Epilogue II: Man of Mirages
Saat berlari melewati Ibukota Kekaisaran di malam hari, Rogue Zandyke teringat pertama kali dirinya bertemu Liliana. Rogue pergi untuk menekan insiden yang terjadi di sebuah desa kecil. Saat itu, divisi intelijen tentara belum terbentuk. Rogue hanyalah seorang perwira di militer. Setelah mengetahui adanya ritual tidak menyenangkan yang terjadi di sebuah desa di bagian utara Kekaisaran, dia pergi bersama bawahannya untuk menyelidikinya.
Rogue tidak yakin apa sebenarnya yang dimaksud dengan ritual tersebut, namun setelahnya, sesosok makhluk tak menyenangkan muncul di sekitar dan banyak mayat anak-anak mulai bermunculan di sana-sini. Setelah menyelidiki desa-desa terdekat, mereka mengetahui kalau itu adalah tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap tahun, mereka akan mengorbankan anak-anak terkutuk kepada makhluk jahat yang berbeda dari Dewa Jahat Zekaraia.
Sesampainya di desa yang dimaksud, mereka sedang melakukan ritual. Lingkaran sihir berlumuran darah di semua tempat. Ritual tersebut melibatkan seluruh penduduk desa, dan mereka berkumpul di sekitar satu orang, mengeluarkan segala macam kata-kata kebencian dari mulut mereka.
Korban dari semua ini adalah Liliana yang masih kecil. Bahkan orang tuanya yang seharusnya penuh kasih sayang pun ikut bersorak. Mereka semua memperlakukannya seperti monster. Di kuil tempat ritual berlangsung, orang-orang mengerumuni gadis yang meringkuk dan gemetar itu. Rague masih ingat kilauan asli mata kanan gadis itu.
Ketika tentara mencoba menghentikan ritual tersebut, penduduk desa menyerang mereka. Mereka mengatakan jika ritual tersebut tidak dilakukan maka kejahatan akan menyerang desa tersebut. Sebelum ada yang menyadarinya, penduduk desa sudah kehilangan akal sehatnya. Mungkin itu adalah efek dari kegelapan Liliana. Rogue tidak tahu apa itu wajar atau tidak. Namun bagaimanapun juga, dia tidak tahan dengan apa yang mereka lakukan. Mengeroyok anak kecil untuk mengingkari kebahagiaannya tidak boleh dibiarkan terjadi. Itu bukanlah sesuatu yang boleh dilakukan oleh orang lain. Setelah menekan penduduk desa yang mengamuk, dukun yang menjadi pusat ritual meninggalkan beberapa kata peringatan terakhir untuk Rogue.
"Gadis itu adalah seorang anak dengan kemampuan alami untuk mengutuk orang lain.... pada akhirnya seluruh umat manusia akan dirugikan olehnya....."
Kalau dipikir-pikir lagi, kata-kata dukun itu mungkin merupakan kutukan ketika Rogue membawa Liliana bersamanya. Perkataan itu selalu muncul di benaknya. Jauh di lubuk hatinya, Rogue pasti juga menganggap Liliana sebagai orang yang terkutuk. Dan setelah caranya memperlakukannya, dia tidak lagi memiliki hak untuk berdiri di sisi gadis itu. Rogue menyesal harus melepaskannya, namun dia yakin jika dirinya menitipkannya pada pemuda yang selalu percaya padanya itu, gadis itu pasti bisa hidup bahagia.
Pemuda itu telah memberitahunya kalau meskipun dia tidak memiliki hubungan darah, jika dia menganggap dirinya ayahnya, dia seharusnya bertindak seperti itu sampai akhir. Dia harus percaya pada keluarganya sendiri. Itulah sumber kemarahan pemuda itu. Namun Rogue belum bisa mempercayainya. Sepenuhnya hanya terjebak dalam apa yang terjadi, dia meninggalkan gadis yang pernah dirinya selamatkan dengan tangannya sendiri.
"........."
Saat Rogue melihat kembali ke tempat dirinya lari, suara Liliana terdengar di kepalanya.
"Kolonel, kenapa kamu selalu..... melakukan pekerjaan yang menyakitkan?"
Kalau dipikir-pikir, Liliana mungkin selalu bersimpati dengannya.
"Kolonel, jika aku menjadi tentara..... apa aku akan berguna bagimu?"
Ketika Rogue memikirkannya, Liliana mungkin dengan sepenuh hati ingin membantu dirinya.
"Kolonel, mengapa para bangsawan..... begitu membencimu?"
Memang, ketika Rogue memikirkannya, semua yang gadis itu tanyakan selalu karena kepeduliannya.
Rogue dikucilkan oleh para bangsawan. Dia mengetahui hal itu dan mengetahui betapa sulitnya dirinya mengalaminya. Liliana adalah anak yang cerdas. Pasti itulah sebabnya gadis itu mencoba menyelamatkannya. Itu menggelikan. Memikirkan kalau gadis itu hanya akan memahami perhatian dan kesedihannya setelah sekian lama..... itulah sebabnya Rogue tidak punya hak untuk menyebut dirinya ayahnya.
Dan Rogue tidak lagi punya ruang untuk mengkritiknya. Tentunya, pancaran terang benderang bintang-bintang jatuh telah menghanyutkan segalanya. Namun itu belum berakhir. Dia masih memiliki sesuatu yang harus dirinya lakukan. Jika Liliana ingin hidup dalam ketenangan dan kedamaian, sumber kejahatan yang dikenal sebagai kaum bangsawan harus diberantas. Bahkan jika pemuda itu bersamanya, semacam balasan pasti akan menanti mereka. Jadi, sebagai orang yang mendorong Liliana melakukan kekerasan seperti itu, dia harus mengambil tindakan. Sambil menyimpan pemikiran itu di dalam hatinya, dia diam-diam menatap ke langit.
"Meskipun aku punya keinginan, itu tidak berjalan sesuai keinginanku....."
Mengapa dunia ini begitu keras hanya bagi mereka yang lemah? Itu hanya memberikan rasa sakit kepada mereka yang hidup dengan baik dan mencuri kebahagiaan mereka. Saat Rogue mengalihkan pertanyaan-pertanyaan ini ke langit, tidak ada tanda-tanda jawaban akan kembali padanya. Tidak, yang dirinya dengar adalah suara asing.
"Salah satu dari Seven Sword dan seorang kolonel dari Divisi Intelijen Tentara Kekaisaran.... Rogue Zandyke-dono, benar?"
Rogue menurunkan pandangannya. Seorang muncul di jalan di depannya. Dengan rambut panjang berwarna ungu muda, orang itu memiliki kesan sementara pada dirinya. Pakaiannya juga asing bagi Rogue, namun dia tahu itu mahal dan elegan. Orang itu cukup kurus, namun bahkan di balik pakaiannya yang terlihat seperti pakaian adat bangsawan suatu negara, Rogue bisa merasakan kalau tubuhnya terlatih. Saat Rogue menatap tajam ke arah orang di hadapannya, orang itu melemparkan kembali pertanyaan tanpa konteks.
"Apa pendapatmu tentang dunia ini?"
Tidak mengetahui apa niat orang ini menanyakan hal seperti itu, Rogue kembali dengan pertanyaannya sendiri.
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau juga berpikir kalau cara hidup dunia ini tidak masuk akal?"
"......."
Merasa pikiran terdalam di lubuk hatinya telah terungkap, tubuh Rogue menegang sesaat. Namun, dia dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya dan menganggap kata-kata orang itu sebagai omong kosong.
"Tidak mungkin aku mengeluh tentang dunia yang diciptakan Dewi Alshuna."
"Itu bohong."
"Apa yang membuatmu mengatakan itu?"
Rogue melontarkan pertanyaan lain pada orang yang wajahnya mengatakan dirinya tahu segalanya. Dan saat orang itu menjawab, ekspresinya tidak berubah.
"Tidak? Jika itu bukan sebuah kebohongan, maka saat-saat ketika kau memikirkan putrimu saat kau memohon kepada Dewi dalam doa setiap hari agar permohonan yang tidak pernah terkabul akan berakhir menjadi sebuah kebohongan."
"Jadi, kau tahu tentang itu....."
Terkejut dengan dugaan orang itu, tanpa disadari Rogue akhirnya mengakui apa yang dia katakan. Itu benar. Rogue berdoa agar tubuh Liliana yang digerogoti agar disembuhkan oleh Dewi. Setiap pagi, tanpa henti, dia pergi ke Church of Salvation. Namun, berapa kali pun doa yang dipanjatkannya, tidak pernah dikabulkan.
"Meskipun mungkin lancang, aku yakin aku memahami perasaanmu terhadap dunia ini."
Kata orang itu, sambil mengarahkan mata abu-abunya yang dingin ke arah Rogue.
"Miniatur taman yang dibuat oleh Dewi ini dibuat tidak rasional. Bukankah itu sebabnya para iblis itu ada? Bagaimanapun, keberadaan Dewi itu sendiri adalah sekelompok irasionalitas."
Di dunia ini di mana Dewi dipuja sebagai segala sesuatu yang berbudi luhur, orang ini menunjukkan penghinaan terhadapnya tanpa sedikit pun keraguan. Dia pasti punya alasan untuk menyatakan semua ini dengan keras, meskipun faktanya jika ada yang mendengarnya, dia akan langsung dianggap sesat.
"Zandyke-dono, aku ingin kau meminjamkan kekuatanmu kepada kami."
"Apa yang ingin kau lakukan dengan kekuatanku?"
"Kau pastinya tahu itu. Jika Dewi menyebarkan irasionalitas, kami akan melawannya dan mengubah dunia ini."
Kata-kata yang keluar dari mulut orang itu mirip dengan rencana untuk merebut dewa. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tercengang. Hal itu termasuk Rogue. Suaranya saat dia menanyai orang itu dipenuhi dengan kebingungan.
"Konyol. Apa kau bermaksud membunuh Dewi? Itu tidak mungkin."
"Aku bermaksud melakukannya. Dan untuk itu, aku membutuhkan bantuanmu."
Rogue menatap orang di depannya. Orang itu muncul, berbicara buruk tentang Dewi, dan sekarang meminta bantuannya. Rogue merasa orang itu tampak sekuat batu dalam keyakinannya. Orang itu akan mengubah dunia ini. Orang itu akan memperbaiki ketidakrasionalannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang memperjelas kalau orang itu bukan sekadar penipu.
Saat ini, Rogue tidak punya tempat tujuan dan tidak ada yang menunggunya. Dia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan dirinya lakukan setelah selesai melakukan apa yang harus dilakukan. Namun, apa yang orang ini sarankan, untuk menguraikan apa yang menyebabkan Rogue meratap dalam kesedihan, mungkin bukan ide yang buruk untuk dilakukan. Bersiap untuk memberikan anggukan pada orang itu, Rogue mulai berbicara.
"Lalu ada satu hal yang ingin aku tanyakan."
"Katakanlah."
"Ini tentang putriku. Saat ini, ada ancaman terhadapnya yang harus dihilangkan. Aku ingin itu dihapus sesegera mungkin. Jika itu bisa selesai, aku akan meminjamkanmu kekuatanku."
Rogue menyampaikan syaratnya. Dia tahu itu adalah permintaan yang tidak masuk akal, namun jika orang ini memiliki kekuatan untuk menentang dewa, maka permintaan seperti itu akan menjadi sederhana. Itu akan membuktikan kalau semua pembicaraannya bukan sekedar pembicaraan. Jadi, permintaan Rogue adalah sebuah test. Namun, orang itu mengangguk tanpa ragu sedikit pun.
"Aku telah mendengar keinginanmu. Besok pagi, semua orang yang menghindari Liliana Zandyke akan menghilang dari Ibukota Kekaisaran ini." Katanya.
Rogue tidak tahu apa yang mendukung kepercayaan diri orang itu, namun Rogue akan mengetahuinya keesokan paginya. Memikirkan hal ini, Rogue menyadari masih ada sesuatu yang belum dirinya tanyakan.
"Aku minta maaf, tapi satu ada satu hal lagi."
"Apa itu?"
"Aku tidak tahu siapa nama orang yang akan aku pinjamkan kekuatanku ini."
Mendengar ini, senyuman tiba-tiba muncul di wajah orang itu. Apa itu kebahagiaan yang sederhana? Atau mungkin orang itu benar-benar bahagia di lubuk hatinya? Rogue tidak bisa memahami nuansa ekspresinya, namun orang itu menjawabnya dengan tenang.
"Namaku Gottfried. Silakan panggil aku dengan itu."
Setelah itu, orang itu—Gottfried—berbalik untuk pergi.