CHAPTER TWO
Ilusi, Tendangan Jatuh
Ilusi, Tendangan Jatuh
Hari Minggu setelah kencan pertamaku dengan Asuka, aku pergi ke LPA, pusat perbelanjaan favorit semua orang, bersama Kaito, Yuuko, dan Haru. Kumpulan yang agak tidak biasa.
Haru hanya latihan klub pagi dan sudah selesai, dan dialah yang memulai acara nongkrong ini ketika dia bilang ingin mencoba memukul beberapa bola kali ini. Aku menyarankan untuk pergi ke pusat latihan batting atau semacamnya, tapi Yuuko entah bagaimana menyadari rencana itu dan ikut bergabung : "Aku juga mau kencan dengan Saku-kun!" Dan kemudian Kaito, yang ada di sekitar sana, ikut bergabung juga.
Jadi kenapa kami semua pergi ke LPA? Yah, Yuuko bilang dia ingin berbelanja sedikit. Haru tampak tidak terlalu tertarik, tapi dia tidak menolak.
Ketika Yuuko muncul di tempat pertemuan, dia mengenakan jaket kotak-kotak glen yang tampak mahal dengan celana pendek yang senada. Hari ini, rambut panjangnya dikepang ke belakang dan menjuntai di depan bahunya.
Haru mengenakan parka Champion yang longgar. Gaun itu berwarna biru aqua cerah dengan keliman yang hanya menutupi setengah pahanya. Kakinya yang tampak sehat terentang di balik keliman itu. Ketika aku bertanya tanpa berpikir, "Kamu yakin bisa bergerak bebas dengan pakaian itu?", dia menjulurkan lidahnya dan menjawab : "Duh, aku pakai celana pendek di baliknya, tahu."
Aku sungguh tidak menyangka akan melihat pemandangan seperti itu saat tiba.
Jadi kami mendinginkan diri di dalam Lpa, dan sekarang kami menemani Yuuko sambil melihat-lihat pakaian. Yah, kami berdua hanya bersantai tanpa melakukan apa-apa.
Yuuko mengambil gaun bermotif bunga dan melihat sekeliling.
"Haru, apa kamu selalu pakai pakaian kasual seperti itu?"
"Ya. Aku suka yang mudah bergerak."
"Heeh? Kamu harus coba pakai yang seperti ini! Aku yakin pasti cocok banget buat kamu!"
"Itu baju untuk gadis feminin sepertimu, Yuuko. Kurasa Yuzuki juga cocok pakai baju itu."
"Itu gak benar! Akan kubuktikan! Aku tahu kamu punya gayamu sendiri, jadi aku gak bilang kamu harus memakai ini setiap hari, tapi setidaknya kamu harus punya satu pakaian seperti ini untuk hari-hari spesial!"
"Hari-hari spesial?"
"Seperti saat kamu berkencan dengan orang yang kamu sukai."
"Gak, gak, gak, gak. Yuuko, sebenarnya apa yang kamu pikirin tentang aku?"
"Menurutku kamu itu gadis yang manis?"
"Jangan bersikap datar gitu!"
Setelah dipikir-pikir lagi, mereka berdua memang pasangan yang tidak biasa untuk dilihat bersama.
Kurasa ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar melihat mereka berdua mengobrol.
Yuuko perlahan menoleh ke arahku.
"Nee. Saku-kun, Kaito-kun, apa pendapat kalian berdua?"
Kaito meletakkan tangannya di belakang kepala, jari-jarinya saling bertautan, saat dia menjawab.
"Hmm, entahlah. Kita sedang membicarakan Haru-san di sini."
"Apa yang baru saja kamu bilang itu, hey?!"
Haru langsung menyerang, tapi dia tampak setengah lega saat melakukannya.
Aku memperhatikan Haru, sudut mulutku terangkat ke atas. Maksudku, meskipun kalian tahu sesuatu tentang diri kalian sendiri, orang lain yang menunjukkannya bisa sangat membuat kalian kesal. Haru pernah mengatakan itu sebelumnya.
Haru berbalik menatapku, mungkin salah mengartikan senyumku.
"Ya, ya, aku yakin sayangku ini juga berpendapat sama. Maafin aku karena kurang manis, oke."
"Bukan itu..."
Aku terbatuk kecil sebelum melanjutkan.
"Sejujurnya, aku ingin sekali melihatnya. Kamu dengan pakaian feminin."
"...Heeh?"
Haru tersipu malu dan mundur beberapa langkah dengan terhuyung-huyung. Mungkin lebih baik bersikap acuh tak acuh.
"Dengar. Video dewasa aneh apa yang kamu tonton online? Kamu itu punya selera yang aneh, atau apa?"
"Baiklah. Mau kutambahkan beberapa lapis gula lagi, nona?"
Aku sebenarnya bicara dari hati. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaannya atau semacamnya.
Awalnya, Haru adalah tipe gadis yang, hanya karena penampilannya, sangat cocok menjadi bagian dari Tim Chitose. Dia memiliki kepribadian yang santai sehingga membuatnya diperlakukan lebih seperti laki-laki, itu saja, tapi bukan berarti dia sengaja merendahkan diri.
Tapi, kalau aku sampai mengatakan hal seperti itu, kami berdua akan malu, jadi aku biasanya menahan diri. Jadi, kenapa aku sampai bicara sembarangan hari ini, ya?
Aku bicara lagi, dengan santai, mencoba menekan perasaan yang terlalu berat untuk kutahan.
"Jadi, Yuuko-san, tolong... buatlah dia cantik! ♪"
"Tentu!"
"H-Hei! Tunggu dulu!!!"
Haru mencoba kabur, tapi Yuuko menangkapnya dan menyeretnya lebih jauh ke dalam toko.
✶
"Semuanya, perhatian! Lihatlah ini!"
Mereka berdua masuk ke ruang ganti yang besar bersama-sama, tapi Yuuko lah yang membuka sedikit tirai dan menyelinap keluar. Tampaknya, Yuuko juga ingin memamerkan pakaian barunya.
Yuuko berpose ala model.
Di sampingku, Kaito berseru :
"Whoa!"
Itu bukan celana pendek hot pants, tapi Yuuko mengenakan celana pendek denim rusak yang nyaris menutupi bagian-bagian penting. Dan dia mengenakan sweter abu-abu longgar di atasnya seperti yang dikenakan Haru, tapi yang ini dimasukkan ke dalam. Dia juga mengenakan topi baseball biru tua yang diturunkan rendah dan kacamata hitam bulat dengan lensa ungu tua.
Itu adalah gaya Yuuko yang sangat tomboi, dan kontrasnya cukup menarik. Namun, bukan itu saja. Paha montok dan payudaranya yang besar kontras dengan lekuk pinggangnya yang khas, membuatnya tampak seperti bintang Hollywood papan atas di hari libur mereka. Bahkan dengan pakaian tomboi itu, kalian bisa melihat bentuk femininnya. Penampilannya itu seksi sekali. Sangat, sangat seksi.
"Bagaimana menurut kalian? Hmm?"
Yuuko menggoyangkan pantatnya seperti anak anjing yang bersemangat.
Kaito mengangkat tangannya ke udara dan berteriak, tanpa ragu.
"Whoa! Luar biasa! Sangat seksi! Sangat imut! Menikahlah denganku!!!"
"Hehe! Tampilan kaya ini gak terlalu buruk sesekali, kan?"
Sambil terus berbicara, Yuuko menoleh untuk melihat reaksiku.
Aku mengacungkan jempol, dan Yuuko membiarkan wajahnya menyeringai konyol.
"Tapi kalian tahu, tampilan ini bahkan bukan hidangan utama hari ini. Kalian pasti akan sangat terkejut! Haru, apa kamu siap?"
Yuuko berbalik dan memanggil kembali ke ruang ganti.
"Gaaa!!!"
"Bagus, kalau gitu aku akan ngitung mundur dari lima. Lima, empat..."
"Kenapa harus repot-repot gitu?!"
"Tiga, dua, satu."
Hitung Yuuko, sebelum meraih tirai.
"Nol!"
Yuuko menarik tirai hingga terbuka dengan cepat.
....Nng.
Aku menelan rasa gugupku secara refleks.
Haru mengenakan gaun biru semitransparan. Gaun itu disulam dengan bunga-bunga kecil dalam skema warna yang serasi, dan entah mengapa membuatku teringat musim panas yang akan datang. Bahunya yang telanjang mengintip dari balik tali bahunya, bagian kain yang tidak transparan memeluk dadanya, dan kakinya yang telanjang terlihat di balik rok mininya. Kesan keseluruhannya sungguh feminin.
Rambutnya juga ditata dengan gaya kepang yang sama seperti Yuuko, hanya saja rambutnya disanggul kecil di tengkuknya. Ada syal kuning lembut yang diikatkan di kepalanya. Kurasa dia juga memakai lipstik, bernuansa oranye.
Haru berdiri di sana dengan tangan disilangkan dan kepala tertunduk, tampak tidak nyaman.
"Jangan terus menatapku. Itu.... memalukan."
Kaito menanggapi dengan acuh tak acuh.
"Yuuko-san, kamu punya sentuhan ajaib! Rasanya dia bukan Haru lagi. Dia menjadi seorang gadis! Gadis sejati!"
Aku menghantamkan sikuku ke sisi tubuh Kaito, dan Yuuko memberi Kaito pukulan karate di puncak kepalanya.
"Guh, kenapa?"
Haru melirikku sekali, lalu menyeringai dan menjawab Kaito.
"Hmm, kalian tahu, aku benar-benar berpikir pakaian anak laki-laki yang bisa kalian pakai bebas bergerak cocok untukku. Sejujurnya, bahkan aku sendiri merasa aku terlihat agak aneh."
"....Haru-san."
Aku harus bicara.
"Kamu terlihat sangat cantik."
"Heeh?! Beraninya mengolok-olokku begitu?!"
Dari ekspresinya, kurasa aku berhasil membuatnya mengerti. Wajahnya memerah, sambil mengatupkan bibirnya dan membalikkan badan.
Yuuko tersenyum lembut, menepuk punggungku.
Hal-hal seperti inilah yang membuat Yuuko sama-sama populer di kalangan laki-laki dan perempuan, pikirku.
Aku melanjutkan.
"Itu gak benar, penampilanmu itu cocok banget. Aku suka banget penampilanmu yang biasa, tapi kadang-kadang pakai gaun kayak gitu juga enak dilihat, benar?"
Haru menjawab, punggungnya masih membelakangiku.
"H-Hentikan... serius deh... jangan lanjutin lagi."
Di sampingku, Yuuko mengambil alih.
"Kamu harus beli! Kita bisa pergi beli lipstik baru bareng-bareng setelahnya juga!"
"Ugh..."
"Kamu nggak mau beli?"
Haru berbalik perlahan, melirikku sekilas, lalu langsung mengalihkan pandangan.
"...Aku yang beli."
"Harus!"
Aku bertatapan mata dengan Yuuko, dan kami berdua tersenyum.
Kaito, yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi, hampir merasa dirinya tertinggal jauh.
✶
"Hyaagh!"
SMACK.
"Gyaah!"
CLUNK.
"Sial!"
WHACK.
"Jangan melampiaskannya pada bola, Haru-san."
Setelah selesai berbelanja di Lpa, kami menuju ke pusat pemukul bola yang berjarak sekitar sepuluh menit dengan sepeda.
Yuuko diantar ke mal oleh orang tuanya dengan mobil, jadi dia naik sepeda bersama Kaito. Seperti biasa, Yuuko berdiri di pijakan hub dan memukul-mukul punggung Kaito sambil berteriak, "Cepatlah, lambat!" Kaito terus berkata, "Oke, oke!" tapi dia menyeringai dan jelas ingin orang-orang memperhatikannya, yang benar-benar membuatku mual.
Sudahlah, bung.
Aku memberi mereka pelajaran sederhana tentang dasar-dasar pemukulan.
Karena tidak sabar, Haru sudah maju untuk memukul. Dia cepat menguasainya, dan tidak lama kemudian dia bisa memukul bola dengan kecepatan tujuh puluh kilometer per jam. Kebetulan, baju barunya sudah dimasukkan ke dalam tas belanja, dan dia sudah berganti kembali ke celana pendek dan parka agar mudah bergerak. Rambutnya kembali dikuncir pendek seperti biasanya. Oh, dan dia juga sudah membersihkan lipstiknya di kamar mandi.
"Ah, aku merasa jauh lebih baik. Pusat pemukulnya luar biasa, Chitose."
"Cih, dasar maniak olahraga. Kamu ngerusak rencanaku buat pamer kehebatanku. Kamu seharusnya gagal memukul setiap pukulan."
"Kamu mau pamer di depan Haru ini ♡, eh?"
"Sebagai balasan karena kamu nampilin sesuatu yang enak dilihat?"
"Lucunya, dan selanjutnya aku akan ngayunin tongkat pemukul ini padamu. ♡"
"Aku lupa ngajarin kamu satu hal yang sangat penting.... kamu gak boleh ngayunin tongkat pemukul ke manusia, oke?"
Saat kami sedang bercanda, Yuuko dan Kaito kembali setelah membelikan kami semua minuman di mesin penjual otomatis. Kaito melemparkan dua botol Pocari Sweat ke arah kami, dan Haru serta aku menangkapnya dengan satu tangan.
"Saku-kun, kamu gak memukul?"
"Aku jadi pelatih hari ini. Yuuko-san, kamu mau memukul?"
"Ya!"
Yuuko menjawab dengan riang dan melompat ke bilik pemukul. Pakaiannya yang modis tidak serasi dengan helm pengaman merah menyalanya, yang terlihat menggemaskan. Sambil memegang tongkat pemukul anak SD di pinggangnya, dia hampir terlihat seperti sedang berpose untuk pemotretan majalah mode.
Tulisannya kira-kira seperti ini : "Kencan dengan pacarku, yang anggota klub bisbol! Memakai pakaian yang modis untuk kontras yang imut!"
Kebetulan, Haru sedang mengayunkan tongkat pemukul ukuran dewasa yang disewakan gratis.
WHIRR. CLANK
Tuas mesin pemukul berputar, menyemburkan setumpuk bola.
"Hyup!"
Sambil mengerang keras, Yuuko mengayunkan tongkatnya dan hanya mengenai udara, yang membuatnya berputar-putar hingga jatuh terduduk. Helmnya, yang tampaknya agak kebesaran, jatuh menutupi matanya. Dia tertawa geli, menggaruk pipinya.
Pemandangan itu begitu menggemaskan hingga aku tidak bisa berhenti tertawa.
"Dengar, Haru-san. Untuk jadi gadis yang baik..."
"Gak perlu bilang padaku. Aku juga sedang memikirkan hal yang sama."
Di sampingku, Haru mengerutkan wajahnya, mengerutkan kening.
Aku menoleh ke Yuuko.
"Pegang tongkatmu sedikit lebih tinggi dan ayunkan dari atas bahu. Kamu harus memukulnya lebih seperti bola tenis dan memutar seluruh tubuhmu."
"Okee!"
Perbandingan dengan tenis tampaknya telah membantu Yuuko memahami segalanya sedikit lebih baik, dan dia menunjukkan peningkatan yang signifikan.
WHIRR. CLUNK.
SMACK.
Ujung bola yang memantul dari tongkat dan melayang di belakangnya.
"Aku berhasil! Aku berhasil!"
"Hebat! Luar biasa. Pukulanmu terlalu cepat. Coba pukul lebih tinggi sedikit?"
"Oke!"
WHIRR. CLUNK.
CLONK.
Kali ini, Yuuko memukul bola dengan baik dan melemparkan bola itu tinggi di atas kepala mesin.
"Aku berhasil! Kamu lihat itu, Saku-kun?"
"Sempurna."
"Hehehe, inilah kekuatan cinta."
Aku memperhatikan Yuuko, yang sedang memberiku senyum cerah dan tanda peace, lalu aku menoleh ke Haru di sampingku lagi.
"Sekarang dengarkan, Haru-san..."
"Agh! Diam, diam!"
Dengan kesal dan cemberut, Haru memukul dengan kecepatan delapan puluh km/jam kali ini, yang lebih cepat dari sebelumnya.
...Tapi aku cuman nunjukin yang udah jelas?
✶
Setelah menikmati pertandingan memukul bersama di pusat pemukul bola, kami semua pergi ke kedai ramen Hachiban terdekat untuk makan malam sedikit lebih awal. Sebegitulah kecintaan kami, orang Fukui, terhadap Hachiban; kami tidak pernah makan di tempat lain.
Aku memesan mie pedas seperti biasa dengan mie ekstra dan daun bawang, serta pangsit gyoza Hachiban porsi ganda. Yuuko memesan ramen sayur rasa garam dan mentega, dan Haru memesan ramen sayur kaldu babi dengan nasi goreng. Kaito memesan ramen chashu sayur kaldu babi C-set dengan banyak daging babi chashu dan ayam goreng sebagai lauk.
Awalnya aku berencana memesan pangsit ukuran biasa saja, tapi setelah mendengar pesanan Haru dan Kaito, aku mengubahnya. Aku tahu mereka berdua pasti akan mengincar pangsitku.
Setelah semua pesanan kami diantar, kami mengobrol sambil makan. Dan seperti dugaanku, Haru dan Kaito masing-masing mencuri tiga pangsitku.
"Omong-omong."
Komentar Haru.
"Kamu lagi naksir sama Nishino-san itu, atau apa?"
""Apaaa?!""
SPLORT.
"Gack, cack, agh."
Aku tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan datang dari orang seperti Haru, dan akhirnya aku muncratkan air minumku ke mana-mana.
"Eww, jorok! Aku lap itu, oke?"
Haru menyodorkan handuk basah ke wajahku dan mulai menggosok.
"Bisa berhenti? Kamu kayak lagi ngelap kotoran pakai lap basah."
"Lalu, kenapa?"
"Geh, dasar gigih."
Sekarang sudah sampai pada titik ini, dua orang lainnya pasti tidak bisa diharapkan tinggal diam.
"Ada apa ini? Aku belum dengar apa-apa."
Yuuko mencondongkan tubuh ke depan di kursinya di samping Haru.
Kaito, yang duduk di sampingku, menatap Yuuko lalu menyipitkan mata dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Apa kau serius, Saku?"
"Kaulah yang bertingkah serius di sini. Tenanglah, oke ? Aku bahkan belum bilang apa-apa."
Aku meneguk air lagi lalu berbicara kepada Haru, setelah aku kembali tenang.
"Kenapa kamu tiba-tiba membahas hal ini?"
Haru mencelupkan salah satu pangsit yang dicurinya dariku ke dalam saus sambil menjawab.
"Itu hanya firasat. Aku hanya merasa aneh ada gadis cantik yang lebih tua yang rupanya kamu kenal tepat di depan kami, dan kamu berhasil menahan diri untuk gak membuat satu lelucon pun yang aneh di depannya sepanjang waktu."
"Kamu gak perlu bilang lelucon-lelucon aneh, tahu."
"Lagian, aku udah melihatmu beberapa kali sejak tahun lalu. Sepulang sekolah, di tepi sungai, mengobrol dengan ramah. Aku gak pernah melihatmu memasang ekpresi seperti itu sebelumnya."
Oh, hanya itu?
Hmm, yah, bukan berarti kami bertemu diam-diam atau semacamnya. Tidaklah aneh bagi kami untuk terlihat.
Yuuko, yang sedari tadi mencondongkan tubuh ke depan, membiarkan bahunya terkulai.
Kaito menoleh menatapku.
"Dengar, Saku."
"...Diamlah. Kau hanya akan membuat segalanya semakin rumit."
Namun, mungkin sudah waktunya. Aku sudah cukup membuat mereka khawatir.
"Tahun lalu, aku bertemu dengannya secara kebetulan setelah keluar dari klub bisbol. Kalian semua berusaha menjaga perasaanku dengan gak menanyakan alasanku keluar, kan?"
Yuuko akhirnya mendongak ketika mendengar ini. Kaito melihat ini dan tampak sedikit lega, mungkin itulah sebabnya dia menegakkan tubuh dan menjawab.
"Ya, karena kau memancarkan aura yang seakan bilang, 'Jangan tanya aku tentang itu'."
"Ya. Aku hanya gak ingin kalian melihat sisi lemahku, kurasa. Bahkan tanpa kukatakan apapun, kamu tampak seperti akan mengalami gangguan setiap hari saat aku melihatmu, Yuuko-san."
Memikirkannya kembali membuatku tertawa, tapi Yuuko cemberut.
"Maksudku....! Kamu bukan dirimu sendiri saat itu, Saku-kun. Dan kamu gak mau memberitahu kami apapun. Aku gak tahu bagaimana harus mendekatimu...."
"Aku tahu, aku tahu. Aku menghargai kebaikan kalian. Lagipula, jika kalian tanya, aku hanya akan mengasingkan diri. Bagiku, kalian itu bagian yang menenangkan dalam keseharianku. Tapi ada bagian diriku yang hanya ingin berteriak, 'Raja itu punya telinga keledai', kalian tahu?"
{ TLN : "Raja punya telinga keledai" merujuk pada sebuah cerita rakyat yang tersebar luas tentang seorang raja yang memiliki cacat fisik—telinga keledai—yang ia coba rahasiakan, tetapi akhirnya terungkap ke publik. Frasa ini menandakan bahwa rahasia yang sudah diketahui banyak orang bukan lagi rahasia, terutama ketika kebenaran terungkap melalui alam, seperti angin yang membawa bisikan rahasia ke pohon-pohon bambu. }
Di bawah meja, Haru menendangkan kakinya ke sepatu Stan Smith-ku.
"Jadi, maksudmu Nishino-san lah yang bisa kamu ajak bicara secara terbuka, gitu?"
"Yang menarik darinya itu, dia mewakili bagian-bagian kehidupanku yang gak biasa. Sebagian karena dia mungkin lebih tua dari kita. Dengannya, aku bisa kembali menjadi anak-anak, setidaknya sedikit."
Dengan kata lain, Asuka memanjakanku. Aku bisa bicara apa saja dengannya, dan dia mendengarkan semuanya dengan saksama, memikirkannya, dan memberikan kesimpulannya sendiri.
Haru bergumam sendiri, menatap ke luar jendela dengan raut wajah yang agak sedih.
"Oh, begitu ya."
Di sampingnya, Yuuko tampak bimbang.
"Aku agak gak suka, tapi kurasa berkat Nishino Senpai, kamu bisa ceria, kan, Saku-kun? Kurasa aku harus berterima kasih padanya."
Semua orang tampak puas dengan ini, dan aku pun bisa kembali memakan mie pedasku yang terakhir.
✶
Ibu Yuuko sedang menjemputnya dengan mobil di toko swalayan terdekat, jadi kami semua berpisah di luar Hachiban.
Haru sedang menuju rumah dari arah yang berlawanan, jadi kami berpisah dengannya, lalu Kaito dan aku berangkat, mendorong sepeda kami berdampingan.
Setelah hening sejenak, Kaito berbicara lebih dulu.
"Maaf, Saku. Aku agak emosi tadi."
"Kau selalu saja emosi tentang sesuatu."
"Gah!"
"Dengar, Kaito..."
Aku berhenti sejenak untuk memberi efek.
"Lebih baik aku berpura-pura gak tahu apa-apa, sampai kau yang mengatakannya, kan?"
Ada jeda sementara saat Kaito mencerna maksudku, lalu dia menatap langit yang memerah di kejauhan dan berbicara dengan geram.
"Kau gak tahu, Saku? Kau gak bisa memulai balapan sampai seseorang berkata 'Ready, set, go dan menembakkan pistolnya."
"Kalau kau belum di garis start, kau gak bisa mulai lari meskipun sinyalnya sudah datang."
"Kau bukan satu-satunya yang berhak langsung ikut lomba dari awal, tahu."
"Kau memang ahlinya buat suasana panas, kan?"
"Laki-laki pemarah itu gak populer akhir-akhir ini."
Kami mulai berpisah. Sedikit lagi, kami akan bilang "Sampai jumpa" dan pergi ke arah yang berlawanan.
Aku berdeham. Aku ingin meluruskan semuanya.
"Berperan sebagai orang baik terus-menerus akan membuatmu jadi orang yang hanya ngikutin arus."
"Kalau ada yang berpikir bisa memperlakukanku seperti itu.... maka aku akan menghajar orang itu minggu depan."
"Uh-huh. Aku salah pilih kata sebelumnya."
"Aku tahu kau memilih kata-kata itu untukku, bukan untuk orang lain."
"Dengar, Kaito. Kau benar-benar menyukaiku, kan?"
"Aku menyukai kalian semua."
"Ew, menjijikkan."
"Hah?"
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak.
"Dah, Saku."
"Dah, Kaito."
Kami saling membelakangi di pertigaan dan tidak pernah berbalik.
Jalan yang kami lalui. Jalanku. Jalan Kaito. Akankah bisa bertemu lagi? Bertabrakan lagi? Aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
✶
Senin pagi sepulang sekolah, aku tidak punya rencana khusus, jadi aku langsung menuju ke atap.
Aku juga tidak punya banyak kegiatan di sana, tapi aku merasa jika aku berbaring telentang menatap langit biru, langit yang mengapung di atas lautan, mungkin debu di jiwaku akan sedikit tersapu. Atau semacamnya.
Aku membiarkan pikiranku melayang saat memutar kenop pintu dan ternyata tidak terkunci. Rupanya, sudah ada orang lain di atas sini.
Mungkin Kura—atau bahkan Asuka.
Aku membuka pintu dengan penuh harap dan mendapati jawabannya adalah mereka berdua.
Kura sedang berada di atas unit hunian atap sambil mengisap rokok, dan di sampingnya, Asuka duduk mengayunkan kakinya dengan malas. Aku tahu Kura pernah menjadi wali kelas Asuka di tahun pertama, tapi ini pertama kalinya aku melihat mereka berdua mengobrol seperti ini.
Asuka memperhatikanku dan melambaikan tangan, agak canggung. Kura kembali seperti biasa, santai seperti Kura.
"Yo, Petugas Kebersihan Atap Generasi Kedua?"
"Apa aku menyela sesuatu yang penting? Kalau gitu, aku akan pergi."
"Ah, kami sudah hampir selesai. Ayo naik."
Aku menuruti perintah Kura itu dan naik, duduk di samping Asuka.
Kura menghisap rokoknya hingga habis di asbak.
Lalu dia langsung mengeluarkan sebungkus Lucky Strikes yang sudah kusut dari sakunya dan menyalakan sebatang lagi. Setelah itu, dia mulai bergumam seolah-olah semua ini bukan masalah besar.
"Besok ada rapat orang tua-guru, tapi sepertinya Fukui, ya?"
Untuk sesaat, aku tidak mengerti maksudnya.
Saat aku masih bingung, Asuka menjawab.
"Hei! Kura-san!"
"Cepat atau lambat dia akan tahu."
Kata Kura.
"Atau itu pilihan yang tidak ingin kau dengar dari teman sekelas juniormu yang begitu mengagumimu?"
"...Bukan itu."
Diskusi mereka akhirnya membuahkan hasil. Asuka telah memilih Fukui, bukan Tokyo, untuk masa depannya, kan?
Kura melanjutkan.
"Dia akan menjadi guru bahasa jepang. Bukan pilihan yang buruk jika kau akan menjalani hidupmu di Fukui."
"Hmm, nasihat yang luar biasa dari seorang guru bahasa jepang yang tak lain hanyalah kumpulan pilihan buruk dalam wujud manusia."
Kataku, berusaha tetap santai untuk saat ini.
Kenapa Kura membicarakan ini? Kenapa Asuka diam saja? Bagaimana mereka mengharapkan reaksiku? Aku tidak tahu.
"Chitose, apa yang kamu dengar?"
Aku melirik Asuka, yang sedang menunduk. Rambutnya tergerai menutupi wajahnya dan membuatku mustahil untuk membaca ekspresinya.
Mengingat percakapan kami berdua tentang mimpi sebelumnya, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bolehkah aku berbicara bebas tentang kehidupan Asuka di sini?
Biasanya, kalian akan menganggap tidak. Asuka lah yang memilih untuk membicarakannya dengan Kura, dan mungkin perasaan yang Asuka sampaikan dengan lembut kepadaku memang dimaksudkan untuk tetap berada di antara kami berduan.
Tapi...
Jika memang begitu, mengapa Asuka tidak berusaha mencegah pertanyaan ini muncul? Dia bukan tipe orang yang akan gentar di hadapan guru, apalagi Kura, yang sudah lama bersamanya.
Dan mengapa Kura menanyakan pertanyaan ini kepadaku? Dia memang lelaki tua yang gila, tentunya, tapi dia sama sekali bukan tipe orang yang akan memperlakukan perasaan murid-muridnya dengan tidak hormat.
Dugaan terbaikku adalah Asuka dan Kura berada di semacam jalan buntu, dengan keduanya tidak mampu mengambil langkah selanjutnya.
Dengan asumsi itu, yang mereka inginkan dariku adalah,
"Kamu mau pergi ke Tokyo, kan? Untuk menjadi editor novel."
...Benar?
Bahu Asuka berkedut, dan Kura mengembuskan napas, napasnya bercampur asap ungu.
"Sudah kuduga."
Kura mematikan rokoknya dan bangkit, menyelipkan kakinya ke sandal bersol jerami dari tempat-tempat acak yang ditinggalkannya.
"Dengar, Nishino. Aku tidak menyela ketika murid-muridku telah memutuskan sesuatu untuk diri mereka sendiri. Untuk diri mereka sendiri, kau mengerti? Ingat apa yang kukatakan ketika kuberikan kunci tempat ini kepadamu? Aku memberikannya kepadamu karena kau lebih bebas daripada siapapun, tapi juga lebih terkekang. Kau harus memikirkan apa yang kumaksud dengan itu sekali lagi."
Asuka mengangguk, dan Kura melirikku sekilas namun penuh arti sebelum menuruni tangga dengan sikap yang benar-benar riang.
Lebih bebas daripada siapapun tapi juga lebih terkekang.
Bisakah aku memahami kebenaran di balik kontradiksi itu?
Saat ini, yang bisa kulakukan hanyalah meletakkan tangan yang mendukung di punggung Asuka saat angin sepi bertiup.
✶
Aku dan Asuka duduk berdampingan di tepi sungai tempat kami biasa, di dekat pintu air yang sama. Kami mendengarkan musik, lagu-lagu lama favorit, masing-masing dengan satu earphone.
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kami menghabiskan waktu bersama di sini seperti ini. Aku sudah memberitahu Kaito dan yang lainnya bahwa Asuka mewakili bagian-bagian tidak biasa keseharian dalam hidupku, tapi pada titik saat dia telah menyatu dengan bagian-bagian yang biasa. Untuk sesaat, aku lupa posisiku dan malah terpaku pada kesadaran itu.
Rasanya aneh, tapi juga menyenangkan. Aku tidak bisa menahan senyumku.
Asuka melepas earphone-nya dan menatapku, dengan ekspresi bingung di wajahnya.
"Kenapa kamu harus bilang begitu? Di depan Kura-san, maksudku."
"Kamu memohon padaku untuk mengatakannya. Kamu dan Kura-san juga."
"Mouu. Tapi..."
Asuka juga mencabut earphone-ku.
"...Tapi aku senang kamu ada di sana."
Aku pura-pura tidak menyadari nada lemah dalam suaranya saat menjawab.
"Jadi kenapa kamu bicara dengan Kura-san?"
"Dia sudah mengambil peran sebagai konselor bimbingan untuk murid tahun ketiga sekaligus wali kelasmu."
"Dia bukan orang jahat, meskipun... segalanya. Saat melihat Kura-san, aku jadi berpikir, apapun jalan yang akhirnya kupilih, aku bisa menjadikannya sesuatu yang menyenangkan."
Kata Asuka, tersenyum lebar.
Aku merasa seperti sedang menonton pertunjukan. Dan itu benar-benar gagal.
"Ya. Aku merasa seperti sedang berjuang memilih universitas..."
"Tapi—"
Aku tidak membiarkannya melanjutkan.
"Tapi Kura-san bersikap seperti ini karena dia sebenarnya sedang menjalani jalan yang dipilihnya sendiri, kan? Kurasa dia memang suka mengajar, dan dia memberikan segalanya untuk itu."
"...Ya."
"Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?"
"...Ya. Karena kamu sudah bertanya."
Asuka merentangkan tangannya tinggi-tinggi.
"Terus terang, orang tuaku—terutama ayahku—menentangnya."
"Menentangmu kuliah di Tokyo?"
"Ya. Ingat yang kubilang? Keluargaku sebenarnya cukup ketat. Mereka gak suka kalau ada perempuan yang tinggal sendirian, atau bercita-cita jadi editor, atau bahkan meninggalkan Fukui."
Ketika Asuka mengatakannya, aku sadar kalian pasti sering mendengar hal seperti ini.
Itulah mengapa ini jadi masalah yang sulit.
Pada akhirnya, kami semua masih anak-anak, dan mustahil bagi kami untuk mengabaikan begitu saja pendapat orang tua saat kami membuat keputusan.
"Apa yang kamu inginkan, Asuka Senpai?"
"Kurasa kamu tahu, kan?"
Aku tahu. Tidak ada yang bisa menentang rencana kalian sampai kalian mengungkapkannya dengan lantang.
Asuka melanjutkan, hanya mengutarakannya begitu saja.
"Gak ada yang bisa kulakukan. Aku berhutang budi pada orang tuaku karena telah membesarkanku, dan lagipula, mereka memang keras kepala. Jika berdebat tentang hal ini gak akan membantuku, kurasa aku harus menerimanya saja dan mulai menyesuaikan sikapku. Dan hei, kalau aku tetap di Fukui, kita bisa berkencan lagi kapan saja."
Aku menghela napasku. Dia memaksakan diri untuk ceria.
"Aku gak akan tertangkap basah berkencan dalam keadaan seperti itu. Aku bukan hadiah hiburan yang kamu dapetin karena menyerah pada impianmu. Kamu seperti bukan dirimu sendiri, Asuka Senpai."
Saat aku mengatakan itu, Asuka tampak sedikit putus asa.
"Bukan diriku sendiri?"
Tanyanya pelan.
"Apa maksudnya? Kamu hanya menaruh harapanmu padaku."
Asuka berdiri, seolah mencoba menjauhkan diri.
Dia maju beberapa langkah dan menatap sungai.
Bukan dirimu sendiri. Apa maksudku?
Memang benar aku mungkin terlalu memaksakan harapanku padanya.
Asuka selalu bersikap jauh lebih dewasa daripada aku, dan bahkan namanya pun menunjukkan kebebasan, kelembutan, dan kekuatan. Namun Asuka yang asli tersiksa oleh berbagai hal, merasa kehilangan arah, dan putus asa. Dia hanyalah seorang gadis SMA biasa.
"Sudah kubilang : Kamu itu terlalu meromantisirku. Asuka Nishino yang asli jauh lebih biasa. Seperti istana yang terbuat dari bubur kertas. Di rumah, aku seperti gadis baik yang gak pernah membantah ayahnya. Aku punya firasat hari ini akan tiba, dan jika kamu hanya akan kecewa padaku, maka...."
{ TLN : Romantisir itu untuk percaya bahwa sesuatu lebih baik, lebih menarik, atau lebih mengasyikkan daripada yang sebenarnya. }
Tapi sekarang aku yakin.
Aku berdiri dan dengan lembut mendekati Asuka sebelum Asuka sempat berkata apa-apa lagi. Aku menatap punggungnya. Begitu rapuh, bisa patah atau lenyap kapan saja, punggung indah yang fana yang telah lama kuamati, ingin menjadi lebih seperti dirinya. Dan kemudian…
Aku menendangnya dengan keras.
"Agh!"
KASPLOOSH.
Dengan teriakan kekanak-kanakan, dan suara gemuruh air yang tergeser, Asuka tercebur ke sungai. Sungai itu tidak cukup dalam untuk membuatnya tenggelam, tapi guncangannya tampaknya membuatnya panik. Dia meronta-ronta beberapa saat tapi akhirnya berhasil berdiri, meskipun basah kuyup.
"Bwuah? Apa-apaan itu?"
Asuka menatapku, ekspresi kebingungan total terpampang di wajahnya.
Aku menarik napas sebelum berbicara.
"Ada apa dengan semua keluhanmu itu?! Kamu bilang aku meromantisasimu? Berhentilah bertele-tele; kamu membuatku sakit kepala! Ayolah, berubahlah menjadi penyihir sungai yang tenggelam saja, oke?!"
Asuka menjawab, suaranya menunjukkan kemarahan yang jelas. Sangat, sangat tidak biasa baginya.
"Apa-apaan itu? Kamu yang terus bilang aku seperti perempuan idamanmu atau semacamnya! Memaksakan idealismemu padaku, memujaku, dan sekarang kamu bertingkah kecewa padaku?! Kukira kamu benci saat orang-orang melakukan itu!"
"...Kamu salah."
Aku bicara dengan tegas.
Ya, sekarang aku tahu pasti.
"Pertama-tama, aku terpikat melihatmu membuat anak kecil basah kuyup yang di-bully itu tersenyum di sini, di sungai ini. Ya, aku mengidolakanmu, tapi itu memang kenyataan sejak awal."
"Itu hanya hal acak yang terjadi..."
"Benar—hal acak, dan karenanya tidak acak. Entah aku ada di sana untuk menyaksikannya atau gak, entah aku ada di sana untuk mengidolakanmu atau gak, sejak awal kamu menjalani hidupmu dengan caramu sendiri. Bebas. Lembut. Dan kuat."
"Kamu salah. Satu-satunya alasan aku bisa seperti itu karena..."
"Aku gak peduli dengan alasanmu. Pikirkan kata-kata berharga yang kamu berikan padaku. Kamu mengisi lubang menganga di hatiku. Jangan asal bicara sembarangan sekarang."
"...Atau hidup akan menjadi monokrom, ya?"
Aku menyeringai.
"Sejujurnya aku masih gak tahu perbedaan antara mengagumi seseorang dan memujanya. Satu hal yang kutahu adalah aku bisa mengatakan lebih banyak hal baik tentangmu daripada dirimu sendiri."
Aku menghadapnya dan mengulurkan tanganku sambil berbicara.
"Apa itu gak boleh?"
Mata Asuka yang terkejut tertuju padaku, sementara senyum mengembang di wajahnya seperti bunga yang perlahan mekar. Dia menyeka matanya, yang entah berair karena air sungai atau emosi yang tiba-tiba, lalu menarik napas sedikit, bersiap untuk berbicara.
"Kurasa kamu memang seperti pahlawanku, ya?"
"Jangan konyol. Kamu lah pahlawanku, Asuka Senpai."
Asuka menggenggam erat tanganku yang kuulurkan padanya, lalu—
"Hyah!"
Dia menarikku sekuat tenaga.
"Whoa!"
KASPLOOSH.
Aku pun jatuh tercebur ke sungai.
"Sekarang, dengarkan...."
"Awas! Berbahaya membuka mulutmu sekarang!"
Lalu dia mulai mencipratiku dengan air.
"Glub! Eurgh, itu menjijikkan!"
"Sudah kuperingatkan."
"Harusnya kamu bilang dulu sebelum melakukannya!"
"Refleksmu agak lamban, ya?"
"Jangan bergerak. Atau aku benar-benar akan menjadi penyihir sungai dan dimasukkan ke dalam Tujuh Keajaiban SMA Fuji (nama resminya akan ditentukan kemudian)."
Setelah itu, kami berdua mulai mencipratkan air bersamaan.
Splash-splash. Splosh-splosh.
Splash-splash. Splosh-splosh.
Kami bercanda dan kejar-kejaran seperti anak kecil. Semburan air memantulkan sinar matahari, dipenuhi warna dalam momen gemerlap ini. Seolah menuntun kami pulang hari itu. Seolah menuntun kami menuju hari esok.
"Chitose!"
Asuka menyeringai padaku sambil berbicara.
"Boleh aku peluk kamu sekarang?"
"Hah?"
Tapi aku tidak sempat membalas. Tanpa kusadari, dia telah memelukku erat-erat. Bukan pelukan romantis yang biasa diberikan orang dewasa, melainkan pelukan hangat polos yang mungkin diberikan seorang gadis kecil kepada ayahnya saat gadis kecil itu melompat ke pelukan ayahnya.
Maka aku pun menurutinya dengan mengusap kepalanya. Aku bisa mencium bau amis, bau mencari udang karang sungai waktu kecil dulu.
"Asuka Senpai, kamu bau."
"Sebaiknya kamu ngaca."
"Punya baju olahraga?"
"Gak!"
"Aku juga. Bagaimana kita bisa pulang?"
"Kita biarkan angin membawa kita."
"Hmm, yah, itu bukan ide yang buruk."
Aku melepaskan Asuka dariku, karena dia sama sekali tidak berniat melepaskanku, dan senyumnya cerah dan mempesona—dan entah bagaimana terasa lega.
"Kematian lebih baik daripada hidup yang gak indah, kan? Aku akan mencoba hidup sepertimu. Seperti kelereng kaca, yang mengapung di dalam botol soda Ramune."
"Kamu gak perlu jadi sepertiku. Jadilah seperti Asuka Senpai, Asuka Senpai yang selalu kamu miliki. Jika kamu ingin melakukan pekerjaan yang melibatkan penyampaian kata-kata bermakna ke dalam kehidupan orang lain, maka kamu harus mulai dengan menggunakannya untuk menyampaikan hal itu kepada ayahmu."
Setelah itu, kami berjalan pulang, kami berdua meneteskan air.
Di belakang kami, kami meninggalkan jejak, seperti Hansel dan Gretel.
{ TLN : Hansel dan Gretel itu sebuah cerita dongeng terkenal dari Jerman. Karya ini ditulis oleh Grimm Bersaudara yang diterbitkan pada 1812. Adapun premis cerita ini berupa, Hansel dan Gretel kakak beradik yang diculik oleh seorang penyihir jahat yang tinggal di hutan. }
Orang-orang yang menuju kota menoleh dan menatap kami dengan ekspresi aneh, tapi baik Asuka maupun aku tidak memperdulikannya. Kami terus tertawa.
Saat aku melihat Asuka berjalan melewati pintu depannya sendiri dengan ekspresi yang agak segar, aku tahu dia akan baik-baik saja.
Aku bisa merasakannya.
✶
"....Tunggu sebentar. Apa maksudmu?!"
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku mampir ke ruang guru untuk mengembalikan beberapa kuesioner yang menjadi tanggung jawabku sebagai ketua kelas.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku benar-benar lupa soal batas waktu pengumpulan kuesioner, jadi bisa dibilang itu salahku. Tapi begitu aku ingat, aku juga harus mengejar anggota klub olahraga yang terlambat mengumpulkan, dan itu menyita banyak waktu.
Kura tidak ada di sana, jadi aku meninggalkan kuesioner itu di mejanya dan baru saja hendak pergi ketika aku melihatnya duduk di ceruk kecil yang biasa digunakan untuk menyambut tamu. Kalau dia tidak terlihat terlalu sibuk, aku berencana untuk menyapanya, jadi aku pergi ke sana, dan saat itulah aku mendengar percakapan.
"Kami sudah memutuskan bahwa Asuka akan kuliah di Universitas Fukui dan kemudian menjadi pegawai negeri sipil."
Siapapun yang berbicara terdengar marah.
Ada tiga orang yang duduk di ceruk itu, dan mereka semua menatapku. Di salah satu dari dua sofa yang berhadapan, Kura duduk, dan di sofa lainnya, Asuka duduk bersama seorang laki-laki berjas rapi.
Laki-laki itu ramping dan berotot, dasinya dirapikan dengan rapi tanpa sedikit pun kendur. Dia tampak seperti orang yang cakap dan berpikiran bisnis. Di balik kacamata berbingkai kawat dan perseginya, matanya tampak cerdas namun dingin saat menatapku.
Asuka menundukkan kepalanya, seolah-olah dia malu.
"Ah, Chitose."
Berbeda dengan laki-laki di seberangnya, Kura terdengar sangat santai.
"Terima kasih. Letakkan saja kuesioner itu di meja dan pulanglah untuk hari ini."
"Tapi..."
"Sudah kubilang pulanglah. Apa hakmu ikut campur dalam percakapan ini?"
"..."
Suara Kura tegas dan tidak mengundang perdebatan.
Lagipula, dia jelas benar.
Bagaimanapun kalian melihatnya, aku tidak berhak mengatakan sepatah kata pun di sini. Aku melumat bibirku dan hendak berbalik, ketika....
"Begitu. Jadi kaulah orangnya, ya?"
Laki-laki satunya lagi bicara.
"Kaulah yang mengisi kepala Asuka dengan semua ide liar itu."
Dia menaikkan kacamatanya dengan telunjuk, menatapku dengan tatapan yang hampir seperti melotot.
"Baiklah, kalau begitu, Iwanami-san. Kalau begitu, silakan duduk, kalau begitu?"
"Ayah."
Aku dengar akan ada pertemuan orang tua-guru hari ini, jadi kupikir memang begitulah adanya, tapi sekarang Asuka sudah memberiku konfirmasi. Biasanya pertemuan seperti ini akan berlangsung di ruang kelas yang kosong, tapi mungkin mereka melewati batas waktu, atau mungkin ada alasan lain. Bagaimanapun, itu tidak masalah.
"Permisi. Aku salah satu adik kelas Asuka Senpai. Namaku Saku Chitose."
Aku duduk di samping Kura tanpa ragu. Laki-laki di hadapanku mengangkat alisnya sambil mengamatiku.
Aku tidak bisa memahami apa yang dia katakan beberapa saat sebelumnya. Asuka semakin menundukkan kepalanya, tampak semakin malu. Di sampingku, Kura menghela napas berat dan dramatis. Aku mengabaikan mereka berdua dan menatap ayah Asuka.
Jika aku mencoba mengalihkan pandangan sekarang, aku merasa takkan pernah punya kesempatan untuk berbicara langsung dengan orang ini lagi.
Kura menghela napas lagi, lalu berdeham.
"Ayolah, Nisshi."
"Panggil aku Nishino-san. Jangan campur adukkan persahabatan dan pekerjaan. Saat ini, kau adalah konselor bimbingan belajar Asuka dan seorang guru, tidak lebih."
"Cih, kau selalu sangat ketat dengan aturan. Baiklah kalau begitu, Nishino-san. Jadi keputusan ini dibuat setelah mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan putrimu, kan?"
"Tidak perlu dibahas. Aku mengenal Asuka lebih baik daripada siapapun, dan aku membuat keputusan setelah terlebih dahulu mendiskusikan dengan saksama apa yang akan membuatnya paling bahagia dalam hidup."
"...Pfft!"
Aku mendengus, dan ayah Asuka menatapku.
"Chitose, benar? Sepertinya ada yang mau kau katakan."
Aku terbatuk, lalu menjawab.
"Permisi. Apa kau sudah bertanya pada Asuka Senpai mengapa dia ingin pergi ke Tokyo?"
"Sepertinya, dia ingin menjadi editor sastra."
"Kau pikir mengabaikan mimpi itu akan membuatnya bahagia?"
Sementara aku berbicara, Asuka terus menatap lantai. Tangannya diletakkan di pangkuan, tapi terkepal, mencengkeram ujung roknya.
Ayah Asuka menjawab dengan nada bosan.
"Mimpinya. Kata yang mudah diucapkan, ya? Kalian anak muda, pikir semua pilihan kalian bisa dibenarkan hanya dengan mengaku sedang mengejar mimpi. Jadi, kau dengar dari Asuka, ya? Soal kenapa itu 'mimpinya' itu?"
"Asuka Senpai bilang ingin melakukan pekerjaan yang melibatkan membawa kata-kata ke dalam kehidupan orang-orang."
"Kalau begitu, izinkan aku bertanya. Kenapa dia tidak jadi guru bahasa jepang saja? Atau pustakawan? Keduanya melibatkan membawa kata-kata ke dalam kehidupan orang-orang. Dan dia bisa mewujudkan salah satu dari dua jalur karier itu di sini, di Fukui."
"Itu..."
Aku tidak bisa membantah, dan aku pun terdiam.
"Apa kau peluang sukses untuk menjadi editor sastra?"
"Kurasa cukup tipis."
"Apalagi kalau kau ingin masuk ke penerbit papan atas. Lebih dari seribu lulusan baru mendaftar dan hanya sedikit yang diterima. Dunia ini memang tempat yang tidak baik, kau tahu. Kamu tidak bisa maju hanya karena itu 'impianmu'."
"...Mungkin dia bisa mulai bekerja di tempat yang lebih kecil dan terus naik jabatan. Itu mungkin, kan?"
"Menurutmu calon-calon lain tidak akan melakukan hal yang sama? Jumlah pelamar lebih banyak daripada posisi di penerbit mana pun, jauh lebih banyak. Untuk mewujudkan cita-citanya, dia harus masuk ke tempat dengan departemen penerbitan novel yang bagus. Itu syarat minimumnya. Dan tidak banyak penerbit seperti itu."
"Meski begitu..."
"Maksudmu, dia masih akan berusaha keras untuk naik jabatan? Masuk ke penerbit kecil dan merusak kesehatan mental dan fisiknya dengan bekerja dengan gaji rendah? Akan terlambat ketika dia terdesak dan menyadari tidak ada peluang untuk pindah perusahaan. Apa kau akan turun tangan dan bertanggung jawab ketika itu terjadi, Chitose? Apa kau yang akan mengurus Asuka?"
Tiba-tiba, dengan rasa sakit, aku menyadari kenaifanku sendiri.
Orang ini tidak menahan Asuka karena dia sedang menjalankan hak asuhnya. Dia berkata jujur ketika dia mengatakan dia telah mempertimbangkan dengan matang apa yang akan membawa kehidupan bahagia bagi putrinya.
"Ada alasan mengapa mereka bilang kau tidak boleh menjadikan hasratmu sebagai karier. Itu bisa membuatmu membenci hasratmu. Kurasa jauh lebih baik bagi Asuka untuk terus menikmati sastra sebagai hobi, seperti yang selama ini dia lakukan."
Ayah Asuka menyadari bahwa aku tidak akan menjawab apapun, dan dia melanjutkan dengan nada datar.
"Kalau dia tetap di Fukui, rumah keluarganya akan dekat untuk berjaga-jaga kalau terjadi apa-apa. Dia akan punya kami. Ujian pegawai negeri sipil tidak akan sulit bagi gadis seperti Asuka untuk lulus. Setelah itu, yang harus dia lakukan hanyalah menemukan laki-laki yang baik, membangun rumah tangga, dan hidup bahagia selamanya. Apa salahnya orang tua menginginkan hal seperti itu untuk putrinya?"
Aku tidak bisa mundur.
Kalau aku mengalah sekarang, masa depan Asuka sudah hampir pasti.
Aku harus mengatakan sesuatu, apapun, agar percakapan tetap berlanjut.
"Ketika aku terpuruk dalam keputusasaan, dan setiap hari terasa suram dan mendung bagiku, kata-kata yang Asuka Senpai bawakan untukku lah yang menyelamatkanku. Aku yakin dia punya kemampuan untuk melawan segala rintangan, betapa pun beratnya beban yang dihadapinya."
"Menurutmu, berapa banyak murid yang akhirnya gagal diterima di SMA Fuji setelah yakin mereka punya kemampuan untuk melawan segala rintangan? Dan bukankah kau anak bisbol yang mengira akan menjadi pemain profesional, tapi akhirnya berhenti? Sungguh keyakinan yang tidak berdasar. Hanya delusi belaka."
"..."
Kata-kata itu menusukku dalam-dalam.
Tahun lalu saat ini, aku dipenuhi keyakinan seperti itu. Aku tidak pernah menyangka akan berhenti bermain bisbol seperti itu.
"Dengar, Chitose. Jika menghormati keinginan anak adalah kewajiban orang tua, maka kewajiban orang tua juga untuk membimbing anak mereka di jalan yang benar. Aku sudah pernah bicara dengan Asuka seperti yang kita bicarakan sekarang. Dan itu sudah selesai. Baik kau maupun Asuka belum bisa mengatakan apapun untuk memengaruhiku."
Apa yang dikatakan orang ini, sebagai orang tua, memang benar. Aku benar-benar berpikir begitu. Tapi itu bukan satu-satunya pilihan yang benar.
Dia benar, menurut sudut pandangnya—tapi siapa yang berhak memutuskan ketika ada beberapa jawaban yang benar?
Diri sendiri lah yang harus menanggung sendiri tanggung jawab atas pilihan itu.
Aku bisa saja mengajukan banyak argumen untuk melawannya, tapi itu hanya akan membuatnya berkata, "Apa hubungannya denganmu?"
Apa hakmu ikut campur dalam percakapan ini?
"Kau pintar."
Kata Ayah Asuka.
"Kurasa kau sudah tahu bagaimana percakapan ini akan berakhir. Asuka juga selalu pintar. Ketika logikanya sejalan, dia tidak pernah sekali pun menentangku. Itu sebabnya aku agak terkejut ketika dia bersikeras pada hal ini. Kurasa itu pengaruhmu, Chitose?"
Tidak.
Aku ingin mengatakan itu.
Aku hanya memberi Asuka sedikit dorongan. Sedikit dorongan untuk perasaan yang membara di dalam dirinya.
Ayah Asuka melanjutkan.
"Baiklah. Jika kau dan orang tuamu bisa bicara, mungkin kau akan punya alasan kuat untuk tetap bertahan."
Dia berhenti bicara lalu menatap Asuka, yang sedari tadi diam.
"Tapi ini masa depan putriku yang sedang kita bicarakan."
Aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan.
Kura menepuk pundakku.
"Kalau begitu, semuanya sudah beres. Kita lanjutkan saja dan untuk sementara waktu, kita tetapkan Universitas Fukui sebagai pilihan pertama Asuka."
Ayah Asuka mengangkat sudut mulutnya.
"Kupikir aku sudah bilang padamu untuk menjadikan itu keputusan terakhirnya."
"Kau seharusnya tidak meremehkan betapa cepatnya anak-anak ini tumbuh dewasa. Kau seharusnya tahu itu lebih dari siapapun, Nisshi. Suatu hari mereka masih kepompong kecil, di hari berikutnya mereka sudah menjadi singa dewasa."
"Panggil aku Nishino-san, Kura. Kau tidak pernah berubah, kan?"
"Yah, memang. Kau sudah menjadi ayah yang tegas dan berlandaskan logika."
"Kalau kau sudah cukup lama menjadi guru, kau akan memahaminya suatu hari nanti."
Lalu ayah Asuka bangkit dari sofa dan berdiri dari ceruk.
Asuka mengikutinya, berbisik "Maaf" saat dia melewatiku.
"Kurasa versi diriku yang kamu lihat hanyalah hantu."
Hahh.
Saat aku mendengarkan langkah kaki Asuka menjauh, kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku seperti sebuah refrain.
✶
Entah kenapa, aku seperti tidak bisa beranjak dari sofa. Lalu Kura bicara padaku.
"Chitose, ada rencana setelah ini?"
"...Tidak, aku senggang, ada apa?"
"Kalau begitu, ikut minum denganku."
"Hah?"
Tentunya akan terlihat buruk kalau aku terlihat masuk ke mobil guru di halaman sekolah, jadi aku menunggunya agak jauh.
Seolah mencerminkan keadaan batinku, hujan lembap dan suram yang turun sejak pagi membasahiku hingga ke kulit. Tetesan air yang kemarin tampak begitu indah bagiku kini terasa seperti tinta hitam yang mencoba mengotori dunia. Aku pasti sudah menyerah jika hujannya deras, tapi ternyata tidak sederas itu. Membawa payung pasti menyebalkan di cuaca seperti ini. Jenis hujan yang tidak bisa kutahan.
Klakson mobil berbunyi nyaring.
Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat Nissan Rasheen biru milik Kura berhenti dengan lampu hazard menyala. Ketika aku membuka pintu penumpang, sudah ada kantong plastik minimarket berisi sampah di sana. Aku mengikat pegangannya dan melemparkannya ke kursi belakang. Kantong itu berbunyi keras saat mendarat di antara tumpukan kantong serupa lainnya.
"Tidak bisakah kau tidak terlalu jorok? Mungkin kau bisa merapikan diri dan mencari pacar?"
"Masih naif sekali. Kalau aku bisa punya pacar, mobilku tidak akan terlihat seperti ini sejak awal."
"Kurasa mungkin karena kau lelaki tua yang suka merendahkan diri dan membiarkan area bencana seperti ini begitu saja, itulah alasan mengapa para perempuan tidak benar-benar mengetuk pintumu."
"Hmm. Ini benar-benar dilema ayam atau telur."
"Ini dilema 'bersihkan mobilmu sialan'!"
Kura melepaskan rem darurat, memasukkannya ke posisi jalan, mematikan lampu hazard, lalu melaju.
Mungkinkah dia sudah memodifikasi mobilnya? Interiornya serba biru, sama seperti cat eksteriornya. Saat Kura menginjak pedal gas, jarum penunjuk waktu klasik bergerak.
Setelah berkendara sekitar lima menit, Kura memarkir mobilnya sembarangan di tempat parkir berbayar di depan Stasiun Fukui. Aku mengikutinya, dan lampu neon biru serta lentera merah dengan logo-logo yang familiar mulai terlihat.
Aku berbicara dengan nada sarkastis.
"Kau akan membawa seorang murid ke Akiyoshi?"
"Itu tempat terbaik di Fukui untuk minum."
Akiyoshi adalah cabang restoran sate ayam bakar, makanan khas penduduk setempat, yang populer di kalangan penduduk setempat, setara dengan Hachiban Ramen, katsudon saus, dan soba dengan parutan lobak. Sesekali, Fukui dilaporkan memiliki konsumsi sate ayam bakar tertinggi di Jepang, dan jika itu benar, kehadiran Akiyoshi jelas merupakan salah satu faktor penting. Kami melewati pintu otomatis, dan staf toko menyambut kami dengan suara riang.
"Selamat datang, Presiden!"
Ngomong-ngomong, ini kebiasaan Akiyoshi. Mereka memanggil semua pelanggan laki-laki, dari anak SD hingga dewasa, dengan sebutan Presiden (artinya, presiden perusahaan) dan semua pelanggan perempuan dengan sebutan Madam.
Kura dan aku mengikuti pelayan masuk dan duduk di konter.
"Kura-san, aku sedang pakai seragam sekolahku, tahu."
"Santai saja. Orang-orang akan mengira kita saudara."
"Lebih seperti ayah dan anak, pak tua."
Seorang laki-laki berdada besar yang terlihat tegang di balik seragam pelayannya menerima pesanan kami.
"Mau pesan apa?"
"Segelas bir, dan kau mau minum apa?"
"Kau itu guru. Dan kau membawa mobil, ingat."
"Santai saja. Aku akan panggilkan sopir khusus."
"Kalau begitu, aku ginger ale saja."
"Dasar membosankan. Baiklah, kalau begitu, kita mulai dengan sepuluh babi shiro, sepuluh ayam kei, sepuluh babi goreng tepung, sepuluh daun bawang, sepuluh babi piitoro, lalu kubis asin, dan..." Kura menatapku.
"Aku pesan beberapa macam."
"Silakan tunggu."
Pelayan itu menjawab dengan riang, lalu berbalik untuk melaporkan pesanan kami kepada orang-orang di balik panggangan.
Memang kedengarannya banyak, tapi yang istimewa dari sate ayam panggang Akiyoshi adalah ukurannya yang kecil sehingga bisa langsung dimakan dalam sekali suap, meskipun mulut kami tidak besar. Jadi, memesan beberapa tusuk sate yang masing-masing berisi sepuluh tusuk sate sekaligus adalah hal yang wajar.
Ngomong-ngomong, shiro itu jeroan babi, kei itu ayam bertekstur lembut, dan piitoro itu babi berlemak. Kubis itu sebenarnya hanyalah kubis mentah yang ditusuk dengan tusuk sate; lalu kami bisa memilih untuk menyantapnya dengan garam, saus Worcestershire, atau mayones. Aku memesan berbagai macam, yang disajikan dengan saus Worcestershire dan mayones.
Bir, ginger ale, dan kubis langsung diantar, jadi kami bersulang dengan gelas kami berdenting.
Kura meneguk birnya, menghabiskannya setengah seolah tidak ada yang lebih nikmat dari itu. Lalu dia berseru, "Ahhh", dan menyalakan Lucky Strike.
"Jadi."
Dia menghisap asap rokoknya dengan gembira sebelum berbicara lagi.
"Bagaimana perasaanmu? Ayah dari gadis yang kau incar baru saja bilang, 'Aku takkan pernah memberimu putriku...' "
"Aku tidak ingat kalau aku ada di sana melamar putrinya."
"Jadi, bagaimana perasaanmu? Setelah berpura-pura menjadi pahlawan besar dan berani lalu kalah?"
"...Aku belum kalah. Belum."
"Ah, itulah semangatnya. Respons yang berani."
Kura mengunyah daun kubis.
Pelayan kembali, meletakkan masing-masing sepuluh tusuk shiro, kei, dan piitoro di atas piring perak panas di meja.
Kami juga disuguhi piring-piring kecil berisi beberapa jenis saus dan mustard. Keistimewaan Akiyoshi lainnya. Shiro dan daun bawang cocok dengan satu jenis saus, kei dan piitoro, dan saus lainnya. Intinya, kita harus memadukan saus dengan tusuk sate yang berbeda dalam kombinasi yang pas. Aku biasanya menyiram semuanya dengan satu saus, kecuali yang dilapisi tepung roti dan piitoro.
Aku mencelupkan shiro-ku ke dalam saus yang penuh bawang putih cincang dan menggigitnya. Itu jeroan, tapi tidak berbau jeroan, dan mudah ditelan. Aku meraih tusuk sate kedua. Aku cukup lapar. Mungkin karena semua ketegangan di sana.
Dulu aku sering ke sini bersama keluargaku, tapi ini bukan tempat makan yang biasa dikunjungi anak-anak SMA. Rasanya sudah tiga tahun sejak terakhir kali aku makan di sini.
Kura mencelupkan kei-nya ke dalam mustard dan mulai mengunyahnya.
Setelah makan satu kei dan satu piitoro, aku berdeham.
"Apa kau setuju dengan apa yang dikatakan ayah Asuka Senpai itu... Nishino-san itu?"
"Apa aku terlihat setuju dengannya?"
"Maksudku, sepertinya kalian berdua sudah saling kenal."
Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya saat ngobrol, tapi mereka berdua sepertinya bukan sekadar orang tua murid dan guru dari anak orang tua murid itu.
"Nisshi adalah wali kelasku di SMA."
"Begitu. Jadi seperti itu."
Selama turnamen bisbol musim panas SMA Koshien, Fukui selalu diperkenalkan sebagai prefektur dengan jumlah sekolah peserta kedua paling sedikit di negara ini. Di tempat seperti ini, bukan hal yang aneh bagi seorang mantan wali kelas untuk bertemu kembali dengan salah satu mantan muridnya, yang sudah dewasa dan kini menjadi guru. Bukan hal yang aneh jika wali kelas putri kalian adalah salah satu mantan murid kalian.
"Aku sekarang guru di sekolah persiapan kuliah yang bergengsi, tapi waktu SMA dulu, aku cukup liar. Memang tidak selevel SMA Yan, tapi sekolahku waktu itu peringkatnya cukup rendah, banyak murid nakal. Dan kurasa bisa dibilang aku salah satunya."
"Sungguh payah bagi seorang lelaki tua untuk menyombongkan dirinya saat menjadi anak nakal di SMA, kau tahu."
"Apa kau bilang sesuatu, dik?"
"Seperti yang kubilang, tidak akan ada yang percaya kita ini bersaudara."
Sulit membayangkannya, mengingat betapa santainya Kura ini, tapi lagipula, dia berhasil menangkis tendangan Yanashita dengan mudah ketika aku datang kepadanya untuk meminta bantuan terkait insiden penguntit Nanase. Kura mungkin berkata jujur tentang dirinya yang tangguh di masa mudanya.
Tapi kami mulai menyimpang dari topik.
"Ini hanya tebakan, tapi mungkin Nishino-san yang mengubahmu saat itu? Mungkin dulu dia lebih seperti pendidik yang bersemangat atau semacamnya?"
"Kau benar tentang bagian pertama. Jauh meleset di bagian kedua. Ya, dialah alasanku memperbaiki diri, tapi Nisshi itu selalu tipe yang menutup semua jalan keluar seseorang dengan kekerasan akal sehat."
"Aku pikir itu akan menjadi awal negosiasi, tapi ternyata begitulah dugaanku."
"Tapi..."
Kura mengolesi tusuk sate goreng tepungnya dengan saus dan mustard sambil melanjutkan.
"Dia bukan tipe orang yang menghalangi keputusan orang lain dengan alasannya sendiri. Dia terus bilang betapa menyedihkannya hidupku jika aku terus seperti ini, tapi dia juga bilang pada akhirnya yang terpenting adalah menemukan jalanmu sendiri."
"Jalan sendiri, ya."
"Nisshi masih muda waktu itu. Entahlah, entah karena usia yang sudah tua, entah karena terlalu protektif terhadap putrinya, atau ada alasan lain di balik itu..."
"Tetap saja, kurasa ucapannya tidak salah."
Saat kukatakan itu, aku langsung tersenyum lebar.
"Kelahiran anak muda dengan sudut pandang yang berkembang pesat, eh. Dan kupikir kau akan meninju orang itu. Hmm, tapi aku pasti akan melemparmu dengan telingamu kalau sampai itu terjadi."
"Aku tidak mungkin melakukan itu. Kata-katanya tentang mengutamakan kebahagiaan putrinya—aku tidak merasa dia berbohong."
"Aku setuju."
Kura memanggil pelayan dan menambahkan lima tusuk shiro, lima tusuk kei, lima tusuk lidah, lima tusuk babat, beberapa cabai shishito, beberapa tahu goreng dengan parutan daikon, segelas shochu es batu, dan satu lagi ginger ale. Lalu dia melanjutkan.
"Menjadi guru itu pekerjaan yang berat, tahu."
"Tidak bisakah kau membicarakannya di tempat lain, mungkin? Di tempat yang akan terdengar sedikit lebih meyakinkan?"
"Dengarkan saja."
Kura mengambil gelas shochu dari pelayan dan meneguknya.
"Kalau dipikir-pikir, kau seharusnya tidak perlu bertanggung jawab atas sekelompok anak yang masih baru belajar, kecuali jika itu anakmu sendiri. Tapi dalam pekerjaan ini, setiap tahun, kau harus bertanggung jawab atas ratusan dari mereka."
"Hmm, yah, itu memang benar."
"Akan menyenangkan jika mereka semua bisa lulus dengan lancar dan terus mewujudkan impian mereka, tentunya, tapi dunia tidak diciptakan seperti itu. Di balik bayang-bayang anak-anak yang sukses, ada banyak sekali anak yang menderita kemunduran, kegagalan, penyesalan... dan dalam pekerjaan ini, kami harus berada di sana menyaksikan semua itu."
"Jadi maksudmu kami harus percaya begitu saja pada apapun yang dikatakan guru?"
"Hah! Jelas gak."
Kura mendengus, lalu menghabiskan shochu-nya.
"Ada banyak guru, termasuk aku, yang tidak memiliki pengalaman hidup atau kemampuan yang dibutuhkan untuk membimbing setiap anak. Masalahnya, seperti kau dan Nishino yang membaca buku dan berpikir mereka tahu bagaimana rasanya menjalani semua kehidupan yang berbeda ini, guru melihat murid-murid mereka dan berpikir mereka tahu bagaimana rasanya menjadi manusia."
Biasanya aku tidak akan pernah mengakuinya, tapi sebenarnya aku sangat percaya pada Kura, dan aku juga menghormatinya. Tidak banyak guru di luar sana yang benar-benar memperhatikan murid-muridnya seperti dia.
Sejujurnya, apa yang dia katakan benar-benar beresonansi denganku saat ini.
Aku akhirnya menyuarakan pertanyaan yang selama ini ada di pikiranku.
"Kura-san, kenapa kau memutuskan untuk menjadi guru SMA?"
"Karena aku tahu aku akan tinggal di semacam surga, dengan gadis-gadis SMA yang segar yang dikirim kepadaku setiap tahun."
"Sebaiknya kau tidak mengatakan hal seperti itu lagi, atau kau tidak akan masuk surga. Cih. Aku bertanya di sini apa kau dipengaruhi oleh Nishino-san, kau tahu, seperti dia membantumu mengubah hidupmu, dan kemudian kau mulai mengidolakannya—kira-kira seperti itu."
"Gah."
Kura menyalakan Lucky Strike lagi dan tertawa.
"Aku memang memutuskan untuk memperbaiki diri dan terbang ke jalan benar, tapi bukan berarti aku langsung ingin jadi guru atau semacamnya. Lebih tepatnya, Nisshi satu-satunya panutan orang dewasa yang baik yang bisa kujadikan panutan."
"Kira-kira begitu, ya."
"Begitulah hidup. Tidak semuanya berjalan dramatis seperti drama."
"Pernahkah kau mengalami masa-masa di mana kau menyesal menjadi guru?"
"Tentu saja. Ketika aku harus berurusan dengan anak nakal yang belum menunjukkan perkembangan sejak SD meskipun penuh kecerdasan dan kepemimpinan, dan ketika aku harus berurusan dengan anak nakal yang berbakat tapi terus meremehkan diri mereka sendiri. Menyia-nyiakan masa muda mereka, mengejar-ngejar diri sendiri. Sungguh bodoh."
"Yang pertama itu tidak mungkin merujukku secara terselubung, kan?"
"Tapi yang aneh adalah : aku tidak pernah sekalipun menoleh ke belakang dan berharap tidak pernah menjadi guru. Kau yang memilih jalanmu. Bertanggung jawablah dan teruslah maju. Seperti itu."
Lelaki tua ini benar-benar keren.
Pikirku, tapi aku tidak akan pernah mengatakannya dengan lantang. Bahkan jika dia mabuk dan tidak akan mengingat obrolan ini besok.
"Baiklah, Chitose. Aku merasa cukup baik. Untuk acara klub kita berikutnya, aku akan mengajakmu ke bar payudara favoritku, Jangan Buat Aku Melepas Blazerku."
"Aku baru-baru ini melihat payudara telanjang seorang gadis SMA yang cantik, jadi itu tidak perlu."
"Tusukkan sate ayam panggang ke lubang hidungmu dan matilah."
"Hati-hati memilih kata-katamu itu, Sensei."
Setelah itu, kami bersenang-senang terlibat dalam obrolan mesum, dan setelah menghabiskan makan malam kami dengan nasi goreng renyah terbaik Akiyoshi dan sup miso akadashi, kami meninggalkan restoran.
✶
Keesokan harinya, dan lusa, aku tidak punya kesempatan untuk berbicara dengan Asuka. Aku mencarinya di sekolah sebisa mungkin, dan menunggunya di tempat biasa kami di tepi sungai, membaca buku untuk mengisi waktu, tapi sepertinya dia sengaja menghindariku.
Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan orang tua-guru itu, dan aku bersandar di kaca pintu masuk, sama seperti yang kulakukan belum lama ini, membaca buku Aisazu ni wa Irarenai karya Yoshinaga Fujita yang kuambil di toko buku depan stasiun, menunggu Asuka.
Langit di luar cerah, tidak seperti hari itu, dan semburat senja mulai menyelimuti udara.
Aku pasti sudah berdiri di sana selama hampir dua jam. Sepertinya tidak ada yang memperhatikanku, jadi kurasa aku tidak perlu merasa canggung, tapi aku tetap merasa seperti penguntit.
"Chitose?"
Mendengar namaku dipanggil, aku mengangkat daguku dari buku dan melihat Nanase berdiri di sana dengan kaus longgar dan celana pendek panjang, perlengkapan latihannya, menatapku dengan ekspresi penasaran. Rambutnya acak-acakan, pipinya merona, dan dia mengenakan pakaian olahraga yang basah karena keringat.
Pemandangan itu terasa begitu tidak nyata hingga aku tidak bisa menahan diri untuk menatapnya.
"Ngapain kamu berdiri di sini?"
Aku menyelipkan pembatas buku di antara halaman-halaman buku yang sedang kubaca dan menutupnya sebelum menjawabnya dengan acuh tak acuh.
"Hanya sedang nunggu seseorang."
"Oh, jadi kamu sedang nungguin seseorang, ya?"
"Kamu ngapain ada di sini? Bukannya latihanmu udah lama selesai?"
"Aku kalah melawan Haru, satu lawan satu, dan yang kalah harus beli minuman olahraga."
Nanase memegang beberapa kantong plastik dari toko swalayan, dan aku bisa melihat botol Pocari Sweat 500 ml di dalamnya.
"Misaki Sensei agak longgar, ya, sampai kamu bisa bermain-main seperti itu saat latihan klub."
"Dia gak mempermasalahin ini kok. Katanya itu buat ganti suasana aja, biar semangat bertandingnya bangkit gitu."
"Ya, tapi kamu bisa saja membeli dua atau tiga botol besar, tahu?"
"Ini seharusnya hukuman... dasar Haru."
Aku membayangkan Haru memerintah dengan sombong sambil menyeringai, dan aku mendengus.
"Tetap aja, kurasa itu kode etik atlet. Yang kalah gak boleh ngeluh."
"Hmph. Dia gak akan bisa ngalahin aku lain kali. Begitu dia lengah, dia gak akan tahu apa yang menimpanya."
"Kamu bicara tentang basket, kan?"
Nanase datang bersandar di pintu di sampingku, meletakkan tas-tas itu dengan suara berdenting keras. Sambil berdesir, dia mengambil salah satu botol dan menempelkannya ke pipiku.
"Ini. Buatmu."
"Kamu mau ngajakkin aku olahraga sampai berkeringat?"
"Gak lah. Aku gak mau melihat mantan pacarku menangis. Aku punya belas kasih seorang samurai, tahu."
"Begitukah caramu memandang sesuatu?"
"Kamu dan aku itu sama, ingat?"
Aku menyeringai kecut, mengingat percakapan serupa yang pernah kami lakukan.
"Sial, seharusnya kita gak pernah putus."
"Hadapi perasaanmu. Itu penting. Dengan begitu, kamu gak akan terpuruk dalam penyesalan setelah kehilangan seseorang. Itulah pengalaman."
Rasanya seperti dia tahu segalanya, melihat segalanya.
"Kamu tahu, Yuzuki-san, kamu itu benar-benar menarik."
"Makasih, Saku."
Lalu Nanase mengangkat kedua tas dari tanah dan menghilang ke arah pusat kebugaran.
Aku sedang meneguk botol Pocari Sweat yang masih kupegang, ketika...
Clunk, clunk.
Seseorang mengetuk kaca di belakang kepalaku. Aku tahu tanpa menoleh bahwa itu Asuka. Tapi ketika aku menoleh, dia tampak agak cemberut, berbeda dari yang kubayangkan.
Sambil memalingkan muka, Asuka berkata,
"Ini bukan yang kita bicarakan!"
"Apanya yang bukan?!"
"Saat aku turun ke loker sepatu, aku ngeliat kamu dari belakang. Aku merasakan campuran rasa takut, sedih, dan juga lega... aku ngebayanginnya seperti ini."
"Tok-tok."
"Asuka Senpai."
"Kurasa aku gak bisa terus-terusan ngehindarin kamu, ya. Aku sudah berpikir... aku harus benar-benar membicarakannya sekali lagi denganmu. Ayo pergi... ke tempat biasa kita."
"Atau semacam itu!"
"Bagaimana aku bisa tahu?"
Balasku, dan dia malah cemberut.
"Tapi kenapa? Seharusnya kamu menunggu gadis yang lebih tua yang kamu kagumi, tapi malah kulihat kamu sedang menggoda gadis manis dari kelasmu yang satu angkatan denganmu?! Aku sangat terkejut, sampai-sampai aku melewatkan kesempatan untuk pergi dengan marah, tahu?!"
"Tenanglah, Asuka Senpai. Ini sama sekali bukan karaktermu."
Asuka terbatuk keras, ekspresinya semakin rapuh.
"Kurasa aku gak bisa terus-terusan ngehindarin kamu, ya. Aku sudah berpikir... aku harus benar-benar membicarakannya sekali lagi denganmu. Ayo pergi... ke tempat biasa kita."
"Bukannya agak terlambat untuk memulai lagi sekarang?"
✶
Kemudian, di tempat kami biasa bersantai di tepi sungai, Asuka mulai berbicara, kepalanya tertunduk.
"Maaf udah ngerepotin kamu."
"Itu pilihanku untuk ikut campur. Kamu seharusnya gak merasa bersalah, Asuka Senpai."
Aku terus menatapnya sambil melanjutkan.
"Sebenarnya, kurasa akulah yang harusnya minta maaf. Sejujurnya, aku datang tiba-tiba ke situasi itu tanpa persiapan yang matang."
"Itulah kenapa kamu hebat."
"Gak, sama sekali gak. Ayahmu membesarkanmu dengan penuh kasih sayang, dan aku gak berhak berdiri di sana dan berbicara kaya itu."
Asuka tersenyum malu dan kembali menundukkan kepalanya.
"Ayah bukan... orang jahat."
"Aku tahu. Jika dia orang jahat, aku gak akan pernah mundur seperti itu. Ayahmu baik. Ayah yang baik."
"Kalau kamu yang bilang gitu, maka itu pasti benar."
Aku yakin Asuka sendiri sudah tahu itu benar. Itulah mengapa dia menarik garis batas. Mungkin dia akan lebih bahagia jika dia bisa tetap menjadi anak kecil yang jujur dan terbuka. Di dunia ini, banyak anak yang menerobos situasi dan memaksakan keinginan egois mereka sendiri untuk alasan yang sangat lemah, dan ada banyak orang tua di luar sana yang menyerah dan menerimanya begitu saja.
Tapi Asuka tidak seperti itu.
Dia tipe orang yang merasa berhutang budi kepada orang tuanya karena telah membesarkannya, tipe orang yang memahami logika di balik perkataan orang tuanya. Tipe orang yang serius mempertimbangkan masalah kehidupan nyata seperti keuangan.
"Tapi kamu tahu."
Kataku.
"Kamu benar-benar gak boleh nyerah gitu aja sama impianmu."
Asuka menatapku namun tidak berbicara.
"Kurasa ayahmu benar dalam perkataannya, tentunya. Kebanyakan orang menghadapi situasi dalam hidup mereka di mana mereka harus nyerah pada sesuatu. Tapi menurutku, nyerah hanya karena orang lain memaksamu melakukannya itu salah."
"Kamu yang berhak bicara gitu."
Kata Asuka, bergumam.
Aku berusaha tersenyum selembut mungkin.
"Benar, Asuka Senpai. Akulah yang berhak bicara."
Mata Asuka tiba-tiba melebar, dan dia menunduk, masih bergumam.
"Maaf... aku memang yang terburuk."
Aku menggeleng pelan.
"Gak apa-apa. Kurasa kamu pasti sedikit lelah. Tapi jangan khawatirkan aku sekarang. Khawatirkan dirimu sendiri."
"Kupikir aku bisa lebih sepertimu, hanya saja..."
Aku merasa sedikit bersalah.
Lebih sepertiku. Dia baik hati mengatakan itu. Tapi dalam situasi seperti ini, orang tuaku tentu tidak akan ribut. Mereka tipe orang tua yang tidak masalah jika putra mereka yang masih SMA tinggal sendirian. Selama aku punya alasan kuat, mereka akan menerima rencanaku setelah SMA, entah aku ingin kuliah di Universitas Fukui, Tokyo, atau di mana pun. Mereka tidak akan berkomentar. Mereka hanya akan mengirimkan uang, seolah-olah itu sudah pasti. Jadi aku benar-benar tidak bisa berbagi masalah Asuka dengannya dengan cara yang sama.
Aku merasakan kebebasan tanpa batas yang kudapatkan dengan melepaskan mimpiku sendiri. Orang-orang yang masih mengejar mimpi mereka tidak memiliki kemewahan itu. Entah bagaimana, aku merasa itu sungguh tidak adil. Tapi kami semua harus berenang di lautan ketidakadilan itu. Ya, kami semua.
Sementara aku tetap diam, Asuka melanjutkan.
"Kamu tahu, saat kamu menoleh padaku waktu itu, kamu bilang kamu mengagumi cara hidupku, bahwa aku tampak begitu bebas. Aku sangat senang kamu bilang gitu. Aku selalu ingin menjadi orang seperti itu. Aku merasa sedikit lebih dekat dengan diriku yang kuinginkan. Aku merasa dihargai."
Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi dia memotongku.
"Masalahnya, itu.... kurasa perjalananku masih panjang. Dengan keadaanku saat ini... aku gak bisa menunjukkan yang lebih baik lagi. Aku udah gak tahu harus apa. Saat aku liat kamu bangkit kembali setelah pengalaman yang jauh, jauh lebih menyakitkan, dan aku gak ingin menyeretmu lebih jauh lagi.... aku gak berusaha bersikap seperti kakak perempuan hanya agar berakhir seperti ini."
Dengan senyum sedih yang tidak henti-hentinya, Asuka berdiri.
Angin berwarna senja berhembus. Anginnya bertiup terlalu kencang, seolah-olah mencoba kembali ke masa lalu. Atau mungkin mencoba menuju hari esok. Bagaimanapun, anginnya kencang.
Asuka menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kirinya dan berkata.
"Jadi, di sinilah aku mau ngucapin selamat tinggal padamu."
"Asuka Senpai...."
"Aku gak akan ngelupain waktu yang kita habiskan bersama. Obrolan kita di tepi sungai, musik yang kita dengarkan. Kencan pertama dan terakhir kita. Akan kusimpan kenangan tentangmu dalam album foto hatiku, dan aku gak aka pernah melupakan momen-momen masa muda yang kulewati bersama laki-laki luar biasa yang setahun lebih muda dariku itu."
Asuka berbalik dan mulai berjalan pergi, dan aku menatap punggungnya. Selalu selangkah di depanku, selalu menjadi sosok yang kukagumi.
Hahh.
Kata-katanya itu terus terulang di kepalaku seperti sebuah refrain.
Aku merasakan sakit yang menusuk dan melepaskan kepalan tanganku yang sedari tadi kugenggam saat aku mendapati diriku benar-benar tersesat di tengah malam.
✶
Keesokan harinya, aku menyeret diriku seperti balon kempes dan entah bagaimana berhasil sampai di penghujung hari.
Aku sempat melihat sekilas Asuka di ruang perpustakaan, tapi sepertinya dia sedang belajar dengan Okuno. Pemandangan itu membuatku semakin tertekan.
Haru dan Yuuko, yang berada di sampingku, terus bertanya apa ada yang salah, tapi itu bukan hal yang bisa kuminta saran dari teman-temanku. Lagipula, aku masih ragu apa aku harus mencoba melakukan sesuatu atau tidak.
Sampai Asuka sendiri memintaku membantunya, aku tahu aku harus diam saja.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah sisa-sisa janji kecil yang bahkan aku sendiri tidak yakin dia ingat pernah membuatnya.
Setelah jam pelajaran, aku ingin mencari sesuatu, apapun untuk dilakukan dan menyegarkan pikiranku. Saat itulah aku melihat Kenta, bersiap-siap pulang dengan semangat yang luar biasa.
Aku menjatuhkan diri ke mejaku dan memanggilnya.
"Kenapa kau terlihat begitu bahagia? Apa kau punya kencan yang seru?"
Kenta berbalik kaget, lalu langsung menghampiri dengan langkah ringan.
"Ini bukan kencan, Raja! Ini jauh lebih serius! Aku bicara soal pernikahan! Aku akan menjemput istri baruku!"
"Tunggu dulu; omonganmu itu gak masuk akal."
"Ini tanggal rilis volume terbaru dari fandom terbesarku! Dan bahkan ada versi edisi terbatas Animate spesial! Kau juga membacanya, Raja, ingat?"
Lalu dia menyebutkan sebuah judul, salah satu seri novel ringan yang memang kumiliki sendiri. Ketika aku mencoba meyakinkan Kenta untuk keluar dari kamarnya, aku membaca setiap buku dalam seri itu agar aku bisa membangun kesamaan dengannya. Sejujurnya, aku agak penasaran tentang apa yang akan terjadi di volume berikutnya.
"Apa ruginya?"
Kataku, berbicara sendiri.
"Mungkin aku akan ikut denganmu..."
Mata Kenta berbinar.
"Serius?! Ayo, ayo! Dan masih banyak seri bagus yang belum kau baca, Raja; biar kutunjukkan! Kalau kau menemukan seri dengan ilustrasi bagus yang benar-benar menarik, kemungkinan besar aku bisa meminjamkanmu salinanku sendiri! Aku senang melakukannya! Aku punya cadangannya! Aku seperti misionaris yang membagikan teks-teks penting; begitulah caraku melihatnya! Yosh, aku akan memberimu satu set lengkap untuk kau simpan gratis kalau kau mau!"
"Ah... Uh-huh."
Aku pernah mendengar ini, tumpukan informasi otaku yang melegenda.
Dan mulai terdengar seperti rumor yang kudengar tentang otaku yang membeli beberapa set barang yang sama bukan sekadar legenda urban. Rupanya, mereka membeli satu set untuk dibaca, satu untuk disimpan, satu untuk dipajang, dan satu lagi untuk dibagikan kepada orang lain yang ingin mereka sukai agar terpikat pada seri tersebut. Aku tidak bisa membayangkan membeli satu set terpisah untuk dipajang, apalagi barang-barang lainnya.
Saat aku menyerah pada antusiasme Kenta itu, Kazuki datang sambil tertawa menyebalkan.
"Ada keributan apa ini? Kalian sedang ngomongin apa?"
"Uh, Kenta sepertinya mau ke Animate, jadi kupikir aku mau ikut."
"Sungguh? Mungkin aku ikut juga. Setelah itu, kita bisa makan malam dalam perjalanan pulang."
"Hah? Kau gak ada latihan klub?"
"Pelatihnya ada urusan di luar sekolah hari ini, jadi gak ada latihan."
Kenta mendengarkan percakapan kami, matanya berbinar-binar lagi.
"Seriusan? Ayo, ayo, Mizushino, ayo! Sekarang, aku punya kesan kau biasanya gak baca novel ringan, jadi aku pinjamin kau seri yang menurutku bakal jadi pilihan terbaik buat pemula! Tapi kurasa kau harus lihat juga artwork dan blurb beberapa serinya dan lihat apa yang menarik perhatianmu; itulah keindahannya, loh, penemuannya, dan—"
""Baiklah, baiklah.""
Kazuki dan aku sama-sama mundur selangkah saat Kenta mulai mengoceh lagi dengan penuh semangat.
Akhirnya kami bertiga pergi ke Animate di depan Stasiun Fukui.
Aku sudah sering nongkrong di area ini bersama Kazuki dan Kaito, tapi biasanya kami pergi makan, atau ke Loft di dalam department store, atau MUJI, atau ke salah satu toko pakaian mewah kesukaan Kazuki. Atau kami juga nongkrong di toko buku umum terdekat. Sejujurnya, aku bahkan belum pernah tahu ada Animate di sini sebelumnya.
Oke, sejujurnya, aku ingat pernah melihat etalase biru itu sebelumnya, tapi satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah, "Banyak sekali mesin mainan kapsul di depan toko itu."
Aku tadinya berharap ada sesuatu yang lebih untuk para otaku garis keras, karena Kenta akan membawa kami ke sana, tapi rak-raknya ternyata kebanyakan berisi manga shounen biasa, yang aku dan Kazuki baca. Ternyata itu lebih seperti toko buku dengan fokus kuat pada manga, novel ringan, dan anime, daripada surganya otaku.
Bahkan ada beberapa gadis SMA yang berpenampilan normal di sana, sama sekali tidak terlihat seperti kutu buku.
Sebelumnya, ketika aku mencari novel ringan yang dibaca Kenta, aku harus pergi ke empat toko buku berbeda untuk menemukan semuanya, dan itu sangat merepotkan. Tapi toko ini memiliki semuanya di bawah satu atap.
Aku ingin kembali ke masa lalu dan memukul kepala pelakunya, sambil berkata,
"Seharusnya kau memberitahuku tentang tempat ini lebih awal!"
Kenta yang sekarang sepertinya cepat menemukan buku yang dicarinya, lalu dia menyeretku ke bagian novel ringan dan memulai penjelasannya.
Kebetulan, Kazuki telah melarikan diri setelah merasakan bahaya dan sedang sibuk melihat-lihat pratinjau gratis di bagian manga.
"Raja, Raja, bagaimana dengan yang ini? Aku Dulunya Kutu Buku yang Tertutup, tapi Sekarang Aku Bergaul dengan Anak-Anak yang Keren?!"
"Aku udah muak dengan kiasan 'anak culun yang populer'."
Jawabku dengan lesu.
"Lalu bagaimana dengan sesuatu dari sudut pandang yang berlawanan? Aku Berawal dari Anak Populer Berspesifikasi Tinggi dan Terus Menjalani Kehidupan SMA yang Tak Tertandingi, Dikelilingi Gadis-Gadis?"
"Judul konyol macam apa itu? Memangnya siapa yang mau baca itu?"
"Kurasa penulisnya gak akan senang mendengar itu dari orang sepertimu."
✶
Akhirnya aku membeli dua buku yang direkomendasikan Kenta, lalu kami meninggalkan toko.
"Siapa yang mau makan?"
Aku bertanya sambil menyimpan buku-buku itu di tas harianku, dan Kazuki menjawab.
"Hachiban atau katsudon?"
"Bukan hanya itu dua pilihan yang ada di kota ini. Ayo kita makan sesuatu yang berbeda kali ini."
Kenta, yang entah kenapa berjalan beberapa langkah di belakang kami, melanjutkan.
"Lalu bagaimana dengan Burger King?"
"Hmm, lumayan. Lagipula, kita hanya bisa makan di dekat stasiun."
Kazuki sudah putus asa, dan aku tidak punya alasan untuk menolak, jadi kami pergi ke pusat perbelanjaan Happiring di dekat stasiun.
Kami tiba di gedung itu, yang memiliki struktur berbentuk bola aneh yang mengingatkanku pada stasiun TV terkenal. Aku belum pernah ke sana, tapi rupanya benda berbentuk bola itu semacam planetarium dengan resolusi 8K ultra-tinggi. Tiba-tiba terlintas di benakku, tempat ini cocok untuk bersenang-senang bersama Asuka, tapi aku mengurungkan niatku. Pertama, aku harus fokus pada rekreasiku sendiri.
Kami masuk ke Burger King di lantai dua, dan aku memesan satu set bacon cheeseburger, sementara Kazuki memesan satu set double cheeseburger, dan Kenta memesan satu set teriyaki Whopper Jr.
Ada beberapa kursi di dekat dinding kaca, yang menawarkan pemandangan penuh ke arah bundaran di depan stasiun, jadi kami duduk di sana. Lalu kami semua mulai makan.
Sambil memasukkan kentang goreng ke mulutnya, Kazuki berkata,
"Kelompok yang gak biasa hari ini, ya."
"Hei!"
Tentu saja bukan aku yang menjawab, melainkan Kenta.
Kazuki tertawa dan melanjutkan.
"Siapa sangka kau akan berakhir makan makanan cepat saji berkelompok sepulang sekolah seperti ini, Kenta."
"Maksudku, kau gak salah. Kalau aku masih orang yang sama seperti sebelum insiden mengurung diri, aku bahkan gak akan terdeteksi radarmu, Mizushino."
"Gak juga. Aku pasti akan memperhatikanmu. Pastinya dengan cibiran."
Aku menimpali.
"Benar, Kenta. Pangeran jahat playboy berwajah malaikat dan tertutup ini pernah berkata, 'Anak itu bukan tipe yang cocok di kelompok seperti kita. Aku gak diskriminatif, tapi aku memang membeda-bedakan'."
"Yang benar?! Tapi waktu pertama kali aku mencoba berbicara dengannya, kupikir dia laki-laki sejati luar dalam... aku benar-benar terkesan, sialan!"
Kazuki melambaikan tangannya, acuh tak acuh.
"Yah, aku baik-baik saja dengan siapapun dalam pergaulan, asalkan aku baik-baik saja dengan mereka secara pribadi. Dalam hal prioritas, aku mengutamakan gadis cantik dulu, baru teman-teman laki-lakiku. Tapi menurutku, usahaku untuk menambah mantan orang yang mengurung diri ke dalam lingkaran pergaulan kami itu sia-sia."
"Aku ngerti."
"Gak, gak, kau gak ngerti."
Kenta mengangguk mengerti, dan aku harus menjatuhkannya beberapa tingkat.
"Tapi kau tahu..."
Playboy berwajah malaikat itu masih berbicara.
"Saat ini, aku menganggapmu sebagai temanku, Kenta. Aku suka orang yang berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki diri dan maju."
"Hee... aku juga suka kamu. ♡"
"Kenta, mau pergi ke suatu tempat setelah ini di mana kita bisa merasa nyaman?"
"Aku setuju. ♡"
"Berhentilah terpesona padanya! Jangan tertipu oleh tipuannya."
Aku harus menimpali lagi, dan kemudian kami bertiga tertawa terbahak-bahak.
Lalu sebuah pikiran muncul, dan aku mengganti topik pembicaraan.
"Omong-omong, Kazuki. Apa kau pernah mengalami masa pemberontakan?"
"Gak. Itu terlalu rendah."
"Itu masuk akal. Buatmu."
"Apa ini ada hubungannya dengan kenapa kau murung seharian?"
Menganggap diamku sebagai jawaban ya, Kazuki tertawa dan melanjutkan.
"Masalahnya, ketika kita mencapai usia kita, kita mampu mempertimbangkan berbagai hal untuk diri kita sendiri, mengambil tindakan untuk diri kita sendiri, dan sebagainya. Mungkin gak semampu orang dewasa, pastinya, tapi kita mampu, dan kita ingin melakukannya. Orang tuamu agak tidak biasa, Saku, karena mereka sangat menghormati hal itu. Tapi banyak orang tua, citra anak-anak mereka sepertinya terpaku pada usia sekolah dasar."
"Ada perbedaan besar antara anak laki-laki di sekolah dasar dan yang di sekolah menengah atas."
"Kau benar. Kita menumbuhkan rambut kemaluan, kita belajar cara masturbasi, beberapa bahkan mulai berhubungan seks. Tapi bagi orang tua kita, kita hanyalah anak-anak menyebalkan yang perlu mereka kendalikan dan bimbing. Sampai kita bisa menemukan cara untuk menjembatani kesenjangan perspektif itu, kita gak akan berbicara dengan mereka."
Kenta melanjutkan, tampak menyesal.
"Kurasa kalau kau bilang begitu, aku memang gak bisa menyangkalnya. Aku benar-benar bertingkah seperti anak nakal yang butuh bimbingan."
Dia benar.
Pikirku.
"Itu mengingatkanku, kita punya anak teladan untuk masa pemberontakan di sini. Aku yakin orang tuamu awalnya bilang, 'Kembali ke sekolah, ya?' Tapi kau malah mengurung diri di kamar. Bagaimana rasanya?"
Ketika aku menanyakan itu, Kenta menunduk malu dan berdeham.
"Inti masalahnya adalah aku sebenarnya gak ingin pergi, tapi... sekarang, dengan mengingatnya kembali, aku bisa mengerti bahwa jika orang tuaku benar-benar memaksa untuk mencari tahu alasannya, aku pasti akan merasa sangat terisolasi, seolah-olah akulah satu-satunya yang benar-benar mengerti perasaanku."
"Hmm, begitu."
"Orang dewasa bisa langsung melihat jawaban yang benar, tapi kita cenderung menderita dalam diam, berdebat tentang jalan yang benar, dan merasa sangat bersalah. Kita mungkin sampai pada kesimpulan yang sama pada akhirnya, tapi gak seorang pun ingin melewatkan proses pencarian jati diri dan mendapati jawabannya begitu saja."
"Lagipula, ini adalah usia di mana penolakan romantis yang paling sederhana pun terasa seperti kiamat."
Kenta mengerut di kursinya, tapi kami tidak bermaksud mengolok-oloknya di sini. Sejujurnya, apa yang dia katakan justru memberiku pencerahan.
Ketika orang tua melihat kita, mereka melihat masa lalu. Tapi bagi kita, itulah masa depan. Kurasa itulah kuncinya.
"Mungkin ini semacam opini retrospektif, tapi..."
Kenta melanjutkan.
"Sekalipun kita salah jalan, kita perlu mengatasi perasaan rumit kita dan menghadapi diri sendiri agar bisa keluar dari situasi ini. Begitulah akhirnya aku sampai di sini, bertemu denganmu, Raja, dan anggota kelompok lainnya. Sejujurnya, aku sama sekali gak menyesal. Kurasa pada akhirnya, apapun pilihan yang akan datang, selama kau yakin telah membuat pilihan yang benar-benar kau inginkan, begitulah akhirnya kau membangun jati dirimu di masa depan... entahlah, mungkin aku kurang tepat."
"Sepertinya terisolasi dan mengurung diri di kamar membangkitkan jiwa filsuf dalam dirimu."
"Anggap aja aku gak bilang apa-apa sekarang!"
Kazuki menyeringai.
"Kau benar-benar orang yang lucu, Kenta, ya? Saku benar dari awal."
"Benar?"
Saat aku menjawab, ekspresiku berubah serius.
"Aku jauh lebih pintar dan lebih tajam daripada kalian berdua."
"Kami berdua? Jangan samakan aku dengan Kenta."
"Kau harus tegas sejak awal. Tegas di sini itu.... kau mungkin gak akan jadi pemain bisbol profesional. Kau mungkin gak akan bisa memperbaiki sifat penyendirimu saat ini, jadi tegas di sana. Sekalipun kau sudah jatuh cinta pada seseorang, gak ada jaminan orang itu akan membalas perasaanmu. Tegaslah lagi. Dengan begitu, perasaanmu gak akan pernah terluka; kau gak akan pernah harus berjuang. Kau juga akan merasa yakin bahwa kau bisa terus hidup dengan benar di masa depan."
"Ketika kau bukan tipe orang yang mudah marah tentang apapun."
Kazuki tersenyum, sedikit sedih.
"Kurasa itu bukan cara yang buruk. Aku suka melihat orang lain bersemangat, tapi aku gak ingin menjadi salah satunya—tipe orang yang begitu bersemangat sampai-sampai gak bisa melihat jalan di bawah kaki mereka. Daripada usaha berisiko tinggi dan berhadiah tinggi, aku lebih suka usaha berisiko rendah dan berhadiah rendah yang dekat."
Aku teringat ayah Asuka.
Aku masih dihantui rasa kesal yang tidak kunjung hilang setelah pertemuan orang tua-guru itu, rasa enggan untuk menerimanya. Tapi sekarang, mendengar cerita yang sama dari teman-teman yang kuhormati, rasanya seperti pukulan telak.
Seperti kata Kura. Orang itu, sebagai guru, pasti harus mengawasi banyak sekali murid yang mencoba menggigit makanan "berisiko tinggi" hanya untuk menyadari bahwa mereka tidak bisa mengunyahnya.
Kazuki kemudian berbicara, seolah mengakhiri percakapan.
"Tapi anehnya, di dunia ini, ada beberapa orang yang mendapatkan hasil setinggi itu ketika mereka mengejar sesuatu yang berisiko tinggi. Kau mungkin bilang orang-orang itu punya sesuatu yang istimewa, tapi satu hal yang pasti : aku gak punya itu."
Aku tidak bisa memikirkan apapun untuk membalasnya. Aku hanya menatap bundaran gelap di depan stasiun di bawah sana.
Dinosaurus animatronik yang menyala itu bergerak, seperti biasa.
✶
Malam itu, aku baru saja naik ke tempat tidur dan berencana untuk tidur ketika aku mendapat pesan di aplikasi LINE.
Kamu ada waktu besok malam?
Ya.
Boleh aku ke rumahmu?
Tentu.
Dia membalas dengan stiker, tapi aku memejamkan mata tanpa membalasnya.
✶
"Yo."
"Hei. Jadi, kamu mau ke sini untuk apa?"
"Hmm, kamu mau aku ke sini untuk apa?"
"Kenapa kamu ngucapin itu dengan nada begitu menggoda?"
Malam berikutnya, Jumat, Nanase datang ke rumahku.
Dia pasti langsung pulang dari latihan klub. Saat dia melewatiku saat masuk, aku mencium aroma deodoran yang manis. Dia meletakkan tas olahraganya di sudut ruangan dan menatapku dengan genit.
"Aku cuma berpikir untuk memeriksa apa ada tanda-tanda gadis lain di sekitar sini."
"Gak ada tanda-tanda gadis lain selain kamu di sini."
Saat aku mengatakan itu, Nanase tertawa kecil dan mengeluarkan kantong plastik yang kusut.
"Kukira kita bisa makan malam bersama. Lihat, semangkuk gyudon daging sapi ukuran jumbo dengan banyak daun bawang dan telur di atasnya."
"Itu pilihan yang sangat maskulin. Kalau kamu gak bisa memasak makanan rumahan, setidaknya pilihlah sesuatu seperti hidangan pasta yang mewah. Ada banyak pilihan lainnya."
"Kamu udah makan makanan rumahan dari beberapa gadis yang bisa kusebutin. Lagipula..."
Nanase berhenti dan menatapku dengan tatapan lesu.
"Laki-laki suka makanan kaya ini, kan?"
"Ah, aku gak bisa membantahmu!"
Aku memotong wortel, lobak, dan daun bawang, lalu membuat sup miso sederhana, yang kubawa ke meja. Nanase tampak senang, menyatukan kedua tangannya. Ekspresinya berseri-seri.
"Terima kasih atas makanannya!"
"Terima kasih."
Aku mengoleskan sedikit saus pada salad yang dibelinya untuk dimakan bersama gyudon dan menyesap sup miso. Rasanya sedikit lebih ringan daripada sup yang selalu dibuat Yua, jadi rasanya lumayan.
"Enak sekali! Menghangatkanku sampai ke tulang."
Nanase juga meminum supnya sambil berbicara.
"Kalau aku tinggal sama kamu, Chitose, aku yakin aku bakal berhenti masak sama sekali. Gak enak rasanya."
"Gak enak juga kalau kamu bahas soal tinggal bareng begitu santainya."
Aku taruh telur rebus dan daun bawang di atas mangkuk daging sapi lalu aduk perlahan.
"Kamu gak bilang apa-apa waktu kita ada sesi rencana masa depan, tapi apa kamu sudah mutusin mau ngapain setelah SMA, Chitose?"
"Sejujurnya, aku sama sekali gak kepikiran."
Jawabku.
Nanase tampak agak terkejut, tapi kemudian mengangguk seolah mengerti.
"Masalahnya, waktu aku masih main bisbol, aku cuma mikir, 'Yoshaa! Aku mau coba ikut turnamen bisbol SMA Koshien!' dan itu saja. Kupikir kalau aku berhasil, semua pencari bakat profesional pasti mendatangiku. Itu rencanaku. Kalau gak berhasil, rencana cadanganku adalah kuliah di universitas yang tim bisbolnya bagus dan berusaha keras untuk maju dengan cara itu."
Kurasa, hari itu, Asuka pasti sadar aku tidak mau membicarakan hal ini, jadi dia dengan halus mengalihkan pembicaraan dariku.
Ikut turnamen Koshien di tim sekolah kota kecil, tarik perhatian dan bedakan diri, lalu jadi pemain profesional. Kalian mungkin berpikir itu kekanak-kanakan, tapi sejujurnya aku yakin punya kesempatan untuk meraih mimpi seperti itu. Mimpi yang cuma bisa dibaca di manga.
"Ah, jadi kamu menikmati waktu luangmu, kan?"
"Hmm."
Cara yang aneh untuk dikatakan.
Pikirku. Setelah bisbol meninggalkan hidupku, aku bahkan tidak mampu membayangkan masa depan seperti apa yang mungkin kumiliki.
Kupikir sepanjang tahun ini hanya aku yang menghabiskan waktu sampai lubang di jiwaku terisi kembali, tapi akhir-akhir ini aku merasa sudah hampir sampai.
Namun, ketika kalian membuka penutup tipis itu, masih ada lubang menganga besar yang tertinggal. Mungkin suatu saat nanti aku harus mencari sesuatu yang lain untuk mengisinya.
Inilah mengapa aku tidak ingin Asuka mengalami hal yang sama.
Nanase tidak bertanya apa-apa lagi, jadi aku memutuskan untuk mengalihkan pertanyaannya kembali padanya.
"Kamu bilang kamu berencana kuliah di luar prefektur, kan?"
Nanase berhenti sejenak dan menelan rasa gugupnya dengan rapi sebelum menjawab.
"Ya."
"Ada alasan khusus untuk itu?"
"Hmm, sebenarnya gak ada yang penting. Ingat waktu aku bilang aku gak mau cerita ke orang tuaku soal insiden penguntit itu?"
"Iya."
Waktu itu, aku gak terlalu mikirin itu. Cuma kebiasaan anak SMA aja, pikirku.
"Kurasa aku udah cukup berhasil memenuhi sebagian besar harapan orang tuaku. Aku gak buat mereka khawatir. Tapi, tahu gak sih, hidup kayak gitu agak menyesakkan, kan? Setidaknya selama kuliah, aku ingin hidup lebih bebas, punya sedikit kemandirian. Kurasa itu yang kupikirkan."
"Kurasa itu cukup masuk akal untuk jalan hidupku ke depannya."
Waktu aku bilang begitu, Nanase sedikit mengerutkan keningnya.
"Ah, maaf. Aku gak bermaksud bilang kalau itu membosankan atau semacamnya."
"Aku tahu. Kamu bukan tipe orang yang akan berkata seperti itu, Chitose. Kurasa aku juga benar tentang alasanmu yang akhir-akhir ini agak murung."
Sambil dirinya masih bicara, Nanase sudah selesai makan dan sedang menghancurkan gyudon dan salad hingga rata. Lalu dia membawa mangkuk sup kami ke wastafel dan mulai mencucinya. Setelah mengeringkannya dengan handuk, dia sepertinya tiba-tiba teringat sesuatu, lalu dia mematikan lampu kamar.
Dia melangkah mendekat, mengandalkan cahaya redup ponselnya untuk menuntunnya.
"Nee. Kemari."
Dia berbisik di telingaku.
Napasnya yang manis membuatku merinding.
Dia menuju ke kamar tidur, dan aku mengikutinya.
Dia membuka pintu dan menyorotkan layar ponselnya ke kamar, lalu sambil tertawa kecil, dia menyalakan lampu berbentuk bulan sabit milikku.
Lalu dia duduk di tempat tidur dan menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Diterangi cahaya lembut, pahanya yang putih terekspos sepenuhnya.
Aku duduk di sampingnya, tepat seperti yang ia minta, dan ia menyentuh leherku dengan lembut. Aku bisa mencium aroma feminin, yang berbeda dari deodorannya.
Nanase mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu—
—dia meremas leherku dengan mengancam.
"Ayo. Katakan aja."
"Nanase-san, itu jurus spesial Yua-san. Dan apa yang kamu ingin aku katakan?!"
"Hal yang ada di pikiranmu, Chitose, itu aja."
"....Boleh aku tanya satu hal?"
"Hmm?"
"Apa maksudnya suasana sensual ini?"
"Kupikir kamu akan merasa lebih nyaman menceritakan rahasiamu dalam cahaya redup."
"Aku akan lempar kamu ke tempat tidurku lagi kalau kamu gak hati-hati dengan tingkahmu, nona kecil."
"Ooh, jangan! ♡"
Sial. Aku jadi sangat bersemangat, ya?
✶
Setelah itu, aku bercerita tentang Asuka.
Tentang bagaimana aku bingung harus berbuat apa, setelah semua ini.
Nanase mendengarkan dengan saksama, mengangguk dengan sungguh-sungguh.
Aku sampai pada bagian di mana Asuka mengucapkan selamat tinggal, lalu aku menghela napas.
"Jadi begitulah yang terjadi."
Ketika aku mengingat kembali kunjungan singkat Nanase malam ini, aku menyadari dia sudah menyadari semua ini. Dia jelas tahu aku tidak akan membocorkannya kecuali dia menanganiku dengan terampil, dengan sangat hati-hati.
"Kamu tahu."
Kata Nanase, suaranya lembut dan ramah.
"Kamu ternyata jauh lebih bodoh daripada yang kamu sadari, Chitose."
Lupakan itu.
"Kamu sok pintar dan selalu membuat segalanya terdengar rumit, tapi kamu mengkhawatirkan hal-hal yang sangat sederhana. Kamu merasa tersiksa, lalu kamu mengesampingkan semuanya dan berpura-pura bodoh."
"Lebih baik selesaikan di sini, atau Saku kecil yang malang akan terluka perasaannya, kamu tahu?"
"Ambil contohnya aku, atau Mizushino. Kami lebih pandai menyembunyikan perasaan. Tapi kamu gak bisa, Chitose. Makanya kamu bodoh."
Kamu paham?
Gadis cantik itu memiringkan kepalanya, menatapku.
"Hanya ada satu hal yang bisa kamu lakuin, dan itu sama saja seperti yang selalu kamu lakuin."
Lalu Nanase mencengkeram bagian depan bajuku, seolah-olah dia ingin berkelahi.
"Hadapi tembok di depanmu itu dan tendang sekuat tenaga. Hancurkan."
Dia menepukkan tangannya ke wajahku, hampir cukup keras untuk disebut tamparan, lalu dia meremas kedua pipiku.
"Kamu itu laki-laki, kan, Saku Chitose?"
Aku mengerahkan seluruh kemampuanku untuk tidak memeluk gadis yang duduk di sebelahku ini.
"Kalau bukan."
Nanase menjilat bibirnya dengan penuh nafsu.
"Aku akan melemparmu ke bawah sini dan melakukan apapun yang aku mau. ♡"
"Dan memakanmu. ♡"
"Apa kamu mau menginap, Nanase-san?"
"Jangan asal ngomong!"
Aku menatap Nanase yang tertawa terbahak-bahak, dan menyadari semua pikiran yang berputar-putar di kepalaku sepertinya sudah tenang.
Di mata orang dewasa, kami semua memang anak-anak, kurasa.
Jadi apa salahnya bertingkah kekanak-kanakan? Sedikit liar dan impulsif?
"Makasih, Nanase-san."
"Ya-Ya."
Dia masih meremas-remas pipiku pelan. Aku tahu aku terlihat aneh, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus menatap wajah cantik itu.
✶
"Ah, kayanya aku ngasih amunisi berlebihan kepada yang terburuk..."
Helaan napas samar seseorang menghilang di langit malam kota pedesaan.
✶
Fwish. Clack.
Fwish. Clack.
Keesokan harinya, Sabtu. Pagi-pagi sekali, pukul lima.
Bermandikan cahaya matahari terbit pertama, aku berlatih melempar.
Itu mengingatkanku pada masa latihan bisbolku dulu. Tentunya, kami tidak bangun sepagi ini. Tapi kenangan itu menyenangkan.
Fwish. Clack.
Fwish. Clack.
Beberapa menit terakhir, aku memungut batu-batu kecil—bahkan tidak bisa disebut kerikil—dan melemparkannya ke sasaranku.
Fwish. Clack.
Fwish. Clack.
Aku senang hari masih pagi di akhir pekan.
Kalau ada yang melihatku sekarang, mereka mungkin mengira aku sedang berbuat jahat.
Fwish. Clack.
Fwish. Clack.
Aku sudah berlatih selama sekitar dua puluh menit.
Tapi akhirnya, aku mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Jendela lantai dua berderak terbuka. Kepala yang mengantuk muncul, dan ketika orang itu melihat siapa itu, aku menarik napas dalam-dalam.
"Hari baruuuu telah tiba!"
Aku mulai menyanyikan lagu yang mengiringi acara senam yang biasa diputar di radio.
Asuka menatapku kosong selama sekitar sepuluh detik, masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Lalu...
"Heeeh? …Eeeh!"
Dengan cepat merapikan rambutnya yang berantakan, dia melingkarkan lengannya dengan protektif di bagian depan piyama satinnya dan merunduk di bawah bingkai jendela.
Setelah sekitar sepuluh detik, kepalanya muncul kembali, dan dia menatapku. Dia masih merapikan rambutnya dengan tangan.
"A-Apa yang sedang kamu lakukan?"
Pagi itu begitu sunyi, bahkan tidak ada satu mobil pun yang lewat. Aku bisa mendengar Asuka dengan jelas tanpa perlu meninggikan suaranya. Dia masih tampak panik, dan aku tidak bisa menahan tawa.
"Sudah kubilang hari baru telah tiba, kan? Aku bilang aku akan mengajakmu berkencan dengan berdiri di bawah jendelamu dan menyanyikan lagu senam radio."
"Tapi.... kemarin.... aku udah bilang...."
"Belum butuh seumur hidupku sampai sekarang untuk menyadari bahwa, ketika seorang gadis mengucapkan selamat tinggal, yang sebenarnya dia maksud adalah aku harus mengejarnya."
Aku menghadap jendela dan mengulurkan tanganku.
"Turunlah, Asuka Senpai. Aku datang untuk membawamu pergi."
Asuka tampak seperti akan menangis sesaat, lalu dia seperti menelannya kembali. Dia menundukkan kepalanya sejenak, lalu, seolah mengumpulkan tekadnya, dia menatapku dan menahannya.
"Setengah jam! Atau mungkin sedikit lebih lama. Tunggu aku di taman sana!"
Hanya itu yang dia katakan, lalu dia menutup jendela dengan cepat.
Aku mengepalkan tanganku pelan-pelan.
Ketika Asuka mengucapkan selamat tinggal waktu itu, dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kirinya.
✶
Aku membeli kopi hitam di mesin penjual otomatis dan duduk di bangku taman terdekat, di dekat rumah Asuka. Aku mulai menyeringai, bertanya-tanya apa yang aku pikir sedang aku lakukan ini. Kurasa aku bertingkah kekanak-kanakan dan impulsif, tapi mungkin aku bertindak terlalu jauh.
Tadi malam, setelah aku memutuskan untuk membawa Asuka ke Tokyo, aku bergegas ke Stasiun Fukui. Tapi setelah membeli tiket, aku ingat aku tidak tahu alamat LINE atau nomor telepon Asuka.
Aku sudah sering mengantarnya pulang, jadi aku tahu rumahnya dan perkiraan lokasi kamar tidurnya. Tapi aku tidak bisa membunyikan bel pintu dan berkata,
"Permisi, aku mau meminjam putri kalian sebentar."
Itulah satu-satunya cara yang tersisa.
Namun, risiko ketahuan terlalu tinggi saat orang tuanya terjaga. Lebih buruk lagi, tetangganya mungkin melihatku dan membunyikan alarm.
Lagipula, perjalanan dari Fukui ke Tokyo memakan waktu sekitar tiga jam dengan kereta api. Aku ingin punya banyak waktu untuk kembali sebelum malam tiba, jadi aku berencana berangkat pagi-pagi sekali.
Aku membuka tutup kaleng kopiku dan meminumnya.
Kurasa aku memang bodoh, seperti kata Nanase.
✶
Aku tidak terbiasa bangun sepagi ini, jadi tidak lama kemudian, aku mendapati diriku terkantuk-kantuk di bangku.
"...Halo?"
Seseorang menepuk bahuku, memanggilku.
Aku membuka kelopak mataku yang berat, dan...
"Selamat pagi."
...seorang gadis cantik berdiri di sana dengan gaun putih bersih, tersenyum di sampingku.
"Asuka Senpai..."
Untuk sesaat, aku merasa seperti hampir mengingat sesuatu, tapi ingatan itu lenyap, terlalu samar dan tidak jelas untuk kuingat.
"Selamat pagi. Kamu tampak cantik."
Asuka menggaruk pipinya dengan malu-malu.
"Apa ini terlalu berlebihan? Aku mungkin berlebihan."
"Sama sekali gak. Kamu tampak seperti baru saja keluar dari mimpi tentang seorang anak laki-laki dan seorang gadis."
"Sungguh?"
"Kalau bukan karena rambut acak-acakanmu, kamu pasti terlihat sempurna."
"Heeeh? Gak mungkin! Aku yakin aku sudah memperbaikinya?!"
"Bercanda, bercanda."
"Hmph!"
Asuka mengenakan semacam gaun putih gaya lama, yang mungkin membuat kalian berpikir, Di zaman sekarang? Tapi dia tampak cantik mengenakannya, seperti sesuatu yang diambil dari potret lama.
Itu tampak luar biasa padamu, seperti dugaanku.
Aku teringat sepenggal percakapan kami.
Asuka berdiri dan menghadapku. Roknya berkibar sedikit, seolah meramalkan datangnya kisah musim panas yang jauh.
"Maukah kamu membawaku pergi sekarang?"
Asuka mengulurkan tangannya, tersenyum lembut, dan aku meraihnya lalu menggenggamnya erat agar tidak kehilangan dirinya lagi.