasaran."
Kata Eanru. Melihat ekspresi Eanru yang semakin percaya diri, Suimei sekali lagi menggertakkan giginya. Tebakan Eanru memang tepat sasaran. Seperti yang Eanru katakan, alasan Suimei berhenti menembakkan magicka adalah karena dia tidak bisa. Karena penggunaan magicka yang berulang, entropi di area tersebut hampir mencapai batasnya.
Karena itu, Suimei tidak dapat memberikan pukulan yang menentukan. Hanya menggunakan magicka setengah-setengah yang tidak akan memicu fenomena lelehan magicka akan sia-sia belaka. Itulah sebabnya Suimei memilih mantra yang setidaknya akan memberinya waktu. Magicka yang dijalin menggunakan teori magicka modern dapat dilemparkan dengan cepat. Namun, hal itu juga meningkatkan entropi secara signifikan, menciptakan semacam kemacetan. Perlu ada jeda di antara mantra, dan jika tidak ada, seorang magician bisa berakhir selangkah lagi dari bencana seperti Suimei sekarang. Suimei tahu risiko dari apa yang dirinya lakukan, namun meskipun demikian, jatuh ke dalam situasi seperti ini tetap saja menjengkelkan.
Setelah membersihkan kotoran dan pasir di pakaiannya, Eanru sekali lagi mengambil posisi bertarung. Eanru—tidak seperti Suimei yang telah melumpuhkan dirinya sendiri selama ini—tenang dan tidak memiliki satu luka pun untuk ditunjukkan selama seluruh pertarungan mereka. Eanru tampak benar-benar tak terhentikan.
Berdasarkan penampilannya, Eanru itu lebih mengingatkan Suimei pada naga timur, namun gaya bertarungnya sama seperti versi barat. Perbedaannya juga agak kabur, terutama mengenai asal evil eye yang menjadi dragonic eye. Karena delapan raja naga agung dari Lotus Sutra juga memiliki mata beracun, Suimei berasumsi bahwa hal ini entah bagaimana terkait. Namun karena mantra penyegel tanahnya tidak berhasil pada Eanru, sulit untuk membayangkan Eanru berasal dari dewa air tersebut. Kekuatan untuk menyedot dan menyebarkan permukaan tanah jelas merupakan kekuatan naga barat. Tidak salah lagi.
Fakta bahwa Eanru menyerupai naga saja membuat Suimei takut, namun yang benar-benar mengerikan adalah serangan Eanru itu dan beban di baliknya. Untuk beberapa saat, Suimei telah dengan hati-hati mengamati serangan dan gelombang kejutnya. Kekuatan seperti itu seharusnya tidak mungkin terjadi dengan tubuh ramping Eanru, namun jika beratnya tidak tercermin dengan baik oleh penampilannya—yang relatif umum pada makhluk non-manusia—mungkin ceritanya akan berbeda. Hal itu adalah kekuatan yang berbeda dari magicka, yang murni lahir dari kekuatan kasar, kekuatan itu bekerja mirip dengan Long Sword of the Absolute Edge yang digunakan Hatsumi. Serangan mereka memang sekuat itu.
Eanru ini ahli dalam pertarungan jarak dekat. Namun, menjauh darinya juga merupakan langkah yang buruk. Dilihat dari sudut pandang ilmiah, dia memiliki sesuatu seperti gelombang kejut gelombang mikro berdaya tinggi yang dikombinasikan dengan senjata bising seperti perangkat emisi plasma. Dari sudut pandang magicka, hal itu dapat digambarkan sebagai peningkatan panas secara eksponensial di area tersebut dan menyebabkan pembakaran paksa. Begitulah cara Eanru menghancurkan lingkungan sekitar mereka sebelum pertarungan. Dan sama seperti aumannya, Eanru dapat mengendalikan arahnya.
"Meskipun semburan petir itu jauh lebih menakutkan...."
Suimei teringat akan serangan serupa yang pernah dilihatnya sebelumnya. Hal itu berbeda dari auman naga, namun hal itu berasal dari makhluk yang mengambil bentuk manusia dan melancarkan serangan yang memusnahkan semua makhluk hidup—semuanya dari mulutnya. Dari serangan organik destruktif yang dapat digunakan makhluk di atas tanah, serangan napas dianggap sebagai salah satu yang paling mengerikan. Karena sifat mereka yang unik, mereka hampir mustahil untuk dikalahkan dengan mudah.
Dan monster yang dapat menggunakannya berada di puncak piramida dalam hal kekuatan, bahkan di dunia modern. Kehebatan mereka membuat pikiran tercengang. Hal itu mistis—seperti berasal langsung dari legenda. Seolah-olah kekuatan tersebut berasal dari waktu dan era yang sama sekali berbeda. Dimensi yang sama sekali berbeda. Dan monster-monster ini dapat mengambil bentuk humanoid. Mungkin hal itu juga berlaku di dunia ini, dan dragonnewt adalah salah satu contohnya.
Seolah-olah untuk mengonfirmasi hal ini, Eanru mulai bergerak dengan cara yang tidak bisa sekadar digambarkan sebagai "Manusia Super." Eanru melompat-lompat seperti sedang mempermainkan Suimei yang, bahkan dengan mata seorang magician-nya, tidak dapat mengimbanginya. Daripada hanya bergerak cepat, Eanru bergerak dengan cara yang mustahil bagi seorang manusia untuk dibayangkan.
Saat sambaran petir hijau menghantam tanah dan melompat ke lokasi baru, Suimei akan mencoba dan mengikuti lintasan dengan matanya. Namun sebelum Suiemi menyadarinya, dia telah melihat terlalu jauh ke arah yang salah dan kehilangan pandangannya. Ketika Suimei menyadari dan melihat ke belakang, satu-satunya hal yang dapat dia lihat sekilas adalah jejak cahaya yang ditinggalkan Eanru. Melihat ke sana kemari, mata Suimei bergerak cepat tanpa hasil. Suimei tidak dapat melacaknya.
Di hadapan kekuatan dunia lain seperti itu, Suimei tidak memiliki kartu untuk dimainkan. Jadi Suimei memutuskan untuk meningkatkan keluaran tungku mana-nya. Dengan satu pikiran itu, inti reaktor di dalam tubuhnya dilepaskan, dan dengan kayu bakar kiasan yang dilemparkan ke dalam tungku itu, detak jantungnya meroket. Debaran di dadanya lebih keras daripada apapun yang dapat didengarnya. Melampaui batasnya sendiri, Suimei mendorong tubuhnya sejauh yang dia bisa.
"Berapa banyak mana yang kau punya itu...."
Eanru masih belum bisa dilacak, namun dia mengucapkan beberapa patah kata kekaguman. Tungku mana adalah semacam organ yang menghasilkan mana yang sepadan dengan konsumsi mana seorang magician dan membantu mendukung mereka. Bagi magician normal, ada batasan mana yang dapat mereka gunakan secara stabil tanpa memicu luapan, yang disebut "Regular Mana".
Tungku mana akan menghasilkan mana bersamaan dengan hal itu untuk memanifestasikan misteri. Dan setelah regular mana seorang magician habis, mana dari tungku akan menyusulnya dan pada dasarnya mematikan magician tersebut. Melepaskan inti reaktor adalah cara untuk mencegahnya dengan melepaskan pembatas pada mana biasa agar sesuai dengan keluaran tungku.
Ketika itu terjadi, hingga apa yang dapat ditahan tubuh magician, adalah mungkin untuk terus membangun lebih banyak mana. Dan semakin banyak mana yang dimiliki seorang magician, semakin besar dan kuat mantra yang dapat mereka gunakan. Hal itu akan mendorong tubuh mereka ke keberadaan tingkat tinggi, dan meningkatkan misteri yang dapat mereka manifestasikan. Suimei masih tidak dapat melihat Eanru. Hal ini akan berakibat fatal jika Suimei tidak bisa melacaknya, dan dia hanya bisa memikirkan satu cara untuk melakukannya. Saat Eanru menyerang, Suimei pertama kali bisa mengidentifikasi lokasinya.
Suimei mengaktifkan mantra untuk memperkuat dan menguatkan tubuhnya. Setelah dia selesai merapal mantra, punggungnya disambar petir. Serangan itu bisa saja berakibat fatal, namun Suimei mampu bertahan dengan tubuhnya yang tingkatkan lebih tinggi. Dan itu memberinya kesempatan. Eanru masih menancapkan tinjunya di punggung Suimei. Sebelum Eanru bisa melepaskan diri, ruang di sekitar mereka dipelintir oleh magicka. Realitas tampak seolah-olah terpelintir seperti bagian dalam kelereng, dan pusat gravitasi Eanru berubah. Gerakannya menjadi tumpul. Dari sana, Suimei terus memperkuat gravitasi itu sendiri.
"Gravitatem, duplex coniunctum!"
[Gravitasi, penggabungan dua kali lipat!]
Hal itu masih tidak cukup. Tanpa berkutat pada mantra itu, Suimei langsung beralih ke mantra berikutnya dan menambahkannya, sepenuhnya meniadakan jeda apapun.
"Gravitatem, terci contexit!"
[Gravitasi, bersatulah menjadi tiga kali lipat!]
Jika Eanru punya sedikit waktu saja, dia akan bisa lolos dari kurungan gravitasi itu. Suimei tahu dirinya tidak bisa menghentikan tangan, mulut, atau magicka-nya. Suimei sekilas melihat wajah Eanru yang terlihat berekpresi pahit namun gembira.
"Buat aku lebih kagum. Buat aku menggertakkan gigiku lebih keras."
Kata Eanru. Suimei bisa mengerti apa yang dipikirkan Eanru itu hanya dari ekspresinya. Dan ekspresinya itu tidak goyah sama sekali bahkan di dalam kurungan gravitasi. Di satu sisi, hal itu menakutkan.
Suimei menembakkan magicka dari lima elemen. Menggunakan ajaran lima praktik Bodhisattva yang saling membantu dan mengatur dunia, Suimei memanifestasikan elemen-elemen yang saling bertentangan dan melahirkan kehancuran. Setelah menciptakan lingkaran sihir pertahanan di bawah Hatsumi, kelima elemen yang mengamuk itu perlahan bereaksi satu sama lain dan menyebabkan efek pemusnahan yang menghancurkan segalanya.
Skala ledakan itu melampaui auman milik Eanru. Kali ini, seluruh hutan darkwood itu terhapus dari peta tanpa jejak. Namun lihatlah, dragonnewt itu masih ada di sana. Rupanya, Eanru yang tahan terhadap serangan yang merupakan kekuatan dan tenaga murni, berdiri tepat di luar jangkauan Suimei sambil tertawa gembira.
Efek dari kelima elemen itu terlalu lemah. Serangan yang didasarkan pada konsep tingkat tinggi tidak cukup untuk mengalahkan dragonnewt itu. Ketika Suimei sampai pada kesimpulan ini, dia mengeluarkan teriakan keras yang sengaja dibuat terlambat karena rasa sakit yang menyerang punggungnya. Tanpa diduga, kakinya tersandung. Keringat dinginnya berubah menjadi es saat menetes dari punggungnya. Dan tepat di hadapannya sekarang ada sambaran petir hijau yang tidak akan pernah melewatkan kesempatan seperti ini.
"Aku mendapatkanmu, Suimei Yakagi." Teriak Eanru.
Suimei segera bergerak untuk melindungi kepalanya dengan lengannya, dan sebuah tinju melayang tepat ke arahnya. Lengan kiri yang Suimei angkat untuk melindungi dirinya ditekuk ke belakang. Dan seolah itu belum cukup, masing-masing kakinya menerima serangan. Akhirnya, sebuah tendangan luar biasa diarahkan ke tubuhnya.
"G-Guuuah...."
Terlempar oleh tendangan itu, tubuh Suimei berguling di tanah. Sambil sadar bahwa dia berguling saat kepalanya terpelanting dan tersentak menjadi kabut, dia segera mulai menerapkan sihir penyembuhan pada anggota tubuhnya yang patah. Meskipun Suimei segera pulih, bayangan Eanru mengintai tepat di atasnya. Suimei terbuka sekali lagi, dan Eanru akan menyerang tanpa henti.
"Ugh, rrgh, gaah...."
Untuk setiap serangan yang dirinya terima, Suimei menerapkan magicka penyembuhan pada tubuhnya. Namun magicka-nya tidak dapat mengimbangi sekarang. Menerima pukulan demi pukulan seperti sedang dipukul dengan bola besi raksasa, Suimei menerima pukulan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Aku.... akan kalah di sini? Aku?
Berguling lagi, Suimei berhenti berbaring tengkurap. Suimei bisa merasakan darah dan tanah di mulutnya. Tubuhnya menjerit. Namun meskipun begitu, dia mencoba untuk berdiri. Suimei mencakar tanah dan mencengkeram gumpalan tanah.
"Apa ini akhirnya?"
Tanya Eanru, tanpa perasaan.
"Diamlah....." Kata Suimei.
"Tapi kau tidak bisa berdiri, kan?" Kata Eanru.
"Diamlah." Kata Suimei.
"Jika kau tidak bisa mengalahkanku, maka aku akan membawa pahlawan perempuan itu bersamaku, kau tahu?" Kata Eanru.
"DIAMLAH!" Teriak Suimei.
"Bagus! Berteriaklah! Jika kau tidak bisa menyerahkannya, teriaklah untuk mengungkapkan perasaanmu! Berteriaklah! Ungkapkan semuanya! Seharusnya ada kekuatan yang lebih dari ini! Kau tidak bisa menahan diri di saat-saat seperti ini!"
Kata Eanru. Suimei tidak perlu diberi tahu itu. Sama seperti seorang pengguna pedang yang menerima kenyataan bahwa mereka mungkin akan mengundang kematian saat menghunus pedang mereka, seorang magician juga mempertaruhkan nyawa mereka saat mereka memutuskan untuk bertindak. Mereka akan membakar jiwa dan mana mereka hingga habis.
Dan begitulah Suimei bangkit kembali. Dan Suimei akan melakukannya lagi dan lagi hingga tubuhnya benar-benar tidak bisa bergerak. Sampai hatinya terpelintir dan hancur. Sampai suatu hari dia kehilangan pandangan akan mimpi yang telah dikejarnya.
"O flammae, legito! Pro venefici doloris clamore! Parito colluctatione et aestuato! Deferto impedimentum fatum atrox!"
[Wahai api, berkumpullah! Seperti teriakan kebencian sang magician! Berikan bentuk pada penderitaan kematian dan terbakarlah! Berikan takdir yang mengerikan kepada orang yang menghalangiku!]
"Kau telah menunjukkan padaku mantra itu!" Kata Eanru.
Eanru itu benar. Suimei pernah menggunakan mantra ini sebelumnya, namun sekarang hanya sebagai pembuka. Seolah membalas hasratnya yang dalam, magicka itu berubah bentuk. Api menyembur keluar dari belakang Suimei seperti mesin jet, dan saat Suimei menggenggam permata Ashurbanipal di tangan kanannya, kobaran api yang menyilaukan melilit lengannya.
Menerkam celah ini, Eanru melompat dari depan. Menunjukkan rasa jijik atas kesalahan penilaian itu, Suimei menyelinap ke dada dragonnewt yang melompat itu. Saat Eanru membuka matanya lebar-lebar karena terkejut, Suimei mengerahkan seluruh kekuatannya ke magicka-nya.
"Itaque conluceto! Atque deicito! O Ashurbanipalis fulgidus lapillus!"
[Bersinarlah! Dan tembuslah! Wahai permata Ashurbanipal yang berkilau!]
Tangan kanan Suimei yang menggenggam permata itu berubah menjadi kepalan, api yang meledak ke belakang menjadi mekanisme untuk membantu percepatan, dan kepalan itu membenamkan dirinya di dada Eanru. Eanru tidak dapat menghindarinya dengan cara apapun, dan terlempar ke belakang. Dan sebelum Eanru bisa mendapatkan kembali posturnya, api Ashurbanipal menyerbu mengejarnya. Dari dalam api itu, Suimei bisa mendengar teriakkan Eanru.
"MASIH BELUUUMMM!" Teriak Eanru.
Eanru mengeluarkan raungan keras yang mengancam akan menembus gendang telinga Suimei dan menerbangkan api di sekitarnya. Bahkan setelah menerima hantaman cahaya cemerlang dari permata yang dapat memberikan kematian pada semua makhluk hidup, lutut dragonnewt itu tidak menyentuh tanah. Karena itu, tidak dapat dihindari bahwa dia akan membalas dan mereka akan beradu lagi. Tanpa menikmati kejayaan magicka-nya, Suimei mempersiapkan tangan terakhirnya saat dia mempersiapkan diri untuk pertarungan jarak dekat yang akan segera dimulai.
Seketika, cahaya yang terbuat dari mana terbentuk di sekitar tangan kanannya yang berbentuk seperti bilah pedang. Cahaya itu berkilauan seperti cahaya fajar, dan dengan menggunakannya, Suimei diam-diam menggambar huruf dan simbol yang akan melahirkan magicka. Lingkaran magicka langsung muncul di kakinya. Saat Suimei melanjutkan aksinya, lingkaran magicka mulai terbentuk di luar lingkar lingkaran pertama. Saat Suimei merapal magicka-nya, kenangan buruk mengalir deras dalam dirinya. Meskipun memiliki kekuatan, hatinya lemah. Itulah sebabnya pada hari yang menentukan itu pada saat yang menentukan di medan pertempuran yang menentukan itu, hal yang tidak terpikirkan telah terjadi.
Di sanalah Suimei kehilangan sesuatu yang berharga. Semua itu karena saat dia berdiri di hadapan keberadaan yang sangat kuat, dia tidak dapat bergerak. Pertahanannya terlambat. Dan untuk melindunginya, ayahnya menerima auman naga yang ditujukan untuk pada Suimei itu. Pada hari itulah, Suimei mewarisi keinginan ayahnya. Sebagai gantinya, Suimei akan melakukan apa yang tidak dapat ayahnya lakukan. Suimei akan menyelamatkan perempuan itu. Suimei bersumpah akan melakukannya. Pada hari itu, Yakagi Suimei yang lemah dan muda sudah tidak ada lagi bersama ayahnya. Dan sekarang....
"Aku tidak akan pernah membiarkan hal seperti itu terjadi lagi...."
Apa yang Suimei katakan itu seolah-olah dia mengeluarkan semua udara dari paru-parunya adalah sebuah rapalan. Sebuah rapalan yang sebenarnya.
"Sang Leluhur muncul dari langit saat fajar, dan memenuhi keinginan seluruh langit dan bumi. Untuk melepaskan Rasul dari misinya, dan untuk melepaskan Rasul dari tangannya sendiri, Sang Leluhur turun di hadapan Rasul."
Saat rapalan itu terkuak, dunia mulai berguncang. Dengan tenang, mantap, dan akhirnya dengan keras, dan seolah-olah tidak ada seorang pun yang akan dibiarkan berdiri. Setelah akhirnya berhasil memadamkan api itu, Eanru menahan napas melihat perubahan tajam di sekelilingnya. Pada jarak ini, bahkan jika Eanru langsung lari, dia tidak akan dapat melakukan apapun terhadap magicka itu sebelum selesai.
"Dan demikianlah Rasul itu jatuh ke tanah. Karena sayap cahayanya dicabut. Dan demikianlah Rasul itu jatuh ke neraka. Karena tubuhnya menganggap dapat diterima untuk menjadi sarang kejahatan. Dan demikianlah dia jatuh. Dan Sang Leluhur menjatuhkan Penghakiman, dan mengusir Rasul itu. Dan demikianlah aku berdoa. Seperti yang ditunjukkan Sang Leluhur. Ya, untuk mewujudkan cahaya tak terbatas itu tanpa akhir seperti yang dia lakukan."
Dan tepat saat Eanru masuk ke dalam jangkauan....
"Semuanya menjadi tidak diketahui dan—!"
Kata terakhir yang perlu diucapkan Suimei sudah di ujung lidahnya. Yang perlu Suimei lakukan hanyalah menggenggam cahaya tak terbatas itu di tangannya. Namun cahaya itu masih terlalu kuat. Cahaya itu terlalu cepat.
"U-Ugh, sial.... DISAMPAIKAAAAN!"
Tidak peduli seberapa kuat keinginan seorang magician, mantra yang tidak lengkap akan berarti mantra yang gagal. Akibat dari aliran kekuatan yang tidak dapat Suimei kendalikan itu melilit kedua orang yang bertabrakan dan menangkap mereka.
Saat cahaya yang menyilaukan itu padam, udara malam yang dingin bertiup melalui medan pertempuran. Yang ada di sana hanyalah tanah yang hangus dan puing-puing pohon yang berkarbonasi yang menumpuk seperti arang di tanah. Mendongak dari tempat dirinya tertiup kembali, Eanru berbicara dengan ragu.
"....Apa yang kau lakukan? Suasananya telah kembali seperti sebelumnya?"
"Akibatnya waktu terhenti, sepertinya. Itu seperti ruang yang berputar ulang. Itu mungkin efek dari pecahnya cahaya berkecepatan rendah. Karena cahaya itu pecah, waktu mengalir untuk mengimbanginya, atau semacamnya.... yah, hal semacam itu bukan masalahnya saat ini...." Kata Suimei.
Dari panas yang memenuhi organ-organ dalamnya dan rasa panas yang menusuk tenggorokannya, Suimei mengeluarkan batuk berdarah. Organ-organ dalamnya telah menderita karena aksinya tadi. Namun, serangan tunggal yang Suimei pertaruhkan itu gagal. Apa yang terjadi di sini jauh dari apa yang dia inginkan. Karena dia tidak bisa mengucapkan kata terakhir mantra itu pada waktu yang tepat, mantra itu berakhir dengan kegagalan. Tidak, itu karena Suimei masih belum cukup kuat untuk menggunakan magicka semacam itu.
Karena pantulan yang disebabkan oleh kegagalan magicka, yang juga dikenal sebagai pembalikan, Suimei perlahan jatuh berlutut. Suimei mempertaruhkan segalanya pada taruhan ini, dan benar-benar tak berdaya. Mati rasa yang kuat menyerang tubuhnya. Suimei tidak akan bisa bergerak untuk sementara waktu.
"........"
Itu adalah kesalahan fatal dalam pertempuran, namun lawannya juga tidak bergerak. Tidak, lawannya tidak bisa bergerak. Kemungkinan besar Eanru juga terluka. Eanru telah sepenuhnya menerima serangan kejutan dari api Ashurbanipal, dan semburan cahaya tak terbatas tanpa akhir. Meskipun magicka itu belum sepenuhnya termanifestasi, hal itu masih berpengaruh padanya.
Sementara Suimei tetap tidak bergerak, sebuah bayangan tiba-tiba muncul di depan matanya. Saat Suimei mengangkat matanya, dia bisa melihat seorang gadis berseragam menarik pedangnya dari sarungnya.
"Hatsumi.... aku sudah bilang.... untuk mundur...." Kata Suimei.
"Kamu tidak bisa bergerak, kan? Sudah waktunya bagiku untuk melangkah maju."
Kata Hatsumi kepadanya.
"Jika kamu baru saja menontonnya, kamu seharusnya tahu bahwa kamu tidak punya kesempatan." Kata Suimei.
"Ugh, aku tahu itu tanpa kamu katakan. Tapi aku masih bisa memberimu waktu sampai kamu bisa bergerak lagi.... dan lagipula, kalian berdua terluka sekarang, kan?"
Kata Hatsumi kepada Suimei.
"Hehe, tentu saja begitu."
Eanru menyeringai sambil perlahan berdiri. Dengan Hatsumi melangkah maju, ini bisa jadi kesempatan sekali seumur hidup, namun meskipun begitu, Eanru sangat berisik dalam menata pakaiannya yang terbakar dan tubuhnya yang babak belur. Sementara itu, Hatsumi mengambil posisi dan mengarahkan ujung pedangnya ke mata Eanru. Namun, tangannya yang mencengkeram gagang pedang itu berkeringat dingin dan sedikit gemetar.
"Apa kita masih akan melanjutkan ini?" Tanya Hatsumi.
"Tidak, aku sudah selesai. Aku akan memintamu untuk membiarkanku pergi dari sini."
Jawab Eanru, menggelengkan kepalanya.
"Hah?"
Kata Hatsumi dengan bingung.
"Apa?"
Suimei sama bingungnya. Mendengar kata-kata Eanru yang tak terduga itu, Hatsumi dan Suimei sama-sama menunjukkan keraguan mereka.
"Apa itu aneh?" Kata Eanru.
"Itu...."
"Karena pertarungan telah dihentikan, aku akan membiarkannya begitu saja. Kesempatan untuk mundur baru saja datang, itu saja." Kata Eanru.
Mereka tidak tahu apa itu niatnya yang sebenarnya. Mendengar cara bicaranya yang santai, Suimei menanyainya dengan nada ragu.
"Apa? Bukankah kau mau membawa Hatsumi bersamamu?" Kata Suimei.
"Memang, tapi pahlawan itu adalah sesuatu yang akan kuperoleh setelah menang darimu. Lagipula, aku tidak ingin meninggalkanmu dengan dendam."
Kata Eanru, menjawabnya.
"Dendam?" Kata Suimei.
"Benar. Jika aku membawa pahlawan itu bersamaku, kau akan menyimpannya padaku. Pertarungan di antara kita akan menjadi pertarungan yang dipenuhi dengan kebencian yang berlebihan. Hal itu bukan yang kuinginkan. Pertarungan yang menyenangkan, meskipun tidak adil, adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh."
Kata Eanru kepada Suimei.
"Itu sebabnya, karena kali ini ada sesuatu yang tidak terduga, kau tidak bertarung denganku sampai akhir?" Kata Suimei.
"Itu benar."
Eanru memejamkan matanya sambil mengangguk pelan. Itu adalah alasan yang tidak masuk akal, namun alasan itu tidak tampak seperti kebohongan yang datang dari orang aneh ini. Suimei masih curiga, namun Eanru berusaha untuk mundur. Tampaknya Eanru benar-benar tidak punya niat lagi untuk bertarung. Membubarkan semangat bertarungnya yang meluap, suasana panas di sekitarnya kembali menjadi angin sepoi-sepoi yang sejuk. Melihat sosok itu tepat di depan matanya, Suimei duduk bersila di tempatnya, dan tertawa agak heran.
"Kau itu benar-benar sesuatu, kau tahu itu. Aku belum pernah bertemu orang sepertimu sampai sekarang yang begitu tulus menyukai pertarungan." Kata Suimei.
"Aku tidak bisa memikirkan pujian yang lebih menyanjung. Itu membuat semua waktu yang kuhabiskan untuk mengasah keterampilanku menjadi berharga."
Eanru tersenyum rendah hati dan berbalik, lalu berbalik untuk pergi. Dan seolah meninggalkan kata-kata untuk rekan seperjuangannya....
"Kalau begitu, Suimei Yakagi, semoga kita bisa bertemu lagi." Kata Eanru.
"Ya."
Itu adalah janji untuk pertandingan ulang. Meskipun Suimei tidak ingin melawan seseorang seperti itu lagi, meskipun Suimei benar-benar enggan, dia tidak bisa tidak mengakui permintaan tersirat Eanru itu. Hatinya mungkin hanya membalas ketulusan lawannya. Setelah Eanru pergi, keheningan hutan akhirnya kembali. Masih ada suara bara api yang berderak, namun meskipun begitu, suasana terasa sunyi karena apa yang membuat kegaduhan di hatinya akhirnya menghilang. Ketegangan yang menumpuk di tubuh Hatsumi tampaknya telah hilang, dan Hatsumi duduk tepat di tempatnya dengan suara gedebuk.
"Orang itu pergi...." Kata Hatsumi.
"Ya."
Balas Suimei.
"Siapa dia sebenarnya?" Kata Hatsumi.
"Entahlah? Yang bisa kukatakan untuk saat ini adalah dia musuh yang aneh. Dan maniak pertempuran." Kata Suimei.
Setelah memberikan pendapat pribadinya yang singkat tentang Eanru, Suimei mengembuskan semua napas di paru-parunya.
"Sial. Lain kali, aku tidak akan kalah...."
Setelah mengeluarkan semua udara yang tidak menyenangkan di paru-parunya, Suimei bersumpah dengan kesal untuk mengatasi rintangan di masa depan. Dia tidak akan kalah. Sebaliknya, dia mencapai tujuannya kali ini, jadi jika dia didesak untuk mengatakannya, ini adalah kemenangan. Namun, pertempuran berakhir dengan Suimei dalam posisi yang kurang menguntungkan. Hal itu tidak membuatnya merasa menang. Sebaliknya, dia benar-benar merasa kalah.
"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Hatsumi.
"Yah, selama aku masih hidup, aku bisa mengaturnya." Balas Suimei.
"Begitu ya." Kata Hatsumi,
Setelah menjawab dan mendengar balasan singkat darinya, Hatsumi tiba-tiba teringat sesuatu dan mulai berbicara lagi.
"Sekarang setelah kupikir-pikir, kamu tampaknya mendengarkan apa yang dia katakan dengan cukup saksama." Kata Hatsumi.
"Hmm?" Kata Suimei.
"Kau berbicara, kan? Dengan orang itu." Tanya Hatsumi.
"Setelah kamu menyebutkannya, kamu benar dengan itu." Kata Suimei.
"Kenapa? Bukankah tidak perlu mendengarkan apa yang musuh katakan, kan? Kamu juga berbicara dengannya tanpa tujuan di tengah pertarungan." Kata Hatsumi.
"Yah, hal semacam itu terjadi. Seluk-beluk di balik pertarungan sampai mati yang berubah menjadi sesuatu yang lain menjadi campur aduk. Ada pemahaman diam-diam." Kata Suimei.
"Akan baik-baik saja untuk menjebaknya saat dia berbicara." Kata Hatsumi.
"Aku sepenuhnya setuju. Tapi dengan lawan seperti itu, aku tidak bisa tidak merasa itu terlalu kasar. Apa kamu tahu? Musuh yang harus kamu kalahkan secara langsung.... siapapun di luar sana memiliki satu atau dua masalah dari itu. Itu sebabnya aku tidak ingin berbohong pada diriku sendiri. Tentu saja, aku memikirkan cara agar hanya kamu yang bisa kabur dari sini, tahu?" Kata Suimei.
Sejujurnya, itulah keinginan Suimei yang sebenarnya. Jika tujuan Eanru adalah Hatsumi, dalam skenario terburuk, Suimei bisa saja membawa Hatsumi ke suatu tempat yang tidak bisa dijangkau Eanru. Namun, Hatsumi mengerutkan keningnya seolah-olah dia sangat tidak setuju dengan ini.
"Dan.... kamu tidak terlihat senang dengan itu." Kata Hatsumi.
"Tentu saja tidak." Kata Suimei.
"Dan kamu sudah melihat kekuatanku, kan?" Tanya Suimei.
Setelah Hatsumi mengangguk sekali, Suimei melanjutkan.
"Aku masih di tengah jalanku, tapi aku sangat menyadari bahwa kekuatan yang kumiliki sangat hebat. Singkatnya, aku seperti tong mesiu yang otonom. Jika orang seperti itu melakukan apa yang dia inginkan, dan melemparkan kekuatannya tanpa mengetahui apapun, kamu bisa tahu apa yang akan terjadi, kan?" Kata Suimei.
"Itu....." Kata Hatsumi.
"Aku seorang magician. Bukan hanya monster, aku juga pernah menghajar beberapa orang sampai mati dengan magicka. Tapi mereka semua menyerangku. Aku tidak punya pilihan. Tapi bagaimana kalau itu tidak terjadi? Kalau aku mengayunkan kekuatanku tanpa benar-benar memahami keadaan orang-orang di sekitarku, dan kalau itu berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dibatalkan—" Kata Suimei.
Keheningan yang berat memenuhi udara. Hatsumi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hal itu sudah jelas. Hal itu adalah sesuatu yang Hatsumi, yang tidak punya ingatan namun memiliki kekuatan, harus sangat menyadari hal itu mengenai dirinya sendiri juga.
"Aku tidak ingin menyesali apapun setelah melakukannya. Itu sebabnya aku akan memiliki hal-hal yang ingin kuketahui, dan hal-hal yang akan kuragukan di tengah jalan. Keadaan pribadi lawan terkadang merupakan sesuatu yang tidak bisa langsung dipahami. Hanya karena saling bermusuhan, terlalu terburu-buru untuk memutuskan bahwa mereka harus dikalahkan apapun yang terjadi. Nah, kalau kamu terlalu berhati-hati, ada kemungkinan juga untuk kehilangan kesempatan, jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan cara mana yang lebih baik. Semua ini hanya masalah sepele, kan? Semua ini...." Kata Suimei.
Saat Suimei tertawa meremehkan diri sendiri dan melihat ke bawah pada dirinya sendiri, Hatsumi masih tidak bisa berkata apa-apa untuk membalasnya. Sementara Hatsumi membuat wajah seperti sedang mengamati sesuatu dengan saksama, Suimei memberikan kesan aslinya tentang Eanru.
"Yah, meski begitu, itu seperti dia tidak benar bagiku." Kata Suimei.
"Saat orang itu mengatakan akan memanfaatkanku, tidak ada lagi ruang untuk negosiasi." Kata Hatsumi.
Mendengar pernyataan Hatsumi yang suram, Suimei menghela napas dalam-dalam dan mengangguk. Dan kemudian, Suimei tiba-tiba jatuh ke tanah dengan lengan dan kakinya terentang.
"Yakagi?"
Kata Hatsumi dengan panik.
"Aku sangat, sangat lelah. Aku benar-benar ingin tidur di futon sekarang."
Kata Suimei. Mendengar pernyataan bodohnya itu, Hatsumi menjatuhkan bahunya dengan sikap putus asa. Sepertinya Suimei tidak akan bisa menggerakkan kaki dan tangannya dalam waktu dekat.
★★★★
Pertempuran yang terjadi di dataran antara pasukan Aliansi dan pasukan iblis telah berakhir. Pertempuran berakhir seri karena korban yang terus berjatuhan di kedua belah pihak, namun pasukan Aliansi—yang telah meremehkan kekuatan musuh mereka—telah menderita kerugian yang jauh lebih besar daripada pasukan iblis.
Saat ini, di luar benteng yang berfungsi sebagai benteng utama di area tersebut, pasukan Aliansi tengah berkumpul. Para jenderal yang selamat, rekan-rekan Hatsumi, Rumeya, Lefille, dan yang lainnya semuanya berada di dalam tenda utama, dan suasana di sana benar-benar mencekik. Rapat dewan perang tentang bagaimana cara melanjutkan berlangsung panas, paling tidak. Weitzer, yang posisinya menuntutnya untuk mempertimbangkan semua pilihan yang tersedia, mendengarkan setiap usulan dari para jenderal dan para perwira.
"Yang Mulia, bagaimana kalau kita menarik pasukan mundur sebentar? Jika kita mundur ke area dengan jurang, itu akan menguntungkan kita...."
Seorang perwira menyarankan.
"Tidak, jurang juga bisa menjadi kerugian. Banyak iblis yang memiliki kemampuan untuk terbang. Akan lebih baik untuk segera menarik seluruh barisan sekaligus dan mengumpulkan pasukan...." Saran yang lain.
"Keduanya tidak mungkin. Sampai Hero-dono kembali, kita tidak akan mundur."
Kata Weitzer. Berbagai macam ide dilontarkan, namun Weitzer bersikap tegas dalam masalah itu. Meskipun dia bersikap tegas, sebagian besar perwira dan jenderal hampir tidak dapat menyimpan pendapat mereka sendiri. Bahkan, satu orang dengan gigih mengikuti pembicaraan.
"Tapi Yang Mulia, jika kita terus seperti ini, kita tidak akan dapat memecahkan kebuntuan. Jika terjadi pertempuran di dataran terbuka sekali lagi, kita akan mengalami banyak korban."
"Itulah sebabnya kita meminta bala bantuan dari setiap negara bawahan. Kita akan menunggu sampai tentara dan perbekalan tiba."
"Tapi sementara kita menunggu, para tentara malah semakin cemas! Sekaranglah saatnya kita harus menyampaikan rencana yang tegas kepada mereka! Jika tidak, mereka akan percaya bahwa semuanya sudah berakhir dan moral akan anjlok!"
Saat itu, Weitzer tampaknya telah mencapai batas kesabarannya sebagai seorang pangeran di hadapan anak buahnya yang tidak mau mendengarkannya. Sambil membanting kedua tangannya ke meja di depannya, dia menendang kursinya ke belakang dan berdiri dengan tiba-tiba.
"Jika kita tidak memperbaiki diri, para prajurit pasti akan kehilangan harapan! Tapi tanpa Hero-dono, tidak akan ada harapan bagi pasukan! Terlebih lagi, jika kita meninggalkan Hero-dono dan melarikan diri setelah dia menyelamatkan kita, apa kita masih bisa menyebut diri kita sebagai prajurit?"
"Hrk!"
"Apa kalian mendengarku?! Hero-dono menyelamatkan kita, dan kita akan melakukan hal yang sama untuknya! Mereka yang berani meninggalkannya tidak berhak untuk bergantung padanya! Dengarkan kata-kataku dan tanamkan dalam hati kalian itu!"
Teriakkan Weitzer yang menggelegar menggelegar di tenda dengan kekuatan yang cukup untuk membungkam semua yang hadir. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak. Sementara itu, Rumeya, yang duduk di ujung meja di dewan perang, mulai berbicara kepada Lefille, yang duduk di sampingnya.
"Ya ampun. Tampaknya ini situasi yang cukup sulit bagi mereka, ya?"
Kata Rumeya kepada Lefille.
"Tolong jangan bicara seolah-olah itu bukan urusanmu, Rumeya-dono. Bukankah seharusnya kamu juga punya hak untuk berbicara dalam masalah ini? Sebagai kepala cabang guild, tolong sampaikan kata-kata dukunganmu."
Mendengar pendapat Lefille yang agak jengkel, Rumeya mengangkat bahunya.
"Aku tidak punya kepekaan terhadap taktik yang rumit. Meski begitu, tidak peduli bagaimana hasilnya, setidaknya aku akan mendengarkan." Kata Rumeya.
"Apa itu benar-benar baik-baik saja....?" Kata Lefille.
"Itu baik-baik saja, baik-baik saja kok!"
Rumeya mengepulkan asap pipanya saat dia benar-benar, dengan tidak bertanggung jawab mengabaikan masalah itu. Baik Felmenia dan Liliana, yang juga duduk di sebelah mereka, tampak seperti mereka terganggu oleh sikap acuh tak acuh Rumeya itu. Tidak menghiraukan mereka, Rumeya memanggil salah satu prajurit di dekatnya.
"Hei, hei..... kau yang di sana. Apa ada kabar dari para pengintai?"
Tanya Rumeya kepada prajurit itu.
"Pasukan iblis sudah mundur, nyonya! Laporan terbaru dari masing-masing benteng lainnya melaporkan hal yang sama. Mengenai kemungkinan serangan, bagaimanapun, mereka masih belum dapat mencapai kesimpulan." Kata prajurit itu.
"Jadi para iblis itu mundur, ya? Bukankah itu aneh, kan? Bahkan jika kita berhasil bangkit di akhir, jika harus kukatakan, mereka masih unggul. Lefi, bagaimana menurutmu?" Kata Rumeya.
"Ada dua alasan bagi mereka untuk mundur. Entah mereka telah mencapai tujuan mereka, atau mereka mengalami kerugian yang tidak dapat ditanggung. Mereka memang mengalami banyak korban, tapi menurutku itu tidak cukup untuk membuat seluruh pasukan mereka itu mundur." Kata Lefille.
"Dengan kata lain.... para iblis itu telah mencapai tujuan mereka. Itulah.... yang harus kita asumsikan." Kata Liliana.
"Seperti yang dikatakan Lily. Dan dalam kasus itu, masalahnya adalah...."
Kata Lefille sebelum merenungkan sesuatu.
"Apa sebenarnya tujuan mereka itu? Yah, Lefi, apa yang akan kamu lakukan pada kami jika itu adalah kamu?" Kata Rumeya.
"Tentara Aliansi menderita banyak korban dan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, sementara pahlawan mereka, Hatsumi-dono, saat ini hilang. Kerusakan yang terjadi pada pasukan itu serius, tapi kemungkinannya jauh lebih tinggi bahwa tujuan para iblis itu adalah sang pahlawan itu sendiri."
Jawaban Lefille tidak dapat disangkal, dan Felmenia menunjukkan ekspresi agak gelisah setelah mendengarnya.
"J-Jadi.... Suimei-dono gagal? Itukah yang kamu maksud?"
Bagi Felmenia, yang memiliki keyakinan penuh dan mutlak pada Suimei, gagasan bahwa Suimei gagal menyelamatkan Hatsumi tidak terpikirkan. Namun, Lefille menggelengkan kepalanya.
"Tidak, itu belum tentu terjadi. Rencana para iblis sebagian besar adalah untuk memisahkan Hatsumi-dono dari pasukan. Dan dalam hal itu, bisa dibilang mereka telah mencapai apa yang mereka inginkan. Mereka mungkin mulai mundur begitu mendengar itu terjadi. Dan selain itu, kita belum mendengar pernyataan apapun dari para iblis itu bahwa sang pahlawan telah dikalahkan. Ada kemungkinan besar sang pahlawan masih hidup." Kata Lefille.
"Begitu ya...."
Jika sang pahlawan telah dikalahkan, para iblis tidak akan ragu untuk mengangkat kepalanya ke langit dengan gemuruh perayaan yang hebat. Mungkin tidak ada yang lebih merusak moral pasukan Aliansi selain itu. Jika hal itu terjadi, terlepas dari berapa pun kerugian yang telah mereka alami, mereka akan terus menyerang. Jalan menuju kemenangan dari sana akan menjadi jalan yang pendek.
"Hal itu dengan asumsi bahwa iblis memiliki tingkat kelicikan dan kecerdasan seperti itu."
"Makhluk-makhluk itu licik. Mereka segera memanfaatkan kelemahan. Itulah sebabnya mereka menargetkan Hatsumi-dono secara khusus."
Pada dasarnya, itulah kesimpulan dari penjelasan Lefille—dan jawabannya atas pertanyaan awal Rumeya.
"Pasukan Aliansi kemungkinan akan mengobati luka mereka di sini untuk sementara waktu. Jika mereka membuat keputusan yang buruk untuk menarik kembali pasukan mereka karena takut akan lebih banyak korban, para iblis akan mengambil kesempatan itu untuk menerkam, yang hanya akan semakin menurunkan moral. Dalam kasus terburuk, pasukan iblis yang mundur mungkin akan berbalik."
"Jadi itu yang kamu ingin aku katakan kepada mereka?"
Rumeya menunjuk ke arah Weitzer dan perwakilan pasukan, dan Lefille mengangguk. Rumeya melirik Weitzer, lalu kembali menatap Lefille lagi. Sisi lain tenda masih tegang. Daripada mendingin, tampaknya keadaan malah semakin memanas. Para perwira masih belum bisa melupakan ide untuk mundur, dan bahkan Gaius dan Selphy—yang hingga saat ini diam saja—telah bergabung dalam diskusi serius.
"Aww, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkiiin! Daripada terjun ke dalam kekacauan panas itu, aku lebih baik pergi saja menyerang pasukan iblis saja.... Hei, aku mengatakannya secara impulsif, tapi haruskah kita melakukannya itu? Kita bisa langsung pergi. Bukankah itu yang terbaik?"
Ekor Rumeya bergerak-gerak gelisah saat dia mengedipkan mata pada kelompok itu. Melihat ini, Lefille menghela napas keras seolah dia sudah muak dengannya.
"Mengapa semua Therianthropes seperti ini...?" Kata Lefille.
"Sepertinya.... itu hanya.... sifat bawaan mereka." Kata Liliana.
"Clarissa-dono itu benar-benar aneh, kan." Kata Felmenia.
"Sepertinya begitu." Balas Lefille.
"Yup."
Liliana menyetujui. Lefille, Liliana, dan Felmenia mengangguk berulang kali. Saat mereka terus berbicara di antara mereka sendiri, pintu masuk tenda tiba-tiba terbuka. Seorang prajurit yang terengah-engah melompat masuk dengan rasa urgensi yang besar.
"L-Lapor!"
"Ada apa?!"
Orang yang berbicara kepada prajurit itu adalah orang yang berada di pusat dewan perang, Weitzer. Prajurit itu kemudian mengatur napasnya dan menjawab dengan gembira.
"Hero-sama telah kembali ke tenda!"
Mendengar kabar baik itu, tenda itu langsung dipenuhi dengan suara-suara lega. Namun, Weitzer menenangkan mereka dan berbicara kepada prajurit itu.
"Apa ini berarti Hero-dono baik-baik saja?"
"Benar, Yang Mulia. Dia berjalan menuju tenda dengan kakinya sendiri."
Lefille mengambil kesempatan itu untuk mengajukan pertanyaannya sendiri kepada prajurit itu.
"Apa dia kembali sendirian?"
"Tidak, pemuda berpakaian hitam itu bersamanya. Bahkan, Hero-sama tampaknya menjadi orang yang meminjamkan bahunya untuk berjalan...."
Mendengar laporan itu, Lefille dan Felmenia melompat dari tempat duduk mereka.
"Apa Suimei-kun terluka?!"
"Apa Suimei-dono baik-baik saja?!"
Terkejut hebat oleh teriakan mereka yang tiba-tiba, prajurit itu jatuh terduduk. Namun, mereka lebih peduli pada keselamatan Suimei daripada si pembawa pesan itu. Karena itu, mereka terus menanyai prajurit di lantai itu tanpa menahan diri. Meskipun benar-benar bingung, entah bagaimana prajurit itu berhasil menjawabnya.
"Er, uh.... tidak. Dari kelihatannya, pemuda itu tidak tampak terluka, tapi cukup jelas bahwa dia juga tidak sehat."
"Langsung saja intinya! Beritahu kami apa maksudmu itu, dan jelaskan dengan jelas!"
Kata Lefille mendesak prajurit.
"Ini sangat penting! Tolong jawab itu!”
Kata Felmenia dengan memaksa.
"Kalian berdua, tolong jangan bersikap tidak masuk akal. Ayo, mundurlah sedikit."
Saat Rumeya mencoba menenangkan mereka, Liliana menyarankan solusi yang lebih mudah dan langsung untuk masalah itu.
"Ayo kita pergi melihatnya...."
Pada saat itu, diputuskan bahwa dewan perang akan ditunda untuk sementara waktu, dan semua orang di dalam tenda segera pergi.
★★★★
Setelah melewati sisa-sisa hutan darkwood, Suimei dan Hatsumi telah kembali ke wilayah Aliansi. Dari sana, mereka menuju ke benteng utama, dan sekarang aman di dalam tembok pelindungnya. Hatsumi duduk di sebuah kotak kayu sementara Suimei menjatuhkan diri ke tanah untuk beristirahat. Tidak lama kemudian Felmenia dan yang lainnya berlari menghampiri. Melihat mereka, Suimei melambaikan tangan kepada mereka sambil tersenyum.
"Yo. Aku kembali." Kata Suimei.
"Selamat datang kembali, Suimei-dono. Aku sangat senang melihatmu selamat."
Felmenia terdengar lega. Dia mengulurkan tangannya kepada Suimei, dan dari tempatnya duduk, Suimei memberinya tos. Sementara itu, Liliana menatapnya dengan senyum yang menyenangkan namun bingung.
"Kamu selalu membuat.... dirimu babak belur, bukan?"
Kata Liliana kepadanya.
"Aku tidak bisa mengatakan apapun untuk itu." Kata Suimei.
"Selamat datang kembali.... apa kamu baik-baik saja?"
Tanya Liliana kepada Suimei.
"Hanya sangat lelah." Balas Suimei.
Di antara rasa lelah dan kehabisan mana, Suimei hampir tidak bisa bergerak. Namun selain itu, semua lukanya sudah sembuh. Menyaksikan adegan reuni ini berlangsung dari samping, Hatsumi memiringkan kepalanya sedikit ke samping.
"Siapa para gadis ini....?" Tanya Hatsumi.
"Rekan-rekanku." Balas Suimei.
"Begitu ya.... ini bukan seperti aku peduli, tapi mereka hanya perempuan, ya?"
Kata Hatsumi dengan nada yang terdengar jengkel.
"Hah? Itu... benar." Kata Suimei.
"Uhuh."
Hatsumi menatap Suimei dengan curiga. Namun, Suimei, tidak dapat mengatakan apa yang menyebabkan perubahan sikapnya seperti itu, hanya menatapnya dengan bingung.
"Ada apa?"
Kata Suimei dengan bingung.
"Tidak ada. Bagaimanapun, bukankah kamu itu sedikit gegabah? Meskipun datang untuk menyelamatkanku, aku harus meminjamkan bahuku kepadamu untuk kembali."
Kata Hatsumi kepada Suimei.
"Yah, itu benar, ada apa dengan itu? Sungguh merepotkan berjalan sendiri."
Kata Suimei membalasnya.
"Betapa payahnya." Kata Hatsumi.
"Aku tidak punya banyak ruang untuk berbicara untuk itu mengingat aku datang untuk menyelamatkanmu atas kemauanku sendiri, tapi.... salah siapa aku berakhir seperti ini lagi?" Kata Suimei, memprotesnya.
"Oof.... kalau kamu mengatakannya seperti itu, aku tidak bisa membantahnya...."
Kata Hatsumi. Saat Suimei menatapnya dengan mata setengah tertutup, Hatsumi hanya bisa mengerang. Karena sifatnya yang serius, Hatsumi tidak akan pernah membantah saat dihadapkan dengan kebenaran. Dan saat mereka bertukar obrolan kecil itu, gelombang orang berikutnya keluar dari tenda. Melihat Hatsumi duduk di atas kotak, Selphy berlari menghampirinya.
"Hatsumi!"
Dengan teriakan kegirangan, Selphy memeluknya. Hatsumi terkejut sekaligus gugup karena pelukan yang tiba-tiba itu.
"Oomph! Selphy, tunggu.... kalau kau tiba-tiba melakukan itu...." Kata Hatsumi.
"Hatsumi.... aku senang kamu baik-baik saja." Kata Selphy.
"Terima kasih. Sungguh, aku selamat karena kalian semua."
Kata Hatsumi. Saat Selphy mengungkapkan kelegaannya, Hatsumi membalas dengan ramah. Mereka berdua senang bertemu satu sama lain. Dan saat keadaan mulai tenang di antara mereka, Weitzer dan Gaius—yang telah menonton dari samping—akhirnya memanggilnya.
"Hero-dono. Selamat datang kembali." Kata Weitzer.
"Terima kasih. Dan syukurlah kalian semua baik-baik saja."
Balas Hatsumi kepadanya.
"Syukurlah. Sekarang akhirnya aku bisa bersantai dan minum."
"Hanya itu yang kau pedulikan, bukan, Gaius?"
Sejalan dengan sikap riang Gaius, tawa mulai terdengar di antara kelompok itu. Bahkan Suimei, yang melihat dari balik senyumnya, menyeringai lebar.
"Hei, orang tua. Aku melakukan apa yang kukatakan, bukan?"
Kata Suimei kepada Gaius.
"Kau benar-benar hebat, nak."
Balas Gaius. Ada ekspresi rumit di wajah Suimei saat dia mengalihkan pandangan, namun itu bukan ekspresi yang tidak menyenangkan. Rumeya, yang pada suatu saat telah duduk di sebuah kotak di dekatnya, mengambil kesempatan itu untuk memanggil Suimei sambil mengisap pipanya.
"Kudengar kamu harus meminjam bahu sang pahlawan untuk datang ke sini."
Kata Rumeya kepada Suimei.
"Ya, itu benar! Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Felmenia menyela, bertanya kepada Suimei.
"Karena kamu tidak bisa berjalan sendiri, Suimei-dono...."
"Memang, itu aneh..... jika yang kamu lakukan.... hanyalah mencari sang pahlawan.... seharusnya tidak ada alasan untuk seperti itu." Tambah Liliana.
"Apa itu ulah iblis?" Tanya Gaius.
"Itu.... sulit dibayangkan."
Liliana yang mengatakannya, namun setiap anggota kelompok Suimei mengangguk. Di mata mereka, tidak peduli berapa banyak iblis yang terbang ke arah Suimei itu, mereka tidak akan pernah menjadi ancaman baginya. Namun, masih menunggu jawaban atas pertanyaan yang ada, Lefille mengangkat alisnya.
"Suimei-kun?" Desak Lefille.
"Ada satu orang jahat yang muncul." Kata Suimei.
"Maksudmu itu, seorang jenderal iblis?" Tanya Gaius.
"Hah? Seorang jenderal iblis?"
Suimei memiringkan kepalanya ke samping. Melihat reaksi itu, Hatsumi tampak benar-benar tercengang.
"Kita memang melawan satu loh. Apa kamu benar-benar lupa itu? Kamu bercanda, kan? Itu hanya...."
Mendengar nada tercengang Hatsumi, Suimei mulai mengusap dagunya. Apa ada sesuatu yang seperti itu? Mengerang seperti kepalanya sakit, dia menatap langit, lalu tanah, dan akhirnya lampu menyala.
"Hrm.... Ah, oh ya! Iblis yang menggunakan teknik tiruan yang buruk itu!"
Kata Suimei akhirnya mengingat itu.
"Seriusan....?"
Suara jengkel Hatsumi menggantung di udara. Hatsumi tidak pernah menyangka Suimei akan melupakannya begitu saja. Melihat Hatsumi dengan kuat menempelkan wajahnya di telapak tangannya, Suimei hanya bisa tersenyum pahit. Keterkejutan karena melawan Eanru telah sepenuhnya melupakan pertemuan mereka dengan Vuishta. Menilai bahwa Hatsumi tidak akan bisa langsung ke pokok permasalahan dengan Suimei seperti ini, Selphy menoleh ke Hatsumi dan melanjutkan pembicaraan.
"Jadi seorang jenderal iblis benar-benar muncul?"
Tanya Selphy kepadanya.
"Ya, dan kami melawannya." Balas Hatsumi.
"Apa kamu sedang bercanda? Kita menghancurkannya. Keroco seperti itu tidak ada apa-apanya. Yang lebih penting...." Kata Suimei.
"Jenderal iblis.... hanya keroco....? Hanya... keroco?"
Suimei terdengar sama sekali tidak peduli, dan Selphy mulai menggumamkan kata-katanya berulang kali dengan nada tercengang dari dalam tudungnya. Bagi mereka, para iblis adalah ancaman besar. Sulit untuk menganggap serius apa yang dikatakan Suimei itu, dan bukan hanya Selphy. Baik Weitzer dan Gaius juga mengerutkan kening mereka. Yang mendesak percakapan dari sana adalah Lefille.
"Dari caramu berbicara."
Kata Lefille kepada Suimei.
"Sepertinya ada lawan lain selain jenderal iblis yang membuatmu dalam keadaan seperti ini ." Lanjutnya.
"Ya."
Setelah Suimei mengangguk, Hatsumi menyela.
"Berkat Yakagi, kami berhasil mengalahkan jenderal iblis itu dengan sukses, tapi setelah itu, orang itu langsung muncul." Kata Hatsumi.
"Dan siapa sebenarnya 'Orang itu' ini?"
"Orang itu menyebut dirinya sebagai dragonnewt."
"Dra—?!"
"Dragonnewt?!"
Gaius dan Weitzer berteriak kaget. Hatsumi menatap mereka berdua dengan bingung.
"....Apa itu buruk?"
Kata Hatsumi dengan bingung.
"B-Buruk, katamu? Kau pasti bercanda? Daripada buruk, aku akan menyebutnya...."
Gaius begitu diliputi keterkejutan sehingga dia tidak dapat langsung ke intinya. Suimei melihat sekeliling untuk mendapatkan jawaban dari orang lain, namun setiap anggota kelompok itu membuat ekspresi terkejut yang sama. Satu-satunya yang masih tampak tenang adalah Rumeya, jadi dia menatapnya.
"Wow, dragonnewt, ya? Mereka adalah ras yang tinggal di pegunungan di utara Aliansi. Dikatakan bahwa mereka memiliki tubuh terkuat dari semua makhluk di dunia ini. Sebenarnya, mereka memang sangat kuat. Tapi, mereka bukan tipe yang ikut campur dalam urusan duniawi. Tapi kamu mengatakan kamu melawan salah satu dari mereka itu?" Kata Rumeya.
"Ya."
Jawab Suimei.
"Jangan bilang kamu benar-benar menghajarnya?"
Kata Rumeya kepada Suimei.
"Sama sekali tidak. Aku mengerahkan segenap tenagaku untuk mengakhiri semuanya dengan hasil seri, yang sebenarnya lebih seperti kekalahan." Kata Suimei.
"Keajaiban tak pernah ada habisnya padamu, bukan?"
Kata Rumeya. Bahkan dengan tambahan yang ditempelkan di akhir pernyataan Suimei, keheranan Rumeya semakin bertambah. Saat percakapan mereka hampir berakhir, Suimei menatap Lefille.
"Aku juga ingin mendengar pendapatmu tentang ini sebagai perspektif."
Kata Suimei kepada Lefille.
"Aku bisa memastikan apa yang dikatakan Rumeya-dono. Dragonnewt itu kuat. Mereka mendiami daratan yang berbatasan dengan wilayah iblis, tapi mereka tidak hanya tidak kuat, mereka juga berkembang pesat. Meskipun kalah jumlah, mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk bertarung dengan ruang yang tersisa."
Mendengar Lefille mengatakan itu, Suimei teringat monolog Eanru saat dia pertama kali muncul.
"Ya, sekarang setelah kamu menyebutkan hal itu, dia memang mengatakan sesuatu tentang para iblis itu sebagai hama." Kata Suimei.
"Ya, orang itu memang mengatakan itu...." Jawab Hatsumi.
"Tapi hal ini hanya menegaskan bagiku bahwa dia itu benar-benar orang yang keterlaluan." Lanjutnya.
Saat mereka berdua mengingat apa yang telah terjadi dan keduanya menghela napas mereka, Selphy mengajukan pertanyaan.
"Tapi kenapa seorang dragonnewt bertarung dengan kalian berdua?"
Kata Selphy menanyakan itu.
"Siapa yang tahu? Dia bilang dia ingin membawa Hatsumi, tapi kami tidak bisa mendapatkan lebih banyak darinya." Kata Suimei.
"D-Dia ingin membawa Hatsumi?!"
"Dia bilang dia membutuhkan kekuatan pahlawan atau semacamnya. Aku bertanya-tanya untuk apa itu...."
Saat Suimei mengusap dagunya, Weitzer berteriak keras.
"Dasar bajingan, bagaimana mungkin kau tidak bisa mendapatkan informasi penting seperti itu?!" Teriak Weitzer.
"Hah?"
"Ini masalah penting yang menyangkut keselamatan Hero-dono! Tidak bisa mendapatkan informasi sepenting itu—" Gerutu Weitzer.
"Aah, sial, kau diam saja. Dia bukan tipe lawan yang bisa kau dapatkan jawabannya dengan paksa. Kau paham itu? Atau kau bilang kau ingin bertanya sendiri padanya? Dari awal hingga akhir, itu hanyalah festival trauma bagiku, kau dengar itu? Dia itu dragonnewt—dragonnewt, sialan! Bisakah kau melawan monster yang dapat membawa kehancuran ke dunia yang dihuni tujuh miliar orang dan kehidupan seperti yang kita ketahui?! Hah?! HAH?!" Kata Suimei.
"I-Itu...."
Weitzer tidak bisa menjawabnya. Suimei memamerkan taringnya saat dia melotot tajam ke arah Weitzer. Suimei sangat marah hingga hampir menggeram. Melihat ini, Felmenia dan Lefille mulai mencoba menenangkannya.
"Tenanglah… Suimei...." Kata Suimei.
"Memangnya aku ini apa, seekor kuda?!"
Kata Suimei dengan marah.
"Tolong tenanglah, Suimei-dono. Ini tidak seperti dirimu...." Kata Felmenia.
"Itu jelas tidak mungkin! Orang sialan ini membuatku marah!"
Kata Suimei kepada mereka.
"Suimei-kun, kamu bersikap tidak masuk akal lagi. Apapun yang kamu lawan itu berbeda dari lawan yang kamu lawan di duniamu, benar?" Tanya Lefille.
"Itu benar, tapi naga adalah naga—URRRGH!"
Kata Suimei sebelum ditahan oleh Lefille.
"Kami tidak bisa membiarkanmu bertindak kasar sekarang, Suimei-kun."
"GYAAAAAAAH! Lefi-san, aku akan hancur! Aku akan benar-benar hancur! Kamu menekan terlalu keras, sialan!" Protes Suimei.
Saat Lefille menjepit kedua bahu Suimei itu, semua orang di sekitar mereka memperhatikan mereka dengan bingung. Bukan hanya karena apa yang mereka lakukan, namun karena apa yang mereka bicarakan.
"Suimei.... ini tidak... seperti dia yang biasa...." Kata Liliana.
"Dia pasti benar-benar kehabisan akal. Aku pernah melihat Suimei-dono bertindak seperti ini sebelumnya...."
Felmenia teringat saat Suimei pertama kali datang ke dunia ini dan mengamuk di ruang pertemuan. Saat itu, Suimei benar-benar kehilangan ketenangannya pada situasi tidak masuk akal yang menimpanya. Setidaknya Suimei memiliki kendali diri untuk tidak mengamuk dengan magicka, namun dia tampaknya bertindak sesuai usianya sesekali. Tak lama kemudian, setelah Suimei berhasil tenang, Gaius adalah orang yang mengembalikan pembicaraan ke jalurnya.
"Apa kau setidaknya tahu Namanya, nak?"
"Y-Ya.... dia menyebut dirinya Eanru." Kata Suimei.
"Eanru, ya?" Kata Gaius.
"Hmm? Di mana ya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya....?"
Gaius tidak tahu, namun Rumeya sepertinya mengingatnya. Tiba-tiba menyadarinya sendiri, wajah Selphy menjadi pucat pasi.
"Aku juga pernah mendengar nama itu sebelumnya.... lebih dari seratus tahun yang lalu, ada dragonnewt yang sangat kuat yang mengalahkan 'Man-Eating Evil' yang konon tidak ada yang bisa mengalahkannya." Kata Selphy.
"Apa itu dia?" Tanya Suimei.
"Jika ingatanku benar, masterku memberitahuku bahwa namanya adalah Eanru. Mungkin...." Jawab Selphy.
"Astaga, jadi bajingan gila itu.... kurasa jika itu seratus tahun yang lalu, mereka memiliki rentang hidup yang sangat panjang, ya?"
Suimei menghela napasnya seperti sedang kesal.
Rumeya-lah yang menjawab pertanyaan Suimei itu.
"Dragonnewt, Elf, dan Dwarf semuanya mirip karena memiliki rentang hidup yang panjang. Aku juga pernah mendengar cerita tentang Man-Eating Evil. Dragonnewt itu mungkin sudah berusia sekitar dua ratus tahun, kurasa."
"Hebat. Jadi ada banyak orang di dunia ini yang hidup selama itu? Hal itu membuatku merinding."
Suimei dengan berlebihan memegang bahunya dan gemetar, dan pada saat itulah Felmenia bergabung dalam percakapan.
"Apa buruk jika mereka berumur panjang?" Kata Felmenia.
"Di duniaku, kebanyakan orang yang berumur panjang itu berbahaya. Hal itu semacam standar. Bahkan mereka yang hanya hidup selama seratus tahun semuanya berbahaya. Lebih tepatnya, sangat berbahaya." Kata Suimei.
"Jadi karena itu kamu bertindak sejauh itu, Suimei-dono...."
Sementara Felmenia membuat ekspresi muram saat dirinya berbicara, Suimei mengingat daftar monster seperti itu yang pernah ditemuinya. Daftar itu termasuk pemimpin Society, ketua, profesor monster, dan Greed of Ten. Mereka semua adalah magician yang memiliki kekuatan yang mengerikan. Selama jeda percakapan ini, Hatsumi angkat bicara.
"Apa semua orang setuju jika kita mengakhiri ini? Aku baik-baik saja, tapi...."
Kata Hatsumi, melirik Suimei.
Suimei bahkan tidak repot-repot memasang ekspresi yang kuat.
"Aku hanya ingin tidur. Kita akhiri saja malam ini."
Menebak bahwa Hatsumi juga lelah, Suimei mengungkapkan keinginannya sendiri untuk beristirahat. Merupakan tugas seorang laki-laki untuk tetap tegar dalam situasi seperti ini, namun akan lebih baik bagi pasukan untuk melihat Hatsumi beristirahat. Tepat saat dirinya berpikir untuk mencari tempat untuk melakukan hal yang sama, Suimei berdiri dan tiba-tiba merasakan kehadiran di belakangnya. Dan saat Suimei mencoba mencari tahu siapa itu....
"Karena kamu tidak bisa bergerak, Suimei-kun...."
"Hah?"
Tepat saat Suimei mengira mendengar suara Lefille, seseorang mencengkeram lengannya. Suimei kemudian diangkat dan dengan bingung berbalik di udara. Pada saat dia menyadari apa yang sedang terjadi, Suimei mendapati dirinya berada di punggung Lefille.
"Tu— @×〇△?!" Kata Suimei.
"Suimei-kun, kamu berbicara tidak jelas, tahu?"
"Terserahlah! Apa yang kamu lakukan ini, Lefi-san?!"
"Kamu tampaknya kesulitan bergerak sendiri, jadi kupikir aku akan menggendongmu?"
Suimei berterima kasih atas pertimbangan Lefille itu, namun sebagai seorang laki-laki yang digendong di punggung seorang perempuan seperti itu, dia mendapat tatapan aneh dari semua orang.
"H-Hentikan, hentikan, hentikan itu! Turunkan aku! Aku baik-baik saja, jadi turunkan saja aku!" Protes Suimei.
"Itu jelas tidak mungkin. Kamu lelah, kan? Lebih baik jangan memaksakan diri."
"Lupakan tentang memaksakan diri! Digendong oleh seorang gadis sepertimu itu terlalu menyedihkan, tahu!" Protes Suimei.
"Itu terlalu buruk. Jadi ini yang kamu dapatkan karena menggunakan kekuatanmu hingga batasnya." Kata Lefille.
"Itu bukan..."
Suimei hendak mengatakan "Salahku" namun tiba-tiba teralihkan ketika dia menyadari Rumeya sedang mencibir padanya.
"Hehehe...."
"Apa— Kamu! Jangan menertawakanku!" Protes Suimei.
"Tapi, kamu tahu...."
"Aku tidak tahu, sialan! Menia, apa yang kamu tertawakan juga?!"
"Sangat tidak biasa bagi Suimei-dono untuk menjadi sangat gelisah. Hehehe...."
Felmenia menunjukkan hal ini kepada Suimei, namun Felmenia tersenyum lembut sepanjang waktu. Suimei dengan cepat kehabisan sekutu. Suimei mencapai titik puncaknya, namun itu tidak menghentikan Liliana untuk mengambil gilirannya.
"Suimei, menerima niat baik orang lain... adalah hal yang dewasa untuk dilakukan."
Kata-kata yang sangat polos itulah yang memberikan pukulan terakhir pada Suimei. Pada akhirnya, menilai bahwa dirinya tidak akan dapat melarikan diri dari nasibnya untuk terbawa suasana, Suimei hanya bisa berteriak dengan megah untuk mengungkapkan kekesalannya.
"Sialaaan! Kalian semua, aku akan mengingat hal ini!"
Setelah menghabiskan malam beristirahat di benteng, kelompok Suimei kembali ke Miazen.