Chapter 2 : Relation of the Summoned   

 

"Jadi Hero dari Aliansi yang baru saja ikut parade itu....."

 

"Suimei-dono, kamu adalah kenalannya?!"

Suara terkejut Lefille dan Felmenia terdengar di seluruh ruangan. Setelah parade kemenangan Sang Hero, Suimei dan yang lainnya berkumpul di kantor Master Guild di Twilight Pavilion. Suimei sekarang duduk di sofa dengan ekspresi sangat muram di wajahnya.

 

"Tidak salah lagi kalau gadis itu adalah teman masa kecilku, Kuchiba Hatsumi. Tidak kusangka dia dipanggil ke dunia ini juga....."

Suimei menjawab para gadis itu sambil menghela napas berat. Felmenia dan yang lainnya benar-benar terkejut dengan kebetulan luar biasa yang dikatakan Suimei : Kalau Suimei mengenal Hero Aliansi itu di dunia asalnya sendiri.

 

"Jadi kamu tidak hanya terseret dalam pemanggilan sahabatmu, tapi sekarang teman masa kecilmu juga dipanggil ke dunia ini? Kamu benar-benar terlibat dalam takdir malang di sini, bukan?

Tidak yakin apa itu hanya keberuntungan yang malang atau pengaruh takdir, Rumeya hanya menatap Suimei dengan heran dengan satu mata tertutup sambil meniup pipanya. Hal itu benar-benar seperti yang Rumeya katakan. Suimei tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik untuk menggambarkannya selain "Takdir yang Malang". Pasti ada sesuatu yang mengikat orang-orang yang dipanggil ke dunia ini bersama-sama—itulah yang dikatakan oleh naluri Suimei kepadanya. Merenungkan semua ini, Lefille mengingat tindakan Suimei sebelumnya.

 

"Jadi itu sebabnya kamu berteriak seperti itu?"

 

"Ya. Aku mencoba menarik perhatiannya, tapi..... aku tidak mengerti. Dia tidak bereaksi sama sekali."

 

"Mungkinkah itu bukan dia, tapi hanya seseorang yang mirip dengannya?"

 

"Tidak. Maksudku, kalau hanya penampilannya saja, aku mungkin berpikir begitu, tapi pakaian yang dia kenakan adalah bukti nyata. Belum lagi dia punya nama yang sama."

 

"Hatsumi Kuchiba, benar? Memang namanya cocok...."

 

"Ya...."

Suimei mengerang kehabisan akal. Liliana kemudian mengungkapkan keraguannya dengan kata-kata.

 

"Apa dia..... hanya tidak mendengarmu?"

 

"Mungkin, tapi aku bersumpah mata kami bertemu. Dia menatapku. Aku merasa sulit untuk percaya kalau dia tidak mengenaliku saat itu."

 

"Tapi mungkin saja.... karena ada begitu banyak orang..... sehingga dia tidak melihatmu..... kan?"

 

"Kamu berpikir begitu? Mungkin juga karena itu....."

Suimei mengangguk seolah meyakinkan dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan Liliana, ada begitu banyak orang di jalan sebelumnya sehingga sangat mungkin Hatsumi tidak bisa melihatnya dari kerumunan itu. Dan tidak ada gunanya mengkhawatirkan hal itu.

 

"Aku harus bertemu dengannya dan memastikannya sendiri."

 

Mendengar pernyataan Suimei, Rumeya berhasil menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Dan itulah mengapa kamu datang untuk berbicara denganku, benar?"

 

"Ya. Sebagai Master Guild, kupikir kamu mungkin bisa mengatur pertemuan dengan Sang Hero."

Bahkan jika Suimei adalah teman lamanya, bagi orang-orang Aliansi, dia bukanlah siapa-siapa. Sulit membayangkan kalau mereka akan membiarkan warga sipil mana pun bertemu dengan Sang Hero. Itu sebabnya Suimei memilih untuk datang ke Rumeya, seseorang yang penting dalam komunitas. Suimei pikir mereka mungkin bisa melakukan sesuatu dari jabatan Rumeya itu. Namun bertentangan dengan harapannya, Rumeya menggelengkan kepalanya.

 

"Maaf, itu akan sedikit sulit."

 

"Sulit.... kenapa?"

 

"Yah, begitulah.... menurut Keluarga Kerajaan, Sang Hero tidak terlalu suka keluar. Belum terlalu lama sejak Sang Hero itu dipanggil, jadi sepertinya dia masih belum terbiasa dengan dunia ini. Keluarga Kerajaan tidak ingin dia kewalahan, jadi audiensi dengannya dilarang."

 

"Begitu.... Jadi itulah sebabnya kamu belum bertemu dengannya juga, Rumeya-dono?"

 

"Kamu bisa menebaknya. Keluarga Kerajaan Miazen sangat tegang tentang apapun yang berkaitan dengan Sang Hero. Bahkan jika aku berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan seluruh tenagaku, aku ragu mereka akan membiarkan kita menemuinya."

 

"Rasanya aneh setelah membiarkannya bertarung dan membuatnya berpartisipasi dalam parade."

 

"Bukan begitu? Sejujurnya aku juga tidak tahu apa yang mereka pikirkan."

Rumeya sepenuhnya setuju dengan Suimei. Sepertinya Rumeya mempunyai kecurigaannya sendiri terhadap masalah ini, dan terus menghisap pipanya dengan ekspresi tidak puas. Felmenia-lah yang dengan takut-takut angkat bicara selanjutnya.

 

"Jadi Hero dari Aliansi adalah, um..... teman baikmu, benar, Suimei-dono? Apa itu artinya dia.... ada dalam pikiranmu?"

 

"Yah, seperti itulah."

Ketika Suimei tersenyum, Rumeya menyeringai jahat.

 

"Oh? Ya ampun, sungguh pemikat para gadis. Kamu sudah punya banyak gadis cantik bersamamu, tapi kamu masih mencari mangsa baru? Kamu ino anak nakal, bukan?" Kata Rumeya sambil memutar-mutar pipanya di ujung jarinya.

 

"Apa....? T-Tidak! Itu tidak benar...."

Bagaimanapun, Suimei tidak punya niat seperti itu dan langsung menyangkal tuduhannya, namun Felmenia dan Lefille tidak begitu yakin. Felmenia melompat ke arahnya sementara Lefille menatap ke arahnya dengan tatapan dingin dan menakutkan.

 

"S-Suimei-dono, apa itu benar?! Apa itu benar-benar tujuanmu?!"

 

"Suimei-kun, sepertinya kamu dan aku perlu bicara panjang lebar."

 

"Tenanglah, Menia! Aku hanya— Tunggu, Lefi.... kenapa kamu menatapku seperti itu?"

Suimei terguncang oleh perubahan sikap kedua gadis itu yang tiba-tiba. Rumeya tertawa terbahak-bahak.

 

"Arara, itu hanya bercanda saja kok....."

 

"Setelah melemparkanku ke bawah bus seperti itu? Kamu masih punya keberanian...."

Suimei memelototi Rumeya, kebencian terlihat jelas di matanya. Namun Rumeya hanya membalas senyuman liciknya, seolah dia menemukan mainan baru yang menarik untuk dimainkan.

 

"Suimei, menggodamu itu lucu sekali, tahu? Pastinya orang-orang melakukan ini juga padamu, bahkan di dunia asalmu."

 

"Urgh...."

 

"Hahaha! Itu berarti aku tepat sasaran! Sepertinya itu juga bagian dari takdirmu, sayang."

Rumeya terus tertawa, sangat terhibur dengan Suimei. Saat Suimei menyesali dalam hatinya kalau dirinya telah membuat musuh lagi, senyuman itu tiba-tiba menghilang dari wajah Rumeya saat dirinya mendapatkan kembali ketenangannya dan menatap Suimei dengan serius.

 

"Jadi, dia ada dalam pikiranmu karena dia temanmu?"

 

"Ya. Aku sudah mengenalnya sejak aku masih kecil. Itu sebabnya aku ingin memastikannya. Aku tidak tahu pasti apa dia tidak dipaksa untuk bertarung di luar keinginannya."

 

"Hmm....."

Tampaknya Rumeya tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Orang-orang di dunia ini pada umumnya menganggap remeh kalau para Hero datang untuk menyelamatkan mereka. Tentunya mereka bersedia bertarung. Gagasan kalau hal itu mungkin tidak terjadi bahkan tidak pernah terlintas dalam benak sebagian besar mereka. Namun bagi Suimei, itu adalah kekhawatiran yang wajar.

 

Selain itu, Suimei masih tidak mengerti mengapa Reiji dan Elliot mengambil sikap yang membingungkan dalam urusan Hero ini. Hal itu tidak masuk akal baginya, dan Suimei tidak berpikir dia akan menyelesaikannya sampai dirinya memeriksanya sendiri dengan serius. Berbicara dengan Hatsumi mungkin bisa menjadi langkah yang baik. Setelah sedikit tenang, Felmenia memiringkan kepalanya ke samping dan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana tepatnya Suimei akan melakukan hal itu.

 

"Tapi apa yang akan kamu lakukan, Suimei-dono? Jika kita tidak dapat membuat janji bertemu dengannya secara langsung, apa kamu punya cara lain untuk bertemu dengannya?"

 

"Yah, kalau soal itu, aku punya rencana....."

Sambil mengelus dagunya, Suimei mengalihkan fokusnya ke jendela. Malam Hari—Adalah aktivitas Magician—baru saja akan tiba. Jika Suimei tidak bisa bertemu dengan Hatsumi dengan cara biasa, dia harus melakukan cara yang lebih kreatif.

 

★★★

 

Kuchiba Hatsumi tiba-tiba merasakan goncangan di sekujur tubuhnya.

"Hmm.....?"

 

Hatsumi perlahan bangkit dari tidur nyenyaknya, dan ketika dia membuka matanya, dia melihat temannya Selphy Fittney membungkuk di atasnya.

"Tolong bangun, Hatsumi. Ini sudah malam."

 

"Malam.....?"

Sambil mengusap matanya yang mengantuk, Hatsumi menegakkan tubuhnya dan melihat sekeliling. Dia berada di atas tempat tidur di kamar pribadi yang telah disediakan untuknya di lantai empat Istana Miazen. Perabotannya dibuat seminimal mungkin, hanya ada tempat tidur dan lemari pakaian. Karpet gelap tersebar di lantai, dan halaman luas terlihat dari jendela. Kamar pribadi itu adalah ruangan sederhana yang diberikan Keluarga Kerajaan padanya.

 

Wajahnya tersembunyi di balik tudungnya, Selphy dalam diam terus berbicara kepada Hatsumi.

"Benar, Hatsumi. Kamu sudah bekerja keras hari ini."

 

".....Aku ketiduran?"

 

"Ya, kamu tertidur dengan sangat mudah. Aku yakin kamu sedang bermimpi indah. Wajah tidurmu terlihat sangat damai."

 

"Augh...."

Hatsumi tidak bisa menyembunyikan rasa malunya saat membayangkan seseorang melihat wajahnya yang tertidur. Pipinya menjadi merah padam, namun tidak seperti sedang mencoba mempermalukannya, Selphy malah bersikap penuh perhatian. Hatsumi tidak bisa melihat wajahnya karena tudungnya itu, namun Hatsumi merasa Selphy sedang tersenyum di balik tudungnya.

 

"Mimpi seperti apa yang kamu alami? Apa kamu mengingatnya?"

 

"Mimpiku....?"

Hatsumi mencoba mengingat mimpinya. Dan tentunya.....

 

"......Aku bermimpi ketika aku masih kecil. Di tempat yang berbeda dari sini. Aku sedang berlomba dengan seorang anak laki-laki dan berlarian bersamanya."

 

"Kalau begitu, mimpi yang sama seperti biasanya?"

Hatsumi mengangguk ke arah suara lembut Selphy. Hatsumi tidak memiliki ingatan dari dunia sebelumnya, namun itu adalah mimpi yang sering dirinya alami. Di dalam mimpinya itu, dia masih seorang anak-anak, dan dia bersama seorang anak laki-laki seusianya. Mereka bermain-main dan mengayunkan pedang bersama. Dia tidak punya bukti untuk membuktikannya, namun dia pikir itu pasti bagian dari masa lalunya.

 

Tapi.....

Namun di tengah mimpinya, mimpi itu berubah menjadi mimpi yang aneh. Ada seekor anjing liar. Hatsumi berlari dari anjing itu, namun terjatuh dan melukai dirinya sendiri. Anak laki-laki itu mengejar Hatsumi. Kemudian anak laki-laki itu membacakan jimat keberuntungan untuk menyembuhkan luka-lukanya. Dan pada akhirnya, anak laki-laki itu berkata...

 

"Kapan pun kamu dalam bahaya, aku akan datang menyelamatkanmu."

Wajah anak laki-laki itu benar-benar tidak terlihat jelas dalam pikirannya. Hatsumi tidak dapat mengingatnya dengan jelas. Namun ketika dia mengingat kata-kata anak laki-laki itu, ada sedikit rasa sakit di dadanya. Rasanya seperti kepedihan yang datang setelah kehilangan sesuatu.

 

Mengesampingkan masalah mimpinya, Hatsumi terkejut pada dirinya sendiri. Dia hanya bermaksud untuk tidur siang sebentar, namun dia benar-benar tertidur. Agak bingung karena itu, dia menoleh ke rekannya itu.

"Selphy, berapa lama aku tertidur?"

 

"Sudah kubilang ini sudah malam. Kamu tertidur cukup lama."

 

"Heeh, aku benar-benar tidur selama itu....? Kita seharusnya mengadakan pertemuan strategis malam ini, bukan?"

 

"Memang."

 

"Ah....."

Setelah Hatsumi dan rekan-rekannya makan makan setelah parade, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum bertemu untuk membahas bagaimana mereka harus melanjutkan penaklukan iblis. Hatsumi, sebagai pemimpin, telah menyarankan agar mereka berkumpul kembali satu jam lagi untuk pertemuan tersebut, namun saat melihat ke luar jendela, di luar sudah gelap gulita. Tidur sore kecilnya setelah makan malam telah berlangsung selama lebih dari dua jam.

 

"Sekarang sudah sangat larut, jadi aku datang untuk membangunkanmu."

 

"Akan baik-baik saja jika kita melakukannya lebih awal."

 

"Tidak, kamu kelihatannya cukup lelah, jadi kupikir lebih baik membiarkanmu istirahat."

 

"Terima kasih, Selphy. Jadi, di mana Gaius dan Weitzer?"

 

"Mereka menunggu di ruangan sebelah."

 

"Aku mengerti. Kalau begitu ayo cepat—"

Sebelum Hatsumi menyelesaikan kalimatnya, dia bisa mendengar langkah kaki gelisah dari lorong. Langkah kaki itu berasal dari Gaius; Gaius pasti merasakan kalau Hatsumi sudah bangun. Dan ketika Hatsumi menyadari siapa yang mendekat, pintu kamarnya terbuka tanpa ada ketukan.

 

"Yohoo! Apa Hero tukang tidur kecil itu sudah bangun?"

Baginya, pintu itu pasti hanyalah selembar kertas. Saat pintu itu terbanting hingga terbuka seperti baru saja ditinju, seorang laki-laki kekar, berotot, dan tersenyum ramah datang berjalan masuk dan duduk di kursi yang seolah kursi itu miliknya. Mata Selphy berkilat penuh celaan dari balik tudungnya.

 

"Gaius-san, kenapa kamu bisa dengan santainya memasuki kamar seorang gadis tanpa mengetuk lebih dulu?"

 

"Aww, apa masalahnya? Dia hanya tidur dengan pakaian yang biasa dia pakai, kan? Jika dia berpakaian tidak sopan, aku yakin kau sudah melakukan sesuatu."

 

"Yah, itu memang benar. Aku akan mulai dengan menembakkan mantra padamu."

 

"Oooh, menakutkan."

Gaius meraih kedua bahunya dan berpura-pura menggigil ketakutan. Meskipun dia tidak berpikir seperti itu, dia adalah orang yang lucu. Namun Hatsumi tidak terlalu mempermasalahkan perilaku tidak sopan Gaius itu. Dia dengan ringan menundukkan kepalanya padanya dari atas tempat tidurnya.

 

"Maaf, Gaius. Aku ketiduran."

 

"Itu jarang terjadi padamu."

 

"Menurutku melakukan sesuatu yang baru pasti membuatku lelah....."

Hatsumi berbicara dengan takut-takut. Hal itu juga terjadi saat makan malam, namun sore itu adalah pengalaman pertamanya mengikuti parade. Selama setengah hari, dia harus berdiri di atas kendaraan hias yang ditarik Cowhorn sambil melambai dan tersenyum kepada penonton yang bersorak-sorai. Hal itu jauh lebih sulit dari yang dirinya kira.

 

"Ah, ya, aku bisa mengerti itu. Bahkan bahuku yang cantik pun terasa kaku setelah semua itu."

Gaius mengusap bahunya sambil memasang ekspresi pahit. Meskipun dia adalah orang yang agak duniawi, sepertinya dia juga tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Hatsumi mengira Gaius tampak bersenang-senang selama parade, namun sepertinya bukan itu masalahnya. Saat mereka membicarakan semua ini, seorang laki-laki muda yang mengenakan pakaian Ksatria yang indah datang melalui pintu yang masih terbuka. Dan hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah......

 

"Gaius. Apa yang kau pikirkan, berjalan ke kamar Hero-dono sendirian seperti itu?"

Menatap Gaius dari sudut matanya, pendatang baru itu mengkritiknya dengan nada tajam. Laki-laki muda itu adalah Weitzer Ryerzen, Pangeran Miazen. Gaius, bagaimanapun, duduk di sana tanpa terpengaruh, menyentuh telinganya dengan jari kelingkingnya sambil menunggu Sang Pangeran berhenti berbicara.

 

"Apa? Kau akan menceramahiku juga? Seperti yang aku katakan, apa masalahnya? Aku bisa mendengar mereka berbicara dan sebagainya, jadi aku tahu dia sudah bangun. Ya ampun, ayolah. Aku ingin menghilangkan pembicaraan yang menyedihkan itu supaya aku bisa minum minuman keras."

 

"Apa maksudmu, kau lebih mementingkan kesenanganmu daripada perdamaian dunia?"

 

"Begitulah."

Gaius memukul dadanya dengan bangga, tidak ragu untuk menjawab. Sambil mencubit alisnya karena tidak senang dengan kesombongan seperti itu, Weitzer menilai kalau percakapan lebih lanjut dengan orang bodoh seperti itu tidak akan produktif. Dengan ekspresi yang lebih lembut, Weitzer menoleh ke arah Hatsumi untuk menyapanya.

 

"Aku sangat meminta maaf karena suasananya begitu riuh ketika kamu baru saja bangun, Hero-dono. Apa tidurmu nyenyak?"

 

"Ya, terima kasih. Dan aku minta maaf karena membuatmu menunggu."

 

"Tidak, tidak sama sekali. Kamu pasti masih lelah karena pertempuran. Bagaimanapun, kamilah yang berulang kali menyeretmu ke dalam pertempuran. Jadi aku mohon padamu untuk tidak memikirkan hal itu, Hero-dono."

 

"Ya...."

Weitzer berusaha bersikap sopan agar tidak membuat Hatsumi nyaman. Seperti biasa, Weitzer adalah orang yang baik. Hatsumi, mengetahui percakapan serius apa yang akan terjadi di depan mereka, bangkit dari tempat tidurnya. Selphy bergerak untuk membantunya saat dia bangkit, namun Weitzer menahannya karena suatu alasan.

 

"Selphy, serahkan ini padaku."

 

".....Tentu."

Selphy mempertanyakan tindakan Weitzer sejenak, namun dengan cepat menyadari dan dengan anggun mengundurkan diri. Melihat pertukaran ini membuat Hatsumi bingung ketika Weitzer mendekat.

 

"W-Weitzer?"

 

"Hero-dono, tolong pegang tanganku."

 

"Hah? Oh..... Te-Terima kasih....."

Weitzer mengulurkan tangannya ke Hatsumi untuk meminta dukungan. Khawatir tentangnya, Weitzer tersenyum lembut padanya untuk menyemangatinya. Hatsumi dengan malu-malu membuang muka saat dirinya mengucapkan terima kasih. Perilaku seperti ini cukup lumrah bagi Weitzer, namun tetap saja cukup memalukan. Meski begitu, Hatsumi meraih tangannya dan berdiri. Dua rekan mereka yang lain dalam diam tertawa seolah ada sesuatu yang sangat lucu.

 

"Ah, jadi pangeran menjadi lebih agresif, ya?"

 

"Heh....."

Weitzer mengantar Hatsumi ke tempat mereka duduk.

 

"Hero-dono, apa kamu menikmati makan malamnya?"

 

"Yah, makanannya enak, tapi...."

 

"Apa ada sesuatu yang tidak kamu sukai?"

 

"Bukan itu. Hanya saja menghadapi suasana seperti itu tidaklah mudah. Ah, tapi aku tidak bermaksud mengatakan aku tidak suka berada di dekat Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu, oke?"

Hatsumi sebenarnya cukup rukun tidak hanya dengan Raja dan Ratu, namun dengan semua orang di Istana. Meski begitu, hal itu membuatnya tidak nyaman sekali saat makan dalam suasana dan kemegahan seperti itu. Dia tidak pernah bisa sepenuhnya bersantai dengan semua formalitas. Dia tidak yakin bagaimana Weitzer menafsirkan apa yang dirinya katakan tentang hal itu, namun Weitzer menjawab dengan sikap sok tahu.

 

"Itu tentu saja. Bagaimanapun, kamu kehilangan ingatanmu. Aku yakin, setelah beberapa waktu, segala sesuatunya akan kembali kepadamu dan kamu akan merasa jauh lebih nyaman dalam keadaan seperti itu."

 

"Tapi bukan itu maksudku....."

 

"Kamu akan segera terbiasa, Hero-dono. Aku pikir hal itu sudah berkembang padamu. Bagaimanapun, sopan santunmu di meja makan selalu sempurna."

 

"Y-Ya...."

Hatsumi hanya bisa memberikan jawaban yang canggung atas pujian Weitzer. Hatsumi tidak mengerti bagaimana Weitzer bisa menyanjungnya seperti itu dengan wajah datar. Setelah duduk, Hatsumi melihat sekilas Gaius menyeringai. Selphy juga menahan tawa. Hatsumi tidak yakin apa yang lucu.

 

"Aku melihat kalian berdua berperilaku seperti ini dari waktu ke waktu.... tapi ada apa dengan kalian itu?"

 

"Ah, bukan apa-apa."

 

"Memang. Kami hanya berbasa-basi."

Keduanya tampak bersemangat. Weitzer, sebaliknya, terlihat agak tersinggung, meski itu hanya membuat Gaius semakin tersenyum. Gaius menunggu Weitzer duduk sebelum memanggilnya.

 

"Jadi, apa yang akan kita lakukan mulai dari sini?"

 

"Menurutku tidak ada yang perlu dilakukan."

 

"Ah, ayolah, jangan seperti itu. Kau marah karena sesuatu?"

 

"Tentu saja tidak."

Terlepas dari apa yang Gaius katakan, Weitzer tampak kesal. Memotong percakapan kecil mereka, Hatsumi mengembalikan pembicaraan ke jalurnya.

 

"Tentunya kita akan terus menaklukkan iblis, tapi bagaimana kita melanjutkan dari sini?"

 

"Tidak apa-apa jika kita bergabung dengan para prajurit dan menyerang para iblis sialan itu seperti biasa?"

 

"Menurutku juga merupakan ide bagus untuk melanjutkan seperti yang telah kita lakukan, Hero-dono."

Dalam kejadian yang aneh, Weitzer setuju dengan Gaius. Dan jika keduanya bersatu, itu berarti rencana mereka solid. Namun, Hatsumi mempunyai pemikiran berbeda mengenai masalah ini.

 

"Mungkin saja, tapi....."

 

"Kamu memikirkan hal lain, Hatsumi?"

 

"Ya. Karena kita mempunyai potensi perang seperti ini, aku berpikir mungkin ada cara yang lebih baik untuk memanfaatkannya. Maksudku, kita telah meningkatkan moral para prajurit dengan kemenangan besar. Dan semangat mereka semakin tinggi, benar? Jadi aku berpikir mungkin lebih baik menyerahkan medan perang kepada para jenderal mulai sekarang."

 

"Hah?"

Gaius tidak begitu mengikuti, namun Weitzer tampaknya segera memahami usulannya.

 

"Dengan kata lain, maksudmu akan lebih baik bagi kita untuk bergerak melawan iblis secara mandiri sekarang."

 

"Ya, aku berpikir itu suatu kemungkinan. Kita bisa melakukan serangan mendadak terhadap jenderal iblis atau semacamnya. Meskipun itu mungkin menjadi sesuatu yang berbahaya...."

 

"Memang. Tapi jika berhasil, maka beban para prajurit akan sangat diringankan."

Kelompok mereka tak tertandingi dalam hal kekuatan dan potensi di medan perang. Mereka memiliki tiga anggota yang masing-masing dapat bertarung melawan iblis secara langsung, dan satu orang dapat mendukung mereka dari garis belakang dengan sempurna. Sebagai sebuah kelompok, mereka juga cocok untuk operasi rahasia. Jika mereka dapat mengambil inisiatif sekarang dan melenyapkan para jenderal iblis dan iblis berpengaruh lainnya, mereka dapat mengklaim kemenangan nyata bagi umat manusia dalam perang ini.

 

"Mengetahui hal itu, kita hanya akan melanjutkan dengan cara ini jika semuanya bersedia."

Seperti yang ditunjukkan oleh kekhawatiran Hatsumi, itu memang rencana yang berbahaya. Rencana itu akan memberikan tekanan besar pada mereka berempat. Namun, Weitzer menjawabnya dengan percaya diri seolah itu wajar saja.

 

"Tentu saja. Kami bermaksud mengikutimu ke mana pun, Hero-dono."

 

"Bahkan jika kamu menyetujuinya, masih ada Gaius dan Selphy yang perlu dipertimbangkan. Mereka berdua punya negara sendiri yang perlu dikhawatirkan. Kamu tidak membuat keputusan untuk mereka, jadi jangan mencoba berbicara mewakili mereka. Selain itu, sejujurnya, aku juga belum sepenuhnya memutuskan rencana ini."

 

"M-Maafkan aku....."

Setelah ditegur, Weitzer meminta maaf dengan nada bingung yang tidak seperti biasanya. Tampaknya sifat tajam dari kata-kata kasar Hatsumi telah mempengaruhi diri Weitzer. Namun saat Weitzer masih memikirkan kesalahannya, Gaius memberikan jawaban percaya dirinya.

 

"Aku tidak keberatan sama sekali. Lagipula, aku lelah diam saja. Bahaya adalah hal yang aku inginkan."

 

"Aku juga akan menemanimu. Aku tidak punya niat untuk meninggalkan tugasku setelah kita sampai sejauh ini." Tambah Selphy.

 

"Terima kasih. Kalian berdua."

Keduanya—atau sebenarnya, ketiganya—cukup menjanjikan. Hatsumi mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dedikasi mereka, namun Gaius memandangnya seolah dirinya melihat sesuatu yang aneh.

 

"Bagaimanapun, Hatsumi, kau tidak seperti ini sebelumnya. Aku terkejut kau begitu antusias."

Sepertinya Gaius terkejut dengan usulan tiba-tibanya untuk melakukan tindakan agresif. Ketika Hatsumi pertama kali datang ke dunia ini, Hatsumi menolak melakukan apapun dengan penaklukan dan mengunci diri di kamarnya karena syok karena kehilangan ingatannya. Gaius sepertinya membandingkan keadaannya sekarang dengan keadaannya dulu, namun.....

 

"Kamu berjanji untuk tidak mengungkit hal itu, kan? Hahh..... tidak ada yang berubah. Aku hanya tahu kita harus mengalahkan para iblis itu sekarang."

Setelah melawan iblis untuk dirinya sendiri, Hatsumi menyadari apa yang harus dilakukan. Mungkin karena kekuatan para iblis itu, niat jahat para iblis itu, aura jahat para iblis itu..... Hatsumi hanya tahu di lubuk hatinya kalau mereka adalah kejahatan yang harus dibasmi. Terlebih lagi, Hatsumi ingin melindungi orang-orang di dunia ini—termasuk tiga rekan yang berjuang bersamanya. Hal itu penting baginya.

 

"Hei, Selphy, apa ada yang perlu kita lakukan di Miazen saat ini?"

 

"Tidak terlalu. Ingatlah kalau ada pesta malam yang harus kamu hadiri."

 

"Pesta malam..... kenapa?"

Hatsumi menyadari pentingnya parade dalam membangkitkan semangat warga, namun dia tidak berpikir lebih dari itu diperlukan. Meskipun Hatsumi mengajukan pertanyaan kepada Selphy, Weitzer-lah yang menjawab.

 

"Itu karena aku ingin kita memperdalam persahabatan kita."

 

"Bukankah hubungan kita sudah cukup baik?"

Hatsumi sudah mengenal mereka bertiga sejak pertarungan pertamanya. Belum terlalu lama sejak mereka bertemu, namun melalui ikatan kepercayaan dan persahabatan yang mereka bentuk di medan perang, mereka menjadi seperti keluarga satu sama lain. Dia tidak mengerti bagaimana mereka mungkin membutuhkan sesuatu yang konyol seperti pesta untuk memperkuat hal itu. Namun...

 

"Tolong maafkan aku. Aku salah berbicara di sana. Yang aku maksud dengan 'Kita' adalah orang-orang dari Aliansi Saadias. Aku yakin kamu harus meluangkan waktu dengan baik bersama ayah dan ibuku, serta para pemimpin Miazen lainnya dan para pemimpin negara Aliansi lainnya."

 

"Itu.... Aku tentunya tidak keberatan bertemu dengan mereka, tapi sepertinya kita tidak terburu-buru untuk itu."

 

"Sebenarnya, Hero-dono, ini adalah masalah bisnis yang mendesak bagi Aliansi. Jika kita segera bertindak, maka......"

 

"Apa maksudmu aku harus menjadi simbol untuk menertibkan Aliansi?"

 

"T-Tidak! Bukan itu yang aku—"

 

"Para iblis sedang menyerang. Aku rasa tidak ada hal yang lebih mendesak dari itu."

Hatsumi tahu apa yang Weitzer minta agar dirinya lakukan itu perlu, namun Hatsumi tetap tidak menyukai gagasan itu.

 

"Kamu salah, Hero-dono! Ini bukan tentang memanfaatkanmu untuk tujuan politik...."

Melihat ekspresi rumit di wajah Hatsumi, Weitzer dengan panik mencoba mengoreksi dirinya sendiri, berpikir kalau dirinya telah menyinggung perasaannya. Sementara itu, Gaius mengeluarkan tawa tak kenal takut seperti biasanya saat dirinya menoleh ke arah Hatsumi.

 

"Sudah saatnya kau mengambil petunjuk, kan, Hatsumi?"

 

"Mengambil petunjuk? Tentang apa?"

 

"Niat baik Pangeran Kecil Weitzer ini."

 

"Niat baiknya? Memang benar aku merasa agak kasihan atas semua yang dia dan orang lain lakukan di sini untukku....."

Setelah dipanggil ke dunia ini, bukan hanya Weitzer, namun seluruh Istana telah menjaga Hatsumi dengan baik. Memang seharusnya begitu, mengingat merekalah yang memanggilnya ke dunia ini, namun Hatsumi masih bersyukur. Dia memastikan untuk mengungkapkan ini, namun Gaius menghela napas dengan ekspresi heran.

 

"Bagaimana aku harus bilangnya ya....? Terus terang saja, kamu luar biasa bebal. Kau mengingatkanku pada pemuda kurus yang pernah makan bersamaku beberapa waktu lalu....."

Hatsumi tidak tahu apa yang Gaius bicarakan. Namun setelah sedikit tenang, Weitzer menenangkan diri dan mencoba menjelaskan.

 

"Memang benar, Hero-dono, kalau bantuanmu merupakan keuntungan besar bagi Aliansi. Hal itu tidak perlu dikatakan lagi. Tapi aku berpikir ke depannya—setelah kita mengalahkan iblis. Dan aku percaya ini adalah bagian penting dalam menciptakan masa depanmu. Jika kamu cemas tanpa ingatanmu, maka aku akan mendukungmu selama sisa hidupmu."

 

"Tapi..... aku tidak ingin menjadi beban berat bagimu, Weitzer."

 

"A-Aku sama sekali tidak menganggapmu sebagai beban!"

 

"Tapi...."

Hatsumi tidak bisa begitu saja menyetujui tawarannya, tidak peduli seberapa baik dan murah hati tawaran itu. Hatsumi tidak berniat membebani Weitzer seumur hidupnya seperti itu. Selain itu, Hatsumi punya dunianya sendiri untuk kembali. Di suatu tempat, Hatsumi tahu kalau dirinya harus kembali. Anak laki-laki itulah yang muncul dalam mimpinya..... dia merasa harus bertemu dengannya lagi, apapun yang terjadi.

 

"........."

Namun Hatsumi tidak bisa membiarkan pikiran itu menguasainya. Jika Hatsumi tidak memikirkan apapun selain anak laki-laki yang wajahnya tidak terlihat jelas di suatu tempat dalam kabut berkabut di benaknya, otaknya akan berhenti berfungsi. Merasakan ada sesuatu di hatinya dari warna wajahnya, Weitzer memandangnya dengan ekspresi khawatir.

 

".....Hero-dono?"

 

"Maaf. Aku pikir kita sudah selesai di sini, jadi tolong tinggalkan aku sebentar."

 

"Hatsumi?"

 

"Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih, Selphy."

Ketika Selphy memanggilnya, Hatsumi balas tersenyum seolah menyuruhnya untuk tidak khawatir. Setelah Weitzer meminta maaf, ketiga tamu itu keluar dari kamarnya. Setelah pintu ditutup, Hatsumi berdiri dari kursinya dan melemparkan dirinya kembali ke tempat tidur. Dia memandang dengan lemah ke arah permadani yang ditempelkan di langit-langit, dan perasaan sebenarnya keluar dari bibirnya sambil menghela napasnya.

 

".....Aku harus kembali ke tempat asalku....."

Rekan-rekannya penting baginya, namun Hatsumi tidak ingin meninggalkan ingatannya. Dia ingin tahu siapa dirinya. Kembali ke rumah—di mana pun rumah itu berada—mungkin ada seseorang yang menunggunya. Itu sebabnya.....

 

"Dan.... sampai juga!"

Di tengah perenungannya, Hatsumi mendengar suara biasa datang dari jendelanya, yang terbuka lebar. Penasaran dengan itu, Hatsumi menoleh untuk melihat sambil masih tergeletak di tempat tidurnya. Dan di sana, seolah anak laki-laki itu baru saja memanjat, yang berjongkok di ambang jendela.

 

"Yo!"

 

"Heeh?! Apa?! Apaa?!"

Anak laki-laki itu—yang memiliki rambut hitam dan berpakaian hijau—muncul entah dari mana, namun dengan santai melambai padanya untuk memberi salam. Hatsumi langsung bangkit dari tempat tidurnya karena terkejut.

 

"T-Tunggu, bukankah ini lantai empat!"

 

"Lalu? Itu tidak seperti kamu tidak bisa memanjat empat lantai, tahu? Kamu bisa menggunakan tonjolan ini sebagai pegangan. Lihat? Ini hanya membutuhkan sedikit kerja keras dan tekad. Dan itulah yang aku lakukan."

Sambil melakukan pantomim pendakian, anak laki-laki itu berbicara kepadanya seolah-olah tidak ada yang aneh sama sekali dalam situasi tersebut. Memang benar ada beberapa cara untuk naik ke lantai empat; masalah sebenarnya adalah apa yang terjadi sebelumnya.

 

"B-Bagaimana kau bisa masuk ke bagian dalam Istana?!"

 

"Yang diperlukan hanyalah sesuatu yang kecil...."

Mengatakan itu, anak laki-laki itu menempelkan jari telunjuknya ke ibu jarinya. Sepertinya dia bermaksud mengatakan kalau itu hanyalah hal sederhana. Setelah itu, dia melompat turun dari jendela ke dalam ruangan seolah itu adalah hak baginya untuk melakukannya. Siapa anak laki-laki itu? Mengabaikan identitasnya untuk saat ini, Hatsumi mengambil pedangnya, yang bersandar di dinding di dekatnya. Dia mengambil posisi berdiri dengan pedang yang disiapkan di pinggulnya, tampak seperti dia siap untuk memotongnya menjadi dua dengan mudah.

 

"Jangan bergerak!"

Itu adalah sebuah peringatan. Namun kemudian, seolah-olah anak laki-laki itu tidak mengerti apa yang Hatsumi katakan, anak laki-laki itu menjadi kaku seolah waktu telah berhenti. Anak laki-laki itu menatapnya dengan tatapan kosong untuk beberapa saat, dan kemudian melontarkan pertanyaan sederhana yang membuat tercengang.

 

".....Hah?"

 

"Jangan hanya 'Hah' saja, kau penyusup! Haruskah aku langsung menghabisimu?!"

Hatsumi menyampaikan kembali peringatannya kepada anak laki-laki yang menatapnya dengan ekspresi agak bodoh di wajahnya. Setelah membeku lagi, anak laki-laki itu akhirnya menyadari keseriusan Hatsumi dan mulai panik.

 

"Menghabisi? Apa itu sama... dengan membunuhku? Ayolah, kamu bukan tipe orang yang suka membuat lelucon seperti itu, kan?"

 

"Ini bukan lelucon sialan."

 

"I-Itu bukan lelucon....? Apa yang kamu katakan itu?! Apa kamu serius berencana membunuhku?! Sungguhan?! Apa kamu marah karena aku menyelinap ke kamar tidurmu? Maksudku, memang sih, aku melakukan itu, tapi...."

 

"Kau salah."

 

"Lalu kenapa?!"

Hatsumi menatap tajam ke arahnya seolah dirinya benar-benar bermaksud membunuhnya di tempatnya berdiri. Hatsumi tidak tahu mengapa anak laki-laki itu tampak begitu terkejut tentang hal ini. Mengingat apa yang anak laki-laki itu lakukan, anak laki-laki itu seharusnya mengharapkan respon seperti ini.

 

"Apa aku harus benar-benar harus menjelaskannya padamu? Siapapun akan membela diri jika ada orang asing yang menyelinap ke kamar mereka."

 

"Orang asing, katamu....?"

 

"Setidaknya, aku tidak mengenalimu.... sama sekali."

Setelah datang ke dunia ini, Hatsumi tidak pernah bertemu anak laki-laki ini. Jadi mengapa anak laki-laki itu berdiri di sana dengan ekspresi bingung seperti Hatsumi baru saja memberitahu teman dekat anak laki-laki itu kalau mereka tidak mengenalnya? Hatsumi tidak dapat memahaminya. Satu-satunya hal yang jelas adalah anak laki-laki itu memang terlihat sangat terguncang.

 

"J-Jangan bercanda. Ini bukan waktu yang tepat untuk bicara omong kosong itu, oke?"

 

"Bukankah aku sudah kukatakan kalau aku tidak sedang bercanda? Aku tidak mengenalmu."

 

"Tidak mungkin kamu tidak mengenalku! Aku ini Suimei! Yakagi Suimei, teman masa kecilmu!"

 

"Te-Teman masa kecil?"

 

"Ya. Jadi aku mohon padamu.... tolong jangan bercanda dengan teman masa kecilmu ini."

 

Anak laki-laki itu, Yakagi Suimei, mengerang kesakitan seolah dirinya kehabisan akal. Hatsumi tidak mengira kalau anak laki-laki itu akan memperkenalkan dirinya seperti itu, namun sikap anak laki-laki itu sampai sekarang sepertinya menguatkan hal itu. Anak laki-laki itu bertingkah seolah-olah mereka saling menganal. Namun ada satu lubang mencolok dalam cerita itu.

 

"Apa yang kau katakan itu? Aku adalah Hero yang dipanggil dari dunia lain, tahu? Tidak mungkin aku punya teman masa kecil di tempat seperti ini."

Anak laki-laki itu mungkin punya alasan bagus untuk menyusup ke Istana, namun jika dilihat dari alasan dan alasannya, hal itu terlalu keliru. Namun demikian, ketika Hatsumi menunjukkan hal itu kepadanya, anak laki-laki itu tampak seolah-olah Hatsumi telah menikamnya. Anak laki-laki itu lalu perlahan mengangkat alisnya dengan ekspresi curiga.

 

"Lalu kenapa? Apa ingatanmu hilang atau semacamnya?"

 

"Memang benar seperti yang kau katakan. Aku menderita amnesia."

 

"Tunggu, seriusan....?"

Anak laki-laki itu sekarang menatapnya dengan sangat tidak percaya.

 

★★★

 

Ketika Suimei masih kecil, salah satu teman baik ayahnya adalah seorang ahli berpedang. Ayahnya meyakinkanya untuk pindah ke daerah tersebut dan membuka dojo di lingkungan tersebut. Gaya berpedang yang dipraktikkan orang ini dikenal sebagai Phantom Sword of Kurikara Dharani. Gaya berpedang itu adalah teknik lama yang telah diwariskan jauh sebelum periode negara-negara Berperang. Gaya berpedang itu berasal dari namanya, Dharani—Ucapan ritual yang mirip dengan mantra—berdasarkan pedang naga Kurikara yang digunakan oleh dewa Buddha Acala yang murka, yang digunakan untuk membuat roh jahat dan makhluk dunia lain menyerah. Gaya berpedang itu mewarisi ciri itu. Tidak hanya bisa digunakan untuk melawan manusia, namun juga efektif melawan roh, penampakan, dan bahkan monster.

 

Bagaimanapun, gaya berpedang itu bukan satu-satunya hal yang diajarkan di dojo. Instrukturnya, Kuchiba Kiyoshiro, juga mengajarkan gaya berpedang biasa kepada anak-anak tetangga. Namun di balik layar, dia menggunakan keahlian aslinya untuk menebas monster yang merajalela di dunia. Putrinya, Kuchiba Hatsumi, mengikuti jejaknya dan juga melakukan latihan di bawah pengawasannya.

Dengan berjalannya waktu, Hatsumi sebenarnya tidak tahu kalau Suimei adalah seorang Magician atau Suimei tahu tentang pekerjaan rahasia yang dilakukan keluarga Hatsumi itu, namun bukan itu masalahnya saat ini. Intinya adalah keahlian Hatsumi menggunakan pedang sangat luar biasa. Sedemikian rupa sehingga ayahnya menganggap memalukan karena Hatsumi dilahirkan sebagai perempuan. Bahkan dengan pertarungan yang relatif sedikit di dunia ini, Suimei bisa menebak kalau Hatsumi mungkin setara dengan Seven Sword. Dan gadis ini sedang berdiri di hadapannya sekarang dengan pedangnya terangkat ke arahnya.

 

"Haruskah aku memanggil penjaga? Atau kau lebih suka ditebas di tempatmu berdiri?"

 

"Tidak juga, sebaiknya. Keduanya akan menimbulkan banyak masalah."

 

"Aku menganggap situasi saat ini sebagai masalah. Karena, ada orang aneh di kamarku."

 

"Beri aku waktu sebentar....."

Suimei membuat kesalahan. Gadis yang diajak bermain sejak Suimei pindah ke lingkungannya bertahun-tahun yang lalu mengaku tidak mengenal siapa dirinya. Gadis itu—orang yang sama yang pernah belajar gaya berpedang dengannya—kini menurunkan postur tubuhnya sebagai persiapan untuk menyerangnya dengan pedangnya. Aura yang bisa Suimei rasakan darinya memberitahunya kalau gadis itu juga tidak sedang main-main. Satu langkah salah sekarang dan Suimeo pasti akan merasakan pedangnya.

 

Namun apa yang harus Suimei lakukan terhadap amnesia temannya itu? Suimei datang dengan niat untuk membawa temannya itu kembali bersamanya jika diperlukan, namun Suimei tidak tahu apa hal yang benar untuk dilakukan dalam situasi ini. Selama temannya itu tidak mengingatnya, temannya itu tidak akan pergi bersamanya meskipun Suimei memintanya dengan baik. Suimei punya magicka-nya, namun itu tidak bisa menyembuhkan amnesia. Ada mantra untuk memanipulasi otak dan menulis ulang ingatan, namun jika Suimei mengambil jalan itu dan dengan paksa memasukkan ingatan ke dalam diri temannya itu, tidak ada keraguan kalau hal itu akan memberikan tekanan yang besar pada pikirannya.

 

Pada akhirnya, hal itu membuatnya dengan tangan kosong. Semua itu menjadi menjengkelkan. Dengan semua pilihan lain yang gagal, satu-satunya hal yang bisa Suimei lakukan adalah mencoba berbicara dengannya sampai gadis itu percaya padanya.

 

"Hahh....."

Suimei mendengar Hatsumi menghela napasnya. Hal itu membuatnya gugup. Bilah senjatanya panjangnya sekitar 120 sentimeter, dan cengkeramannya sekitar 25 sentimeter. Ada beberapa ornamen aneh yang menghiasi pedangnya itu, namun secara keseluruhan bentuknya adalah pedang gaya jepang, atau sesuatu yang menirunya. Di dalam sarung merah di pinggulnya tidak diragukan lagi terdapat senjata mematikan yang terbuat dari bahan khusus dari dunia ini.

 

Dan saat ini, Suimei berdiri sekitar sembilan sentimeter dalam jangkauannya. Dengan kata lain, Hatsumi bisa menebasnya dari tempatnya berdiri tanpa mengambil satu langkah pun. Tidak.... Suimei tahu lebih baik dari itu. Bahkan jika pedang Hatsumi tidak bisa menjangkaunya, dia masih berada dalam jangkauan pedang Hatsumi. Seorang ahli pedang yang melewati batas kemampuannya mampu menyerang di luar jangkauan senjatanya. Secara fisik itu mustahil, namun sederhananya, dengan tebasan horizontal, mereka bisa menebas apa saja di depan mereka seperti dinding awan yang terbelah oleh angin. Prestasi seperti itu mungkin terjadi dengan gaya berpedang yang digunakan gadis ini. Bilahnya tidak masuk akal.

 

"Gaya berpedang Kuchiba : Phantom Sword of the Kurikara Dharani. Bahkan dengan amnesiamu itu, kamu tidak melupakan gaya berpedangmu, benar?"

Suimei bertanya, menyeka keringat tidak menyenangkan yang terbentuk di alisnya.

 

"Kau mengetahuinya?"

Hatsumi bertanya bergantian, tampak terkejut.

 

"Seperti yang kubilang, aku adalah teman masa kecilmu....."

 

"Aku tidak percaya itu."

 

"Mengapa tidak?"

 

"Jika itu benar, mengapa kau datang dari sana? Tidak bisakah kau melewati pintu depan saja?"

 

"Tidak. Aku harus melakukan itu karena itu bukanlah suatu pilihan."

 

"Hmph. Apa itu artinya kau menyembunyikan sesuatu?"

 

"Tidak, kamu salah....."

Suimei berbicara dengan putus asa. Para penjaga dan tentara memang satu hal, namun Suimei tidak mengira dirinya harus membela diri terhadap teman masa kecilnya itu.

 

"Kalau begitu, apa kau bisa membuktikannya? Sepertinya kau tahu tentang gaya berpedangku, tapi mungkin saja kau mengetahuinya menggunakan semacam mantra seperti penyihir dan iblis. Jika hanya itu saja, itu bukanlah bukti kalau kau ini adalah teman masa kecilku."

 

"Ugh...."

Suimei tidak bisa berdebat di sana. Dia juga tidak punya bukti pasti yang mampu meyakinkannya. Dia memang memiliki foto dirinya bersama keluarganya di ponselnya, namun baterai ponselnya sudah lama mati. Hal itu tidak ada gunanya. Dia masih bisa membawanya bersamanya dengan paksa, namun itu tidak akan mengembalikan ingatannya. Dan juga akan terjadi keributan besar jika Sang Hero diculik.

 

Saat Suimei memeras otaknya untuk mencari solusi alternatif, dia mendengar langkah kaki yang keras berlari menyusuri lorong di luar. Seseorang telah merasakan sesuatu. Sebelum Suimei bisa menggunakan magicka-nya, suara seorang perempuan terdengar dari sisi lain pintu.

 

"Hatsumi?! Apa ada yang terjadi?!" Suara asing itu memanggilnya.

 

"Selphy! Ada penyusup!" Hatsumi balas berteriak.

 

"Apa maksudmu itu aku?!" tuntutTuntut Suimei.

 

"Memangnya siapa lagi?!" Hatsumi berteriak.

Dan bersamaan dengan kata-kata itu muncul kilatan pedangnya. Suimei melompat kembali ke jendela untuk menghindarinya. Ujung pedang panjang Hatsumi kemudian mengubah lintasannya ke sudut kanan, dan tebasannya menjadi sebuah tusukan. Bilahnya, terbuat dari perak terkorosi, membelah udara dengan suara siulan yang tajam. Ujungnya menjangkau perut Suimei. Suimei nyaris berhasil mengelak dan melarikan diri lebih jauh ke dalam ruangan.

 

"Apa kamu sedang mencoba membunuhku?!"

 

"Jangan khawatir, aku hanya akan melukaimu sedikit. Aku akan memastikan untuk menghindari bagian-bagian vitalmu."

 

"Jangan bilang padaku untuk tidak khawatir, sialan! Itu masih sangat berbahaya!"

Segera setelah percakapan singkat mereka, pintu terbuka dengan keras. Orang yang masuk, mungkin perempuan yang memanggil Hatsumi beberapa menit yang lalu, mengenakan jubah hijau. Suimei mengenalinya sebagai penyihir yang berdiri di atas salah satu kendaraan festival selama parade.

 

"Hatsumi! Apa kamu baik-baik saja?"

 

"Ya, aku baru saja mau menangkap penyusupnya.... Sekarang kau sudah kalah jumlah. Jadi menyerahlah saja."

 

"Itu benar. Aku tidak tahu siapa kau atau bagaimana kau bisa menyusup ke Istana, tapi tidak ada jalan keluar bagimu sekarang."

 

Itu memang benar. Perempuan penyihir itu menutup pintunya, dan jendelanya sekarang berada dalam jangkauan pedang Hatsumi. Bahkan tempat Suimei berdiri pun berbahaya. Hatsumi mungkin bisa menyerang di mana saja di ruangan itu dengan keahliannya. Yang artinya....

 

"Jika tidak ada cara untuk melarikan diri, maka aku harus membuatnya!"

Mengumpulkan mana di tinjunya, Suimei menyerang dinding dan memanggil magicka-nya. Tinjunya mengeluarkan gelombang kejut yang kuat saat dirinya mendorongnya ke depan. Dan ketika tinjunya menyentuh dinding, sebagian dinding itu terlempar keluar dan menjadi puing-puing.

 

Suimei bisa mendengar makian dan rintihan di belakangnya. Kedua perempuan itu sepertinya terpaksa memberikan perhatian penuh mereka untuk melindungi diri dari gelombang kejut itu. Menggunakan kesempatan itu, Suimei melemparkan dirinya melalui lubang di dinding yang dia buat. Bangunan itu tingginya empat lantai, dan sekarang mereka berada di lantai empat. Namun bagi seorang Magician, ketinggian sekecil itu bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Melompat dari sana hanyalah hal sepele.

Di tengah malam, Suimei bisa mendengar suara angin yang bertiup kencang menyambutnya saat tanah semakin dekat. Suimei mendarat dengan selamat dengan magicka-nya dan mulai mendarat.... namun entah kenapa, dia bisa mendengar suara perempuan yang Hatsumi panggil Selphy terngiang di telinganya.

 

"Seorang penyusup telah muncul di Istana—seorang anak laki-laki berambut hitam dan mengenakan pakaian hijau. Setelah membobol kamar Sang Hero, dia sekarang mencoba melarikan diri melalui halaman. Semua penjaga harus segera ke sana. Aku ulangi...."

Itu adalah alarm sederhana. Perempuan berjubah itu adalah seorang penyihir, dan sepertinya berspesialisasi dalam sihir angin. Angin membawa suaranya ke setiap sudut dan celah Istana. Dan berkat itu, Suimei bisa segera mendengar langkah kaki menuju ke arahnya. Dia berlari ke tepi halaman, namun tiba-tiba ada tentara yang berkerumun dari segala arah.

 

"Aku menemukannya! Dia ada di sana!"

 

"Menyebar dan kepung dia! Kita tidak bisa membiarkan penyusup itu melarikan diri!"

 

"Tch.... mereka benar-benar muncul dengan jumlah."

Suimei pasti memilih tempat yang salah untuk mendarat. Tidak ada tempat untuk bersembunyi di halaman, dan ada jarak yang cukup jauh antara dia dan gedung berikutnya. Setelah dikepung oleh para prajurit itu, Suimei mendengar suara familiar dari belakang kelompok itu.

 

"Hah? Bukankah kau ini adalah anak kurus yang kemarin?!"

Orang terkejut yang menyapanya adalah orang periang yang Suimei temui di restoran di Grafille, Gaius Forvan. Dengan punggung menempel di dinding halaman, Suimei menjawab dengan nada ringan seolah tidak ada yang salah.

 

"Aah, kita bertemu lagi, orang tua. Lama tak jumpa."

 

"Itu belum terlalu lama dan aku bukan orang tua, sialan! Apa yang terjadi di sini, nak? Apa kau penyusupnya?"

 

"Ini rumit. Sepertinya, aku berada di tempat yang lebih dalam daripada rumitnya Palung Mariana."

 

"Apa kau berpura-pura bodoh? Aku akan berteriak jika kau begitu, tahu?"

 

"Dari kelihatannya, aku pikir yang lainnya mungkin akan menebasku sebelum kau melakukan sampai sejauh itu."

Suimei bisa melihat mata para prajurit di sekitarnya berkilau seperti pedang mereka yang terhunus. Mereka semua tampaknya sangat tersinggung karena Suimei menyusup bukan hanya ke Istana, namun juga kamar sang Hero. Tak lama kemudian, satu orang lagi datang. Kerumunan prajurit itu berpisah, dan salah satu rekan Hatsumi lainnya muncul. Jika Suimei ingat langsung dari parade, dia adalah pangeran Miazen, Weitzer Ryerzen.

 

"Gaius, apa kau kenal orang ini?" Weitzer bertanya, suasana tenang dan tenteram di sekelilingnya.

 

"Tidak. Dia hanyalah seorang yang semeja denganku di sebuah restoran saja." Jawab Gaius acuh tak acuh.

 

"Jadi begitu."

Setelah mengkonfirmasi hal itu, Weitzer menghunus pedangnya dan mengalihkan perhatiannya ke Suimei.

 

"Kau tidak hanya melakukan tindakan bodoh dengan masuk tanpa izin di Istana Calnus, bajingan, kau juga berani menginjakkan kaki di kamar Sang Hero. Kau mengerti apa yang akan terjadi padamu, kan?"

 

Suimei menyambut suara Weitzer yang tenang namun kuat sambil menghela napasnya.

"Asal tahu saja, aku datang ke sini hanya untuk menemui teman lamaku."

 

"Seorang teman, katamu?"

 

"Maksudku Hatsumi. Meskipun sepertinya dia tidak mengenaliku sama sekali karena amnesia itu....."

 

"........."

 

"Omong kosong. Sang Hero itu dipanggil dari dunia lain. Dia tidak mungkin punya 'Teman lama' di sini."

Gaius mengerutkan alisnya dan memandang Suimei dengan rasa penasaran, sementara Weitzer dengan berani menyatakan Suimei pembohong. Melihat reaksi mereka, Suimei menundukkan kepalanya karena kalah.

 

"Sang Pangeran benar, bukan?"

Suara Gayus yang meregangkan jari-jarinya yang suaranya bergema di udara.

 

"Yah, apapun masalahnya, sepertinya kami punya banyak pertanyaan untukmu, nak. Jadilah anak baik dan patuhlah untuk saat ini."

 

"Ini bukanlah situasi di mana kalian akan bersikap lunak padaku hanya karena aku bersikap baik sekarang....."

 

"Menang. Tidak perlu menunjukkan belas kasihan kepada penyusup sepertimu. Bersyukurlah kami tidak memotongmu begitu saja."

Gaius berbicara kepada Suimei dengan cara yang agak ramah, namun nada suara Weitzer setajam pedangnya. Para prajurit lainnya juga tampak siap bertempur. Untuk melarikan diri, Suimei harus melewati mereka, begitu pula dari Gaius dan Weitzer.

 

"Kalian tidak akan memberiku pilihan untuk ini, kan....?"

Suimei menyesali situasinya sambil menghela napas panjang. Dan kemudian, meskipun halamannya terkena sinar bulan langsung, sosoknya tenggelam dalam bayang-bayang.

 

★★★

 

Sementara itu, Master Guild cabang Miazen Twilight Pavilion, Rumeya, juga berada di istana. Mendengar kalau Suimei berencana menyusup untuk melakukan kontak dengan Hero dari Aliansi, dia pikir dirinya akan mengambil kesempatan untuk melakukan sedikit pengintaian sendiri.

Tentunya, alasan Rumeya melakukan hal tersebut dapat disimpulkan hanya dengan "Sepertinya menyenangkan". Dia memiliki posisinya yang perlu dipertimbangkan, namun sebagai Therianthrope, dia pada dasarnya adalah pencari kesenangan. Dia tidak bisa menolak gagasan itu ketika hal itu datang. Biasanya, karena telinga rubah dan tujuh ekornya, dia cukup menonjol. Namun saat ini, dia menyamar sebagai penjaga istana dengan teknik transformasi yang diturunkan oleh klan rubah emas.

 

Rumeya kehilangan pandangan terhadap Suimei di koridor tidak lama setelah memasuki Istana, namun dia baru saja mendengar suara angin yang menyatakan kehadiran penyusup. Ketika pesan itu bergema di halaman Istana, para penjaga yang membawa lampu mulai bergegas menuju halaman sambil berteriak-teriak marah.

 

".....Astaga, apa anak itu yang meledakkannya?"

Rumeya meringis. Suimei menggunakan magicka dari dunia lain dan sepertinya memiliki kekuatan yang besar, jadi Rumeya pikir dirinya tidak perlu khawatir. Tampaknya asumsi itu ceroboh.

 

Ini akan menjadi buruk jika aku tidak pergi menyelamatkannya....

Lefille telah memberitahu Rumeya semua tentang kekuatan Suimei yang sebenarnya. Hal itu mengesankan, begitu pula para penjaga istana. Ada juga rekan Sang Hero di sekitar. Bahkan sebagai penyihir dari dunia lain, Suimei kemungkinan besar akan tertangkap. Namun karena Suimei adalah penolong bagi Lefille, Rumeya tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Rumeya menghela napasnya seolah dirinya menganggap ini semua cukup merepotkan, dan mulai menuju halaman sendiri ketika dirinya tiba-tiba menyadari sesuatu yang aneh.

 

".........?"

Tiba-tiba keadaan menjadi lebih gelap. Rumeya secara refleks melihat ke atas ketika beberapa awan mulai melayang di depan bulan. Mungkin awan-awan itulah penyebabnya..... atau setidaknya sebagian dari penyebabnya. Bulan masih belum tertutup seluruhnya, jadi Rumeya tidak berpikir itu adalah satu-satunya faktor yang berperan.

 

Namun Rumeya tahu dirinya tidak punya waktu untuk berdiri sambil merenungkan kegelapan yang aneh, jadi dia membuang pemikiran seperti itu dan terus berjalan menuju halaman. Suimei ada di sana, dikelilingi oleh Gaius Forvan, Weitzer Ryerzen, dan gerombolan penjaga Istana. Semua aktor sudah berada di tempatnya. Suimei menyandarkan punggungnya ke dinding, dan sepertinya drama itu baru saja mencapai klimaksnya.

 

"Ya ampun.... bukankah ini menjadi skenario terburuk?"

Setelah menyelinap ke dalam kerumunan dan berbaur dengan para penjaga, Rumeya meringis melihat pemandangan yang terjadi di depannya. Segalanya akan lebih baik jika Suimei melarikan diri, namun ketika Suimei terpojok, Rumeya tidak berpikir Suimei akan pergi tanpa terluka. Semakin banyak penjaga yang terus berkumpul, dan mereka sekarang membentuk setengah lingkaran yang tidak bisa ditembus di sekitar Suimei.

 

Melarikan diri bukan lagi hal yang mudah. Penyihir misterius dari negara dengan pemerintahan sendiri—yang mereka sebut Snowstorm—mungkin juga ada di sekitar sini. Apa Rumeya harus muncul ketika para penjaga mencoba menangkap Suimei? Bertentangan dengan ekspektasi Rumeya, ini bukanlah akhir dari drama tersebut, namun awal dari babak kedua.

Para penjaga Istana menyerbu untuk menahan Suimei, namun Suimei hanya mengangkat bahunya saat mereka mendekat. Saat itu, sesuatu menyebabkan lampu mana yang dipasang di halaman serta lampu yang dipegang oleh penjaga mulai berkedip.

 

Cahaya itu mati dan menyala secara acak, dan akhirnya, seolah-olah mereka semua telah melepaskan kegelapan, cahaya menghilang sepenuhnya dari halaman. Dalam sekejap ketika para penjaga dibuat bingung oleh kejadian tak terduga ini, udara di sekitar Suimei tampak bergetar. Sepertinya Suimei diselimuti kabut panas. Suimei sendiri tidak bergerak. Poninya menutupi wajahnya, dan Rumeya tidak bisa melihat apapun dari ekspresinya. Namun terlepas dari kesulitan yang Suimei alami itu, dia tetap diam dan tidak melakukan apapun.

Namun, saat Rumeya akhirnya berhasil melihat Suimei dengan baik melalui kabut transparan itu, tubuh Rumeya menjadi menggigil. Rasanya tidak seperti kebencian yang datang dari para iblis, namun saat ini, Suimei mengeluarkan perasaan aneh yang menakutkan. Rasanya seperti Rumeya sedang menatap hal menakutkan tepat di matanya. Sepertinya kegelapan di sekelilingnya cukup tebal untuk bisa dilihat secara nyata. Dan kemudian, tanpa peringatan, semua penjaga yang bergerak menuju Suimei jatuh ke tanah dengan bunyi dentang.

 

"Apa—?!"

Menyaksikan mereka semua pingsan tanpa penjelasan logis, Rumeya tidak bisa menahan nafasnya. Penjaga lain dan rekan Sang Hero melakukan hal yang sama. Karena bingung, mereka semua mulai bergerak dalam kegelapan. Selama kebingungan ini, bahkan penjaga Istana yang berada jauh di belakang mulai terjatuh saat mereka kehilangan kesadaran.

 

Satu-satunya yang masih berdiri hanyalah Gaius, Weitzer, dan beberapa penjaga Istana. Rekan-rekan Sang Hero tampak tidak terpengaruh, namun bahkan para penjaga yang lebih tangguh pun ketakutan. Rumeya mengira dirinya bisa melihat mereka semua berkeringat deras. Gaius, setelah dengan hati-hati melihat sekeliling pada orang-orang yang jatuh, menoleh ke Suimei.

 

"......Apa yang baru saja kau lakukan?"

 

"Seperti yang kau lihat, aku menjatuhkan mereka."

 

"Kau..... menjatuhkan mereka?"

Gaius tampak sangat bingung dengan jawaban singkat Suimei. Weitzer, sebaliknya, punya banyak hal untuk dikatakan.

 

"Tanpa sihir? Tanpa menyentuh mereka? Sangat mencurigakan! Apa yang kau lakukan, bajingan?!"

 

"Aku hanya akan mengatakan yang sama untuk itu."

 

"Apa kau bermaksud menipuku dengan kata-kata itu? Itu mustahil! Apa kau menyuruhku agar aku percaya kau menjatuhkan mereka hanya dengan memikirkannya? Benar begitu, bajingan?"

 

"Benar. 'Kemustahilan' yang kau katakan itu."

Saat pernyataannya menggantung di udara tanpa kepura-puraan apapun, Weitzer menjawab dengan nada agak jijik.

 

"Cukup dengan omong kosongmu, brengsek. Kau tidak mungkin bisa menjatuhkan orang hanya dengan memikirkannya. Itu sangat tidak masuk akal. Selain itu, para prajurit di sini adalah para Elite dari Aliansi. Mereka kuat secara fisik dan mental. Mereka tidak akan pernah jatuh hanya karena—"

 

Mata merah Suimei menunjuk ke arah Weitzer dengan tatapan yang sangat bosan dan dingin, lalu memotongnya.

"Apa yang kau katakan itu? Mereka hanyalah orang normal yang tahu satu atau dua hal tentang menggunakan pedang, bukan? Apa yang membuatmu berpikir orang-orang seperti itu tidak jatuh hanya karena itu yang aku inginkan?"

 

Tepat setelah Suimei mengucapkan kata-kata itu, Rumeya merasa udara di area tersebut menjadi sangat dingin. Apa dia telah melakukan sesuatu? Atau apa itu hanya bayangannya saja setelah mendengar kata-kata Suimei yang mengerikan itu? Tidak, sesuatu yang lebih dari sekedar angin malam yang dingin bertiup. Rasanya seperti menempel padanya, menusuk kulitnya.

Terintimidasi oleh perkataan Suimei yang penuh dengan aura menakutkan, sebagian besar penjaga yang tersisa melarikan diri. Namun itu sudah terlambat. Mereka semua terjatuh ke tanah saat mencoba melarikan diri. Dari apa yang Rumeya lihat, sepertinya semangat mereka tidak terkuras atau semacamnya. Memang ada atmosfir aneh yang menyelimuti area tersebut, namun sepertinya bukan itu yang membuat para penjaga istana yang kuat itu pingsan. Apa itu benar seperti yang Suimei katakan? Kalau mereka jatuh hanya karena dia menginginkannya?

 

"Kau bajingan....." Weitzer secara spontan berteriak.

 

"Kalian yang tersisa, menyingkirlah. Manusia biasa tidak punya cara untuk menang melawan Magician, tahu?"

Ketika Suimei membuat pernyataan jengkelnya, Weitzer sepertinya menyadari sesuatu. Seringai percaya diri terlihat di bibirnya.

 

"Tapi sepertinya kekuatanmu tidak berpengaruh pada kami."

 

"Memang. Kita masih berdiri, kan?"

Bahkan Gaius tersenyum tanpa rasa takut saat dirinya mendukung rekannya itu. Memang benar kalau mereka masih berdiri di sana di mana bawahan mereka berjatuhan seperti lalat. Jadi mengapa mereka tidak dapat merasakan bahaya yang ada di hadapan mereka? Rumeya tidak bisa memahaminya. Jika Rumeya berada di posisi mereka, di antara kejadian buruk di sekitar mereka dan aura menakutkan Suimei sendiri, Rumeya akan menarik ekornya dan segera melarikan diri. Keadaan sudah menguntungkan Suimei, dan sepertinya tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengubah keadaan itu sekarang.

 

Karena di bawah sinar bulan yang redup, sosok Suimei jatuh ke dalam kegelapan. Seolah-olah dia adalah penghuni bayangan alami. Malam itu sendiri menempel padanya, menyelubungi sosoknya.

 

"Weitzer! Gaius!"

Tiba-tiba, suara seorang perempuan terdengar dari belakang Rumeya. Suara itu lembut, dan membawa serta kepedulian yang besar terhadap rekan-rekannya. Suara itu adalah suara yang indah dan lembut, dan seorang perempuan dengan penampilan yang sama cantiknya tiba dalam waktu singkat. Dia memiliki rambut panjang tergerai dan mata hijau berkemauan keras. Dan yang terpenting, dia memegang pedang yang menakutkan. Perempuan itu adalah Hero dari Aliansi.

 

"Hatsumi?!" Seru Gayus.

 

"Hero-dono!" Teriak Weitzer.

 

"Ini.... Hah?"

Saat Hatsumi berlari menuju rekan-rekannya, dia melihat pemandangan mengerikan yang terbentang di hadapannya. Setelah mengamati orang-orang yang tergeletak di tanah dengan sangat bingung, Hatsumi menatap tajam ke arah Suimei.

 

"Apa kau yang melakukan ini?"

 

"Ya, tapi tidak perlu khawatir. Mereka hanya tidak sadarkan diri. Tidak ada yang salah dengan mereka selain itu."

Ketegangan berbahaya tampaknya mulai terjadi di antara mereka berdua. Berdasarkan cerita Suimei, mereka seharusnya adalah teman masa kecil, namun kalau dilihat dari sikap Hatsumi, sepertinya bukan itu masalahnya sama sekali. Apa terjadi sesuatu?

 

Menyusul tak lama setelah Hatsumi, penyihir dari negara berpemerintahan sendiri, Selphy Fittney, juga tiba di sana.

"Dengan ini, kita berempat telah berkumpul!" Kata Selphy.

 

Memang benar, semua rekan Sang Hero kini mendukungnya. Sementara itu, Suimei masih dalam diam mencoba berbicara dengan Hatsumi.

 

"Hatsumi, aku ingin kamu mendengarku."

 

"Jika kau dengan patuh menyerahkan diri, aku akan mempertimbangkan untuk mendengarkanmu."

 

"Aku tidak bisa melakukan hal itu....."

Suimei tahu dirinya tidak bisa menuruti apa yang diminta Hatsumi. Kemungkinan besar hal itu tidak akan berjalan baik baginya. Bagaimanapun, tidak mungkin Keluarga Kerajaan Miazen memperlakukannya dengan baik setelah semua keributan ini. Sedikit bingung bagaimana menangani situasi yang semakin rumit ini. Suimei menatap Hatsumi dengan tatapan memohon. Melihat ini, Gaius menoleh padanya juga.

 

"Dia sudah mengatakannya ini dari tadi, tapi apa dia benar-benar kenalanmu?"

 

"Aku tidak mengenalnya, tapi dia mengaku sebagai teman masa kecilku."

 

"Huwaa?"

Gaius mengangkat suara bertanya dengan cara yang hampir lucu. Dia kemudian mengalihkan pandangannya yang heran kepada Suimei.

 

"Hei, nak. Jika kau mencoba berbohong, setidaknya berusahalah lebih keras lagi, oke? Tidak peduli seberapa besar keinginanmu untuk bertemu dengan Sang Hero, bahkan anak kecil pun tidak akan menggunakan alasan seperti itu, tahu?"

 

"Tentu, tapi penolakanmu terhadap apa yang ingin kukatakan padamu adalah masalah sebenarnya di sini. Hatsumi menderita amnesia, kan? Jadi tidak ada seorang pun di antara kalian yang tahu pasti kalau apa yang aku katakan itu bohong. Kau paham itu?"

 

"Oh, ayolah. Mengaku sebagai teman masa kecil dari Sang Hero yang dipanggil itu tidak masuk akal, bukan begitu?"

Gaius tidak ragu-ragu untuk memperjelas posisinya mengenai masalah ini, namum Suimei tidak mendorong lebih jauh. Daripada keberatan, dia hanya menghela napasnya berat. Rasanya seperti dia sedang berbicara dengan patung tak bergerak. Selphy-lah yang menanyainya selanjutnya.

 

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa kau akan dengan patuh menyerahkan dirimu?"

 

"Aku sudah menolaknya, bukan?"

 

"Haruskah aku menafsirkannya sebagai niat untuk menolak?"

 

".........."

Tidak menerima balasan, Selphy mencoba pendekatan berbeda. Sesuatu yang sedikit lebih mengancam.

 

"Kalau begitu biarkan aku menanyakan ini padamu : apa kau benar-benar berpikir kalau kau bisa menang melawan kami? Kau tahu kami berempat menghancurkan pasukan iblis dan mengalahkan jenderal iblis, bukan?"

 

"Itukah alasanmu berpikir dirimu kuat? Itu agak sombong, bukan?"

 

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mengujinya, nak?"

Kata Gayus sambil melompat masuk.

 

Meskipun nadanya bercanda, itu bukan lelucon. Jika Suimei menolak, ini akan berubah menjadi pertarungan serius. Namun, bertentangan dengan semua ekspektasi, Suimei hanya berbalik.

 

"Uh...."

 

"Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik. Aku akan pergi sekarang."

 

"Hah?! Tunggu, kau akan lari setelah semua pembicaraan itu?!"

 

"Aku tidak tertarik untuk membuat kekacauan yang tidak perlu. Aku akan datang lagi, jadi aku pamit undur diri untuk malam ini."

Suimei menoleh ke belakang dan berbicara dengan sopan. Dia tidak bisa melakukan apa yang mereka minta, namun itu akan menjadi caranya sendiri untuk mundur secara diam-diam. Mungkin karena teman masa kecilnya hadir, dia tidak ingin melakukan kekerasan. Namun Gaius segera bertindak.

 

"Apa kau pikir aku hanya akan mengatakan 'Ya, oke' saja hah?!”

Melepaskan semangat bertarungnya, Gaius melompat maju dengan pukulan yang luar biasa. Kakinya mencungkil tanah di bawah saat dirinya menendang tanah, dan tinjunya terbang ke depannya dengan kekuatan yang sangat besar yang mengguncang udara di sekitarnya. Jika pukulan seperti itu mengenai Suimei, tubuh kecilnya akan terluka parah. Namun serangan Gaius gegabah.

 

"Hmph. Dibandingkan dengan ayahku, pukulanmu terlalu lambat."

Dengan mendengus dan berkomentar jengkel, Suimei mengambil langkah menuju Gaius dengan satu gerakan cepat dan lancar. Kaki kanannya—yang dia gunakan untuk melangkah maju—menancap ke dalam tanah dengan kekuatan yang lebih besar dibandingkan saat Gaius meluncurkan dirinya sendiri. Tanah di bawahnya praktis hancur. Suimei kemudian menurunkan pinggangnya dan melontarkan tinjunya ke atas. Suara keras bergema di perut Gaius. Dampaknya bergema melalui dirinya hingga ke tanah sampai ke bawah, menendang tanah. Rumeya merasa seperti dirinya bisa melihat lingkaran sihir hijau melingkari lengan kanan dan tangan Suimei yang terulur. Namun yang lebih terkejut darinya..... adalah Gaius sendiri.

 

"Apa.... yang...."

Gaius bahkan tidak percaya kalau seorang penyihir akan mengalahkannya dalam permainannya sendiri. Mendengar suara kagetnya, Suimei mengeluarkan teriakan yang memenuhi halaman.

 

"Hah!"

Membuat instruktur seni bela diri merasa malu, Suimei mengarahkan tinjunya lebih jauh ke otot perut Gaius. Bahkan udara bergetar karena gelombang kejut akibat hantaman itu, dan tubuh Gaius terlempar ke seberang halaman, menabrak dinding di sisi yang berlawanan. Terdengar suara tabrakan yang tidak salah lagi, disusul dengan suara benda berat yang menghantam tanah.

 

"Ini konyol...."

 

"Kamu pasti bercanda! Gaius!"

Teriakan tak percaya Selphy dan Hatsumi terdengar di seberang halaman. Meskipun Weitzer tidak meninggikan suaranya, dia juga menatap dengan kaget. Selain itu, semuanya masih tenang. Satu-satunya tanda yang tersisa dari pertemuan itu adalah retakan tanah yang membuatnya tampak seolah-olah telah terjadi ledakan, sisa-sisa mana Suimei yang tertinggal di udara, dan siluet tinjunya yang menjulur ke luar. Rumeya bisa mendengarnya menghembuskan napas dalam-dalam, namun seperti sebelumnya, wajah Suimei terlalu tertutup oleh poninya sehingga Rumeya tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Rumeya hanya bisa menebak suasananya menjadi tenang. Tak lama kemudian, Suimei kembali berdiri dan berbicara kepada lawannya.

 

"Yo, orang tua. Kau masih hidup di sana?"

 

"Kau.... sebenarnya bukan.... seorang penyihir..... kan?"

 

"Aku seorang Magician. Suatu kesalahan jika berpikir kalau aku tidak bisa bertarung dalam jarak dekat."

Suimei berdiri tegak tanpa rasa takut, namun menjadi jelas kalau dia tidak berniat melangkah lebih jauh dari yang diperlukan. Setelah percakapan singkatnya dengan Gaius, semua orang tampaknya kembali tenang. Penyihir dari negara dengan pemerintahan sendiri, Selphy, kemudian mulai bergerak.

 

"Selphy!" Hatsumi memanggilnya.

 

"Hatsumi, tolong mundur. Aku akan menyudutkan orang ini dengan sihir ofensif."

 

"Apa? Tapi...."

 

"Hero-dono, lewat sini." Weitzer menawarkan.

Tampaknya Selphy khawatir Hatsumi akan terjebak dalam radius tembaknya. Namun Hatsumi berdiri disana tercengang ketika dirinya mendengar Selphy mengatakan kalau Selphy bermaksud menggunakan sihir ofensif. Di situlah Weitzer turun tangan dan mengantarnya ke garis belakang. Penyihir yang dikenal sebagai Snowstorm, Selphy Fittney, lalu melangkah maju dengan penuh mana.

 

"Seperti yang kubilang tadi....."

 

"Dan setelah semua ini, apa kau benar-benar berpikir bisa lolos dengan mudah?"

 

"Hahh.... tapi kalian sendiri yang memulainya, bukan?"

Suimei tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela napasnya. Namun dia tidak bergerak. Meskipun Selphy terus mendekat, Suimei hanya dengan lamban berbalik menghadapnya. Suimei tidak mengumpulkan mana, merapal mantra, melarikan diri, atau bahkan mempersiapkan pertahanannya. Di sisi lain, Selphy mengarahkan tongkatnya yang besar langsung ke arahnya.

 

"Wahai Angin! Engkau adalah kekuatan keabadian. Menjadi lingkaran....."

Saat Selphy mulai merapal mantra, permata yang dipasang di ujung tongkat kayu gelapnya mulai bersinar.

 

"Tirani yang bergejolak, kan?" Kata Suimei.

 

"Hmm? Tampaknya skalanya juga cukup besar."

Hanya dari pembukaan mantranya, sepertinya Suimei tidak hanya memahami mantranya, namin juga skalanya. Dia menghela napasnya sedikit, sedikit terkesan, namun tetap tidak bergerak. Apa Suimei tidak merapal? Atau.... mungkin dia hanya merasa tidak punya alasan untuk terburu-buru?

 

"Lingkaran tirani. Kehancuran yang tak terhitung jumlahnya muncul dari udara, bergegas menuju musuhku dengan kebenaranmu. Loud Tyrant!"

Saat Selphy mengucapkan kata kuncinya, pusaran angin berputar dari ketiadaan dengan dirinya sebagai pusatnya. Mereka mengamuk dan berputar-putar di tempat, tidak bergerak selain dari putarannya. Ada sepuluh..... tidak, dua puluh di antaranya. Jumlah mereka terus bertambah, dan kemudian secara bersamaan, mereka bergegas menuju Suimei sambil mengaum.

 

Namun pada saat itu, Suimei mulai menggumamkan sesuatu dan mengangkat tangannya. Beberapa cahaya merah menyala di depannya seperti tali. Membungkuk pada sudut kanan, cahaya itu berputar ke sana kemari, menembus angin puyuh dengan kecepatan yang menakutkan. Pada saat mereka mendekati Selphy, angin puyuh telah mereda secara dramatis sehingga hampir tidak ada angin sepoi-sepoi di udara.

 

"Ap—Ugh!"

Kejutan Selphy disela oleh suara napas kesedihan. Sepertinya rasa sakit yang Selphy rasakan tiba-tiba jauh mengalahkan rasa takjub saat melihat mantranya ditiadakan. Melihat ini, Suimei angkat bicara.

 

"Kau harusnya sedikit lebih waspada jika mantramu berubah. Jika kau tidak melakukan tindakan pencegahan yang tepat, inilah yang akan terjadi."

 

"A-Apa..... yang telah kau lakukan?!"

 

"Aku baru saja mengganggu mantranya. Harus aku katakan, aku pernah melihat ini sebelumnya. Jadi alasanmu kesakitan saat ini karena, sebelum kau dapat memanifestasi mantranya sepenuhnya, aku dengan paksa membatalkannya."

Saat Suimei berbicara, Suimei mengangkat tangan kanannya ke atas kepalanya. Dengan itu, potongan tanah yang dia hancurkan saat mengalahkan Gaius tiba-tiba naik ke langit. Dan itu tidak berhenti di sana; apapun yang tergeletak di tanah juga tersedot ke atas. Puing-puing dalam jumlah cukup besar berkumpul di udara yang kini melingkar menjadi angin puyuh.  Setelah sepenuhnya terbentuk, angin itu melemparkan sisa-sisa yang telah dikumpulkannya ke Selphy dengan sekuat tenaga.

 

"Urgh..... Wahai Angin. Engkau akan menjadi tameng yang kuat untuk melindungiku. Tolak semuanya dengan angin kencangmu. Vortex Blockade."

Selphy dengan tenang merapalkan mantra pertahanan. Angin dari segala arah membentuk pusaran di hadapannya, yang mengusir dan menyebarkan puing-puing yang masuk.

 

"Kau bisa mengeluarkan sihir tanpa merapal mantra?!"

Selphy tersentak.

 

"Yang tadi itu? Kau hampir tidak bisa menyebutnya sebagai sihir..... maksudku, yang aku lakukan hanyalah mengangkat saja. Kau dapat melakukan hal yang sama dengan buldoser atau sekop listrik."

 

Rumeya tidak bisa memahami beberapa kata terakhir yang Suimei gunakan, namun Rumeya tahu dari nada bicaranya kalau Suimei menyiratkan kalau apa yang Suimei lakukan itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Pertarungan terhenti untuk saat ini, namun Suimei masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia sudah mengalahkan Gaius. Dan Rumeya telah mendengar kalau ketika Suimei menjadi serius, Suimei bisa melancarkan serangkaian serangan satu demi satu. Namun mungkin Suimei tidak tertarik atau tidak serius saat ini. Suimei hanya berdiri di sana menunggu. Selphy, sebaliknya, sepertinya tidak punya niat untuk menyerah.

 

"Kau tidak memberiku pilihan. Sudah waktunya untuk serius."

 

"Geez. Jika kau mengambil tindakan lebih jauh, maka itu hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi— Hahh, dia bahkan tidak mendengar."

 

"Wahai Angin. Engkaulah angin kencang yang membawa ciuman gletser yang membeku. Tiup dengan keras, tumbuh kuat, dan jebak musuhku di dalam sangkarmu yang luar biasa. Tidak ada seorang pun dan tidak ada yang lolos dari penjara esmu, baptisan badai salju. Ephemeral Razing!"

 

Mantra inilah yang memberinya gelar "Snowstorm". Saat Selphy menggunakannya, badai salju dan es yang tidak bersahabat mengambil bentuk pusaran yang berputar. Saat sihir itu berputar di sekitar Suimei, dia berdiri di sana seolah itu wajar saja. Sihir itu kemudian mendekatinya, membentuk penjara besar yang terdiri dari es, salju, dan angin. Yang terlihat di dalamnya hanyalah selimut berwarna putih bersih.

 

"Ini sudah berakhir." Selphy menyatakan dengan dingin.

 

"Tunggu, Selphy! Itu sudah berlebihan!"

 

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Hatsumi. Aku cukup menahan diri agar dia tidak mati."

 

"T-Tapi....."

 

"Saat badai salju itu reda, dia akan menjadi tidak berdaya. Yang tersisa hanyalah menangkapnya."

Selphy telah menyatakan kalau ini adalah akhirnya. Rumeya bahkan melihat sendiri kalau Suimei dilanda badai salju Selphy, namun..... keringat dingin apa yang masih mengalir di punggungnya? Dan menjawab keraguannya, sebuah suara samar datang dari tengah badai jahat.

 

"O flammae, legito. Pro venefici doloris clamore....."

[Wahai api, berkumpul. Seperti teriakan kebencian Sang Magician....]

 

"?!"

 

"Mustahil! Dia bahkan seharusnya tidak bisa menggerakkan mulutnya pada suhu seperti itu!"

Hatsumi berbalik dan menatap penjara es itu dengan terkejut sementara Selphy mengeluarkan teriakan bingung, namun rapalan Suimei tidak berhenti di situ.

 

"Parito colluctatione et aestuato. Deferto impedimentum fatum atrox."

[Berikan bentuk penderitaan kematian dan bakar dalam api. Anugerahi orang yang menghalangiku dengan takdir yang mengerikan.]

 

Beberapa lingkaran sihir merah mulai terbentuk di udara sekitar penjara es itu. Di tengah-tengah mereka semua ada sebuah benda berukuran sangat besar yang sepertinya melayang tepat di tempat Suimei seharusnya berdiri. Tak lama kemudian, Rumeya bisa melihat siluet jauh di dalam badai salju. Siluet itu samar-samar, namun dalam genggamannya ada nyala api yang terang.

 

"Conluceto. O Ashurbanipalis fulgidus lapillus."

[Bersinar. Wahai permata Ashurbanipal yang mempesona.]

 

Hal berikutnya yang diketahui semua orang adalah ledakan. Api keluar dari lingkaran sihir yang lebih kecil, dan pilar api besar berwarna merah terang meletus dari lingkaran sihir yang lebih besar yang sekarang berputar dengan kecepatan tinggi. Saat api yang lebih kecil bertemu dengan api yang lebih besar, mereka bereaksi satu sama lain dan meledak menjadi kebakaran besar yang menerbangkan badai salju putih dan sebagai gantinya mewarnai langit malam menjadi merah.

Gelombang panas yang muncul setelah kejadian itu membanjiri semua yang hadir, termasuk Sang Hero, rekan-rekannya, dan Rumeya. Namun orang yang merapal itu menahannya. Angin kencang dan api neraka yang seharusnya menyertai ledakan itu berubah menjadi angin hangat di tangannya.

 

Saat kabut merah menghilang, berdiri di sana seolah-olah tidak terjadi apa-apa..... tidak lain adalah Suimei sendiri. Tanah di kakinya menggelembung seperti mendidih. Sepertinya dia sedang berdiri di atas lautan besi cair. Dan pemandangan dirinya, yang sama sekali tidak terpengaruh meskipun berada di pusat ledakan yang tanah tidak mampu tahan tanpa mencair, hanya bisa digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan.

 

"Ugh....!"

Selphy mengeluarkan erangan yang tidak menyenangkan saat dirinya menyadari sihir yang merupakan pekerjaan hidupnya telah hilang hanya dengan satu mantra. Sebagai tanggapan, Suimei memanggilnya dengan nada kagum.

 

"Namamu Selphy, kan? Kau seorang penyihir yang cukup terampil, bukan? Mana yang dimasukkan ke dalam mantra itu sangat mengesankan, dan kekuatan penghancurnya sangat besar. Mantra itu bahkan menahan targetnya dan mencegah mereka untuk merapal. Dari semua penyihir yang kutemui di sini sejauh ini, kau benar-benar hebat."

 

"......Apa itu sebuah pujian?"

 

"Ini masalah perspektif. Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Menia yang sekarang atau Putri berbahaya dari Kekaisaran itu. Perjalananmu masih panjang sebelum bisa menyusul kami....."

Saat Suimei mengucapkan beberapa kata terakhir itu, sepertinya dirinya sudah memainkan permainan berikutnya. Hal berikutnya yang diketahui semua orang, tubuh para penjaga yang gugur itu bergerak.... namun tidak dengan sendirinya.

 

"Apa—"

Sebelum Selphy sempat mempertanyakan apa yang sedang terjadi, tubuh para penjaga diangkat ke udara dan dilemparkan ke arahnya. Namun mereka semua adalah orang yang dia kenal—sekutunya. Hal itu menumpulkan penilaiannya. Beberapa detik ekstra yang dia habiskan untuk mencoba memutuskan bagaimana cara mencegah sekutunya yang tidak sadarkan diri terbukti berakibat fatal.

 

Memilih untuk menghindar daripada menggunakan sihir, yang bisa Selphy lakukan hanyalah melemparkan dirinya ke tanah. Dia terjun ke samping dalam upaya untuk berguling. Dia menghindari satu tubuh, lalu yang kedua. Tindakannya tidak terlalu anggun atau cekatan, namun dia masih mampu mengakali tubuh yang bergerak lambat.

 

"Apa kau pikir serangan seperti itu akan mampu mengalahkan—"

 

"Tidak, tidak sama sekali. Itu bukan serangan."

 

"Apa.....?"

Setelah terus-menerus menghindar, Selphy berhasil mencapai sayap kanan Suimei. Namun Selphy tidak menyadari kalau dirinya sekarang berada tepat di tempat yang diinginkan Suimei. Suimei mengulurkan tangan kanannya ke arahnya, ibu jari dan jari tengahnya saling menempel. Sepertinya Suimei telah membimbingnya ke sana, berharap Selphy ada di sana—Suimei bahkan tidak perlu melihatnya. Dan kemudian, tepat seperti itu, terdengar bunyi suara jentikan jari di halaman malam hari. Dengan itu, udara di depan mata Selphy meledak. Mungkin karena kekuatan dari ledakan itu, Selphy langsung pingsan di tempat, sepertinya tidak sadarkan diri.

 

"Selphy......"

Melihat rekan kepercayaannya dikalahkan sepenuhnya, Hatsumi tersentak. Dia terkejut sesaat, namun kemudian menatap tajam ke arah Suimei dan melangkah maju. Melihat Hatsumi mengangkat pedangnya ke arahnya, ekspresi dingin yang Suimei kenakan tiba-tiba berubah menjadi pahit.

 

"Aku bilang aku tidak ingin bertarung denganmu."

Seolah terbebani oleh masalah yang sulit, Suimei meletakkan tangannya di alisnya dan meringis. Tanpa empati atas keinginannya untuk melindungi teman masa kecilnya, Hatsumi berbicara kepadanya dengan nada menantang dan marah.

 

"Apa menurutmu aku akan tetap diam setelah temanku dikalahkan?"

 

"Yang tadi itu? Itu hanya pembelaan diri. Merekalah yang mengejarku, dan mereka tidak main-main. Aku hanya mencoba untuk pergi, tahu?"

 

"Itu..... tapi....."

Hatsumi sepertinya mengerti apa yang dikatakan oleh Suimei. Mungkin Hatsumi memang mempunyai sedikit simpati terhadapnya, namun hal itu tertutupi oleh kemarahannya terhadap rekan-rekannya yang telah jatuh, dan dia sekali lagi menaruh pandangan tajam padanya. Suimei tidak tahan lagi. Ekspresinya yang bermasalah berubah menjadi tegas, seperti dia sedang menegur anak yang tidak masuk akal.

 

"Tapi apa? Kamu akan membunuhku? Pedang yang kamu gunakan saat ini tidak memiliki sedikit pun kebenaran di dalamnya dan kamu mengetahui itu. Jika Instruktur Kiyoshiro melihatmu mengayunkan pedang yang bertentangan langsung dengan ajaran Gaya Berpedang Kuchiba, kamu akan langsung dihukum, tahu?"

 

"Apa....? Tapi aku....."

 

"Apa kamu akan menggunakan amnesiamu sebagai alasanmu? Hentikan saja itu.  Hatsumi yang kukenal bukanlah gadis seperti itu."

Apa Hatsumi menjadi kewalahan oleh Suimei, atau apa bagian dari dirinya menyadari kalau Suimei benar? Ekspresi Hatsumi berubah seperti sedang kesakitan. Pada titik tertentu, Hatsumi bahkan mengendurkan posisi bertarungnya. Ketika Hatsumi melakukannya, Weitzer melangkah di antara Hatsumi dan Suimei.

 

"Diam, kau brengsek. Seorang penyusup tidak punya hak untuk menghasut Hero-dono."

 

"Dam pihak ketiga ikut campur seperti ini....."

Sikap tegas Suimei sedikit runtuh saat dirinya menghela napas jengkel, namun tidak beberapa saat kemudian, Suimei mengalihkan pandangan tajam ke arah Pangeran Miazen itu. Siapapun dapat mengetahui dengan melihat kalau segala sesuatunya akan menjadi kacau lagi. Jika ada waktu untuk pergi, sepertinya inilah saatnya. Menilai kalau ini adalah kesempatan sempurna, Rumeya melompat keluar dari kelompok penjaga yang tersisa.

 

"Ini saatnya!"

 

"Siapa kau— Ugh!"

Rumeya berlari dengan cepat, mengayunkan pedangnya untuk menahan Weitzer. Seperti yang Rumeya duga, Weitzer mundur sesuai keinginannya, dan Rumeya kemudian mengambil posisi di sisi Suimei seolah dirinya juga menentang Sang Hero dan yang lainnya.

 

"Kau bukan penjaga Istana! Apa kau itu rekan si bajingan di sana?!" Weitzer menuntut dengan marah.

 

"Ara, aku juga mau tahu itu."

 

"Apa?!"

Rumeya mengangkat bahunya sambil menggoda Weitzer. Rumeya kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Suimei.

 

"Hei.... Hah?"

Suimei kembali menatapnya dengan bingung, tampaknya menyadari identitas aslinya. Suimei tampak seolah ingin bertanya apa yang sedang dilakukannya di halaman, namun Rumeya langsung membahas masalah yang ada.

 

"Mundurlah, Suimei. Aku akan memberimu waktu lima detik dan tidak bisa lebih lama lagi. Sementara aku menahan mereka, kamu naiklah ke atap dan menarikku ke atas. Kamu bisa melakukan itu, kan?"

 

".....Oke."

Saat Suimei mengangguk, Weitzer menerjang ke arah mereka. Sepertinya Weitzer bermaksud tidak memberi mereka kesempatan sedikit pun.

 

"Kalian pikir aku akan membiarkan kalian lolos begitu saja?!"

Dengan teriakan marah, Weitzer dengan terampil menyerang dengan pedangnya. Sepertinya dia cukup layak menyandang gelarnya sebagai salah satu dari Seven Sword..... namun ada sesuatu yang aneh dengan serangannya. Dia hanya memegang satu pedang, namun setelah beberapa saat, garis yang ditarik di udara oleh pedangnya berlipat ganda saat pedang itu mendekat. Tebasan vertikal, horizontal, dan diagonal mengalir dari segala arah. Seorang pengguna pedang normal bahkan tidak punya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal pada bahunya sebelum kepala mereka terpisah dari badannya, namum Rumeya bukanlah lawan biasa. Dia tidak hanya memiliki empat puluh tahun pengalaman hidup dibanding Weitzer, dia juga salah satu dari Seven Sword.

 

"Ara, serangan yang agresif.... Hup! Tapi tidak secepat itu! Hyah!"

Dengan teriakan perang yang ringan seolah dirinya sedang bersenang-senang, Rumeya dengan hati-hati menangkis setiap serangan Weitzer itu. Dan kemudian, berniat membalasnya serangannya, Rumeya membalas dengan jumlah serangan yang sama.

 

"Ugh! Gaya pedang yang licik!"

 

"Aku anggap itu sebagai pujian yang datang dari seseorang yang mereka sebut Cloud of Death. Tapi sekarang giliranku...... HAAAAAH!"

 

Melepaskan semangat bertarungnya, aura Rumeya berubah. Dia telah menggunakan pedangnya dengan sangat mahir, namun dia sekarang menggunakan kekuatan fisiknya sebagai seorang Therianthrope untuk meluncurkan satu serangan langsung. Bahkan orang yang dikenal sebagai Cloud of Death pun tidak mampu menangkis serangan langsung yang begitu kuat, namun Weitzer harus mencobanya. Pedangnya membentuk busur biru di udara dan mendarat tepat di tempat yang Rumeya bayangkan dalam pikirannya.

 

"Musthil.... Bajingan, siapa kau sebenarnya?"

Weitzer tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena pedangnya disingkirkan oleh seorang prajurit biasa. Tidak dapat mempercayai apa yang baru saja dirinya lihat dengan matanya sendiri, dia melihat ke antara pedangnya—yang terlempar agak jauh—dan Rumeya dengan tidak percaya. Namum kemudian terdengar suara dari atas. Melihat ke atas, dia bisa melihat siluet Suimei di atap yang diterangi cahaya bulan.

 

"Aku akan menarikmu ke atas sekarang."

 

"Aku serahkan itu padamu."

Setelah memberikan jawaban santai, tubuh Rumeya mulai melayang ke atas. Rasanya seperti ada tali tak kasat mata yang menariknya menuju atap.

 

"Tunggu!" Weitzer berteriak untuk mengejarnya.

 

Rumeya hanya berpura-pura tidak mendengarnya, dan naik ke atap ketika dirinya berhasil. Rumeya dan Suimei segera pergi, namun Suimei berhenti dan kembali menatap Hatsumi di halaman.

 

"Hatsumi, aku akan kembali. Tapi jangan mencoba membunuh lain kali, oke?"

 

"Aku....."

 

"Sampai jumpa."

Setelah mengucapkan selamat tinggal, Suimei melompat ke atap berikutnya. Rumeya mengikuti dengan cepat setelahnya. Saat mereka berdua berlari di sepanjang atap yang miring, Suimei melirik ke arah Rumeya.

 

"Rumeya-san, aku berterima kasih atas bantuanmu..... tapi apa yang sedang kamu lakukan di sini?"

 

"Tidak banyak. Kudengar kamu akan menyusup ke Istana. Kedengarannya menarik, jadi aku datang untuk menontonnya."

 

"......Apa kamu sedang mengolok-olokku?"

 

"Anggap saja sebagai mengasuh anak-anak. Kedengarannya tidak bagus untuk menyebutnya sebagai tontonan."

 

"Tapi..... bukankah kamu baru saja mengakui kalau itulah yang kamu lakukan?"

Suimei meringis dan menghela napasnya. Dia tidak bisa menahannya. Ini hanyalah setetes kekonyolan yang telah ditimpakan padanya selama bertahun-tahun. Dan Rumeya telah melihatnya sekilas malam ini.

 

"Sejujurnya, aku pikir kamu telah mengacaukan segalanya..... tapi ternyata itu adalah amnesia...."

 

"Ya, aku ceroboh. Bahkan aku tidak mengharapkan ini."

 

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan dari sini? Mengetahui gadis itu tidak memiliki ingatannya tidak memberikan jawaban yang kamu inginkan, bukan? Menurutku itu hanya akan membuatmu semakin khawatir."

 

"Ya. Tapi sungguh, sama seperti sebelumnya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berbicara dengannya. Tapi ada hal lain yang membuatku penasaran. Aku sedang berpikir untuk menyelidikinya sebelum kembali ke sini."

 

"Aku rasa kamu tidak akan mudah untuk masuk lagi...."

Rumeya memberinya peringatan ramah, namun Suimei sepertinya tidak memikirkan hal itu.

 

"Mungkin tidak. Tapi tak satu pun dari mereka yang tampaknya mampu menangani seorang Magician. Jika yang mereka lakukan hanyalah meningkatkan penjagaan, maka menyusup lagi tidak akan terlalu sulit."

 

"Ya ampun, keyakinan yang luar biasa..... Yah, setelah melihat bagaimana kamu bertarung, aku tidak punya komentar apapun untuk itu."

 

"Itu tidak seperti aku gagal menyelinap ke sini ketika mereka tidak mempunyai satu jebakan pun."

Kata Suimei, mencoba menunjukkan kalau itu bukan masalah kebanggaan. Suimei kemudian dengan tenang menambahkan, "Ayahku mungkin sedang tertawa sambil berguling-guling di dalam kuburnya....."

 

Sebelum keluar dari halaman Kastil, Suimei berbalik ke halaman untuk terakhir kalinya dengan ekspresi penuh kerinduan dan penyesalan di wajahnya.

"Gadis masih ada dalam pikiranmu, benar? Apa dia benar-benar hanya temanmu?"

 

"Apa itu aneh?"

 

"Yah, bukan berarti aku tidak memahami persahabatan yang baik. Tapi sepertinya gadis itu lebih penting bagimu daripada itu. Dan jika gadis itu bukan seseorang yang spesial bagimu, maka harus kuakui aku agak penasaran seperti apa sebenarnya gadis itu bagimu."

Mendengar kalau Rumeya hanya penasaran, Suimei membuat ekspresi rumit dan memutuskan untuk menjelaskan.

 

"Hatsumi.... adalah sepupuku."

 

"Jadi gadis itu keluargamu? Aku mengerti..... kalau begitu, rasa khawatir itu wajar saja, kan?"

 

"Ya....."

Rumeya memperhatikan Suimei. Melihat ekspresinya yang murung, Suimei sama sekali tidak tampak seperti anak laki-laki muda dan energik seperti saat pertama kali mengunjungi kantornya. Tidak, sekarang ada bayangan di balik mata sedih itu. Bagi Rumeya, Suimei lebih mirip seorang prajurit tua yang kehilangan kampung halamannya. Dan Rumeya tidak terlalu melenceng untuk itu; Suimei memang sedang memikirkan kemungkinan untuk tidak pernah kembali ke rumah lagi. Namun Rumeya menepis pikiran suram itu dan memanggilnya sekali lagi.

 

"Nak Suimei."

 

"Ya?"

 

"Bukankah kamu.... hidup terlalu sembrono?"

Mendengar kata-kata Rumeya itu, Suimei berhenti dan berbalik untuk melihatnya secara langsung.

 

"Tidak terlalu banyak sehingga menjadi masalah. Jika memang ada sesuatu yang ingin aku lindungi, bukankah aku harus mengambil beberapa risiko di sana-sini?"

 

"Aku..... kira kamu benar. Itu tindakan yang bodoh bagiku dibandingkan semua orang yang menanyakannya, bukan?"

Saat Rumeya menertawakan itu, Suimei melompat maju ke dalam kegelapan.

 

★★★

 

Anak laki-laki yang menyusup ke kamar Hatsumi kemudian mengalahkan sejumlah besar prajurit, Gaius, dan Selphy. Kemudian seorang kaki tangan datang untuk membantunya, dan mereka berdua menghilang dari halaman Istana menuju kegelapan malam.

Tidak ada yang bisa dilakukan Hatsumi sendiri setelah kejadian itu, jadi dia kembali ke kamarnya sendirian. Dari jendelanya, dia bisa melihat halaman di bawah, diterangi oleh lampu dinding dan lampu mana. Penjaga Istana dan pejabat pemerintah dengan gelisah berkeliaran dalam keadaan siaga tinggi. Peristiwa malam itu belum pernah terjadi sebelumnya; belum pernah setengah dari seluruh penjaga Istana dilumpuhkan oleh satu penyusup. Dan penyusup tersebut masih berhasil melarikan diri. Seluruh Kastil berada dalam kekacauan setelahnya. Hatsumi bisa mendengar segala macam teriakan dan teriakan marah dari jendelanya. Hampir seluruh penjaga harus dipanggil untuk menggantikan orang-orang yang tidak sadarkan diri, dan masih ada masalah mengejar penyusup. Peristiwa ini akan menjadi malam yang panjang bagi siapapun yang bekerja di Kastil.

 

Setelah penyusup itu melarikan diri, Gaius dan Selphy dengan cepat sadar kembali dan menerima pengobatan sihir. Tampaknya mereka baik-baik saja; satu-satunya kerusakan nyata yang terjadi adalah harga diri mereka. Saat Gaius kembali berdiri, dia berlari sambil berteriak hendak pergi berlatih—meskipun saat itu tengah malam. Adapun Selphy, setelah menderita kekalahan yang memalukan, nampaknya kepercayaan dirinya telah terguncang secara serius. Dia menghabiskan cukup banyak waktu merenung malam itu.

Adapun Weitzer, yang lolos dari pertemuan dengan Suimei tanpa cedera, dia pergi melapor kepada Raja Miazen tentang apa yang telah terjadi. Raja terkenal sebagai orang yang lembut, namun seperti yang bisa diduga, kejadian seperti ini bahkan membuatnya terguncang. Dia menegur keras mereka yang bertanggung jawab atas keamanan Istana, dan memberikan perintah tegas agar pertahanan diperkuat.

 

Satu jam telah berlalu sejak penyusup itu melarikan diri, namun masih belum ada satu pun laporan kalau penyusup itu telah ditemukan. Namun, tidak ada seorang pun yang terkejut. Bagi seseorang yang menyusup ke Istana yang dijaga dengan baik dan dengan mudah mengalahkan Gaius dan Selphy, akan bohong kalau itu bukanlah apa-apa. Kecil kemungkinan para penjaga akan menemukannya, dan bahkan jika mereka menemukannya, menangkapnya hampir mustahil. Berdasarkan apa yang Hatsumi dengar dari Weitzer, anak laki-laki itu telah menjatuhkan penjaga Istana tanpa bergerak. Hal itu tidak seperti sebuah pertarungan. Namun.....

 

"Seseorang dari dunia yang sama......"

Itulah yang paling terpikirkan dalam diri Hatsumi. Anak laki-laki yang masuk ke kamarnya mengaku kalau dia adalah teman masa kecilnya. Itu bisa berarti mereka harus berasal dari dunia yang sama. Anak laki-laki itu mungkin saja seseorang dari masa lalunya, seseorang yang merupakan bagian dari kenangan berharga yang hilang dari Hatsumi. Namun Hatsumi tidak bisa memastikannya. Hatsumi punya keraguan, namun anak laki-laki tahu nama dan gaya berpedangnya. Anak laki-laki itu bahkan sepertinya mengenal ayahnya. Dan yang paling utama dari semuanya, anak laki-laki itu memandangnya dengan tatapan sedih, nostalgia, dan tulus. Namun tetap saja, bagaimana jika itu semua hanya sekedar akting?

 

".........."

Hatsumi menjatuhkan dirinya ke belakang ke tempat tidurnya. Sejujurnya, dia bahkan tidak ingat dipanggil ke dunia ini sesuai keinginannya. Ketika Hatsumi sadar, dia sedang berbaring di ranjangnya sekarang. Yang Hatsumi tahu hanyalah dirinya berada di suatu tempat yang asing. Saat Hatsumi berbaring di sana dalam keadaan linglung, pintu kamar terbuka. Saat itulah dia bertemu Selphy, yang langsung menjelaskan semuanya. Rupanya Selphy-lah yang memanggilnya ke dunia ini..... dari dunia yang berbeda.

 

Namun bahkan setelah mendengarkan apa yang Selphy katakan, kabut di dalam pikiran Hatsumi tidak hilang. Siapa sebenarnya dirinya? Orang macam apa dirinya? Bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang dirinya sendiri, Hatsumi benar-benar bingung. Satu-satunya hal yang berhasil Hatsumi ingat adalah namanya sendiri. Dan hanya dengan berpegang teguh pada itu, Hatsumi merasa hancur. Weitzer juga hadir bersama Selphy pada saat itu, namun yang paling Hatsumi ingat adalah wajah Selphy yang tenang dan penuh perhatian.

 

Setelah itu, keadaan menjadi sepi untuk sementara waktu. Begitu Hatsumi mengetahui kalau dirinya tidak bisa kembali ke rumah, selain makanan yang dia makan bersama Keluarga Kerajaan atau jalan-jalan yang dirinya lakukan bersama Selphy, Hatsumi kebanyakan mengurung diri di kamarnya. Namun suatu hari, kabar tentang invasi para iblis sampai ke Istana.


Menatap langit-langit, Hatsumi mengingat hari itu dengan jelas. Pagi itu, Weitzer mengunjungi kamarnya. Tidak ada hal yang aneh dalam hal itu. Weitzer datang untuk menyapanya setiap hari. Karena Weitzer punya jadwal sendiri, waktu kunjungannya tidak ditentukan sebelumnya, namun Weitzer datang lebih awal pada hari itu. Dan Weitzer membawa kabar yang tidak masuk akal. Mereka mendiskusikannya panjang lebar, namun Hatsumi terutama mengingat percakapan mereka setelah itu.

 

"Hero-dono, apa ada sesuatu yang mengganggumu dalam kehidupan sehari-harimu?"

Weitzer duduk di kursi di seberangnya dan terlihat cukup serius. Namun Hatsumi menanggapinya dengan tawa kecil.

 

"Tidak ada apapun. Para pelayan merawatku dengan sangat baik."

 

"Aku senang mendengarnya. Tapi, jika terjadi sesuatu, harap segera beritahu aku, Hero-dono. Kamu adalah tamu negara yang paling disambut. Tidak perlu malu. Silakan tanyakan kepadaku apapun yang kamu butuhkan."

 

"Kalau begitu aku ingin kamu berhenti memanggilku dengan sebutan 'Hero-dono'."

 

"Apa....?"

Weitzer tampak heran saat mengatakan itu. Dia rupanya tidak pernah menganggap kalau itu akan menjadi hal pertama yang Hatsumi minta.

 

"Itu.... Um....."

Menjadi Hero adalah sebuah gelar kehormatan besar, dan Weitzer memanggilnya seperti itu untuk menunjukkan rasa hormatnya. Sebagai bangsawan, hanya ada sedikit orang yang menuntut kesopanan untuk diperlakukan dengan formalitas seperti itu, jadi bersikap pantas terhadap Hero yang dipanggil negara itu berarti baginya. Menyadari kalau Hatsumi mungkin menempatkannya di posisi yang sulit, dia membatalkan topik pembicaraan itu.

 

"Aku mengerti. Itu terserah kamu saja."

 

"Sesuai keinginanmu."

Hatsumi memberinya jalan keluar, dan Weitzer dengan ringan menundukkan kepalanya. Daripada bersikap rendah hati, Weitzer bermaksud menunjukkan rasa hormatnya. Weitzer tahu kalau Hatsumi kesulitan mengambil perannya sebagai Hero. Bagaimana Hatsumi bisa melakukannya tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya? Hal itu tidak cocok baginya. Faktanya, hal itu masih mengganggunya sampai sekarang.

 

"Weitzer, benarkah.... kalau aku ini seorang Hero?"

Itu adalah pertanyaan yang berat, namun Weitzer tidak ragu untuk menjawabnya.

 

"Tentu saja. Di bawah pengawasan Church of Salvation, kami mengadakan ritual pemanggilan Hero di sini, di halaman Istana. Begitulah caramu datang kepada kami. Hal itu tidak salah lagi."

 

"Tapi tetap saja...."

Meski mereka menyebutnya sebagai Hero, apa maksud sebenarnya dari itu? Hatsumi tahu kalau dirinya dipanggil ke dunia ini untuk mengalahkan iblis, namun semuanya terasa sangat tidak nyata. Bahkan terasa abstrak. Hatsumi dan Weitzer sama-sama mencari sesuatu yang lebih konkret.

 

"Aku telah mendengar kalau Hero yang dipanggil melalui ritual pemanggilan menerima Divine Blessing dari Sang Dewi."

 

"Tapi apa maksudnya itu? Apa spesifiknya?"

 

"Menurut legenda, itu adalah kekuatan yang tidak bisa dicapai dengan cara biasa. Pastinya ada beberapa cerita yang dilebih-lebihkan, tapi pasti ada perubahan yang bisa kamu rasakan. Sesuatu yang bersifat fisik."

 

"Hmm....."

 

"Apa tidak ada?"

 

"Maksudku, aku tidak bisa membandingkan perasaanku sekarang dengan perasaanku sebelumnya....."

 

"Pasti ada sesuatu untuk itu."

 

"Jika harus kukatakan..... aku merasa bisa bergerak lebih baik daripada orang lain. Aku merasa diriku kuat."

Dengan itu, Hatsumi mengulurkan tangannya seolah dirinya sedang meminta jabat tangan pada Weitzer. Memberi isyarat, Weitzer menggenggam tangannya. Hatsumi meremasnya kembali.

 

"I-Ini....."

Weitzer tampak terkejut. Dan memang benar demikian—cengkraman yang ada di tangannya tidak seperti apapun yang bisa dihasilkan oleh gadis seusianya dan sangat besar. Tidak diragukan lagi kalau itu adalah kekuatan dari manusia super. Dan setelah menyadari hal itu, mata Weitzer menjadi semakin melebar. Ini adalah bukti nyata kalau Hatsumi-lah Heronya.

 

"Ini pasti kekuatan yang diberikan Sang Dewi....."

 

"Sejujurnya, perasaanku campur aduk tentang hal itu."

 

"Bagi kami, itu adalah suatu kegembiraan yang patut dirayakan."

Tanpa keraguan, Hero mereka telah datang. Bagi orang-orang di dunia ini, Hatsumi seperti orang suci yang diutus dari surga. Semua itu cukup membingungkan bagi Hatsumi, namun dia melihat Weitzer mengerutkan alisnya. Sepertinya ada hal lain yang ada dalam pikirannya juga.

 

"Tapi bagiku, secara pribadi..... aku agak enggan jika kamu harus pergi ke medan perang."

 

".....Ya."

Tampaknya Weitzer mencoba untuk memperhatikan Hatsumi dengan caranya sendiri. Namun pada akhirnya, Hatsumi tidak bisa memberinya dorongan atau harapan. Ekspresi Weitzer kemudian menjadi tegang. Itu adalah ekspresi yang Weitzer pasang ketika dirinya sedang menangani urusan resmi.

 

"Hero-dono, aku harus minta maaf karena bertanya ini, tapi aku ingin kamu mengunjungi dan mengamati para prajurit."

 

"Itu yang kamu bicarakan kemarin, benar?"

 

"Ya. Para perwira dan prajurit kebanggaan militer kami ingin memamerkan pelatihan mereka kepadamu, Hero-dono."

 

Tentunya pasti ada yang lebih dari itu. Pelatihan untuk memamerkan keahlian mereka kepada Sang Hero bagaimanapun merupakan motivasi yang baik bagi mereka, namun mereka juga ingin menginspirasi Hatsumi. Mereka berharap bisa memicu sesuatu dalam dirinya sebagai Hero. Demonstrasi tersebut bukanlah ide Sang Raja, namun Sang Raja ditekan untuk mengaturnya oleh orang-orang di sekitarnya—atau begitulah yang dikatakan Selphy. Namun.....

 

Mereka mau memamerkan hal seperti itu kepada seorang perempuan.....?

Hal itu mungkin berkerja pada laki-laki, namun Hatsumi kesulitan membayangkan sesuatu seperti demonstrasi militer akan memicu apapun dalam dirinya. Dia tidak punya keinginan untuk melawan apapun, jadi mungkin mereka begitu putus asa. Tentunya, memang benar kalau mereka hanya ingin membuat Sang Hero mereka terkesan.

 

"Bagaimana dengan Selphy?"

 

"Dia punya urusan lain yang harus diurus, jadi meski agak lancang, aku yang akan menemanimu hari ini."

Hal itu tidak terduga. Biasanya Selphy-lah yang menemani Hatsumi ke mana-mana.

 

"Apa itu baik-baik saja? Bagaimanapun juga, kamu adalah seorang pangeran. Apa kamu tidak punya hal lain untuk dilakukan?"

Hatsumi khawatir dirinya mungkin menghalanginya dari tugas resmi, namun Weitzer menggelengkan kepalanya.

 

"Aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Merupakan suatu kehormatan besar untuk menjadi pengawal Sang Hero. Mohon ingat ini, aku akan menganggapnya sebagai kesenangan daripada kewajiban."

Weitzer membuat segala kemungkinan konsesi untuk membuat Hatsumi nyaman dan membuatnya tenang. Dia memiliki integritas, baik sebagai seorang pangeran maupun seorang laki-laki terhormat.

 

"Terima kasih, Weitzer."

 

"Tidak perlu berterima kasih padaku. Sudah kukatakan, ini suatu kehormatan sekaligus kesenangan bagiku. Bahkan jika itu untukmu, Hero-dono, aku akan mengantarmu sampai ke ujung dunia ini."

 

"Itu sudah berlebihan...."

 

"Tidak, aku sungguh—"

Saat Weitzer mulai berbicara, langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di lorong. Langkah kaki itu mendekat dengan cepat, dan berhenti tepat di luar pintu kamar.

 

"Aku ingin tahu apa ada yang salah....."

 

"Berlari di Istana adalah hal yang tabu kecuali dalam keadaan darurat. Yang artinya......"

 

"Sesuatu yang mendesak telah terjadi?"

Weitzer mengangguk dengan ekspresi muram dan menuju ke pintu. Saat dia mencapainya, terdengar suara ketukan dari sisi lain. Kedengarannya seperti penjaga Istana. Weitzer membuka pintu dan menyapanya dengan tenang. Percakapan dalam diam mereka berlangsung selama beberapa saat, dan kemudian penjaga itu pergi. Weitzer mendekati Hatsumi lagi, dan berlutut di depannya.

 

"Hero-dono, aku minta maaf atas kejadian yang tiba-tiba ini, tapi aku harus izin pergi sebentar."

 

"Apa terjadi sesuatu?"

 

"Tidak. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan oleh Sang Hero kami."

 

"......Aku mengerti."

Meskipun Weitzer membicarakannya seolah itu bukan masalah besar, cukup jelas kalau sesuatu telah terjadi. Hatsumi penasaran, namun dia tidak terlalu ingin mencampurinya. Hatsumi mengantar Weitzer pergi, namun bahkan setelah Weitzer pergi, ekspresi gelap di wajah penjaga itu sangat membebani pikirannya. Pada akhirnya, Hatsumi menyerah dan mengejar Weitzer sendiri.

 

Menanyakan para pelayan ke mana Sang Pangeran itu pergi, Hatsumi mengikutinya. Pada akhirnya, Hatsumi mendapati dirinya berada di depan ruang audiensi Kastil. Dia dengan sopan menyapa penjaga di pintu, namun kemudian mendengar suara marah datang dari balik pintu. Kedengarannya seperti seseorang berteriak, namun karena pintu ruang audiensi tertutup, dia tidak dapat memahami apa yang mereka katakan. Namun, apapun itu, kedengarannya tidak bagus. Hatsumi memutuskan untuk bertanya kepada salah satu penjaga apa yang sedang terjadi.

 

"Apa yang terjadi?"

 

"Itu..... kami tidak bisa mengatakannya......"

Penjaga itu tampak gelisah. Menyadari kalau penjaga itu tidak akan menjawabnya secara langsung, Hatsumi melangkah maju.

 

"Buka." Kata Hatsumi dengan tegas.

 

"T-Tapi.....! Saat ini masih....!"

 

"Tolong."

Para penjaga akhirnya menyerah dan dengan terpaksa membukakan pintu untuknya. Seperti yang bisa diduga, para penjaga itu tidak bisa menolak permintaan dari Sang Hero. Menyadari posisinya, Hatsumi meminta maaf, lalu memasuki ruang audiensi. Di dalam, seorang laki-laki berkulit gelap dan berotot dengan panik mencoba memohon kepada Raja Miazen.

 

"Sementara kita duduk di sini dan tidak melakukan apapun, Larsheem akan diserang!"

 

"Aku paham itu. Tapi aku tidak bisa langsung mengerahkan pasukan hanya atas permintaanmu."

 

"Aku mohon padamu!"

Laki-laki berotot itu gelisah dan gelisah seperti binatang yang dikurung—seolah dia bisa saja menyerang kapan saja. Tampaknya krisis apapun yang terjadi membuatnya sangat gelisah. Sedemikian rupa sehingga dia bahkan berani berbicara tidak sopan kepada Raja. Namun mungkin karena mereka memahami keadaannya yang mengerikan, tidak ada seorang pun di ruang audiensi yang mengatakan apapun tentang hal itu. Raja pun tampak simpatik, namun posisinya menuntut agar dirinya tetap tegas.

 

"Forvan-dono, aku mengerti keadaanmu, tapi tenangkanlah dirimu."

 

"Lalu.....?"

Tampaknya laki-laki itu mengharapkan Sang Raja untuk menindaklanjutinya, namun Sang Raja tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak terpengaruh, laki-laki berotot itu terus membela kasusnya. Saat dia dan Sang Raja berbicara, Hatsumi melihat sekeliling ruangan. Di antara para pejabat dan jenderal yang hadir, Hatsumi melihat Selphy dan dalam diam menuju ke arahnya.

 

"Hatsumi?! Apa yang kamu lakukan di sini?!"

 

"Weitzer sedang mengunjungiku, tapi tiba-tiba harus pergi ketika seorang penjaga datang. Hal itu membuatku agak penasaran."

Hatsumi memberikan kekurangannya, dan Selphy terlihat sangat terkejut. Sebelum Selphy bisa menjelaskan sepatah kata pun, Hatsumi bertanya padanya tentang situasi saat ini.

 

"Jadi, apa yang terjadi Selphy?"

 

"......Sepertinya para iblis telah menyerang Larsheem."

 

"Para iblis......"

Di sebelah utara Aliansi ada daratan kosong yang bukan merupakan wilayah iblis atau manusia. Pasukan iblis diduga tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan setelah invasi mereka ke Noshias, namun sekarang mereka tiba-tiba muncul di Larsheem, yang terletak di ujung utara Aliansi.

 

"Sepertinya mereka berpura-pura patuh padahal sebenarnya mereka sedang memindahkan pasukannya ke Aliansi."

 

"Dan..... siapa orang itu?"

 

"Dia salah satu petugas dari Larsheem. Hanya dengan tentara di Larsheem dan dukungan dari negara tetangga, mereka tidak akan berhasil. Itulah sebabnya orang ini datang ke Miazen untuk mencari bantuan."

 

"Sepertinya Raja tidak mempertimbangkan permintaannya dengan baik....."

Selphy membalas dengan anggukan. Orang itu dengan sungguh-sungguh memohon kepada Sang Raja berulang kali, namun tampaknya Sang Raja hanya menenangkannya. Hatsumi pasti bertanya-tanya mengapa.

 

"Aliansi Saadias dibentuk oleh negara-negara di utara untuk saling mendukung, bukan? Tempat ini bukan sekedar aliansi hanya karena namanya. Jadi bukankah tidak apa-apa untuk tidak mengirimkan bantuan pada saat seperti ini?"

 

"Seperti yang kamu katakan. Jika salah satu negara anggota Aliansi mengalami krisis, negara lain akan membantu. Sayangnya, pasukan bukanlah sesuatu yang bisa dipindahkan dengan cepat."

 

"Begitu ya...."

Selphy bermaksud mengatakan kalau itulah masalah sebenarnya di sini. Larsheem membutuhkan bantuan segera, namun mendapatkan pasukan yang besar dan terorganisir di sana akan memakan waktu. Meski begitu, orang itu tetap menangis minta tolong Miazen. Bertentangan dengan emosinya yang meluap-luap, Weitzer berbicara kepadanya dengan cara yang tenang, tenang, dan rasional. Namun jawabannya tidak berubah. Tidak ada yang bisa dilakukan secara instan. Namun demikian, hal itu tidak menghentikan orang tersebut untuk bertanya—untuk mencoba. Orang itu benar-benar memohon kepada mereka untuk menyelamatkan negaranya. Dan itu adalah pemandangan yang ironis dan menyedihkan. Orang itu dipenuhi luka dan perban hampir dari kepala hingga kaki. Orang itu kemungkinan besar telah bertarung sendirian sebelum datang ke Miazen.

 

"Ah...."

Tiba-tiba, Sang Raja dan para pejabat menoleh ke arah Hatsumi. Dia tahu mereka mencari bantuan darinya—untuk sebuah harapan. Namun mereka segera membuang wajahnya. Berdasarkan apa yang telah Hatsumi lakukan—atau belum lakukan—sebelumnya, mereka semua mungkin menganggapnya tidak bisa diandalkan.

 

Orang itu terus memohon kepada Sang Raja. Para penjaga Istana berusaha menariknya pergi, namun orang itu terlalu besar dan berotot sehingga mereka tidak bisa menahannya. Orang itu berteriak dengan putus asa ketika mereka mencoba memaksanya untuk mundur.

 

"Hngh....."

Teriakannya yang menderu membuat Hatsumi tersentak. Rasanya seperti orang itu berteriak langsung di dalam kepalanya. Teriakan itu bergema dan bergema di tengkoraknya seperti lonceng menara jam. Lalu Hatsumi melihat sesuatu. Sesuatu yang aneh.

 

"Apa...?"

Seolah-olah dirinya menderita vertigo, pandangan Hatsumi mulai berputar dan bergeser. Yang bisa dilihatnya sekarang hanyalah latar belakang abu-abu di tengah badai pasir hitam. Sebelum dirinya menyadarinya, Hatsumi kehilangan indera penglihatan sekelilingnya dan hanya bisa melihat apa yang ada di depannya. Rasanya seperti menonton televisi. Dan kemudian, tiba-tiba seperti yang terjadi, badai pasir menghilang seperti suara putih ketika seseorang mengganti saluran.

 

Namun keadaan belum kembali normal. Apa yang Hatsumi lihat selanjutnya bukanlah adegan emosional yang terjadi di ruang audiensi, namun apa yang tampak seperti semacam upacara pemakaman. Tidak bisa menggerakkan apapun kecuali matanya, yang bisa Hatsumi lakukan hanyalah menonton.

Pemakaman itu adalah pemakaman gaya barat, dan dihadiri oleh orang jepang dan orang asing. Mereka adalah kelompok yang besar dan beragam, namun semua orang berpakaian serba hitam. Mendiang akan sangat dirindukan, itu sudah pasti. Hatsumi hanya tidak tahu siapa orang itu.

 

Namun ada satu wajah yang dirinya kenali. Anak laki-laki yang membacakan sanjungan di hadapan kerumunan pelayat tampak seperti versi lebih tua dari anak laki-laki yang sering dilihatnya dalam mimpinya. Dan tampaknya kesedihan terbesar adalah milik anak laki-laki itu. Saat anak laki-laki itu berbicara, Hatsumi bisa mendengarnya mengatakan hal-hal seperti "Ayah" dan "Satu-satunya keluarga". Anak laki-laki itu pasti sedang dalam pergolakan kesedihan. Hampir tidak ada kata-kata untuk mengungkapkan penderitaannya karena menjadi sendirian di dunia pada usia yang begitu muda.

Namun meski begitu, anak laki-laki itu hanya melihat ke depan. Karena anak laki-laki itu akan berjalan sendirian mulai saat ini, dia tidak bisa menundukkan kepalanya. Anak laki-laki itu membaca sanjungan terhadap ayahnya itu, bahkan tanpa ada tanda-tanda akan membiarkan air mata atau kesedihan menghentikannya. Mata hitamnya yang tegas menatap ke kejauhan yang kelabu dan berawan. Kemudian saluran itu tiba-tiba berubah lagi dan Hatsumi melihat ruang tamu sebuah rumah. Anak laki-laki yang sama ada di sana, menggumamkan sesuatu dalam tidurnya.

 

"Aku..... harus terus maju untuk mewujudkan impian yang ayahku ajarkan kepadaku.... tanpa gagal. Jika aku berhenti, impian itu akan berakhir di sini. Itu sebabnya..... aku harus menyelamatkan mereka."

Mungkin itu sebabnya anak laki-laki itu tidak menunjukkan kelemahan sedikit pun saat semua orang berduka. Namun setelah secara tidak sadar menegaskan tekadnya, anak laki-laki itu dalam diam tertidur lelap. Pemakaman, kebaktian, pertemuan dengan semua orang yang datang untuk memberikan penghormatan..... semua itu pasti melelahkan. Namun sekarang, sambil menatap wajah anak laki-laki yang tertidur itu, Hatsumi bisa melihat setetes air mata mengalir di pipinya.

 

Apa penglihatan ini merupakan kilas balik dari salah satu ingatannya yang hilang? Layar pikirannya kembali ke badai pasir hitam sebentar sebelum kembali ke dunia nyata. Hatsumi sekali lagi bisa mendengar teriakan marah orang dari Larsheem itu, dan Hatsumi bisa melihat Weitzer berdiri di depannya. Adegan yang sama seperti sebelumnya.

"Ah....."

 

"Apa kamu baik-baik saja, Hatsumi? Apa ada yang salah?" Selphy bertanya.

 

"Y-Ya..... aku baik-baik saja."

Selphy tampak khawatir, kemungkinan besar karena Hatsumi terlihat linglung. Namun Hatsumi tahu berdasarkan percakapan Weitzer dengan orang itu kalau dirinya menyadari sesuatu. Namun hanya itu yang diperlukan. Dalam sepersekian detik, Hatsumi telah mengambil keputusan. Menjauh dari Selphy, dia berjalan ke arah Weitzer dan orang dari Larsheem itu.

 

"Aku akan pergi."

 

"Hah? Siapa kau ini?"

Orang itu tampak bingung melihat seorang gadis muda yang tiba-tiba memotong pembicaraan. Namun begitu pula Weitzer, yang secara tidak sengaja mengungkapkan identitasnya karena terkejut.

 

"Hero-dono?!"

 

"Tunggu, jadi kaulah Sang Hero itu?"

 

"Ya. Namaku Kuchiba Hatsumi, dan sepertinya aku adalah Hero yang dipanggil oleh Aliansi."

 

Mendengar itu, orang itu mencibir dan mendengus.

"Oh, ya? Kudengar Hero yang dipanggil adalah seorang pengecut yang tidak akan mengangkat tangannya melawan para iblis itu setelah dipanggil."

 

"Kau bajingan! Kau harus menjaga sopan santunmu di depan Sang Hero!" Weitzer segera menegurnya.

 

"Haa! Itu kenyataannya, bukan? Jika tidak, maka tidak mungkin dia hanya duduk diam di sini dan mengabaikan apa yang terjadi di luar sana."

 

"I-Itu.... ada keadaan untuk itu....."

Kata Weitzer, suaranya menciut.

 

"Ya, ya. Mereka menyebutnya sebagai pengecut."

Hal itu tidak dapat disangkal. Meskipun Hatsumi pernah menjadi korban kejadian yang sangat aneh, memang benar dirinya tidak melakukan apapun. Hatsumi hanya bersembunyi sambil menunggu basa-basi berakhir. Hal itu kebalikan dari apa yang dilakukan anak laki-laki dalam mimpinya itu. Anak laki-laki itu tetap mengangkat dagunya dan menatap masa depannya tepat di matanya, tidak peduli betapa suram atau menakutkannya itu. Jika anak laki-laki itu bisa melihatnya sekarang, anak laki-laki itu pastinya akan menyebutnya sebagai pengecut juga.

 

Hatsumi menatap orang dari Larsheem itu dan membalas tatapannya yang mengejek.

"Apa? Apa ada yang ingin kau katakan?"

 

"Aku akan pergi. Baik aku bisa bertarung atau tidak..... apa kamu ingin memastikannya sekarang?"

 

"Hatsumi?!"

 

"Hero-dono?!"

 

"Dasar bajingan kecil....."

Selphy dan Weitzer keduanya terlihat panik, namun orang itu memperlihatkan taringnya. Setelah datang ke sini langsung dari medan perang dan menemui Sang Raja, sepertinya dia bersiap untuk pergi.

 

Orang itu dengan paksa mengusir para penjaga Istana yang masih berusaha menahannya. Mereka bukanlah tandingannya, dan terlempar ke sana kemari. Hatsumi mulai berjalan ke arah mereka dengan kecepatan yang bagus.... dan dengan cekatan menghunus pedang yang tergantung di pinggang Weitzer. Dia kemudian mengambil posisi berdiri di depan orang dari Larsheem itu, ujung pedangnya mengarah ke atas ke arah matanya. Tampaknya hanya itu yang diperlukan untuk mengumpulkan pengetahuannya tentang gaya berpedangnya.

 

"Apa?! Pedangku sudah tidak ada—"

Hatsumi bisa mendengar reaksi Weitzer yang terlambat. Hanya setelah melihatnya berkedip di lampu mana di ruang audiensi, Weitzer menyadari pedangnya ada di tangan Hatsumi. Namun Weitzer masih tidak tahu bagaimana pedang itu bisa ada di sana.

 

Karena itu, tidak ada yang bisa Weitzer lakukan untuk menghentikannya. Orang di hadapannya, yang telah melihat semua itu terjadi dalam sekejap mata, juga sangat bingung. Melihat kalau orang itu tidak berniat mengambil posisi untuk melawannya, Hatsumi pun bergerak. Hatsumi menerjang dadanya, menutup jarak di antara mereka dalam sekejap. Orang itu hanya bisa menatap dengan mata melebar saat Hatsumi mendatanginya. Namun, pedang Hatsumi tidak mengenai orang itu. Pedangnya itu hanya membelah udara di sebelahnya. Tampaknya, meskipun Hatsumi awalnya mendekati dadanya, Hatsumi mengambil langkah ke kanan saat dirinya melompat.

 

"Apa ini cukup?" Hatsumi bertanya.

 

Orang itu mengertakkan giginya, kesal karena dia tidak bisa melihat gerakan itu.

"Kau bilang aku akan mati karena yang tadi itu? Seperti yang diharapkan dari seorang Hero, tapi—"

 

Apa orang itu mungkin mencoba menawarkan nasihat jujur ​​padanya? Orang itu tidak menyelesaikannya. Di tengah kalimatnya, ledakan besar terdengar di belakangnya. Tepat di atas bahunya, pilar-pilar batu yang menopang bendera hias di dekat pintu masuk ruang audiensi runtuh ke tanah. Sepertinya mereka terbelah dua. Melihat pilar-pilar itu hancur, nama teknik yang baru saja Hatsumi gunakan muncul di benaknya.

 

"Phantom Sword of Kurikara Dharani : Long Sword of Absolute Edge."

Semua orang di ruangan itu kehilangan kata-kata atas apa yang baru saja terjadi. Dua pilar batu—keduanya berada jauh di luar jangkauan Hatsumi—jatuh tanpa dirinya menyentuhnya. Rasa terkejut mereka dapat dimengerti.

 

"P-Pilarnya!"

 

"Mustahil! Hanya dengan satu ayunan itu....?!"

Hatsumi bisa mendengar ketidakpercayaan menjalar ke kerumunan. Hatsumi kemudian melontarkan pertanyaan santai pada penonton yang terkejut.... yang rupanya salah memahami apa yang baru saja terjadi.

 

"Mereka adalah monster yang harus aku kalahkan, benar?"

Saat itu, terdengar suara benda lain jatuh ke lantai. Ketika semua orang menoleh sekali lagi untuk melihat ke arah pilar, mereka sekarang melihat sosok aneh yang telah dipotong-potong. Makhluk itu jelek sekali, seperti makhluk keji yang berasal dari cerita fantasi—hanya saja makhluk itu sangat nyata. Makhluk itu memiliki tanduk, dan kulit serta darah yang mengalir keluar berwarna merah. Matanya yang putih dan mati dikembalikan ke tengkoraknya.

 

"Iblis?!" Seru Weitzer.

 

"Tidak kusangka ada mata-mata yang datang jauh-jauh ke sini....." Orang dari Larsheem itu berkata dengan pahit, kesal karena kelalaiannya sendiri.

 

"Kapan kamu menyadarinya, Hero-dono?"

Weitzer bertanya, menoleh ke Hatsumi.

 

"Segera setelah aku memegang pedang itu. Indramu juga dipertajam dengan pedang di tanganmu, bukan, Weitzer?"

 

"Itu benar, tapi....."

Meski begitu, hal itu sedikit ekstrim. Saat Weitzer menenangkan diri dari kebingungannya, Hatsumi menoleh ke orang dari Larsheem itu.

 

"Jadi, apa kamu masih belum puas dengan kemampuanku?"

 

".....Tidak. Sejujurnya aku kagum, Hero-sama. Aku tidak punya komentar untuk itu. Aku akan menarik kembali semua yang aku katakan sebelumnya."

Semua permusuhan yang orang itu bawa menghilang sambil menghela napas. Hatsumi kemudian kembali ke Weitzer, yang masih berdiri di sana dengan linglung. Hatsumi dengan hati-hati mengulurkan pedangnya pada Weitzer, dengan ekspresi menyesal di wajahnya.

 

"Maaf karena mengambilnya tanpa bertanya."

 

"Tidak, Hero-dono! Itu sama sekali tidak apa! Keahlianmu dalam menggunakannya sungguh luar biasa— Tidak, sangat agung! Aku benar-benar merasa rendah hati."

 

"Menyebutnya sebagai agung itu terlalu berlebihan...."

 

"Itu tidak benar! Untuk bisa memotong pilar batu sebesar itu dalam satu ayunan tanpa sihir.... prestasi seperti itu biasanya mustahil."

Weitzer sangat bersemangat, dan Hatsumi menjawab hampir tanpa berpikir.

 

"Apa yang kamu katakan itu? Seorang pengguna pedang yang hanya bisa memotong sesuatu dalam jangkauannya itu....."

 

"Oh?"

 

"Hah? Oh...!"

Sepertinya mulutnya bergerak sendiri. Hatsumi hampir tidak tahu apa yang dirinya katakan, jadi dia tutup mulut sebelum mengatakan apapun yang mungkin dirinya sesali. Namun, karena Hatsumi memotongnya sendiri di tengah kalimatnya, Weitzer memandangnya dengan rasa penasaran.

 

"Aa ada masalah?"

 

"T-Tidak, bukan apa-apa. Selain itu....."

Hatsumi sejenak mundur ke dalam kepalanya untuk merenungkan berbagai hal. Apa tidak apa-apa baginya untuk ikut serta dalam pertempuran ini? Apa ini pilihan yang tepat? Itu adalah pertanyaan yang sulit, namun kemudian dia teringat kata-kata anak laki-laki dalam mimpinya itu. Dia mendapatkan jawabannya.

 

"Di mana orang-orang yang perlu diselamatkan itu?"

Kata-kata Hatsumi yang berani bergema di seluruh ruang audiensi, memukau semua yang hadir hingga terdiam. Itulah awal pertarungan Kuchiba Hatsumi, gadis yang kehilangan ingatan masa lalunya.

 

Mengingat anak laki-laki dalam mimpinya itulah yang memberinya keberanian untuk melihat ke atas dan bergerak maju. Hatsumi harus melakukannya. Agar Hatsumi tetap bisa mengangkat kepalanya ketika dirinya akhirnya bertemu dengan anak laki-laki itu suatu hari nanti, Hatsumi harus mengikuti jejaknya. Hatsumi harus terus berjalan. Dan merenungkan hal itu sekarang, saat dirinya berbaring di tempat tidurnya setelah kejadian malam itu, Hatsumi sampai pada kesadaran tertentu.

 

"Begitu.... itulah yang dia katakan....."

Alasan anak laki-laki yang menyusup ke kamarnya membuat Hatsumi merasa nostalgia adalah karena anak laki-laki itu berbicara dengan cara yang sama seperti anak laki-laki dalam mimpinya.

 

★★★

 

Saat ini, Suimei dan yang lainnya sedang berkumpul untuk makan ringan di sebuah restoran yang mirip kedai teh, namun tidak semuanya hadir. Sejauh ini hanya Suimei, Felmenia, dan Lefille. Liliana terlambat dan belum sampai ke sana.

 

"Jadi, bagaimana denganmu, Menia?"

Suimei bertanya sambil menoleh ke Felmenia yang duduk di sebelahnya.

 

"Di sana..... tidak ada informasi yang sangat berguna."

Jawabnya lemah lembut.

 

"Sudah kuduga. Aku tidak benar-benar mengharapkan apapun muncul hanya dalam beberapa hari....."

 

Mendengar ini, Lefille mengerutkan alisnya dan ikut berbicara.

"Aku juga tidak mendengar apapun tentang pelanggar yang menyusup ke Istana. Mereka semua hanya berbicara tentang Hero, dan pembicaraan itu adalah sesuatu yang selalu sama."

 

Sehari setelah Suimei menyelinap ke Istana Calnus, dia meminta Felmenia dan yang lainnya membantunya mengumpulkan informasi tidak hanya mengenai Hatsumi, namun juga tentang berbagai hal di Miazen secara lebih umum. Untuk memastikan situasi Hatsumi, Suimei tahu dia harus menyelinap kembali ke Istana, namun dia ingin mendapatkan informasi sebanyak yang dirinya bisa sebelum itu.

Pada malam Suimei melihat Hatsumi, gadis itu menyebutkan kalau dirinya menderita amnesia. Jadi salah satu hal pertama yang Suimei coba selidiki adalah bagaimana hal itu bisa terjadi dan apa hal itu benar-benar amnesia. Sumei dan para gadis itu telah menghabiskan dua atau tiga hari untuk mencoba menyelidikinya, namun pada akhirnya, mereka tidak menemukan sesuatu yang berguna dalam pencarian mereka. Sepertinya ada perintah bungkam seputar informasi yang melibatkan Sang Hero. Setiap orang yang mereka ajak bicara tentang Sang Hero hanya akan mengatakan kalau Sang Hero itu cantik, berbakat menggunakan pedang, atau fakta umum lainnya; tidak ada satupun informasi yang berguna. Mendengar kalau Felmenia dan Lefille menemui jalan buntu yang sama dengannya, Suimei dengan lemas meletakkan dagunya di atas meja dan menghela napasnya.

 

"Tidak kusangka kita tidak akan mendapat apapun...."

 

"Ya. Biasanya setidaknya ada seseorang yang bergosip....."

Memang aneh sekali. Bagi masyarakat dunia ini, Hero bagaikan selebriti. Ada banyak ketertarikan terhadap mereka, dan dalam keadaan normal, orang-orang akan berteriak-teriak untuk mendapatkan informasi terbaru tentang Hero lokal mereka. Namun seperti yang dikatakan Felmenia, tidak ada gosip tentang Hatsumi.

 

Begitu pula dengan kabar penyusupan ke Istana. Tampaknya masalah ini dirahasiakan. Masyarakat kota tampaknya tidak terlalu bijak mengenai hal ini. Namun hal itu sudah diduga. Bagaimanapun, orang asing tidak hanya menyusup ke Istana, namun juga berhasil kabur. Tentunya pihak Istana tidak ingin kabar itu tersebar luas. Namun, bukan suatu kebetulan jika jumlah penjaga yang berpatroli di kota meningkat selama beberapa hari terakhir.

Saat Suimei dan para gadis itu sedang membicarakan semua ini, bel pintu kedai teh berbunyi. Mereka bertiga berbalik menuju pintu masuk, namun tidak ada seorang pun di sana. Setidaknya, tidak terlihat seperti itu. Namun tidak salah lagi ada kehadiran yang memasuki tempat itu. Saat mereka mencoba fokus pada hal itu, Liliana menarik kursi di meja dan duduk.

 

"Akhirnya kamu datang."

 

"Ya, tentu. Dan juga.... buku catatan yang kamu berikan padaku sangat berguna."

Emosi yang terlihat di wajah Liliana samar-samar, namun dia terkejut sekaligus terkesan. Sebelum mereka berpisah untuk mengumpulkan informasi, Suimei telah memberi mereka masing-masing buku catatan berisi kertas putih. Tampaknya buku itu berguna.

 

"Bagaimana dengan kalian bertiga?" Liliana bertanya.

 

"Aku gagal mendapatkan sesuatu yang berguna. Pada akhirnya, pencarian hari ini juga tidak membuahkan hasil."

 

"Sama denganku."

 

"Aku berhasil mengajak beberapa orang untuk berbicara denganku, tapi sebagian besar hanyalah rumor dengan kredibilitas buruk dan cerita yang didramatisasi secara tidak menentu. Mendapatkan informasi dari Church of Salvation adalah pilihan terakhirku, tapi sepertinya mereka juga tidak tahu apapun. Karena itu aku harus menyerah di sana."

Tidak ada seorang pun yang benar-benar ingin menunjukkan sesuatu untuk informasi itu sendiri. Kecuali Liliana. Sepertinya dia setidaknya merasakan sesuatu.

 

"Aku juga tidak mendengar terlalu banyak.... tapi aku mendapatkan sedikit sesuatu."

 

"Sungguh?" Tanya Suimei.

 

"Ya. Aku memiliki semuanya di sini."

Jawab Liliana sambil mengangguk.

 

Liliana kemudian mengeluarkan buku catatannya dan mulai menyampaikan apa yang telah dia dapatkan kepada teman-temannya itu.

"Tidak banyak informasi yang beredar di kota tentang Sang Hero, Hatsumi Kuchiba sepertinya kalian semua dapatkan secara langsung."

 

"Aneh, benar?" Suimei bertanya.

 

"Memang. Kurangnya informasi tentang Sang Hero ini benar-benar membingungkan. Mungkin saja warga mempunyai informasi namun enggan membagikannya. Tapi sangat tidak biasa jika Church of Salvation tidak mengetahui apapun. Secara umum, sebagian besar Sang Hero punya pendamping dari gereja. Paling tidak, mereka mempunyai kontak di dalam gereja tempat mereka melapor. Inilah sebabnya mengapa gereja mempunyai banyak informasi mengenai Para Hero dan prestasi mereka. Tapi ada pengecualian seperti Reiji. Dan aku yakin dalam kasus ini Keluarga Kerajaan Miazen memonopoli informasi tentang Hatsumi Kuchiba."

 

"Jadi, itu karena negara itu sendiri?"

 

"Kemungkinan besar mereka tidak ingin gereja ikut campur saat mereka menggunakan Hero untuk mendapatkan kejayaan secepat mungkin. Cukup transparan, bukan?"

Jika apa yang dikatakan Liliana benar, hal itu akan menjelaskan mengapa Felmenia, yang biasanya membawa informasi yang kuat, muncul dengan tangan kosong. Namun sebagai masalah yang benar-benar terpisah, Suimei mau tidak mau menyadari kalau Liliana berbicara lebih lancar dari biasanya hari ini. Biasanya dia berbicara dengan adanya jeda, namun mungkin hal itu normal ketika Liliana memberikan laporan yang berhubungan dengan tugasnya.

 

"Sekarang, beralih ke Hatsumi Kuchiba sendiri, sepertinya dia tidak bisa menggunakan sihir. Meskipun aku yakin Suimei sudah mengetahui hal ini, dia tampaknya cukup terampil menggunakan pedang. Gaya berpedangnya disebut.... Phantom Sword of Kuru-ri-ku-kara Dhara.... rarara?"

Mengalami kesulitan dalam menyebutkan kalimatnya, Liliana mengerutkan keningnya sambil memiringkan kepalanya dari sisi ke sisi.