Selain mengeluarkan suara kaget, Suimei benar-benar membeku. Bahkan seperti tersihir karenanya. Rambut emas Hatsumi yang bukan gaya jepang, warisan kakeknya, licin karena air. Kulitnya yang bercahaya juga basah kuyup. Garis-garis tubuhnya membentuk bentuk menakjubkan yang Suimei tidak bisa tidak ikuti dengan matanya. Sosoknya menawan. Menatapnya sebagai balasan, Hatsumi membuat seruan yang sama tercengangnya. Hatsumi duduk membeku, masih memegang seember air di bahunya di sana.
Kalau dipikir-pikir secara logis, ini semua masuk akal. Bagaimanapun ada sebuah sumur di belakang kapel di mana orang bisa datang untuk menyucikan pikiran dan tubuh mereka.
Budaya pemandian terkunci pada satu wilayah di dunia ini. Di luar waktu tersebut, orang-orang lebih suka menggunakan spons basah untuk membersihkan diri. Namun bagi seseorang yang terbiasa dengan pengalaman mandi seutuhnya, hal itu terasa kurang tepat. Dapat dimengerti jika mereka ingin keluar ke sumur untuk setidaknya membilas diri.
"Um, kamu tahu, ini, um...."
Meskipun benar-benar tidak relevan, Suimei melakukan yang terbaik untuk memberikan alasan. Suimei ingin menjelaskan kalau dirinya tidak berniat mengintipnya. Namun demikian, tampaknya itulah yang dikira Hatsumi. Sepertinya Hatsumi hendak berteriak.
"Kau mes—"
"T-Tunggu!"
Mengetahui siapapun yang mendengarnya akan datang ke sana, Suimei berlari ke arah Hatsumi. Setelah menangkis ember yang Hatsumi lemparkan padanya, Suimei menggenggamnya.
"Urgh!"
"T-Tunggu! Tolong tenanglah! Aku mohon padamu!"
Suimei dengan terampil menyelinap ke belakang Hatsumi dan meraihnya.Untuk mencegah Hatsumi meninggikan suaranya, Suimei menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Semua yang terjadi secara tiba-tiba membuat mereka kehilangan keseimbangan, dan mereka berdua terjatuh ke belakang. Namun Suimei sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Tidak, dengan seorang penjaga yang masih berpatroli di area tersebut, perhatian penuhnya tertuju pada upaya menjaga seorang perempuan yang panik agar tidak berteriak-teriak melakukan pembunuhan berdarah di tengah malam.
Begitu hal itu terjadi, semuanya akan berakhir. Penjaga pertama akan muncul, lalu penjaga lainnya dan penjaga lainnya hingga situasi berubah menjadi pengulangan terakhir kali. Semua itu akan menyia-nyiakan satu-satunya kesempatannya untuk berbicara dengan Hatsumi, jadi Suimei ingin menghindarinya apapun yang terjadi. Namun Hatsumi, tentunya, tidak terlalu senang dengan situasi ini. Hatsumi menggeliat sebaik mungkin untuk mencoba melepaskan diri dari genggaman Suimei itu. Suimei mempererat cengkeramannya dengan lengan kirinya. Suimei memfokuskan magicka-nya untuk mencoba membentuk penghalang, jadi yang Suimei miliki untuk menahan Hatsumi hanyalah kekuatannya sendiri.
"Mm! Mmmph!"
"Seperti yang sudah kubilang, tolong tenanglah....."
"Mmm— Hom!"
"Oww! Sial, tinggal sedikit lagi...."
Suimei melakukan yang terbaik untuk menggunakan magicka-nya dengan panik. Suimei ceroboh—itulah yang seharusnya dirinya lakukan sejak awal. Namun tidak ada gunanya menyalahkan dirinya sendiri sekarang. Suimei harus segera fokus menyebarkan Phantom Road.
Membentuk penghalang menghabiskan sebagian besar konsentrasi Suimei. Ketika akhirnya selesai, Hatsumi tampak sudah sedikit tenang. Setidaknya Hatsumi sudah berhenti meronta. Dan dengan penghalang yang sekarang mengisolasi mereka dari dunia luar, Suimei menghela napas lega sambil melepaskan mulut Hatsumi.
"Maaf soal itu. Aku tidak punya....."
"Maksudmu kau tidak punya pilihan?! Orang mesum!"
Suimei masih memeganginya, namun Hatsumi tidak ragu untuk mencelanya dengan kekuatan yang sama seperti yang Hatsumi gunakan untuk menggigitnya.
"K-Katakan sesukamu, tapi aku tidak menyangka kamu ada di tempat seperti ini....."
"Cukup! Sekarang biarkan aku pergi! Berapa lama kau berencana memegang dadaku, idiot?!"
"Apa—?"
Mendengar kata-kata itu, Suimei akhirnya menyadari posisi seperti apa dirinya saat ini. Suimei begitu fokus untuk menahan Hatsumi sehingga dirinya tidak menyadari kalau tangan kirinya telah memegang erat payudara Hatsumi. Butuh beberapa detik bagi Suimei untuk memahami situasinya. Lalu beberapa lagi untuk menertibkan pikirannya. Menyadari kalau dirinya membutuhkan waktu terlalu lama untuk bereaksi, wajah Suimei menjadi sangat merah. Suimei segera melepaskan Hatsumi dan melompat mundur. Setelah Suimei memikirkannya, dia merasa dirinya telah memegang sesuatu yang lembut ketika dia mengencangkan cengkeramannya pada gadis itu....
"M-M-M-M-Maaf!"
"Aku yakin kau memang sengaja, dasar mesum! Pertama kau menyelinap ke kamarku di tengah malam, dan sekarang kau menyelinap ke arahku saat aku sedang mandi sehingga kau bisa meraba-rabaku! Jika itu bukan perilaku orang yang benar-benar bajingan, aku tidak tahu harus menyebutnya apa lagi!"
"Maaf!" Suimei menjawab dengan suara histeris.
"A-A-Aku tidak punya komentar apapun untuk itu...."
Dengan cara yang tidak seperti biasanya, Suimei dengan lemah lembut berlutut untuk meminta maaf. Hatsumi, sementara itu, kesulitan mengambil posisi sambil tetap menutupi dirinya. Hanya dengan lengan dan tangannya, Hatsumi melakukan yang terbaik untuk menutupi dirinya, meskipun itu tidak ada gunanya. Satu lengannya menutupi dadanya, namun sepertinya Hatsumi tidak menyadari dua kilatan warna merah jambu yang keluar dari bawahnya. Melihat pipi gadis itu dengan malu-malu memerah saat dirinya memelototinya, Suimei akhirnya menyadari apa yang bisa dirinya lakukan.
"U-Um, tolong ambil ini....."
Suimei dengan rendah hati pergi mengambil pakaian Hatsumi yang tergantung di dekatnya dan menyerahkannya padanya. Suimei terus mengarahkan pandangannya ke bawah agar dirinya tidak melihat apapun secara tidak sengaja, namum untuk berjaga-jaga, Suimei juga tetap menutup matanya. Hatsumi mengambil pakaiannya, namun tetap waspada.
Ketika Suimei tidak bisa lagi mendengar suara gemerisik dari pakaian, Suimei akhirnya mengangkat kepalanya. Kemungkinan terburuknya, dia mungkin akan ditebas saat itu juga, namun sepertinya Hatsumi tidak memegang pedangnya. Mungkin sebenarnya ada baiknya Suimei menemukannya saat Hatsumi sedang mandi. Ketika Suimei menatap Hatsumi, Hatsumi melihat sekeliling dengan ragu.
"Aku berteriak cukup keras..... kenapa tidak ada yang datang?"
"Sekarang area ini telah diisolasi melalui magicka. Kamu bisa berteriak sesukamu, tapi tidak akanada seorang pun yang akan mendengarmu."
"Dengan kata lain, kau pikir kalau kau telah menangkapku?"
Hatsumi menatap Suimei lebih tajam dari pisau apapun. Bahkan nada suaranya sangat tajam. Suimei mengangkat kedua tangannya ke udara seolah-olah memohon agar dirinya tidak bersalah.
"Maksudku, aku tidak punya niat untuk menyakitimu...."
"Menurutku, kau sudah cukup melakukan banyak melakukan pelecehan padaku."
"Aku minta maaf. Aku minta maaf. Tolong maafkan aku. Bagian itu tidak disengaja."
Suimei bersujud dan meminta maaf dengan berbagai cara yang dirinya bisa pikirkan. Melihat dirinya berperilaku sangat berbeda dari terakhir kali Suimei menyusup ke Istana, dapat dimengerti kalau Hatsumi terkejut dan menghela napas panjang.
".....Jadi? Mengapa kau ada di sini?"
"Seperti yang aku katakan terakhir kali, aku datang untuk berbicara."
"Tentang kita yang merupakan teman masa kecil?"
"Itu benar."
Suimei mengangguk dengan ekspresi serius, namun Hatsumi tidak terpengaruh.
"Aku yakin kalau aku telah menyangkal hal itu terakhir kali, bukan? Bagaimana bisa teman masa kecil dari dunia lain datang mengunjungiku ke sini, hmm?"
"Aku juga dipanggil ke dunia ini. Tidak ada kemungkinan lain selain itu, kan?"
"Apa kemungkinannya.....? Dengan kata lain, apa kau juga seorang Hero?"
"Tidak, aku terseret dalam pemanggilan Reiji..... temanku yang lain dalam ritual pemanggilan, dan aku diseret bersamanya. Pernahkah kamu mendengar tentang kecelakaan yang terjadi selama ritual pemanggilan di Kerajaan Astel?"
"Setelah kau menyebutkannya, hal itu memang menarik perhatian....."
"Dan itulah mengapa aku ada di sini sekarang."
Suimei terdengar agak muak menjadi korban dari itu, namum Hatsumi terus menatapnya dengan tatapan ragu. Menyadari dirinya masih belum bisa membuat percaya Hatsumi, Suimei meringis.
"Lalu apa yang harus kukatakan padamu agar kamu percaya padaku? Nama orang tuamu? Keahlianmu? Hobimu? Hal-hal yang kamu suka....? Jika tidak ada yang berhasil, aku juga dapat membicarakan rahasia terdalam dan tergelapmu, atau masa lalumu yang memalukan."
"Apaku katamu?! Bagaimana kau bisa mengetahui rahasia terdalam dan tergelapku?!"
"Lagipula, kita sudah bersama-sama sejak kita masih bocah nakal. Kita ini adalah sepupu yang tinggal bersebelahan, tahu."
"Apa? Sepupu....? Benarkah itu?"
Suimei mengangguk kembali karena keterkejutan Hatsumi karena mereka adalah keluarga. Tampaknya itu sudah cukup untuk mulai meruntuhkan dinding keraguannya, meski ekspresinya masih sedikit gelisah.
"Jadi kamu masih tidak percaya padaku?"
".....Apa menurutmu aku benar-benar bisa memercayai apapun yang dikatakan orang asing?"
"Yah, itu memang masuk akal....."
Hatsumi adalah seorang Hero yang amnesia, yang menempatkannya dalam posisi berbahaya. Banyak orang yang menunggu untuk mengambil keuntungan darinya. Sangat bisa dimengerti jika Hatsumi tetap waspada, dan itu termasuk mengenai orang lain dan apa yang mereka katakan padanya dengan rasa skeptis yang cukup. Tanpa mengetahui siapa yang bisa atau tidak bisa dirinya percayai, Hatsumi mengalami kesulitan.
Suimei merosotkan bahunya dan menggaruk kepalanya karena frustrasi. Jika kata-kata tidak bisa meyakinkannya, Suimei tidak punya cara lain untuk membuktikan apa yang dirinya klaim itu benar. Yang bisa Suimei lakukan hanyalah berdoa agar ingatan Hatsumi bisa kembali. Sambil merenungkan situasinya, Suimei melipat tangannya dan mengerang. Hatsumi menatapnya lekat-lekat, dan tak lama kemudian, berbicara dengan suara pasrah.
".....Baiklah. Aku akan mempercayaimu. Jika kau benar-benar berencana untuk menjatuhkanku, kau tidak akan membiarkan kesempatan apapun lepas."
"Benarkah?"
"Setidaknya sepertinya kau tidak bermaksud jahat padaku. Lagipula, kau tahu banyak hal tentangku yang belum kuceritakan pada siapapun—dan masih banyak lagi. Dan satu hal lagi. Bisakah kau menyebutkan nama lengkapku?"
"Kuchiba Hatsumi."
"Dan namamu?"
"Namaku Yakagi Suimei”
"Yakagi.... Suimei....."
"Ada apa?"
Suimei memandang Hatsumi dengan ekspresi bingung sambil terus menggumamkan nama Suimei itu seolah ada sesuatu yang mengganggunya.
".....nama itu terbalik."
"Hah?"
"Saat kau mengatakannya, nama itu terbalik. Saat orang-orang di dunia ini menyebut namaku, sepertinya mereka juga mengucapkannya dengan cara yang lebih mudah diucapkan oleh mereka. Tapi namamu terdengar natural bagiku. Terlebih lagi, aku dapat melihat kalau apa yang kau katakan sebenarnya sesuai dengan gerakan mulutmu. Sudah jelas kalau kita berasal dari dunia yang sama. Jika dipikir secara rasional, ada lebih banyak hal yang sesuai daripada menentang."
Kata Hatsumi berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
"Yang membuatku curiga terakhir kali adalah kau sepertinya tahu terlalu banyak.... itulah mengapa aku tidak bisa langsung mempercayainya. Kau juga membuatku lengah saat menyelinap masuk seperti itu."
Hal itu bisa dimengerti. Siapa yang mudah percaya pada penyusup? Namun, setelah mereka berhasil melewatinya, Suimei menghela napas lega. Sekarang Suimei akhirnya bisa berbicara dengan Hatsumi tentang apa yang dirinya mau katakan. Namun Hatsumi sekali lagi mengalihkan tatapan tajam ke arahnya.
"Meski begitu, bukan berarti aku berencana lengah saat berada di dekatmu."
"Hah?"
"Itu sudah jelas."
"A-Apa?! Bukankah kamu bilang kalau kamu percaya padaku?!"
"Memang—dengan batas tertentu. Bahkan jika kau adalah seorang kenalanku dan bahkan jika kau menunjukkan kebaikanmu kepadaku, aku masih tidak tahu apakah kau dapat dipercaya atau tidak, tahu."
Entah mereka kenalan, teman, atau sepupu, Hatsumi masih belum tahu apakah Suimei benar-benar bisa dipercaya. Sangat masuk akal jika Hatsumi tetap waspada. Oleh karena itu, Hatsumi menanyainya dengan nada agak agresif.
"Jadi? Mengapa kau melakukan sesuatu yang sembrono seperti menyusup ke Istana? Apa tidak ada cara lain untuk mengunjungiku?"
"Yang itu lagi, ya? Karena mengatur pertemuan dengan Sang Hero bukanlah hal yang mudah. Aku bahkan tidak bisa membuat Guild Master di Twilight Pavilion sebagai perantara."
"Apa begitu?"
"Ya. Tampaknya Keluarga Kerajaan melarangnya."
Melihat Suimei memutar matanya dan mengangkat bahunya, Hatsumi mengerutkan alisnya seolah dirinya masih menganggap semua ini meragukan.
"Raja dan yang lainnya, mereka semua adalah orang yang baik."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu, tapi....."
Suimei memasang ekspresi termenung, ragu untuk melanjutkan. Suimei bertanya-tanya apa dirinya harus benar-benar mengungkapkan pikirannya di sini atau tidak. Kebenarannya, sepertinya Keluarga Kerajaan Miazen menggunakan Hatsumi. Suimei tidak punya bukti pasti mengenai hal itu, namum paling tidak, mereka berusaha melindunginya dari sesuatu. Jadi Suimei tidak yakin apa dirinya harus mengatakan sesuatu tentang hal itu.
"Ini tidak seperti aku tidak tahu apapun. Tapi aku merasa kalau mereka memanfaatkanku."
Namun sepertinya Hatsumi membaca pikiran Suimei itu dari kehalusan ekspresinya. Suimei mungkin ragu untuk mengungkitnya, namun Hatsumi jelas tidak.
"Tapi bisa dikatakan kalau pemanggilan Hero itu sendiri adalah contoh paling utama dari hal itu. Dan berdasarkan logika tersebut, ini sesuatu hal yang tidak akan ada akhirnya."
"Itu benar..... Tapi, itulah alasanku ada di sini. Itulah mengapa aku terpaksa menyelinap masuk."
Setelah Suimei dengan jelas menyatakan alasannya, Hatsumi punya pertanyaan lanjutan untuknya.
".....Hei, apa kau mengkhawatirkanku?"
Suimei memandang Hatsumi seolah jawaban dari pertanyaannya itu sudah sangat jelas.
"Yah, tentu saja. Kita adalah keluarga."
"Keluarga....."
Meskipun mereka memiliki hubungan darah, hubungan antar sepupu tidak selalu dekat. Namun bagi Suimei yang tidak memiliki keluarga dekat, sepupu yang tumbuh bersamanya sudah bagaikan keluarganya. Setiap kali Suimei berada di jepang, orang tua Hatsumi selalu memastikan dan mengkhawatirkan apakah Suimei makan dengan benar. Hatsumi bahkan terkadang memasak untuknya. Mereka semua sudah menjadi keluarga seutuhnya bagi Suimei, dan ikatan itu membuatnya semakin dekat dengan Hatsumi. Suimei tentu saja tidak akan meninggalkan Hatsumi sendirian. Namun saat Suimei melontarkan kata "Keluarga" dengan begitu santai sehingga Hatsumi terlihat sedikit terkejut. Hatsumi berdiri di sana sambil berkedip berulang kali.
"Ada apa?" Suimei bertanya.
"B-Bukan apa-apa! Bukan apa-apa!"
Kata Hatsumi, dengan malu-malu berbalik.
Setelah beberapa saat, ketika rasa malunya sepertinya mereda, Hatsumi kembali menatap Suimei dan berbicara dengan suara malu-malu.
"Kau bilang kalau kita ini sepupu.... tapi apa aku punya anggota keluarga lain?"
"Ya. Ayahmu adalah Instruktur Kiyoshiro. Ibumu adalah Yukio-san. Dan kamu mempunyai adik laki-laki bernama Haseto. Jika kamu tiba-tiba menghilang, aku yakin mereka semua khawatir."
"Mereka..... pasti akan merasa begitu, ya?"
Mendengar kalau dirinya memiliki keluarga yang menunggunya di dunia lain, tentunya sulit untuk diabaikan. Tanpa mengetahui kalau ada orang yang mencarinya, Hatsumi tidak perlu terlalu khawatir mengenai hal itu. Namun sekarang semua itu menimpanya sekaligus. Melihat ekspresi Hatsumi yang bermasalah, Suimei mengulurkan tangannya.
"Hatsumi, ikutlah denganku."
"Ikut denganmu?"
"Itu benar. Saat ini aku sedang mencari cara untuk kembali ke dunia kita. Itulah sebabnya aku datang ke Miazen sejak awal.... dan jika kamu ikut denganku, kamu bisa pulang begitu aku mengetahuinya. Karena itulah......"
Karena itulah Suimei datang padanya—itulah yang ingin Suimei katakan. Namun Hatsumi tidak menerima tawaran itu. Seolah-olah Hatsumi mengabaikan kebaikannya, Hatsumi dengan canggung mengalihkan pandangannya.
"Tapi.... aku harus melawan para iblis...."
"Tidak ada alasan bagimu untuk harus melawan mereka, kan? Mereka dengan sewenang-wenang memanggilmu di luar keinginanmu dan menyuruhmu bertarung. Kamu tidak memiliki kewajiban untuk membantu mereka."
"........."
Hal itu tidak hanya berlaku untuk Hatsumi, namun untuk semua Hero yang dipanggil ke dunia ini. Tidak satu pun dari mereka yang benar-benar memiliki kewajiban untuk melawan para iblis. Bagi Hatsumi—yang menderita amnesia dan pernah bertarung melawan para iblis sekali—hal itu benar adanya. Hatsumi tidak berhutang apapun pada orang-orang dunia ini. Suimei masih khawatir seseorang mungkin mencoba mencuci otaknya. Namun jika Hatsumi mengatakan ini atas kemauannya sendiri, maka.....
"Mungkinkah..... kamu merasa tidak bisa mengabaikan rekan-rekan yang telah bertarung bersamamu sampai sekarang?"
"Itu salah satunya..... tapi ini pertarunganku, aku tidak bisa berhenti begitu saja di tengah jalan."
"Pertarunganmu? Apa maksudmu?"
"Seperti yang kamu katakan, aku tidak punya ingatan apapun—aku tidak punya alasan untuk bertarung. Dan itulah yang terjadi pada awalnya. Aku mengurung diri di kamarku. Tapi ketika aku mendengar para iblis menyerang, setelah mendengar seseorang memohon agar rakyatnya diselamatkan, aku merasa itu adalah sesuatu yang harus aku lakukan."
Jawaban tajam Hatsumi membuat Suimei terdiam dengan cepat. Jawabannya itu agak mirip dengan apa yang Reiji pernah katakan padanya.
"Jadi aku memilih untuk bertarung dengan orang-orang dari Aliansi, Selphy, dan yang lainnya, dan kami memukul mundur para iblis itu. Semua orang akan senang. Bukan karena aku bertarung, tapi karena aku menyelamatkan mereka dan keluarga mereka. Karena itulah....."
Karena itulah Hatsumi tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja sekarang. Dia merasa seperti dirinya yang memulai pertarungan ini, dan meninggalkannya begitu saja saat dia mendengar dirinya mungkin bisa kembali ke rumah adalah hal yang egois.
Dan kata-kata itu keluar dari mulut Hatsumi seolah ini adalah kesempatan pertama dirinya benar-benar mengutarakan pendapatnya tentang masalah ini. Namun perasaannya bisa dimengerti. Hati nuraninya membimbingnya—atau menahannya, seperti yang dilihat Suimei. Pada akhirnya, ini bukanlah pertarungan Hatsumi. Hatsumi baru saja terseret ke dalam perjuangan rakyat. Dan saat Suimei hendak menegurnya karena hal itu, Hatsumi tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
"Hei, um..... aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi apa ada pemakamannya? Kau adalah orang yang paling berkabung. Aku berpikir kau telah kehilangan seseorang yang penting bagimu...."
"Pemakaman? Tiga tahun lalu.... itu adalah pemakaman ayahku. Kepala pelayatnya seharusnya adalah Instruktur Kiyoshiro, tapi karena aku adalah keluarga sedarahnya, aku yang akhirnya melakukannya."
Suimei bertanya-tanya apa Hatsumi mengingat sesuatu. Namun Hatsumi menghela napas sedih, seolah dirinya baru saja mendengar kabar buruk.
"Begitu ya....."
"Tapi bagaimana kamu tahu itu? Apa kamu tidak menderita amnesia?"
"Aku mendapat sebuah penglihatan—Sebuah Kilas balik. Semuanya kabur dan hanya berlangsung sesaat."
Saat Suimei memikirkan bagaimana hal itu bisa terjadi, Hatsumi terus menjelaskan.
"Tapi setelah pemakaman itu, aku melihatmu. Kau berkata kalau dirimu harus terus maju. Bahwa kau harus pergi menyelamatkan mereka...."
"Aku berkata seperti itu?"
Suimei secara refleks bertanya. Kalau dipikir-pikir lagi, Suimei tidak ingat mengatakan hal seperti itu.
"Kau tidak tahu....? Jadi begitu. Kau mungkin tidak ingat karena kau setengah tertidur. Bagiku itu agak aneh juga, tapi pada saat itu, rasanya seperti ada sesuatu yang harus kau lakukan, apapun yang terjadi. Itu sebabnya kupikir itu pasti semacam mimpimu."
Semua itu adalah hari-hari yang sibuk dan kelam bagi Suimei. Setelah menyelesaikan semua urusan pemakanan mendiang ayahnya, Suimei harus menepati janji terakhir yang dirinya buat dengan ayahnya itu—resolusinya untuk terus menempuh jalan seorang Magician. Tidak terlalu aneh kalau Suimei secara tidak sengaja membiarkan hal itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Saat Gaius menerobos masuk ke Istana untuk meminta bala bantuan, ingatan itu kembali padaku. Itulah sebabnya aku mulai bertarung. Anak laki-laki dalam ingatanku terus maju tanpa membiarkan apapun menahannya. Jadi aku tidak bisa hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun.... meskipun aku sedikit kesal saat mengetahui kalau anak laki-laki itu adalah kau."
Hatsumi terdiam sedikit dan menambahkan beberapa kata terakhir itu dengan pelan. Bagian itu tidak cocok bagi Suimei, namun itu bukan alasan Suimei menggosok keningnya. Suimei putus asa atas ketidakberdayaannya sendiri. Suimei tidak pernah membayangkan kata-katanya sendiri akan menjadi bagian dari alasan Hatsumi bertarung. Sungguh ironis. Karena sesuatu yang Suimei katakan di masa lalu, Hatsumi tidak mau mendengarkannya sekarang. Menyadari Suimei tampak kehabisan akal, Hatsumi angkat bicara lagi.
"Bukannya aku mengatakan kalau itu salahmu....."
"Aku tahu. Meskipun kamu tidak menderita amnesia, kamu mungkin telah membuat pilihan yang sama. Aku tidak akan mengatakan siapa yang harus disalahkan."
Namun meski dengan pernyataan terus terang itu, Suimei tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya sendiri. Jika Hatsumi datang ke dunia ini dengan ingatannya, kemungkinan besar Hatsumi masih akan tetap melawan para iblis itu. Gaya berpedang yang Hatsumi latih tidak lain dimaksudkan untuk melawan kejahatan. Perlahan-lahan menyadari semua ini, Suimei dalam diam bertanya padanya sekali lagi.
"Jadi kamu akan tinggal dan bertarung di sini?"
"Ya. Aku yang memulainya, jadi aku yang akan menyelesaikannya."
"Begitu ya...."
Suimei hanya bisa mengeluarkan kata-kata itu. Suimei hampir tercekik oleh kekhawatiran. Melawan para iblis bukanlah tugas yang mudah. Segala macam kesulitan akan terbentang di depannya. Dan itu termasuk hubungannya dengan orang lain. Selama Hatsumi memegang posisi Hero, akan ada hal-hal yang terjadi di balik tirai yang tidak dapat gadis itu kendalikan. Selain itu, ingatannya masih belum kembali. Semua itu hanya akan menambah kecemasan di atas segalanya. Namun......
"Baiklah."
Suimei berdiri untuk pergi. Hanya karena Suimei khawatir bukan berarti dirinya punya hak untuk mengatakan kepada Hatsumi kalau Hatsumi itu salah. Bahkan jika Suimei membawanya dengan paksa, Suimei tidak akan merasa itu bagus. Tidaklah adil untuk membuat Hatsumi mengabaikan tujuannya hanya agar Suimei bisa mencapai tujuannya. Suimei tahu bagaimana rasanya memiliki sesuatu yang tidak bisa dirinya tinggalkan.
"Aku ingin ikut denganmu, tapi aku harus menemukan mantra untuk mengembalikan kita ke dunia kita. Ketika aku melakukannya, aku akan kembali."
"Oke."
"Aku akan tinggal di kota di rumah kos Twilight Pavilion untuk sementara waktu. Jika kamu butuh sesuatu, jangan sungkan untuk datang untuk menemuiku. Meskipun aku merasa kamu mungkin enggan bertemu denganku....."
Dengan kata-kata lembut itu, Suimei bertepuk tangan seolah dirinya tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ah, benar juga!"
"Apa?"
"Lain kali kamu bertemu siapapun yang bertanggung jawab di sini, sampaikan pesan ini untukku : 'Jika kau berencana untuk terus macam-macam denganku meskipun kau adalah reka Sang Hero, prioritasku akan berubah. Lain kali, siapa pun yang kau kirim kepadaku—entah itu sepuluh atau dua puluh ribu orang—lebih baik bersiap-siap untuk dimusnahkan'."
Setelah Suimei memberitahu Hatsumi tentang hal ini dengan nada sedikit bercanda, Suimei pergi.
★★★
Sekarang adalah hari setelah Suimei menyusup ke Istana untuk kedua kalinya. Kuchiba Hatsumi duduk di hadapan Sang Raja di gazebo melingkar di sudut taman Kerajaan yang megah. Di sisi Sang Raja adalah Putra Mahkota, Weitzer, dan yang mengisi gazebo adalah berbagai menteri kabinet dan jenderal Miazen. Rekan Hatsumi yang lain, Gaius dan Selphy, juga hadir.
Setelah menilai kalau Sang Raja telah menyelesaikan urusan pemerintahannya, Hatsumi meminta audiensi tidak resmi dengannya. Keluarga Kerajaan sangat memperhatikan keadaan Hatsumi, dan biasanya mengedepankan semua urusan dengan Hero yang resmi, jadi diputuskan kalau pertemuan ini khususnya akan diadakan di luar ruang audiensi yang lebih formal.
Duduk di seberang Hatsumi di meja marmer, Raja Miazen memberinya senyuman lembut. Mungkin itu cara Sang Raja memberitahunya kalau Hatsumi bisa bersantai di sini. Raja Miazen adalah seorang yang lembut, tidak seperti putranya, Weitzer. Dia adalah gambaran Raja yang baik hati dari dongeng mana pun. Raja tegas ketika diperlukan, namun selalu mempertimbangkan rakyatnya, dan dicintai oleh semua orang. Setelah semua orang berada di tempatnya dan semua persiapan telah diselesaikan, Sang Raja berbicara kepada Hatsumi.
"Sekarang, Hero-dono, apa yang ingin kau bicarakan dengan sungguh-sungguh kepadaku?"
"Yang Mulia, ini menyangkut rencana yang kami buat tentang cara menangani iblis dari sini, serta laporan yang tidak terkait."
Tanpa bersikap rendah hati, Hatsumi menjawab dengan sopan dan elegan. Sang Raja membalasnya dengan sedikit bercanda.
"Oho, jadi kau sudah membahas hal semacam itu, kan? Sangat mengagumkan bagimu untuk memikirkan penaklukan iblis selama waktu istirahatmu, rasanya aku ingin bergabung dengan kalian."
"Tolong terima permintaan maafkanku. Yang Mulia adalah orang yang sibuk, jadi meskipun mungkin ini terdengar lancang, kami memutuskan untuk berbicara di antara kami sendiri."
"Aku mengerti, aku mengerti. Aku minta maaf karena membuatmu khawatir, tapi kau tetap rendah hati seperti biasanya, Hero-dono. Tanpa merasa bangga, kau cukup bermartabat. Aku bangga padamu sebagai Raja yang menjadikanmu sebagai Hero dinegaranya ini."
Sang Raja tertawa sambil tersenyum lebar. Ekspresi itu adalah ekspresi seorang Raja yang mencintai rakyatnya, meskipun Hatsumi ragu apa memberikan pujian kepada rakyatnya di setiap kesempatan adalah hal yang baik atau buruk. Hatsumi melihat sekilas ke arah Gaius, dan mungkin karena Gaius menganggap nada suara Raja yang terlalu longgar itu membosankan atau mungkin karena Gaius tidak menikmati sanjungan itu, bibirnya berkerut. Sang Raja akhirnya mengalihkan pembicaraan, masih tersenyum.
"Sekarang, tolong bagikan padaku isi diskusimu."
"Mulai sekarang, dengan kemampuan terbaikku, aku berpikir untuk mengambil rencana yang awalnya dibuat untuk Sang Hero. Tentunya, ini hanya akan terjadi setelah para iblis yang tersisa di bagian utara Aliansi dibasmi. Tapi begitu hal itu ditangani, aku berpikir untuk bertemu dengan para Hero lainnya."
Itulah yang pernah Selphy katakan kepada Hatsumi kalau itulah apa yang seharusnya Hero dilakukan. Dengan begitu, ketika serangan iblis semakin ganas, para Hero akan dapat bersatu dan bertindak sebagai pihak yang paling membutuhkan bantuan mereka. Dengan invasi iblis yang saat ini bergerak sangat lambat, sebagian besar Hero lainnya masih berkeliling untuk menginspirasi warga dan meningkatkan semangat. Hal itu juga merupakan bagian penting dari tugas seorang Hero, namun Hatsumi berpikir sudah waktunya mereka mulai bergerak menuju pertarungan.
"Hmm, ya.... kau tentu ada benarnya, meskipun harus aku katakan, terlalu dini untuk mempertimbangkan hal ini. Aku yakin kau pernah mendengar cerita tentang Hero lainnya, tapi aku yakin sangat penting bagimu untuk fokus pada apa yang ada di depanmu tanpa terburu-buru."
"Terima kasih atas pertimbanganmu Yang Mulia."
Meskipun Sang Raja terdengar terlalu optimis mengenai masa depan, Hatsumi dengan hormat menundukkan kepalanya.
"Dan, astaga.... sejujurnya, aku tidak sanggup memaksa gadis muda seperti itu untuk dimasukkan ke dalam perang. Hero-dono, bukankah kau juga ingin menjalani kehidupan yang damai? Jika kau menginginkannya, kau bisa tinggal di sini, di Istana ini dan menjalani hidupmu jauh dari pertempuran."
"Hah.....?"
Mata Hatsumi melirik dari satu tempat ke tempat lain dalam kebingungan yang mengejutkan. Sang Raja baru saja menyiratkan kalau tidak apa-apa baginya untuk mengabaikan tugasnya sebagai Hero. Mengingat Sang Raja ikut bertanggung jawab memanggilnya ke dunia ini, sepertinya Sang Raja tidak mengatakan apapun. Hatsumi pikir mungkin Sang Raja mencoba untuk mempertimbangkan amnesianya. Hatsumi tidak menganggap itu sesuatu yang jahat. Tidak, Sang Raja selalu tersenyum terlalu lembut sehingga tidak ada motif tersembunyi. Hatsumi tidak ingin curiga, namun..... saat dirinya memproses perasaannya jauh di dalam hatinya, Sang Raja berbicara sekali lagi.
"Bagaimana menurutmu? Kau telah mengalahkan seorang jenderal iblis. Dengan itu saja, aku yakin kau telah menyelesaikan tugasmu dengan cukup. Aku tidak berpikir ada orang yang akan menolakmu untuk mundur dari pertempuran saat ini."
Apa yang Sang Raja katakan itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Hatsumi tidak setuju.
"Tidak. Meskipun aku dengan tulus menghargai pemikiran itu, aku tidak bisa mengundurkan diri dari pertempuran ini."
"Aku mengerti..... kalau begitu, biarlah. Meskipun kau harus tahu pertarunganmu dengan para iblis akan meningkat secara eksponensial mulai sekarang jika kau mengambil jalan ini. Kami akan menawarkan semua dukungan yang kami bisa, tapi Hero-dono, tolong berhati-hatilah."
Setelah mengetahui rencana Hatsumi, Sang Raja memandang ke Weitzer.
"Weitzer, lindungilah Hero-dono."
"Dipahami."
Weitzer dengan ringan menundukkan kepalanya. Keduanya bersikap terlalu protektif. Namun, menilai kalau ini adalah akhir dari percakapan, Hatsumi beralih ke topik berikutnya.
"Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, Yang Mulia, ada satu hal lagi yang ingin aku diskusikan denganmu."
"Apa itu?"
"Ini menyangkut kasus penyusup yang masuk ke kamarku malam itu."
Sang Raja yang tersenyum langsung meringis ketika mendengar kata-kata itu.
"Aku tidak bisa berbuat apapun selain meminta maaf atas hal itu. Aku berharap untuk segera mendengar kabar baik, tapi bandit jahat itu belum tertangkap. Para prajurit secara aktif berpatroli di kota, tapi aku mendengar sejauh ini tidak ada apapun yang ditemukan. Kami akan memperluas pencarian ke kota-kota tetangga selanjutnya, jadi aku harus meminta kesabaranmu terus-menerus. Kami akan mencurahkan segala yang kami bisa untuk menangkap penjahatnya. Aku yakinkan kau bahwa keamanan pribadimu adalah perhatian utama kami."
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu, Yang Mulia. Aku ingin kamu berhenti meributkan hal itu."
".....Apa maksudmu?"
"Dia datang mengunjungiku lagi tadi malam."
"Apa?!"
Sang Raja tersentak, kulitnya memucat dalam sekejap.
"Tunggu, seriusan?!" Seru Gayus.
"Bedebah itu lagi?! Ada di mana dia...."
Weitzer hampir berteriak sebelum terdiam.
Pengakuan Hatsumi begitu mengejutkan sehingga Gaius dan Weitzer lupa tempat mereka dan bereaksi cukup keras. Meskipun Selpht tidak berkata apapun, bahkan dia pun terlihat terganggu.
"Tidak perlu khawatir untuk itu, semuanya. Aku baik-baik saja."
Meskipun Hatsumi mengatakan tidak ada alasan untuk khawatir, Sang Raja tidak mampu menghilangkan kegelisahannya.
"H-Hero-dono.... apa kau benar-benar baik-baik saja?"
"Ya. Jika dia mendatangiku dengan niat buruk, Yang Mulia, maka aku tidak akan berdiri di hadapanmu sekarang ini."
"Itu memang benar, tapi..... para penjaga Istana, apa yang sebenarnya kalian dilakukan?"
Sang Raja agak kesal, dan sengaja membuat ekspresi masam. Ini adalah kali kedua Istana dibobol. Sang Raja mana pun pasti tidak senang. Melihat para prajurit di sekitarnya gemetar, Hatsumi hanya bisa merasa kasihan pada mereka. Dan kemudian, meski terlambat, Sang Raja tampaknya memahami apa yang dikatakannya.
"Jadi, Hero-dono, apa maksudmu kalau aku harus mengabaikan penyusup itu?"
"Tadi malam dia datang mengunjungiku, dan kami berbicara. Pada akhirnya, sepertinya dia adalah salah satu kenalanku."
"Aku juga mendengar kalau penyusup itu mengaku sebagai teman baikmu, tapi apa itu mungkin karena kau adalah Hero yang dipanggil dari dunia lain?"
"Sepertinya dia dibawa ke sini melalui pemanggilan di Astel."
"Hmm..... itu mungkin saja, tapi ceritanya sungguh luar biasa. Apa alasanmu memercayai orang ini?"
"Gerakan mulutnya. Bahkan saat berbicara denganmu seperti saat ini, Yang Mulia, aku mendengar kata-kata yang kamu gunakan diterjemahkan ke dalam bahasaku sendiri. Oleh karena itu, apa yang aku dengar darimu tidak sesuai dengan gerakan bibirmu. Tapi tidak demikian halnya dengannya, yang berarti kami berbicara dalam bahasa yang sama."
"Jadi begitu. Dengan kata lain, bandit itu..... maafkan aku, orang itu. Jika dia benar-benar berbicara dalam bahasa duniamu, itu sepertinya menguatkan ceritanya."
"Selain itu, dia bisa menceritakan banyak hal tentang diriku. Sepertinya dia mengenalku dengan cukup baik."
"Hmm....."
Sang Raja dikenal selalu tersenyum, apapun situasinya. Namun saat ini, dia memasang ekspresi seperti baru saja menelan sesuatu yang sangat pahit. Hal ini merupakan hal yang sangat tidak biasa baginya, namun dia bukan satu-satunya yang terpengaruh oleh situasi ini. Weitzer memotong pembicaraan dengan sikap yang sangat gelisah.
"A-Apa itu tidak salah?"
"Di luar keraguan. aada lebih banyak alasan bagiku untuk memercayainya daripada tidak."
Mendengar Hatsumi mengatakan itu, Weitzer terlihat sangat tercengang. Sang Raja, sebaliknya, terlihat sangat serius.
"Meski begitu, temanmu ini telah melakukan kejahatan berat dengan menyusup ke Istana. Aku tidak punya keinginan untuk menuduh temanmu melakukan kejahatan seperti itu.... tapi tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya."
"Dia mengklaim dia tidak punya pilihan selain melakukan itu. Dia berkata kalau tidak ada cara untuk mengatur pertemuan resmi denganku. Apa itu benar?"
Nada bicara Hatsumi secara mengejutkan agak mencela. Sang Raja meringis mendengarnya, mungkin karena Sang Raja tidak mengira Hatsumi akan membicarakan hal seperti itu.
"Y-Ya, itu adalah tindakan yang diambil untuk melindungimu. Kami percaya kalau pengunjung yang tidak diinginkan hanya akan menjadi beban bagimu karena kamu yang hilang ingatan."
Sang Raja jelas-jelas gelisah, dan bagi Hatsumi, hal itu hanya terdengar seolah-olah Raja itu sedang membuat alasan. Mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang Suimei coba katakan malam sebelumnya. Saat Hatsumi merenungkan hal ini secara internal, Hatsumi terus menegaskan maksudnya.
"Kalau begitu, bisakah kita setuju untuk menghapuskan masalah tersebut?"
"Aku mengerti mengapa kamu bertanya itu, tapi aku memiliki tugas sebagai Raja yang harus aku pertimbangkan.... membiarkan istana dibobol begitu saja tidak bagus bagiku."
Hatsumi tahu kalau Sang Raja enggan menyetujuinya. Namun Hatsumi tidak tahan melihat Suimei dicap sebagai penjahat hanya karena mempertaruhkan nyawanya untuk datang menemuinya. Karena itu, Hatsumi mengubah pendekatannya dan berbicara kepada Sang Raja dengan agak blak-blakan.
"Aku mengerti, Yang Mulia. Tapi jika itu masalahnya, aku punya pesan untukmu. Tepat sebelum dia pergi, dia memintaku untuk menyampaikan pesan ini kepadamu : 'Jika kau berencana untuk terus macam-macam denganku, siapapun yang kau kirimkan padaku—entah itu sepuluh atau dua puluh ribu orang—lebih baik bersiaplah untuk dimusnahkan.' Dalam situasi di mana kita harus bersatu melawan iblis, aku tidak percaya kamu punya waktu luang untuk kehilangan prajuritmu karena kebodohan seperti itu."
"Kuh...."
Pada titik tertentu, kata-kata Hatsumi yang blak-blakan menjadi lebih mengancam. Sang Raja ragu-ragu untuk menjawab. Pesan Suimei cukup angkuh, namun Sang Raja mengetahui kekuatan Sang Hero. Bahkan jika Suimei tidak mendapat persetujuan Sang Hero, jika Suimei berasal dari dunia Hatsumi, Suimei pasti cukup kuat. Hal itu membuat Sang Raja terdiam sejenak. Namun Weitzer sangat marah.
"Sepuluh atau dua puluh ribu katanya? Klaim yang sangat sombong....."
Meskipun Weitzer tidak melawannya secara pribadi, dia telah melihat sendiri kekuatan Suimei. Weitzer tahu Suimei kuat, namun tidak selalu begitu. Weitzer melihat Gaius dan Selphy kalah di tangan Suimei, namun mereka berdua lengah. Bukan berarti mereka akan menggunakan seluruh kekuatan mereka, meskipun hal yang sama juga berlaku pada Suimei, yang baru saja mencoba pergi dengan damai.
"Menurutku itu bukan sekedar bualan, Weitzer."
Kata Hatsumi kepadanya.
"Para penjaga Istana bahkan tidak bisa melawannya. Selphy dan Gaius, kalian berdua mengenalinya sebagai lawan yang tangguh, bukan?"
"Tentu saja dia memang begitu. Meski aku meremehkannya, aku tetap saja dikalahkan dalam satu pukulan." Kata Gaius sambil mendengus pahit.
"Dia.... memang tangguh. Aku tidak merasa bisa menang melawan anak laki-laki itu, tidak peduli berapa kali kita bertarung melawannya." Jawab Selphy pelan.
Suimei telah memberikan pukulan telak terhadap kepercayaan diri mereka berdua. Perasaan mereka itu adalah perasaan unik yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang benar-benar menghadapinya dalam pertempuran. Dan setelah mereka mempertimbangkan pendapat mereka, Hatsumi kembali menghadap Sang Raja, yang saat ini terlihat agak bingung.
"Jadi, untuk mencegah kerugian yang tidak perlu, Yang Mulia, aku yakin tidak ada pilihan lain. Maukah kamu mempertimbangkannya kembali?"
"Tapi kamu tahu, Hero-dono...."
Melihat Sang Raja masih menolak, Hatsumi menjadi tidak sabar dan mengambil sikap jujur.
"Kalau begitu ayo lakukan ini. Jika kamu berencana menyakitinya, aku akan memihaknya."
"Apa?!"
"Orang itu berani menghadapi bahaya besar hanya untuk datang menemuiku. Sudah sepantasnya aku melakukan hal yang sama untuk membelanya."
"B-Baiklah.... aku akan menurutinya. Seperti yang kau katakan, Hero-dono, itu wajar...."
Gertakan Hatsumi yang mengintimidasi berhasil dengan sempurna. Sang Raja meringis kesakitan sebelum melanjutkan.
"Jadi, apa dia datang ke Miazen untuk bertemu denganmu, Hero-dono?"
"Tidak, dia berkata kalau dia awalnya datang ke sini untuk mencari cara untuk kembali ke dunianya sendiri. Sepertinya dia baru menyadari kalau aku ada di sini setelah tiba di Miazen."
"Cara untuk kembali?"
"Ya. Aku tidak tahu detail lengkapnya, tapi dia mengatakan jika aku pergi bersamanya, kami akan bisa kembali begitu dia menemukannya. Dari caranya berbicara, aku yakin dia mungkin benar-benar menemukan jalan keluarnya."
Hatsumi menyampaikan kesan yang didapatnya dari percakapan mereka berdua tempo hari. Sihir berada di luar bidang keahliannya, jadi Hatsumi tidak memahami kemampuannya. Namun berdasarkan keyakinan Suimei itu, Hatsumi yakin itu adalah sesuatu yang bisa Suimei lakukan. Mendengar ini, Sang Raja memperlihatkan ekspresi yang jauh lebih cemas dari sebelumnya dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menanyakan pertanyaan berikutnya. Hal ini tampaknya menjadi masalah yang sangat penting bukan hanya bagi dirinya, namun bagi seluruh negeri.
"Hero-dono, apa itu benar?! Jika iya, bagaimana kau membalasnya?!"
Keringat mengucur di alis Sang Raha, dan wajahnya terus tegang saat dirinya menunggu jawabannya. Semua orang di gazebo berdiri di sana dengan napas tertahan. Gaius, bagaimanapun, akhirnya kehilangan kesabarannya dan datang menghampiri.
"Hei, kau tidak akan mengatakan kalau kau akan pergi bersamanya, kan?!"
"Tidak, aku tidak bilang itu. Bukankah aku sudah mengatakan sebelumnya kalau aku bermaksud mengalahkan para iblis?"
Dengan kata-kata itu, suasana beku di gazebo langsung mencair. Semua orang lega mendengar jawabannya.
"Jangan menakuti kami seperti itu. Itu buruk bagi jantungku."
"Maaf."
Melihat wajah semuanya, Hatsumi meminta maaf karena telah membuat mereka khawatir. Namun, setelah mereka semua tenang, Hatsumi mengembalikan pembicaraan ke jalur yang benar dan memperjelas niatnya.
"Tapi begitu para iblis itu dikalahkan, aku berpikir untuk kembali ke duniaku sendiri."
Itu bukanlah sesuatu yang Hatsumi pikir akan dirinya lakukan. Namun jika ada jalan, itu adalah peluang yang akan diambil oleh siapapun yang berada di posisinya. Selphy dan Gaius keduanya terlihat sangat gelisah saat mereka menatap Hatsumi. Sementara semua orang kehilangan kata-kata, Weitzer angkat bicara.
"H-Hero-dono, apa kamu serius....."
"Ya. Aku diberi tahu kalau ada keluarga yang menungguku—tempat di mana kenanganku berada."
"Tapi....."
"Maaf. Aku merasa tidak enak setelah kalian semua memperlakukanku dengan baik, tapi aku tidak bisa tetap seperti ini. Aku yakin keluargaku cukup khawatir....."
Itu sebabnya Hatsumi harus pulang. Melihat kalau kabar ini sangat mengguncang Weitzer, Hatsumi tersenyum padanya di dalam hatinya. Hatsumi kemudian menoleh ke rekannya yang lain yang belum berbicara.
"Bagaimana menurut kalian berdua?"
"Sejauh yang kuketahui, jika itu yang kamu inginkan, maka...."
"Itu semua terserahmu. Secara pribadi, aku akan kesepian, tapi mau bagaimana lagi?"
"Ya...."
Selphy ragu-ragu untuk mengatakan apapun, namun Gaius tidak. Gaius memberikan jawaban yang jujur dan simpatik, meskipun Gaius terlihat lebih cemberut dan serius dari biasanya. Keadaannya tidak seburuk Weitzer, yang masih berdiri di sana dengan ekspresi pahit dan bingung di wajahnya. Hatsumi sedikit khawatir tentang betapa pucatnya Sang Raja, namun Hatsumi membayangkan Sang Raja merasakan hal yang sama.
Tidak ada yang mengatakan apapun setelah itu. Keheningan canggung menyelimuti gazebo yang berlangsung hingga seorang prajurit tiba-tiba datang bergegas ke taman. Namun, prajurit bukanlah penjaga Istana. Berdasarkan pakaiannya, prajurit terlihat seperti seorang prajurit dari Larsheem. Cara prajurit itu tersandung kakinya sendiri saat berlari melintasi halaman adalah sebuah tamparan keras, namun itu hanya bukti betapa paniknya dirinya. Para penjaga Istana yang berlari bersamanya membantunya, dan prajurit akhirnya berhasil sampai ke gazebo. Prajurit itu tampak kelelahan.
"Ada apa, kawan?! Apa yang salah?!"
"Pak!"
Prajurit itu memberi hormat kepada Gaius dengan penuh semangat, lalu berlutut.
"Aku punya laporan yang harus disampaikan kepada Yang Mulia secepatnya!"
"Apa yang membuatmu begitu panik?" Sang Raja bertanya.
"Aku akan memperingatkanmu kalau kau sedang berdiri di hadapan Sang Hero."
"M-Maafkan aku, Yang Mulia!"
Prajurit itu dengan meminta maaf menundukkan kepalanya. Merasa puas, Sang Raja kembali ke permasalahan yang ada.
"Jadi, apa yang terjadi? Melihat keadaanmu saat ini, aku tidak bisa membayangkan itu adalah sesuatu yang sepele."
Semua orang sudah tahu kalau sesuatu yang serius sedang terjadi. Ketegangan meningkat di udara saat mereka menunggu jawaban prajurit yang kehabisan napas itu.
"Invasi para iblis itu telah dimulai lagi!"
Dan istirahat singkat Hatsumi pun berakhir.
★★★
Saat ini, wilayah iblis yang diduduki sedang berhadapan dengan tanah air Gaius, Larsheem. Awalnya terdapat wilayah perbatasan yang tandus di antara keduanya, namun para iblis telah menguasai sebagian besar wilayah tersebut ketika mereka pertama kali maju ke Aliansi. Ada banyak benteng sederhana di area itu, semuanya sisa dari invasi iblis pertama berabad-abad yang lalu. Hatsumi dan yang lainnya telah cukup memukul mundur pasukan iblis sehingga benteng-benteng itu sekarang berfungsi sebagai garis depan, dan itulah tujuan mereka. Tempat itu membutuhkan perjalanan empat hari dengan berjalan kaki, namun Hatsumi dan rekan-rekannya melaju di depan yang lain dengan sekelompok kecil bala bantuan dan sampai di sana dengan kecepatan luar biasa.
Di area benteng utama, para prajurit buru-buru memindahkan perbekalan ke dalam tenda. Mempersiapkan pertempuran yang menentukan dan berskala besar, mereka dari masing-masing negara Aliansi bergerak dengan gelisah. Melihat ini semua dari atas kuda saat mereka mendekat, Hatsumi dan yang lainnya berhenti dan turun di depan tenda tertentu.
Di dalamnya terdapat para jenderal yang mewakili masing-masing pasukan Aliansi, dan perwira staf yang sedang mendiskusikan strategi untuk pertempuran yang akan datang. Hatsumi mengetahui semuanya dari pertarungan mereka sebelumnya. Mereka juga menantikannya, jadi tidak ada satu pun dari mereka yang terkejut dengan kedatangan Sang Hero.
Sebagai Hero, Hatsumi mengambil kursi kehormatan di meja itu, dengan Weitzer di sebelahnya. Sebagai orang yang memanggilnya ke dunia ini, Selphy mengambil tempatnya berdiri di belakang Hatsumi. Setelah semua orang duduk, Weitzer menanyai para petugas pasukan Miazen itu.
"Bagaimana situasi saat ini?"
"Saat ini, Yang Mulia, pasukan Larsheem dan Miazen sedang membentuk tiang penyangga dengan tentara dikerahkan di kedua sisi. Kami percaya pasukan iblis bermaksud menyerang secara langsung, dan kami memiliki pasukan yang siap menghadapi mereka dengan pertahanan berlapis."
"Bagaimana dengan bentengnya?"
"Benteng barat laut, utara-barat laut, utara, dan utara-timur laut sedang diserang. Bala bantuan sekarang sedang bergerak ke sana dan bertempur dengan gagah berani, tapi serangan terhadap benteng utara-timur laut tampaknya sangat parah. Situasinya sangat buruk."
Gaius mengerang setelah mendengar laporan cemas dari petugas itu.
"Aku pikir kita meninggalkan banyak kekuatan di sana....."
"Jumlah para iblis jauh melebihi jumlah prajurit yang dikerahkan. Itu sebabnya kami memutuskan untuk mengirim bala bantuan secara strategis ke area kritis. Dan juga....."
Petugas itu menjelaskan lebih lanjut, namun segera setelah Hatsumi memahami apa yang terjadi.....
"Itu adalah strategi yang buruk."
"Kamu sangat berwawasan luas seperti biasanya, Hero-dono." Kata Weitzer.
"Apa menurutmu ini adalah strategi pengalihan atau penyebaran?"
Weitzer meminta konfirmasi atas penilaian Hatsumi. Setelah Hatsumi mengangguk ke arahnya dengan tatapan penuh pengertian, Selphy juga mengangguk.
"Kemungkinan besar prediksi Hatsumi benar. Saat pasukan iblis utama menghadapi pasukan Aliansi, beberapa detasemen mungkin menggunakan taktik pengalih perhatian. Atau mungkin itu hanya jebakan untuk menarik pasukan. Bahkan mungkin Sang Hero itu sendiri."
"Itulah mengapa aku yakin membagi pasukan kita lebih jauh adalah strategi yang buruk."
"Ya. Taktik para iblis ini cukup transparan."
Tampaknya Hatsumi dan Selphy mempunyai pendapat yang sama. Siapapun seharusnya dapat melihat tulisan di dinding dalam situasi ini. Jelas sekali apa yang sedang dilakukan para iblis itu. Pertanyaan besarnya sekarang adalah apa motivasi mereka di balik strategi tersebut. Gaius mengalihkan pandangan tegas ke arah petugas itu.
"Berapa skala pasukan iblis yang menyerang setiap benteng?"
"Selain di benteng utara-timur laut, jumlah iblis melebihi prajurit yang dikerahkan sekitar dua banding satu. Tampaknya pasukan mereka terus berdatangan ke benteng utara-timur laut, dan kami memperkirakan pasukan kami kalah jumlah empat banding satu di sana."
"Itu banyak...."
Dengan jumlah prajurit yang kalah banyak, mereka secara praktis terjebak di benteng lain dan tidak bisa melakukan banyak perlawanan. Mereka memiliki keberanian untuk bertahan untuk sementara waktu. Namun para iblis membuat benteng utara-timur laut begitu kebanjiran sehingga hanya masalah waktu sebelum benteng itu runtuh. Mereka sangat membutuhkan bala bantuan—dan jumlah bala bantuan yang banyak. Dibutuhkan upaya yang besar dan terkonsentrasi untuk membalikkan keadaan.
"Jadi para iblis sialan itu benar-benar hanya mencoba memisahkan kita, ya? Taktik mereka sederhana, tapi efektif. Biasanya rencana mereka terlihat seperti punya rencana padahal sebenarnya mereka hanya mengamuk dan menghancurkan. Yang di depan itu. Seperti sebuah penipuan."
"Ya, itu mungkin sama."
Hatsumi mengakui teori Gaius. Hal itu mungkin satu-satunya kesimpulan yang masuk akal untuk saat ini. Mereka tidak memiliki cukup informasi untuk menentukan apa ada skema besar yang sedang dilaksanakan atau tidak. Saat percakapan berlanjut, ekspresi petugas itu berubah menjadi pahit.
"Orang-orang di sana bertahan untuk saat ini, tapi tentunya benteng utara-timur laut akan diserbu jika terus begini."
"Ini tidak bagus....." Renung Gaius.
"Tidak. Begitu benteng itu runtuh, para iblis akan menggunakannya sebagai pintu gerbang untuk membanjiri daerah itu dengan lebih banyak kekuatan." Jawab petugas tersebut.
Keheningan menyelimuti udara sejenak. Weitzer kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan terhadap bala bantuan?"
"Rencana utama kami, Yang Mulia, adalah mengirim lebih banyak dari mereka dari sini. Dan yang kedua..... aku minta maaf, tapi kami ingin agar Hero-sama memimpin mereka."
Petugas itu yang mengusulkan rencana itu berdiri tegak. Alasan mereka menyarankan rencana utama terlebih dahulu sepertinya adalah permohonan khusus kepada Sang Hero. Bagaimanapun, itu adalah tangan terbaik untuk dimainkan. Namun hanya seorang perwira staf dan jenderal yang tidak memiliki wewenang untuk memerintahkan Sang Hero secara langsung ke medan perang. Merasakan apa yang mereka minta darinya, Hatsumi mengangguk dengan tegas.
"Kita tidak bisa berdiam diri. Jumlah bala bantuan yang bisa kita kirim ke benteng lain terbatas. Agar kita siap ketika kekuatan utama pasukan iblis bergerak, kita tidak bisa mengirimkan terlalu banyak orang."
"Itu dia."
"Karena mobilitas pasukan kita dan kita cukup mampu, tidak ada pilihan lain selain kita yang menangani ini."
Tampaknya masing-masing rekannya setuju dengannya.
"Kalau begitu, sudah cukup pembicaraannya. Kita akan bergerak setelah persiapan selesai, jadi harap urus pengaturannya."
Hatsumi dengan rendah hati menundukkan kepalanya kepada para jenderal yang hadir, yang semuanya membalas dengan gugup.
★★★
Setelah pertemuan strategi mereka, Hatsumi dan yang lainnya mengambil tindakan cepat. Mereka bahkan tidak punya waktu untuk beristirahat dari perjalanan, jadi mereka meninggalkan pasukan yang mereka bawa dan mempelopori sekelompok prajurit baru yang telah ditunggu oleh para jenderal. Dari sana, mereka menuju benteng utara-timur laut di perbatasan.
Mereka sengaja menuju ke tempat serangan iblis paling ganas. Di posisi terbuka dan sedikit lebih tinggi di antara pegunungan dan hutan, berdirilah tembok pertahanan tinggi yang terbuat dari kayu gelap yang dipahat secara kasar. Menara pengawas ditempatkan di keempat arah mata angin. Tembok itu jauh dari keamanan tingkat atas, namun sejauh ini berhasil mempertahankan benteng yang ada di dalamnya.
Berbeda dengan benteng utama tempat Hatsumi dan yang lainnya baru saja datang, benteng ini sudah pernah direbut dan diambil kembali. Penghancuran dan restorasi selanjutnya berarti fasilitas tersebut tidak dalam kondisi terbaiknya. Dinding kayu gelap yang kokoh penuh bekas luka pertempuran, dan ada beberapa bagian yang hilang di sana-sini. Pada pandangan pertama, semuanya tampak tipis.
Namun setelah tiba, keadaan di sini jauh lebih tenang daripada yang diperkirakan siapapun. Tampaknya serangan para iblis telah terhenti untuk saat ini. Mereka bisa melihat benteng itu berusaha pulih setelah pertempuran kecil, namun saat ini, mereka tidak diserang. Meninggalkan pasukan yang mereka bawa ke Selphy, Hatsumi pergi bersama Gaius dan Weitzer ke dalam benteng dan naik ke menara pengawas utama.
Komandan benteng sedang mengamati situasi dari sana, dan sedang memberikan perintah kepada pasukan di bawah. Berdasarkan bantalan bahu yang dirinya kenakan, prajurit sepertinya adalah seorang petugas dari Larsheem. Saat Hatsumi dan yang lainnya mendekat, prajurit itu dengan kaku berlutut. Setelah Gaius memerintahkannya untuk tenang, dia langsung melanjutkan ke intinya.
"Bagaimana situasinya?"
"Pak, pertarungan dengan para iblis saat ini menemui jalan buntu. Tampaknya para iblis itu juga bingung bagaimana melanjutkan dan menghentikan serangan mereka. Kami saat ini sedang merawat yang terluka dan memperbaiki benteng."
Komandan memberikan laporannya dengan nada sedikit bersemangat. Dia mungkin masih dipenuhi adrenalin dan kegembiraan dari pertarungan hari sebelumnya. Melihatnya seperti ini, Gaius melontarkan senyuman khasnya.
"Kalian bisa bertahan, ya? Kau melakukannya dengan baik."
"Kata-kata itu lebih dari yang pantas bisa aku terima, Jenderal Forvan."
Komandan itu dengan ringan menundukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa terima kasih. Hatsumi kemudian menanyakan rincian lebih lanjut.
"Jadi, apa itu iblis?"
Komandan itu memberinya anggukan antusias, jelas masih dalam keadaan gembira. Dari puncak menara pengawas, mereka bisa melihat hingga ke kaki bukit. Di situlah perhatian Hatsumi. Dan untuk satu alasan sederhana : di sanalah pasukan iblis berada. Bersiap untuk mengepung benteng itu lagi, mereka mengorganisir diri mereka di bawah bukit.
Para iblis itu tidak menjalankan urusan mereka dengan tertib seperti pasukan manusia, namun para iblis itu menggali parit dan memasang dinding darurat dari kayu yang dipotong. Paling tidak, itu tampak seperti perkemahan militer yang layak. Hatsumi tidak bisa melihat secara luas area di belakang para iblis itu, namun sepertinya para iblis itu juga sedang menghancurkan pinggiran wilayah tersebut. Kemungkinan besar ini merupakan tindakan untuk memperlambat pasukan yang mengejar jika mereka harus mundur.
"Sepertinya mereka sedang membentuk formasi pertempuran untuk muncul."
"Selama mereka tidak menyerang kami, tidak apa-apa. Mereka akan melakukan itu untuk mencoba mengintimidasi kami. Sesekali, mereka akan mulai melolong atau merusak lahan. Mereka kemungkinan besar bertujuan untuk melelahkan kami...."
Sebelum Hatsumi tiba, benteng berada dalam kesulitan. Mungkin diperlukan sedikit perang psikologis untuk menghabisi mereka. Para prajurit tahu kalau bala bantuan akan datang, namun waktu yang dihabiskan untuk menunggu melemahkan semangat mereka. Para iblis mengambil keuntungan dari hal itu, melakukan apa yang mereka bisa untuk membangun kegelisahan dan teror di dalam benteng sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Namun hal itu aneh.....
Apa yang dilakukan para iblis itu itu masuk akal. Hal ini layak dilakukan secara strategis. Dengan kata lain, itu benar-benar tidak seperti biasanya para iblis yang buas itu. Biasanya mereka akan menyerang saat tanda pertama kelemahan muncul, jadi sangat tidak biasa bagi mereka untuk menunggu waktu untuk memberi tekanan pada lawan yang sudah melemah. Mungkin saja mereka menunggu bala bantuan sebelum menyerang, namun Hatsumi masih menganggap itu agak aneh. Melihat ekspresi termenung di wajahnya, Weitzer memanggilnya.
"Hero-dono, ada apa?"
"Kita harus mengalahkan mereka, sama seperti biasanya. Tapi aku bertanya-tanya tentang ini..... bukankah tindakan mereka ini aneh?"
"Aku tidak yakin ada informasi tambahan yang tersedia selain yang baru saja dilaporkan kepada kits. Tidak ada iblis lain di area itu."
"Kalau begitu sepertinya tidak ada masalah."
Segera setelah Hatsumi mengambil keputusan, suara Selphy meninggi menemui mereka dari kaki menara pengawas.
"Hatsumi, pesan telah tiba."
"Apa pesannya?"
"Sepertinya pasukan utama iblis sedang bergerak. Prajurit Aliansi saat ini sedang bergerak sebagai tanggapan."
Waktunya telah tiba. Ketegangan yang jelas terlihat di udara dengan laporan Selphy, dan semua orang yang mendengarnya terkejut.
"Seperti yang kita duga, itu adalah rencana untuk memisahkan pasukan kita.... sungguh kurang ajar."
Kata Weitzer dengan pahit.
Para iblis telah mengatur waktu serangan mereka untuk menyerang pasukan utama setelah mereka membagi pasukan Aliansi sebaik mungkin. Dan pada akhirnya, manusia ikut bermain dalam genggaman mereka. Sekarang sudah sangat jelas kalau serangan terhadap benteng utara-timur laut hanyalah sebuah pengalih perhatian.
"Ayo kalahkan mereka dengan cepat dan kembali. Dan juga, Weitzer, setelah ini selesai, tugaskan prajurit yang kita bawa ke benteng ini."
"Untuk mengimbangi pertahanannya, benar? Sesuai keinginanmu."
Saat Weitzer dengan rendah hati menyetujuinya, Gaius meminta perintah kepada Hatsumi.
"Apa yang kita lakukan?"
"Aku berencana untuk keluar dan menemui mereka dari sini. Kita akan segera menyerang dan membuat mereka tidak berdaya, lalu mengusir mereka kembali. Aku pikir itu yang terbaik. Bagaimana dengan kalian?"
"Aku juga mendukung hal ini." Jawab Weitzer.
"Sebenarnya tidak ada cara lain untuk melakukannya." Kata Gaius.
Itu memang benar. Rencana Hatsumi adalah satu-satunya pilihan nyata mereka. Mereka harus menyerang, dan mereka tidak punya waktu luang. Mereka tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih rumit seperti memancing musuh ke suatu tempat yang bisa disergap. Dan akan terlalu banyak korban jiwa jika mereka hanya mengirimkan para prajurit untuk serangan frontal. Itu sebabnya terserah pada Hatsumi dan yang lainnya. Sekarang setelah mereka mempunyai rencana, Weitzer menoleh ke komandan.
"Komandan, bagaimana status pasukan yang tersisa di benteng?"
"Banyak dari mereka yang terluka atau kelelahan. Dalam pertempuran defensif, kita bisa mengerahkan tiga perempatnya, tapi menurutku hanya setengahnya yang bisa melakukan serangan mendadak."
"Selphy, bagaimana dengan prajurit yang kita bawa?"
"Mereka mendapat waktu istirahat yang cukup selama pawai, jadi seharusnya tidak ada masalah jika mereka berpartisipasi."
"Kalau begitu perintah mereka bersiap untuk bertempur sekaligus. Kita akan membagi pasukan kami menjadi tiga unit. Sayap kiri dan kanan akan melindungi kedua sisi kekuatan utama yang dipimpin oleh Hero-dono saat memotong pasukan iblis. Setelah terbentuk di depan benteng, kita akan segera bergerak!"
Segera setelah Weitzer memberikan instruksi, semua prajurit mulai bergerak. Bukan hanya dia seorang bangsawan, dia juga merupakan pendamping Sang Hero. Jika dia memberi perintah, maka akan diikuti dengan huruf T. Sementara itu, Hatsumi memanggil Gaius.
"Ayo segera pergi juga. Apa kamu siap?"
"Tentu saja. Aku sudah menunggunya."
Gaius memukul telapak tangannya dengan tinjunya saat dirinya menjawab. Melihatnya turun dari menara pengawas, Hatsumi meletakkan kakinya di pagar dan menendangnya saat dirinya melompat turun. Tindakan Sang Hero yang berani dan mengesankan biasanya akan membuat para prajurit mendidih karena kegembiraan, namun saat ini, tidak ada seorang pun yang memiliki waktu luang untuk menyaksikan apa yang Hatsumi lakukan. Memotong kerumunan prajurit yang berkumpul dalam formasi, Hatsumi berlari ke gerbang depan.
Setelah persiapan pertempuran selesai, peluit sinyal untuk membuka gerbang bergema di udara. Dan saat gerbang terbuka, Hatsumi berbalik menghadap pasukan yang membentuk barisan di belakangnya. Hatsumi bisa melihat wajah para prajurit yang dipenuhi semangat untuk mengikutinya—Sang Hero—ke medan perang. Hatsumi tidak perlu memberikan satu kata pun inspirasi.
Semangatnya sangat tinggi karena para prajurit telah mendengar cerita tentang kemenangan berulang kali Hatsumi atas para iblis. Tidak ada satu pun dari mereka yang meragukan kalau kemenangan akan menjadi milik mereka hari ini dengan adanya Hatsumi di pihak mereka. Hatsumi adalah harapan mereka, dan mengetahui hal itu membuat emosi bergejolak di dada Hatsumi. Sambil menahannya, dia mengalihkan pandangannya ke arah pasukan yang berkumpul. Weitzer kemudian melangkah ke depan mereka.
"Dari sini, kita akan menyerang iblis yang mengepung benteng ini! Bahkan termasuk bala bantuan kita, jumlah makhluk buas itu melebihi kita! Tapi kita punya Hero di pihak kita—Hero yang punya kekuatan sepuluh ribu orang! Selama dia bertarung bersama kita, kita tidak akan pernah kalah! Dan kalian semua merasa terhormat untuk bertarung bersamanya, Sang Hero yang diakui oleh Dewi Alshuna sendiri! Semuanya, banggalah menghadapi pertempuran ini!"
Ketika pidato Weitzer yang sangat bersemangat berakhir, para prajurit meneriakkan seruan perang yang sangat keras. Ketika teriakan mereka memudar, Weitzer dan Gaius mengambil tempat di sisi Hatsumi. Kemudian, atas perintah Weitzer, mereka dan para prajurit bergegas menuruni bukit dari benteng. Pada jarak yang aman dari perkemahan iblis, mereka berhenti dan mengambil formasi.
"Sepertinya para iblis itu telah memperhatikan kita dan sudah bergerak." Kata Hatsumi.
"Dengan kita berada di tengah bukit, cukup mudah bagi mereka untuk melihatnya." Kata Weitzer.
Saat Weitzer selesai menjelaskan, suara komandan terdengar dari belakang.
"Formasinya sudah siap! Kita bisa menyerang kapan saja!"
Hatsumi memandang rekan-rekannya dan mengangguk. Ketika Weitzer melakukannya, dia meneriakkan perintahnya.
"Unit penyihir, bersiaplah untuk merapal!"
Dalam pertempuran di mana kehancuran adalah tujuannya dan tidak ada strategi yang lebih rumit daripada itu, taktik itu adalah taktik yang sudah mapan untuk menggunakan unit penyihir untuk melakukan serangan pendahuluan. Mereka akan menembakkan banyak mantra sekaligus, yang akan diikuti dengan serangan dari para pemanah dan serangan dari kavaleri dan prajurit infanteri.
"Setelah serangan para unit penyihir berakhir, kita menyerang! Barisan depan, kumpulkan keberanian kalian!" Teriak Gaius ke barisan depan pasukan.
Namun di atas itu, suara ratapan tak menyenangkan terdengar dari sisi iblis. Weitzer tidak membuang waktu untuk memberikan perintah kepada Selphy.
"Selphy, setelah serangan pendahuluan selesai—"
"Aku akan membawa unit ini berkeliling dan memberikan dukungan dari sayap, benar? Dipahami. Unit penyihir, mulai mantra kalian! Gunakan sihir api dan angin untuk menyerang para iblis itu!"
Setelah memastikan rencananya, Selphy memberikan perintah kepada unit penyihir. Udara dengan cepat dipenuhi dengan suara rapalan mereka secara serempak, dan beberapa saat kemudian, tembakan sihir api yang dikipasi oleh sihir angin terbang ke arah iblis secara bersamaan. Serangan pertama menghantam kelompok mereka yang menyebar di kaki bukit. Serangan kedua dan ketiga segera menyusul, dan gemuruh ledakan api bergema jauh dan luas.
"Pengguna angin, perhatikan arah angin! Jaga kekuatan kita melawan arah angin setiap saat! Jangan lalai dalam melakukan penyesuaian!"
Selphy terus mengeluarkan perintah, dan para penyihir melanjutkan dengan serangkaian mantra untuk mencoba memperlambat gerak maju para iblis itu. Melihat para iblis itu tepat di depan mereka berbaris menembus api, para pengguna pedang kemudian mengambil tindakan. Barisan depan bersiap menghunus pedang mereka, dan Weitzer mengangkat pedangnya ke arah langit. Saat sinar matahari terpantul dari ujung pedangnya.....
"Baiklah, serang bersamaan—"
Tepat ketika Weitzer hendak memberi perintah untuk menyerang, laporan dari sayap kanan datang dalam bentuk teriakan.
"Yang mulia! Bala bantuan iblis datang dari sisi kanan!”"
"Apa?!"
"Sekarang?!"
Teriakan terkejut Weitzer dan Hatsumi saling tumpang tindih. Gaius, sementara itu, berteriak pada pembawa pesan itu.
"Ada gunung di sebelah kanan kita! Apa yang sedang terjadi?!"
"Mereka adalah iblis yang bisa terbang! Mereka mendatangi kita dari langit!"
"Apa mereka menyiapkan penyergapan.....?" Gaius merenung.
"Komandan, bukankah kamu bilang mereka tidak ada di sana....." Jawab Hatsumi, masih agak terkejut.
Komandan memang mengatakan sepertinya tidak ada para iblis lain di area tersebut. Apa maksudnya ini? Saat pemikiran seperti itu berputar di kepala Hatsumi, Weitzer menatapnya dengan ekspresi yang tidak nyaman.
"Tidak ada gunanya bertanya-tanya tentang hal itu sekarang. Kita hanya perlu mengirimkan beberapa orang untuk menanganinya. Pasukan, segera maju dan dukung barisan depan! Unit penyihir di depan, cepat ke sayap kanan dan dukung pasukan di sana!"
Saat Weitzer dengan tergesa-gesa memberikan perintahnya, utusan lain datang berlari. Dan itu bukanlah kabar baik.
"Lapor, Yang Mulia! Para iblis kini telah muncul di sisi kiri utara juga! Jumlah mereka jauh melebihi iblis di sini!"
"Apa— Bagaimana bisa?!" Teriak Hatsumi.
"Ini mustahil! Ini seperti mereka bisa menebak langsung ke dalam rencana kita....." Teriak Weitzer.
"Ini tidak mungkin! Tepat saat kita hendak bergerak...." Teriak Gaius.
Waktunya terlalu kebetulan. Para iblis mendapat bala bantuan dari kedua sisi tepat saat manusia menyerang. Seperti mereka sudah menunggu itu. Jika terus begini, para iblis itu mungkin akan mendekat dan mengepung mereka sepenuhnya. Karena panik, Weitzer berteriak dengan marah.
"Tidak bisakah kita melawan?!"
"J-Jumlah mereka terlalu banyak! Awalnya mereka menggandakan jumlah kami, dan sekarang jumlahnya menjadi beberapa kali lipat! Kita tidak punya peluang dalam bentrokan langsung!"
Ada hutan di sebelah kiri, jadi Weitzer belum bisa melihat para iblis yang mendekat dari arah itu, namun para iblis yang turun dari gunung sekarang terlihat jelas.
"Sebanyak itu? Kau pasti bercanda....."
Jumlah mereka cukup banyak di udara sehingga menutupi lereng gunung dengan kumpulan sayap mengepak berwarna merah tua. Jumlahnya terlalu banyak. Para prajurit yang saat ini berada di sayap kanan tidak akan pernah mampu mengalahkan mereka semua. Dan sekarang bahkan lebih banyak lagi yang mendekati sayap kiri..... namun itu adalah sebuah misteri. Para iblis itu tidak punya waktu untuk meminta bala bantuan. Hal ini seharusnya tidak mungkin terjadi kecuali mereka telah melakukan penyergapan yang menunggu selama ini. Namun dengan kekuatan sebesar itu, para iblis itu tidak akan kesulitan merebut benteng itu dengan kekerasan. Tidak ada gunanya memasang perangkap seperti ini.
Namun demikian, para iblis itu telah memikat pasukan Aliansi ke dalam cengkeraman mereka. Itu berarti para iblis itu telah mengharapkan bala bantuan datang, namun hal itu pun tidak masuk akal. Tidak ada gunanya bersusah payah hanya untuk mengalahkan bala bantuan.
"Tch! Para iblis sialan ini memiliki lebih dari sekedar pasukan utama dan pasukan terpisah yang menyerang benteng?!" Gaius berteriak frustrasi.
Mendengar kata-kata itu, sesuatu tiba-tiba muncul di benak Hatsumi.
"Begitu, pasukan yang terpisah....."
Suara Hatsumi tenggelam oleh teriakan dan keributan di sekitar mereka. Hatsumi hampir tidak bisa mendengar Weitzer meneriakkan perintah tepat di sebelahnya.
"Semua kekuatan, pertahankan formasi! Jika kita merusak barisan sekarang, para iblis itu akan mengambil keuntungan darinya! Cepatlah!"
Jika Weitzer memberikan perintah untuk mempertahankan formasi, itu berarti mereka berencana untuk bertahan dan bertarung. Namun bahkan jika mereka bertahan dan bertarung secara defensif, sudah jelas apa yang akan terjadi pada mereka melawan pasukan iblis sebesar ini. Mereka berada di persimpangan jalan. Menyadari mereka tidak memiliki peluang menang melawan para iblis seperti ini, Hatsumi berteriak sekuat tenaga.
"Mundur!"
"Hah?"
"Hero-dono?!"
Suara-suara kebingungan terdengar di mana-mana, terutama dari Gaius dan Weitzer. Hatsumi menoleh ke arah mereka berdua dan menyampaikan perintahnya.
"Semuanya mundur! Semua unit yang maju, mundur!"
"Tapi Hero-dono, jika kita melakukan itu, garis pertahanannya akan hancur!"
"Mungkin benar, tapi jumlah mereka terlalu banyak! Bahkan jika kita bertarung, kita hanya akan dimusnahkan!"
"T-Tapi jika kita mundur begitu saja, maka semangat pasukan akan...."
Tentu saja, setelah kemenangan terus menerus, moral seluruh pasukan Aliansi meningkat. Dan jika kekuatan yang dipimpin langsung oleh Sang Hero kini mundur tanpa melakukan perlawanan, semangat yang meningkat itu akan meledak seperti balon. Namun....
"Aku rasa tidak akan bagus jika ada korban jiwa hanya untuk menjaga moral."
Saat Hatsumi dengan terus terang mengutarakan pikirannya, Weitzer menyerah pada gagasan untuk tetap bertahan dalam pertempuran. Weitzer juga tahu kalau adalah tindakan bodoh untuk terus berjuang melawan segala rintangan.
".....Aku mengerti. Kalau begitu cepat dan bentuk barisan belakang. Kita akan menggunakan kemampuan untuk mempertahankan benteng......"
"Tidak, suruh semua prajurit di benteng mundur juga."
"Maksudmu mereka juga mundur?"
"Lalu apa yang akan kita lakukan untuk memperlambat para iblis sialan ini?" Gaius bertanya.
"Tanpa barisan belakang, kita bahkan tidak bisa berlari....." Tambah Weitzer.
Seperti yang mereka katakan. Sangatlah penting untuk memiliki satuan pasukan yang dapat memperlambat musuh dalam mengejar mereka sehingga semua pasukan lainnya dapat melarikan diri. Namun Hatsumi sudah mengetahui hal itu.
"Tentunya kami akan membentuk barisan belakang. Tapi itu hanya akan terdiri dari kita dan orang-orang yang bisa diselamatkan. Jangan bersembunyi di dalam benteng saat kalian pergi; bergerak melewatinya. Kita akan mengabaikannya."
"Mengabaikannya, katamu?"
"Apa layak membuang nyawa orang-orang ini untuk melindungi itu?"
Mendengar kata-katanya, Weitzer dan Gaius terdiam. Mereka tahu kenapa Hatsumi mengambil pilihan ini. Memang benar kalau benteng perbatasan ini adalah markas penting untuk mengendalikan invasi iblis, namun jika terus begini, bahkan jika mereka mencoba mempertahankannya, mereka hanya akan dihabis. Itulah mengapa penting bagi mereka untuk menyerah dan mundur selagi mereka masih bisa.
"Dan jika salah satu dari kalian keberatan berada di barisan belakang, aku tidak akan memaksa kalian untuk berada di barisan belakang."
Hatsumi memberi mereka pilihan mengenai posisi mereka. Dia tidak punya niat memaksa mereka melakukan apapun. Namun, seperti dugaannya, tak satu pun dari mereka menolak. Baik Weitzer dan Gaius, meskipun wajah mereka dipenuhi keringat, memberikan anggukan yang meyakinkan dan berjanji untuk mendukung para prajurit saat mereka mundur. Namun kemudian laporan panik lainnya datang.
"Sayap kanan! Mereka tidak bisa menahannya lagi! Sayap kiri juga sama!"
"Ini terlalu cepat....."
"Kita terpancing masuk. Sepenuhnya dan terkepung. Kita bahkan tidak punya waktu untuk menghunus pedang kita."
Semuanya berjalan sesuai dengan rencana para iblis. Mereka berada dalam posisi yang tidak menguntungkan sehingga tidak ada cara bagi mereka untuk melawan. Mereka akan melakukannya dengan baik hanya jika berhasil mundur. Saat itulah Selphy, yang memimpin unit penyihir, berlari mendekat.
"Pangeran Weitzer, bagaimana situasi di sini?"
"Kami baru saja memutuskan rencana kami."
"Untuk mempertahankan posisi kita?"
"Tidak..... kita akan mundur."
Weitzer dan Selphy menggigit bibir mereka dengan ekspresi pahit. Saat percakapan mereka berakhir, Hatsumi angkat bicara.
"Weitzer. Gaius. Selphy."
"Ya, Hero-dono."
"Ada apa?"
"Ya, Hatsumi?"
"Dari sini, kita akan berpencar dan bertarung. Setelah mengulur waktu, berpencar dan lari. Masing-masing dari kalian membawa satu unit penjaga belakang saat kalian pergi. Aku akan bergerak mandiri."
"Bergerak secara mandiri? Kamu tidak....."
"Hatsumi! Kamu tidak bisa melakukan itu!"
Weitzer prihatin, namun Selphy tidak ragu-ragu mengecam keputusan Hatsumi. Mengatakan kalau dia khawatir karena Hatsumi menganggapnya enteng. Namun ada alasan mengapa Hatsumi memilih rencana tindakan ini.
"Aku memiliki Divine Protection dari ritual pemanggilan Hero. Aku punya daya tahan lebih dari orang lain. Aku akan mengaturnya dengan satu atau lain cara."
"Meski begitu, jika kau hanya sendirian—"
Kata Gaius mulai keberatan.
"Jika aku dengan ceroboh membawa serta para prajurit itu bersamaku, mereka hanya akan membebaniku. Apa kamu tidak mengerti itu?"
"I-Itu..... memang benar....."
Tidak seperti Gaius, yang kehilangan kata-kata, Weitzer tidak kesulitan mengutarakan pikirannya.
"Tidak, Hero-dono. Aku akan menemanimu."
"Kamu tidak bisa. Jika kita tidak berpencar, siapa yang akan melindungi para prajurit itu?"
"Aku diperintahkan oleh Yang Mulia Raja untuk membantumu. Selain itu, aku juga ingin membantu—"
"Weitzer."
"Hero-dono......"
Ketika Hatsumi memanggil Weitzer dengan namanya, Weitzer bertemu dengan tatapannya. Terlihat jelas dari sorot mata Weitzer itu kalau dirinya tidak berniat menyerah. Melihat ini, Hatsumi bertindak pengecut.
"Aku akan baik-baik saja sendiri. Jadi, Weitzer, aku ingin kamu bergabung dengan barisan belakang dan mundur ke pasukan utama dengan unit di bawah komandomu. Jika aku bilang itu perintah dari Sang Hero, maukah kamu mendengarkannya?"
"Hero-dono, itu...."
"Hatsumi...."
"Hei, itu....."
Weitzer tidak punya pilihan selain menuruti perintah Sang Hero itu. Itu sebabnya Hatsumi belum pernah berbicara seperti ini sebelumnya. Begitu Hatsumi melakukannya, baik Weitzer maupun rekan-rekannya yang lain tidak punya pilihan dalam hal ini.
"Urgh..... sesuai keinginanmu....."
Suasana itu adalah situasi yang menyakitkan—Baik bagi rekan-rekannya maupun bagi Hatsumi. Setelah menundukkan kepalanya sejenak, Weitzer dengan tegas bangkit dan menghadap para prajurit.
"Dari sini, pasukan kita akan mundur! Tinggalkan benteng! Mereka yang memiliki kekuatan tersisa untuk bertarung di barisan belakang, tetaplah bersamaku! Semuanya, cepat mundur ke kekuatan utama di area kosong!"
Dengan itu, komandan setiap unit yang terlibat dalam pertarungan bebas untuk semua di medan perang memberikan perintah untuk mundur. Saat itulah Hatsumi menyadari keringat dingin dan tidak menyenangkan menetes di bagian belakang lehernya.
★★★
Setelah Hatsumi dan yang lainnya berpencar karena serangan iblis, Weitzer berhasil kembali ke pasukan utama. Di sana, tanpa beristirahat sejenak, dia langsung mengambil alih komando pertempuran.
"Pertahankan sayap kanan! Kirim utusan ke pasukan Valvauro dan suruh sebagian sayap kiri berputar ke tengah! Pasukan utama akan menahan barisan kita dan menerima serangan, dan sayap kanan akan mendorong mereka mundur!"
Pada saat Weitzer kembali ke pasukan utama, para iblis sudah menyerang pasukan Aliansi utama yang dikerahkan di area kosong. Tampaknya keempat pasukan nasional memiliki jumlah iblis yang lebih banyak pada awalnya, namun pasukan iblis jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Garis depan sebagian besar menemui jalan buntu.
"Ugh.... bahkan setelah kembali ke pasukan utama, kita masih dalam posisi yang sulit....."
Setelah mengeluarkan perintah dari posisi di mana dirinya bisa melihat medan pertempuran, Weitzer menggerutu dengan pahit pada dirinya sendiri. Ketika dia melakukannya, seorang perwira staf dari pasukan datang untuk memberikan laporan.
"Yang mulia! Kedua pasukan ini seimbang, tapi kita tidak punya cukup keuntungan untuk membalikkan keadaan. Aku yakin kita harus mundur ke sini dan bersatu."
"Jangan bodoh! Apa maksudmu kita harus mundur ke belakang benteng utama?! Jika kita melakukan itu, maka Hero-dono tidak punya tempat untuk kembali! Sampai dia kembali kepada kita, kita akan mempertahankan posisi ini!"
"T-Tapi Yang Mulia..... pasukan kita bisa....."
Bahkan jika mereka tidak dimusnahkan, mereka akan menderita banyak korban jiwa. Namun petugas itu tidak sanggup mengatakan itu.
"Kehilangan Sang Hero juga akan menjadi pukulan besar bagi pasukan Aliansi. Kita akan kehilangan kekuatan yang diberikan oleh Dewi Alshuna kepada kami. Apa kau paham itu?"
Petugas itu masih tidak bisa berkata apapun. Di medan perang, kekuatan Hero sangat luar biasa. Keterampilan Hatsumi sendiri sangat mengagumkan, namun keterampilan itu diperkuat lebih jauh lagi oleh Divine Blessing yang dia terima. Dalam semua pertarungan hingga saat ini, dia tidak pernah sekalipun menghabiskan stamina, kekuatan, atau konsentrasinya. Hatsumi hampir tidak bisa dihentikan. Hal itu adalah rahasia umum di kalangan pasukan Aliansi. Namun mempertaruhkan nyawanya demi para pasukan iblis itu adalah sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh petugas itu.
"Aku memahami dilema kalian."
Kata Weitzer kepada petugas itu.
"Dalam pertarungan normal apapun, itu adalah keputusan yang tepat. Tapi aku bahkan tidak tahan memikirkan hal seperti itu untuk jadi penghibur. Demi reputasi pasukan kita dan kesehatan mentalku sendiri. Sejarawan! Jangan catat apa yang baru saja dikatakan oleh petugas itu!"
Para sejarawan mengangguk atas perintah Weitzer. Jubah hijau berkibar kemudian mulai terlihat.
"Pangeran Weitzer."
"Selphy? Ada apa?"
Saat Weitzer bergabung dengan pasukan utama, Selphy juga kembali. Sejauh yang Weitzer tahu, Selphy mengatur unit penyihir di sayap kanan menjadi tiga resimen dan berjuang keras. Jadi sampai Selphy meninggalkan mereka dan datang sejauh ini, sesuatu pasti telah terjadi.
"Baru saja, Gaius-san kembali dari barat bersama unitnya."
"Jadi dia kembali! Lalu? Apa Hero-dono bersamanya?"
"Itu.... orang-orang yang selamat dari unit di bawah komandonya tidak mengetahui lokasinya...."
"Tch....!"
Weitzer menggigit bibirnya. Langit belum menjawab doanya. Suara seorang kemudian memotong pembicaraan mereka dari jauh.
"Yo, Weitzer! Apa yang sedang terjadi?!"
"Gaius-san! Aku sudah bilang padamu untuk mundur!"
Daripada mundur, Gaius malah mengejar Selphy. Dia langsung mulai membentaknya, namun Gaius dan Weitzer tidak mempedulikannya saat mereka mendiskusikan situasinya.
"Hmm?"
"Itu tidak bagus."
"Kalau begitu, bagaimana kalau mengusir para iblis sialan itu?!"
"Kita akan mengambil tindakan."
Mengetahui kalau pasukan utama sedang menghadapi pertempuran yang sulit dan kalau misi untuk menyelamatkan Hatsumi semakin tidak mungkin dilakukan dari menit ke menit, Gaius menghentakkan kakinya seolah dirinya mencoba menghilangkan rasa kesalnya.
"Meskipun dia bersikeras pergi ke hutan yang berbeda dari kita....."
"Jangan katakan itu. Jika itu adalah perintah dari Sang Hero, kau harus mematuhinya. Kita semua harus melakukannya."
Gaius merendahkan bahunya dan duduk di tempat ketika Weitzer mencoba meyakinkannya kalau kejadian yang terjadi tidak dapat dihindari. Mereka semua tahu kalau Hatsumi kuat—kalau Hatsumi memiliki kekuatan yang bahkan melebihi apa yang mereka lihat. Jika Hatsumi memberitahu mereka kalau dirinya akan baik-baik saja, mereka tidak punya pilihan selain mempercayainya. Dan mematuhinya.
"Gaius-san, mundurlah! Bahkan jika lukamu telah sembuh, jelas terlihat kalau kamu berada pada batas kemampuanmu! Sekarang cepatlah pergi bersama yang lainnya."
"Aku tahu, tapi aku tidak bisa melakukan itu dalam situasi seperti ini. Aku akan menunggu di sini sampai Hatsumi kembali."
"Tapi...."
Bertentangan dengan Selphy, yang masih berusaha menghalangi Gaius, Weitzer berbicara dengan otoritas yang telah diberikan kepadanya.
"Lakukan sesukamu. Tapi jika kau menghalangi....."
"Ya, tinggalkan saja aku. Jangan salah mengartikan apa yang penting."
Mereka telah mencapai pemahaman bersama. Melihat mereka berdua seperti itu, Selphy menjadi tenang dan menghela napas lelah. Ketika dia melakukannya, seorang prajurit yang kehabisan napasnya kemudian berlari ke arah mereka dari belakang.
"Lapor! Baru saja, anggota Guild dari Twilight Pavilion telah tiba untuk memberikan bantuan!"
Utusan itu datang memberitahu mereka tentang bala bantuan. Namun kabar baik yang seharusnya bisa mencerahkan suasana hati.
"Meski begitu....." Kata Weitzer.
Bukan berarti beberapa bala bantuan bisa mengubah gelombang pertempuran sekarang. Dukungan Guild disambut baik, namun mereka tidak memiliki jumlah yang cukup untuk memberikan perlawanan untuk menantang seluruh pasukan. Terutama untuk pasukan iblis yang sebesar ini.
"Mereka membawa beberapa anggota dengan rank tinggi, termasuk Camellia Sasanqua, Empress of the Sword Dance. Aku berharap mereka akan mampu mempertahankan barisan depan sampai batas tertentu."
"Jika begitu......" Selphy berkata dengan secercah harapan dalam suaranya.
Gaius, bagaimanapun, tidak menunjukkan antusiasmenya.
"Tapi para iblis itu bersiap pergi. Menurutku mereka tidak akan—"
Namun saat Gaius hendak menyampaikan keraguannya, utusan kedua datang dari garis depan. Yang hanya bisa berarti satu hal......
"Para iblis itu menyusul kita! Mereka akan segera datang ke sini!"
"Apa katamu?!" Teriak Weitzer.
"Apa yang kau lakukan?! Sialan!" Teriak Gaius.
Petugas itu yang bersama mereka menjadi pucat. Sebuah lubang telah terbuka dalam formasi di garis depan, dan para iblis itu segera mulai menerobosnya, membantai saat mereka pergi. Dengan kata lain, mereka langsung menuju ke komandan. Weitzer menghunus pedangnya dan Gaius berdiri.
"Kita akan melawan! Petugas, mundur dan minta dukungan! Semua orang di sini segera membentuk formasi! Kita akan bertemu para iblis itu dan melakukan serangan balik!"
Atas perintah Weitzer, para prajurit yang hadir segera mengambil posisi. Para penombak maju ke depan dan menyusun dinding tombak, dan para pengguna pedang berbaris di kedua sisi. Di belakang mereka semua, bersama Weitzer, ada para penyihir yang berdiri berjajar. Mereka bersiap menembak begitu perintah diturunkan. Dan saat Gaius dan Selphy bersiap untuk bertarung juga, para iblis mulai terlihat.
"Ada banyak dari mereka....."
Ada lebih dari seratus iblis yang berhasil menembus garis depan. Mereka membawa monster-monster besar, dan bergerak sebagai satu kelompok dengan kecepatan yang cukup mengerikan.
"Kami akan menembakkan mantra pada mereka terlebih dahulu. Setelah itu, aku serahkan sisanya pada kalian."
Baik Weitzer dan Gaius mengangguk, tanpa berkata-kata menyetujui rencana Selphy. Setiap orang yang hadir menjadi pucat dan berkeringat dingin. Mereka berhasil membentuk formasi tepat waktu, namun dengan hanya segelintir penyihir yang bersama mereka, hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah mengalahkan monster di garis depan. Bergantung pada para penombak dan pengguna pedang untuk mengulur waktu sampai para penyihir bisa melepaskan mantra berikutnya, namun mereka kalah jumlah. Tidak pasti apakah mereka bisa bertahan cukup lama.
Mereka semua menahan napas saat menunggu iblis mencapai jangkauan mantra penyihir. Dan tak lama kemudian, para penyihir mulai merapal secara serempak dan membiarkan sihir mereka terbang. Bola api melesat menuju iblis seperti tembakan meriam. Semua tombak dan pedang yang para prajurit siapkan bersinar terang dalam cahaya oranye yang lewat di atas. Namun para iblis itu tidak terpengaruh. Mereka terus berjalan melewati api. Tidak ada yang menyangka bisa menghentikan pergerakan para iblis sepenuhnya, namun hal itu tidak bagus. Mereka tidak melakukan apapun untuk memperlambat pergerakan para iblis itu. Semua orang pucat saat mereka menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri. Dan pada saat itu, sebuah suara yang fokus dan tenang terdengar terbawa angin.
"Seperti yang dibawa oleh angin abadi, kirimkan nyala api yang bersinar dan bertiup ke sisinya! Dengarkan suaraku! Engkaulah Ishim yang diwarnai putih! Dengarkan suaraku! Engkaulah Ishim yang menghilangkan segala malapetaka! Maka, aku akan menyanyikan dan melafalkannya sekali : Eva, Zurdick, Rozeia, Deivikusd......"
Itu adalah suara rapalan mantra, yang diperjelas dengan lingkaran sihir putih berputar yang terbentuk di udara. Tampaknya lingkaran sihir itu memutar udara di sekitarnya, dan dengan cepat melahirkan angin kencang. Lingkaran itu kemudian mulai bersinar terang.
"Hancurkan mereka! Truth Flare!"
[White Flame Hyacinth!]
Api putih melingkari kelompok pasukan itu dalam sekejap, dan dengan suara seperti pekikan bernada tinggi, api itu menyapu langsung ke arah iblis. Kemudian, di antara cahaya putih dan angin yang bergejolak, terjadi ledakan dahsyat. Setelah beberapa saat tanpa suara, suara gemuruh mengguncang tanah. Dan saat cahaya putih menghilang, para iblis itu pun ikut menghilang. Melihat sisa-sisa api putih yang masih berkelap-kelip di depan para penombak, Weitzer tersadar dan berteriak kaget.
"Apa yang barusan itu?!"
"Ini mungkin sihir, tapi kekuatan penghancurnya itu....."
Weitzer sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tidak ada penyihir di Aliansi yang bisa menggunakan sihir dengan kekuatan dahsyat. Bahkan Selphy pun tidak bisa memberitahunya apa itu.
"Bagaimanapun, dengan kekuatan penghancur itu..... hampir semuanya hancur total." Kata Gaius.
"Bukan hanya itu. Bara api masih membasmi iblis yang tersisa di area itu. Kita tidak perlu lagi melakukan apapun."
"Heh, sungguh menyia-nyiakan tekad heroik kita...."
"Itu adalah sesuatu yang patut disyukuri. Tapi meski begitu, sihir macam apa ini.... siapa yang melakukannya....."
Ketika Weitzer mengerutkan alisnya, barisan belakang pasukan berpisah, dan seorang perempuan mendekat. Perempuan itu memiliki rambut perak mengilap dan mengenakan jubah dengan warna yang sama dengan api yang baru saja membakar para iblis itu. Tidak diragukan lagi perempuan itulah yang mengucapkan mantra itu. Tentunya, perempuan itu tidak lain adalah Felmenia.
"Sepertinya kami berhasil tepat waktu....."
"Yang barusan itu, adalah kau— tunggu, bukankah kau gadis yang kutemui di restoran itu?!"
Mata Gaius terbuka lebar karena terkejut ketika dirinya melihat sosok yang dikenalnya. Menyadarinya juga, Felmenia memberi salam sopan.
"Lama tidak bertemu, Forvan-dono."
"Y-Ya....."
"Kamu tahu siapa tahu dia?" Tanya Selphy.
"Aku secara kebetulan bertemu dengannya di sebuah restoran dalam perjalanan pulang terakhir kali, tapi... Itu benar-benar sihir yang luar biasa. Api putih itu, ya?"
Setelah melihat sihir Felmenia dan mendengar cerita singkat Gaius, Selphy terlihat sedikit terkejut. Selphy sepertinya sudah menemukan jawabannya.
"Mungkinkah kamu ini penyihir dari Astel yang mereka sebut White Flame itu, Felmenia Stingray-dono?"
"Apa?! U-Um....."
Setelah identitasnya segera terungkap, Felmenia mulai panik. Meskipun sebenarnya, Felmenia seharusnya tahu ini akan terjadi ketika dirinya menggunakan api putih khasnya.
"Hei, hei, hei! Tunggu sebentar! Gadis ini adalah si White Flame itu....?"
"Apa yang dilakukan penyihir Istana Astel di sini?"
Weitzer bertanya, sepertinya juga menyadari siapa Felmenia.
Saat itulah Suimei melangkah keluar dari belakangnya.
"Yah, banyak hal yang terjadi untuk itu."
"Kau—"
"Yo."
Melihat Weitzer benar-benar kaget, Suimei melambai ringan. Lambaian itu adalah sapaan yang ditujukan untuk Gaius dan yang lainnya juga, namun melihat Suimei bersikap begitu santai, Gaius sepertinya menyadari sesuatu.
"Ah, karena gadis itu ada di sini, aku seharusnya tahu kalau kau juga akan berada di sini."
"Yah, begitulah. Lagipula, bukan hanya kita saja, tahu?"
Saat Suimei mengatakan ini, dia melihat ke arah Rumeya, yang sedang menghisap pipanya.
"Halo, Sang Larsheem General of Fist. Lama tidak bertemu, benar?"
"Ugeh?! Sasanqua dari Seven Sword!"
"Ara? Apa maksudmu dengan 'Ugeh'? Apa kau ingin aku menghajarmu sampai babak belur lagi?"
"Beri aku waktu istirahat.... maksudku, kumohon."
Sikap Gaius yang biasanya bodoh hancur di hadapan Rumeya. Jelas sekali mereka punya sejarah. Selphy, sebaliknya, menyapa Rumeya dengan ekspresi penasaran.
"Jadi, kalian adalah bala bantuan dari Guild?"
"Ya, itu benar. Omong-omong....."
Saat Rumeya mulai melihat sekeliling, Lefille dan Liliana juga mendekati kelompok itu.
"Sepertinya kalian sudah cukup terdorong mundur."
"Ini bukan..... situasi yang bagus."
"Gadis dengan pedang dan gadis kecil itu juga ada di sini, huh? Yah, jumlah iblis jauh melebihi yang kami perkirakan."
Baik Lefille maupun Liliana cukup berpengalaman dalam pertarungan dan tidak kesulitan membaca situasi. Bukannya tidak baik, situasi itu malah buruk. Mereka tidak benar-benar terpojok, namun mereka mengerahkan segala yang mereka punya untuk mempertahankan garis depan. Mendengar ini, Rumeya menghela napasnya dan mengerutkan keningnya.
"Jadi seperti itulah kekacauan yang kami alami..... kalau begitu, aku akan mengirim kelompok dari Guild untuk bertindak. Kau tidak keberatan dengan itu, kan, Pangeran Weitzer?"
"Tidak. Aku berterima kasih atas bantuanmu, Sasanqua-dono."
Selama pertukaran ini, Suimei melihat sekeliling dengan ragu. Suimei tiba-tiba menyadari kalau seseorang yang seharusnya berada di sana.... ternyata tidak ada.
"Apa kamu melihat Hatsumi, Menia?"
"Sekarang setelah kamu menyebutkannya, dia sepertinya tidak ada di sini....."
Felmenia juga mulai melihat sekeliling, namun tak satu pun dari mereka melihat Hatsumi di mana pun. Apa yang dilihat Suimei adalah ekspresi pahit di wajah orang-orang Aliansi. Suimei memutuskan untuk mencoba bertanya kepada mereka.
"Hei, di mana Hatsumi?"
".....Apa yang akan kau lakukan dengan informasi itu?"
Weitzer membalas pertanyaannya sendiri dengan nada kesal. Mendengar ini, Suimei meringis dan membalasnya.
"Apa? Kau punya masalah jika aku bertanya?"
Suimei memelototinya dengan tajam, namun Weitzer hanya balas menatap dan tetap diam Melihat tampilan ini, para prajurit dari Miazen diliputi amarah. Mereka tidak bisa tinggal diam melihat orang yang tidak tahu berterima kasih memperlakukan pangeran mereka dengan tidak hormat. Atas nama mereka, salah satu petugas itu maju dan memaki Suimei.
"Hei, kau bajingan! Beraninya kau berbicara seperti itu kepada—"
"Diam dan urus saja urusan kalian sendiri."
Tidak ada waktu untuk terlibat dalam perdebatan kecil, jadi Suimei tidak membuang waktu untuk menutup mulut petugas itu dengan paksa. Tidak lagi bisa membuka mulutnya atas kemauannya sendiri, petugas itu terdiam sesaat, dan kemudian berjuang untuk membuka mulutnya.
"Ada lagi yang mau mengeluh? Majulah sini."
Saat Suimei merengut ke arah kerumunan, para prajurit itu tersendat. Meski sedikit terlambat, Gaius memberi isyarat kepada mereka dan memperingatkan mereka untuk tetap kembali. Dalam perubahan total dari sikap ramah sebelumnya, wajah Suimei berubah menjadi kesal. Selphy-lah yang akhirnya memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Hatsumi tidak ada di sini."
"Dia tidak ada sini?"
"Ya...."
Selphy menganggukkan kepalanya saat dirinya menjawab dengan tenang. Dia kemudian memberitahu Suimei dan yang lainnya apa yang terjadi di benteng perbatasan.
"......Jadi kalian disergap?"
"Dan kemudian kami terpencar. Kami semua bertemu kembali di sini......."
"Jadi itu yang terjadi.....?"
Mendengar Weitzer mengerang ketika dirinya selesai menjelaskan mengapa Hatsumi tidak ada di sana, Suimei mencubit alisnya. Segalanya berubah secara tak terduga—mungkin hal terburuk yang bisa dibayangkan.
"Penyelamatan..... jika itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan, maka hanya itu, kan?"
Tanpa menunggu jawaban siapapun, Suimei sepertinya mendapat jawaban sendiri. Suimei terdiam beberapa saat, lalu menoleh ke arah Selphy dengan ekspresi tegas.
"Jadi, ke mana arahnya?"
"Arah..... nya?"
"Ke mana arah benteng itu?"
"Kenapa kau menanyakan hal itu, bajingan?"
Kata Weitzer, menyela.
"Aku akan menyelamatkannya. Geez. Mengetahui arah umum bisa membuat segalanya lebih mudah."
Meski dicekam rasa terkejut, Weitzer berkobar.
"Kau..... jika kau melakukan itu, itu sama saja kau terjun ke dalam pasukan iblis, tahu?!"
"Ya, aku tidak perlu kau memberitahuku hal itu."
"Apa?! Maka jangan bodoh sialan! Apa sebenarnya yang ingin kau capai dengan melemparkan dirimu ke arah iblis?!"
Bagaimanapun, dalam situasi normal, hal itu mungkin terlihat agak sembrono. Suimei agak mengerti mengapa Weitzer begitu marah, namun Suimei merasa ada yang lebih dari itu.
"Hei, apa yang membuatmu begitu marah?"
"Aku tidak terlalu marah!"
"Oke, kalau begitu tenanglah. Tapi bagaimanapun juga, aku harus menyelamatkan Hatsumi. Jika seseorang tidak melakukannya, itu akan buruk, kan? Jadi ini bukan waktunya untuk berdebat tentang detailnya."
Dihadapkan pada argumen Suimei yang sepenuhnya masuk akal, Weitzer kehilangan kata-kata. Dan kemudian, seolah-olah menelan amarahnya, Weitzer menunduk karena kesal. Mungkin Weitzer mengerti kalau dia telah kehilangan ketenangannya.
".....Apa kau mengatakan kalau kau bisa melakukannya?"
"Aku harus. Itu sudah tugasku."
Mendengar Suimei mengatakan ini, Selphy berbicara dengan bingung.
"T-Tapi, biarpun kamu menuju ke arah benteng, kamu tidak tahu apa kamu bisa mengejarnya atau ke arah mana dia pergi......"
"Aku hanya harus mencoba yang terbaik dan mencarinya. Tidak ada yang akan menemukannya jika tidak ada yang mencarinya, bukan?"
"Tapi kau tahu, nak, tempat yang kau tuju itu penuh dengan para iblis, bukan?"
"Itulah sebabnya kalian akan mengalihkan perhatian mereka, orang tua. Jika ya, aku bisa bertahan, jadi tidak masalah."
Suimei menghilangkan semua kecemasan mereka seolah-olah itu bukan apa-apa. Dan ketiganya terdiam.
"Kalau begitu Suimei-dono, aku akan ikut bersama....."
Saat Felmenia hendak menawarkan diri untuk menemaninya, Lefille menghentikannya.
"Tidak, Felmenia-san. Kita akan tetap di sini."
"Apa? Mengapa?!"
"Ini adalah pertarungan yang kalah. Pasukan Aliansi berada pada posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan jumlah tersebut di dataran terbuka. Jika kita tidak menekan pergerakan maju para iblis itu, kita tidak bisa kembali lagi. Para prajurit bahkan tidak akan mampu mempertahankan barisan. Jadi semuanya bergantung kepada kita untuk menarik perhatian para iblis itu."
Lefille menatap ke arah huru-hara di medan perang saat dirinya menjelaskan tujuan mereka kepada Felmenia. Mengawasinya, Rumeya meletakkan tangannya di dagunya sambil tertawa kecil.
"Kamu yakin mengatakannya, Lefi. Apa kamu melihat jumlah mereka itu?"
"Ketika makhluk-makhluk itu menyerang Noshias, jumlah mereka yang aku bunuh sendiri berjumlah sebanyak itu."
Lefille tanpa rasa takut menyombongkan keahliannya. Itu adalah kata-kata yang menenangkan bagi siapapun yang bertarung di sisinya, karena Weitzer dan yang lain dari Aliansi tidak terlalu memperhatikannya. Tentunya itu adalah keberanian. Liliana mau tidak mau bertanya.
"Lefille, itu.... bohong..... kan?"
"Ya, tentu saja itu bohong."
Meskipun Lefille mengatakan itu, nadanya tidak terlalu meyakinkan. Ketika Noshias diserang oleh para iblis, Suimei mendengar kalau jumlah mereka tidak masuk akal. Jika itu benar, dan dengan mempertimbangkan kemampuan Lefille yang sebenarnya....
"Um, Suimei-dono...."
"Ya, menurutku dia tidak benar-benar berbohong......"
Felmenia dan Suimei saling berbisik. Suimei tidak berpikir itu benar karena jumlahnya, namun Suimei yakin Lefille telah membunuh iblis dalam jumlah yang luar biasa banyaknya. Sangat mungkin Lefille bisa mengalahkan seluruh pasukan di depan mereka tanpa mengeluarkan keringat. Namun, mendengar bualan Lefille, Rumeya tertawa.
"Ara, ara..... suasana hatimu sedang bagus, bukan?"
"Aku senang sekali bisa melampiaskan amarahku setelah sekian lama. Aku belum pernah melawan iblis apapun sejak aku berada di Astel."
Suara dingin Lefille dipenuhi dengan kemarahan yang luar biasa saat dirinya berbicara. Lefille kemudian berbalik ke arah Suimei.
"Jadi serahkan padaku, Suimei-kun."
"Terima kasih, aku serahkan padamu. Kaliam juga, Menia, Rumeya."
"Kami dapat mengandalkan kami."
"Yah, Yah. Selesaikan semuanya dengan cepat dan selamatkan dia, oke?”
Setelah mereka berdua menjawab, Liliana yang mengikuti, berbicara dengan nada meminta maaf.
"Tidak ada.... yang bisa aku lakukan......"
"Kali ini kamu memainkan peran besar dengan caramu sendiri. Untuk saat ini, tonton saja magicka Menia dan pelajari sebanyak mungkin."
Mendengar Suimei meyakinkannya, Liliana mengangguk kembali. Dan dengan itu, percakapan mereka dengan cepat berakhir, meskipun kecemasan masih menyelimuti. Namun, itu wajar mengingat ke mana tujuan Suimei.
"Benteng itu berada di timur laut dari sini. Tapi bagaimana caramu bisa melewati para iblis itu?"
"Aku tidak punya niat untuk berjuang mengatasi kekacauan itu."
Saat Suimei mengatakan itu, dia mengangguk ke arah yang ditunjuk Selphy. Samar-samar mereka bisa melihat lebih banyak para iblis itu berkumpul di kejauhan. Mereka mengambil formasi seperti yang ingin mereka pertahankan. Melewati mereka bukanlah hal yang mudah. Namun Suimei tidak terlihat khawatir.
"Konyol. Bahkan jika kau mencoba dan memutari mereka, kau tidak bisa lepas dari jangkauan mereka."
"Yah, itu sudah jelas hanya dengan melihat jumlah mereka."
Mendengar Suimei setuju dengannya, kebingungan Weitzer semakin menguat. Suimei kemudian melangkah maju ketika suara Gaius mengejarnya, mengikuti jejaknya.
"Hei, apa kau mendengarkan kami, nak?!"
"Aku bisa mendengarmu dengan keras dan jelas. Jadi.... aku ingin kalian semua mundur sedikit."
"Ah?"
Gaius pun semakin bingung dengan jawaban Suimei. Tanpa berkata apa-apa lagi, Suimei terus berjalan ke depan. Seolah membuka mantelnya, dia mengulurkan tangannya, dan pakaian hijau normalnya berubah menjadi setelan jas hitam dalam sekejap.
Di satu sisi, Weitzer dan Gaius menyaksikan dengan kebingungan, dan di sisi lain, Felmenia, Lefille, Liliana, dan Rumeya dengan patuh mundur sesuai perintah. Kemudian.....
"Abreq ad Habra....."
[Lemparkan petirmu bahkan sampai mati.....]
Suara Suimei pelan-pelan bergema di langit di atas. Dan tak lama kemudian, jeritan tidak manusiawi dari seorang perempuan terdengar di seluruh medan perang.
★★★
"Ini tidak biasa, ya?"
Berfokus pada iblis yang terbang di udara dan berlari melintasi tanah, Rumeya menikamkan pedangnya ke tanah. Dia hanya memiliki dua tangan, namun jumlah pedangnya melebihi itu. Dia memiliki satu untuk setiap ekor emasnya, totalnya tujuh. Seperti bunga yang mekar, dia berdiri dengan bangga di tengah lingkaran pedangnya. Dia mengulurkan tangannya dengan ringan hingga dia hampir menyentuh pedang di sekitarnya dengan ujung jarinya, dan berdiri di sana dengan tenang sambil menunggu.
Tidak ada sekutu di sekitar sini. Jika mereka terlalu dekat dengannya, mereka akan terjebak dalam teknik pedangnya. Ada pemahaman diam-diam antara dirinya dan orang-orang yang menemaninya di medan perang. Hanya musuhnya yang bisa mendekatinya. Dan pendekatan pun mereka lakukan. Tak lama kemudian, iblis yang mengincarnya datang terbang seperti meteor yang jatuh.
"Ara, bahkan hewan pun masih punya otak. Jadi mengapa makhluk-makhluk bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang keanggunan ini bergegas menuju kematian mereka?"
Berbaring menunggu, Rumeya menghela napasnya dengan membosankan. Iblis pertama yang melintasinya jatuh ke tanah menjadi delapan bagian. Sebelum ada yang tahu apa yang terjadi, tangannya disilangkan. Itu seperti bayangan setelah dirinya menghunus dan menebas dengan ketujuh pedang. Sekelompok iblis datang berikutnya. Ada sepuluh, mungkin dua puluh. Namun mereka juga berhamburan ke tanah di sekelilingnya dalam hujan darah dan kilatan emas dan perak.
Bloody Art of Fallen Flower. Segala sesuatu di sekitarnya hancur berkeping-keping dalam sekejap mata, dan pola berdarah di tanah di sekitarnya tampak seperti bunga kamelia. Beginilah cara Rumeya mendapatkan gelarnya. Menyaksikan Rumeya mempraktikkan teknik bertarungnya dengan seperti bunga yang mekar penuh, Lefille menghela nafas kagum.
"Seperti yang diharapkan dari Rumeya-dono. Itu adalah penggunaan pedang yang luar biasa."
"Sanjungan itu sudah cukup. Aku tidak ingin mendengarnya."
"Ini bukan sekedar sanjungan."
"Apa yang kamu katakan? Kamu tahu aku tidak bisa bergerak saat melakukan ini. Itu sebabnya aku kalah dari manusia di festival Seven Sword King."
Rumeya berbicara dengan rendah hati tentang dirinya sendiri, namun Lefille menggelengkan kepalanya.
"Meski begitu, itu tidak mengubah fakta kalau teknik berpedangmu itu indah."
"Yah, itu sudah jelas."
Rumeya seperti membuat bunga pedang mekar di medan perang. Weitzer, yang juga melihat dari dekat, berbicara dengan kagum.
"Selama kamu di sini, Sasanqua-dono, rasanya seperti memiliki kekuatan seratus prajurit."
"Ara, bahkan kamu juga akan menyanjungku, Pangeran? Beri aku istirahat."
"Itu tidak salah. Faktanya adalah kamulah yang memegang kendali saat ini."
Segalanya secara keseluruhan masih terhenti, namun Weitzer berpendapat kalau fakta para iblis tidak lagi lolos dari barisan mereka adalah karena Rumeya di sana. Mungkin "Hampir" lebih akurat.
"Tidak. Aku cukup yakin sebagian besar dari mereka musnah pada awalnya."
"I-Itu....."
Weitzer kesulitan berkata-kata, namun Rumeya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Meski menyaksikan kekuatan Suimei, Weitzer tidak bisa mengakuinya dengan jujur. Weitzer menyaksikan Suimei sendirian berjalan ke barisan iblis yang menghalangi jalan ke timur laut, merapalkan beberapa kata, dan melepaskan mana dalam jumlah besar.
Ada lingkaran sihir ultramarine besar dan patung besar yang terlihat seperti seorang perempuan. Siapapun yang terjebak di dalamnya hanya bisa melihatnya sekilas, namun badai petir melanda area itu. Petir itu menyebar dan menyambar segala sesuatu yang berada dalam jangkauannya. Bahkan sulur terkecilnya pun menunjukkan kekuatan yang jauh melampaui pemahaman orang-orang di dunia ini. Dan kemudian, cahaya biru pucat yang dipancarkan oleh petir menghancurkan semua yang ada dalam genggamannya—termasuk sebagian besar iblis di sayap kanan pasukan mereka. Sesosok manusia kemudian berlari melalui jalur yang diciptakan oleh petir.
"Berkat itu, aku bisa bersantai di sini. Bukankah itu juga sama untukmu, Pangeran?"
"........."
Rumeya kembali menatapnya, namun Weitzer hanya mengerutkan keningnya dan mengalihkan pandangannya. Dengan itu, Rumeya akhirnya merasakan sesuatu.
"Ara, begitu ya? Jadi begitu. Kalau begitu, kamu benar-benar tidak bisa menilainya dengan jujur..... yah, kesampingkan itu, berapa lama kau berencana untuk duduk di sana, Jenderal Larsheem?"
"Aku kelelahan setelah mengurus pasukan yang datang jauh-jauh ke sini. Aku yakin kau tidak peduli dengan itu. Tapi karena kalian semua ada di sini sekarang, semuanya akan berjalan baik."
Gaius mengangkat kedua tangannya sambil tetap duduk. Dia sengaja bermalas-malasan, namun itu adalah sesuatu yang hanya bisa dia lakukan karena dirinya tahu kekuatan sebenarnya dari sekutunya.
"Bagaimanapun, teknikmu tetap menakutkan seperti biasanya. Aku tidak tahu apa itu karena ekormu yang menghalangi atau apa, tapi aku tidak bisa membaca gerakanmu sama sekali. Seperti yang diharapkan dari master bepedang kedua dari Seven Sword."
Kata Gaius sebelum beralih ke Weitzer.
"Jadi, apa yang dipikirkan oleh master bepedang kelima dari Seven Sword?"
"Apa itu sarkasme?"
"Entahlaaah!"
Gaius menjawab dengan sembrono tatapan Weitzer, yang kemudian membalas dengan sarkasmenya sendiri.
"Jika kau bahkan tidak punya tenaga untuk berdiri, maka diamlah. Setidaknya aku akan membiarkanmu menjadi pembawa pesanku."
"Hari-hari kejayaanku sudah benar-benar berakhir ya? Ini adalah akhir dari perjalananku jika ada anak nakal yang memberitahuku hal itu."
Saat mereka berdua bercanda satu sama lain, Rumeya menoleh ke Lefille.
"Selanjutnya giliranmu, Lefi. Sudah lama, aku tidak— melihat kemampuanmu itu."
"Setelah melihat teknikmu barusan, pedangku hanya akan terlihat tidak cantik."
Terlepas dari kata-katanya yang rendah hati, Lefille berjalan ke depan. Setelah Rumeya tanpa ampun memotong barisan depan para iblis itu, barisan berikutnya tersendat dan menjaga jarak. Namun meski begitu, kelompok para iblis itu cukup besar.
"Sasanqua-dono, siapa gadis itu?" Weitzer bertanya.
"Hmm? Oh, Lefi? Gadis itu adalah putri seorang pengguna pedang yang aku kagumi."
Rumeya berbicara dengan nada nostalgia, namun Weitzer masih terdengar ragu.
"Aku mengerti kalau kamu memercayai kemampuan gadis itu, tapi apa itu benar-benar situasi di mana kamu harus berdiri dan menonton?"