SIDE STORY
Raja dan Hari Ulang Tahun
Raja dan Hari Ulang Tahun
Cerita pendek spesial ini merupakan penulisan ulang naskah drama CD Chitose-kun wa Ramune Bin no Naka (jadi beberapa bagian mungkin berbeda dari rekaman suara). Cerita ini berlatar antara volume kedua dan ketiga, jadi bisa dinikmati sebelum membaca volume ketiga atau setelahnya.
Selesai sekolah, beberapa hari setelah masalah penguntitan Nanase terselesaikan...
Saat aku berjalan menyusuri koridor, aku melihat sosok orang berjalan terseok-seok dengan sandal kayu di depanku. Aku bergegas mengikutinya.
"Kura-san."
"Hmm?"
Jawabnya dengan suara muramnya yang biasa.
"Bolehkah aku menggunakan atap sepulang sekolah hari ini?"
"Tidak biasanya kau meminta izin. Kau selalu bisa memakainya sendiri."
Itu benar, tapi hari ini ada keadaan khusus.
"Yuuko-san dan yang lainnya memintaku untuk meminta izin padamu. Kemarin ulang tahunku, jadi kurasa mereka ingin merayakannya bersamaku."
Saat aku mengatakan itu, sudut mulut Kura terangkat.
"Berkelas sekali kau pura-pura tidak tahu."
"Hmm, yah, aku tidak yakin apa mereka melakukannya diam-diam. Tapi Yuuko-san membawa tas hadiah yang sangat jelas."
Yuuko menyembunyikannya di dalam kantong kertas yang lebih besar, tapi aku bisa melihat pita yang menandakannya mengintip keluar. Aku membayangkan Yuuko dengan bersemangat menyiapkan pesta kejutan untukku, dan itu membuatku menyeringai.
Kura menghela napas kecil.
"Baiklah, aku menghargai situasinya."
Lalu wajahnya berubah serius, yang tidak biasa baginya.
"...Jadi kukatakan aku tidak akan pernah memberi izin, selama aku menjadi guru!"
"Yah, aku berani bertaruh itu tidak akan lama."
"Dengarkan alasanku."
"Yah, kurasa aku bisa menebaknya, tapi..."
Sambil menyilangkan tangan di dada dan tertawa, Kura memasang suara angkuh, seolah-olah dia adalah seorang guru yang bersemangat mengoreksi muridnya. Atau semacamnya.
"Kalau aku izinkan kau memakai atap untuk menikmati masa mudamu dikelilingi gadis dengan ukuran E dan D-cup, kau bisa gila dan mulai berpesta pora."
"Whoa, itu bahkan lebih mesum dari yang kubayangkan."
"Tapi kalau kau setuju aku ikut, kita bisa bicara."
Selagi kami bercanda, murid-murid yang menuju latihan klub, murid-murid yang pulang, dan guru-guru yang lewat semuanya menatap kami dan berbisik-bisik.
"Kariermu sebagai guru sedang di ujung tanduk, kurasa."
Kura tampak ingin melanjutkan, tapi Misaki Sensei, pelatih tim basket, diam-diam muncul di belakangnya, mencengkeram lengan bajunya, dan mulai menyeret Kura pergi.
✶
Jadi aku kembali ke kelas dan bertemu dengan anggota Tim Chitose, lalu kami menuju atap bersama.
Aku membuka pintu dengan kunci yang kudapat dari Kura, dan akulah yang pertama melangkah keluar di bawah langit biru.
Saat itu akhir Maret, jadi musim hujan belum dimulai.
Angin yang bertiup terasa hangat dan beraroma dedaunan baru. Di balik pagar, seluruh Fukui terbentang luas, tak pernah berubah. Awan tebal terasa begitu dekat untuk disentuh saat aku meregangkan badan.
"Ahhh, cuaca yang luar biasa."
Saat itu juga...
POP-POP-POP!!!
Aku mendengar hiruk-pikuk ledakan di belakangku.
"Whoa!"
Terkejut, aku berbalik, dan—
" "Selamat ulang tahun!" "
Mereka semua tersenyum padaku, memegang popper pesta yang meledak di tangan mereka. Aku membeku selama beberapa detik, lalu aku mulai bercanda untuk menyembunyikan rasa maluku.
"Makasih banyak, tapi kenapa kalian memilih momen itu? Pasti Yuuko-san yang menyarankannya."
Yuuko cemberut.
"Maksudku... jelas kamu tahu tentang ini, tapi aku tetap ingin mengejutkanmu."
"Tapi kamu gak perlu menembakkan benda-benda itu ke punggungku. Dan Haru-san, kamu hampir menghanguskan bajuku."
Jadi mereka tahu kalau aku sudah tahu, ya?
Haru melipat tangannya di belakang kepala, tersenyum. Dia melepaskan tembakan tepat di belakangku, seolah-olah sedang membidik kepala.
"Jangan konyol, sayangku. Hal seperti ini lebih bagus dengan pemandangan yang indah. Benar, kan, Yuzuki?"
"Yup. Orang ini gak akan berdebar kencang kecuali kita mengejutkannya."
Nanase memberikan jawaban yang tampak biasa saja, menekan jarinya ke bibir, menatapku dengan penuh arti.
Teralihkan, aku mendapati diriku memikirkan malam di hari yang sama saat insiden penguntit itu ditangani. Aku menyentuh pipi kiriku, dan aku mendapat senyum cerah sebagai balasannya.
Aku merasa canggung dan memalingkan muka, ketika Yuuko, yang sepertinya tidak menyadari apa yang baru saja terjadi di antara aku dan Nanase, mulai berbicara dengan suara yang agak bersemangat.
"Jadi begitulah keadaannya! Semuanya, duduk! Kaito-kun, kamu membeli apa yang kita butuhkan, kan?"
"Uh.... Yah, kita masih punya banyak popper pesta tersisa. Benar, Kenta?"
Kenta menatap pangkuannya dengan rasa bersalah.
"...Ya. Popper pesta, yang kita punya."
Yuuko meletakkan satu tangan di pinggulnya dan menunjuk Kaito dengan tangan lainnya.
"Bukan itu! Camilan dan soda!"
"Hah? Tapi waktu kamu bilang perlengkapan pesta, kukira kamu yang kamu maksud hanya popper pesta?"
"Bukan, bodoh! Jelas aku gak hanya bermaksud begitu!"
Kenta mulai menjelaskan dengan sedikit panik.
"A—Aku sudah bilang begitu padanya. Tapi Asano terlalu percaya diri. Aku hanya berasumsi beginilah cara anak-anak populer berpesta... Mizushino juga gak bilang apa-apa."
Kazuki tertawa sinis.
"Ah, aku hanya ingin melihat apa yang akan kalian berdua lakukan."
"Seharusnya kamu gak mengharapkan yang lain, sungguh."
Aku tidak bisa menahan diri untuk ikut campur.
Orang ini rela merusak pesta ulang tahunku hanya demi sedikit tawa.
Yua, yang sedari tadi mendengarkan, menghela napas frustrasi.
"...Haah. Baiklah, aku pergi."
"Oh, Ucchi!"
Kaito meratap, tapi Nanase melambaikan tangan dengan acuh.
"Tidak, tidak, Ucchi."
Kata Nanase.
"Aku yang pergi."
"Er... kamu yakin, Yuzuki? Kamu gak keberatan?"
"Gak, jangan khawatir! (Terjemahan: Gak apa-apa.) Ucchi, kamu selalu ke sana kemari mengurus semuanya. Tugas anggota tim basket adalah menutupi kekurangan anggota tim basket lainnya!"
"Benarkah? Oh, oke kalau begitu."
Di sampingnya, Haru meringis.
"Melindungi anggota tim basket lainnya? Itu gak termasuk aku, kan...?"
Tapi Nanase mengabaikannya.
"Ayo, kita pergi, Chitose."
Nanase menatapku, menyeringai.
"...Hmm, aku? Aku bukan anggota tim basket, dan kalau gak salah, ini seharusnya perayaan ulang tahunku, kan?"
"Tapi aku harus mengambil minuman dan camilan untuk semua orang di sini. Aku butuh anak laki-laki yang kuat untuk membantuku membawa semuanya."
"Kalau begitu kamu harus minta Kaito..."
Mata Nanase penuh dengan kenakalan.
"Ada apa ini? Apa kamu merasa terlalu canggung untuk berduaan dengan mantan pacarmu, Chitose?"
"Enggak, aku tipe orang yang gak pernah terpaku pada masa lalu. Baiklah, aku akan menemanimu."
Kupikir aku berhasil menjawab dengan cukup lancar, tapi di saat yang sama, aku merasa dia cuma mempermainkanku.
✶
Setelah itu, kami membeli camilan dan soda di toko swalayan dekat sekolah.
Sambil berjalan di sampingku, Nanase berbicara dengan ringan.
"Ah, kita beli terlalu banyak, ya?"
"Kamu terlalu terbawa suasana. Dan uh, Nanase-san. Kamu udah memberiku semua barang berat seperti minuman."
"Itulah alasanku membawamu."
Aku melirik gadis sombong di sebelahku, dan aku tak bisa menahan diri untuk menghela napas singkat.
"Tch. Oke, kenapa kamu harus membawaku?"
Bagaimanapun, aneh rasanya Nanase mencalonkanku dan menyeretku keluar bersamanya. Pasti ada alasan mengapa dia ingin berduaan denganku. Meskipun, aku mungkin bisa menebaknya.
"Hmm, apa ya?"
Nanase memberiku seringai penuh arti.
"Asal kamu tahu, aku menolak jadi pacar palsumu lagi."
"Kalau gitu, kali ini, mau jadi pacarku yang sebenarnya?"
"Boleh aku nyentuh payudaramu?"
"Boleh... kurasa?"
Nanase berusaha membuatnya terdengar ringan dan santai, tapi kami mulai melenceng.
"...Ayo kembali ke pokok bahasan."
Saat aku mengatakan itu, Nanase melirikku.
"Hari ini perayaan ulang tahunmu, Chitose. Apa lagi yang mau aku bicarain?"
"Aku udah dapat hadiah. Tapi agak merepotkan."
"Hehe. Bisa kita mampir dulu ke taman di sana?"
✶
Kami duduk di bangku taman kecil, seperti yang diinginkan Nanase.
Ayunan-ayunan tua berderit tertiup angin sepoi-sepoi.
Kantong-kantong plastik dari toko swalayan berdesir karena tawa riang.
"Selamat ulang tahun, Saku."
"Makasih, Yuz... Nanase-san."
Nanase memanggilku Saku dengan begitu alaminya, sampai-sampai aku hampir membuat diriku memanggilnya Yuzuki, seperti yang biasa kulakukan sampai beberapa hari yang lalu.
Waktunya tidak terlalu lama, tapi cukup membuat memanggilnya Nanase-san terasa agak aneh.
Mungkin sebaiknya aku memanggilnya Yuzuki-san aja.
Pikirku, tapi aku ingin membatasi diri.
Nanase tertawa, seolah tahu apa yang kupikirkan.
"Gak apa-apa. Panggil Yuzuki aja gak masalah."
"Agak delusif bagi mantan pacar yang diputus untuk percaya bahwa dia begitu tak terlupakan, tahu?"
"Kalau kamu itu laki-laki, kamu harus terima delusi itu dan teruskan aja."
"Nah, sekarang dengarkan—"
Tapi Nanase memotongku perkataanku dengan mencari-cari sesuatu tas jinjingnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kertas biru dengan pita putih di atasnya.
"Ini, hadiahmu. Kali ini, sungguhan."
"Oh, makasih. Boleh aku membukanya?"
"Tentu."
Aku sudah menduga apa yang akan terjadi ketika Nanase mampir ke kelas dan keluar membawa tas jinjing itu, tapi ternyata diberi hadiah membuatku tersipu malu.
Dengan hati-hati aku membuka kertasnya, memastikan tidak merobeknya, dan di dalamnya aku menemukan ilustrasi cetak di sebuah kotak yang cukup besar untuk dipegang dengan dua tangan.
"Apa ini? Bulan sabit?"
Hadiah itu adalah bulan sabit yang tampak mewah seperti kartun yang melayang di langit malam.
"Ya, itu lampu meja. Tempatmu benar-benar suram, jadi kupikir kamu bisa gunain pernak-pernik buat cerahin kamarmu."
Aku teringat kejadian tempo hari, saat Nanase menginap di rumahku, dan aku tersenyum kecut.
"Kamu benar. Makasih, aku suka. Aku gak punya selera dekorasi yang kamu butuhin buat memilih barang-barang kaya ini sendiri."
Saat aku mengatakan itu, Nanase tampak agak khawatir.
"Kamu yakin gak berpikir aku lancang? Aku menginap semalam, dan sekarang aku mencoba cari keuntungan pribadi atau semacamnya?"
"Gak, gak. Aku tahu kamu gak bermaksud begitu."
Aku tersenyum, membayangkan betapa lucunya Nanase mengkhawatirkan hal seperti itu. Lalu dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, napasnya menggelitik kulitku.
"Yah, begitulah maksudku, kamu tahu? Taruh di meja samping tempat tidurmu, dan setiap malam sebelum tidur, kamu akan mikirin aku."
Aku menarik kembali ucapanku sebelumnya. Itu sama sekali tidak lucu. Aku berusaha sebaik mungkin menanggapi suaranya yang manis dan bergetar dengan nada ringan.
"Kalau aku mikirin kamu di tempat tidur, itu bisa ngehalangi aku menjalani kehidupan SMA yang sehat."
Maksudku, aku serius di sini.
Laki-laki SMA punya banyak hal yang harus dihadapi.
Bisikan di telingaku berlanjut.
"Kalau gitu, mungkin aku harus beri kamu alarm berisi rekaman suaraku? Alarm yang pesannya bisa berganti-ganti secara acak."
"Apa isi pesanmu nanti?"
"'Aku mengawasimu'."
"Geez! Kamu gak nyelipin kamera tersembunyi di hadiah ini, kan?"
Nanase terkekeh, menjilat bibirnya dengan tatapan menantang di matanya yang sensual. Aku hampir saja terpancing oleh pemandangan ini.
Nanase melanjutkan, suaranya serak, seolah menyadari reaksiku.
"Dengar... kalau kita sempat nyelesaiin apa yang kita mulai hari itu, itu bisa bantu nyiptain suasana, kan?"
"Kamu mencoba merayuku?! Gak semudah itu!"
Sialan. Nanase merebut kembali kesempatan itu.
Dia sudah pulih sejak kejadian terakhirnya, pastinya.
✶
Kembali di atap, Yuuko berbicara lebih dulu, seolah memberi isyarat bahwa kami telah membuat mereka menunggu.
"Kalian berdua lama banget!"
Nanase mengangkat kantong belanjaan supermarket tinggi-tinggi sambil menjawab.
"Maaf, maaf. Kami agak teralihkan. Tapi kami membeli banyak barang."
"Semuanya, silakan ambil sendiri."
Aku meletakkan minuman di tengah lingkaran kelompok.
Setelah semua orang mengambil minuman, Yuuko meminum jus jeruknya.
"Baiklah, jadi kita mulai lagi? Saku-kun, selamat ulang tahun!"
" " "Selamat ulang tahun!" " "
"Makasih, makasih."
Kami semua bersulang dengan botol plastik masing-masing.
Haru meneguk Pocari Sweat-nya, lalu menatapku.
"Nee, sayang, gimana rasanya berumur tujuh belas tahun?"
"Hmm, setelah kamu menyebutkannya... tujuh belas tahun kedengarannya cukup menyenangkan. Seperti, tepat di tengah-tengah masa muda."
Aku berhasil menjawab, tapi bahkan aku merasa apa yang kukatakan agak aneh.
"Kurasa aku sedikit ngerti. Enam belas tahun masih terasa seperti anak-anak, dan delapan belas tahun terasa seperti langkah terakhir sebelum dewasa. Tujuh belas tahun memang masa SMA yang menyenangkan, ya."
Masa SMA yang menyenangkan, ya.
Kata-kata Haru anehnya beresonansi denganku.
Sebagai murid tahun kedua, remaja tujuh belas tahun, kecemasan yang kami rasakan saat memulai SMA mulai memudar, dan bayang-bayang ujian masuk perguruan tinggi yang akan datang belum mulai membayangi. Kurasa itu memang bisa disebut masa SMA yang menyenangkan.
Aku senang bisa menghabiskan waktu seperti ini dengan orang-orang seperti ini.
"Hei, beri aku Pocky."
Mengabaikan rasa sentimental yang hendak kurasakan, Haru mulai mendesak Yua untuk meminta camilan.
"Ini."
"Ucchi. Suapi aku."
"Oke, oke."
Yua mengeluarkan sebatang Pocky dari kotak yang dipegangnya dan mendekatkannya ke mulut Haru.
Snap-snap, snap-snap.
Haru melahap sebatang Pocky itu seperti anak burung yang baru lahir disusui induknya. Hmm, sungguh adegan yang lucu.
Kaito memperhatikan, dengan ekspresi bodoh di wajahnya.
"Ucchi, Ucchi, suapi aku juga."
"Uh..."
"Ayolah!!!"
Bung, apa yang kau harapkan?
Tapi Kaito, yang selalu bodoh, tak gentar.
"Baiklah kalau gitu, karena si Saku ini selangkah lebih dekat ke masa dewasa, ayo kita lakukan. Ayo main King Game! Yoshaa!"
" " "...." " "
Bodoh bukanlah kata yang tepat. Orang ini benar-benar idiot.
Suasana menjadi dingin, dan Yuuko angkat bicara dengan jijik.
"Kaito, kamu menjijikkan."
Haru dan Yua mendukungnya.
"Baca situasinya."
"...Ya ampun."
Bahkan Kenta pun ikut bicara.
"Er, Asano...."
"Jangan kau juga, Kenta! Hei, Saku...."
Jangan libatkan aku. Jangan pasang tatapan mata anak anjing kaya itu.
"Hentikan. Gimana denganmu, Kura-san? Cukup dengan orang paruh baya yang nyeramin itu."
Kataku, meskipun sebenarnya tidak perlu dikatakan.
Tapi kemudian....
"Hmm? Memangnya apa salahnya main King Game?"
Nanase tiba-tiba setuju.
Yuuko menunjukkan keterkejutannya.
"Heeh? Bisa aja kita berakhir main Pocky Game sama Kaito, tahu? Itu sama sekali gak bisa!"
"Ayolah, teman-teman..."
Mengabaikan Kaito yang tampak lesu, Nanase bicara.
"Hmm, selain Pocky Game, kita tetapin aja gak boleh ada hal cabul. Ini kan cuma game, jadi kalau ada yang gak ingin kalian lakukan, silakan menyerah."
"Memang sih, tapi..."
Nanase memang masuk akal, tapi Yuuko masih tampak ragu-ragu.
Lalu Kazuki angkat bicara dengan raut wajah nakal.
"Di sisi lain, kamu mungkin bisa main Pocky Game sama Saku. Iya, kan, Yuzuki-san?"
"Mungkin? Setiap orang punya interpretasinya masing-masing, kan?"
Nanase tidak terpancing. Dia membiarkannya begitu saja.
"Gitu ya... Saku, gimana menurutmu?"
Yuuko menatapku.
"Hmm, aku sih gak masalah asalkan kita bersikap seperti anak SMA yang baik, seperti saran Nanase-san. Hmm, biar Kenta yang jadi wasitnya. Dia bisa nghentiin kita kalau situasinya terlihat kelewat batas."
"A-Akuuu?!"
"Dari semua orang, menurutku pola pikirmu yang paling masuk akal."
Hmm, bagaimanapun, tidak ada seorang pun di sini yang akan menyarankan sesuatu yang terlalu gila. Kami punya beberapa orang bodoh yang tidak bersalah di antara mereka. Kami mungkin akan baik-baik saja.
Yua terkikik.
"Aku setuju. Aku pasti terlalu khawatir kalau nyerahin itu pada Kaito dan kalian."
"Yua-san, apa kamu juga memasukkanku?"
...Hmm, bisakah kamu berhenti tersenyum misterius kaya gitu?
Di sampingku, Kenta gemetar.
"Tunggu, apa kita benar-benar akan main itu? Kalian anak-anak populer itu menakutkan! Kalian dengar aku? Kalian itu mengerikan!"
✶
"Baiklah, udah diputusin. Ronde pertama dari King Game yang mendebarkan! Hore!"
" " "Hore." " "
Menanggapi aba-aba antusias dari Kaito, kami semua menjawab dengan nada lesu.
"Akan ada beberapa ronde?"
Tanyaku.
Kenta menjulurkan tangannya ke tengah lingkaran, menggenggam segenggam sumpit kayu sekali pakai, satu untuk setiap orang.
"Lupain aja detail-detail kecilnya! Ayo, semuanya, ambil sumpitnya. Siap? Ambil!"
" " "Siapa rajanya?" " "
Setelah hening sejenak, Kaito meninju udara.
"Yosh! Aku!!!"
Haru memasang wajah cemberut.
"Ack! Langsung jadi raja?"
Kaito melipat tangannya dengan puas dan berpikir sejenak sebelum berbicara.
"Hehehe. Mari kita lihat saja. Nomor satu harus nyuapiin nomor tujuh Pocky... dengan sangat lembut!"
Dia benar-benar bodoh. Baguslah...
Pikirku.
"Kamu sadar kamu gak dapat Pocky dari ini?"
"...Sial! Aku gak kepikiran!"
"Tunggu, aku nomor tujuh."
Kataku.
"Siapa yang nomor satu...?"
Kazuki mengangkat tangannya.
"Kurasa aku."
"Hei! Siapa yang mau itu?"
Aku diberi Pocky, jadi kenapa harus semenyedihkan ini?
Yua memberi Kazuki sebatang Pocky, dan Kazuki berjongkok di sampingku.
Lalu Kazuki berbicara dengan suara manis.
"...Saku. Liat ke sini."
"Jangan usap pipiku! Jangan sentuh daguku!"
"Gak apa-apa, aku janji akan bersikap lembut."
"Jangan masukkan Pocky itu ke mulutmu!"
"Ayo, buka mulutmu lebar-lebar."
"Singkirkan wajahmu dari ruang pribadiku!"
Kazuki mencondongkan tubuh, mabuk kekuasaan, dan Kenta turun tangan, menarikku keluar dari jangkauannya.
"Pelanggaran! Mizushino, serangan itu ilegal!"
"Ayolah, Kenta."
Rengek Yuuko.
"Kamu ikut campur terlalu cepat! Ini jadi semakin menarik!"
"K... Kurasa jantungku berdebar kencang."
Tambah Yua.
"Kalian gak bisa begitu aja... berpasangan kaya gitu, dengan sembarangan! Apa kalian anak-anak populer gak mengerti itu?!"
Aku juga tidak begitu mengerti, tapi mungkin ini hanya Kenta yang menunjukkan hasrat seorang fanatik novel ringan atau anime.
"...Kenta sudah bicara."
Dan Kazuki menghela napas dramatis.
"Saku, kau gak terlalu kuat di bawah tekanan, kan?"
"Berhentilah bilang hal-hal menyeramin kaya gitu!"
Aku dan Kazuki bergulat selama beberapa detik, dan setelah itu mereda, Kaito mengocok sumpit lagi.
"Oke, oke, lanjut. Siap?"
" " "Siapa rajanya?" " "
Kazuki berbicara.
"...Itu aku. Hmm, coba kulihat. Nomor dua dan nomor tiga harus saling membisikkan kata-kata cinta. Ini semua cuma pura-pura, jadi nggak masalah, kan?"
Hmm, Kazuki menemukan cara cerdas untuk memutarbalikkannya.
Meskipun itu tidak terlalu vulgar, dan meskipun semua orang yang terlibat tahu itu cuma pura-pura, itu tetap akan menjadi tantangan yang mendebarkan bagi mereka berdua.
"Ewww, aku nomor dua lagi."
"....Nomor tiga."
Haru dan Yua yang berbicara.
Pasangan yang cukup menarik.
Pikirku. Haru yang membisikkan kata-kata manis juga menarik.
"Ya, lebih baik daripada harus ngelakuin itu pada seorang laki-laki."
Kata Haru sambil menggaruk pipinya, dan mulai merangkak ke arah Yua.
Lalu Haru mulai berbicara dengan suara yang luar biasa manis dan seksi.
"...Hei, Ucchi?"
"Er, ya, Haru...?"
Yua menjawab ragu-ragu, agak malu-malu.
Haru terus mempersempit jarak di antara mereka. Sekarang kepalanya tepat di depan dada Yua, dan dia mendongak menatap Yua.
"Ingat hari pertama kita benar-benar mengobrol?"
"Uh, ya."
"Ucchi, kamu baik banget. Ingat gimana kamu ikut campur untuk mendukung leluconku, meskipun kita belum benar-benar saling kenal?"
"H-Haru?"
Yua mencondongkan tubuhnya ke belakang karena tekanan yang Haru berikan padanya. Haru praktis mencondongkan tubuhnya ke atasnya sekarang.
"Aku masih belum lupa gimana kamu memberikannya padaku saat aku haus akannya, Yua." Bisik Haru dengan suara paling sensualnya.
"Seperti yuri yang sedang bergerak!!! Aomi, aku gak tahu kamu punya kemampuan itu!!!" Teriak Kenta, mengoceh.
Mata Haru melebar.
"...Hah? Maksudku, Yua mendukung leluconku. Lalu dia memberiku segelas air di kafetaria."
"Kamu sengaja membuatnya terdengar seperti sesuatu yang lain! Kamu memang sengaja!"
" " "Tch...." " "
"Jangan terdengar begitu kecewa, teman-teman!"
Sialan. Siapa yang nyuruh orang ini jadi wasit? Kukira kau seharusnya menyukai novel ringan cabul yang menampilkan fanservice tanpa henti?
Nanase mengusap dagunya, bergumam.
"I-Itu sangat halus. Sangat seksi. Bahkan, cukup mengkhawatirkan."
Yua, yang tersipu malu dan masih menjauh, merasa sangat lega.
"I-Itu hampir buat aku kena serangan jantung...."
Hmm, itu waktu yang tepat untuk menonton, itu sudah pasti. Aku berdiri.
"Maaf teman-teman, aku harus buang air kecil."
Lalu Kaito berteriak,
"Hei, Saku! Mau ke mana? Nanganin masalah ini...?"
"Aku benar-benar mau buang air kecil; sial?!"
...Enggak, ini serius tahu.
✶
"Saku-kun."
Setelah aku mencuci tangan dan keluar dari toilet, seseorang memanggilku.
"Gahh, kamu mengagetkanku. Apa kamu juga buang air kecil, Yua-san?"
"No komen."
Jalan berdampingan, kami mulai berjalan kembali ke arah atap.
Setelah berjalan beberapa saat, Yua tiba-tiba menepuk bahuku.
"Nee, aku ingin memberimu ini. Selamat ulang tahun."
Dengan senyum malu, Yua menyerahkan sebuah tas kecil, cukup besar untuk muat di telapak tanganku, dengan gambar bunga matahari di atasnya.
"Whoa, serius? Makasih. Boleh aku lihat isinya?"
"Tentu. Aku gak tahu apa kamu akan menyukainya, tapi..."
Aku melepas stiker yang menutup mulut tas dan menuangkannya ke telapak tanganku. Dua benda panjang dan pipih meluncur keluar.
"Oh! Casing ponsel dan beberapa pelindung layar!"
Mendengar antusiasme dalam suaraku, Yua tersenyum lembut.
"Punyamu agak rusak, kan?"
"Ah, ya. Jatuh dari sakuku waktu aku bertengkar dengan Yanashita. Manis sekali kamu menyadarinya."
Beginilah Yua-san.
Pikirku.
Sejujurnya, aku memang berniat membeli casing ponsel baru.
"Hmm, yah, kurasa itu menarik perhatianku. Dan kupikir akan nyeningin kalau kamu bisa lupain apa yang terjadi." Kata Yua.
"Maksudmu, lupain apa yang terjadi dengan Yanashita?"
"Itukah yang kumaksud? Kurasa... semuanya secara umum."
Semuanya secara umum. Jelas ada lebih banyak hal yang tidak dia katakan.
Yua sudah memikirkan hadiah ini dengan cukup matang. Tapi aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih dalam saat itu.
"Ini sangat membantu."
"Aku pilih casing kulit biru tua yang simpel, tanpa logo atau semacamnya. Kamu sepertinya tipe yang terganggu dengan casing lipat, jadi aku pilih yang standar, dan lapisan pelindungnya anti-reflektif. Apa gak masalah?"
"Hebat, Yua-san. Kamu benar-benar tahu dengan seleraku."
Kami sudah saling kenal sejak tahun pertama, tapi tetap saja aku takjub betapa sempurnanya Yua ini. Aku bahkan tidak yakin Yuuko bisa sebaik itu.
Aku merasa kalau Yuuko yang memilihkan casing untukku, dia pasti akan memilihkan casing berdasarkan apa yang menurutnya paling keren.
Yua meletakkan tangannya di dada dan tampak lega.
"Hehe, aku senang dengarnya. Mau kupakaikan casing dan lapisan pelindung yang baru?"
"Hmm, memasang casing dan lapisan pelindung yang baru kedengarannya mesu—aku bercanda, aku bercanda. Jangan remas leherku!"
"Mouu, Saku-kun."
"Tolong, pakaikan saja. Dan aku akan pastikan untuk menjaga casing baruku dengan baik."
Saat aku mengatakan itu, aku mendapat senyum lembut sebagai balasan.
"Kamu gak perlu menjaganya dengan baik. Simpan aja di dekatmu."
Entah kenapa, aku merasa Yua bermaksud lebih dari yang sebenarnya dia katakan.
Yua mengalihkan pandangan dariku, ke luar jendela, dengan raut wajah muram.
"Yah, ini ponsel. Tentu aja aku akan menyimpannya di dekatku. Hmm, tapi kurasa suatu saat nanti aku akan lupa untuk menjaganya dengan baik."
"Ya, baguslah. Itulah yang kuinginkan."
Kami berdiri di sana, berdampingan sejenak, menatap ke luar jendela, ke jejak asap yang panjang dan membentang di langit.
✶
"Saku-kun dan Ucchi udah kembali, jadi ayo kita lanjutkan! Siap?"
" " "Siapa rajanya?" " "
"Aku!"
Akhirnya aku jadi rajanya di ronde ketiga.
Yuuko, Yua, dan Haru menggerutu.
"Hei, selalu aja anak laki-laki!”
"Ya... itu mencurigakan."
"Kalian gak curang, kan?"
Aku menghela napas, menunjukkan telapak tanganku.
"Menurut kalian siapa yang bawa sumpit ini?"
Yuuko masih tampak curiga.
"Siapa—? Kaito-kun, bukan?"
Kazuki menyela.
"Benar. Menurutmu dia cukup pintar untuk curang tanpa ketahuan?"
" " "Benar!!!" " "
"Teman-teman, ayolah!"
Ketiga gadis yang ragu itu sepakat dalam hal ini; sementara itu, bahu Kaito merosot. Sambil mengamati, aku memiringkan kepalaku sedikit dan memberi perintah.
"Setelah kita bereskan itu, mari kita lihat... oke, nomor satu harus mengatakan sepuluh hal baik tentang raja."
Hmm, aku mendapatkan peran raja yang menarik, tapi bukan berarti orang yang kucalonkan tidak bisa bercanda untuk keluar dari situasi ini.
Sebuah tangan teracung ke udara.
"Aku. Si nomor satu."
"Nanase-san, ya? Baiklah, silakan."
Nanase meletakkan jarinya di bibir dan berpikir.
"Baiklah... untuk memulainya, pertama wajah."
"Tolong, cobalah temukan kecantikan batinnya juga, oke?"
"Kamu seorang narsis yang merasa dirimu yang terbaik di dunia, semua yang keluar dari mulutmu itu sok, kamu selalu nyeritain lelucon murahan, dan banyak di antaranya agak menjijikkan. Kamu selalu mencoba memperbaiki situasi sendiri. Kamu penggoda yang buruk, kamu keras kepala, dan kamu agak canggung."
....Hei.
Aku tahu aku bilang aku mengira dia akan bercanda tentang ini, tapi aku tidak meminta untuk di-roasting.
"Hei... ada yang gak kamu sukai dariku, atau apa?"
Nanase berhenti sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan senyum yang indah.
"Tapi... kamu orang paling baik yang kukenal, dan kamu bukan Chitose tanpa semua hal itu... kurasa?"
"Nanase-san..."
Aku tak bisa membalas untuk sesaat.
"Baiklah, baiklah. Aku akan memberimu seratus pujian!"
Yuuko angkat bicara dari pinggir lapangan.
Nanase berganti mode dengan bunyi klik yang hampir terdengar.
Matanya tertuju pada sumpit yang dipegang Yuuko, dia berkata,
"Hah? Aku rasa nomor dua gak dipanggil?"
"Aw! Baiklah, baiklah."
"Tapi kamu tahu, karena Chitose mencalonkan nomor satu, alias aku, dan bukan nomor dua, alias Yuuko..."
"Oh, berhenti menyebutnya sebagai nomor dua!!!"
"Kalau gitu, aku panggil kamu... simpanan?"
"Tunggu, kalau itu Ucchi!"
"Um..."
Yua yang kesal mencoba menyela, tapi kemudian Kenta memotong mereka semua.
"Bisakah kalian berhenti?! Fanservice-nya terlalu banyak sampai rasanya aku akan sakit perut! Bisakah kita lanjutkan saja? Kumohon!"
Kazuki angkat bicara dengan malas.
"Hmm, ya, kita semua menikmati game-nya, tapi bisakah kita menjadikan yang berikutnya sebagai babak final?"
Kaito setuju.
"Benar. Kita gak akan mendapatkan hasil yang terlalu menarik dari ini. Baiklah, ayo kita lakukan yang terakhir. Siap?"
" " "Siapa rajanya?" " "
"...Aku."
Kata Kenta ragu-ragu.
Kaito dan Kazuki sama-sama menyeringai.
"Baiklah, Kenta, kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?"
"Waktunya untuk bangkit, Kenta."
"Erm, yah... er, Raja?"
"Hmm."
Aku mengangguk.
"Oke... kalau begitu... nomor empat dan nomor lima harus—melakukan Pocky Game!!!"
" " "Oooh!" " "
"Apaaa?!"
Saat semua orang mundur, Kenta mulai panik.
Aku ingin mendukungnya.
"Itulah satu hal yang dihindari dan dihindari semua orang, tapi kau tetap melakukannya. Berani sekali. Anak populer sejati!"
Kazuki terkekeh.
"Aku mengira dia akan melakukannya."
"Kerja bagus, Kenta! Aku nomor lima!!!"
Kaito bersorak.
Sementara itu, Yuuko menyipitkan matanya ke arah Kenta.
"Ewww. Aku nomor empat. Kentacchi, gimana kamu bisa lakuin ini?"
"A—Aku kira aku hanya mengikuti arus, ini..."
Kenta, jangan menatapku seperti anak anjing terlantar.
"Aku sudah bilang padamu : Jangan coba-coba membaca situasi atau semacamnya. Ini urusanmu. Kau saja yang urus."
"M-Maaf, Yuuko-san...."
Kenta menundukkan kepalanya, tampak menyesal.
"Ugh, gak apa-apa. Ucchi. Beri aku Pocky."
"Apa... kamu yakin?"
Kaito yang menyarankan untuk bermain King Game, tapi sekarang dia mulai bingung dan malu. Yuuko duduk di depan Kaito, menggenggam sebatang Pocky.
"Kurasa ini harus dilakuin. Game tetaplah game. Sekarang tutup matamu. Ini sudah cukup memalukan."
"T-Tapi kalau begitu aku gak tahu kapan harus berhenti."
"Lakuin aja! Aku yang akan berhenti. Aku gak bisa ngebayangin nunjukkin wajah ciumanku kepada siapapun selain pada Saku-kun."
"OO—Oke!”
"Siap? Buka mulutmu."
Kaito memejamkan matanya dan membuka mulutnya dengan cara yang konyol.
Snap, snap, snap.
Kedua peserta itu mematahkan ujung stik Pocky mereka masing-masing, membuatnya semakin pendek, sampai...
"Y-Yuuko-san! Sebaiknya kita berhenti! Berhenti! Atau kita benar-benar akan berakhir berciuman— Hmm?"
Kaito menyerah lebih dulu, matanya terbuka lebar. Lalu dia tersadar.
"Te-hee! ♪"
Yuuko menjulurkan lidahnya.
"Itu aku, Kenta."
"K-Kentaaa?!!!"
"Maaf, maaf. Gak ada yang mau ngeliat istri secara sah tokoh utama direbut laki-laki lain, jadi aku harus turun tangan dan menjadi tameng."
"Tepat sekali!"
"Kau ngelewatin batas!!!"
✶
Setelah itu, kami merapikan botol soda dan bungkus camilan, lalu aku menyapa kelompokku.
"Baiklah, aku akan mengunci pintu lalu pulang. Sampai jumpa besok."
"Makasih! Sampai jumpa!""
Aku memperhatikan mereka keluar dari pintu, satu per satu. Aku merasakan sedikit kesepian, dan sisa kehangatan dari keceriaan yang telah kami lalui bersama.
Hal kaya gini lumayan juga.
Pikirku.
Di beberapa tahun pertama sekolah dasar, kami mengadakan pesta kelas setiap kali ada yang berulang tahun, tapi sejak kelas empat, acara seperti itu mulai jarang diadakan. Aku tenggelam dalam kenangan masa lalu yang jauh, ketika...
"Te-hee, Saku-kun."
Sebuah wajah yang familiar di sampingku, berseri-seri.
"Huh, Yuuko-san. Kamu boleh pergi duluan; gak apa-apa."
Aku sengaja menggodanya sedikit.
"Hmph! Kamu tahu aku masih belum ngasih kamu hadiahku!"
"Aku bercanda. Gimana mungkin aku gak perhatiin tas itu?"
Yuuko mengulurkan tas berwarna oranye itu kepadaku, gembira.
"Nee, nee, menurutmu ini apa?"
"Hmm, karena itu kamu, Yuuko-san, mungkin pakaian?"
"Ooh, maaf! Ayo, buka!"
Aku menurutinya dan membuka pita emasnya, melihat isinya.
"Ini... yukata?"
Ada jubah katun yukata hitam di dalamnya, dengan motif yang halus.
"Ding-ding-ding! Omong-omong, kamu dilarang bilang udah punya, oke?"
Nada suara Yuuko yang ceria membuatku tersenyum.
"Begitu ya. Yah, kurasa aku harus pakai ini ke festival musim panas?"
Ada insiden baru-baru ini, dan Yuuko akhirnya melihat foto Nanase dan aku memakai yukata bersama di festival musim semi. Itu pasti yang memberinya ide untuk membelikanku salah satunya sebagai hadiah. Yang kupakai waktu itu berwarna biru polos, jadi mungkin dia ingin aku pakai yang berbeda.
Yuuko mengacungkan satu jari.
"Asal kamu tahu! Kalaupun akhirnya kita pergi berkelompok, aku ingin jadi orang pertama yang melihatmu pakai itu. Setuju?"
"Setuju. Aku yakin ini mahal. Makasih."
"Gak apa-apa; itu sebagian besar untukku. Ayo kita nonton kembang api bersama tahun ini, oke?"
Itu mengingatkanku pada musim panas lalu. Campuran nostalgia dan kepahitan.
"Maaf aku menolak pergi tahun lalu. Kurasa sekarang udah gak apa-apa."
"Aku tahu. Tapi berkat itu, sekarang lebih banyak gadis di sekitar yang menyadari daya tarikmu. Aku yakin kamu juga dapat hadiah dari yang lain, kan?"
Dengan tatapan Yuuko yang seperti itu, aku harus jujur.
"Orang-orang sialan itu gak kasih aku apa-apa, tapi aku dapat hadiah dari Nanase-san dan Yua-san."
"Sudah kuduga. Aku tahu kalian berdua terlalu lama kembali."
"Kamu bahkan gak akan tanya apa yang kudapat?"
"Itu akan sangat gak sopan!"
Yuuko menjulurkan lidahnya.
"Yah, kurasa itu gak penting."
"Baiklah. Yang penting kamu dan aku saling memahami, Saku-kun. Gadis-gadis lain sama sekali gak penting."
Matahari sore menyinari senyum Yuuko yang begitu cerah.
Aku berbicara dengan santai, khawatir aku akan salah langkah.
"Meskipun kamu jelas-jelas dendam soal kencan yukata-ku dengan Nanase-san?"
"Bakka!"
✶
Yuuko dan aku berpamitan di atap, lalu aku memutuskan untuk langsung pulang.
Aku sedang mendorong pintu dengan ujung sepatu Stan Smith-ku ketika...
"Chitose!"
Haru sedang joging—bukan, berlari kecil.
"Haru-san, kukira kamu sudah pulang?"
"Gak, gak, aku harus lari buat ngambil hadiahmu dari ruang klub. Aku ninggalinnya di sana saat latihan pagi. Jadi aku harus benar-benar berlari!"
Aku terkejut.
"Hah? Haru-san, kukira kamu itu tipe orang yang suka bolos dari konvensi gadis?"
Aku mengatakannya tanpa berpikir panjang, tapi kerutan muncul di antara alis Haru.
"Hmm? Oh, jadi kamu gak mau ini?"
"Bercanda, bercanda! Kamu terlihat kaya atlet sejati, Haru-san, tapi ternyata kamu ramah dan perhatian! Aku terkejut, itu aja!"
"Chii♪ too♪ se♪, apa kamu lagi nyari luka memar sekarang?"
"Maaf, maaf. Gak, ini sungguh sesuatu, serius. Sejujurnya, aku agak berpikir, Hah, gak dapat apa-apa dari Haru, ya?"
Dan aku cukup jujur di sana.
Apa aku akan mendapat hadiah dari semua orang?
Aku sudah berpikir, meskipun aku tahu itu kekanak-kanakan. Tapi sejujurnya, membayangkan tidak mendapat apa-apa dari Haru agak mengecewakan.
"Oh, jadi kamu mau hadiah khusus dari Haru ini, ya?"
Haru mencolek-colek dadaku.
"Hmm, bisa dibilang begitu."
"Kalau gitu, berdiri dan kagumlah."
Haru mundur selangkah dan mulai memutar.
"Jangan dilempar!"
"Haru ini selalu blak-blakan soal perasaannya!"
Aku menerima tas olahraga yang dengan tenang dia berikan padaku, dan di dalamnya, aku melihat sesuatu yang sama sekali tidak terduga.
"Ini—Sarung tangan baseball?"
"Ya, benar."
"Kenapa kamu—? Tunggu, ini terlalu kecil untukku, kan?"
"Itu karena sarung tangan ini untukku."
Kata Haru dengan nada datar.
"...Tunggu. Aku jadi bingung. Ini bukan hadiah untukku?"
"Cobalah untuk ngikutin. Hadiahmu adalah aku membeli sarung tangan untuk diriku sendiri, mengerti?"
"Sayang, kayanya otot-ototmu itu mulai mencekik otakmu."
"Hei! Apa maksudmu?! Dengarkan! Kamu udah pensiun, kan?"
Haru melangkah lebih dekat dan menatap wajahku. Dia mencari jawaban.
"Pensiun... Ya."
"Kamu berhenti bermain bisbol, dan kamu belum nyentuh bola lagi sejak itu. Jadi kupikir, setidaknya aku bisa bermain tangkap bola denganmu sesekali."
"Haru-san..."
Saat aku menggumamkan namanya, aku mendapat cengiran khasnya sebagai balasan.
"Jadi, sayangku. Mengejutkanmu, kan? Apa kamu merasa sedikit jatuh cinta padaku?"
Aku terkekeh.
"Mungkin."
"Baiklah, aku akan melawanmu. Lagipula, kekuatan fisik aja yang kumiliki, kan?"
"Makasih, Haru-sam."
"Gak masalah, gak masalah. Sebagai gantinya, ajari aku dasar-dasar permainannya."
"Aku peringatkan kamu sekarang, aku pelatih yang sangat tangguh."
"Oh, Saku ♡. Lembutlah sedikit, oke?"
"Pffft!!!"
Aku mendengus tertawa, dan Haru membungkuk dalam-dalam.
"Kumohon, bersabarlah padaku, Pelatih."
"H-Hentikan. Perutku sekali kalau kamu bercanda."
Aku mengelus sarung tangan merah menyala itu sambil terus terkekeh, lalu mengembalikannya kepada Haru.
✶
Aku bisa mendengar suara air mengalir, suara sungai.
Langit kemerahan dihiasi awan tipis, menandakan malam akan segera tiba.
Tepi sungai yang biasa kini diselimuti rasa damai yang biasa. Dan seperti biasa, dia ada di sana, asyik dengan buku yang digenggamnya. Aku memanggilnya.
"Asuka Senpai."
Dia berbalik dan mendongak tanpa ekspresi terkejut, seolah-olah dia memang menungguku.
"Aku tahu aku akan bertemu denganmu hari ini."
"Kok bisa?"
Aku tahu pertanyaanku terdengar agak kekanak-kanakan, tapi ya sudahlah.
"Hmm, penasaran? Mungkin karena aku ingin bertemu denganmu."
"Kamu berharap pada bintang atau semacamnya?"
"Gak ada yang terlalu disengaja. Kapan pun aku ingin bertemu denganmu, aku hanya perlu membaca di sini."
Asuka ingin bertemu denganku. Kata-kata itu terngiang di telingaku.
Aku merasa seperti akulah yang selalu ingin bertemu dengannya. Aku berasumsi dia hanya mengikuti arus. Ini pertama kalinya dia bilang sudah menungguku, tapi kupikir menyelidiki lebih jauh akan terasa kurang sopan. Jadi aku memilih obrolan biasa saja.
"Kamu baca apa hari ini?"
"Aisazu ni wa Irarenai, karya Yoshinaga Fujita."
"Penulis Fukui. Autobiografi, ya."
"Benar. Dia menggambarkan perasaannya, pindah ke Tokyo dari Fukui."
Aku menggigit bibirku sedikit sebelum bicara.
"...Maaf soal kemarin."
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Kurasa, hari itu... aku memaksakan idealisasiku padamu."
Hari itu, maksudku hari ketika aku menemukan Asuka mencengkeram buku aplikasi kuliah bersampul merah itu. Banyak hal terjadi dengan Nanase saat itu, dan itu cukup mengganggu, tapi aku merasa terlalu banyak bicara, atau setidaknya bicaranya asal bicara.
"Karena aku hanya gadis hantu bagimu, ya? Ilusi, ya?"
Asuka tidak terdengar terlalu terpaku pada hal itu.
"Hmm, itu cara yang cukup dingin buat bilangnya."
"Aww, ikut saja. Kamu gak masih kesal soal itu?"
"...Kamu tahu, kemarin ulang tahunku."
"Jadi?"
"Beri aku sesuatu."
Aku mengulurkan kedua tanganku sambil berbicara. Kurasa aku pikir tidak apa-apa menjadi anak kecil hari ini.
Asuka terkekeh, bahunya gemetar.
"Gak seperti dirimu yang blak-blakan."
"Kupikir aku akan berperan sebagai juniormu sekali ini."
"Perubahan hati? Atau pengaruh Nanase itu?"
Sikapnya yang tenang membuat ini jauh kurang menyenangkan, jadi aku menjawab dengan nada menggoda.
"Mungkin... tapi kalau aku bilang ya, apa kamu akan merasa... rumit tentang itu?"
"Ya, aku akan pulang setelah ini dan mengunyah sepraiku karena frustrasi."
"Kau ini memangnya apa? Hamster?"
Responsnya yang tak terduga benar-benar membuatku tertawa. Aku masih tertawa ketika Asuka mulai mencari-cari sesuatu di tas sekolahnya. Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas biru muda.
"Ini. Selamat ulang tahun."
"Tunggu, kamu benar-benar punya hadiah untukku? Aku gak ingat pernah kasih tahu kamu kalau ini hari ulang tahunku sebelumnya, kan?"
Bahkan saat aku bertanya, aku tahu aku belum memberitahunya.
Aku dan Asuka tidak pernah punya waktu selama itu, kapan pun kami bisa mengobrol. Tidak sejak kami bertemu.
Jadi aku cukup yakin aku hafal semua percakapan kami.
Dan ulang tahunku tidak pernah sekalipun disebut.
Asuka tidak membenarkan atau membantahnya, hanya memberiku seringai misterius.
"Hmm, entah? Tapi aku tahu aku bersyukur kamu lahir."
Tidak ada gunanya menyelidiki lebih jauh.
Aku kembali ke pokok bahasan.
"Jangan terlalu dramatis. Boleh aku membukanya?"
Asuka membuat ekspresi seperti anak kucing yang baru saja menemukan cara bermain baru.
"Tutup matamu sampai kubilang boleh dibuka. Itu yang kamu mau?"
"Sebenarnya, aku ingin kamu melakukannya saat melamar."
Aku membuka hadiah itu, berpikir, Hahh, ya ampun.
"...Apa ini? Earphone?"
"Ya. Kamu bilang kamu gak punya earphone, ingat?"
"Ingatan yang bagus."
"Omong-omong, aku membelikanmu earphone yang sama dengan yang kupakai."
Asuka menyeringai—senang tapi sedikit malu.
"Kurasa aku ingat pernah melihat earphone biru kehijauan ini."
"Aku agak suka mendengarkan musik denganmu, masing-masing satu earphone. Kita mungkin gak akan bisa melakukannya lebih lama lagi, kamu tahu."
"Sudah, sudah, jangan sentimental hari ini. Hei, tunggu, kukira earphone-mu berkabel?"
"Ya. Mereknya sama, pada dasarnya modelnya sama, tapi aku membelikanmu yang nirkabel."
"Hmm, sepertinya itu lebih berguna akhir-akhir ini."
"Kupikir kamu akan terlihat lebih baik dengan yang gak terhubung."
Aku mencoba mengabaikan kata-kata itu, yang sedikit menggelitik otakku, saat aku mengeluarkan earphone dari kotaknya.
"Begitu ya... Oh, lihat, ini sudah terisi dayanya. Ini, Asuka Senpai. Ambil satu."
"Makasih."
"Seandainya waktu ini bisa lebih lama."
"Sudah kubilang, jangan sentimental."
Itu benar.
Pikirku.
Aku tertawa mengusir kesedihan yang mulai merayap.
"Kalau gitu, mari kita dengar lagu 'Happy Birthday'-mu yang mengerikan."
Aku yakin dia akan menolak, tapi Asuka malah menarik napas.
"Selamat ulang tahun untukmu, selamat ulang tahun untukmu, selamat ulang tahun, sayang..."
Lagu ulang tahunnya seperti gumaman, atau bisikan, begitu pelan sehingga orang yang lewat tak akan mendengarnya, melebur ke dalam kegelapan malam di sekitar kami.
Aku memejamkan mata dan mendengarkan suara yang kukagumi.
Setelah aku berusia delapan belas tahun, aku yakin aku akan berhenti mendengarkan lagu ini.
Lalu, seolah ingin menutupi melodi yang memudar, aku memutar lagu-lagu yang pernah kudengarkan bersama Asuka berkali-kali sebelumnya—agar aku bisa mengingat hari ini, di suatu malam yang sepi di suatu titik yang tak pasti di masa depan.