Chapter 2 : The Happy Dream Was Certainly in This Place
Gadis itu bisa mendengar sebuah suara. Suara muda.
"Lenyap, lenyap...."
Suara itu berteriak penolakan. Suara itu membawa keputusasaan yang ditujukan pada seluruh dunia dan segala isinya.
Terpikat oleh kesedihan yang menggema, gadis itu membuka matanya dan melihat ke depan. Di sana dia melihat sosok-sosok samar, seolah tertutup kabut panas.
"Terbakar. Dipukuli."
Ada sosok kecil yang menyiksanya dengan kata-kata. Sosok kecil itu memiliki ciri-ciri yang dapat dikenali. Wajah muda itu selalu dingin. Untuk menyembunyikan rasa takut yang mereka simpan jauh di dalam hati mereka, mereka tampil berani. Namun wajah yang sama itu kini menitikkan air mata. Mata mereka dilanda kesedihan dan kesakitan yang meluap-luap.
Apa dia diserang? Apa dia yang melakukan penyerangan...? Tidak, dialah yang diserang. Disalahgunakan seperti serangga. Dicemooh dan diinjak begitu saja hingga dia menjadi sosok yang menyedihkan. Jika gadis ini dimaksudkan untuk membalas dendam, apa tujuannya? Bukankah mustahil untuk menebus orang-orang jahat yang menyebarkan kekejaman? Namun, baik suara teriakan maupun suara rasa ingin tahu, yang ditahan seperti bendungan, tidak keluar dari mulutnya sendiri.
Terus seperti itu, sambil hanya melihat bayangan, ratapan sosok kecil itu berakhir. Tak lama kemudian, gadis itu mulai gemetar, dan sosok itu menjadi hitam seluruhnya. Seiring dengan gelembung hitam yang naik ke permukaan, penghitaman itu meluas. Apa yang tidak bisa diterima.... akhirnya diterima? Saat ukurannya membengkak hingga bentuk aslinya hanyalah bayangan dari dirinya saat ini, gelembung itu mulai menelan segala sesuatu di sekitarnya. Mana yang tersebar di area tersebut, sosok yang menyiksa gadis itu, bahkan bangunannya—semuanya menjadi massa hitam dan membengkak tanpa henti. Gelembung itu bertujuan untuk menghancurkan penduduk kota.
Apa yang dia dengar saat itu adalah suara kesedihan.
"Mengapa? Mengapa?"
Dia bertanya berulang kali dengan marah karena dia putus asa dengan jawaban yang tidak pernah datang.
"Mengapa hanya aku? Mengapa aku berakhir menjadi seperti ini?"
Dia mempertanyakan surga di mana keberadaan tertinggi seharusnya berada. Dia hanya menginginkan sebuah jawaban, meski tidak lagi bisa kembali ke wujud aslinya. Dia hanya ingin mengisi kekosongan jauh di dalam dadanya.
Suara tangisan masih terdengar di telinganya. Suara dari hatinya, yang sangat ingin diselamatkan, berubah menjadi suara kebencian. Mengapa tidak ada yang menyelamatkannya? Mengapa keputusasaan yang disebabkan oleh keterasingan karena tidak adanya satu orang pun yang dapat diandalkan harus ada di dunia ini?
Meski hanya sekedar suara tangis, suara tangisnya masih terdengar.
Itu sebabnya.... itu tidak bisa dimaafkan.
Meski begitu, memang benar ada orang-orang yang tidak bisa diselamatkan.
Itu sebabnya.... dia harus memberontak melawannya.
Meski begitu, angin yang bertiup di hatinya tidak akan pernah berhenti.
Itu sebabnya.... dia bisa mendengar suara itu.
"Bangun." Katanya.
"Bangun dan pergi dan raih apa yang harus kamu lakukan."
Suara godaan itu berbisik erat ke telinganya.
Itu adalah sebuah kutukan. Sebuah kutukan yang lahir dari rasa sakit pada ayah dan ibunya yang pasti tidak akan pernah lepas hingga hari kematiannya.
★★★
Setelah berhasil melarikan diri dari plaza selatan, Felmenia, yang waspada terhadap pengejar mana pun, mengubah rute pelariannya dari jalan utama ke gang. Tidak lama kemudian, dia bergegas menyusuri gang yang merupakan rumah kediaman Yakagi. Sesampainya di sana, setelah menyingkirkan beberapa kursi, dia membaringkan Suimei di atas meja yang terletak di luar. Saat dia melakukannya, Lefille—yang dengan cemas menunggu di luar untuk kepulangan mereka—bergegas mendekat dengan wajah pucat.
"F-Felmenia-san! Apa yang telah terjadi?!"
Lefille memandang Suimei dan Felmenia dengan panik. Felmenia melanjutkan menjelaskan apa yang terjadi di plaza selatan dengan ekspresi gelisah di wajahnya. Tentang bagaimana Elliot juga ada di sana. Tentang bagaimana Graziella memerintahkan mereka untuk mencari pelakunya. Dan tentang bagaimana Suimei bertarung dengan Graziella dalam pertarungan magicka untuk mencoba menghindarinya. Setelah mendapatkan inti permasalahan dari Felmenia, Lefille mengerang dengan wajah muram.
"Bahkan bagi Suimei-kun, melawan Putri Graziella dengan lukanya yang cukup parah itu...."
"Aku merasa malu setelah menyuruhmu menyerahkan semuanya kepadaku. Aku benar-benar tidak bisa menghentikan pertarungan Suimei-dono dan Yang Mulia Graziella. Aku hanya bisa melarikan diri....."
"Tidak, dengan Putri Graziella sebagai lawan, kamu berhasil melarikan diri sambil membawa satu orang. Itu adalah prestasi yang hanya bisa kamu capai, Felmenia-san. Tapi Graziella sialan itu.... dia benar-benar hanya melakukan apapun yang dia mau."
Apa perubahan nada suaranya karena marah? Lefille menatap ke kejauhan seolah-olah menatap Putri Kekaisaran itu, dan menggenggam tinjunya dengan kuat.
"Lefille?"
".....Hmm? Oh, bukan apa-apa. Kesampingkan itu, Felmenia-san, bagaimana keadaan Suimei-kun?"
"Kalau luka luarnya, sepertinya tidak ada yang seburuk itu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perluasan dan pengurangan mana dalam sekejap. Meskipun....."
"Dia sangat kesakitan."
Suimei, yang sedang berbaring di atas meja, memejamkan mata dan mengerang kesakitan. Sepertinya Suimei mengalami mimpi buruk.
"Gejalanya tidak tampak serius, jadi aku yakin dia akan baik-baik saja....."
"Meski begitu, tidak ada yang bisa dilakukan selain membiarkannya istirahat, ya?"
Selama pertukaran ini, Lefille tiba-tiba merasakan kehadiran di pintu masuk gang. Kehadiran itu mungkin seorang pengejar. Menyadari firasat buruk ini, dia mengeluarkan suara keras yang mengancam saat dirinya menanyakan identitas mereka.
"Siapa di sana?!"
Mungkin karena kehadirannya dikejutkan oleh suaranya, bayangan yang hampir tidak bisa dilihat Lefille melonjak sedikit. Dan kemudian, melangkah dari gang.....
"Ini.... sepertinya aku mengejutkanmu."
Orang yang muncul dengan nada meminta maaf adalah pegawai Elf dari Perpustakaan Universitas Imperial, Romeon. Felmenia, yang pernah bertemu dengannya sebelumnya, memanggilnya ketika dirinya mengenalinya.
"Kalau aku tidak salah, bukankah kamu pustakawan itu? Apa yang membawamu ke sini?"
"Aku kebetulan melihat kalian sekilas di jalanan. Kamu membawa Yakagi-kun, Stingray-san, jadi kupikir mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan pelakunya dan aku datang ke sini karena khawatir."
"Benarkah itu...?"
Romeon, yang berjalan setengah jalan menuju Felmenia dan yang lainnya, lalu menanyai mereka tentang masalah tersebut.
"Sepertinya Yakagi-kun kehilangan kesadaran, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Dia bertarung dengan Yang Mulia Graziella di plaza selatan, dan, um...."
"Ya ampun, Geo Malifex itu? Kenapa dia melakukan hal semacam itu....?"
Saat keterkejutan Romeon terlihat di wajahnya, Suimei tampak terbangun dan mengangkat kepalanya dari meja sambil masih berbaring.
"Suimei-kun!"
"Akhirnya kamu bangun!"
Saat Felmenia dan Lefille bersuara gembira, Suimei, yang masih linglung karena pingsan, melihat sekelilingnya untuk memahami situasi saat ini.
"Urgh.... kita ada di rumah?"
"Ya, kita sekarang berada di depan rumah. Aku datang ke sini terburu-buru, dan tidak banyak waktu berlalu sejak itu."
Saat Felmenia memberikan laporan singkat, Suimei sekali lagi menunjukkan rasa terima kasihnya.
"Aah, maaf karena itu. Kamu sudah membawaku ke sini, benar? Terima kas—eh? Tuan Pustakawan, kamu ada di sini juga....?"
"Ya. Aku tiba beberapa saat yang lalu. Aku melihat kalian berdua di jalan dan mengikuti kalian karena khawatir."
"Begitu ya...."
Suimei menjawab dengan ekspresi kaku. Saat dia melakukannya, Romeon berbalik ke arahnya.
"Yakagi-kun, sepertinya tubuhmu dalam kondisi yang sangat buruk. Apa kamu keberatan jika aku melihatmu?"
Romeon menceritakan pengalamannya sebagai dokter sihir, dan dia menatap Suimei dengan ekspresi serius.
"Aku akan baik-baik saja. Lagi pula, aku paling memahami tubuhku sendiri. Aku hanya pingsan karena aku mengeluarkan terlalu banyak mana sekaligus."
"Benarkah begitu....?"
Suimei dengan sopan menolak tawaran Romeon dan bangkit. Dia kemudian mulai berjalan menuju pintu keluar gang, dan Lefille memanggilnya dengan panik.
"Suimei-kun, mau ke mana kamu?!"
"Aku akan mencari Liliana. Sekarang mereka sedang mencarinya dengan serius, aku harus menemukannya dengan cepat."
"S-Suimei-dono? Menurutku itu bukanlah sesuatu yang seharusnya kamu katakan dalam situasimu ini....."
Melihat kedua gadis yang berusaha meyakinkannya untuk tidak melakukan tugas yang tidak masuk akal ini, Romeon berbicara dengan nada ragu.
"Mungkinkah.... kamu bermaksud mencari pelaku di balik insiden koma itu?"
".....Ya."
"Yakagi-kun, hentikan ini. Apa yang ingin kamu lakukan dengan tubuhmu yang dalam kondisi seperti itu? Saat ini, kamu hanya akan melakukan sesuatu yang terlalu sembrono. Sampai kamu benar-benar sembuh, akan lebih baik jika kamu menunda pencarianmu itu."
"........."
Suimei terdiam setelah mendengar keberatan Romeon. Dari belakangnya, Felmenia dan Lefille dengan cepat bergabung untuk mencoba memanggilnya.
"Seperti yang dikatakan Romeon-dono, Suimei-dono. Kumohon tahanlah dirimu sendiri."
"Itu benar, Suimei-kun. Mereka berdua benar. Kamu tidak boleh bertindak gegabah."
".....Aku mengerti."
Diyakinkan oleh mereka bertiga, Suimei menyerah dan duduk di kursi, menghadap ke arah mereka. Melihat ini, Romeon dengan cemas memanggilnya.
"......Kalau begitu aku pergi, Yakagi-kun. Tolong jangan melakukan sesuatu yang gegabah."
Suimei mengangkat tangannya melambai untuk menjawab sambil tetap menghadap jauh dari kelompok. Romeon kemudian membungkuk kepada Felmenia dan Lefille, dan kembali ke jalan utama. Setelah beberapa saat....
".....Apa dia sudah pergi?"
Suimei menoleh dan bertanya pada Felmenia tentang keberadaan Romeon. Dia melakukannya dengan nada yang sangat rendah. Melihat tatapan tajamnya itu, Felmenia dengan ringan menoleh untuk melihat ke jalan.
"Heh? Ya, Romeon-dono sudah pergi."
"Aku mengerti."
Suimei berdiri dari kursi setelah mendengar jawaban Felmenia, meskipun sepertinya dia tidak akan masuk ke dalam rumah. Memahami nuansa perilakunya, Felmenia memasang ekspresi tegas padanya.
"Suimei-dono, kamu tidak boleh pergi....."
"S-Suimei-kun! Bukankah kami baru saja memberitahumu untuk tidak pergi?"
"Aku akan istirahat sebentar. Tapi sungguh, jika kita tidak mengambil tindakan sekarang, segalanya mungkin akan menjadi sangat rumit."
"Mengapa harus sekarang? Mengapa kamu terburu-buru? Ini tidak seperti dirimu."
"Ya, aku sedang terburu-buru. Jika itu hanya perempuan berbahaya itu, itu akan tetap baik-baik saja. Tapi mungkin ada yang lebih dari itu yang terjadi. Maaf, tapi aku harus meminta kalian berdua untuk berpencar dan mencari Liliana juga. Tolong."
Ada nada mendesak dalam suaranya.... Suimei berbicara seolah-olah dia dengan sopan mencoba mengajukan permintaan yang terdengar aneh. Mendengar Suimei berbicara seperti itu, Lefille menghela napasnya.
"Hahh....."
"Kamu tidak mau melakukannya?"
"Bukan karena itu. Tapi—"
"Suimei-dono, bagaimana aku harus bilangnya....? Apa yang kamu katakan itu aneh. Saat kembali ke Istana Kerajaan, kamu bilang kalau kamu tidak ingin terlibat dalam bahaya apapun. Tapi sekarang di sini, di Ibukota Kekaisaran, kamu mengejarnya atas kemauanmu sendiri."
Suara Felmenia saat dirinya mengatakan semua itu dengan takjub bercampur dengan helaan napas ringan. Pendapatnya sejalan dengan pendapat Lefille. Dan karena kurangnya kebajikannya, Suimei meringis lemah.
"A-Aku mengerti itu..... tapi ini tentang memilih pertarunganku, kalian tahu? Sama seperti orang lain, ada saat-saat yang harus aku lewati, dan ada saat-saat di mana aku harus mengambil tindakan."
"Itu memang benar, tapi tetap saja...."
"Bagiku, ini adalah salah satu saat-saat seperti itu. Itulah sebabnya aku harus pergi."
Mendengar ini, Lefille mengerutkan keningnya dan menambahkan tanggapannya dengan jujur.
"Yah, aku mengerti kalau ada saatnya kamu harus melakukan apa yang harus kamu lakukan, Suimei-kun. Tapi nanti akan ada omelan lagi."
"Aw, ayolah, Lefi. Tolong jangan omeli aku lagi."
"Tidak. Tidaklah cukup hanya melihat ke depan. Aku pikir akan lebih baik jika kita mendiskusikannya bersama-sama."
"Aku mengerti. Aku akan memberi kalian waktu sebanyak yang kalian mau setelahnya. Setidaknya beri aku sebanyak itu.... bagaimana?"
Suimei sekali lagi mengajukan permintaan itu kepada mereka, dan Lefille mengambil sikap tegas kali ini.
"Dengan syarat kamu tidak akan bertindak sembarangan sampai tubuhmu sembuh."
"Oke. Diterima."
Felmenia kemudian menatap Suimei dengan sungguh-sungguh dan mengutarakan pikirannya juga.
"Aku akan dengan senang hati memberikan bantuanku."
"Terima kasih dan maaf. Kamu sangat membantu Menia."
Setelah menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Felmenia, Suimei mulai merawat lukanya dengan sihir penyembuh. Saat dia menyentuhkan tangannya ke area yang terkena dampak, cahaya hijau pucat bisa terlihat. Partikel cahaya dan kabut hijau membubung ke udara. Seolah tiba-tiba teringat sesuatu, Suimei menoleh ke arah Felmenia.
"Kalau dipikir-pikir, Menia, sebelumnya kamu waspada terhadap pengejar, tapi kamu tidak menyadari kalau pustakawan itu sedang membuntutimu?"
"Heeh? Oh, tidak. Aku tidak menyadarinya sama sekali sampai Lefille menyadarinya."
"Aku juga baru menyadarinya setelah dia cukup dekat untuk aku lihat."
"Begitu ya..."
Mendengar ini, Suimei tenggelam dalam pikirannya seolah sedang memikirkan sesuatu dengan cukup serius. Melihat ini, Lefille memanggilnya.
"Suimei-kun, apa maksudmu tadi ketika kamu mengatakan akan baik-baik saja jika hanya Graziella yang terlibat dalam hal ini?"
"Maksudku, mungkin saja ada orang lain yang mengambil tindakan. Tapi aku belum punya buktinya."
"Siapa itu? Apa itu pelakunya?"
"Aku akan menjelaskannya saat aku lebih yakin dengan apa yang terjadi. Maaf, tapi harap tunggu sampai saat itu."
Setelah Suimei menyembuhkan dirinya sendiri, dia segera bangkit dan berjalan sekali lagi menuju pintu keluar gang.
★★★
Ibukota Kekaisaran Filas Philia awalnya dibangun untuk berfungsi sebagai kota benteng. Oleh karena itu, strukturnya cukup rumit. Kota ini dibagi menjadi beberapa distrik dengan menggunakan konsep kompartementalisasi, dan sekilas tampak seperti tata ruang yang tertata dengan baik. Namun jika dilihat lebih dekat, kota ini adalah labirin gang dan jalan buntu yang rumit. Tanpa pemahaman yang kuat tentang desainnya, penyerangan tidak akan mudah dilakukan. Perangkap kuno, jalan buntu yang tidak mempertimbangkan rumah-rumah di dekatnya, saluran air tua, dan pengalihan berbahaya lainnya dan sejenisnya telah dibiarkan begitu saja dalam waktu yang sangat lama.
Ini adalah sebuah pengaturan yang meresahkan baik orang asing maupun penduduk lokal. Benteng yang mengelilingi kota itu tinggi, dan pintu keluarnya terletak di ujung utara dan selatan. Jalur masuk dan keluar kota sangat dibatasi pada malam hari. Setiap distrik memiliki kantor polisi militer. Dilihat dari sudut pandang lain, bisa dikatakan semuanya adalah penjara.
Dan semua ini juga menyusahkan gadis yang terpaksa melarikan diri tanpa terlihat sampai akhir.
Berapa lama waktu telah berlalu sejak gadis itu mengenakan jubah hitamnya dan menyembunyikan dirinya dari pandangan publik? Berkat poster buronan yang tersebar, Liliana terus melarikan diri terlepas dari apa itu siang atau malam melalui jalanan Filas Philia yang seperti labirin itu. Dia menjalani hari-hari tak terduga ini dengan hampir tidak tidur dan mengabaikan kondisi sisa mananya.
Untuk menavigasi labirin gang yang disebutkan di atas, perlu hati-hati memilih rutenya. Tidak bisa pungkiri jika dia sembarangan keluar ke jalan-jalan utama yang besar. Bukan hanya polisi militer dan tentara yang berkeliaran yang harus dia khawatirkan. Bahkan warga pun membicarakannya dan mengawasinya sekarang. Jika dia mendengarkan dengan cermat di sudut jalan mana pun, dia dapat mendengar para warga itu berbicara.
"Senjata manusia itu adalah penyebab dari insiden koma ini."
"Dia buronan di Ibukota Kekaisaran ini."
"Dia mungkin sedang mengamuk di tengah kota sekarang."
Dengan banyaknya orang yang mengetahui tentangnya, jubah hitamnya tidak akan cukup untuk menyembunyikannya.
"........."
Liliana mengingat apa yang terjadi sampai sekarang ketika dirinya melihat ke langit yang mendung. Tentang bagaimana dia menyerang para bangsawan yang bertujuan untuk menjatuhkan Rogue, tentang bagaimana dia bertarung dengan Suimei Yakagi, dan tentang bagaimana dia pada akhirnya mematuhi bayangan tinggi malam itu.... apa itu benar-benar pilihan yang tepat? Antara rasa takut tertangkap dan kegelisahan karena tidak mencapai tujuannya, dia mengabaikan kebaikan Suimei Yakagi dan melarikan diri.
Memang benar, Liliana memiliki sesuatu yang harus dirinya capai. Dia harus melindungi apa yang mengancam orang yang paling berharga baginya. Namun jika Liliana mengakui kejahatannya, mengesampingkan sihir kegelapannya, dan berteman dengan Suimei, mungkin saja dia bisa kembali ke jalan yang benar. Pikiran seperti itu terlintas di kepalanya.
Malam itu, Suimei bertanya apa dia benar-benar baik-baik saja dengan apa yang dia lakukan sambil terus menggunakan sihir kegelapannya. Suimei ingin dia keluar dari jalan itu. Mereka hampir tidak pernah berbicara, namun setiap kali mereka berbicara, Liliana menolaknya demi dirinya sendiri. Namun Suimei telah mendorongnya keluar dari sihir kegelapannya sendiri dan menanggung kerugiannya. Ketika Liliana memikirkannya kembali, sampai saat ini, Liliana belum pernah mengenal orang seperti apa Suimei itu. Bahkan ketika kekuatan kegelapannya mengamuk, Suimei mengabaikan keselamatannya sendiri untuk menyelamatkannya. Dan kemudian Suimei tersenyum.
Itu adalah pertama kalinya ada orang yang tersenyum padanya. Itu sebabnya, saat Liliana mengingat tangan yang diulurkan padanya, kepanikan yang tak terlukiskan mencengkeramnya. Rasa rindu akan kampung halaman yang belum pernah dirinya ketahui menyayat hatinya. Karena itu mungkin yang terakhir kalinya juga. Kebaikan pertama dan terakhir yang pernah ditunjukkan padanya.
"Suimei Yakagi....."
Tanpa sadar, namanya terucap dari bibir gadis itu. Mungkin saja dia berdoa agar laki-laki itu muncul, atau tanda dari perasaannya yang sebenarnya. Dia tahu, kerinduan yang datang terlambat ini adalah sebuah penyesalan. Namun dia tetap berdoa.
"Bertarunglah, Liliana. Jika kau terus melakukannya, tergantung situasinya, kau akan tetap dibutuhkan."
"Hngh...."
Kata-kata yang pernah Liliana dengar dari bayangan tinggi itu menyiksa hatinya dan mengutuknya. Bertarung. Jika tidak, dia akan kehilangan tempatnya di dunia ini. Tidak ada yang membutuhkannya. Tidak ada arti penting dalam hidupnya selain kemampuannya untuk menyakiti orang lain. Dia harus kuat. Dia tidak bisa menghilangkan suara itu. Berjongkok dan bersandar di dinding batu sebuah bangunan, tak lama kemudian, kebimbangan hatinya terhenti. Kerinduan dan rasa sakit yang mencekamnya selama ini telah sirna entah ke mana.
"Aku.... demi kolonel....."
Dia harus bertarung. Aeperti yang dikatakan bayangan tinggi itu. Dia yang memiliki kekuatan kegelapan tidak akan pernah diterima oleh siapapun. Itu memang benar, sejak dia dilahirkan. Dia telah dikucilkan oleh semua orang. Hal itu tidak hanya terbatas pada orang-orang di desa tempat dirinya tinggal. Bahkan ibu dan ayahnya selalu memandangnya seolah dia adalah sesuatu yang menjijikkan.
Setelah datang ke Ibukota Kekaisaran, tidak ada yang berubah. Tidak peduli jalan mana yang dia lewati, orang-orang masih memandangnya dengan cara yang sama penuh kebencian. Suimei Yakagi sendirilah yang berbeda. Tindakan mengulurkan tangan padanya pasti merupakan tindakan untuk membuatnya lengah. Bagaimanapun, Suimei berusaha menangkap pelaku di balik insiden koma tersebut. Itu sebabnya Liliana harus bertarung. Demi melindungi satu-satunya orang yang pernah memberinya tujuan—Rogue.
Masih belum ada tanda-tanda bayangan tinggi itu mencoba melakukan kontak dengannya. Setelah mendesaknya untuk melarikan diri, dia tidak menerima komunikasi lebih lanjut. Bayangan tinggi itu mungkin akan melepaskannya. Namun ketika pikiran itu terlintas di benaknya, dia tidak bisa berhenti lagi.
"—?!"
Saat sedang memikirkan hal seperti itu, bahunya tiba-tiba melonjak. Itu adalah perasaan ekstra yang dia kuasai sebagai seseorang yang ditakuti oleh orang lain—ada seseorang di belakangnya. Akan buruk jika dirinya ditemukan. Dia harus segera menyembunyikan dirinya. Setelah beberapa saat, kehadiran itu telah berlalu dan tidak ada lagi perhatian yang diarahkan padanya. Dia belum ditemukan. Dia dengan takut-takut mengintip dari persembunyiannya dan mengamati di mana dia baru saja berdiri. Apa yang dia lihat di sana bukanlah polisi militer atau tentara.
"Otou-san, Okaa-san, cepatlah! Ayo pergi!"
Apa yang terlihat di matanya adalah satu keluarga yang berjalan dengan harmonis : seorang ayah, seorang ibu, dan seorang putra kecil mereka. Ketika anak laki-laki itu mendesak orang tuanya, sang ayah menyusulnya dan meraih tangannya sambil tersenyum. Sang ibu mengawasi mereka dengan hangat sambil mengejar mereka sambil berkata, "Mouu anak ini, tolong lebih perhatikan lagi langkahmu saat sedang berjalan!"
Mereka semua tersenyum. Bahkan di Ibukota Kekaisaran yang sedang dilanda krisis, mereka semua tertawa seolah sedang bersenang-senang.
"Ini akan segera menjadi parade pahlawan. Ke mana kita harus pergi hari ini? Ada pertunjukkan jalanan di jalan utama."
"Otou-san! Nee, Otou-san! Aku mau makan makanan manis!"
"Bukankah kamu baru saja memakannya di rumah....?"
"Aku mau yang makan makanan maaaanis!"
"Hmmm, tapi...."
"Hei, kamu tidak boleh terus menurutinya saat dia meminta semua hal egois seperti itu."
"Tapi...."
"Baiklah. Saat kita kembali ke jalanan, bagaimana kalau kita mencarinya?"
"Yay!"
Anak laki-laki itu mengangkat kedua tangannya ke udara dengan gembira. Sang ibu, yang sedang menonton ini, menghela napasnya dengan jengkel, namun ibunya itu jelas tidak menunjukkan ketidaksenangan apapun di wajahnya.
".......!"
Liliana ingin melarikan diri. Adegan seperti itu terlalu jauh darinya. Saat dia berbalik, suara keluarga bahagia di belakangnya menggugah hatinya. Dia ingin menjauh dari mereka secepat mungkin. Jika tidak, pemandangan keluarga bahagia yang dapat ditemukan di mana pun mungkin akan membangkitkan sesuatu yang gelap yang mengintai dalam dirinya.
Liliana berlari sekuat tenaga, dan sebelum dirinya menyadarinya, dia keluar ke jalan utama. Dia terlalu ceroboh mengingat fakta kalau dia adalah orang yang dicari, namun untuk saat ini, hal itu memulihkan kedamaian di hatinya.
Dia menghela napas lega. Keluarga itu tidak ada di sini. Suara bahagia anak laki-laki itu, suara gembira ayah yang terharu, dan suara tawa ibu yang mengawasi mereka dengan lembut. Di tengah hiruk pikuk langkah kaki dan hiruk pikuk jalan lainnya, dia tidak bisa lagi mendengarnya. Hatinya akhirnya damai. Namun itu tidak berlangsung lama.
"Hei, kau yang memakai jubah hitam di sana!"
"—?!"
Saat Liliana menoleh ke arah suara tegas itu, dia bertemu dengan pemandangan beberapa polisi militer yang mendekat. Dia telah ditemukan. Saat dia mengerang dalam hati, salah satu polisi militer yang tampaknya adalah seorang komandan melangkah maju.
"Seluruh kota saat ini sedang mengawasi seseorang yang memiliki tinggi dan deskripsi sepertimu. Cepat lepaskan tudung jubahmu."
"......."
"Ada apa? Kau tidak akan melepasnya? Mungkinkah kau ini... kau!"
Ketika Liliana tidak mematuhi perintahnya, polisi militer lainnya menyingkir. Liliana secara refleks melangkah mundur. Petugas polisi militer menganggap hal itu sebagai upaya untuk melarikan diri, dan memerintahkan yang lain untuk bertindak.
"Tangkap dia!"
Peluit sihir kemudian berbunyi di udara. Tak lama kemudian, polisi militer mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Tepat di tengah jalan, Liliana dikepung dalam sekejap. Perkembangan mendadak ini menarik perhatian semua pejalan kaki di dekatnya. Dengan Liliana sebagai pusatnya, polisi militer telah sepenuhnya memagarinya, dan mereka kembali dikepung oleh kerumunan warga.
Polisi militer waspada terhadap sihir dan ragu-ragu untuk mendekat. Namun, setelah melihat kalau Liliana tidak merapalkan mantra tidak peduli seberapa lama mereka menunggu, mereka menyiapkan tongkat mereka dan menyerang. Liliana menghindari serangan mereka dengan gerakan kaki yang gesit. Dia tidak akan menggunakan sihir begitu saja. Mana miliknya sebagian besar sudah habis, jadi dia tidak bisa menggunakannya dengan sia-sia. Namun, jika terus begini, dengan keadaan yang terbatas, semua pilihannya buruk. Menyadari hal itu, ketidaksabaran mulai memanas di dalam tubuhnya. "Ini buruk" adalah satu-satunya ungkapan yang terlintas di benaknya untuk menggambarkan situasi ini. Mungkin karena dia dicekam oleh pemikiran seperti itu, dia terkena dengan salah satu tongkat polisi itu.
"Kyah!"
Saat Liliana dikirim terbang, tudung kepalanya terlepas. Saat wajahnya terungkap, dia bisa mendengar polisi militer yang melihatnya terengah-engah.
"Seperti yang kuduga...."
Sesuai dengan erangan sang komandan, Liliana bisa mendengar kerumunan di sekitar polisi militer bergerak. Suara mereka terdengar menakutkan.
"Oi, orang itu yang mereka cari...."
"Senjata manusia itu...."
"Dialah penyebab di balik insiden itu."
Bahkan polisi militer di sekitarnya memandangnya seolah dirinya adalah iblis atau monster. Saat Liliana melihat sekeliling, tatapan seperti itu tertuju padanya dari segala arah.
"Hngh...."
Kenapa semua orang selalu memandangnya dengan tatapan seperti itu? Sepertinya mereka melihat sesuatu yang menjijikkan? Padahal dia belum melakukan apapun. Meskipun dia dilahirkan dengan kekuatan ini bukan karena dia menginginkannya. Meskipun dia tidak pernah mengharapkan ketidakbahagiaan orang lain.
"Eek!"
Kerumunan orang itu kemudian secara kolektif menjerit dan menjadi pucat. Entah mengapa, mereka semua dicekam rasa takut dalam sekejap. Dan kemudian, sebelum Liliana bisa menentukan alasannya, jawabannya mengalir dari lingkungan sekitar.
"Mata.... mata macam apa itu....?"
"M-Monster! Itu mata monster!"
Suara jeritan memenuhi udara. Liliana menyadari penutup mata yang menutupi mata kanannya telah jatuh ke tanah. Pukulan dari tongkat polisi telah memutuskan tali yang menahannya, memperlihatkan mata kanannya yang menjijikkan yang telah diubah oleh kekuatan kegelapan itu. Liliana secara refleks melihat sekeliling. Semua orang yang melihatnya menatapnya dengan ketakutan dan kejutan yang lebih gelap dari biasanya.
Hal yang sama terjadi ketika penduduk desanya memandangnya ketika mereka menyatakan dirinya sebagai pertanda bencana dan mengucilkannya. Dipenuhi dengan emosi gelap, mata itu, mata itu, mata itu....
"A-AAAAAAAAAAAH!"
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, kenangan masa lalunya yang terpendam muncul dan mulai meluap. Itu adalah kenangan saat dia tidak ingin mengingatnya lagi. Sejak saat dia bertekad menjadi sumber semua kemalangan umat manusia. Dan kebencian yang menyertainya.
"Tunggu!"
"Jangan biarkan dia kabur!"
Liliana berlari. Suara-suara tajam di belakangnya mengejar, bersamaan dengan derap langkah kaki. Dia hanya bisa melarikan diri karena mereka semua lengah saat melihat mata kanannya. Dia terjun ke sebuah gang dan berlari sekuat tenaga.
"Hahh, hahh....."
Liliana tidak tahu ke mana dia berlari. Beberapa saat kemudian, dia berhenti di suatu gang untuk mengatur napasnya yang sudah lama habis. Dia entah bagaimana berhasil lolos dari kerumunan itu. Tidak....
Masih ada.... seseorang di sana....
Ada kehadiran di belakangnya. Apa itu salah satu polisi militer berhasil mengejarnya? Tampaknya tidak demikian. Kehadirannya sangat tipis, dan keterampilan sembunyi-sembunyi semacam itu bukanlah sesuatu yang dimiliki polisi militer. Ketika dia berbalik, dia bisa melihat satu bayangan hitam terbentang di umbra sebuah bangunan. Bayangan itu terus membentang, seperti merayap keluar dari kegelapan. Tak lama kemudian, setelah bayangan itu terbentang sempurna, yang muncul adalah.....
"Di sana kau rupanya, Liliana."
"K-Kolonel....?"
Orang itu adalah ayah angkatnya dan atasannya, Rogue Zandyke. Melihat sosoknya, gadis itu diliputi emosi. Mungkin orang itu datang mencarinya karena gadis itu belum kembali ke rumah. Namun kenapa orang itu menghunuskan pedang di pinggangnya?
"Liliana, kau sudah mengambil keputusan, bukan?"
"Apa....?"
Suara bingung keluar dari mulutnya. Liliana sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Liliana."
"Tolong.... tunggu sebentar. Apa maksudmu.... dengan mengambil keputusan itu?"
Keputusan seperti apa yang Liliana butuhkan dalam pertemuannya dengan orang yang seharusnya menjadi ayahnya? Orang itu seharusnya datang untuk menyelamatkannya, jadi mengapa orang itu memasang ekspresi tegang di wajahnya? Tidak peduli berapa lama Liliana menunggu, tidak ada jawaban. Yang dirinya dengar hanyalah langkah kaki dingin dan kaku dari orang itu yang semakin mendekat.
"Kolonel..... apa yang kamu maksud....."
"Apa itu tidak jelas? Aku datang untuk mengambil tanggung jawab dan menjunjung tinggi tugasku. Demi menghukummu atas kejahatan yang telah kau lakukan."
"Kenapa.... Kolonel, kenapa....."
Liliana ingin bertanya mengapa Rogue melakukan ini. Liliana hanya melakukan kejahatan itu demi orang yang berdiri di depannya. Kenapa dia yang harus mendapat hukuman darinya?
"Kolonel! Aku.... demi dirimu!"
"Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Sebagai seorang prajurit Kekaisaran, kau harus menyadari tanggung jawabmu sendiri."
"T-Tidak.... Kamu salah paham.... Kolonel...."
Pedang itu mendekat saat Liliana menjauh. Intinya mengarah padanya. Apa dia akan dibunuh? Saat pemikiran ini terlintas di benaknya, tubuh Liliana bergerak sendiri.
Aku tidak ingin mati.
Keinginannya untuk hidup bertindak atas namanya. Sebelum Liliana tahu apa yang terjadi, dia menghindari pedang Rogue.
".....Liliana."
Rogue menggumamkan namanya. Ekspresinya telah menjadi bayangan dan tidak terlihat lagi. Tidak, itu karena dia tidak ingin melihatnya. Bahkan jika dia memandangnya sebagai sesuatu yang menjijikkan, hatinya pasti akan hancur pada akhirnya. Gerakan Rogue yang lambat dan tenang sekali lagi muncul dalam pandangannya.
Dan sekali lagi, cahaya bersinar dari pedangnya. Mengikuti cahaya yang mengancam akan membutakannya, ujung pedangnya terdorong ke depan.... jika terus begini, dia akan terbunuh. Oleh laki-laki yang dipanggilnya Kolonel, laki-laki yang dia anggap sebagai seorang ayah. Oleh orang yang paling dia berharga baginya di dunia.
"Tidak.... TIDAAAAAAK!"
Tusukan pedang Rogue menembus dinding tepat di sebelahnya. Tanpa berhenti berpikir kalau peluang di hadapannya memang sebuah peluang, Liliana sekali lagi mulai berlari.
★★★
Liliana lari dari Rogue. Karena melarikan diri dengan kecepatan penuh menyusuri gang-gang yang gelap dan sempit ini, sudah berapa kali dia terjatuh sekarang? Dia dipenuhi kotoran dan goresan. Pakaiannya compang-camping.
Tempat Liliana tiba setelah melarikan diri untuk hidupnya adalah daerah kumuh kota. Itu adalah tempat yang suram, seperti dia mengalami kegelapan. Dia dikelilingi oleh tembok-tembok bangunan yang tinggi, dan langit mendung di atasnya yang tampak seperti akan turun hujan kapan saja. Tidak mungkin cahaya matahari akan sampai padanya di sini.
Dan di atas kegelapan, area itu dipenuhi dengan bau busuk yang menyengat. Seolah-olah seluruh polusi Ibukota Kekaisaran dikumpulkan di sini. Namun dalam lintasan pelariannya, inilah satu-satunya tempat yang bisa dia datangi. Setelah Rogue memunggunginya, dia tidak lagi punya tempat untuk kembali ke rumah. Agar tidak ada yang menemukannya, dia datang ke sini untuk mencari sudut gelap untuk bersembunyi. Dia memeluk lututnya sambil gemetar.
Jika orang yang dirinya anggap sebagai ayahnya itu meninggalkannya, satu-satunya jalan di hadapannya adalah mati dalam ketidakjelasan seperti ini.
Dengan pemikiran itu, air mata mulai mengalir dari matanya. Tanpa adanya jalan keluar untuk emosinya, tangisan kesedihan dan isak tangisnya dari lubuk hatinya yang terdalam tidak akan pernah keluar. Hanya air mata yang membanjiri sudut matanya dan jatuh di pipinya. Seluruh hidupnya sampai saat ini hanyalah sebuah penipuan. Pada akhirnya, dia hanya bisa hidup dalam kesendirian. Dia menyadari kalau dirinya sama sekali tidak berdaya.
Kalau dipikir-pikir lagi, selama dia sadar akan sekelilingnya, dia hanya dikucilkan oleh orang lain. Siapa pun yang melihat wajahnya akan mengklaim kalau dirinya seharusnya tidak dilahirkan. Mengapa harus dia? Mengapa hanya dia? Dia sudah berkali-kali memikirkan hal seperti itu. Hanya karena dia secara alami bisa menggunakan kekuatan kegelapan, kenapa dia harus begitu dibenci oleh orang lain? Padahal dia tidak pernah berniat melakukan hal buruk. Meskipun dia tidak pernah benar-benar ingin menyakiti siapapun. Terlepas dari semua itu, setiap kali seseorang pertama kali melihatnya, mereka semua akan memandangnya dengan cara yang sama.
Liliana mengingat kembali keluarga yang dia lihat sebelumnya. Hanya berjalan santai di jalanan Ibukota Kekaisaran, mereka semua terlihat sangat bahagia. Ayah, ibu, dan anak mereka, semuanya saling memiliki dan senyuman mereka tampak wajar-wajar saja.
Seorang ayah, ibu, dan anak. Mereka juga hanyalah manusia biasa; mereka tidak ada bedanya dengan Liliana. Jadi mengapa Dewi tidak berbagi senyuman itu dengannya? Dia tidak egois. Meski hanya sedikit—sedikit pun tidak masalah—dia ingin mendapatkan sedikit kehangatan dari senyuman seorang ayah dan ibu.
Anak laki-laki itu meminta makan manisan kepada ayahnya. Dan ayahnya, meskipun bermasalah, bersedia menurutinya. Ibunya menjaga mereka, namun tidak dengan cara memarahi. Ada kehangatan yang tak terbantahkan di antara mereka semua. Cara mereka tampil menyilaukan. Liliana iri dengan itu.
Dia tidak pernah sekalipun, tidak kepada ibu atau ayahnya atau bahkan Rogue, memohon sesuatu yang diinginkannya kepada seseorang. Jadi mengapa anak muda itu dibiarkan melakukan hal seperti itu? Meskipun sepertinya tidak tahu apapun tentang kesulitan, rasa sakit, atau kesedihan?
"Ah..."
Saat Liliana mendengar langkah kaki mendekat, suaranya keluar. Ada orang lain yang datang merangkak ke tempat yang seperti dasar selokan ini. Apa itu seseorang yang tersesat di jalanan kota labirin ini? Atau mungkin seorang gelandangan? Apa itu polisi militer sedang berpatroli? Atau apa itu Rogue? Liliana menoleh ke arah mereka, dan sesaat, saat cahaya mendung menyinari mereka, penampilan mereka menjadi jelas. Wajah yang dikenali itu adalah....
"Kalian.... ini...."
"Tidak kusangka kau berada di tempat seperti ini, huh? Senjata manusia. Tidak, penjahat."
"Seperti yang kami dengar. Keberuntungan kami pasti sangat bagus."
Apa yang mencapai telinganya adalah suara-suara yang dipenuhi dengan kekejaman yang terang-terangan dan tidak terselubung. Mereka adalah orang-orang yang disewa oleh para bangsawan yang menganggap buruk Rogue, penyihir yang sama yang pernah bertarung dengannya sebelumnya, salah satunya berbicara kasar dan yang lainnya dengan beradab. Cahaya suram menampakkan mata mereka, berkilauan karena kebencian dan niat jahat.
"Untuk apa kalian.... datang ke sini?"
"Bukankah sudah jelas? Kau tahu harusnya sudah tahu apa itu...."
"Kau telah membodohi kami sampai sekarang."
"Jadi kami akan membuatmu membayar atas semuanya!"
Para penyihir itu semakin mendekat. Ini adalah perhentian terakhir dalam pelarian Liliana, jadi tidak ada lagi tempat baginya untuk melarikan diri. Saat dia berdiri, orang dengan suara beradab itu mulai melantunkan mantra. Berbagai benda di sekitar mereka terangkat oleh sihir angin, dan kemudian terbang ke arahnya bersamaan dengan hembusan angin yang tiba-tiba.
"Ugh, guh!"
Tidak dapat menahannya, Liliana terjatuh ke tanah. Sementara dirinya dicekam rasa sakit, serangan berikutnya datang dengan cepat. Yang meneriakkan kali ini adalah orang yang kasar. Sihir yang dia putar bersama dengan nada keras menimbulkan api yang mengelilinginya.
"A-Agh.... guh...."
Seolah-olah membisikkan kepadanya kalau mereka berdua tidak berniat membunuhnya dengan cepat, panas api semakin meningkat dan mencuri oksigen darinya, perlahan menyiksanya. Sosok Liliana saat dirinya menggeliat kesakitan seperti ikan yang baru keluar dari air atau serangga yang sayapnya tercabut. Udara panas mengalir ke tenggorokannya saat panas api itu membakar kulitnya.
Liliana menutup tenggorokannya karena kesakitan dan jatuh ke tanah. Dan setelah entah berapa lama, dia terengah-engah. Dia menyadari kalau lingkaran api yang menyiksanya telah lenyap. Sebagai gantinya, para penyihir itu kini menjulang di atasnya. Rasa sakit menimpanya. Kepalanya, lengannya, punggungnya, kakinya..... semuanya diinjak-injak. Dia diperlakukan seperti sampah yang dibuang ke gang.
Dalam jeda singkat di antara pukulan, dia mendongak dan melihat wajah kedua orang yang tertawa itu. Mereka berdua benar-benar menganggap penyiksaan Liliana menyenangkan dari lubuk hati mereka. Kebencian menguasainya saat itu, namun kemudian tiba-tiba, Liliana teringat apa yang pernah dikatakan seseorang padanya. Dia seharusnya tidak membiarkan kebencian menelannya. Dia tidak bisa menyerahkan dirinya pada kebencian. Jika dia mempercayakan hatinya padanya sekali saja, dia akan kehilangan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Hei, hei apa yang salah? Kau tidak akan menggunakan sihir seperti terakhir kali?! Kenapa kau hanya diam saja sialan?!"
"Sepertinya mana miliknya sudah habis. Yang termuda dari Dua Belas Elite sudah pasti terjatuh."
Namun Liliana tidak perlu menanggung ini. Lagi pula, meskipun dia sangat terpaku pada perasaan dirinya sendiri, dia tidak akan pernah bisa mencapai hal-hal yang diinginkannya.
"Ada apa dengan mata sialan itu?! Ternyata mereka tidak salah menyebutmu sebagai monster! Kau rupanya memang benar-benar salah satunya, huh?!"
Orang kasar itu menendangnya dengan keras. Tubuh Liliana berguling di sepanjang trotoar batu gang dan menghantam dinding di dekatnya. Dia tidak lagi merasakan sakit. Dia sudah lupa apa itu rasa sakit. Api kebencian yang berkobar di dalam dirinya adalah siksaan yang bisa dirinya rasakan saat ini.
"Oh, apa? Itu membuatmu bersemangat? Kau ingin melawan sekarang karena kau berada dalam kondisi lelah seperti itu? HAHAHAHAHAHA!"
"Setalah mendapat begitu banyak hukuman dan tetap bisa berdiri seperti itu.... Monster sepertimu seharusnya hanya merendahkan diri di tanah seperti makhluk yang hina."
Suara cibiran mereka sangat terdengar di telinganya. Itu sebabnya, tidak peduli kekuatan apa yang dia gunakan, dia ingin meledakkannya.
"Aku....."
Ini akan menjadi yang terakhir kalinya. Tentu saja Liliana akan kehilangan dirinya karena ini. Namun di dunia yang hanya berisi kesakitan ini, dia tidak menyesal telah menghilang. Tidak ada salahnya ditelan kegelapan. Jika dia melakukannya, semuanya akan berakhir. Sama seperti sosok menjijikkan yang mengamuk malam itu, tidak apa-apa baginya untuk menghancurkan segalanya dan membuat semuanya lenyap. Para bangsawan, para penyihir di depannya, jalanan Ibukota Kekaisaran, warga negara, keluarga bahagia itu. Apapun dan segalanya. Jika semuanya hilang, kesepiannya pasti akan hilang juga. Itu sebabnya....
"Lenyap...."
"Ah?"
"Lenyap.... Lenyap....."
"Apa? Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?"
"Lenyap! Lenyap! Lenyap! Lenyap! Lenyap! Lenyap! Lenyap! Lenyap!"
Semuanya akan lenyap. Saat Liliana hendak membangunkan sesuatu yang gelap, dia mendengar suara yang tidak dikenalnya. Ketukan cepat yang teratur, namun kaku dan bernada tinggi. Apa itu langkah kaki? Dia mendengarnya dari tempat para penyihir berdiri, jauh di dalam bayangan sebuah bangunan.
"Buddhi brahma. Buddhi vidya."
[Bangkitkan kekuatan. Seiring dengan pengetahuan yang luar biasa.]
"Ah...."
Terpikat oleh suara yang menggema, dia mengangkat kepalanya dan melihat bayangan terbentang ke arahnya. Tak lama kemudian, tepat di tempat bayangan itu berakhir, seorang laki-laki muncul.
"Asat nada arupa loka."
[Suara yang menjangkau jauh dan luas itu tinggi di atas langit.]
Laki-laki yang mengenakan pakaian hitam asing itu menyenandungkan sesuatu seperti gumaman. Sosoknya entah bagaimana kesepian, seperti dewa kematian yang memanggil seseorang di ranjang kematiannya.
"Kalavinka mahamaya om karuma samkri."
[Engkau yang memiliki gema manis akan melepaskan dosa asal.]
Namun laki-laki itu tidak berhenti. Suara ketukan langkah kakinya terdengar di udara saat dirinya mendekat.
".....Kalian banyak yang tidak pernah belajar ya? Apa menyenangkan menyiksa seseorang seperti itu?"
Suara jengkel laki-laki itu bergema di seluruh gang. Dengan kepala tertunduk, Liliana tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang laki-laki itu buat. Dia seperti permukaan air yang tenang tanpa satupun riak di dalamnya, meratapi orang-orang yang tak berdaya di hadapannya. Penyihir kasar itu berbalik dan menghadap laki-laki ini, dan saat laki-laki itu mencapai garis pandangnya, matanya melebar karena terkejut.
"Kau...."
"Orang desa yang pernah menghalangi jalan kami itu..... Apa urusanmu di tempat ini?"
Penyihir beradab itu dari keduanya sepertinya mengenalinya, yang mengingatkan ingatan temannya.
"Ah, benar juga! Kau adalah bajingan yang mencari penyebab insiden koma itu, kan?"
"Itu mengingatkanku—aku dengar kau bertengkar dengan sang pahlawan." Kata penyihir yang lebih beradab itu sambil mengangkat tangan ke dagunya.
"Lihatlah, monster di sana adalah pelakunya, kau paham itu?"
"Pelaku yang kau cari adalah gadis ini. Dan berpura-pura bekerja demi Kekaisaran.... dia penjahat yang mengerikan."
Liliana mendengar tawa mengejek. Kemudian laki-laki berbaju hitam itu mendengus seolah dirinya tidak tertarik sama sekali.
"Penjahat? Penjahatnya adalah kalian, bukan?"
"Apa katamu?"
"Aku tidak dengar dengan jelas apa yang kau bilang itu. Coba kau katakan lebih keras?”"
"Fakta kalau kalian terus bertanya.... sepertinya ada yang tidak beres dengan kalian."
"Apaaa?!"
"Apa telinga kalian sudah rusak? Astaga, tidak ada gunanya berbicara dengan orang bodoh seperti kalian berdua, huh?"
Mungkin karena mereka merasakan permusuhan dalam pernyataan berkepala dingin itu, para penyihir itu membuat diri mereka waspada.
"Oi! Jangan mendekat sialan!"
"Mustahil.... apa kau berencana mendukung penjahat ini?"
"Ya, seperti yang kalian kira. Aku di sini untuk melakukan hal yang mustahil."
Mendengar itu, penyihir yang beradab itu mengejek dan mengangkat bahunya.
"Kalau begitu, kau telah membuat kesalahan besar. Suara itu tadi..... kedengarannya seperti rapalan mantra, tapi akan lebih baik jika kau dengan cepat menembakkan sihirmu ke arah kami dari belakang dan membuat kami tidak sadar."
"Kali ini dua lawan satu. Kami juga akan menghajarmu sampai mati di sini sialan."
Kedua penyihir itu menjatuhkan hukuman mati bagi laki-laki berbaju hitam itu. Namun, sepertinya laki-laki itu terpaku pada sesuatu yang spesifik dalam apa yang mereka katakan, dan bergumam seolah ingin mengidentifikasinya.
"Sebuah kesalahan, huh....?"
Orang yang menundukkan kepalanya tiba-tiba mengeluarkan rasa takut yang tak terlukiskan. Pada saat yang sama, angin bertiup ke area tersebut entah dari mana dan mulai menimbulkan kebisingan.
"Apa....?"
"Apaaa?!"
Kedua penyihir itu dibuat bingung oleh perubahan yang cepat, dan laki-laki berbaju hitam itu berbicara seolah memberitahu mereka tentang apa yang sedang terjadi.
"Di luar tanah tempat kita tinggal, di surga yang jauh.... Di tanah surga, ada makhluk yang dikenal sebagai Kalavinka, berkepala manusia dan berbadan burung. Keindahan mutlak dari suaranya, suaranya yang bagaikan burung yang luar biasa, disanjung sebagai sesuatu yang tiada taranya. Bagi seorang sarjana misteri, itu adalah suara yang terdengar dari pancaran ego tingkat tinggi ketika mereka naik ke tingkat berikutnya sebagai manusia. Ini dianggap sebagai semacam wahyu."
"Dasar brengsek!"
"Berbicara tentang hal-hal yang lebih tidak bisa dimengerti....!"
"Magicka ini adalah sesuatu yang mewujudkan dengungan makhluk yang ada di luar fantasi : Kalavinka. Secara umum, pancaran ego tingkat tinggi hanya dapat dilakukan oleh magician tingkat tinggi. Faktanya, seseorang harus menjadi magician tingkat tinggi untuk mendengar senandung Kalavinka. Jika seorang magician tak berpengalaman menyaksikan hal seperti itu.... Jadi, menurut kalian apa yang akan terjadi?"
Di balik cara bicaranya yang penuh rasa ingin tahu itu, tidak ada nada yang provokatif. Ketika para penyihir melihat dari dekat, laki-laki berbaju hitam itu memiliki mata yang ternoda oleh warna merah tua seolah-olah terbakar. Laki-laki itu adalah Suimei Yakagi. Seolah-olah dia sedang menatap musuh yang tidak akan pernah bisa dimaafkannya. Apa yang terpancar di bawah mata itu adalah kemauan dan kemarahan yang kuat.
"Samadhi kalpa devana gara."
[Engkau harus mendengarkan suara abadi teratai.]
"B-Bangsat!"
"Wahai angin! Engkau adalah kekuatan keabadian! Menjadi—"
Sebelum suara senandung itu berlanjut, para penyihir itu menangkap kekuatannya yang meningkat secara berbahaya dan mulai bergerak. Namun, semuanya sudah terlambat.
"Samadhi kalpa nada "
[Engkau harus mendengarkan gema abadi.]
Cahaya yang menyelimuti mereka adalah lingkaran sihir merah besar dan terang bendernag yang muncul di bawah kaki mereka. Bentuk, huruf, dan simbol semuanya memiliki pendaran merah darah. Mungkin karena hal ini, trotoar batu tampak tenggelam dalam bayangan hitam. Seolah-olah area suram tempat mereka berdiri sedang ditenggelamkan. Satu-satunya hal yang masih harus dilihat adalah cahaya merah yang menyilaukan. Orang-orang itu tidak bisa bergerak. Tercengkeram oleh suasana yang aneh itu, saat ini, untuk sesaat, bahkan pikiran mereka terikat sepenuhnya. Kemudian....
"Vahana amana samskara buddhi karanda thrishna."
[Engkau harus mempercayakan tubuhmu pada sublimasi hukum yang diturunkan oleh tiga alam, dan menyerahkan dirimu pada suara manis kehausan.]
Yang tersisa hanyalah.....
"Neigh of Kalavinka."
Saat Suimei Yakagi mengucapkan kata kuncinya, cahaya merah terang benderang mulai meluap dan membingungkan semua orang yang melihatnya. Seolah-olah di tengah cahaya itu, mereka tak mampu lagi membedakan atas dan bawah, langit dan bumi. Saat Liliana memusatkan perhatian pada cahaya tak terbatas yang memenuhi penglihatannya, dia merasa seperti dirinya melihat siluet berkilauan dari sesuatu seperti burung terbang besar dalam sekejap, namun siluet itu membubung tinggi seiring dengan senandung suaranya yang merdu.
"Ah...."
Saat cahaya menyilaukan di sisi lain kelopak matanya mulai memudar, Liliana membuka matanya perlahan. Apa yang muncul dalam penglihatannya adalah dua penyihir, keduanya jatuh ke trotoar batu setelah hampir semua mana mereka dicuri dari mereka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda pergerakan dari mereka berdua. Dengan kata lain, saat burung terbang itu naik, burung itu telah mengambil kekuatan mereka.
"Bagi seorang magician yang tidak berpengalaman, mendengarkan Injil sebelum waktunya hanyalah racun. Ketika seorang magician tingkat rendah dihadapkan pada ego tingkat tinggi, keegoisan dari ego mereka yang lemah akan menjadi liar dan lenyap. Kekuatan mana, yang merupakan perwujudan dari keinginan mereka, serta cara penggunaannya, termasuk kontrol mantra mereka.... semuanya dilepaskan. Itulah kekuatan suara merdu Kalavinka. Itu adalah magicka anti-magician yang dimaksudkan untuk digunakan melawan orang-orang seperti kalian."
Saat Suimei berbicara, kedua orang itu meliriknya.
"Jangan pernah lagi berkhayal kalau kalian adalah magician yang kuat. Dasar para idiot sialan."
Dan kemudian, setelah gerutuan jengkel dengan sedikit rasa kasihan bercampur, Suimei meninggalkan kedua penyihir itu dan berjalan ke depan. Tap, Tap, Tap.... Langkah kaki pelan dan tenang di trotoar terdengar saat dirinya mendekat. Dan tak lama kemudian, dia berhenti tepat di depan mata Liliana.
".....Aku sedikit terlambat, ya?"
Suaranya terdengar meminta maaf sekaligus lega. Apa dia datang untuknya? Bahkan dengan mengorbankan tubuhnya yang terluka? Sosok yang penuh penyesalan itu membangkitkan kehangatan yang telah hilang di hatinya. Liliana menghela napas panjang. Tanpa disadari, hal itu dibanjiri emosi. Bahkan sampai sekarang, laki-laki ini belum berubah. Bahkan setelah terluka oleh kekuatan kegelapannya, bahkan setelah Liliana berbalik darinya dan lari dari permintaannya, bahkan saat laki-laki itu melihat wajah mengerikannya... Dia masih datang untuk menyelamatkannya. Liliana bahagia. Liliana sangat bahagia karena itu. Namun meski begitu, entah kenapa, dia hanya bisa mengeluarkan kata-kata kasar untuknya.
"Apa kamu datang.... untuk menangkapku?"
"Tidak." Katanya sambil menggelengkan kepala.
"Kamu akan.... menyerahkanku ke polisi militer, kan? Kamu seharusnya ingin.... menangkap pelaku.... di balik insiden itu."
"Aku tidak akan melakukan itu."
"Lalu, apa kamu datang.... untuk membunuhku?"
Suimei Yakagi sekali lagi menggelengkan kepalanya. Dia tidak berniat melakukan hal seperti itu.
"Lalu apa yang kamu.... lakukan di sini?"
"Aku datang untuk menjemputmu."
Saat Liliana mendengar kata-kata ini, dia sekali lagi menghela napas panjang. Itu seperti yang dirinya perkirakan. Bagaimanapun, laki-laki ini datang untuk menyelamatkannya. Seperti yang dirinya lakukan pada malam itu. Namun....
"Tolong jangan..... mendekat."
Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah penolakan. Jika Liliana meraih tangan laki-laki ini, hal yang sama hanya akan terulang kembali. Jauh di lubuk hatinya, dia mendengar bisikan ini dari dirinya sendiri. Namun meski begitu, Suimei Yakagi semakin mendekat.
"Jangan mendekat....."
Seolah ingin menghilangkan kebahagiaan yang melingkari dirinya, Liliana menggelengkan kepalanya. Dia hampir kehabisan akal. Dia tidak ingin laki-laki itu datang padanya. Jelas itu bohong. Dia takut mengubah dirinya sendiri. Jika dia menerima apa yang paling dirinya inginkan di dunia ini, dia merasa sekali lagi akan jatuh dalam keputusasaan. Lebih dari kebahagiaan yang memenuhi hatinya saat ini, dia jauh lebih takut jika perasaan itu dikhianati. Namun meski begitu, Suimei Yakagi berbicara tanpa perubahan sama sekali.
"Liliana, kamu pasti bisa mengambil jalan keluar yang mudah dan menjalani kehidupan yang tenang dan biasa di sini. Itu mungkin sesuatu yang kamu pikir kamu inginkan. Tapi—"
Suimei Yakagi berhenti di depan Liliana, yang menyusut ke belakang seolah gadis itu tenggelam ke lantai. Ketika gadis itu mendongak, Suimei tersenyum padanya.... Itu bukan mimpi. Suara lembut yang Suimei ucapkan padanya tidak seperti panggilan dewa kematian yang memanggil seseorang di ranjang kematiannya.
"Liliana, apa yang kamu inginkan tidak dapat ditemukan di mana pun di tempat seperti ini, jadi....."
Ya, itu sebabnya Liliana harus....
"Jadi kita ayo pulang. Tempat di mana kamu berada, tempat di mana kamu selalu dapat kembali.... tak seorang pun akan mencuri hal itu darimu lagi."
Sebelum Suimei bisa mengungkapkan semua mimpi bahagia gadis itu ke dalam kata-kata, Suimei mengulurkan tangannya dan gadis itu meraih tangannya yang diulurkan padanya.
★★★
Hujan kini turun dengan rintik-rintik yang ringan dan konstan. Seolah-olah memanggil hujan, trotoar batu yang tidak mengenal langit menyerap tetesan air satu per satu. Hatinya yang jernih tidak akan pernah mampu mempertahankan dirinya seperti ini. Seolah tertembus tetesan air hujan, hatinya diliputi oleh kesepian yang tak terlukiskan.
Dia selalu bertanya-tanya mengapa dunia ini dibuat begitu kejam terhadap yang lemah.
Untuk menyelamatkan seseorang yang tidak bisa diselamatkan, dia akan segera bergerak. Namun dunia berusaha berulang kali untuk menyangkalnya. Mengapa bisa seperti itu? Mereka yang tenggelam dalam air mata hanya merasakan kesedihannya. Mereka yang tenggelam dalam amarah tanpa ada cara untuk melampiaskannya hanya akan jatuh dalam keputusasaan.
Namun, irasionalitas itu mungkin hanya merupakan prinsip dunia. Dan apa yang dia lakukan adalah dengan tujuan menghadapi prinsip tersebut secara langsung dan menantangnya. Apapun tatanan dunia yang ada, dia menggunakan magicka untuk mencoba mengubahnya. Dia memberontak terhadap hal itu. Ini merupakan pemberontakan melawan pemeliharaan ilahi; dia mengerti itu bukanlah sesuatu yang bisa dimaafkan. Dia tahu betul hal itu setelah takdir yang menimpa ayahnya.
Suimei telah kehilangan keluarganya, namun itu tidak mungkin dibandingkan dengan penderitaan gadis ini, dikucilkan oleh semua orang. Perasaan ingin menyelamatkannya tidak lebih dari kesombongan orang yang diberkati.
Meski begitu, meski hanya sedikit, meski hanya sedikit, dia ingin menghilangkan kesedihannya, kesepian yang menyakitkan itu. Gadis muda yang menangis dalam pelukannya kini mengeluarkan semua air mata yang belum pernah bisa dirinya keluarkan sebelumnya. Jeritan kesedihan yang tidak mampu dirinya ucapkan sebelumnya, kini gadis itu berbalik ke arah langit. Untuk alasan apa gadis yang masih terlihat tak berdaya ini harus terpaksa menanggung ketidakbahagiaan seperti itu? Tanpa mengetahui kenikmatan umum dari sebuah senyuman, gadis itu terpaksa menderita. Yang gadis itu terima hanyalah setumpuk kutukan.
Namun meski begitu, Suimei yakin gadis itu masih memiliki kebaikan di hatinya. Bahwa gadis itu masihlah manusia. Suimei masih belum tahu penderitaan macam apa yang dialami gadis ini. Namun....
".....Menangis. Saat ingin menangis, tidak apa-apa menangis saja dengan sepenuh hati. Setelah selesai, makanlah makanan enak sepuasnya dan tidurlah. Jika kamu melakukan itu, kamu bisa melupakan semua hal tidak menyenangkan itu."
Mengatakan ini, Suimei dengan lembut membelai kepala gadis yang menempel erat padanya sambil menangis ke langit. Suimei melakukannya dengan penuh kasih sayang, sehingga meskipun hanya untuk saat ini, gadis itu bisa merasa damai..... Sangat mungkin Suimei datang sangat terlambat. Jika dia lebih cepat, jika dirinya datang lebih cepat—bahkan mungkin sebelum dipanggil ke dunia ini—hasilnya mungkin akan berbeda. Namun itu diluar kendalinya. Namun, meski begitu....
"Aku bersyukur bisa datang tepat waktu. Bagaimanapun, magicka-ku ada karena alasan ini...."
★★★
Masih memeluk kehangatan yang menyelimutinya, Liliana terbangun. Dia tertidur dalam kehangatan itu dan, setelah sadar kembali, menikmatinya dalam keadaan linglung. Dia kemudian menegakkan dirinya. Sepertinya dia ditidurkan di suatu tempat. Sambil memeluk sprei yang nyaman, lembut, dan berwarna putih bersih, dia melihat sekeliling ruangan. Karpet kastanye berbulu halus yang tampak murahan menutupi lantai, dan di atasnya terdapat perabotan kayu polos tanpa sedikit hiasan atau mencolok. Dia ingat pernah melihat mereka sebelumnya, namun karena kepalanya masih linglung, dia tidak dapat mengidentifikasi dengan tepat di mana dirinya. Dan ketika masih tenggelam dalam kabut lesu dari tidurnya yang mulai memudar, dia tidak bertanya kepada siapapun secara khusus....
"Ada di mana ini....?"
"Jadi kamu sudah bangun?"
Sebuah suara muda namun bermartabat memasuki ruangan dari aula. Suara itu pasti dari seseorang yang ada di dekat sini. Seorang gadis kecil dengan rambut merah muncul di ambang pintu. Liliana juga mengenali wajah itu, namun dia tidak bisa ingat namanya.
"Kamu....?"
"Oh? Apa kamu masih setengah tertidur? Aku memperkenalkan diriku sebelum kamu tidur, bukan?"
"Ah...."
Liliana mengingat semuanya setelah dirinya mendengar kata-kata itu dari gadis kecil yang kedua tangannya di pinggangnya, Lefille Grakis. Liliana dibawa ke rumah ini oleh Suimei Yakagi, yang bermaksud melindunginya. Ketika mereka tiba, Liliana diperkenalkan kembali dengan gadis muda yang dirinya temui di pos pemeriksaan. Dia juga bertemu gadis lain yang dirinya temui sebentar di salah satu pertarungan malam mereka, seorang penyihir dari Kerajaan Astel bernama Felmenia Stingray. Dan kemudian, setelah makan pertama kalinya setelah sekian lama, dia diberi tempat tidur, di mana dia segera tertidur.
Mengingat semua ini, Liliana memeriksa mata kanannya. Sama seperti saat dirinya memakai penutup mata biasa, bidang penglihatan kanannya menjadi kabur, jadi tidak ada yang luar biasa, namun sepertinya dia diberi penutup mata pengganti.
Menggigil yang tidak diketahui menjalar ke seluruh tubuhnya. Ketika Liliana mengingat apa yang terjadi ketika dirinya dikejar, dan betapa berbedanya situasinya saat ini, dia menggigil ketakutan. Emosi yang tak dapat diungkapkan yang meluap dalam dirinya mengguncang tubuhnya tanpa ada tanda-tanda berhenti. Bagaimana jika semua yang ada di sini, semua yang membawanya ke sini, hanyalah mimpi indah? Ketakutan itu memberi isyarat padanya. Seolah ingin menyangkalnya, dia memeluk erat selimut di tubuhnya. Dan ketika dia melakukannya, Lefille meletakkan tangannya di bahunya. Liliana mengangkat wajahnya, dan disambut dengan ekspresi lembut.
"Liliana."
"....Apa itu?"
"Aku akan pergi dan memanggil Suimei-kun, jadi beristirahatlah di sini sebentar lagi."
Lefille Grakis menepuk bahunya dengan lembut. Apa dia sudah melihatnya? Apa dia tahu kalau Liliana diliputi rasa takut? Lefille tersenyum seolah mencoba menghilangkan rasa takut itu, lalu meninggalkan ruangan.
★★★
Beberapa saat setelah Lefille keluar, gadis itu kembali bersama Suimei dan Felmenia di belakangnya. Mereka masing-masing duduk di ruangan bersamanya. Liliana mengintip wajah Suimei saat dia duduk di kursi paling dekat dengannya. Seolah sedang memverifikasi sesuatu, Suimei menatapnya. Tak lama kemudian, ekspresi kaku itu menjadi rileks.
"Sepertinya kamu sudah tenang, ya?"
"Ya, terima kasih."
Liliana mengungkapkan rasa terima kasihnya dan menundukkan kepalanya. Suimei kemudian mengeluarkan cangkir dari udara.
"Apa kamu mau minum sesuatu?"
"Tidak, terima kasih."
"Aku mengerti."
Saat Liliana mengatakan itu, Suimei menyingkirkan cangkirnya. Ekspresi Suimei kemudian berubah menjadi cukup serius.
"Baiklah, aku akan langsung keintinya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu."
"Tentang insiden itu, benar?"
Bahkan tidak perlu bertanya. Itu sudah menjadi sesuatu yang Liliana tahu akan terjadi. Dia tahu, namun tatapan yang Suimei tunjuk padanya menegang bersama seluruh tubuhnya. Liliana bertanya-tanya apa dirinya akan diusir karena membicarakannya. Kecemasan itu membuatnya gelisah. Suimei, setelah menebak apa yang ada di kepala Liliana, tersenyum lembut seolah menenangkan hatinya.
"Tidak, aku tidak akan mengusirmu. Sebaliknya, jika aku memikirkan tentang apa yang telah terjadi sejauh ini, menurutku kamu tidak akan benar-benar mengatakan apapun di luar pengetahuanku."
"....Ya."
"Kalau begitu, ceritakan padaku tentang hal itu."
"Aku...."
Liliana menjadi tenang setelah mendengar kepastiannya, namun dia masih mengkhawatirkan dua gadis lainnya. Suimei adalah satu hal, namun apa yang akan kedua gadis itu pikirkan? Namun, Lefille mempunyai aura yang sangat serius, matanya terpejam dan lengannya disilangkan. Dan Felmenia memberikan Liliana senyuman ramah. Mungkin tidak terlalu buruk. Begitu menguatkan tekadnya, Liliana mulai menjelaskan.
"Aku sudah membicarakannya sebelumnya.... tapi Rogue Zandyke dari divisi intelijen tentara adalah ayah angkatku. Dia terlahir sebagai orang biasa, dan mencapai posisinya saat ini dengan kemampuannya dalam sihir dan ilmu pedang. Namun, karena itu.... dia disebut sebagai orang biasa yang naik pangkat dan dijauhi serta dilecehkan oleh para bangsawan."
"Jadi begitu. Mereka yang lahir dengan status tinggi mencoba menindas mereka yang berstatus lebih rendah adalah hal biasa, ya?"
"Orang-orang yang picik." Lefille menambahkan.
"Jadi para penyihir itu ada hubungannya dengan itu?"
"Ya. Mereka adalah.... salah satu bentuk pelecehan. Kebencian itu tidak pernah berhenti, dan seperti yang diharapkan, semua itu akhirnya mempengaruhi tugas dan tindakan sang kolonel. Aku tidak sanggup menanggungnya. Aku tidak sabar, dan pada saat itu, orang itu berbicara denganku."
"Apa kau tidak ingin menyelamatkan ayahmu?"
"Orang berjubah hitam lainnya itu?"
"Ya. Seperti yang kukatakan sebelumnya..... saat aku mengkhawatirkan sang kolonel, kata-kata mereka seperti sebuah wahyu. Aku mengerti kalau aku akan melanggar hukum, tapi aku tidak ragu sama sekali dan menerimanya.... selebihnya, seperti yang diketahui semua orang. Pada malam hari, aku menggunakan sihir kegelapan untuk membuat para bangsawan yang menghalangi kolonel tertidur."
"Jadi itulah detail dibalik insiden itu, ya?"
Suimei berkata sambil mengangguk.
"Meskipun aku ingin membantu kolonel, setelah aku memikirkannya, menurutku tindakanku sangat dangkal."
Saat Liliana menjelaskan semuanya, setelah sekian lama, dia menjadi putus asa menghadapi beratnya apa yang telah dirinya lakukan. Kasus ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum Kekaisaran. Tidak peduli betapa liciknya lawannya, dia telah bertindak tidak pantas. Suimei sedang duduk diam dengan tangan terlipat. Di sisi lain, Felmenia menerima sapu tangan dari Lefille dan menyeka air matanya.
"....Yah, jika sudah terjadi mau bagaimana lagi."
Kata Suimei pada akhirnya.
"Apa?"
"Hal-hal yang telah kamu lakukan sampai sekarang dan fakta kalau itu adalah hal-hal yang seharusnya tidak kamu lakukan..... kamu benar-benar memahaminya—tidak, kamu percaya itu, bukan?"
Saat Suimei melontarkan pertanyaan tidak jelas ini, memikirkan kembali penjelasannya, Liliana setuju. Suimei kemudian mulai mengetukkan jari telunjuknya ke dahinya.
"Liliana, ketika kamu yang menyebabkan insiden itu, dan ketika kamu tidak melakukannya, kamu ragu dengan tindakanmu sendiri, benar?"
"Tidak terlalu banyak, tapi.... pertama kali, agak begitu."
"Pada saat itu, dan itu hanya terjadi kadang-kadang, tapi bayangan tinggi itu.... tidakkah kamu mendengar suaranya itu menawarkanmu anjuran?"
"Suaranya? Kalau aku memikirkan tentang itu...."
"Sudah kuduga, kamu sepertinya punya petunjuk tentang itu, ya?"
Liliana mengingat kata-kata Suimei dan mencoba mengingatnya. Tentu saja, ketika Liliana pertama kali menyebabkan insiden dan juga ketika dia melarikan diri, dia dapat mengingat kata-kata orang itu di kepalanya. Namun, seharusnya Liliana sendiri yang menegur dirinya yang setengah hati dalam pikirannya. Itu bukanlah sesuatu yang benar-benar dirinya dengar. Saat dia menatap Suimei setelah mencapai kesimpulan itu, Suimei menebak apa yang gadis itu pikirkan dan menggelengkan kepalanya.
"Itu karena sihir. Pada titik tertentu, tanpa kamu sadari, bayangan itu menghipnotismu."
".....Sihir?"
"Itu benar."
"T-Tidak, itu....!"
"Tidak ada dalam ingatanmu, benar? Itu menunjukkan betapa terampilnya orang itu dalam menggunakan sihir. Kenyataannya, kamu mendengar suara itu dan terdorong untuk melanjutkan serangan, bukan?"
Liliana tidak bisa membalas apapun. Setelah kebenaran ditunjukkan kepadanya, di dalam kepalanya, dia secara bertahap mulai mengerti. Memikirkan kalau dirinya telah dimanfaatkan sedemikian rupa tanpa menyadarinya sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Menyadari gadis itu kehilangan kata-kata, Suimei angkat bicara lagi.
"Itulah mengapa kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu. Tentu, kamu melakukan beberapa hal yang tidak seharusnya kamu lakukan, tapi tanggung jawab itu tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu. Kamu sedang dimanfaatkan oleh orang itu."
"Aku mengerti itu, tapi sihir itu...."
"Aku menghilangkannya saat kamu tertidur. Sihir itu bukan masalah lagi sekarang."
Mengatakan padanya kalau itu baik-baik saja, Suimei mengangkat bahunya. Saat Liliana menundukkan kepalanya dengan rasa terima kasih, Suimei sekali lagi melanjutkan berbicara.
"Apa kamu tidak kembali ke tempat Kolonel Rogue?"
"Tidak. Aku tidak tahu sama sekali.... ke mana aku harus pergi.... selain itu, kolonel.... meninggalkanku."
"Meninggalkanmu?"
"Aku bertemu dengannya saat melarikan diri.... dan dia berkata..... kalau aku tidak dapat menghindari tanggung jawab....."
Liliana tidak bisa menjelaskan sisanya dengan kata-kata. Suasana suram mulai menyebar ke seluruh ruangan. Mendapat permusuhan yang diarahkan kepadanya oleh Rogue sungguh menyakitkan. Suimei dan yang lainnya sepertinya memahami maksud dari perkataannya sebenarnya, dan semua ekspresi mereka menjadi gelap.
"Apa kamu memberitahunya tentang hal itu?"
"Tidak. Apapun alasannya..... aku bertindak melanggar hukum. Aku menilai..... kalau kolonel tidak akan memberikan waktu.... untuk mendengarku."
Setelah itu, Felmenia akhirnya angkat bicara.
"Meski anak angkat, bukankah dia itu ayahmu?"
"Kolonel.... adalah orang yang sangat jujur. Aku tidak percaya dia akan memaafkanku.... karena telah menodai tanganku dengan perbuatan jahat."
Kolonel itu adalah orang yang seperti itu. Dia tidak akan mengampuni dosa apapun. Karena itulah Liliana menjadi target yang akan orang itu hancurkan. Hanya karena itu. Hanya saja, pada saat itu, tangan Rogue saat dia menusukkan pedangnya ke depan telah tersendat....
"Aku tidak membencinya..... bagaimanapun, kolonel selalu.... melindungiku selama ini."
Itu adalah kesalahannya sendiri karena mendengarkan skema bayangan tinggi. Tidak mungkin dirinya bisa membenci Rogue. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat di sana, dan Suimei-lah yang memecah kesunyian itu.
"Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan tentang bayangan tinggi itu. Apa kamu tahu nama mereka atau ciri-ciri khas darinya?"
"Tidak, aku tidak punya petunjuk spesifik..... tidak ada sama sekali. Dia selalu mengenakan jubah hitam..... dengan tudung terbuka. Terlebih lagi, menggunakan semacam sihir.... identitasnya menjadi sulit untuk dipahami. Aku secara praktis tidak memiliki informasi mengenai orang itu."
Mendengar ini, Suimei menutup matanya. Dia pasti memperhatikan kata-katanya dengan cermat. Bagi Liliana, tidak jelas apa jenis pemikiran yang berputar-putar di benak Suimei. Melihat ini, ketakutan sekali lagi mencengkeram hatinya.
"Um, mulai sekarang, apa...."
Apa yang harus aku lakukan?
Memang benar, Liliana mengira dirinya akan terpaksa pergi. Dan ketika dia mulai bertanya tentang takdirnya, Suimei menjawabnya dengan ekspresi tenang.
"Hmm? Tidak apa-apa. Tetaplah tinggal di sini."
"Apa.... itu baik-baik saja? Aku sudah melakukan dosa, kamu tahu?"
"Aku sudah bilang sebelumnya, ini bukan salahmu, benar? Jika kamu bertanya padaku, para bangsawan bodoh itulah yang seharusnya mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Ada juga fakta kalau orang jubah hitam itu telah menghipnotismu. Saat ini, sadar sepenuhnya akan dosa-dosamu sendiri sudah lebih dari cukup sebagai hukuman."
Saat Suimei dengan ceroboh menyatakan ini dengan satu mata tertutup, dia menyilangkan kakinya.
"Yah, ada syarat bagimu untuk tinggal di sini."
"Apa yang.... harus aku lakukan?"
"Aku menyebutnya syarat, tapi ini tentang sihir kegelapanmu. Aku ingin kamu berhenti menggunakannya.... atau lebih tepatnya, aku ingin kamu mempelajari cara yang benar untuk menggunakannya."
Ekspresi Liliana menegang ketika mendengar kondisi Suimei yang benar-benar tidak terduga itu.
".....Mengapa?"
"Apa kamu berpikir aku akan memberikan syarat yang lebih luar biasa?"
"Bukan begitu. Hanya saja.... apa maksudmu dengan yang luar biasa itu.....?"
Suimei tampak jengkel saat Liliana menunduk. Liliana kemudian melemparkan satu lagi keraguannya yang belum terselesaikan ke hadapannya.
"'Cara yang benar untuk menggunakannya'..... kamu mengatakan hal yang sama sebelumnya..... tapi apa itu sihir kegelapan? Kamu berbicara seolah-olah kamu memahaminya."
"Aku juga tertarik dengan hal itu." Kata Felmenia.
Felmenia juga ingin mempelajarinya. Gadis itu mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Suimei dengan berbinar di matanya.
"Jadi Suimei-kun akan mulai membicarakan hal-hal yang sulit dipahami lagi, ya....?"
Di sisi lain, sihir tampaknya menjadi salah satu titik lemah Lefille, dan dia terlihat sedikit tertekan dengan perkembanngan percakapan ini.
★★★
Suimei mengatakan kalau dirinya akan menjelaskan sihir kegelapan, namun dia tiba-tiba teringat kalau dia memiliki sesuatu yang harus dirinya tanyakan kepada Liliana.
"Maaf, ada sesuatu yang lupa kutanyakan. Bolehkah aku menanyakan itu dan mengesampingkan hal itu?”
"Apa itu?"
"Saat kamu menggunakan sihir, kata-kata itu terkadang kamu tambahkan di akhir rapalannya.... apa kamu mempelajarinya dari bayangan tinggi itu?"
Ketika Suimei menanyakan hal itu, Felmenia bertepuk tangan saat dirinya mengingatnya.
"Nama-nama biadab itu, benar?"
"Apa kamu mengetahui tentang mereka?"
"Kami belajar sedikit tentang mereka dari seorang kenalan."
Ketika Felmenia memberitahu itu, Liliana melanjutkan untuk menjelaskan.
"Ya. Aku mendengar kalau itu adalah sihir untuk memperkuat kekuatan kegelapan dan diberitahu untuk menggunakannya secara proaktif ketika aku menggunakan sihir mulai sekarang.... aku tidak sepenuhnya yakin pada awalnya..... tapi ketika aku melakukan apa yang diperintahkan dan menambahkannya sampai akhir rapalan, sihir kegelapan itu menjadi lebih kuat."
"Jadi kamu menggunakannya. Hmm....."
Sementara Suimei tenggelam dalam pemikirannya, dia mulai berbicara dengan gumaman.
"Nomina, barbara...."
"Apa.... ada yang salah?"
"Saat ini, apa yang kamu dengar?"
Liliana memiringkan kepalanya ke samping karena pertanyaan aneh itu. Tentu saja dia bingung apa arti pertanyaan itu. Mendesaknya untuk menjawab dengan tatapannya, Liliana menjawab dengan ekspresi bingung yang masih terpampang di wajahnya.
"Aku mendengar.... nama-nama biadab?"
".....Menurutmu seperti itu?"
"Itu benar."
"Kamu juga, Menia?"
"Yup, kamu menyebut nama-nama biadab itu."
"Aku mengerti."
Mendengar jawaban mereka, Suimei menutup matanya seolah dirinya mengerti.
"Apa maksudnya.... pertanyaan itu?"
"Jangan khawatir tentang itu. Itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting..... kalau begitu, haruskah kita beralih ke penjelasan tentang sihir kegelapan?"
Saat Suimei mengatakan ini, dia beralih topik dan langsung menjelaskan.
"Baiklah, aku sudah mengatakan sebelumnya kalau asal muasal kekuatan di balik sihir kegelapan adalah kebencian dan kedengkian, apa kamu ingat?"
"Ya. Meskipun pada saat itu.... itu bukanlah sesuatu... yang bisa membuatku tiba-tiba percaya."
"Tapi itu tidak salah lagi. Aku tahu dari kehilangan tubuh astralku serta perubahan pada kulit dan matamu."
Setelah Suimei menjelaskan ini sebagai kata pembukaan untuk hal-hal yang akan datang, dia menundukkan kepalanya sebentar seolah sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang menyusun penjelasannya. Namun tak lama kemudian, dia mulai berbicara.
"Yah, kita akan keluar jalur sedikit, tapi menurutku kita akan mulai dengan membicarakan analisisku tentang sihir dunia ini. Aku percaya sihir dunia ini, singkatnya, adalah sesuatu yang dapat digunakan karena konsep yang dikenal sebagai Elemen, yang mengelilingi dunia itu sendiri."
"Mengelilingi.... dunia?"
"Ya, coba bayangkan bentuk dunia ini, apa itu berbentuk bola, pelana yang melengkung, atau bahkan bidang datar. Itu tidak terlalu penting.... sebuah konsep luas yang dikenal sebagai Elemen ada di luarnya dan menyelimuti dunia. Di dalamnya terdapat konsep yang lebih kecil tentang api, air, dan elemen bernama lainnya. Para penyihir dunia ini mengirim mana ke sana, dan menerima atribut dan bagian mantra dari Elemen. Sistemnya seperti itu—mereka menerima formulanya.... Yah, menurutku orang yang menggunakannya tidak menyadarinya."
"Tentunya, di sini normal. Mereka mengajari kalau sihir adalah sesuatu yang digunakan dengan berkomunikasi dengan Elemen. Tidak ada penjelasan detail selain itu."
"Sepertinya begitu, ya?"
Suimei mengangguk mendengar kata seru Felmenia. Jika mereka menjelaskan secara rinci, mereka seharusnya bisa mengetahui apa itu sihir kegelapan yang sudah menjadi pengetahuan umum.
"Kelebihan dan kekurangannya bukanlah sesuatu yang benar-benar perlu dieksplorasi secara detail pada saat ini, tapi sebagian dari mantranya menjadi tidak diketahui, dan pengguna menjadi tidak dapat memahami teknik itu sendiri. Inilah dua hal negatifnya. Tapi, secara umum, ini adalah formula yang mudah digunakan. Jadi selanjutnya, sihir kegelapan mengeluarkan kebencian mendalam yang tercampur dalam konsep luas sebagai kekuatan."
Liliana mengernyitkan alisnya mendengar percakapan gila ini.
"Tolong.... tunggu sebentar. Mengapa hal semacam itu.... tercampur di dalam Elemen?"
"Aku juga kesulitan memahami hal ini. Suimei-kun baru saja mengatakan kalau sihir adalah sesuatu yang digunakan dengan berkomunikasi dengan Elemen. Jadi bagaimana hal semacam itu bisa berhubungan dengan sihir?"
"Sehubungan dengan itu, itu adalah niat dari orang-orang yang menciptakan sistem sihir ini sejak awal. Aku akan mulai dengan menjawab pertanyaan Liliana."
Kedua gadis itu mengangguk.
"Singkatnya, hal yang disebut kebencian..... selama masih ada manusia, maka hal itu akan tetap ada. Itu adalah sesuatu yang tidak pernah hilang. Tidak peduli siapa orangnya, mereka tidak bisa sepenuhnya mengesampingkan kebencian dan kecemburuan. Bagaimanapun, seiring bertambahnya jumlah manusia, perasaan tersebut pun ikut bertambah. Terus seperti itu, kebencian itu berkembang biak tanpa akhir, dan pada akhirnya, kebencian itu akan memenuhi seluruh cangkang yang dikenal sebagai dunia."
"Apa yang terjadi jika hal itu terjadi?"
"Apa yang terjadi, ya....? Di duniaku, hal itu sudah terjadi. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, jumlah orang meningkat terlalu cepat. Kebencian terpendam yang tidak bisa ditahan terakumulasi di seluruh dunia. Semua kebencian itu berubah menjadi kejadian-kejadian yang tidak lain hanyalah fenomena-fenomena konyol. Sederhananya, ketika hal semacam itu terakumulasi, dunia akan menjadi aneh."
Suimei memandangi para gadis itu dan menekankan pernyataannya dengan menambahkan, "Begitulah adanya."
Para gadis itu menunggu dengan sabar penjelasan selanjutnya, masih mencoba menguraikan kata-katanya.
"Menghilangkan kelainan pada tubuh adalah sesuatu yang ingin dilakukan siapapun. Hal ini berlaku bahkan pada konsep yang lebih besar yang dikenal sebagai dunia. Itu sebabnya dunia selalu mengeluarkannya ke luar. Menurutku apa yang dikeluarkan akan berhenti di tempat di mana hal-hal yang disebut Elemen berada, dan mulai terakumulasi."
"Tapi, Suimei-dono, aku yakin kalau begitu, bukankah kekuatannya mirip dengan Elemen?"
"Tapi sihir tetap ada bahkan tanpa Elemen. Selama seseorang mengikuti proses yang benar, mereka dapat menciptakan teknik yang menjadi asal muasal kekuatannya."
"Ah...."
"Ketika orang pertama menciptakan gagasan tentang sihir di dunia ini, bagaimana mereka bisa memiliki pengetahuan tentang Elemen? Kita akan mengecualikannya dari penjelasan di sini. Orang tak dikenal itu pertama-tama dengan hati-hati membagi konsep luas yang dikenal sebagai Elemen satu per satu menjadi konsep yang lebih kecil seperti api, air, dan angin. Jika memang seperti itu, aku percaya kalau terbatasnya kekuatan yang mungkin disanjung adalah alasan mengapa tidak banyak proses rumit dalam menggunakan sihir di sini. Dan kemudian, saat sedang membagi konsep tersebut menjadi beberapa kategori, mereka menemukan sesuatu yang mereka sebut kekuatan kegelapan. Itu adalah kebencian dan kedengkian. Ketika itu diwujudkan sebagai kekuatan, warnanya hitam dan menjijikkan. Hal semacam itu sering dikaitkan dengan kegelapan malam. Pasti orang itu juga berpikiran sama dan menghubungkan keduanya. Aku tidak tahu apa mereka terpikat oleh pesona kekuatan yang begitu kuat, namun tidak ada keraguan kalau mereka telah menyentuhnya."
".....Jadi maksudmu, Suimei-kun, apa karena orang pertama yang melahirkan sihir di dunia ini salah mengira kekuatan kebencian dan kedengkian sebagai Elemen, maka sihir kegelapan itu tercipta?"
"Begitulah adanya."
"Itu adalah bentuk sebenarnya.... dari kekuatan yang aku gunakan?"
Liliana berbicara dengan mata tertunduk, namun Suimei menjawab dengan anggukan setuju. Mata gadis itu kemudian tampak goyah.
"Lalu, makhluk tidak menyenangkan.... apa itu?"
Liliana mencengkeram selimut tempat tidurnya erat-erat dengan wajah ketakutan saat dirinya mengingat makhluk aneh yang mereka lihat malam itu.
"Sosok pendosa itu, benar? Sosok itu adalah sesuatu yang oleh mistisologi disebut sebagai makhluk jahat. Makhluk itu adalah koagulasi kebencian yang murni. Ketika mencapai kepadatan astrosus, konsep yang disebut tak berwajah di alam astral kemudian diproyeksikan ke dunia sebagai sosok berdosa, dan terwujud seperti itu."
Pada malam itu, ketika sihir kegelapan Liliana mengamuk, kebenciannya yang terpendam menjadi sangat jelas. Sedemikian rupa sehingga makhluk itu terwujud. Saat itu, Liliana sudah tidak bisa bergerak lagi, itu karena sosok pendosa itu. Biasanya disebut sebagai roh orang yang sudah meninggal, roh-roh jahat itu mempunyai salah satu dari tiga bentuk. Kasus yang paling umum dan terkenal adalah kepemilikan target. Yang kedua adalah setengah kepemilikan, seperti ketika Suimei menggunakan malaikat pelindung suci ketika menyerang Rajas dengan abrakadabra. Dan yang ketiga adalah jenis yang menyiksa Liliana malam itu, keadaan yang dikenal sebagai obsesi yang membawa makhluk mistis ke dunia fisik. Ketika terkena dampak dari keberadaan jahat di dunia fisik, roh akan melemah. Suimei menjelaskan sampai saat ini, namun.....
"....Entah bagaimana, tiba-tiba semua ini menjadi sangat sulit untuk dipahami."
"....Saat Suimei-dono mulai menjelaskan sesuatu dengan penuh semangat, dia mulai menggunakan banyak kata-kata sulit."
".....Ketika dia pertama kali memulai, dia menjelaskan semuanya secara sederhana dengan perbandingan yang mudah dimengerti. Begitu dia sudah menjadi seperti ini, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi."
Suimei begitu asyik dengan penjelasannya sehingga dia bahkan tidak mendengar mereka bertiga saling berbisik. Dan tak lama kemudian, Suimei menyelesaikan seluruh penjelasnya singkatnya dari awal hingga akhir.
"Begitulah adanya."
"Entah bagaimana, aku mengerti."
Suimei mengangguk seolah dirinya puas, dan setelah jeda singkat, memandang Liliana. Tatapan itu adalah tatapan yang sungguh-sungguh tanpa sedikitpun tanda bercanda. Menanggapi hal itu, Liliana meluruskan postur tubuhnya dan menghadapnya.
"Jika aku mengajarimu dasar-dasar magicka, kamu akan bisa mempelajari teknik agar tidak terpengaruh oleh kegelapan itu. Jika kamu mempelajarinya, bagian tubuh dan hatimu yang menderita kegelapan juga akan menjadi lebih baik. Bagaimana?"
Saat Liliana mendengar pertanyaannya, dia tanpa sadar membuka mulutnya. Gadis itu mungkin akan bertanya, "Mengapa kamu berbuat sejauh ini untukku?" Namun kemudian gadis itu tidak mengeluarkannya, mengingat Suimei bilang dirinya adalah orang yang suka ikut campur.
"Aku mengerti. Aku akan berada..... dalam perawatanmu."
Liliana sekali lagi menggenggam tangan Suimei yang terulur. Dan begitulah cara kelompok Suimei mendapatkan rekan baru.